Pada tahun 1965
-
Upload
imanzanatulhaeri -
Category
Documents
-
view
132 -
download
1
Transcript of Pada tahun 1965
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA,
karena atas karunia dan rahmat-Nya kami kelompok sembilan dapat menyelesaikan makalah
berjudul “KRISIS MONETER” dengan baik, meskipun diikuti dengan beberapa hambatan
(bahan sumber). Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam rangka penyempurnaan makalah ini, terutama kepada dosen SNI 6,
dan juga kepada teman – teman mahasiswa yang selalu setia membantu kami dalam beberapa
kali diskusi yang tidak terlalu formal tetapi cukup membantu.
Sebagai seorang manusia, tentu saja dia tak luput dari kesalahan serta kekurangan,
begitu juga kami. Oleh karena itu, kami tak pernah melarang siapapun yang akan membaca
makalah ini untuk dapat memberikan saran dan kritik serta penambahan dalam rangka
membangun penyempurnaan makalah ini. jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam
makalah ini, itu bukan karena kesengajaan untuk memalsukan data public, tetapi semua itu
hanyalah bersifat kelemahan dan kekurangan dari kami. sehingga kami berharap hal itu dapat
dimaklumi karena mengingat kondisi kami yang masih dalam tahap belajar.
Lebih baik ada daripada tidak ada sama sekali, dan apa yang sudah ada
sempurnakanlah menjadi sesuatu yang baik daripada yang jelek.
TERIMA KASIH!!
Jakarta 11 Maret 2010
BAB 1
PENDAHULUAN
Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara
dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak berakhirnya era orde baru
mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang
ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi
yang kurang berkembang di negara ini. Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis.
Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar,
persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika
rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut level
efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal
meningkat.
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada
November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan.
Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang
disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu:
menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.Inflasi rupiah dan peningkatan besar
harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden
Suharto memecat Gubernur Bank Indonesiaa, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur
pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden Sampai 1996, Asia menarik
hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan
Korea Selatan memiliki “current account deficit” dan perawatan kecepatan pertukaran pegged
peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran
valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan.
Krisis moneter yang berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis
ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup
dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya
disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti
kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah
selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan
peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan
kelanjutannya. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun
semua ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah,
mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok
penahan yang ada,yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan
gelombang yang datang mengancam.
Dalam bab selanjutnya akan di bahas lebih rinci lagi tentang berbagai factor apa saja
yang membuat bangsa Indonesia pada masa Orde Baru harus dilanda krisis moneter yang
berkepanjangan, yang akibat dari krisis moneter tersebut Presiden Soeharto berhasil di
gulingkan oleh berbegai Ormas serta kalangan mahasiswa yang beranggapan bahwa
Pemerintah Orde Baru harus ditumbangkan karena tidak lagi memperhatikan kehidupan
rakyat, tetapi malah lebih mementingkan kepentingan pribadinya (keluarga cendana dan
antek - anteknya). Dimana kelak terbukti bahwa banyak kebijakan pemerintah yang
dilakukakan dengan praktik KKN, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintahan sendiri
maupun oleh keluarga Presiden Soeharto sendiri dalam memperkaya kerajaan bisnisnya.,
BAB II
PEMBAHASAN
Pemerintah Indonesia dibawah bimbingan IMF (International Monetary Fund), World
Bank, Asian Development Bank, dan IGGI (International Government Group on Indonesian)
serta para teknokrat mafia Berkeley11 benar – benar memusatkan dirinya untuk mempercepat
laju pembangunan tanpa menghiraukan rasa keadilan bagi rakyat kecil. Dengan doktrin
“memperbesar kue terlebih dulu sebelum di bagikan secara merata kepada rakyat”.
Pemerintah berusaha mengimplementasikannya lewat Repelita (Rencana Pembangunan Lima
Tahun) I – V yang menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menuju tahap lepas landas.
Namun sayangnya pada pelaksanaannyaterjadi praktik salah urus dan KKN.
Anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) dengan mendasarkan diri pada bantuan
kredit dan Investasi Luar negri yang menamakannya APBN yang berimbang. Jadi neraca
Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) pemerintah orde baru tidaklah
pernah mengalami deficit, karena kekurangannya selalu di tambal dengan hutang luar negri.
Hal inilah yang membuat semakin menggunungnya hutang luar negri Indonesia yang selalu
disodorkan oleh IMF, ADB, IGGI dan World Bank.
A. Dibawah ini adalah beberapa kasus yang yang terjadi selama masa
pemerintahan Presiden Soeharto :
1. Tahun 1965 - 1996
Pada tahun 1965 – 1966 Indonesia mengalami krisis di beberapa bidang, misalnya
terjadi kenaikan harga BBM dari Rp 4 menjadi Rp 250/liter. Pada 13 desember Menko
pembangunan Chaerul Saleh mengumumkan bahwa terjadi penurunan mata uang Rupiah RP
1000 uang lama menjadi RP 1 uang baru. Kemudian pada 3 januari 1966 mentri urusan
minyak dan gas bumi Brigjen Ibnu Sutowo mwngumumkan kenaikan harga BBM dari Rp
250/liter naik drastis mencapai Rp 1000/liter, disusul dengan kenaikan tarif pos,
1 Mafia Berkeley adalah julukan yang diberikan kepada sekolompok menteri bidang ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia di masa awal pemerintahan Presiden Suharto. Mereka disebut mafia karena pemikiranya dianggap sebagai bagian dari rencana CIA untuk membuat Indonesia sebagai boneka Amerika oleh seorang penulis muda Amerika Serikat
telekomunikasi, tarif kereta api dan bis kota juga dinaikan. Hal ini membuat harga – harga
bahan pokok ikut meningkat.
‘Hal ini merupakan taktik Soeharto dalam mengggulingkan Presiden Soekarno. di
anggap sebagai hasil rekayasa Soeharto dengan rekan bisnisnya bob hasan dan beberapa
rekan cina lainnya karena mereka telah melakukan pemusnahan atau penimbunan terhadap
barang – barang kebutuhan pokok tersebut, sehinnga terjadi kenaikan harga di pasar.’ 2
Padahal kesulitan yang terjadi di tahun 1995 – 1996 merupakan utang luar negri
Indonesia dengan Uni Soviet dala rangka keperluan militer, dan hal ini dilakukan oleh
Nasution bukan oleh Presiden Soekarno. Cukup disayangkan jika krisis yang terjadi tersebut
hanya menjadi tanggung jawab atau mungkin sebuah tududhan kepada Presiden Soekarno.
2. Skandal pertamina 1975
Perusahaan milik Letjen Ibnu Sutowo yaitu pertamina dengan ambisiusnya berusaha
menjalankan bisnis di berbagai bidang, tidak hanya di bidang perluasan produksi tetapi juga
di bidang Petrokimia, Pupuk, Pabrik baja, Transportasi, Perumahan, Kesehatan dan
Pariwisata. Pendanaannya diperoleh dari pinjaman komersial jangka pendek dengan pihak
Internasional tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari mentri yang bertanggung jawab
dalam bidang perekonomian.
Ironisnya dalam pengurusan tersebut, terjadi kebijakan yang sarat denagn korupsi dan
praktik salah urus yang berakibat kerugian di pihak Negara. Praktik KKN yang dilakukan
dalam perolehan kredit dan pembelian kapal – kapal tanker, pembangunan pabrik baja
Cilegon, pembangunan Oil Village di daerah Kuningan Jakarta, Pembangunan Hotel dan
Rumah Sakit Patra jasa di berbagai tempat di Indonesia, menimbulkan krisis yang luar biasa
bagi perusahan milik Negara yang hampir bangkrut pada tahun 1975.
Krisis keuangan pada awal februari 1975 merupakan krisis likuiditas yang terjadi
akibat Pertamina terjerat hutang jangka pendek yang mencapai 1,5 miliar US dollar, dimana
pada bulan tersebut pertamina gagal memenuhi janjinya untuk membayar hutang luar
negrinya yang telah jatuh tempo sebesar 40 juta US dollar. Kemudian pada 1976 pertamina
2 Soebandrio, wakil mentri kabinet kerja pada masa pemerintahan Soekarno.
harus menghadapi masalah besar, ketika harus melunasi hutang pembelian sejumlah kapal
tanker yang mencapai lebih dari 10 miliar US dollar.
Untuk menyelamatkan pertamina dari kekrisissan tersebut, pemerintah akhirnya
melakukan negosiasi untuk membatalkan pembelian kapal – kapal tanker tersebut, serta
pemerintah juga terpaksa harus mengalihkan alokasi dana untuk memulihkan masalah krisis
keuangan dalam pertamina tersebut. Padahal dana – dana itu seharusnya digunakan untuk
melakukan berbagai pembangunan di bidang – bidang yang lain. Belum lagi kegagalan
pertamina dalam membayar utang – utang kreditur dalam negri.
Sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukannya dalam memimpin Pertamina, Ibnu
Sutowo akhirnya digantikan oleh Piet Harjono. Dimana Piet Harjono mulai berangsur –
angsur mengeluarkan Pertamina dari kasus skandal yang banyak merugikan Negara.
3. November 1978
Pada 11 november 1978 pemerintahan melakukan kebijakan yang cukup mengejutkan
di bidang moneter, dimana dilakukan devaluasi mata uang rupiah sebesr 50% terhadap dollar
Amerika. Mata uang rupiah diturunkan dari Rp 415/US$ menjadi Rp 630/US$, kebijakan ini
disebut dengan KNOP 11.
Hal ini menimbulkan kecurigaan dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan Orde Baru, karena masyarakat beranggapan bahwa hal itu terjadi karena
kebijakan yang dilakukan pemerintah Orde Baru dalam bidang ekonomi dilaksanakan dengan
praktik yang sarat dengan KKN. Apalagi bahwa kecurigaan tersebut terbukti bahwa
pemerintah telah berkali – kali melakukan kesalahan yang sama, di mana pada 1983 nilai
tukar 1 US$ = Rp 900 naik menjadi Rp 1.640/US$ pada tahun 1986.
4. Julli 1997
Pada 2 juli 1997 terjadi puncak dari krisis moneter pada masa pemerintahan Soeharto
dan OR - BA-nya, hal ini terjadi akibat efek dari krisis moneter yang terjadi di Thailand pada
awal juli 1997 yang mengguncangkan nilai tukar dollar di wilayah Asia seperti Malaysia,
Filipina dan juga Indonesia.
Di indonesia nilai tukar dolaar naik drastis dari 1 US$ = Rp 2.500 menjadi RP
2.700/US$. Pemerintah yang tidak sanggup dalam mengatasi masalah ini berlarut – larut dan
mengambang dalam mencari solusinya, sehingga akhirnya nilai tukar doliar menukik drastis
dan mencapai puncaknya yaitu 1 US$ - Rp 16.500.
Hal ini menimbulkan kepanikan secara besar – besaran di tengah – tengah masyarakat
Indonesia yang menjadi nasabah, sehingga terjadi penarikan dana secara besar – besaran
dengan serentak di seluruh Bank di Indonesia.
Untuk mengatasi kepanikan tersebut pemerintah OR-BA mengeluarkan kebijaksanaan
peminjaman dana terhadap semua bank – bank di seluruh Indonesia, dalam rangka menjamin
semua dana milik para nasabah. Baik bank pemerintah maupun swasta, bantuan yang
dikeluarkan mencapai ratusan triliun rupiah, kebijakan ini dikenal dengan Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI).
Namun sayangnya bantuan pemerintah dalam kebijakan tersebut tidak direspon
dengan baik oleh para pemilik Bank – Bank tersebut, mereka lebih memilih untuk tidak
mengatasi masalah – masalah yang membuat panik semua nasabah yang merasa terancam
dengan krisis yang terjadi, namun mereka lebih memilih untuk meakukan praktik
penyelewengan bantuan dana tersebut, dengan jalan melarikan bantuan dana tersebut ke
tabungan pribadi mereka di luar negri.
Kondisi ini membuat pemerintah kemudian beralih untuk melakukan peminjaman
dana di pihak IMF (International Monetarry fund) sebesar 43 miliar US$ dengan tujuan
untuk mengatasi maslah krisis tersebut. Namun kebijakan ini tampaknya tidak berarti apa –
apa dalam rangka menjadi jalan keluar dari krisis yang sedang melanda Indonesia, karena
tidak ada tanda – tanda bahwa krisis moneter tersebut akan berakhir, malahan kebijakan
tersebut berubah menjadi krisis ekonomi dan krisis politik serta ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pemerintah Orde Baru yang semakin menggoyangkan kedudukan Presiden
Soeharto.
5. Praktik KKN oleh keluarga cendana pada decade 1990-an
Memasuki decade 1990-an putra – putri Presiden Soeharto semakin Agresif dalam
mengembangkan kerajaan bisnis mereka. Pada awalnya mereka hanya menyandarkan diri
pada orang – orang tionghoa kepercayaan ayah mereka, tetapi kemudian setelah merasa
mereka dapat berdiri sendiri dalam membangun bisnis tersebut, mereka akhirnya tidak lagi
menyandarkan diri kepada orang – orang tionghoa tersebut, dengan mengandalkan
kedudukan ayah mereka, praktik KKN pun di bangun secara besar – besaran dalam
membangunb bisnis mereka.
Berbagai bidang bisnis yang bersifat strategis di monopoli oleh mereka, misalnya
sector perbankan, pertanian, pembangunan hotel – hotel, gedung – gedung mewah, mall,
jalan tol, lapangan golf sector telekomunikas baik media masa, media cetak, media elektronik
serta satelit dikuasai semua oleh mereka. Bahkan bisnis pembelian kapal tanker serta
sebagian tanah di gelora senayan juga dikuasai oleh mereka. Semua bidang bisnis yang
mereka kuasai akhirnya mulai di komersialisasikan oleh mereka dalam rangka mencapai
keuntungan yang sebesar – besarnya.
Melihat perkembangan ekonomi yang dianggap mengalami kemajuan yang pesat,
lembaga keuangan Luar Negri mulai berlomba – lomba menyerbu Indonesia untuk
menawarkan kreditnya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pemerintah orde
baru yang lupa diri dan mabuk kepayang dengan pujian – pujian yang dilontarkan oleh
donator Internasional, serta para pengamat politik yang tidak membatasi hutang luar negri
yang dilakuian pihak swasta, malahan ikut – ikutan melakukan pinjaman – pinjaman dengan
skala yang besar dalam rangka membiayai pembangunan sepihak mereka.
Hal inilah yang membuat terjadi krisis berkepanjangan pada masa orde baru, seperti
yang telah dipapar di atas, bahkan sebab krisis inilah yang menjadi factor ketidakpercayaan
rakyat Indonesia kepada Presiden Soeharto yang berbuntut pada hancurnya rezim orde baru.
B. Arah dan Sasaran Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pasca UU No. 23/99
Dari sisi pengelolaan moneter, krisis ekonomi sesungguhnya telah melahirkan suatu
pemikiran ulang bagi peran Bank Indonesia yang seharusnya dalam perekonomian, dan
sekaligus perannya dalam institusi kenegaraan di Republik ini. Pengalaman tersebut telah
memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa institusi bank sentral, dengan segala
keterbatasan yang dimilikinya, harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai lembaga yang
bertanggung jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang dikeluarkannya. Kesadaran
untuk memetik hikmah dari pengalaman itu pula yang kemudian melahirkan persetujuan
DPR atas Undang Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan
suatu perubahan yang sangat mendasar dalam hal pengelolaan moneter. Dalam UU tersebut,
pemikiran ulang ini diformulasikan dalam suatu tujuan kebijakan moneter yang jauh lebih
fokus dibandingkan dengan UU sebelumnya, yaitu “mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah”.
Sejalan dengan kecenderungan banyak bank sentral di dunia untuk memfokuskan
sasaran kebijakan moneter kepada pencapaian stabilitas harga, pasal 7 dalam UU Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara eksplisit mengamanatkan tujuan “mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah” sebagai sasaran kebijakan moneter. Terminologi
“kestabilan nilai rupiah” tentu saja dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda: kestabilan
secara internal – yaitu kestabilan harga (stable in terms of prices of goods and services), atau
kestabilan secara eksternal – yaitu kestabilan nilai tukar (stable in terms of prices of other
currencies).
Pilihan atas interpretasi yang berbeda tersebut mempunyai implementasi yang sangat
berbeda dalam hal kebijakan moneter yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran
kestabilan rupiah yang dipilih. Dalam diskusi tentang kerangka kerja kebijakan moneter,
diskusi di kalangan teoritisi maupun praktisi bank sentral cenderung mengartikan kestabilan
mata uang dalam interpretasi yang pertama, yaitu kestabilan harga yang diukur dengan
tingkat inflasi. Di samping karena alasan teoritis bahwa kestabilan harga merupakan sasaran
yang paling relevan bagi kebijakan moneter, pasal-pasal maupun penjelasan pasal-pasal
dalam UU Bank Indonesia lebih sesuai dengan interpretasi tersebut. Argumen lain adalah
bahwa dalam jangka panjang, pencapaian kestabilan harga dapat mengarahkan kestabilan
nilai tukar.
Secara lebih pragmatis, seperti telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya, dapat
dikatakan bahwa karena sejak tahun 1997 kita telah memasuki rejim nilai tukar bebas (free
floating exchange rate), maka target nilai tukar tidak dapat lagi digunakan sebagai anchor
kebijakan moneter, sehingga sasaran kestabilan harga kemudian menjadi anchor kebijakan
moneter. Bagi masyarakat secara umum, kestabilan harga merupakan sesuatu yang sangat
penting khususnya bagi golongan masyarakat berpendapatan tetap. Inflasi yang tinggi
seringkali dikategorikan sebagai musuh masyarakat nomor satu karena dapat menggerogoti
daya beli dari pendapatan yang diperoleh masyarakat. Bagi kalangan dunia usaha, inflasi
yang tinggi akan sangat menyulitkan kalkulasi perencanaan bisnis dan dengan demikian akan
berdampak buruk bagi aktivitas perekonomian dalam jangka panjang. Bagi banyak ekonom,
telah terbentuk semacam kesepakatan bahwa inflasi yang tinggi akan berdampak buruk bagi
proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Bahkan, penelitian dengan
menggunakan panel data dari beberapa negara membuktikan bahwa laju inflasi yang moderat
sekalipun dapat berdampak buruk bagi proses pertumbuhan.3
Dengan kerangka pemikiran di atas, sejak tahun 2000 Bank Indonesia pada setiap
awal tahun menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi tahunan sebagai sasaran kebijakan
moneter. Untuk tahun 2003 ini, dengan mempertimbangkan prospek ekonomi dalam negeri
dan luar negeri, Bank Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi IHK tahun 2003 pada tingkat
9% dengan marjin deviasi ±1%. Selanjutnya, dalam jangka menengah Bank Indonesia
berkomitmen untuk secara bertahap menurunkan laju inflasi menjadi sekitar 6% pada tahun
2006.
C. Krisis moneter dan akibat yang di tanggung rakyat Indonesia
Dengan datangnya krisis moneter- merosot drastisnya nilai tukar rupiah - telah
menimbulkan dampak yang sangat luas bagi kehidupan rakyat indonesia .
por. Tapi kenaikan ini memicu naiknya harga barang-barang non-impor. Yang pa-
ling terasa adalah melonjaknya harga-harga sembako (sembilan barang kebutuhan
pokok) seperti beras, terigu, gula, minyak goreng, susu dan telur. Kenaikan ini
merata di seluruh negeri di mana sembako diperjualbelikan dan sekaligus memban-
tah pernyataan Ketua Golkar Harmoko mengenai dampaknya tak masuk ke desa. Ke-
tika harga-harga melonjak, sebagian masyarakat di sejumlah kita menyerbu pasar-
pasar swalayan untuk memborong barang. Ada juga yang harus antre untuk membeli
minyak tanah. Situasi ini semakin menyulitkan keadaan rakyat dan tentu memero-
sotkan daya beli mereka. Rakyat tak bersalah atas krisis yang terjadi, tapi
mereka harus menanggung derita.
Kedua, banyak perusahaan yang tak termasuk perusahaan monopoli dan
sek-tor tertutup harus terancam bangkrut. Mereka diantaranya tak hanya
dihadapkan pada kesulitan likuiditas tapi juga dihadapkan pada kenaikan harga
3 Ghosh and Phllips, 1998.
bahan baku. Sektor konstruksi dan properti banyak yang, terancam bangkrut.
Sejumlah perusahaan lainnya juga harus menyesuaikan diri dengan krisis
moneter. Kalangan penerbit koran kini mulai menuju kebangkrutan, karena harga
kertas koran yang dimonopoli PT Aspec Paper, terus mengalami lonjakan. Harga
kertas koran naik 44 persen pada November, naik lagi pada Desember menjadi 132
persen dan pada bulan Januari ini menjadi 217 persen. Diperkirakan sekitar 70 persen dari
286 penerbit surat kabar di Indonesia terancam bubar atau berhenti terbit jika kenaikan
harga kertas koran terus berlangsung (kompas, 14 Januari 1998).
Ketiga, dampak krisis moneter adalah menurunya dunia usaha yang tentu
saja berakibat timbul berbagai kasus PHK massal terhadap buruh-buruh yang dipe-
kerjakan. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aburizal Bakrie mengung-
kapkan mengenai jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan sebanyak 1 juta orang
akibat krisis moneter. Mereka yang terhimpun dalam Gabungan Pelaksana Konstruk-
si Seluruh Indonesia (Gapensi) menyebutkan angka 3-4 juta orang menganggur
aki-bat terhentinya proyek mereka Pemerintah Malaysia berniat memulangkan I
juta pekerja asing dimana sebagian besar berasal dari Indonesia. Pemulangan
pekerja telah terjadi dari Arab Saudi selama 1995-1996 berjumlah 7 juta orang.
Sampai tahun 1997 diperkirakan mencapai 9,3 juta orang. Kendati kaum pekerja
tak bersalah, mereka terpaksa harus menerima akibat krisis ekonomi.
Keempat, dengan meluasnya krisis moneter kedalam perekonomian nasional,
pemerintah menyatakan tak menaikkan gaji pegawai negara. Sementara itu, peme-
rintah melalui Menteri Tenga Kerja (Menaker) juga belum mengumumkan keputusan-
nya mengenai Upah Minimum Regional (UMR) yang baru. Kendati harga-harga naik,
tampaknya UMR bakal tak mengalami kenaikan. Hal ini jelas semakin memberatkan
kondisi hidup kaum pekerja, termasuk pegawai negara.
Kelima, dengan tingginya tingkat suku bunga saat ini telah mengakibat-
kan terjadinya kesulitan likuiditas dana milik investasi maupun perluasan usa-
ha. Situasi ini mungkin untuk sementara waktu saja. Tapi jika pemerintah tak
melaksanakan reformasi ekonomi secara konsisten maka para investor semakin tak
berminat menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk para investor nasional yang
membayangkan tak adanya prospek bisnis jangka panjang. Jika hal ini tak
diatasi, Indonesia akan terjerumus pada stagnasi ekonomi.
Keenam, meningkatnya kurs dollar AS mengakibatkan tekanan atas neraca
pembayaran. Utang luar negeri Indonesia hingga akhir September 1997 sebesarll 8
milyar dollar AS. Sebelumnya, Indosuez Wl Carr Securities pernah mengungkapkan
200 milyar, termasuk commercial paper, sebagian besar adalah utang swasta. Se-
bagian besar utang swasta ini adalah yang menguras devisa. Mereka pada umumnya
menjadi beban perekonomian nasional. Krisis moneter yang berlangsung dalam tiga
bulan terakhir telah menyeret perekonomian nasional ke dalam situasi yang
sa-ngat buruk. Pada gilirannya situasi ini harus ditanggung oleh rakyat banyak
yang tak mengerti, mengapa semua ini harus menimpa mereka. Rakyat harus menang-
gung akibat dengan naiknya harga barang-barang. Para pengusaha terancam bang-
krut. Para pekerja kehilangan peker jaan. Mereka yang bertahan dengan status
pekerjanya tak dinaikkan gaji atau upahnya kendati harga-harga barang naik.
Semua ini bukan kesalahan mereka. tapi mereka harus menerima akibatnya. Sungguh
situasi ini menyengsarakan banyak orang.
Tampaknya krisis moneter dan dampak yang kita rasakan saat ini belum
akan pulih dalam tempo singkat. Karena, proses pemulihan ini pasti menimbulkan
pertentangan kepentingan, terutama mereka yang selama ini menikmati perlakuan
istimewa dari penguasa politik adalah perintangnya. Situasi inilah yang diha-
dapi rezim politik yang dipimpin Presiden Seoharto kendati di atas kertas telah
menyepakati paket reformasi ekonomi dengan IMF yang berjumlah 50 butir ter-
sebut.
D. Dampak krisis moneter 1997 di bidang
Krisis perekonomian yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di Indonesia telah
menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Dampak tersebut diantaranya
dirasakan di bidang ekonomi secara umum, politik dan budaya.
Krisis ditandai dengan menurunnya secara drastis nilai tukar rupiah terhadap dollar,
sehingga membuat kinerja perekonomian Indonesia yang banyak mengandalkan utang dalam
dollar, tapi pemasukan dalam rupiah menjadi “collapse”. Kondisi perekonomian yang
“sempoyongan” ini merambah kesemua sektor; likuidasi beberapa bank, penutupan beberapa
perusahaan, PHK besar-besaran, harga-harga sembako melonjak. Krisis ekonomi (Krismon)
ini mau tak mau memicu krisis sosial; kriminilitas melonjak, kekerasan kolektif meningkat.
Krisis sosial juga memicu krisis politik; Soeharto mulai kehilangan legitimasi politik. Puncak
dari segala “kegaduhan sosial” ini berujung dengan peristiwa-perisitiwa kekerasan politik
menjelang (peristiwa Semanggi I) dan setelah mundurnya Soeharto dari kursi Presiden
tangggal 21 Mei 1998 (peristiwa Semanggi II), dan beberapa peristiwa kekerasan lainnya
yang umumnya terjadi dalam latar belakang perebutan kekuasan politik.
Krisis dapat kita bedakan menjadi dua kelompok. Pertama, yang percaya bahwa krisis
itu disebabkan oleh unsur eksternal, yaitu perubahan sentimen pasar uang secara cepat yang
menimbulkan panik finansial. Panik finansial ini dengan proses penularan (contagion)
menjadi krisis . Kedua, yang berpendapat bahwa krisis timbul karena adanya kelemahan
struktural di dalam perekonomian nasional, dalam sistim keuangan atau perbankan dan
praktek kapitalisme kroni atau kapitalisme ‘ ersatz’ .
Krisis di Indonesia merupakan kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui
dampak penularan (contagion) pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang
mengandung berbagai kelemahan struktural, yaitu sistim perbankan dan sektor riilnya. Dalam
perkembangannya krisis ekonomi menjalar ke krisis sosial-politik karena kelemahan pada
sistim sosial-politik Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
a. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru merupakan kebijakan
pemerintah ataupun keluarga Presiden Soeharto yang dilakukan dengan praktik yang
saratakan KKN.
b. Utang luar negri Indonesia yang selalu bertambah bukanlah kesalahan pemerintah
Indonesia semata, tetapi ada unsur untuk memperkaya diri oleh pihak donator
Internasional yaitu IMF, ADB, WB, IGGI. Dimana mereka selalu menawarkan
pinjaman kepada pihak Indonesia dengan tingkat bunga yang cukup tinggi, tanpa
mencari solusi untuk Indonesia agar keluar dari Krisis Moneter tersebut.
c. Pada masa orde baru Presiden Soeharto membuka lebar – lebar pintu kerjasama antara
Indonesia dengan pihak Investor asing.
d. Pada saat krisis moneter, terjadi kesalah pahaman antara pribumi dan orang tionghoa
yang sengaja di buat oleh rezim orde baru yang berakibat pada berbagai kejadian
rasial. Dimana orang tionghoa dianggap sebagai binatang ekonomi.
e. Dengan menggunakan kedudukan ayahnya, keluarga cendana mulai melalakukan
praktik KKN dalam membangun kerajaan bisnis mereka.
B. SARAN
Sampai kapanpun Indonesia tak pernah adil dan sejahtera jika masih ada kebijakan –
kebijakan pemerintah yang dilakukan dengan praktik KKN. Hal ini menunjukan bahwa KKN
tidak dapat mengeluarkan bangsa Indonesia dari keterpurukan, dan semuanya telah terbukti
dengan apa yang telah dilakukan oleh Pemmerinta orde baru selama 32 tahun.
Oleh karena itu, jika Indonesia ingin adil dan sejahtera, pemerintah harus
menghilangkan praktik KKN sampai ke akar – akarnya, tak peduli siapa pelakunya, mau
orang kaya atau presiden sekalipun harus di berantas dengan hukum yang seadil – adilnya.
Berantas praktik KKN jika ingin maju.
DAFTAR PUSTAKA
Setyohadi Tuk, 2002 : Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia dari masa ke masa,
Jakarta, Rajawali Corparations.
Marwati Djoened Poesponegoro , 1993 : Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta,
Balai Pustaka.
M.C. Ricklefs , 2008 : Sejarah Indonesia Modern, Jakarta, Serambi.
Setiono. G. Beni , 2008 : Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta, Trans Media.
Economic Development”, 1996: Kumpulan Pidato dan Makalah Gubernur Bank
Indonesia Juli – Desember 1996, No. 9, Jakarta, Bank Indonesia.
Adiningshi. Sri, 2008 : 1 Dekade Pasca-Krisis Indonesia, Jogjakarta. Kanisius.
Arifin. Sjamsyul, Dkk, 2004 : IMF dan stabilitas keuangan internasional: suatu
tinjauan kritis, jakarta. Elex Media Komputindo.
MAKALAH
KRISIS MONETER PADA MASA ORDE BARU
Kelompok 9
ERICK. JOERGEN. L 4415087123
DESI RIFKI AMELIA 4415087142
M. IRFAN 4415087
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA