DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI...

143
DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) Skripsi Diajukan pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos) Oleh Eko Prasetyo NIM: 107033203181 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434H/ 2013M

Transcript of DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI...

  • DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA

    (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)

    Skripsi Diajukan pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

    Oleh

    Eko Prasetyo NIM: 107033203181

    PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA 1434H/ 2013M

  • LEMBAR PERNYATAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata 1 di UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan

    ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

    merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

    menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Ciputat, 10 Juni 2013

    Eko Prasetyo

  • PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

    Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

    Nama : Eko Prasetyo

    NIM : 1070 3320 3181

    Program Studi : Ilmu Politik

    Telah menyelesaikan Skripsi dengan judul:

    DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI

    INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel

    Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)

    dan telah memenuhi syarat untuk diuji.

    Jakarta, 16 September 2013

    Mengetahui Ketua Program Studi Ali Munhanif Ph.D. NIP 196512121992031004

    Menyetujui Pembimbing M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008

  • PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

    SKRIPSI DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI

    INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)

    Oleh

    Eko Prasetyo 107033203181

    Telah dipertahankan dalam ujian Skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Ilmu Politik. Ketua, Ali Munhanif Ph.D. NIP. 196512121992031004

    Sekretaris, M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008

    Penguji I, Drs. Armein Daulay M.Si. NIP. 130892961

    Penguji II Agus Nugraha M.A. NIP. 196808012000031001

    Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 29 Oktober 2013. Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta Ali Munhanif Ph.D. NIP. 196512121992031004

  • i

    ABSTRAK

    EKO PRASETYO

    Demokrasi dan Problem Kepemimpinan Politik di Indonesia (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) Skripsi ini menganalisa pemikiran politik empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik kaum muda di Indonesia. Penelitian skripsi dilakukan secara kualitatif, dengan metode pengumpulan data perpustakaan dan wawancara, sedangkan untuk kerangka teori penulis menggunakan teori demokrasi dan teori kepemimpinan politik.

    Penulis menemukan, bahwa demokrasi kita semenjak merdeka sampai sekarang masih mengalami transisi dan dievaluasi serelevan mungkin agar sesuai dengan karakter bangsa yang Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana tujuan pokok ke depannya, demokrasi tidak sekedar dalam basis politik, melainkan berkehidupan sehari-hari. Meskipun diakui proses pendewasaan demokrasi di Indonesia diwarnai kecurangan, dari yang berwatak otoriter, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan dalam kepemimpinan politik kaum muda, Indonesia terhenti sampai era Soeharto, ia dengan kekuasaannya membuat regenerasi suram, konsekuensinya pasca pelengserannya sampai sekarang pemimpin politik kalangan muda tidak terealisasikan, pos-pos strategis politik masih diisi pemimpin tua, sedangkan pemuda Reformasi setia menunggu giliran. Padahal tujuan terbesar munculnya pemuda dalam kepemimpinan politik tidak didasari regenerasi semata, tetapi dengan bergantinya pemimpin tua pada yang muda, dipastikan akan melahirkan ide segar dan baru, serta normalisasi kepemimpinan politik di Indonesia, karena pemimpin politik ideal adalah kurun usia 35 tahun sampai 55 tahun, selebihnya cukup jadi negarawan dan tidak perlu di parlement. Empat politis muda menghendaki itu, pemuda memiliki semangat dan stamina lebih panjang dari yang tua, pemuda tidak kenal kompromi dan sanggup melawan resiko, meskipun dibalik watak mulia tersebut pemuda memiliki watak negatif, seperti pragmatisme politik dan menjadi politisi kutu loncat. Keywords: demokrasi, pemuda, pemimpin, politik

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Alḥamdulillāh dengan raḥmat Allāh yang Esa pada akhirnya skripsi tentang

    problem demokrasi dan masalah kepemimpinan di Indonesia selesai dibuat. Karya

    akademik selain sebagai syarat untuk menyelesaikan program S-1, juga merupakan

    ujian bagi penulis tentang sejauh mana pemahaman penulis tentang ruang lingkup

    politik selama menempuh kuliah pada Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu

    Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Penulis menyadari, dari sekian lama menempuh perkuliahan hingga dapat

    menyelesaikan program S1 ini tidak mungkin berhasil tanpa adanya kontribusi-

    kontribusi dari pihak lain baik materi maupun dukungan moral. Untuk itu dengan

    tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

    1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

    Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Ketua Jurusan Ilmu Politik bapak Ali Munhanif, Ph.D. dan sekretaris jurusan

    Ilmu Politik sekaligus pembimbing bapak M. Zaki Mubarak M.Si. yang

    banyak memberikan kritik dan saran juga dukungan moral pada penulis untuk

    segera menyelesaikan skripsi.

    3. Bapak, ibu, dan saudara di kampung, mereka dengan sabar memberikan

    motifasi kepada penulis untuk menyelesaikan sekolah yang sangat panjang,

  • iii

    dan tidak sedikit penulis dengan mereka melakukan perdebatan-perdebatan

    tentang berakhirnya perjalanan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    4. Seluruh staf akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    5. Jajaran staf perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    6. Kawan-kawan Ilmu Politik angkatan 2005, 2006, 2007, 2008. Kalian semua

    adalah bukti sejarah keberadaan penulis di kampus UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Kepada semua yang tidak penulis sebutkan, penulis banyak mengucapkan

    terimakasih.

    Ciputat, 10 Juni 2013

    Eko Prasetyo

  • iv

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK .................................................................................................................. i

    KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii

    DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

    A. Pernyataan Masalah ............................................................................ 1

    B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 9

    C. Tujuan dan Manfaat ........................................................................... 10

    D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 11

    E. Metode Penelitian ............................................................................... 13

    F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 15

    BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN .............. 17

    A. Teori Demokrasi ................................................................................. 17

    1. Demokrasi ............................................................................... 17

    2. Model-model dan Jenis Demokrasi ....................................... 19

    3. Demokrasi Negatif ................................................................. 22

    B. Teori Kepemimpinan Politik ............................................................. 24

    1. Definisi Kepemimpinan ......................................................... 24

    2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan ..................................... 25

    3. Model Kepemimpinan Demokrasi ........................................ 27

    BAB III DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA ................................... 29

    A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia .............................. 29

    1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959 ........................ 30

    2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965 ......................................... 33

    3. Demokrasi Pancasila 1965-1998 ........................................... 36

  • v

    4. Demokrasi Pasca Reformasi ................................................. 40

    B. Biografi Empat Tokoh Politisi Muda ................................................ 43

    1. Yuddy Chrisnandi .................................................................... 43

    2. M. Fadjroel Rachman .............................................................. 46

    3. Budiman Sudjatmiko ............................................................... 49

    4. Fadli Zon .................................................................................. 53

    BAB IV PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPIAN POLITIK KAUM

    MUDA ................................................................................................. 58

    A. Problem Demokrasi ............................................................................ 58

    1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi .......... 58

    2. Argumentasi Rekonstruksi Demokrasi.................................... 66

    B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda ................................................. 73

    1. Gerakan Kepemudaan dan Investasi Kepemimpinan Politik . 73

    2. Program Kepemimpinan Politik Kaum Muda ....................... 83

    3. Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda ....................... 88

    BAB V PENUTUP ................................................................................................. 92

    A. Kesimpulan ......................................................................................... 92

    B. Saran-Saran ......................................................................................... 94

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 95

    LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................... 104

    1. Lampiran Pernyataan Wawancara ................................................... 107

    2. Lampiran Teks Wawancara ............................................................... 112

    3. Lampiran Foto Wawancara ............................................................... 132

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Pernyataan Masalah

    Kata “demokrasi” sangat familiar dalam kehidupan masyarakat, tidak

    hanya menjadi bahan perbincangan bagi para sarjana-sarjana dan elite politik

    bangsa, frasa kata “demokrasi” juga asyik diperbincangkan bagi mereka yang

    duduk sambil minum kopi di pasar-pasar tradisional dan di pos kampling sambil

    main kartu. Demokrasi sebagai sebuah kata yang memiliki arti melalui pemikiran

    panjang dan kuno, seringkali penerapan katanya sangat tidak seimbang dengan

    arti seharusnya. Mereka memahami demokrasi secara sederhana, demokrasi

    diartikan segala sesuatu di tangan rakyat, rakyat dan keputusannya adalah hal

    mutlak sebagai sebuah pemenang dan pemegang kekuasaan, sehingga demokrasi

    selalu diartikan dalam ranah politik.1

    Indonesia sebagai sebuah bangsa besar sejak merdeka telah mengenal

    demokrasi, merdeka dan besar dengan demokrasi seharusnya menjadikan bangsa

    Indonesia syarat pengalaman terhadap demokrasi, tapi praktiknya bisa kita lihat,

    bahwa perjalanan bangsa dan negara Indonesia pasti masalah pokok yang

    dihadapi adalah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi

    kehidupan berbangsa dan bernegara?, memang belum sepenuhnya hak-hak

    kewarga negaraan terpenuhi, tapi setidaknya sedikit demi sedikit bangsa ini telah

    melakukan transisi dari berbagai model demokrasi, yang terhitung ada empat fase

    1 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 109.

  • 2

    model demokrasi pada negara Indonesia dengan berbagai macam problem di

    dalamnya; pasca awal kemerdekaan periode demokrasi Parlementer 1945-1959,

    demokrasi Terpimpin periode 1959-1965, demokrasi Pancasila periode 1965-

    1998, dan demokrasi periode 1998 (Reformasi) hingga sekarang.2 Sederhananya

    demokrasi Parlementer dan Terpimpin ada pada era Soekarno, demokrasi

    Pancasila pada era Soeharto – baik keduanya dengan problem otoritarianisme dan

    kediktatoran – dan terakhir model demokrasi Reformasi,3 adalah periode pasca

    runtuhnya Soeharto yang di dalamnya diisi secara bergantian pemimpin negara

    dari B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, dan sekarang Susilo

    Bambang Yudhoyono.

    Demokrasi sampai sekarang – pasca Reformasi – masih menjadi topik dan

    sangat digemari, dipastikan orang yang mendukung demokrasi jumlahnya lebih

    besar daripada yang menolak demokrasi. Karena dalam prinsip demokrasi

    merupakan sistem yang konstruktif dan mampu menjadikan keberbedaan bersuku,

    beragama, dan berfikir ke arah yang sama, tanpa membedakan faktor-faktor dan

    identitas sebagai pemisah, ini yang dicita-citakan masyarakat.4

    Namun faktanya, lain istilah lain cara mempraktikkannya, praktik

    demokrasi belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, banyak

    dijanjikan dipimpin secara demokratis tapi merasa dirinya korban dari demokrasi,

    2 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di

    Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 61.

    3 Lihat perbedaan problem masa Soekarno dan Soeharto pada M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 76.

    4 Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 71.

  • 3

    sebab demokrasi hanya milik kalangan elite politik di Senayan dan golongan yang

    dekat dengan itu. Problem Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tetap menjadi tradisi

    sebagai kelanjutan masa Soeharto. Fadli Zon sampai memberikan kredit lebih atas

    permasalahan demokrasi, jumlah mereka yang KKN pasca Reformasi lebih

    banyak dibandingkan era Soeharto, KKN tidak lagi dilakukan kalangan elite

    politik, bahkan sampai pada tahap masyarakat biasa. Soeharto sebagai presiden

    telah mati, sedangkan politik demokrasi “Soehartois” bersemayam di Senayan.5

    Dampaknya masyarakat di daerah seperti diabaikan, melihat begitu banyaknya

    permasalahan konflik horisontal di daerah seperti seakan-akan dibiarkan dan tidak

    ada tanggung jawab dari pemerintah pusat.

    Hal semacam di atas membuat kecewa dan melahirkan kelompok-

    kelompok baru mengatasnamakan dirinya perubahan dan pembaharuan.

    Eksistensinya justru membuat posisi demokrasi di Indonesia dipertanyakan,

    karena gerakan-gerakan itu cenderung separatis bertujuan untuk membentuk

    negara baru, ini bisa dilihat atas berdirinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka),

    Separatis Bintang Kejora atau OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan masih

    banyak lagi bentuk makar atas kekecewaannya terhadap iming-iming demokrasi.

    Selain organisasi makar, belakangan banyak ormas keagamaan dan organisasi

    politik bersekala nasional ataupun internasional tumbuh subur di Indonesia, baik

    organisasi politik fundamental dan kolot ataupun organisasi-organisasi radikal

    atas nama gerakan stabilisator nilai beragama. Mereka menginginkan negara

    5 A. Sonny Keraf “Tanggapan untuk Fadjroel Rachman: Demokrasi Butuh Kaum

    Demokrat,” [artikel online]; tersedia di http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2657 &coid=3&caid=22&gid=2: Internet: diunduh pada 19 Februari 2013.

  • 4

    Indonesia tidak lagi menjadi negara bangsa dan meniadakan demokrasi sebagai

    asas berbangsa.6

    Problem seperti di atas telah menarik perhatian politisi Yuddy Chrisnandi,

    M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan terlebih Fadli Zon untuk

    menggagas tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Empat tokoh tersebut

    memfokuskan argumentasinya tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Bangsa

    ini sangat besar dan dihuni beribu-ribu suku dan corak orang di dalamnya,

    demokrasi adalah jalan penting terselenggaranya kenegaraan yang kondusif dan

    damai, melihat Bhineka Tunggal Ika sebagai kunci bernegara. Masa transisi dari

    presiden lama ke presiden baru dianggap sebagai revisi demokrasi, dan hasilnya

    penempatan dan relevansi dari substansi demokrasi di Indonesia semakin menjadi

    baik.7

    Namun di lain pihak, kendornya pemerintah menjamin dan membangun

    ketegasan hukum yang kuat terhadap keberlangsungan korupsi, kolusi, nepotisme,

    dan radikalisme telah menciderai demokrasi. Masyarakat banyak mengagungkan

    kemerdekaan moral, ekonomi, dan sosial yang tanpa disadari mereka terjebak

    dalam tindakan main hakim sendiri, sehingga hal itu seperti bentuk teror baru

    yang mengganggu hak-hak demokrasi bagi individu dan golongan lain, belum lagi

    6 MMI (Majelis Mujahiddin Indonesia) dan Hizbut Tahrir Indonesia adalah contoh,

    sebuah ormas dan partai politik Internasional pemuja negara agama yang berhasil dan besar di negara berasas demokrasi, tapi justru mengingkari demokrasi karena dianggap sebagai sistem kafir. Hizbut Tahrir didirikan di al-Quds Jerusalem pada akhir 1952 dan awal 1953. Taqī al-Dīn al-Nabhānī sebagai pendiri sekaligus ketua partai [artikel online] tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/; Internet; diunduh pada 10 Desember 2012.

    7 Yuddy Chrisnandi, “Kemelut Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 51.

  • 5

    akibat konflik tersebut memicu ketidak setabilan di daerah. Konsekuensinya

    mereka di daerah semakin miskin dan berlarut-larut dalam perang saudara.8

    Runtuhnya otoritarianisme presiden Soeharto melalui gelombang

    demonstrasi membawa perubahan. Meskipun disadari bahwa saat itu belum

    difikirkan siapa yang berhak menggantikan Soeharto sebagai pemimpin, yang

    jelas Soeharto harus turun dari jabatannya.9 Faktanya model demokrasi justru

    digemari dan menjadi simbol besar terhadap perubahan bangsa. Transisi negara

    justru lahir dari gerakan demokrasi yang ingin menempatkan dirinya serelevan

    mungkin, selain yang perlu digaris bawahi mulai munculnya tokoh-tokoh baru

    dalam politik bangsa Indonesia. Pembatasan sarana informasi oleh periode Orde

    Baru mulai muncul dengan berbagai visi dan misinya, mulanya sekedar sebagai

    sarana pencitraan nama baik pemerintah, sekarang menjadi alat kontrol bagi

    kebijakan pemerintah dengan berbagai tayangan kritis dan kritiknya.10

    Reformasi dengan bendera demokrasi telah melahirkan Individu-individu

    kritis menjadi tokoh nasional, di antaranya nama-nama seperti Amien Rais dan

    Abdurrahman Wahid sangat akrab saat Indonesia menjalani transisi dari negara

    tidur menjadi negara yang mudah untuk berteriak. Meskipun diakui menjadi garda

    depan perubahan masa Reformasi penuh resiko, termasuk menghadapi

    8 “Fadli Zon: ‘Demokrasi Kriminal’ Akibat Lemahnya Desain Politik,” [berita online];

    tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon-demokrasi-kriminal-akibat-lemahnya-desain-politik; Internet; diunduh pada 20 Februari 2013.

    9 David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 102.

    10 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), 43

  • 6

    pembunuhan sangat terorganisir dan rapi.11 Keberadaan mereka tidak dapat

    dilupakan, dari masa-masa kritis kepemimpinan Presiden B.J. Habiebie, Gus Dur,

    dan Megawati.12

    Masa telah berubah, timbul wacana kepemimpinan ideal untuk Indonesia,

    melihat fakta kepemimpinan dari Reformasi sampai saat ini permasalahan bangsa

    masih tetap sama, tidak jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun

    dibilang tidak setransparan masa Orde Baru, tapi sudah menjadi rahasia umum

    praktik tersebut tetap ada hingga sekarang. Perdebatan menarik pemimpin ideal

    mengkerucut pada dua hal, antara pemimpin golongan tua dan pemimpin

    golongan muda.

    Sebagaimana ketetapan WHO manusia di atas usia enam puluh tahun

    sudah dikatakan tua, sebab hormon dan daya tahan tubuh akan semakin berkurang

    secara signifikan pada usia itu, namun permulaan mulai adanya penurunan pada

    hormon sejak manusia menginjak umur lima puluh lima tahun.13 Sedangkan

    11 Louwise Wiliams, “Amin Rais: Garis Depan Adalah Tempat Beresiko,” dalam Edward

    Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 329.

    12 Masa kepemimpinan yang kritis di antaranya bisa dibaca pada Hal Hill, “Habiebie Tidak Akan Mampu Bertahan Lama,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LKiS, 2000), 312.

    13 Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia, menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai

  • 7

    disebut muda menurut salah satu teori dalam konteks biologis dibatasi oleh umur,

    dari 13 sampai 40 tahun, ada pula yang menyatakan konteks kepemudaan adalah

    antara umur 20 sampai 40 tahun.14 Sedangkan pada UU No. 40 Tahun 2009

    konteks pemuda dimulai umur enam belas tahun sampai tiga puluh tahun, dan itu

    yang menjadi pedoman KNPI, meskipun praktiknya ternyata pengurus KNPI

    banyak berumur di atas tiga puluh tahun.15 Namun riset oleh Office of National

    Statistics Inggris yang melibatkan 2.200 responden menyimpulkan, bahwa banyak

    responden berpendapat usia muda dimulai sejak umur empat puluh satu tahun dan

    berakhir pada usia lima puluh sembilan tahun.16

    Dari penjelasan itu sederhananya bisa disimpulkan, mereka seperti

    Megawati Soekarno Putri (65 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (63 tahun),

    Jusuf Kalla (70 tahun), Wiranto (65 tahun), Sutiyoso (67 tahun), Sultan

    Hamengku Buwono X (66 tahun) sudah bisa disebut tua dan dianggap cukup

    dalam urusan birokrasi, selain dilatar belakangi masalah kesehatan dan daya tahan

    tubuh yang berpengaruh pada cara berfikir untuk memutuskan masalah dan

    beban keluarga dan masyarakat. Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. Wijayanti, “Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari Kecamatan Candisari” [artikel online]; tersedi di http://eprints.undip.ac.id/20145/; internet; diunduh pada 12 November 2013.

    14 Aziz Syamsuddin, Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008), 8.

    15 Ralian Jawalsen Manurung “Syarat Usia 16-30 Tahun Berat, KNPI Gugat UU Kepemudaan ke MK,” [berita online]; tersedi http://jaringnews.com/politik-peristiwa/ umum/30369/syarat-usia---tahun-berat-knpi-gugat-uu-kepemudaan-ke-mk; internet; diunduh pada 12 November 2013.

    16 “Batasan Usia Disebut Muda dan Tua,” [berita online]; tersedi http://www.berita satu.com/fashion/25895-batasan-usia-disebut-muda-dan-tua.html; internet; diunduh pada 12 November 2013.

  • 8

    memimpin sebuah bangsa, namun juga harus dipertimbangkan sudah saatnya

    dilakukan regenerasi kepemimpinan politik, untuk itu kelanjutannya biarkan para

    pemuda (kurang dari lima puluh tahun) menjadi garda depan bangsa Indonesia.

    Bukan berarti mengesampingkan kaum tua, tapi yang muda diharapakan dengan

    kesegaran ide bisa menjadi trobosan untuk merubah negara menjadi lebih baik.17

    Alasan mengangkat tokoh Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, dan

    Budiman Sudjatmiko dalam isu kepemimpinan kaum muda bukan tanpa alasan,

    seperti Budiman dan Yuddy misalnya, selain mereka telah menjadi dari bagian

    konstitusi Indonesia sejak muda, mereka juga sering menulis tentang

    kepemimpinan politik kaum muda. Pada tahun 2009 Yuddy ikut aktif dalam

    Dewan Integritas Bangsa, ia sendiri maju dalam bursa capres independen dari

    kongres DIB (Dewan Integritas Bangsa).18 Sedangkan M. Fadjroel Rachman

    justru lebih gencar mempromosikan kepemimpinan politik kaum muda, ia

    menyuarakan capres independen, tujuannya agar kalangan muda bisa menjadi

    capres dari jalur independen tanpa terbentur aturan-aturan internal partai politik.

    Namun karena terhalang peraturan konstitusi ia mengambil jalan berdasarkan

    konstitusi pula, dari pergerakannya melalui konstitusi M. Fadjroel Rachman dan

    17 M. Fadjroel Rachman, “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di

    http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg34376.html; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.

    18 Bersama Marwah Daud Ibrahim, Bambang Sulistomo, dan Rizal Ramli. Mereka bersepakat dalam Dewan Integritas Bangsa untuk mencalonkan salah satu dari tokoh tersebut menjadi alternatif presiden Indonesia. Dewan Integritas Bangsa didirikan oleh delapan organisasi masyarakat, diantaranya Himpunan Pemuda Nahdatul Ulama, Pemuda Muhammadiyah, Gabungan Masyarakat Kristen Katolik, Generasi Muda Budha Indonesia, Komunitas Tiong Hoa Anti Korupsi. Konvensi DIB (Dewan Integritas Bangsa) dilaksanakan di delapan kota besar; yakni Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Pontianak, Bandung dan Jakarta. Selengkapnya bisa dilihat pada “Tim 8 Dewan Integritas Bangsa Akan Turuti Keputusan Tim 45”, [berita online] tersedia di http://nasional.kompas.com/read/2009/03/07/22505697/Tim.8. Dewan.Integritas. Bangsa.Akan.Turuti. Keputusan.Tim.45: internet; diunduh pada 12 November 2013.

  • 9

    kawan-kawan lain berhasil mendapat restu calon independen dari MK (Mahkamah

    Konstitusi) yang saat itu dipimpin Mahfud M.D., namun keberhasilan itu bukan

    pada tingkat nasional, hanya pada sekala pemimpin daerah semata.19

    Kepemudaan bukan menjadi hal asing bagi bangsa Indonesia, sejarah

    bangsa Indonesia adalah milik kaum muda kata pengamat politik nasional Ben

    Andreson. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Proklamator kemerdekaan

    adalah bukti, dengan umur sangat muda kurang dari tiga puluh tahun mampu

    membawa Indonesia menjadi bangsa berdaulat dan diakui oleh negara lain.20

    Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan ditandai berdirinya organisasi Budi

    Utomo, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah fakta lain, bahwa negara ini

    cukup kuat dengan pengalaman kaum muda, ini tidak menutup kemungkinan

    pemuda akan kembali memimpin bangsa Indonesia.21

    B. Pertanyaan Penelitian

    Dalam pembahasan selanjutnya, tulisan ini hanya membahas dua hal dari

    pemikiran empat tokoh politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman,

    Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon), pertama problem demokrasi di Indonesia,

    kedua kepemimpinan politik yang ideal untuk Indonesia.

    19 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman, Jakarta 10 Mei 2013. 20 “Budiman Desak Generasi Muda Diberi Kesempatan Maju,” [berita online]; tersedia di

    http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/03/120211/Budiman-Desak-Generasi-Muda-Diberi-Kesempatan-Maju; internet; diunduh pada 29 Februari 2013.

    21 Yuddy Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 99.

  • 10

    Untuk itu pertanyaan penelitiannya adalah;

    1. Bagaimana problem demokrasi di Indonesia dari Orde Baru sampai

    sekarang menurut empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel

    Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)?

    2. Bagaimana kepemimpinan politik yang ideal dalam keberlangsungan

    demokrasi di Indonesia menurut empat politisi muda (Yuddy

    Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli

    Zon?.

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

    Menganalisa gagasan dan mendeskripsikan ide empat politisi muda

    (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)

    terhadap eksistensi dan relevansi demokrasi di Indonesia, serta kepemimpinan

    politik yang ideal dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

    Manfaat penelitian skripsi ini adalah:

    Merupakan karya ilmiah dalam ilmu pengetahuan yang memberikan

    wawasan terhadap pembaca, serta mempermudah memetakan masalah demokrasi,

    dan kepemimpinan pemuda dalam dunia politik di Indonesia.

  • 11

    D. Tinjauan Pustaka

    Kajian mengenai demokrasi dan kepemimpinan politik bukan hal baru di

    Indonesia, di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur karya ilmiyah

    yang pernah membahas tentang demokrasi dan kepemimpinan politik, di

    antaranya:

    Buku Pemikiran Politik Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999

    dengan editor David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (2006), penerbit Grafiti Pers

    dan Freedom Institute, Jakarta. Buku tersebut membahas tentang problem

    demokrasi yang ditulis oleh beberapa tokoh nasional seperti ‘Abdurrahman Wahid

    dan Amin Rais, tepatnya adalah kumpulan tulisan beberapa tokoh politik

    Indonesia tentang demokrasi dan kenegaraan periode 1965-1999. Dari semua

    penulis yang berkontribusi pada buku tersebut tidak menampilkan sosok pemuda

    sebagai penyumbang ide tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik

    kaum muda di Indonesia, sehingga pembahasan secara komprehensif tentang

    problem demokrasi dari kaca mata kaum muda dan gagasan kepemimpinan kaum

    muda tidak tersentuh.

    Buku yang membahas tentang demokrasi lainnya adalah karya doctoral

    Syaiful Mujani (2007), penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dengan

    judul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di

    Indonesia Pasca-Orde Baru. Pada buku Syaiful Mujani hanya fokus dalam

    masalah Islam dan budaya demokrasi di kalangan kelompok agamawan Muslim,

    terutama di NU dan Muhammadiyah. Pada karya ini menyimpulkan adanya

  • 12

    keselarasan antara kebudayaan Muslim di Indonesia dengan asas demokrasi,

    sedangkan pembahasan tentang problem demokrasi dan ide-ide demokrasi kaum

    muda tidak tersentuh.

    Karya ilmiyah lain yang membahas demokrasi adalah skripsi Agus

    Dwiyono (2007) berjudul, “Pemikiran Bung Hatta Tentang Demokrasi.” Dalam

    tulisan skripsi tersebut sangat banyak merujuk pada buku biografi Bung Hatta.

    Meskipun secara nasional tulisan biografi Bung Hatta diterbitkan tahun 1979,

    namun isinya ditulis sendiri oleh Hatta kira-kira semenjak ia umur dua puluh dua

    tahun. Fokus dari penulisan tersebut dengan membahas nilai-nilai dan asas

    demokrasi di Indonesia dari pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Jadi

    pembahasan dalam tulisan tersebut lebih pada demokrasi tidak sekedar asas

    berkehidupan, melainkan telah sengaja dipersiapkan sebagai landasan berbangsa

    semenjak pra kemerdekaan dan untuk dipergunakan sebagai identitas bangsa

    sampai kapanpun.

    Buku kepemimpinan politik adalah tulisan M. Alfan Alfian (2012),

    penerbit Kubah Ilmu, Jakarta. Dengan judul Bagaimana Menjadi Pemimpin

    Politik?: Kekuatan Kepemimpinan. Pada buku tersebut ia mendeskripsikan

    tentang keberhasilan kepemimpinan politik dari tokoh-tokoh nasional sampai

    internasional, baik tokoh politik yang berbicara kepemimpinan politik ataupun

    tokoh sastra seperti Rumi dan Ibn Taymiya dalam kalangan agamawan yang

    berbicara kepemimpinan politik. Buku tersebut lebih berbicara pada proses untuk

    menjadi pemimpin politik yang tidak didasarkan atas kriteria tua ataupun muda,

  • 13

    melainkan pemikiran-pemikiran tokoh dalam memperoleh dan cara

    mempertahankan posisi tertinggi dalam kepemimpinan politik.

    Dari riwayat kepustakaan di atas memberikan gambaran, bahwa sudah

    banyak yang mengupas masalah demokrasi dan kepemimpinan politik di

    Indonesia, namun untuk dinamika masadepan demokrasi pasca Reformasi dan

    problem kepemimpian politik nasional yang ideal khususnya pemimpin muda

    belum tersentuh. Oleh karena itu penulis meyakini bahwa kajian yang penulis

    tawarkan untuk diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah aktual dan belum

    secara komprehensif diteliti dan dijadikan karya ilmiyah di lingkungan UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    E. Metode Penelitian

    Untuk menelaah sekripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif:

    adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam,

    peneliti terjun langsung dan berinteraksi dengan obyek di lapangan serta

    menggambarkan kondisi atau hasil temuan masalah daripada melihat

    permasalahan untuk penelitian generalisasi.22 Jadi tujuan dari metodologi

    kualitatif bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara teliti terhadap suatu

    masalah yang kemudian data temuannya dideskripsikan.23

    22 Septiawan Santana, Menulis Ilmiyah Moetode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Yayasan

    Obor Indonesia, 2007). 27. 23 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda

    Karya, 1997), 5.

  • 14

    Sedangkan teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua cara, yaitu

    pengumpulan data perpustakaan (library research) dan pengumpulan data

    lapangan/ field research (wawancara). Untuk pengumpulan data perpustakaan,

    yaitu menelaah buku ataupun tulisan (sumber primer) berkaitan dengan tema

    tersebut, seperti Yuddy Chrisnandi buku Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus

    Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. M. Fadjroel Rachman seperti buku

    Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara

    Kesejahteraan. Budiman Sudjatmiko seperti tulisannya tentang “Kepemimpinan

    Baru Indonesia Melintasi 'New Frontier'” dan “Mengusir Macan Tua” yang ada

    dalam website resminya www.budimansudjatmiko.com. Fadli Zon dengan

    bukunya “Politik Huru-Hara Mei 1988“ yang menerangkan sebab turunnya

    Soeharto. Untuk itu buku dan tulisan tersebut di atas adalah refrensi primer dalam

    penelitian ini.

    Sedangkan teknik pengumpulan data lapangan/ field research,

    dilaksanakan dengan wawancara empat tokoh (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel

    Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) berkenaan dengan pemikirannya

    sesuai rumusan masalah yang telah disebutkan di atas. Wawancara ini dilakukan

    karena keempat tokoh tersebut masih hidup.

    Mengenai teknik penulisan skripsi, penulis berpedoman pada buku

    Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan

    Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis

  • 15

    oleh Tim Penyusun Panduan Akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.

    F. Sistematika Penulisan

    Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, penjabarannya adalah sebagai

    berikut :

    Pada bab satu atau pendahuluan, dikemukakan latar pernyataan masalah,

    pertanyaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka

    teoritis, metode penelitian serta sistematika penulisan.

    Pada bab dua membahas tentang teori demokrasi dan teori kepemimpinan

    politik.

    Pada bab tiga membahas demokrasi di Indonesia, meliputi corak dan

    adopsi demokrasi di Indonesia sebagai periodisasi sejak Orde Lama sampai pasca

    Reformasi. Serta membahas biografi empat tokoh politisi muda Yuddy

    Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon.

    Pada bab empat membahas probelmatik demokrasi di Indonesia masa Orde

    Baru dan pasca Reformasi, serta argumentasi rekonstruksi demokrasi. Selain itu

    membahas pemimpin politik kaum muda, meliputi gerakan kepemudan dan

    investasi kepemimpinan politik, program kepemimpinan politik kaum muda, dan

    problem mewujudkan kepemimpinan politik kaum muda.

  • 16

    Pada bab lima atau terakhir adalah penutup sekaligus kesimpulan dan

    saran.

  • 17

    BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN

    A. Teori Demokrasi 1. Demokrasi

    Demokrasi berasal dari bahasa Yunani Demos (rakyat) dan Cratos

    (kekuasaan),1 telah menjadi praktik politik bangsa Yunani sekitar (300-400 SM.)

    Demokrasi dalam istilah adalah; keadaan negara di mana sistem pemerintahannya

    kedaulatan berada di tangan rakyat, keputusan tertinggi berada dalam keputusan

    bersama rakyat.2 Demokrasi secara modern dirumuskan sebagai sebuah sistem

    pemerintahan dengan didasarkan atas prinsip kedaulatan dari, oleh, dan untuk

    rakyat, seperti dikatakan Presiden Amerika ke-16 Abraman Lincoln (1808-1865)

    1 Demokrasi dikenal sejak abad ke-5 SM., dilandasi atas dasar pengalaman buruk negara

    Kota di Yunani akibat sering peralihan sistem negara dari monarki ke aristokrasi, dari aristokrasi ke tirani, sehingga membuat para pemikir besar Yunani bekerja keras menentukan sistem ideal kenegaraan untuk bangsa Yunani, sehingga muncullah dari tirani ke demokrasi. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71. Lihat pula pada Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & Pernada Media, 2003), 110. Lihat pula pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2007), 28.

    2 Ada tiga peradaban besar dalam membentuk demokrasi; Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam. Ketiga kebudayaan tersebut dengan segala pengalaman berpolitik di dalamnya membantu revisi demokrasi dari masa ke masa. Hal yang dewasa ini menjadikan demokrasi dengan banyak model, seperti demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan masih banyak lagi model-model demokrasi hasil asimilasi antar peradaban besar dunia. Banyak bersinggungan dengan berbagai macam peradaban tidak berarti perjalanan demokrasi damai, damai dalam artian tidak ada benturan-benturan pemikiran yang kontra terhadap demokrasi, contoh sederhana bisa dilihat dari kebencian Sokrates atas demokrasi. Demokrasi adalah sistem bertele-tele, dan mengesampingkan nilai moralitas karena ia hanya berlandaskan pada sistem vooting. Mayoritas bukan ukuran kebenaran, karena seringkali kebenaran bisa dimanipulasi melalui opini publik untuk mempengaruhi moralitas masyarakat. Masyarakat bisa ‘dibeli’ sebanyak-banyaknya untuk mendukung kepentingan yang dikehendaki oleh penguasa. Di titik ini sedikit memberikan celah bahwa terdapat sisi lemah pada sistem demokrasi. Suhelmi, PEMIKIRAN POLITIK BARAT; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 3.

  • 18

    “democracy is government of the people, by the people and for people”.3 Melalui

    sistem pemilihan tertentu, transformasi kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan

    dalam proses pemberian suara untuk meraih jabatan politik tertentu. Dalam

    kekuasaannya, aspirasi masyarakat akan diperjuangkan melalui mekanisme yang

    telah disepakati.4

    Banyak pakar yang menjelaskan tentang praktik demokrasi, Thomas

    Meyer dalam buku Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan

    menyebutkan ada empat praktik teori demokrasi, yaitu; teori demokrasi

    ekonomis, teori demokrasi langsung, teori demokrasi media populistik, dan teori

    demokrasi partisipasi partai.5 Sedangkan pemerintahan dikatakan mampu

    mewujudkan prinsip demokrasi bila memenuhui tujuh syarat: kontrol atas

    keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih,

    kebebasan berpendapat tanpa ada ancaman, kebebasan mengakses informasi, dan

    kebebasan berserikat.6

    Poin pentingnya, asas utama dalam demokrasi adalah posisi rakyat sebagai

    penguasa, kontrol, sekaligus kebebasannya menyuarakan pendapat dan mengkritik

    kebijakan yang mewakilinya di parlemen. Sehingga hakikat demokrasi adalah:

    3 Dedy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatra, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif

    (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 119. 4 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia

    & Masyarakat Madani, 111. 5 Selengkapnya bisa dibaca pada Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk

    Penerapan, (Jakarta: Friedrich-Erbert-Stiftung, 2003), 6-11. 6 Selengkapnya bisa dibaca pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)

    Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 122.

  • 19

    pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk

    rakyat.7

    2. Model-model dan Jenis Demokrasi

    Model dan jenis demokrasi sangat banyak, di antaranya:8

    a. Demokrasi Liberal: yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-

    undang dan pemilihan umum bebas diselenggarakan dalam waktu

    rutin. Banyak negara-negara di Afrika mencoba menerapkan model

    ini, tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan. Sedangkan dalam

    pandangan hidup, demokrasi Liberal ditujukan memberikan

    kebebasan bagi individu untuk melakukan kegiatan sosial, agama, dan

    bernegara tanpa dituntun dan dicampuri oleh urusan negara, selama

    ekspresi hidupnya tidak bertentangan dengan pandangan hidup

    masyarakat lain dan pokok-pokok ideologi bangsa yang didiami.

    Dampak terebesarnya dalam sistem ini adalah sektor ekonomi, yaitu

    negara menghormati segala bentuk aktifitas ekonomi dan kepemilikan

    barang/jasa atas nama pribadi/individu.9

    b. Demokrasi Terpimpin: para pemimpin percaya bahwa tindakan

    mereka dipercayai rakyat, tetapi menolak persaingan dalam pemilihan

    7 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah

    Dunia yang Sedang Berubah. Penerjemah I. Made Krisna, Tadjuddin Noer Effendi, ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 38.

    8 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121.

    9 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, 5.

  • 20

    umum untuk menduduki kekuasaan. Sederhananya demokrasi

    Terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana setiap keputusan

    berpusat pada pemimpin negara, tidak melalui kesepakatan

    referendum anggota konstitusi. Sedangkan menurut Soekarno

    demokrasi Terpimpin dikutip dari pembukaan UUD 1945

    “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

    permusyawaratan dan perwakilan”.10

    c. Demokrasi Sosial: yaitu menaruh kepedulian pada keadaan sosial dan

    egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan

    politik. Demokrasi Sosial menjunjung tinggi derajat kemanusiaan

    tanpa membedakan kelas, karenanya sosialisme dalam demokrasi

    mencita-citakan persamaan derajat setiap manusia dari orang per-

    orang.11

    d. Demokrasi Partisipasi: yaitu menekankan hubungan timbal balik

    antara penguasa dan yang dikuasai. Komitmennya adalah bahwa

    manusia dapat hidup bersama dalam semangat kemanusiaannya, selain

    isu tentang keadilan, kesejahteraan, kebebasan, kerakyatan,

    10 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di

    Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 71.

    11 M. Fadjroel Rachman, “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 258.

  • 21

    kesetaraan, dan solidaritas, sehingga memerlukan hubungan timbal

    balik yang sangat erat antara sumber dan muara.12

    e. Demokrasi Consociational: yaitu menekankan pada proteksi khusus

    bagi kelompok-kelompok budaya dan menekankan kerja sama yang

    erat di antara elite yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.13

    f. Demokrasi Deliberatif: menurut istilah “deliberasi” berasal dari kata

    Latin deliberatio, kemudain diserap dalam bahasa Inggris menjadi

    deliberation. Istilah ini berarti “konstitusi” atau “menimbang-

    nimbang”. Sedangkan penyatuan kata “demokrasi dan deliberatif”

    memiliki arti formasi opini dan aspirasi politis yang diolah dengan

    proseduralisme atau kedaulatan rakyat menjadi inti dari berdemokrasi.

    Jadi demokrasi deliberatif di mana legitimitas hukum tercapai karena

    hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil, sehingga

    dengan ditetapkannya peraturan-peraturan dalam demokrasi akan

    mudah diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat.14

    Demokrasi dalam penerapannya dibagi dalam dua hal, yaitu demokrasi

    secara langsung dan demokrasi tidak langsung:15

    12 M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Partisipatif dan Kepemimpinan Politik Baru”, dalam

    M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 302.

    13 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121.

    14 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 128-130. 15 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi

    Manusia & Masyarakat Madani, 122.

  • 22

    a. Demokrasi Langsung: adalah rakyat melakukan kedaulatannya secara

    langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya

    mengawasi jalannya pemerintahan. Sedangkan pemilihan pejabat

    eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota) dipilih langsung

    oleh rakyat melalui pemilihan umum, bigitu pula pemilihan pejabat

    legislatif (DPR, DPD, DPRD).

    b. Demokrasi Tidak Langsung: adalah paham demokrasi yang

    dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Corak pemerintahan

    demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat, dan

    dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab terhadap rakyat.

    3. Demokrasi Negatif

    Demokrasi hanyalah salah satu sistem bernegara, hal yang ditawarkan

    bukan merupakan bentuk final sebuah sistem bernegara. Oleh karena itu sangat

    memungkinkan terdapat sisi-sisi negatif dari yang ditawarkan, di antaranya:

    a. Demokrasi Oligarkis atau Demokrasi Terbatas; adalah demokrasi

    yang didominasi oleh kelompok dan kalangan tertentu. Mereka

    menggunakan demokrasi sebagai tujuan mempergemuk kepentingan

    politik, yang konsensusnya tidak saja berhubungan dengan materi,

    melainkan juga bersifat non materi. Seperti membangun pengaruh

    dalam masyarakat untuk mencari jabatan tertentu. Legalitas

    kepemimpinan mereka dibentuk melalui badan-badan peradilan,

  • 23

    legislatif, dan eksekutif yang sebelumnya telah dipersiapkan dan diisi

    oleh aktor-aktor oligarkis, sederhananya kelompok elite tersebut

    memiliki hak untuk mengintervensi proses lajunya demokrasi.16

    Kesimpulannya dominasi elite tertentu sangat merusak

    keberlangsungan demokrasi.17

    b. Demokrasi yang Didominasi Massa; adalah sistem dengan aktor

    massa yang memiliki kekuatan kolektifitas dan berkuasa di atas

    penguasa tradisional. Mereka menggerakkan reformasi dari bawah

    untuk menyerang kekuatan-kekuatan para elite ploitik. Proses

    penyampaian aspirasi terkadang terlalu berlebihan dan cenderung

    anarkis karena merasa menang secara jumlah kolektifitas, hasilnya

    konfrontrasi-konfrontrasi antara dominasi massa dan elite politik

    malah menghancurkan demokrasi.18

    c. Demokrasi Totalitersime; adalah bentuk berdemokrasi yang di

    dalamnya rakyat tidak bisa bebas berkehendak, karena urusan individu

    dan pribadi rakyat tidak terlalu penting. Sebaliknya setiap rakyat harus

    menjunjung tinggi cita-cita yang digariskan dalam sistem politik

    16 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang

    Berubah, 83. 17 Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia

    (Jakarta: Demos, 2005), 93. 18 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang

    Berubah,153-155.

  • 24

    negara. Contoh sederhananya adalah porblem Jerman dengan ideologi

    Nazi pada masanya.19

    d. Otoritarianisme Demokrasi; adalah faham demokrasi yang di

    dalamnya dipimpin oleh penguasa otoriter, fungsi parlemen hanya

    syarat berdemokrasi, kerjanya hanya berbasa-basi bermusayawarah

    untuk mufakat, padahal bentuk final suatu keputusan tetap berada

    pada tangan penguasa yang otoriter. Rakyat berada pada jalur

    terlemah, rakyat tidak diberikan ruang untuk menuntaskan

    keinginannya apabila bertentangan dengan pengusa. Ciri-ciri sistem

    politik model demikian biasanya didukung oleh kekuatan bersenjata

    dari pihak militer. Praktik demokrasi yang otoriter banyak diterapkan

    di negara-negara Afrika, pada masyarakat internasional mengatakan

    negaranya menjunjung demokratisasi, namun dipraktikkan dengan

    cara otoritarianisme.20

    B. Teori Kepemimpinan Politik

    1. Defenisi Kepemimpinan

    Pemimpin, kepemimpinan, dan kekuasaan adalah tiga hal yang memiliki

    defenisi masing-masing, tapi ketiganya berhubungan erat. Pemimpin adalah

    seseorang dengan wewenang kepemimpinannya bertujuan mengarahkan orang

    19 Miriam Budiarjo, ed. Masalah Kenegaraan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1982), 92. 20 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang

    Berubah, 91.

  • 25

    lain yang memiliki posisi di bawahnya, baik tingkatan posisi yang disepakati

    dalam struktural ataupun proses pengakuan pemimpin tanpa kesepakatan (proses

    alami).21

    Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (kelompok) untuk

    mempengaruhi orang (kelompok) lain sesuai kehendak dan tujuan yang disepakati

    bersama, wujudnya bisa motivasi dan menginspirasi.22 Kekuasaan adalah

    kemampuan untuk mempengaruhi (memerintah lebih memaksa) orang lain dalam

    menjalankan hal yang dikehendaki pihak lain (pemilik kekuasaan).23 Karenanya

    kekuasaan memiliki beberapa karakteristik, pertama kekuasaan meruapakan

    sesuatu yang abstrak, kedua kekuasaan milik interaksi sosial, ketiga pemegang

    kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunkan kekuasaan.24 Sedangkan arti

    sebutan ketua atau raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah

    untuk menunjukan adanya pembedaan anatara pemimpin dan yang dipimpin.

    2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan

    Manusia sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan makhluk yang

    lain, semua saling terikat dan membutuhkan, dari faktor saling ketergantungan

    tersebut menjadikan manusia hidup secara kelompok, baik dalam suku, ras,

    agama, ataupun dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Dalam komunitas

    21 Selengkapnya bisa dibaca pada M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2007), 18. Sebagai tambahan tentang perbedaan antara pemimpin, kepemimpinan dan kekuasaan bisa dibaca pada Veithzal Rivai dan Dedy Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 341.

    22 Eko Maulana Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. Nugraha, ed. (Jakarta: Multi Cerdas Publishing, 2012), 67.

    23 Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, 342. 24 Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 230.

  • 26

    tersebut, pasti memunculkan individu-individu unggulan yang melebihi mayoritas

    lainnya dan cenderung berpengaruh terhadap lingkungannya, sehingga berpotensi

    sebagai pemimpin sebuah kelompok.

    Peradaban manusia yang sering berubah merupakan salah satu faktor

    alamiah munculnya pemimpin-pemimpin dalam kelompok manusia, baik politik

    maupun keagamaan, tidak hanya berlandaskan kekuatan seperti hukum rimba,

    melainkan seleksi seorang pemimpin dalam kehidupan manusia terjadi karena

    banyak faktor, hasilnya teori terjadinya kepemimpinan sangat beragam. Para ahli

    sejarah dan filsafat sejak masa lalu telah menawarkan kurang lebih tiga ratus lima

    puluh definisi tentang kepemimpinan, di antaranya:25

    Teori Greath Man dari 1869-1930: Kepemimpinan terbentuk karena

    pengakuan masyarakat sekelilingnya.

    Teori Trait sekitar tahun 1940: Pembedaan antara pemimpin dengan

    pengikutnya, sebab pemimpin memiliki kualitas tinggi daripada pengikutnya.

    Kualitas ini bisa berupa kecerdasan, kekuatan, dan ketangkasan di atas mayoritas.

    Teori Charismatic sekitar tahun 1950: Penekanan perilaku pemimpin

    dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dalam teori ini didukung oleh dua

    pendekatan:

    1. Koneiderasi; kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan

    hubungan akrab dengan bawahannya, seperti kedekatan emosional dan

    25 Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. 59.

  • 27

    sering memberikan masukan terhadap bawahan, serta selalu terbuka

    berkonsultasi dengan bawahan.

    2. Struktur Inisiasi; pemimpin yang memberikan batasan terhadap

    bawahannya, dan cenderung memberikan instruksi terhadap bawahan

    dengan target, waktu, dan cara pelaksanaanya. Sehingga dalam teori ini

    pemimpin baik adalah yang memiliki loyalitas terhadap bawahan dan

    memiliki target terhadap suatu pekerjaan.26

    3. Model Kepemimpinan Demokrasi

    Banyak tokoh yang mencetuskan tentang model-model kepemimpinan,

    baik kepemimpinan yang bersifat politik ataupun administratif, di antaranya

    model kepemimpinan demokrasi: kepemimpinan model ini mau mendengarkan

    dan menerima masukan dari pengikut, karena penekanan model demokrasi ada

    pada mutu yang dihasilkan sesuai kesepakatan bersama. Berikut ciri dari gaya

    kepemimpinan demokrasi:27

    a. Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana

    yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak

    berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia

    dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai

    sasaran organisasi.

    26 Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan, 60. 27 Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 205.

  • 28

    b. Dalam kehidupan organisasi tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak

    boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pemimpin, oleh karena

    itu selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang

    praktis dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasi nasional.

    c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri

    melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan.

    d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan bawahan sebagai

    makhluk politik, makhluk ekonomi dan makhluk sosial sebagai

    individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas mempunyai

    kebutuhan kompleks. Seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan,

    namun yang lebih penting adalah pengakuan setatus sebagai anggota

    sebuah organisasi.

  • 29

    BAB III DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA

    A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia

    Demokrasi memang lahir pada masa peradaban Yunani,1 tapi penerimaan

    besar-besaran terhadap demokrasi terhitung sejak berakhirnya perang dunia ke-II.

    Karena periodisasi ini adalah tidak hanya sebagai pertarungan perebutan

    kedikdayaan dan pengakuan internasional siapa yang superior di dunia, melainkan

    juga perang ideologi antara Fasisme, Komunisme, dan Demokrasi, hasilnya

    demokrasi dan komunisme adalah ideologi paling diminati atas bencana perang

    terbesar sepanjang sejarah.2 Perlahan pasca perang dunia ke-II negara-negara

    mulai berbenah dan memperkenalkan demokrasi untuk negerinya, Jerman, Itali,

    dan Jepang yang dulunya dikuasai oleh Barat mulai terbiasa dan berusaha

    menerapkan demokrasi Liberal.3

    Indonesia adalah satu-satunya negara sejak merdeka sampai sekarang

    mampu mengadopsi demokrasi di kawasan Asia Tenggara, meskipun seiring

    pergantian dan periodisasi kepemimpinan politik bangsa turut andil dalam

    merubah model-model demokrasi di dalamnya, terhitung setelah terjadinya

    1 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71.

    2 Ideologi Fasisme merupakan sebuah paham politik penjunjung kekuasaan absolut dan kontra dengan demokrasi. Ideologi Fasisme juga diartikan memandang rendah bangsa lain dan menjujung tinggi negeri sendiri, sedrehananya Fasisme merupakan nasionalisme yang sangat fanatik dan otoriter. Lihat pada Evriza, Ilmu Politik (Depok: ALFABETA Bandung, 2008), 106.

    3 Hal demikian juga terjadi pada negara-negara di kawasan Asia Selatan (India-Pakistan), dan Asia Tenggara (Filipia, India, Indonesia, dan Malaysia). Usaha penerapan demokrasi tidak selamanya sesuai, ada di antara negara-negara tersebut berhasil, bahkan ada juga sampai sekarang tidak menemukan pangkal dan ujung dari demokrasi. Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 70.

  • 30

    perdebatan antara demokrasi Liberal atau demokrasi sesuai identitas bangsa pra

    kemerdekaan, Indonesia mengalami empat fase model demokrasi;4

    1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959.

    Masa awal kemerdekaan belum sepenuhnya ditentukan Indonesia akan

    menggunakan demokrasi model apa sebagai sistem bernegara, apakah demokrasi

    Liberal seperti banyak dilakukan di negara Barat, sebagaimana banyaknya

    sarjana-sarjana Indonesia belajar di Belanda dengan doktrinnya tentang demokrasi

    Liberal?, atau akan menggunakan demokrasi-nya sendiri sesuai dengan

    kepribadian bangsa?. Mulailah tersusun agenda-agenda politik dan birokrasi

    pemerintahan pada masa awal kemerdekaan untuk menyusun identitas demokrasi

    Indonesia.5

    Gagasan tentang demokrasi telah banyak disampaikan para tokoh nasional

    jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengemukakan “Demokrasi

    Sosial”, itu pula diterapkan sebagai landasan PNI (Partai Nasional Indonesia),

    yaitu demokrasi kontra Liberal, tetapi juga demokrasi yang memberikan hak-hak

    ekonomi. Soekarno mempertegas dengan panitia perancangan UUD dalam sidang

    BPUPKI pada 1 Juni 1945 mengatakan, “Apabila kita ingin mengadopsi

    demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawarahan yang

    memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu mendatangkan

    kesejahteraan sosial”. Muhammad Hatta telah menulis tentang demokrasi sejak

    4 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 111.

    5 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 71.

  • 31

    tahun 1933 dengan judul, ”Ke arah Indonesia Merdeka”.6 Hatta memiliki peran

    besar setelah kemerdekaan dalam mendidik masyarakat Indonesia mengenal

    tentang demokrasi Moderen. Hatta dalam gagasannya tentang fungsi parlemen

    dalam berdemokrasi didasari atas dua hal, kemudian dua hal ini menjadi

    perdebatan pemimpin-pemimpin bangsa sebelum kemerdekan pada dua dekade

    pertama abad ini, pertama adalah hak berserikat dan berkumpul secara politik,

    kedua adalah tentang perwakilan rakyat dalam parlemen.7

    Hatta menyatakan tidak mudah mengembangkan gagasan demokrasi atas

    dasar dua poin tersebut, tapi hal itu juga bukan semacam angan-angan dan

    keniscayaan, karena semua bisa dilaksanakan meskipun syaratnya sangat berat.

    Kewajiban rakyat pertamakalinya harus insyaf sekaligus faham antara posisi hak

    dan kewajibannya. Seorang pemimpin tidaklah seperti dewa dengan apapun

    kehendaknya seolah-olah itu sebagai sebuah kebenaran, posisi pemimpin sama

    dengan rakyat, berdampingan. Kemudian pertanyaan muncul, apakah ada dasar

    sistem pemerintahan sesuai dengan kebudayaan kita? Hatta dengan jelas

    menyatakan ada, kemudian Hatta menganalogikan dengan kehidupan di desa, itu

    setidaknya memenuhi syarat demokrasi dengan menekankan tiga hal, yaitu; cita-

    cita rapat untuk mufakat, cita-cita protes masa dan berwatak kritis untuk

    memonitor setiap keputusan konstitusi, dan terakhir adalah dasar kolektifitas,

    6 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di

    Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no. 3 (Desember 2007), 66.

    7 Dua poin politik tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia, keduanya sama sekali tidak mendapatkan toleransi ke permukaan, karena kekawatiran pemerintah Hindia-Belanda atas posisinya di Indonesia, meskipun belakangan pemerintah Hindia-Belanda melunakkan diri dan membiarkan dua poin politik di atas berkembang, namun dengan pengawasan sangat ketat. lihat pada Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72.

  • 32

    wujudnya bisa bentuk tolong-menolong dalam berbagai sektor, termasuk sosial

    dan ekonomi koperasi (cikal bakal bahwa Hatta adalah pencetus sekaligus bapak

    koperasi di Indonesia). Cita-cita demokrasi dalam bentuk miniatur masyarakat

    desa menurut Hatta bisa diperjuangkan ke level dan sekala lebih besar, seperti

    konstitusi ditingkat nasional. Oleh karena itu kenapa Soekarno dan Hatta sepakat

    mengatakan bahwa demokrasi Indonesia tidak sama dengan demokrasi di Barat,

    mereka menyatakan bahwa demokrasi Barat hanya pada sektor politik, tidak

    dijumpai demokrasi pada sektor ekonomi dan sosial, karenanya mengakibatkan

    perebutan hak milik secara individu dan pengakuan umum atas dasar kekuasaan

    politik meningkat di Barat.8

    Selanjutnya Hatta menandatangani maklumat No/ X pada 3 November

    1945, dalam maklumat tersebut Hatta menyatakan pemerintah mengharuskan

    pentingnya membentuk partai politik sebagai ornament demokrasi, pemerintah

    berharap partai-partai peserta pemilu telah tersusun sebelum pemilu badan

    perwakilan rakyat pada Januari 1946.9 Maklumat tersebut direspon sangat positif

    dan ditandai banyak lahirnya partai politik sebagai peserta pemilu, akan tetapi

    rencana awal pemilu pada tahun 1948 harus tertunda akibat banyak kendala, di

    antaranya agresi militer Belanda II dan pembrontakan PKI di Madiun 1948.10

    Perkembangan terpenting dan peralihan sistem politik pada periode ini

    adalah tahun 1950. RIS (Republik Indonesia Serikat) dirubah dalam bentuk

    8 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72 dan 75. 9 Hatta, Untuk Negeriku (Jakarta: Kompas, 2011). 115-116. 10 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,

    67.

  • 33

    kesatuan baru, yaitu sistem Parlementer yang kemudian dipimpin Perdana Menteri

    Natsir, penunjukkan Natsir sebagai Perdana Menteri hasil kesepakatan koalisi

    kabinet saat itu – tercatat empat pergantian Perdana Menteri dari Natsir, Sukiman,

    Wilopo, dan Ali Sastroamidjoyo – dari keempat Perdana Menteri tersebut pada

    era Wilopo pemilu Indonesia untuk pertama kalinya berhasil dilaksanakan dengan

    ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953, yaitu tepat pada 29 September 1955

    (pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (anggota konstituante) untuk

    pertama kalinya pemilu berhasil dilaksanakan,11 dengan diikuti seratus tanda

    gambar peserta pemilu ditambah dua puluh satu partai serta wakil tidak berkoalisi,

    sehingga terdapat dua puluh delapan partai termasuk partai perseorangan.12

    Gagasan tersebut menandakan demokrasi pada periode awal kemerdekaan 1945-

    1959 kemudian dikenal dengan istilah demokrasi Parlementer.13

    2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965.

    Seperti disinggung di awal, Soekarno menyatakan bahwa generasi

    kepemimpinan berikutnya disebut sebagai demokrasi Terpimpin, apa maksud dari

    pernyataan ini? Dalam catatan sejarah peralihan antara demokrasi Parlementer ke

    demokrasi Terpimpin dituliskan sejak tahun 1959, namun istilah demokrasi

    11 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,

    66. 12 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004).

    432. 13 Demokrasi Parlementer 1945-1959 hancur disebabkan banyak faktor, namun catatan

    khususnya adalah ketidak mampuan anggota-anggota partai politik di parlemen dan konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara dan undang-undang dasar baru, kemudian mendorong Ir. Soekarno sebagai Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli dengan pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai dasar negara, ini menandai berakhirnya demokrasi Parlementer. Lihat pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.

  • 34

    Terpimpin sudah dinyatakan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1957 ketika

    banyak tokoh mulai gelisah tentang warna demokrasi Indonesia.14 Dalam

    pidatonya dengan judul “Respublika Sekali Lagi Respublika” pada sidang pleno

    konstituante di Bandung 22 April 1959, Soekarno menyerang konstituante karena

    mempraktikkan cara-cara demokrasi Liberal, sambil menawarkan solusi

    mengembalikan demokrai Indonesia pada bentuk demokrasi Terpimpin.

    Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno adalah bentuk relevan untuk Indonesia,

    dan bukan sebagai kamuflase kediktatoran dan sentralisme seperti faham

    Komunis, dan berbeda pula dengan demokrasi Liberal. Pondasinya sesuai

    pembukaan UUD 1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan

    dalam permusyawaratan dan perwakilan”, seperti rapat suku yang dipimpin ketua

    adat, jadi tidak sekedar dalam bidang politik, melainkan dalam sosial, dan

    ekonomi.15

    Demokrasi Terpimpin mendapat tentangan banyak kalangan, seperti Deliar

    Noer mengatakan bahwa demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan

    Soekarno sebagai ayah dalam keluarga besar bernama Indonesia dengan

    kekuasaan terpusat berada di tangannya.16 Karena menganggap dirinya sebagai

    ayah dalam konteks bernegara, sehingga Soekarno memiliki kebijakan sendiri

    sebagai orang yang tidak akan berpihak pada siapapun. Sikap demikian

    14 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. 15 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,

    71. 16 Dengan demikian kekeliruan sangat besar dalam demokrasi Terpimpin Soekarno adalah

    adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai penting dalam demokrasi, yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. Lihat Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.

  • 35

    diterapkannya dalam berpolitik tanpa partai, dengan tujuan independensi tanpa

    adanya unsur-unsur mendiktenya. Perinsip ini kemudian membuat Soekarno

    banyak ditentang oleh banyak lawan-lawan politiknya, entah lupa atau tidak sadar,

    jelasnya dengan menerapkan politik tanpa partai mengakibatkan dirinya masuk

    dalam lingkaran pencidera demokrasi. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa

    kesepakatan dari konstituante ditegaskan oleh Hatta bahwa anjuran untuk

    bergabung dengan partai politik bagi penghuni konstitusi negara (3 November

    1946). Kritikan Hatta mendapat dukungan dari M. Natsir dan Ki Hadjar

    Dewantara – pemimpin Taman Siswa – secara pedas menyatakan demokrasi

    Terpimpin tidak ada bedanya dengan “liederschap” (kepemimpinan). Hatta pada

    tahun 1961 menulis dalam bentuk brosur dengan judul, “Demokrasi Kita” isinya

    menentang ketetapan Presiden Soekarno tentang demokrasi Terpimpin, di

    dalamnya sangat banyak bertentangan dengan asas-asas kesepakatan

    berdemokrasi.17

    Di antara hal-hal yang dianggap janggal dalam periode demokrasi

    Terpimpin adalah:18

    1. Penyimpangan terhadap UUD 1945, di antaranya tentang ketetapan

    MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No. III/1963

    yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup,

    padahal undang-undang sebelumnya sangat jelas, jika periode

    Presiden menjabat adalah lima tahun.

    17 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. 18 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi

    Manusia & Masyarakat Madani, 131.

  • 36

    2. Tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden telah membubarkan

    DPR hasil pemilu 1955, padahal dalam UUD 1945 ditentukan

    bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat

    demikian.19

    3. Presiden boleh ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan

    legislatif, sesuai peraturan Presiden No. 14/1960. Presiden juga

    diperbolehkan ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan

    yudikatif, sesuai UU No. 19/1964. Selain itu terbatasnya peranan

    partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya

    peranan ABRI sebagai unsur sosial.

    4. Pers dan lembaga publik banyak dibredel, saluran-saluran aspirasi

    rakyat diawasi sangat luar biasa ketat, sehingga teks dan naskah

    pidato harus disortir sebelum dibacakan di depan umum.

    3. Demokrasi Pancasila 1965-1998.

    Orde Baru berhasil memperoleh simpati sangat besar dari masyarakat

    Indonesia, keberhasilan figur perwira tentara Soeharto menumpas habis ideologi

    Komunis di Indonesia sampai anak cucunya hingga ke akar-akarnya dianggap

    prestasi luar biasa,20 termasuk di dalamnya Soeharto mampu menjinakkan usaha

    kudeta oleh Partai Komunis Indonesia tahun 1965.21 Berbondong-bondong

    masyarakat menumpukan harapan besar atas koreksi total tidak hanya dalam segi

    politik, tapi juga sosial terlebih kembalinya kondusif hidup beragama, berbangsa,

    19 Alasan pembubarannya karena DPR menolak anggran belanja rancangan pemerintah

    eksekutif saat itu. Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 83. 20 Penumpasan ideologi Komunis di Indonesia memakan korban kurang lebih lima ratus

    ribu jiwa. Selengkapnya lihat David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 103.

    21 Edward Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 2.

  • 37

    dan bernegara.22 Semua lapisan masyarakat menyambut era baru demokrasi,

    terkecuali segelintir orang Komunis yang terancam kehidupannya karena agenda

    politik Soeharto menghabisi ideologi Komunis di Indonesia.23

    Gebrakan mulainya Orde Baru terjadi dalam banyak sektor, paling menjadi

    sorotan adalah mengembalikan fungsi UUD akibat penyelewengan masa

    Soekarno, di antaranya ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan Soekarno

    sebagai presiden seumur hidup telah dibatalkan, dan jabatan pemimpin negara

    kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Selain itu kebijakan-kebijakan

    hasil ketentuan masa Orde Lama kembali mengalami koreksi dengan

    ditetapkannya MPRS No. XIX/1966 untuk peninjauan kembali produk legislatif

    demokrasi Terpimpin.24

    Semangat mengembalikan fungsi UUD pada tempatnya dan kembali

    menempatkan Pancasila sebagai asas tertinggi dan tunggal bagi semua golongan

    dalam bernegara menjadikan sistem pemerintahan pada periode ini adalah

    demokrasi Pancasila, sesuai UUD 1945, dan Ketetapan-ketetapan MPRS.25

    Berikut beberapa rumusan tentang Demokrasi Pancasila:26

    22 Inu Kencana dkk., Sistem Politik Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), 115. 23 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 85. 24 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi

    Manusia & Masyarakat Madani, 133. 25 S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang

    Politik dan Pemerintahan (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 8. 26 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi

    Manusia & Masyarakat Madani, 134.

  • 38

    a. Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah

    menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian

    hukum.

    b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah

    kehidupan yang layak bagi semua warga negara.

    c. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya bahwa

    pengakuan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia),

    peradilan yang bebas dan tidak memihak.

    Suatu semangat dan pembenahan sangat signifikan jika kita membaca

    rumusan di atas, tapi jika ada pertanyaan apakah demokrasi kita sama dengan

    rumusan di atas? Jawabannya bermacam-macam, tapi dari sekian jawaban,

    sebagain besar akan mengatakan tidak.27 Demokrasi Pancasila adalah nama dan

    hanya awal dari periodisasinya, Pancasila hanyalah retorika dan sekedar gagasan

    tidak sampai pada tataran parktik bermasyarakat dan bernegara. Pancasila

    diagungkan bahkan sangat sakral masa itu, tapi nilai-nilai di dalamnya tidak

    menjadi landasan dan jaminan hidup. Kepemimpinan Orde Baru lebih

    menyedihkan berkali lipat dibandingkan Orde Lama, bahkan kekuasaan Presiden

    27 Demokrasi Pancasila seharusnya menanamkan nilai-nilai Pancasila, tetapi Orde Baru

    menggunakan nama itu tidak untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila, melainkan Pancasila hanya sebagai simbol dan tidak menyentuh pada tataran praktik bernegara. Untuk itu bagaimanakah seharusnya demokrasi Pancasila diterapkan di Indonesia bisa dibaca secara jelas pada Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila (Jakarta: Aksara Baru, 1978), 48.

  • 39

    Soeharto sampai diberikan gelar “rezim,” satu kata tapi maknanya luar biasa

    kejinya.28

    Peran dalam struktural yang tadinya dikoreksi total dari kecerobohan

    birokrasi masa Soekarno kembali diterapkan pada masa kepemimpinan Soeharto,

    M. Rusli Karim menandai setidaknya ada tujuh sektor yang dianggap menyakiti

    hati rakyat Indonesia. 1. Dominannya peranan ABRI, tidak hanya dalam masalah

    keamanan, tapi juga dalam birokrasi kenegaraan, bahkan menjadi alat politik,29 2.

    Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, 3. Pembatasan

    fungsi dan jumlah partai politik jadi tiga, 4. Campur tangan pemerintah dalam

    urusan internal partai politik, 5. Massa mengambang, artinya partai politik hanya

    diperbolehkan membuka cabangnya sebatas sampai tingkat kecamatan, kecuali

    Golkar yang memiliki perwakilan di desa melalui lurah, 6. Monolitisasi ideologi

    negara, 7. Inkorporisasi lembaga pemerintah.30 Dengan demikian bisa

    disimpulkan, nilai-nilai demokrasi tidak sepenuhnya diterapkan pada masa

    pemerintahan Soeharto.31

    28 Tentang apa saja prestasi dan kegagalan tentang periode Orde baru bisa dibaca pada S.

    Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang politik dan Pemerintahan,85-89.

    29 Selengkapnya tentang fungsi ABRI masa Orde Baru bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “TNI dalam Arus Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 269.

    30 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 135.

    31 “Secara ekonomi Soeharto memiliki sisi keunggulan dengan menerapkan Trilogi pembangunan, Soeharto memperkenalkan ekonomi pasar, merancang pemerataan pembangunan, dan mengharuskan stabilitas politik sebagai dasar pertumbuhan ekonomi. Namun di balik itu semua demokrasi hancur,” praktik koruspi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur, tidak hanya dalam kawasan elit nasional, tapi sudah masuk ke segala bidang, termasuk plosok-plosok pedesaan. Lihat sepenuhnya dalam Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 28.

  • 40

    Anarkisme penggulingan rezim Soeharto sudah dimulai tahun 1997,

    ketegangan sosial luar biasa hingga mengakhiri karir politiknya sebagai pemimpin

    bangsa. Pemicu terbesar adalah mulai terjadinya krisis ekonomi di Asia, negara

    Asia Tenggara sebelum Indonesia adalah Thailand terlebih dahulu merasakan

    dampak krisis moneter, hingga merembet ke Indonesia dan kesetabilan ekonomi

    benar-benar terguncang, akibatnya kerusuhan di berbagai daerah tidak dapat

    dihentikan.32 Puncaknya terjadi unjuk rasa besar-besaran oleh para pemuda

    pembaharu, para mahasiswa yang berhasil menduduki DPR RI di Senayan pada

    akhir Mei 1998M.33

    4. Demokrasi Pasca Reformasi.

    Tahun 1998 adalah babak baru, demokrasi Indonesia tidak lagi dipaksa

    dengan satu asas tunggal Pancasila, melainkan reformasi total, semangat timbul

    bukan lagi koreksi total, tetapi penggantian total terhadap apapun berbau dan

    beraliran rezim Orde Baru. Tumpuan besar setelah krisis moneter mencekik

    masyarakat diharapkan ada solusi untuk itu. Masa ini adalah masa terberat dalam

    32 Himpitan ekonomi memaksa Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan hutang

    dengan IMF – International Monetery Fund – (15 Januari 1998 disaksikan oleh direktur IMF Michel Camdessus dengan melipat tangan), akibat terus merosotnya nilai tukar rupiah dan mulai melambungnya harga di pasaran. Pemerintah juga mengambil langkah menutup beberapa aktifitas perbankkan, dan mulai berfikir ulang untuk membatalkan mega proyek besar yang direncanakan sebelumnya. Lihat Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” 9.

    33 Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti (Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan, Hafidhin Royan, Sofyan Rahman, Tammu Abraham Alexander Bulo, Fero Prasetya) pada tanggal 12 Mei 1998 seluruh elemen masyarakat Indonesia murka. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13-14 Mei 1998, selengkapnya lihat Keith B. Richburg, “Syuhada Tak Disengaja: Penembakan Empat Mahasiswa Yang Menggubah Sebuah Bangsa”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 138.

  • 41

    sejarah, transisi tidak hanya dalam bidang politik, namun pemimpin baru

    diharapkan mampu menyelesaikan problem ekonomi dan berbuat menghidupkan

    lembaga hukum untuk mengadili Soeharto, keluarga, dan kaki tangannya.34

    Tapi lagi-lagi rakyat dibuat kecewa, penggantian total atas rezim berbau

    Soeharto hanya sekedar wacan dan omong kosong. Banyak elite politik

    berkepribadian ganda, tadinya sangat tunduk dengan Soeharto tiba-tiba menentang

    Soeharto. Sistem demokrasi Reformasi memang berbeda dengan rezim demokrasi

    Soeharto, tapi pelaku di dalamnya tetap orang-orang Soehartois.

    Pidato Soeharto tentang pengunduran dirinya 21 Mei 1998 adalah hari

    kebangkitan nasional kedua bagi masyarakat Indonesia, kepemimpinan tertinggi

    kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie sesuai aturan tertulis pada

    Pasal 7 UUD 1945 yang menjelaskan apabila Presiden berhenti atau tidak dapat

    menjalankan kewajiban dalam masa jabatannya, maka digantikan oleh wakilnya.35

    Reformasi berhasil merombak beberapa keputusan konstitusi Orde Baru

    menjadi lebih demokratis, di antaranya mengembalikan sistem pemilu pada multi

    partai, yang tadinya Orde Baru menggebiri partai peserta pemilu dengan tiga

    partai politik, masa Reformasi diikuti lebih dari tiga puluh partai, yang dimulai

    34 Sampai sekarang tidak ada penjelasan tentang setatus hukum Soeharto dan harta

    korupsinya, lembaga hukum seolah-olah digiring untuk tidak mempopulerkan dan memperkarakan kejahatan Soeharto, dan rakyat secara perlahan dibuat amnesia. M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 120.

    35 Detik-detik prosesi pelantikan Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto bisa dibaca pada Peter Waldman, dkk., “Perubahan Yang Menempatkan Soeharto di Luar Arena”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 227.

  • 42

    dari pemilu tahun 1999, 2004, dan tahun 2009. Adanya keputusan pencabutan

    Dwi fungsi ABRI, ABRI semula ikut dalam percaturan politik dan ikut duduk

    dalam parlement dikembalikan pada tugas pokoknya, yaitu menjaga keamanan

    negara dan dilarang ikut aktif dalam politik praktis berada dalam konstitusi.36

    Pasca Reformasi mengalami pergantian empat Presiden, dimulai Prof. Dr.

    Ing B.J. Habibie,37 KH. ‘Abdurrahman Wahid,38 Megawati Soekarno Putri, dan

    Susilo Bambang Yudoyono.39 Keempat pemimpin negara pasca Reformasi tidak

    sesibuk Soekarno dan Soeharto yang memberikan lebel demokrasi pada masa

    kepemimpinannya. Demokrasi Reformasi tetap menjadi identitas hingga sekarang,

    hal ini menandakan bahwa Reformasi tidak sekedar momentum peralihan sebuah

    kekuasaan, melainkan juga transisi kebangsaan yang sangat memiliki nilai-nilai

    nasionalisme, karena tidak sedikit nyawa dan kerugian materi untuk

    memperjuangkan Reformasi, untuk itu sampai sekarang belum ada kata yan