Post on 25-Mar-2019
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL TERHADAP
KESEJAHTERAAN PETANI
(Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)
RIZKI BUDI UTAMI
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perubahan
Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan
Konversi Tanaman Komoditi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Rizki Budi Utami
NIM I34090122
ABSTRAK
RIZKI BUDI UTAMI. Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan
Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi).
Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO.
Kasus pengambilalihan lahan pertanian menyebabkan berbagai masalah
bagi masyarakat di sekitar lahan, khusunya petani. Saat ini pengambilalihan lahan
pertanian biasanya dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang bertujuan untuk
mengonversi komoditi yang ada pada lahan tersebut. Konversi tanaman komoditi
telah menyebabkan perubahan pranata sosial pertanian Desa Kumpay. Terdapat
perbedaan yang cukup jelas pada pranata usaha tani nanas dengan kelapa sawit.
Jika pranata pertanian nanas banyak menyerap tenaga kerja, maka pranata
pertanian kelapa sawit tidak menyerap banyak tenaga kerja. Perubahan pranata
tersebut membuat hampir seluruh petani penggarap menjadi pihak yang tersingkir.
Tak hanya petani penggarap saja, istri, anak-anak kecil, dan bandar nanas juga
menjadi pihak yang tersingkir. Hal tersebut menyebabkan pihak yang tersingkir
mengubah sistem mata pencaharian yang dilakoninya. Perubahan sistem mata
pencaharian yang terdiri dari kesempatan bekerja dan pola pekerjaan, secara
langsung akan mengubah tingkat kesejahteraan rumah tangga petani penggarap.
Tak hanya itu saja, perubahan pranata sosial pertanian diduga telah mempengaruhi
perubahan hubungan antar warga.
Kata kunci: pengambilalihan, lahan, konversi, komoditi, pranata, kesejahteraan
ABSTRACT
RIZKI BUDI UTAMI. Impact of Social Institutions Changes to Farmers Welfare
(Case: Land Acquisition and Conversion Crop Commodities) Supervised by
ENDRIATMO SOETARTO.
Case of agricultural land acquisition caused many problems for the people
around the area, especially farmers. Currently, land acquisition is usually done by
plantation company that aims to convert the existing commodities on that land.
Commodity crop conversion has change agricultural social institution in Kumpay
Village. There is a clear difference between pinapple farming and palm tree
farming. If the pinnaple institution absorb many labors, then palm tree institution
not absorb many labors. The change of institution made the most of landless
farmers become eliminated. Not only landless farmers, their wife, their children,
and pinnaple collectors also eliminated. That matter caused their had to changed
their livelihood system. The changes of livelihood system consist of the changes
of work opportunity and employement patterns. That changes directly change
landless farmer household. Furthermore, the change of agricultural social
institution had affected the change of relationship between citizens.
Keywords: acquisition, land, conversion, commodity, instituition, welfare
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL TERHADAP
KESEJAHTERAAN PETANI
(Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)
RIZKI BUDI UTAMI
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan Petani
(Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi)
Nama : Rizki Budi Utami
NIM : I34090122
Disetujui oleh
Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
agraria, dengan judul Dampak Perubahan Pranata Sosial terhadap Kesejahteraan
Petani (Kasus: Pengambilalihan Lahan dan Konversi Tanaman Komoditi).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Endriatmo Soetarto,
MA selaku pembimbing skripsi, Bapak Dr Ir Saharuddin, MSi selaku dosen
penguji utama, dan Bapak Ir Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji
perwakilan departemen SKPM. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Memed Humaedin dari Lembaga Swadaya Masyarakat Himpunan
Petani Nanas, Ibu Deni Sutarni, seluruh masyarakat Kumpay, dan seluruh
perangkat Desa Kumpay yang telah membantu penulis selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak (Rian dan
Rini), adik (Dini), Irfan Nugraha, serta sahabat (Kiki, Lili, Eby, Yeny, dan
Wawa). Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman SKPM
46 dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Rizki Budi Utami
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Pranata Sosial Sistem Usaha Tani 5
Gambaran Umum Kesejahteraan Petani 6
Konsep Kesejahteraan 6
Kondisi Kesejahteraan Petani 8
Konversi Tanaman Komoditi 8
Konsep Konversi Tanaman Komoditi 8
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Tanaman
Komoditi 9
Perubahan Pranata Sosial pada Konversi Tanaman Komoditi 11
Dampak Perubahan Pranata Sosial Pertanian Bagi Kesejahteraan Petani 12
Kerangka Pemikiran 14
Hipotesis Penelitian 16
Definisi Konseptual 16
Definisi Operasional 16
METODE PENELITIAN 21
Desain Penelitian 21
Lokasi dan Waktu Penelitian 21
Teknik Pengambilan Informan dan Responden 22
Teknik Pengumpulan Data 23
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 23
DESA KUMPAY: DAHULU DAN SEKARANG 24
vi
Kondisi Desa Kumpay Sebelum Terjadinya Peristiwa Pembabatan 25
Kondisi Desa Kumpay Setalah Terjadinya Peristiwa Pembabatan 26
Arti Penting Lahan Garapan dan Usaha Tani Nanas Madu Bagi Masyarakat 27
DINAMIKA SENGKETA LAHAN: SEJARAH KEPEMILIKAN DAN
PENGUASAAN LAHAN HINGGA KONVERSI TANAMAN KOMODITI 29
Sejarah Panjang Kepemilikan, Penguasaan, dan Garapan Lahan Eks-HGU
PT. Nagasawit 29
Program Kelapa Sawit Masuk Jawa: Kebijakan Sepihak PT. Nagasawit 32
Aksi-Reaksi Petani Penggarap 32
DUA SISI PRANATA SOSIAL PERTANIAN DESA KUMPAY:
PRANATA NANAS DAN PRANATA KELAPA SAWIT 37
Pranata Sosial Pertanian Komoditi Nanas: Pranata yang Merangkul Banyak
Pihak 37
Pranata Sosial Pertanian Komoditi Sawit: Pranata yang „Menyingkirkan‟
Banyak Pihak 38
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN TERHADAP
KESEJAHTERAAN PETANI 41
Perubahan Hubungan Antar Warga: Konsekuensi yang Terbentuk Akibat
Perubahan Pranata Sosial Pertanian dan Sistem Mata Pencaharian 41
Perubahan Sistem Mata Pencaharian: Perubahan Langsung Akibat
Perubahan Pranata Sosial Pertanian 43
Perubahan Kesempatan Kerja Pertanian dan Non-Pertanian 43
Pola Pekerjaan Sebelum dan Sesudah Konversi Tanaman Komoditi 47
Berubahnya Tingkat Kesejahteraan Akibat Perubahan Pranata Sosial
Pertanian 48
SIMPULAN DAN SARAN 53
Simpulan 53
Saran 54
DAFTAR PUSTAKA 55
LAMPIRAN 57
vii
DAFTAR TABEL
1. Tabel tabulasi silang antara variabel sistem mata pencaharian dengan
tingkat kesejahteraan responden
52
DAFTAR GAMBAR
1. Model NESP (Nested Spheres of Poverty) 7
2. Kerangka pemikiran penelitian 15
3. Proporsi Penduduk Laki-laki dan Perempuan Desa Kumpay 26
4. Tugu nanas Subang 27
5. Surat perjanjian penggarapan lahan antara petani dengan PT. Nagasawit 33
6. Kronologi kasus sengketa lahan eks-HGU PT. Nagasawit 37
7. Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian sebelum konversi tanaman
komoditi
46
8. Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian setelah konversi tanaman
komoditi
47
9. Pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi tanaman
komoditi
49
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa
Barat
58
2. Jadwal kegiatan penelitian 2013 59
3. Kerangka sampel petani penggarap lahan eks-HGU PT. Nagasawit 60
4. Kuesioner penelitian 64
5. Panduan pertanyaan wawancara mendalam responden dan informan 68
6. Hasil perhitungan PASW statistics 18. variabel perubahan sistem mata
pencaharian dengan tingkat kesejahteraan
69
7. Dokumentasi penelitian 72
8. Curahan hati petani penggarap 76
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan memiliki definisi sebagai suatu hamparan yang terdapat di
permukaan bumi secara vertikal yang mencakup berbagai komponen, seperti
udara, tanah, air, batuan, vegetasi, serta berbagai aktivitas manusia pada masa lalu
atau masa kini (Kodoatie dan Syarief 2010). Berdasarkan definisi tersebut, lahan
merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh setiap makhluk hidup
terutama manusia untuk beraktivitas memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak
bentuk pemanfaatan lahan yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup, salah satunya adalah pemanfaatan lahan untuk kegiatan
pertanian. Pertanian yang dimaksud disini adalah pertanian dalam arti luas, seperti
yang dituliskan oleh Krisnamurthi (2006), pertanian adalah kegiatan yang
mencakup pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan
perikanan.
Saat ini Indonesia memiliki jumlah lahan pertanian seluas 70 juta hektar
pada tahun 20111. Lahan pertanian tersebut mencakup lahan untuk pertanian
pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Melihat besarnya
luas lahan pertanian di Indonesia, maka dapat dibayangkan banyak sekali orang
yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Menggantungkan hidup
pada lahan pertanian tidak hanya dilakukan oleh petani, tetapi juga orang yang
tidak disebut sebagai petani, seperti pemberi pinjaman modal, tengkulak, pembeli
hasil pertanian, penyedia saprotan, dan sebagainya. Selain itu, hasil lahan
pertanian pun sangat dibutuhkan oleh banyak orang di belahan dunia manapun
sebagai bahan untuk menunjang kehidupan mereka, yang salah satunya adalah
sebagai bahan makanan. Pernyataan tersebut memberikan sebuah gagasan bahwa
pertanian mengalir di dalam setiap darah manusia, karena tidak ada satupun
manusia di dunia ini yang tidak makan makanan yang berasal dari hasil pertanian.
Sebidang lahan pertanian dapat melibatkan beberapa aktor, diantaranya
petani pemilik, petani pengelola, buruh tani, pihak pemberi modal, pihak penjual
saprotan (sarana produksi pertanian), pihak pembeli hasil pertanian, dan
sebagainya. Hubungan antar aktor-aktor tersebut membentuk sebuah mekanisme
yang tercipta seiring berjalannya waktu. Mekanisme itu dapat dikatakan sebagai
sistem usaha tani. Kata sistem merujuk pada rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pertanian. Di dalam sebuah sistem usaha tani, terdapat aturan-aturan, pola,
nilai, dan tata cara yang mengatur antar aktor bagaimana mereka harus bertingkah
laku atau melakukan perbuatan. Aturan, pola, nilai, dan tata cara tersebut dapat
dikatakan sebagai sebuah pranata sosial atau kelembagaan. Pranata sosial
mengatur bagaimana antar aktor atau pihak yang terkait dalam sistem tersebut
berinteraksi satu dengan lainnya. Tanpa adanya pranata sosial sebuah
ketidakteraturan akan terjadi yang menyebabkan sendi-sendi kehidupan lainnya
akan terganggu.
Lahan pertanian selain memiliki seperengkat pranata juga memiliki beragam
permasalahan yang melanda. Saat ini lahan pertanian diancam oleh maraknya
kasus perampasan tanah yang dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa
1 http://multimedia.deptan.go.id/vidiscript/news/, diunduh pada tanggal 26 Juni 2013 pukul 23.15.
2
memiliki hak atas tanah tersebut. Perampasan tanah atau yang biasa disebut
sebagai land grabbing biasanya terjadi pada tanah yang menjadi kemelut di antara
dua pihak atau lebih. Para pihak perampas tanah melakukan kegiatan perampasan
atas dasar tujuan yang dianggap menguntungkan bagi dirinya. Tujuan perampasan
tanah ini adalah untuk mengonversi lahan-lahan dari suatu fungsi ke fungsi
lainnya. Ada 2 bentuk konversi lahan yang dilakukan oleh perampas lahan.
Pengonversian lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian dapat dikatakan
sebagai konversi lahan yang bersifat permanen. Sedangkan konversi lahan
pertanian menjadi bentuk lahan pertanian lain disebut sebagai konversi yang
sifatnya sementara. Konversi yang bersifat sementara terjadi jika pemilik lahan
atau penggarap lahan pertanian mengganti komoditi yang diusahakan pada lahan
tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, selanjutnya konversi lahan yang
bersifat sementara dapat dikatakan sebagai konversi tanaman komoditi.
Satu hal yang harus kita ketahui mengenai pranata atau kelembagaan adalah
jika terjadi sedikit saja gangguan atau perubahan kecil pada kehidupan yang
mengandung pranata, maka akan mengubah pranata tersebut. Pergantian tanaman
komoditi pada kasus konversi tanaman komoditi dapat menciptakan pranata baru.
Hal tersebut secara otomatis akan terjadi karena pranata baru akan kembali
menciptakan kondisi keseimbangan yang harmonis. Pranata yang berubah ini
dapat berupa pranata pada ketenagakerjaan, peraturan pemilik dan pengelola
lahan, dan lain-lain.
Fungsi pranata adalah mengatur kehidupan manusia dalam setiap kegiatan
sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Ketika pranata mengalami
perubahan, maka akan menimbulkan efek domino pada kehidupan seseorang.
Dikatakan efek domino karena pranata akan mengubah tatanan kehidupan
seseorang yang telah terbentuk sejak ia lahir hingga saat pranata tersebut
mengalami perubahan. Jika perubahan pranata sistem usaha tani ini
menguntungkan, maka perubahan yang terjadi adalah perubahan positif, dan
sebaliknya. Pada seseorang yang terlibat dan menggantungkan hidupnya pada
lahan pertanian, terutama petani, perubahan pranata pertanian dapat mengubah
pola pekerjaan yang dilakukannya, keadaan keluarganya, kondisi sosial dengan
pelaku usaha pertanian, dan sebagainya. Pada akhirnya, perubahan-perubahan
tatanan kehidupan tersebut akan berdampak pada kesejahteraan petani. Terdapat
dua kemungkinan perubahan kesejahteraan akibat berubahnya pranata, yakni
ksejahteraan dapat meningkat atau kesejahteraan menurun.
Latar belakang yang dituliskan sebelumnya terjadi di Desa Kumpay,
Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Di desa ini telah terjadi
konversi tanaman komoditi dari tanaman nanas ke tanaman kelapa sawit.
Pergantian komoditi ini bermula dari adanya klaim PT. Nagasawit2 (bukan nama
sebenarnya) atas lahan yang telah bertahun-tahun diusahakan oleh masyarakat
Kumpay. Kasus perebutan hak atas tanah ini berakhir ketika PT. Nagasawit
membabat habis seluruh kebun nanas milik warga dan menggantinya dengan
kelapa sawit. Pergantian tanaman ini membuat adanya pranata-pranata pertanian
baru yang berlaku yang pada akhirnya membuat hampir seluruh petani nanas
kehilangan mata pencaharian. Pihak-pihak yang tersingkir ini secara perlahan-
lahan mengalami perubahan dalam kehidupannya, salah satunya adalah perubahan
2 Penggunaan nama samaran dilakukan agar pihak tersebut tidak merasa dirugikan atau
dicemarkan nama baiknya.
3
sistem mata pencaharian yang mereka lakukan. Perubahan-perubahan tersebut
berdampak pada perubahan kesejahteraan yang dirasakan oleh para pihak yang
tersingkir. Oleh karena itu, sangat diperlukan penelitian untuk mengetahui
bagaimana perubahan pranata pertanian akibat konversi tanaman komoditi,
bagaimana dampak perubahan pranata pertanian pada kehidupan petani selaku
aktor utama pertanian, dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan yang
mereka rasakan pada saat ini.
Perumusan Masalah
Sebagaimana telah dipaparkan pada latar belakang bahwa pranata sosial
merupakan hal yang ada dalam setiap interaksi kehidupan. Salah satu kegiatan
manusia yang memiliki pranata yang khas adalah kegiatan pertanian. Pranata
dalam kegiatan pertanian dapat berupa aturan tentang sistem kepemilikan lahan,
hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap, hubungan antara petani dengan
lembaga pemberi bantuan modal, penjual saprotan, dan pemerintah, serta
penggunaan tenaga kerja, dan sebagainya.
Perubahan pranata sosial dalam sebuah sistem kehidupan dapat dipengaruhi
dari dalam atau luar sistem yang menjadi tempat pranata tersebut berada. Faktor
perubahan pranata sosial yang berasal dari dalam berupa perubahan dalam
interaksi individu-individu yang terlibat di dalam pranata tersebut. Sedangkan
faktor luar berupa intervensi atau campur tangan pihak luar sistem dimana pranata
berada, misalnya pemerintah, swasta, atau Lembaga Swadaya Masyarakat.
Dengan berubahnya pranata sosial atau kelembagaan, maka akan mengubah aspek
lain dalam kehidupan pelaku pranata, seperti pola pekerjaan, kesempatan kerja,
dan hubungan antar masyarakat. Perubahan tatanan kehidupan tersebut pada
akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Terdapat dua kemungkinan
perubahan kesejahteraan yang diakibatkan oleh berubahnya pranata sosial, yaitu
kesejahteraan dapat meningkat atau kesejahteraan dapat menurun.
Berdasarkan pemaparan di atas, diperlukan sebuah pengkajian lebih
mendalam mengenai dampak perubahan pranata sosial pada sistem pertanian yang
diakibatkan oleh perubahan jenis tanaman yang diusahakan bagi kesejahteraan
petani. Untuk mengetahui permasalahan umum tersebut dirumuskan sejumlah
pertanyaan permasalahan yang lebih spesifik, yaitu:
1. Bagaimana masuknya komoditi baru mengubah bentuk-bentuk pranata sosial
pertanian di masyarakat?
2. Bagaimana dampak pranata pertanian baru terhadap kehidupan petani
penggarap yang berupa pola pekerjaan, kesempatan bekerja, dan hubungan
antar warga?
3. Bagaimana dampak perubahan pranata sosial bagi kesejahteraan petani?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan umum yang telah
dipaparkan di atas, yaitu mengkaji dampak perubahan pranata sosial pertanian
4
yang diakibatkan perubahan tanaman komoditi bagi kesejahteraan petani.
Kemudian, tujuan lainnya adalah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Menganalisis bentuk-bentuk pranata sosial sistem usaha tani yang mengalami
perubahan pada konversi tanaman komoditi.
2. Menganalisis perubahan pada pola pekerjaan, kesempatan bekerja, dan
hubungan antar warga akibat pranata pertanian baru.
3. Menganalisis dampak perubahan pranata sosial bagi kesejahteraan petani.
Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini dapat ditujukan kepada 3 pihak, antara lain:
1. Akademisi. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi dan
kajian untuk penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat
menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria dan pranata sosial.
2. Pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan
mengenai peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari
permasalahan konversi tanaman komoditi sehingga tercipta keadilan sosial bagi
seluruh pihak yang terkait.
3. Masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan masyarakat mengenai dampak konversi tanaman komoditi bagi
pranata sosial dan kesejahteraan. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini
dapat digunakan masyarakat Kumpay sebagai tambahan bukti dalam
memperjuangkan hak-hak mereka.
TINJAUAN PUSTAKA
Pranata Sosial Sistem Usaha Tani
Pertanian merupakan sektor kegiatan manusia terbesar di Indonesia. Hal
tersebut tidak mengherankan karena Indonesia mendapatkan julukan negara
agraris akibat besarnya kegiatan yang bergerak di bidang pertanian. Dengan luas
lahan pertanian yang besar, dapat dibayangkan bahwa banyak sekali individu-
individu yang terkait dengan sektor pertanian dan menggantungkan hidupnya
pada sektor ini.
Sektor pertanian merupakan sebuah sektor yang terdiri dari tiga bagian yang
saling terintegrasi, yaitu bagian hilir, tengah, dan hulu. Setiap bagian tersebut
memiliki aktor-aktor yang berperan dalam menjalankan bagian tersebut. Ketiga
bagian tersebut harus berjalan secara sinkron layaknya sebuah sistem agar terjadi
keseimbangan. Salah satu aktor penting yang berada pada bagian hulu dan sangat
berperan di dalam sektor pertanian adalah petani.
AGRA (2010) menyebutkan dalam tulisannya bahwa kaum tani adalah
orang-orang yang bergantung pada pengolahan tanah dalam kehidupannya yang
berasal dari bercocok tanam, perkebunan, perladangan menetap atau berpindah,
memungut hasil hutan, meramu, serta berburu. Lebih lanjut AGRA
menyimpulkan bahwa yang termasuk kaum tani menurut pengertian di atas adalah
kaum tani (peasantry) atau yang biasa disebut sebagai petani tak bertanah atau
petani yang memiliki lahan sempit (petani gurem), masyarakat adat atau
masyarakat minoritas, dan nelayan. Hampir sama dengan AGRA, Wolf dalam
Landsberger dan Alexandrov (1981) mendefinisikan petani sebagai “penduduk
yang secara eksistensial terlibat dalam cocok-tanam dan membuat keputusan yang
otonom tentang proses cocok tanam”.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pertanian merupakan sebuah
sektor kegiatan manusia. Pernyataan tersebut dapat berarti semua kegiatan
manusia yang berada dalam bidang pertanian dapat dikatakan sebagai usaha tani.
Usaha tani memiliki pengertian sebagai sistem yang kompleks yang terdiri atas
tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain, serta pengaruh
lingkungan yang pengelolaannya dilakukan oleh seseorang yang disebut petani
sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya (CGIAR dalam Reijntjes et al. 1992).
Usaha tani adalah sebuah kegiatan yang selalu terkait dengan budaya dan
sejarah (Reijntjes et al. 1992). Seiring dengan berjalannya waktu, akan tercipta
sebuah bentuk kebudayaan baru meliputi nilai-nilai, norma, dan aturan yang
terkait dengan usaha tani tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Reintjes et
al. (1992) yang menyatakan bahwa pertanian merupakan hasil interaksi antar
manusia dengan sumber daya alam setempat dimana nilai-nilai, pengetahuan,
keterampilan, teknologi, dan institusi yang dimiliki oleh masyarakat setempat
mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah ada dan terus berkembang.
Dalam sebuah usaha tani, tentunya terdapat mekanisme yang mengatur
bagaimana usaha tani berjalan. Mekanisme yang mengatur tersebut selanjutnya
dapat dikatakan sistem usaha tani. Menurut Sutanto (2002), “sistem usaha tani
berhubungan dengan aktivitas produksi tanaman dengan spektrum yang luas”.
Sedangkan, Shaner et al. dalam Reijntjes et al. (1992) menyatakan sistem usaha
6
tani merupakan susunan khusus dari kegiatan usaha tani yang dikelola
berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, sosioekonomi, yang sesuai
dengan tujuan, kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki petani. Pertanian
yang dimaksudkan bukan hanya pertanian padi, tetapi juga perkebunan,
perikanan, peternakan, perladangan, dan lain-lain yang termasuk ke dalam lingkup
kegiatan pertanian. Di dalam sebuah sistem usaha tani, terdapat aturan-aturan,
pola, nilai, dan tata cara yang mengatur antar aktor terkait bagaimana mereka
harus bertingkah laku atau melakukan perbuatan. Aturan, pola, nilai, dan tata cara
tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah pranata atau kelembagaan. Pranata sosial
mengatur bagaimana antar aktor atau pihak yang terkait dalam sistem tersebut
berinteraksi satu dengan lainnya. Tanpa adanya pranata sebuah ketidakteraturan
akan terjadi yang menyebabkan sendi-sendi kehidupan lainnya akan terganggu.
Pranata atau kelembagaan memiliki pengertian sebagai kompleks atau
sistem peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai penting (Polak
dalam Basrowi 2005). Sedangkan, kelembagaan atau pranata menurut
Koentjaraningrat dalam Rahardjo (2004) berarti sistem tata kelakuan dan
hubungan yang bepusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks
kebutuhan khusus pada kehidupan masyarakat. Berdasarkan dua pengertian di
atas, maka kelembagaan dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang
berlaku di masyarakat yang berfungsi mengatur tata kelakukan dan hubungan
dalam masyarakat. Kelembagaan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu lembaga kemasyarakatan sebagai peraturan dan kelembagaan masyarakat
yang sungguh-sungguh berlaku (Soekanto dalam Basrowi 2005). Kelembagaan
masyarakat sebagai peraturan terjadi ketika norma tersebut mengatasi dan
mengatur perilaku masyarakat. Sedangkan, maksud dari lembaga masyarakat yang
sungguh-sungguh berlaku adalah jika norma tersebut sepenuhnya membantu
pelaksanaan dalam pola kemasyarakatan.
Pranata dalam sistem usaha tani yang dapat diidentifikasi, antara lain: 1)
bagaimana sistem kepemilikan atas suatu lahan; 2) bagaimana hubungan antar
aktor di dalam sebuah lahan, seperti hubungan antara pemilik lahan dengan
penggarap; 3) bagaimana sistem pembayaran yang diterima pemilik lahan dan
penggarap; 4) bagaimana tahapan usaha tani tersebut beserta aturannya mulai dari
penanaman hingga pasca panen; 5) bagaimana penggunaan tenaga kerja serta
aturannya yang mencakup jam kerja dan pembayaran pada setiap tahapan usaha
tani tersebut. Setiap bentuk pranata sosial tersebut terbentuk akibat adanya
kesepakatan bersama atau terbentuk secara alami melalui proses panjang
perjalanan waktu tergantung pada kondisi lingkungan fisik, sosial, dan budaya di
daerah pranata tersebut berada.
Gambaran Umum Kesejahteraan Petani
Konsep Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah konsep yang sampai saat ini memiliki banyak
perbedaan definisi. Konsep kesejahteraan dapat dilihat dari berbagai dimensi,
seperti ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Inti dari konsep kesejahteraan
adalah kondisi terpenuhinya setiap aspek hidup manusia entah itu moril atau
materiil. Dalam pasal 1 yang tercantum dalam Undang-Undang Republik
7
Indonesia Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Untuk mengukur seberapa tinggi tingkat kesejahteraan suatu individu,
diperlukan berbagai indikator dari berbagai dimensi. Sama seperti definisi dari
konsep kesejahteraan, sebuah indikator yang menyatakan apakah individu
sejahtera atau tidak, juga memiliki berbagai versi dari banyak ahli. Badan Pusat
Statistik (BPS) menyatakan untuk mengetahui kesejahteraan seseorang, maka ada
6 hal yang dapat mengindikasikan, antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi,
pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan
lingkungan, serta sosial dan budaya (BPS 2006).
Berbeda dengan BPS, CIFOR (2007) menyatakan ada sebuah model yang
menjelaskan mengenai bagaimana melihat konsep kesejahteraan. NESP (Nested
Spheres of Poverty) menjelaskan bahwa kesejahteraan dipengaruhi oleh berbagai
lingkungan beserta aspek kehidupan yang ada di dalamnya. Dalam gambar di
bawah ini dijelaskan, lingkaran inti yang berada di tengah dinamakan sebagai
kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan ini merupakan kesejahteraan yang sifatnya
sangat individu dan emosional. Dikatakan seperti itu karena kesejahteraan ini
tidak memiliki nilai standar yang konstan. Kesejahteraan ini berubah-ubah sesuai
dengan suasana hati dan lingkungan individu tersebut. Dengan kata lain,
kesejahteraan ini secara garis besar dipengaruhi oleh kesehatan, kekayaan materi,
dan pengetahuan. Lingkungan konteks yang meliputi lingkungan alam, ekonomi,
sosial, dan politik secara langsung mempengaruhi kesehatan, kekayaan materi,
dan pengetahuan yang akhirnya secara tidak langsung mempengaruhi
kesejahteraan subjektif. Sedangkan, lingkungan konteks dipengaruhi oleh
prasarana dan layanan. Penjelasan di atas, dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Model NESP (Nested Spheres of Poverty)
Sumber: CIFOR (2007)
8
Kondisi Kesejahteraan Petani
Petani berdasarkan besaran skala usahanya dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu petani yang berusaha tani skala kecil dan petani yang berusaha tani
skala besar. Petani skala besar ini biasanya memiliki lahan besar yang didukung
dengan sarana produksi yang modern, tenaga kerja yang banyak, dan berorientasi
profit. Petani yang memiliki usaha tani kecil memiliki ciri-ciri berusaha tani di
lingkungan yang tekanan penduduk lokalnya mengalami peningkatan, memiliki
sumber daya yang terbatas, produksi subsisten, dan kurang mendapatkan
pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya (Soekartawi et al 1989).
Sedangkan, menurut BPLPP yang dikutip oleh Soekartawi et al (1989),
menyatakan petani kecil adalah petani yang berpendapatan rendah (kurang dari
240 kg beras/kapita/tahun), memiliki lahan sempit (0.25 hektar di Jawa dan 0.5
hektar di luar jawa), kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas, dan
memiliki pengetahuan yang terbatas dan kurag dinamis.
Melihat perbedaan kedua jenis petani di atas, terlihat bahwa petani kecil
identik dengan kemiskinan dan kesengsaraan. Dibandingkan dengan petani besar,
petani kecil-lah yang biasanya identik dengan tingkat kesejahteraan yang rendah.
Hal tersebut seperti yang dituliskan oleh Nasution (2005).
”Kesejahteraan rakyat yang bekerja di sektor pertanian kini sungguh
memprihatinkan, terutama mereka yang posisinya sebagai buruh tani
dan petani berlahan sempit (petani gurem dan petani dengan lahan
kurang dari satu hektar). Petani berlahan sempit dan buruh tani adalah
kelompok yang paling mempresentasikan kondisi ekonomi petani
seluruhnya, sebab sebagian besar petani-petani Indonesia berasal dari
kelompok ini.”
Menurut data Biro Pusat Statistik 2003 dalam Nasution (2005), buruh tani
merupakan profesi yang pendapatannya paling rendah jika dibandingkan dengan
profesi yang ada di sektor pertanian lainnya. Bahkan pendapatan rata-rata buruh
tani dan petani yang memiliki lahan sempit setiap tahunnya mengalami
penurunan. Lebih lanjut, Nasution (2005) berpendapat bahwa masalah
kesejahteraan petani tidak hanya berhubungan dengan luas lahan yang
dimilikinya, namun juga bisa berhubungan dengan persoalan lain yang memiliki
pengaruh besar terhadap pendapatan petani. Kesejahteraan tidak hanya selalu
berkaitan dengan pendapatan tetapi juga dapat berkaitan dengan rasa aman.
Kesejahteraan adalah hal yang berupa aspek yang menangani kebutuhan fisik dan
batin serta menciptakan rasa nyaman, puas, adil, dan bahagia.3
Konversi Tanaman Komoditi
Konsep Konversi Tanaman Komoditi
Konversi lahan adalah berubahnya penggunaan suatu lahan ke penggunaan
lainnya (Ruswandi 2005). Dengan kata lain dapat dikatakan konversi lahan adalah
berubahnya alih fungsi suatu lahan. Seiring dengan dinamika kehidupan
3 Perkataan Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA. ketika bimbingan Studi Pustaka tanggal 14
Desember 2012
9
masyarakat, seperti adanya kebijakan, jumlah penduduk, mobilitas penduduk, dan
sebagainya, maka alih fungsi lahan dapat dikatakan sebagai hal yang biasa atau
wajar bila terjadi. Alih fungsi lahan akan menjadi masalah apabila tindakan alih
fungsi lahan berdampak negatif bagi lingkungan sekitar lahan tersebut (Utomo
1992).
Utomo (1992) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan dapat bersifat
permanen dan sementara. Alih fungsi lahan permanen terjadi ketika lahan
pertanian seperti sawah dimanfaatkan untuk sektor non-pertanian, seperti
perumahan atau industri. Sedangkan alih fungsi lahan yang sifatnya sementara
misalnya lahan pertanian sawah yang diubah menjadi perkebunan. Tidak jauh
berbeda dengan Utomo, Harini dalam Hamdan (2012) membedakan perubahan
penggunaan lahan menjadi empat, yaitu perubahan dari suatu jenis pertanian ke
pertanian lainnya, perubahan dari lahan pertanian ke non-pertanian, perubahan
dari penggunaan non-pertanian menjadi lahan pertanian, dan perubahan non-
pertanian ke bentuk non-pertanian lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa konversi tanaman komoditi memiliki definisi sebagai
berubahnya suatu jenis komoditi pada suatu lahan ke komoditi lainnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Tanaman Komoditi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi dari kata faktor adalah
hal, keadaan, atau peristiwa yang menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya
sesuatu. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi tanaman komoditi adalah setiap hal, keadaan, atau
peristiwa yang menyebabkan terjadinya konversi tanaman komoditi. Banyak
tulisan yang membahas mengenai apa saja faktor yang menyebabkan konversi
tanaman komoditi yang terjadi di wilayah Indonesia. Setiap tulisan tersebut
memiliki perbedaan dalam menunjukkan faktor penyebab suatu alih fungsi lahan.
Perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan wilayah penelitian yang
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Artinya, faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya konversi tanaman komoditi tergantung pada kondisi
sosial, geografi, fisik daerah tempat terjadinya peristiwa konversi lahan. Faktor-
faktor tersebut ada yang semakin menguatkan motivasi petani untuk mengambil
keputusan alih fungsi lahan sehingga meningkatkan laju alih fungsi lahan, namun
ada yang menurunkan laju alih fungsi lahan.
Astuti et al. (2011) dalam penelitiannya menemukan ada 14 faktor yang
menyebabkan petani melakukan alih fungsi komoditi di lahannya menjadi
tanaman kelapa sawit. Keempat belas faktor tersebut mereka bagi ke dalam tiga
aspek, yaitu aspek ekonomis, aspek lingkungan, dan aspek teknis. Aspek
ekonomis memiliki 5 faktor penyebab, antara lain harga jual tanaman pangan
yang rendah khususnya pada saat panen, panen sawit dilakukan kontinyu setiap 2
minggu, keuntungan berkebun sawit lebih tinggi, harga sawit lebih terjamin atau
stabil, dan biaya pemeliharaan tanaman sawit lebih rendah. Aspek lingkungan
memiliki 5 faktor penyebab, yaitu kecocokan lahan untuk kebun sawit, ancaman
hama dan penyakit pada tanaman pangan, kondisi irigasi tidak mendukung, posisi
tawar petani sawit lebih tinggi, dan tenaga kerja kebun sawit lebih sedikit.
Sedangkan, aspek teknis terdiri atas 4 faktor penyebab, antara lain tanaman sawit
berumur panjang, proses pasca panen tanaman pangan lebih sulit, teknik budidaya
sawit lebih mudah, dan kesulitan pengadaan pupuk untuk tanaman pangan.
10
Sedangkan dalam penelitiannya di wilayah Bandung Utara pada tahun 2007,
Ruswandi et al. (2007) menemukan sedikitnya 5 faktor yang berpengaruh nyata
dengan laju konversi lahan yang terjadi di wilayah tersebut. Kelima faktor
tersebut merupakan faktor yang dapat menurunkan laju konversi lahan maupun
meningkatkan laju konversi lahan. Kelima faktor tersebut adalah kepadatan petani
pemilik pada tahun 1992, kepadatan petani penggarap atau buruh pada tahun
1992, jumlah masyarakat miskin, luas lahan guntai4, serta jarak lahan dengan kota
atau kecamatan.
Selanjutnya, Sihaloho et al. (2007) menemukan bahwa terdapat 5 faktor
yang menyebabkan terjadinya konversi pada lahan pertanian, antara lain
meningkatnya jumlah penduduk, keterdesakan ekonomi yang dialami warga,
investasi dari pihak swasta, adanya intervensi dari pemerintah mengenai kebijakan
agraria, serta faktor luar dimana yang dimaksud dengan faktor ini adalah warga
yang “ikut-ikutan” untuk menjual tanahnya.
Berbeda dengan Sihaloho, Hamdan (2012) membagi faktor penyebab
konversi tanaman padi ke kelapa sawit ke dalam dua faktor, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari kondisi
keluarga petani dan usaha tani sawah. Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah
luas sawah yang dimiliki, pengalaman dalam usaha tani padi, dan tingkat
ketersediaan tenaga kerja. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari kondisi
dari luar yang mempengaruhi pengelolan lahan sawah. Yang termasuk ke dalam
faktor ini adalah permasalahan pada irigasi, sarana produksi pupuk, tingkat resiko
usaha tani padi, pengetahuan petani mengenai peraturan konversi lahan pangan,
dan harga tandan buah segar kelapa sawit. Selanjutnya, Hamdan mengkategorikan
faktor-faktor tersebut ke dalam dua faktor, yaitu faktor pendorong (pull factor)
dan faktor penarik (push factor). Menurutnya, faktor pendorong biasanya
memiliki konotasi negatif karena hal tersebut menunjukkan adanya kekurangan
pada sektor pertanian dan wilayah pedesaan. Sedangkan faktor penarik biasanya
memiliki arti yang positif karena hal tersebut menujukkan bahwa tanaman
perkebunan lebih menguntungkan daripada tanaman pangan. Harga tandan buah
segar (TBS) sawit menjadi satu-satunya faktor pendorong yang berpengaruh nyata
terhadap konversi tanaman komoditi di wilayah tersebut. Sedangkan, masalah
pada sarana irigasi, tingkat kegagalan usaha tani, ketersediaan tenaga kerja,
ketersediaan pupuk, jumlah pengalaman petani dalam berusaha tani sawah, serta
pengetahuan mengenai peraturan konversi lahan pangan menjadi faktor penarik
bagi petani.
Konversi lahan pada umumnya banyak terjadi di lahan sawah. Kondisi
tersebut dapat dijelaskan oleh empat alasan berikut. Pertama, wilayah
agroekosistem yang didominasi oleh sawah lebih padat penduduknya jika
dibandingkan dengan agroekosistem lahan kering, sehingga permintaan untuk
tanah menjadi tinggi karena tekanan penduduk. Kedua, banyak di antara daerah
persawahan yang lokasinya dekat dengan kota. Ketiga, daerah persawahan lebih
baik dari segi infrastrukturnya dibandingkan lahan kering. Keempat,
pembangunan pemukiman dan industri membutuhkan wilayah yang bertopografi
agar berlangsung dengan cepat. Namun, di wilayah yang bertopografi datar seperti
Pulau Jawa, sebagian besar lahannya adalah lahan sawah.
4 Lahan guntai adalah lahan yang dimiliki oleh orang yang bukan bertempat tinggal di desa tempat
lahan tersebut berada.
11
Selain berbagai faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu
penyebab konversi tanaman komoditi yang saat ini marak terjadi adalah land
grabbing atau perampasan lahan. Land grabbing adalah kegiatan pengambilalihan
hak dan akses atas suatu lahan oleh pihak yang memiliki „kekuatan‟ yang lebih
besar dari pihak-pihak yang dianggap „lemah‟. Praktek land grabbing yang saat
ini sedang marak terjadi biasanya dilakukan oleh pihak perkebunan besar, entah
itu negeri atau swasta. Perusahaan tersebut melakukan pengambilalihan lahan
dengan tujuan untuk mengganti komoditi yang ada dengan komoditi perdagangan
internasional, seperti kelapa sawit, coklat, kopi, teh, dan sebagainya. Hal tersebut
seperti yang diungkapkan oleh AGRA (2012), permasalah land grabbing atau
perampasan tanah yang dilakukan kaum pemilik modal banyak telah membuat
petani harus menyerahkan lahan yang dimilikinya atau mengganti komoditi yang
diusahakannya. Akibatnya petani menjadi buruh sendiri di lahan pertanian
mereka.
Perubahan Pranata Sosial pada Konversi Tanaman Komoditi
Seiring dengan perubahan waktu, kelembagaan dapat berubah. Sifat
kelembagaan yang dinamis dan rentan akan perubahan ini disebabkan karena nilai
dan budaya dalam masyarakat yang berubah (Yustika 2006). Yustika (2006)
menjelaskan bahwa perubahan kelembagaan dapat diartikan sebagai terjadinya
sebuah kondisi dimana berubahnya prinsip regulasi, organisasi, perilaku, dan
pola-pola interaksi. Perubahan kelembagaan merupakan sebuah proses yang
berlangsung secara terus-menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas
interaksi antar pihak yang terkait, dimana berubahnya kelembagaan mendorong
perubahan mengenai kondisi-kondisi awal yang kemudian dibuatlah penyesuaian
yang baru, sehingga terciptalah keadaan baru yang memiliki keseimbangan
dinamis (Yustika 2006). Proses perubahan kelembagaan ada yang terjadi secara
bertahap, namun ada pula yang berlangsung secara cepat tergantung dari respon
individu atas kondisi perubahan yang dialaminya (Yustika 2006). Terdapat empat
sumber yang dapat diidentifikasi yang menyebabkan terjadinya berubahnya suatu
pranata, antara lain rekaya sosial, kelangkaan (dapat berupa kelangkaan sumber
daya atau aturan main), oportunisme, dan perubahan kebijakan (Yustika 2006).
Setiap sistem usaha tani memiliki aturan main, tata kelola, pranata atau
kelembaagaan yang mengaturnya. Pranata tersebut berbeda-beda tergantung
wilayah, keadaan masyarakatnya, dan jenis komoditi yang diusahakan. Ketika
suatu komoditi yang diusahakan di suatu lahan mengalami perubahan ke komoditi
lain, hal tersebut tentu saja membuat pranata sosial atau kelembagaan yang telah
ada sejak lama berubah. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan pada sistem
kepemilikan lahan, sistem pola tanam, sistem hubungan pemilik dan buruh, sistem
bagi hasil, atau sistem penggunaan tenaga. Perubahan-perubahan pada
kelembagaan sistem usaha tani akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Pada proyek perkebunan tebu di KPH Tangen terdapat sistem bagi hasil yang
ditetapkan di antara pihak-pihak yang terlibat. Ketika petani tersebut tidak
mengikuti proyek perkebunan tebu, mereka memperoleh pendapatan langsung
dari hasil usaha taninya yang dijual kepada pedagang tanpa harus berbagi
dengan pihak lain. Setelah mereka menanam tebu, pendapatan yang diterima
12
mereka adalah 65% dari rendemen tebu yang dihasilkan oleh mereka (Wiyono
2002).
2. Penelitian Hamdan (2012) mengungkapkan bahwa adanya perbedaan pada pola
tanam, curahan tenaga kerja yang digunakan, sistem bagi hasil perbandingan
tenaga kerja laki-laki dan perempuan, penggunaan faktor produksi, dan
penerimaan yang didapat petani ketika mereka berusaha tani padi ke usaha tani
kelapa sawit. Sebagai contoh, usaha tani padi lebih banyak menggunakan
tenaga kerja baik itu dari tenaga kerja dari keluarga maupun tenaga kerja dari
luar, sedangkan pada usaha tani kelapa sawit penggunaan tenaga kerja lebih
sedikit dan lebih menggunakan tenaga kerja yang berasal dari keluarga saja.
Contoh lainnya, pada tanaman padi masih digunakan sistem bagi hasil,
sedangkan usaha tani kelapa sawit pembayaran dilakukan dengan sistem upah.
3. Dassir (2010) menemukan bahwa terdapat perubahan pola hubungan antara
pemilik lahan dengan pengelola lahan atau buruh tani pada petani yang
mengusahakan monokultur kemiri dengan petani yang mengkonversi kemiri
menjadi coklat.
4. Perubahan kelembagaan pada usaha tani padi ke coklat juga terjadi di
Komunitas Bolapapu, Sulawesi Tengah. Jika pada usaha tani pengambilan
keputusan dan pengerjaan tugas banyak dilakukan oleh kaum wanita, kecuali
pekerjaan yang memang membutuhkan tenaga laki-laki, seperti
menyemprotkan pestisida pada tanaman. Jauh berbeda dengan usaha tani
coklat, semua keputusan dibuat oleh laki-laki, wanita pada usaha tani coklat
sedikit sekali peranannya (Savitri 2007).
Dampak Perubahan Pranata Sosial Pertanian Bagi Kesejahteraan Petani
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peralihan suatu jenis komoditi
sudah pasti terdapat pranata yang berubah. Berubahnya pranata kelembagaan pada
sistem usaha tani tentu saja akan berdampak bagi pihak-pihak yang terkait di
dalamnya. Petani adalah pihak yang langsung terkena dampak dari perubahan
pranata kelembagaan akibat beralihnya jenis komoditi yang diusahakannya.
Dampak dapat mempengaruhi berbagai hal, yang salah satunya adalah
kesejahteraan petani.
Perubahan pranata kelembagaan pada konversi tanaman komoditi dapat
menyebabkan dua kemungkinan bagi kesejahteraan petani. Perubahan pranata
kelembagaan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan petani atau menurunkan
kesejahteraan petani. Berikut ini dipaparkan beberapa kasus konversi tanaman
komoditi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani.
1. Penelitian di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, dan Kabupaten Pelalawan,
Provinsi Riau menemukan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit
dapat memperluas kesempatan bekerja dan menambah lapangan pekerjaan
sehingga masyarakat dapat menambah pemasukan pendapatannya.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa komoditi kelapa sawit memiliki
tingkat pendapatan per tahun tertinggi dibandingkan komoditi palawija dan
karet. Pada tahun 2005, tingkat pendapatan rata-rata petani kelapa sawit per
tahun sebesar 18 juta rupiah, sedangkan petani karet sebesar Rp11 856
13
000/tahun, dan petani palawija sebesar Rp4 320 000/tahun (Syahza dan
Khaswarina 2007).
2. Di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu,
komoditi kelapa sawit lebih menjanjikan secara ekonomis dibandingkan
komoditi padi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan nilai land rent tanaman
kelapa sawit yang lebih besar daripada padi. Perbedaan nilai land rent ini
didapatkan dari penghitungan pada penggunaan input produksi, curahan tenaga
kerja, dan pemasukan. Perbedaan nilai land rent ini menunjukkan bahwa antara
usaha tani padi dan kelapa sawit terdapat perbedaan kelembagaan yang
berlaku, seperti pola tanam, proporsi tenaga kerja laki-laki dan perempuan, dan
sistem bagi hasil. (Hamdan 2012).
3. Penelitian Muh. Dassir (2010) di wilayah Camba, Kabupaten Maros, Provinsi
Sulawesi Selatan menemukan bahwa penduduk di kedua desa penelitian yang
saat ini tidak lagi menerapkan sistem pola wanatani kemiri monokultur.
Mereka mengonversi sistem pola tani monokultur kemiri dengan pola tani
coklat dan kemiri karena pendapatan yang diterima petani yang menerapkan
pola tani coklat kemiri lebih besar daripada yang masih menerapkan
monokulutur kemiri. Pendapatan yang diterima petani yang menerapkan pola
coklat-kemiri mencapai 20 kali lipat dari petani yang menerapkan pola
monokultur kemiri.
Untuk kasus konversi tanaman komoditi yang menurunkan kesejahteraan
petani akan dipaparkan berikut ini.
1. Berdasarkan penelitian tentang konversi lahan yang terjadi di wilayah Bandung
Utara diketahui bahwa konversi lahan berpengaruh nyata terhadap penurunan
kesejahteraan petani. Semakin luas lahan petani yang terkonversi, maka akan
semakin tinggi peluang penurunan kesejahteraan petani. Jika sebanyak 1% dari
lahan petani dikonversi, maka akan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan
sebesar 1 077 kali jika dibandingkan tidak melakukan konversi. Konversi lahan
pada awalnya memang meningkatkan kesejahteraan petani, namun untuk
beberapa lama kemudian kesejahteraan petani akan menurun. Uang hasil
penjualan lahan telah habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
petani (Ruswandi et al. 2007).
2. Berdasarkan data, selama periode 2004 sampai 2010, perampasan tanah di
sektor perkebunan menyengsarakan lebih dari 11.4 juta kaum tani. Sedangkan,
perampasan sektor pertanian membuat 175 000 jiwa kaum tani menderita dan
tersingkir dari tanah pertaniannya (AGRA 2012).
3. Kesejahteraan petani yang melaksanakan program pemerintah Kabupaten
Sragen untuk menanami lahan mereka dengan tebu menurun. Menurunnya
kesejahteraan petani diakibatkan sistem bagi hasil yang dibuat oleh pihak-
pihak yang terkait dalam program tersebut tidak menguntungkan petani
(Wiyono 2002).
Berdasarkan contoh kasus-kasus di atas, terlihat bahwa perubahan
kelembagaan pada sistem usaha tani tidak selalu meningkatkan kesejahteraan
petani. Peningkatan kesejahteraan petani disebabkan perubahan kelembagaan
tersebut menguntungkan petani. Sedangkan penurunan kesejahteraan petani
disebabkan karena kelembagaan yang berubah tersebut tidak terlalu berpihak pada
petani. Misalnya saja pada komoditi A tenaga kerja perempuan masih digunakan.
Namun, pada komoditi B tenaga kerja perempuan tidak lagi digunakan. Hal
14
tersebut tentu saja dapat mengurangi pendapatan rumah tangga seorang petani
karena istrinya tidak lagi bekerja sebagai tenaga kerja di sektor pertanian.
Kerangka Pemikiran
Masalah land grabbing (perampasan lahan) mulai marak terjadi pada lahan-
lahan pertanian di Indonesia. Masalah perampasan lahan ini biasanya berujung
pada pengambilalihan lahan oleh pihak yang memiliki „kekuatan‟ yang lebih
besar, misalnya perusahaan perkebunan. Tujuan perusahaan perkebunan
melakukan pengambilalihan lahan adalah mengonversi lahan pertanian yang ada
menjadi bentukan lahan pertanian lainnya, dengan kata lain mengganti komoditi.
Perubahan komoditi atau yang dapat dikatakan konversi tanaman komoditi, telah
menyebabkan perubahan pranata sosial pertanian yang telah ada. Pranata sosial
yang teridentifikasi mengalami perubahan adalah penguasaan lahan, penggunaan
tenaga kerja, dan sisten panen. Perubahan pranata pertanian ini tentu saja harus
diadaptasi oleh petani yang terkait pada lahan tersebut.
Perubahan pranata sosial pertanian menyebabkan perubahan pada kehidupan
petani yang pada ujungnya akan menyebabkan perubahan pada tingkat
kesejahteraan. Perubahan tersebut berupa perubahan pada sistem mata
pencaharian yang terdiri dari pola pekerjaan dan kesempatan bekerja, serta
perubahan hubungan antar warga. Perubahan sistem mata pencaharian
menyebabkan secara langsung perubahan tingkat kesejahteraan, secara moril dan
materiil. Selain itu, perubahan sistem mata pencaharian juga memiliki andil dalam
perubahan hubungan antar warga. Hubungan yang terjadi adalah hubungan satu
arah yang dijelaskan secara kualitatif. Perubahan hubungan antar warga juga
menyebabkan perubahan tingkat kesejahteraan, namun kesejahteraan yang
dirasakan warga adalah kesejahteraan moril.
Secara garis besar, kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 2.
15
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
Keterangan
: Menyebabkan
: Hubungan 1 arah, secara
kualitatif
: Dijelaskan secara deskriptif
: Hubungan kuantitatif
: Hubungan kualitatif
Perubahan Hubungan
Sosial
Hubungan antar
warga
Perubahan Tingkat
Kesejahteraan
Kesejahteraan Moril
Konversi Tanaman Komoditi
(Komoditi Nanas ke Kelapa Sawit)
Pengambilalihan Lahan
n
Perubahan Pranata
Sosial Pertanian
Nanas dan Kelapa
Sawit
1. Penguasaan lahan
2. Penggunaan
tenaga kerja
3. Sistem panen
Perubahan Tingkat
Kesejahteraan
1. Kesejahteraan
Moril
2. Kesejahteraan
Materiil
Perubahan Sistem
Mata Pencaharian
1. Perubahan
kesempatan kerja
2. Perubahan pola
pekerjaan
16
Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini terbagi menjadi dua berdasarkan jenis metode
penelitiannya, yaitu hipotesis untuk metode kualitatif dan hipotesis untuk metode
kuantitatif. Adapun hipotesis untuk metode kualitatif adalah:
1. Konversi tanaman komoditi menyebabkan perubahan pranata sosial pertanian.
2. Perubahan pranata sosial pertanian dan perubahan sistem mata pencaharian
menyebabkan perubahan pada hubungan antar warga.
3. Perubahan hubungan antar warga menyebabkan perubahan tingkat
kesejahteraan secara moril.
Sedangkan hipotesis untuk metode kuantitatif adalah ada hubungan positif
antara perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan.
Definisi Konseptual
1. Pengambilalihan lahan adalah berubahnya kepemilikan atau kepenguasaan atas
suatu lahan dari pihak satu ke pihak lainnya yang dilakukan secara paksa.
2. Konversi tanaman komoditi adalah perubahan jenis tanaman komoditi yang
diusahakan pada suatu lahan.
3. Pranata sosial sistem pertanian adalah peraturan dan tata cara yang terdapat
pada sistem usaha tani yang mengatur bagaimana hubungan antar aktor-aktor
usaha pertanian. Pranata sosial pertanian meliputi pranata sosial yang mengatur
penguasaan lahan, penggunaan tenaga kerja, dan sistem panen.
4. Tingkat kesejahteraan adalah kondisi dimana kebutuhan materiil dan moril
terpenuhi.
Definisi Operasional
1. Perubahan pranata sosial pada sistem pertanian adalah berubahnya tata cara,
aturan, atau kebiasaan yang dilakukan aktor-aktor sistem pertanian. Perubahan
pranata sosial diteliti dengan metode kualitatif yang meliputi:
a) Pranata pada penguasaan lahan adalah aturan yang mengatur bagaimana
lahan tersebut dikuasai oleh seseorang.
b) Pranata pada penggunaan tenaga kerja adalah aturan yang mengatur
bagaimana penggunaan tenaga kerja pada sistem pertanian, yang meliputi
penggunaan tenaga kerja pada setiap tahapan pertanian, peranan setiap
tenaga kerja, hubungan kerja antara pemilik lahan dengan penggarap atau
buruh tani, dan sistem pembayaran tenaga kerja.
c) Pranata pada sistem panen adalah aturan yang mengatur bagaimana sistem
panen atas komoditi yang diusahakan.
2. Perubahan sistem mata pencaharian adalah perbedaan pada kesempatan kerja
dan pola pekerjaan petani saat sebelum dan sesudah terjadinya konversi
tanaman komoditi. Perubahan ini diukur dengan metode penelitian kuantitatif.
a) Kesempatan kerja adalah berubahnya peluang yang dimiliki oleh seseorang
untuk mendapatkan pekerjaan pada saat ini dibandingkan dengan sebelum
terjadinya konversi tanaman komoditi. Kesempatan kerja dibedakan
menjadi dua, yakni kesempatan kerja di sektor pertanian dan kesempatan
17
kerja di sektor non-pertanian. Untuk mengetahui seberapa besar perubahan
pada masing-masing jenis kesempatan kerja tersebut, maka digunakan:
i. Perubahan kesempatan kerja di sektor pertanian adalah persepsi rumah
tangga terhadap peluangnya untuk memperoleh pekerjaan di sektor
pertanian setelah adanya konversi tanaman komoditi. Kesempatan kerja
di sektor pertanian diukur dari kesempatan kerja paling mudah sampai
kesempatan kerja paling sulit saat ini dibandingkan sebelum terjadinya
konversi tanaman komoditi.
Sangat sulit: tidak ada lagi kesempatan kerja, skor 1.
Sulit: pekerjaan sedikit dan terbatas (misal hanya sebagai buruh tani),
skor 2.
Netral: sama saja (tidak ada perubahan kesempatan kerja), skor 3.
Mudah: pekerjaan agak terbuka luas, skor 4.
Sangat mudah: pekerjaan di sektor pertanian lebih besar dibandingkan
dengan pekerjaan di sektor non-pertanian, skor 5.
ii. Perubahan kesempatan kerja di sektor non-pertanian adalah persepsi
rumah tangga terhadap peluangnya untuk memperoleh pekerjaan di
sektor non-pertanian setelah adanya konversi tanaman komoditi.
Kesempatan kerja di sektor non-pertanian diukur dari kesempatan kerja
paling mudah sampai paling sulit saat ini dibandingkan sebelum
terjadinya konversi tanaman komoditi.
Sangat sulit: tidak ada lagi kesempatan kerja, skor 1.
Sulit: pekerjaan sedikit dan terbatas, skor 2.
Netral: sama saja (tidak ada perubahan kesempatan kerja), skor 3.
Mudah: pekerjaan agak terbuka luas, skor 4.
Sangat mudah: pekerjaan di sektor non-pertanian lebih besar
dibandingkan dengan pekerjaan di sektor pertanian, skor 5.
b) Perubahan pola pekerjaan adalah perbedaan kesibukan atau kegiatan
responden yang dilakukan setiap hari untuk mencari nafkah akibat konversi
tanaman komoditi. Pola pekerjaan diukur dari perubahan pekerjaan dari
yang berada paling di luar sektor pertanian sampai pekerjaan yang termasuk
paling sektor pertanian pada saat ini.
i. Sangat buruk: dari petani penggarap menjadi pengangguran atau bekerja
serabutan, skor 1.
ii. Buruk: dari petani penggarap menjadi pekerja di sektor non-pertanian
sebagai buruh, kuli bangunan, tukang ojek, pedagang keliling, dan
sebagainya yang merupakan pekerjaan yang tidak menghasilkan gaji
tetap, skor 2.
iii. Sedang: dari petani penggarap bekerja di sektor non-pertanian yang
mendapatkan gaji tetap per bulan, skor 3.
iv. Baik: tetap bekerja sebagai petani penggarap atau buruh tani, skor 4
v. Sangat baik: saat ini bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian, skor
5.
3. Perubahan pada hubungan sosial adalah perbedaan pada interaksi sosial
seseorang saat ini dengan dahulu. Perubahan hubungan sosial terdiri dari
perubahan hubungan antar warga. Perubahan pada hubungan antar warga
adalah perbedaan interaksi antara warga yang satu dengan warga yang lainnya
setelah adanya konversi tanaman komoditi dibandingkan sebelum terjadinya
18
konversi tanaman komoditi. Perubahan hubungan antar warga diteliti secara
kualitatif.
4. Perubahan tingkat kesejahteraan adalah perbedaan pada ukuran seberapa tinggi
atau rendah aspek-aspek kesejahteraan yang dirasakan responden. Tingkat
kesejahteraan yang dirasakan responden dikategorikan secara dua, yakni
kesejahteraan moril dan kesejahteraan materiil. Perubahan tingkat
kesejahteraan diteliti secara kuantitatif.
a) Kesejahteraan moril adalah perasaan aman dan nyaman yang dirasakan oleh
responden atas kehidupan yang sekarang dibandingkan sebelum terjadinya
konversi tanaman komoditi. Kesejahteraan moril dinyatakan oleh persepsi
responden mengenai seberapa besar rasa aman atas pekerjaan termasuk
pendapatan yang dihasilkan dari suatu pekerjaan yang dijalani serta persepsi
responden mengenai rasa nyaman akan hubungannya dengan orang-orang
disekitarnya.
i. Persepsi rasa aman pekerjaan adalah rasa aman yang dirasakan atas
pekerjaan beserta pendapatan yang dihasilkan oleh pekerjaan tersebut,
yang diukur dengan tingkat mulai dari paling aman hingga paling tidak
aman.
Sangat aman: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat
ini sangat memberikan keamanan finansial untuk kehidupannya, skor
5.
Aman: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat ini dirasa
cukup aman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saat ini dan di
masa yang akan datang, skor 4.
Netral: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat ini
dirasa sama amannya dengan pekerjaan sebelum konversi tanaman
komoditi, skor 3.
Tidak aman: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada saat ini
dirasa kurang aman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saat ini dan
di masa yang akan datang, skor 2.
Sangat tidak aman: semua pekerjaan yang dilakukan responden pada
saat ini dirasa sangat tidak aman, skor 1.
ii. Persepsi rasa nyaman hubungan adalah rasa nyaman yang dirasakan atas
hubungan responden dengan orang-orang disekitarnya, baik itu dalam
berinteraksi, bekerja sama, hingga tolong-menolong saat ini
dibandingkan dengan sebelum konversi tanaman komoditi.
Sangat nyaman: saya merasa sangat mudah untuk berinteraksi, bekerja
sama, meminta tolong dan menolong dengan warga lain, skor 5.
Nyaman: saya merasa cukup mudah untuk untuk berinteraksi, bekerja
sama, meminta tolong dan menolong dengan warga lain, skor 4.
Netral: kenyamanan akan berinteraksi, bekerja sama, dan tolong-
menolong dengan warga Kumpay yang lain sama saja dengan sebelum
terjadinya konversi tanaman komoditi, skor 3.
Tidak nyaman: saya merasa tidak nyaman ketika harus berinteraksi
dengan warga lain di Kumpay, skor 2.
Sangat tidak nyaman: saya merasa sangat tidak nyaman ketika harus
berinteraksi dengan yang lain dan merasa curiga dengan warga
lainnya , skor 1.
19
b) Kesejahteraan materiil adalah kesejahteraan yang diukur berdasarkan nilai-
nilai ekonomi dan keberadaan benda fisik yang berharga, yaitu pendapatan
dan kepemilikan aset.
i. Pendapatan adalah jumlah seluruh pemasukan yang diterima rumah
tangga atas setiap pekerjaan yang dilakukannya saat ini dibandingkan
sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Pendapatan dibagi ke
dalam 5 kategori dari yang sangat rendah hingga sangat tinggi dengan
indikator yang ditentukan secara partisipatif menurut perspektif lokal.
Sangat rendah: tidak memiliki penghasilan, skor 1.
Rendah: memiliki penghasilan yang tidak tentu, skor 2.
Sedang: memiliki penghasilan 15 ribu rupiah dalam beberapa hari
sekali secara rutin, skor 3.
Tinggi: memiliki penghasilan lebih dari sama dengan 30 ribu rupiah
dalam beberapa hari sekali secara rutin atau setiap hari, skor 4.
Sangat tinggi: memiliki penghasilan tetap dengan gaji di atas 1 juta
rupiah, skor 5.
ii. Kepemilikan aset adalah jumlah seluruh barang berharga yang dimiliki
atau dikuasai rumah tangga yang terdiri dari kepemilikan lahan pertanian,
penguasaan lahan pertanian, hewan ternak, dan kendaraan bermotor pada
saat ini dibandingkan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi.
Kepemilikan lahan pertanian adalah jumlah lahan pertanian yang
dimiliki oleh setiap rumah tangga setelah terjadinya konversi tanaman
komoditi dibandingkan dengan sebelum terjadinya konversi tanaman
komoditi. Luas lahan pertanian diukur dari kepemilikan luas lahan
pertanian yang paling sempit sampai paling luas dengan indikator
yang ditentukan secara partisipatif menurut perspektif lokal.
Tidak punya lahan: skor 1
Lahan sempit: 50 bata5, skor 2
Sedang: 51 bata – 100 bata, skor 3
Lahan luas: 101 bata – 150 bata, skor 4
Lahan sangat luas: 151 bata, skor 5
Penguasaan lahan adalah perubahan status lahan yang dikuasai oleh
rumah tangga akibat konversi tanaman komoditi. Status ini diukur dari
yang status paling rendah hingga paling tinggi.
Sangat rendah: tidak punya lahan, skor 1
Rendah: tumpang sari, skor 2
Sedang: buruh tani atau bagi hasil, skor 3
Tinggi: sewa, skor 4
Sangat tinggi: milik, skor 5
Kepemilikan barang-barang berharga seperti ternak dan kendaraan
bermotor diukur berdasarkan banyaknya jenis ternak dan kendaraan
bermotor yang dimiliki oleh rumah tangga yang ditentukan secara
partisipatif menurut perspektif lokal.
Ternak: sangat rendah (tidak memiliki, skor 1); rendah (hanya
memiliki ayam kampung, skor 2); sedang (hanya memiliki
5 1 bata = 14 m
2
20
kambing atau domba, skor 3); tinggi (hanya memiliki sapi atau
kerbau, skor 4); dan sangat tinggi (memiliki semua jenis hewan
ternak atau lebih dari satu jenis, skor 5).
Kendaraan bermotor: sangat rendah (tidak memiliki, skor 1);
rendah (memiliki motor sebanyak 1 buah, skor 2); sedang
(memiliki motor lebih dari 1, skor 3); tinggi (memiliki mobil, skor
4); sangat tinggi (memiliki mobil lebih dari 1 atau memiliki mobil
dan motor, skor 5).
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksplanatori karena penelitian
ini berusaha menjelaskan hubungan kausal antara berbagai variabel yang ada di
dalamnya melalui uji hipotesa (Singarimbun 1989). Variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan pranata sosial pertanian
komoditi nanas ke kelapa sawit, perubahan hubungan antar warga, perubahan
sistem mata pencaharian, dan perubahan tingkat kesejahteraan petani. Variabel-
variabel tersebut kemudian dibedakan menjadi 3, yaitu variabel independen,
variabel dependen, dan variabel antara. Variabel perubahan pranata sosial
pertanian komoditi nanas ke kelapa sawit adalah variabel independen karena
mempengaruhi variabel di dalamnya. Variabel perubahan hubungan antar warga
dan tingkat kesejahteraan menjadi variabel dependen karena berubah setelah
mendapatkan pengaruh dari variabel independen (variabel perubahan pranata
sosial pertanian komoditi nanas ke kelapa sawit). Sedangkan variabel antara
adalah variabel perubahan sistem mata pencaharian, karena menjadi variabel yang
mengubungkan antara variabel perubahan pranata sosial pertanian komoditi nanas
ke kelapa sawit dengan perubahan tingkat kesejahteraan. Dengan kata lain,
variabel perubahan pranata sosial pertanian komoditi nanas ke kelapa sawit
memiliki pengaruh tidak langsung dengan perubahan tingkat kesejahteraan.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui pranata
pertanian yang mengalami perubahan akibat konversi tanaman komoditi, dampak
perubahan pranata pertanian terhadap hubungan antar warga, hubungan antara
perubahan sistem mata pencaharian dengan hubungan antar warga, serta dampak
perubahan hubungan antar warga dengan kesejahteraan secara moril. Adapun
metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui perubahan sistem mata
pencaharian penggarap dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan yang dirasakan.
Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam metode kuantitatif adalah
kuesioner yang telah disusun sedemikan rupa sehingga dapat memperoleh
informasi yang dibutuhkan dari responden. Sedangkan instrumen untuk metode
kualitatif adalah wawanacara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa
Barat dipilih menjadi lokasi bagi penelitian ini. Selain karena di desa ini telah
terjadi kasus konversi tanaman komoditi, ada 2 alasan penting yang menjadi dasar
dalam pemilihan lokasi. Pertama, komoditi yang dikonversi merupakan komoditi
yang menjadi ciri khas dari Kota Subang, sehingga menjadi komoditi yang telah
membudaya bagi masyarakat setempat. Komoditi yang telah membudaya tersebut
tentu saja telah menciptakan berbagai pranata sosial pertanian yang khas. Oleh
22
karena itu, dapat dibayangkan bahwa jika komoditi yang membudaya tersebut
diganti menjadi komoditi lain, maka akan berdampak bagi kehidupan petani
nanas. Kedua, kasus konversi tanaman komoditi yang terjadi, yakni tahun 2007
belum terlalu lama dari waktu dilakukannya penelitian. Dengan kata lain, kasus
tersebut masih hangat untuk diungkap, sehingga masyarakat masih mengingat
bagaimana kondisi sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Kegiatan
penelitian ini berlangsung dari bulan Februari hingga Juni 2013 yang meliputi
kegiatan penyusunan proposal penelitian, kolokium untuk memaparkan proposal
penelitian, studi lapangan, penyusunan dan penulisan laporan, ujian skripsi, dan
perbaikan laporan penelitian. Kegiatan dan waktu penelitian ini dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Teknik Pengambilan Informan dan Responden
Sumber data pada penelitian ini menggunakan informasi yang berasal dari
responden dan informan sebagai subyek penelitian. Informan merupakan pihak
yang dianggap penting karena dapat memberikan keterangan mengenai dirinya
sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Informan pada penelitian ini
adalah petugas kecamatan, aparatur desa, ketua LSM HPN (Himpunan Petani
Nanas), tokoh masyarakat setempat, dan mantan mandor lahan kelapa sawit di
lahan sengketa. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas
mengenai kasus konversi tanaman komoditi yang terjadi di desa lokasi penelitian.
Tidak diikutkannya PT. Nagasawit sebagai salah satu informan dalam penelitian
ini adalah karena sulitnya menemui pihak PT. Nagasawit. Perusahaan perkebunan
ini dapat dikatakan tertutup ketika ditanyakan mengenai masalah sengketa lahan
yang berujung pada konversi tanaman komoditi.
Unit analisa dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani korban
sengketa lahan. Sedangkan unit observasi adalah kepala rumah tangga petani, atau
dengan kata lain kepala rumah tangga petani dianggap sebagai responden yang
akan diwawancarai dan diberikan kuesioner karena jawabannya dianggap dapat
mewakili kondisi rumah tangganya. Alasan pemilihan unit analisa ini karena
kesejahteraan erat kaitannya dengan kondisi rumah tangga. Sebanyak 30 rumah
tangga petani diambil dari seluruh populasi. Sebenarnya terdapat sekitar 700
orang penggarap, namun kerangka sampling yang ada hanya berjumlah 435 orang
saja. Kerangka sampling pun hanya dimiliki oleh LSM HPN, bukan kantor Desa
Kumpay. Penetapan jumlah responden sebanyak 30 rumah tangga disebabkan
jumlah tersebut telah memenuhi kurva sebaran normal penelitian, sehingga
dianggap mewakili seluruh populasi. Pemilihan responden ini dilakukan dengan
menggunakan metode simple random sampling karena populasi penelitian ini
dianggap homogen atau dengan kata lain, berbagai karakteristik pada responden
seperti umur, luas lahan yang dulu digarap, lama pengalaman menjadi petani, dan
sebagainya dianggap tidak mempengaruhi hasil penelitian. Pengambilan
responden dengan metode simple random sampling melalui aplikasi Excell 2007.
23
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
didapatkan langsung melalui observasi di lapangan serta kuesioner dan
wawancara mendalam yang ditanyakan langsung kepada responden. Data
sekunder diperoleh dari kantor desa, kantor kecamatan, dan kantor LSM HPN atas
dokumen-dokumen yang terkait penelitian ini, seperti dokumen tentang luas lahan
yang dikonversikan, sejarah penguasaan lahan, jumlah petani yang menggarap
lahan tersebut, dan sebagainya. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai
literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian
ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Terdapat dua data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kualitatif dan
data kuantitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan secara tiga tahap, yaitu
reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Proses reduksi data dimulai dari
proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil
wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Pereduksian data bertujuan
untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang
tidak perlu. Penyajian data merupakan tahap setelah reduksi yang berupa
menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-
kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Terakhir adalah tahap
verifikasi yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada
tahap reduksi.
Analisis data kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan
PASW Statistics 18. Aplikasi Microsoft Excell 2007 berfungsi untuk membuat
tabel frekuensi, grafik, dan diagram untuk melihat data awal responden untuk
masing-masing variabel secara tunggal. Sedangkan, PASW Statistics 18 digunakan
untuk membantu dalam uji statitistik yang menggunakan tabulasi silang dan Rank
Spearman. Taraf nyata yang digunakan dalam pengolahan data kuantitatif adalah
99% atau nilai sebesar 1%. Sedangkan, untuk mengetahui kuat atau lemahnya
korelasi antara dua variabel yang diuji, maka digunakan pendapat Sarwono (2009)
yang membagi kuat dan lemahnya hasil perhitungan uji statistik ke dalam 6
kriteria, yaitu:
1. Nilai hitung sebesar 0: tidak ada ada korelasi
2. Nilai hitung sebesar > 00.25: korelasi sangat lemah
3. Nilai hitung sebesar > 0.250. 5: korelasi cukup
4. Nilai hitung sebesar > 0.50.75: korelasi kuat
5. Nilai hitung sebesar > 0.750.99: korelasi sangat kuat
6. Nilai hitung sebesar 1: korelasi sempurna
DESA KUMPAY: DAHULU DAN SEKARANG
Kumpay adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Jalancagak,
Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas sebesar 729
hektar, yang mayoritas penggunaan lahan terbesar adalah lahan perkebunan, yaitu
sebesar 49.2% dari total luas desa atau sebesar 359 368 hektar. Desa Kumpay
berbatasan dengan Desa Cirangkong pada sebelah utara, Desa Kasomalang Kulon
di sebelah selatan, Desa Bojong Loa disebelah timur, dan Desa Tambak Mekar di
sebelah barat. Desa ini terletak tak jauh dari jalan raya yang menjadi terkenal
menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin ke Bandung dan Purwakarta, yakni
Jalan raya Jalancagak. Selain itu, secara langsung Desa Kumpay dilintasi oleh
jalan yang menjadi alternatif pengguna jalan yang ingin menuju ke daerah
Sumedang. Dengan dilintasi oleh kedua jalan yang penting ini, maka dapat
dikatakan masyarakat Kumpay memiliki mobilitas yang tinggi. Hal tersebut
menyebabkan masyarakat desa sudah pasti memiliki dinamika yang tinggi.
Desa Kumpay memiliki jumlah penduduk sebesar 3 821 jiwa dengan
proporsi jumlah penduduk perempuan dan laki-laki dapat dilihat pada Gambar 3.
Mayoritas masyarakat Kumpay bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani
sebesar 20% dari jumlah populasi atau 793 jiwa. Sisanya tersebar pada pekerjaan
di sektor non-pertanian, seperti pedagang keliling, pensiunan PNS, pembantu
rumah tangga, pengusaha kecil dan menengah, karyawan swasta, dan sebagainya.
Mengenai masalah pendidikan, mayoritas warga Kumpay memiliki
pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Hal ini disebabkan mayoritas penduduk
Kumpay adalah warga yang telah berumur di atas usia 30 tahun atau generasi tua,
dimana pada zaman dahulu Desa Kumpay memiliki fasilitas pendidikan yang
terbatas dan kondisi kesejahteraan yang kurang memungkinkan untuk bersekolah.
Namun saat ini, Desa Kumpay dapat dikatakan memiliki fasilitas pendidik yang
baik. Di desa ini terdapat fasilitas Pendidikan Anak Usia Dasar (PAUD), Taman
Kanak-kanak (TK), dan Sekolah Dasar (2 buah). Selain itu, fasilitas jalan desa
juga dikatakan memiliki kondisi yang baik, sehingga memudahkan warga desa
untuk melakukan mobilisasi.
Gambar 3 Proporsi Penduduk Laki-laki dan Perempuan Desa Kumpay
25
Kondisi Desa Kumpay Sebelum Terjadinya Peristiwa Pembabatan
Tahun 1998 hingga tahun 2007 merupakan tahun-tahun terbaik bagi Desa
Kumpay dan masyarakatnya. Pada rentang tahun tersebut, masyarakat Kumpay
banyak yang menjadi petani penggarap pada lahan yang disebut masyarakat
sebagai lahan ex-HGU PT. Nagasawit. Puncak kejayaan untuk masyarakat
Kumpay, khusunya petani penggarap adalah tahun 2003 hingga tahun 2007.
Tahun 1998 hingga tahun 2003 masyarakat merasa sejahtera karena memiliki
lahan garapan yang artinya mereka memiliki pekerjaan dan pemasukan tetap.
Sedangkan ketika tahun 2003 hingga 2007, Kumpay benar-benar mencapai masa
keemasannya dimana mayoritas petani penggarap menanam tanaman nanas yang
membuat tanaman nanas menjadi tanaman khas daerah Subang dengan bukti
dibangunnya tugu nanas yang letaknya tak jauh dari jalan raya Jalancagak.
Gambar 4 Tugu nanas Subang
Majunya perekonomian desa dan masyarakat dibuktikan dengan kondisi
fisik dari bangunan-bangunan rumah masyarakat desa, khususnya yang menjadi
petani penggarap, serta berbagai kepemilikan barang-barang berharga yang
dimiliki. Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh seorang informan, yakni
Bapak MH bahwa “pas lagi masih pada garap nanas petani makmur semua. Itu
sekarang rumah-rumah keliatan bagus ya sisa-sisa dari jaman dulu. Rumah
bagus teh saksi dari kejayaan petani. Dulu juga mobil-mobil diparkir sepanjang
jalan yang di depan sini.”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak KR, “jaman
masih garap lahan PT (PT. Nagasawit-red) setiap rumah minimal punya motor,
ada yang punya mobil tiga. Rumah juga pada dibangun bagus, ditingkat.”
Sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi atau yang disebut oleh
masyarakat setempat sebagai peristiwa pembabadan, masyarakat merasakan apa
yang dinamakan kesejahteraan. Selain kesejahteraan fisik yang dirasakan, dalam
artian kepemilikan barang-barang berharga dan fasilitas yang bagus, masyarakat
juga merasakan kesejahteraan yang dirasakan secara batin. Perasaan yang
dirasakan oleh masyarakat ini disebabkan perasaan aman dan nyaman yang
dirasakan oleh masyarakat atas hidupnya. Ketika menjadi petani penggarap,
26
mereka merasakan keamanan dari segi pekerjaan termasuk penghasilan yang
didapatkan. Selain itu, sebelum peristiwa pembabadan, keluarga penggarap nanas
sering melakukan jalan-jalan untuk melepaskan penat. Kehidupan bermasyarakat
juga rukun dan aman, terjalin kehidupan yang harmonis antar sesama.
Bukti lain yang menunjukkan betapa sejahtera masyarakat Kumpay adalah
banyaknya warung-warung kecil yang dibuka yang terlihat sepanjang jalan
ataupun yang berada di dalam (di dalam gang-gang). Akibat adanya pendapatan
lebih yang dapat disisihkan, maka banyak warga yang membuka usaha warung
kelontong atau warung makan untuk tambahan pemasukan sehari-hari.
“Dulu mah banyak warung yang buka di rumah-rumah. Sepanjang jalan ini
aja udah ga keitung warung yang buka.” –Ibu ON
Kondisi Desa Kumpay Setalah Terjadinya Peristiwa Pembabatan
Pada pertengahan tahun 2007, merupakan titik balik bagi Desa Kumpay
terutama masyarakat yang menjadi petani penggarap pada lahan eks-HGU PT.
Nagasawit. Saat itu terjadi peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan oleh
masyakarat, yakni peristiwa yang disebut oleh masyarakat Kumpay sebagai
peristiwa pembabadan. Ujung dari peristiwa ini adalah bergantinya komoditi pada
lahan tersebut yang sebelumnya nanas menjadi kelapa sawit.
Setelah peristiwa pembabatan dan bergantinya komoditi di atas lahan
tersebut, kehidupan masyarakat mengalami perubahan besar-besaran. Komoditi
kelapa sawit yang diharapkan meningkatkan kualitas kehidupan penggarap karena
nilai ekonomis yang lebih tinggi dari nanas, ternyata malah membuat hampir
seluruh penggarap kehilangan pekerjaan sebagai petani. Petani penggarap dan
keluarganya menjadi satu-satunya pihak yang tersingkir dalam usaha tani di lahan
sengketa tersebut. Dampak dari hal tersebut adalah berubahnya kehidupan
masyarakat, khususnya warga yang menjadi petani Perlahan tapi pasti kehidupan
petani penggarap mengalami perubahan ke arah yang negatif. Kehilangan lahan
garapan dan mata pencaharian membuat tatanan kehidupan yang semula harmonis
menjadi hilang.
“Kalo mau ketemu bapak-bapak pagi-pagi mah banyakan ada. Orang
sekarang bapak-bapaknya pada ongkang-ongkang kaki. Ongkang-ongkang kaki
bukan berarti duit dateng sendiri. Maksudnya teh pada jadi pengangguran ga tau
mau kerja apa lagi.” –Bapak MH
Saat ini jelas terlihat bagaimana perubahan dan dampak dari peristiwa
pembabatan pada desa dan masyarakat Kumpay. Rumah-rumah yang terlihat
bagus dari luar adalah saksi bisu atas kejayaan yang pernah dirasakan. Rumah-
rumah penggarap memang bagus terlihat dari luar, tetapi ketika masuk ke
dalamnya, maka jelas bagaimana sengsaranya kehidupan penggarap mereka saat
ini. Rumah-rumah tersebut sudah rusak disana-sini, bukti bahwa mereka tidak lagi
memiliki dana untuk memperbaiki rumah. Pada beberapa rumah terlihat bekas
garasi mobil yang kini tidak ada isinya lagi. Begitupun dengan kandang-kandang
ternak yang letaknya tak jauh dari rumah, kini sepi tanpa adanya suara-suara
27
binatang ternak. Garasi dan kandang adalah sisa-sisa kejayaan yang kini diterima
oleh petani penggarap. Selain itu, saat ini banyak warung-warung kecil yang
gulung tikar akibat ketiadaan modal dari pemilik yang dahulunya adalah
penggarap.
”Kalo liat-liat di rumah warga bisa keliatan kan kalo ada yang punya
garasi tapi ga punya mobil. Ada yang punya kandang kambing tapi ga ada
kambingnya. Semua udah dijual sama petani. Apalagi pas masa transisi dari abis
pembabatan. Itu keadaan bener-bener susah. Petani banyak yang bingung mesti
jual apa lagi.” –Bapak DD
“Udah keliatan sekarang mah, warung-warung pada hampir-hampir
bangkrut. Ga ada yang beli, siapa lagi yang mau beli. Kalo dulu mah pada suka
nongkrong di warung kalo abis pada cape mikul nanas.” –Bapak KK
Di Desa Kumpay sendiri saat ini yang sering terlihat adalah banyaknya laki-
laki atau bapak-bapak yang sering nongkrong-nongkrong di pinggir jalan. Selain
itu, setelah peristiwa pembabatan, mulai bermunculan pos-pos tukang ojek.
Menurut warga setempat, petani penggarap banyak yang kini beralih menjadi
tukang ojek. Hal lain yang dapat ditemui adalah banyaknya kuli bangunan yang
sedang bekerja. Menurut warga, mereka adalah mantan petani penggarap yang
kehilangan lahan garapannya.
“Yang jadi tukang ojek sama kuli bangunan emang banyak. Tapi kan
karena saking banyaknya yang jadi tukang ojek juga susah, banyak saingan.
Ditambah lagi yang jadi penumpang juga jarang.” –Bapak SN
“Saya emang jadi kuli bangunan. Tapi ya kan ga tiap hari orang-orang
bangun rumah. Jarang-jarang aja, itu aja kalo ada yang ngajak.” –Bapak OC
Arti Penting Lahan Garapan dan Usaha Tani Nanas Madu Bagi Masyarakat
Bekerja menjadi petani adalah anugerah besar bagi seluruh petani penggarap
di Desa Kumpay. Meskipun lahan yang digarap bukan lahan milik mereka, namun
mereka merasa sangat bahagia pada saat itu. Dengan mengelola sebuah lahan
garapan, petani bisa menghidupi keluarganya, mengajak jalan-jalan keluarganya,
menyekolahkan anaknya, dan membahagiakan keluarganya. Menggarap lahan
menjadi hal yang patut disyukuri karena saat itu di antara mereka jarang yang
memiliki lahan.
Ketika menerima keputusan bahwa masyarakat Kumpay dapat
memanfaatkan lahan tidur HGU PT. Nagasawit, mereka sangat senang.
Sayangnya tidak semua warga mendapatkan kesempatan untuk menggarap lahan
tersebut. Hal tersebut disebabkan saat itu tidak ada peraturan yang mengatur luas
lahan yang dapat digarap. Istilah “siapa cepat dia dapat” berlaku pada waktu itu.
Masyarakat yang memiliki tenaga kerja keluarga yang banyak dan modal yang
banyak sehingga dapat memberi upah orang untuk bekerja, maka dapat dipastikan
memiliki luas lahan garapan yang besar. Luas lahan garap yang digarap
28
masyarakat beragam, ada yang mendapatkan garapan sangat luas hingga mecapai
1 hektar, hingga dapat dikatakan sedikit 2 patok6 atau sekitar 50 bata. Akan tetapi
hal tersebut tidak lantas membuat warga yang tidak mendapatkan lahan menjadi
kecewa. Mereka terkadang bekerja menjadi buruh tani pada lahan garapan.
Mengetahui fakta tersebut, terlihat betapa pentingnya memiliki hak untuk
menggarap lahan bagi masyarakat Kumpay.
“Pas punya lahan garapan hidup teh rasanya udah tenang, damai gitu.
Rasanya menjanjikan aja ngegarap lahan.” –Bapak KR
“Emang sih rasanya gimana gitu ga kebagian lahan garapan. Sirik aja
neng. Tapi ga apa-apa lah, saya masih bisa kerja juga di lahan garapan punya
orang yang dapet.” –Bapak TH
Subang menjadi daerah yang terkenal akan nanasnya. Nanas yang
dihasilkan pun berbeda dengan nanas dari daerah lain. Nanas Subang dikenal oleh
banyak konsumen dengan rasanya yang manis dibandingkan dengan nanas pada
umunya. Karena rasannya yang khas itulah nanas Subang kadang disebut sebagai
nanas madu atau si madu oleh masyarakat Kumpay. Mengetahui betapa
terkenalnya nanas Subang, dapat dibayangkan nilai ekonomis yang tinggi dan
pendapatan yang dapat dihasilkan oleh petani nanas. Oleh karena itu, dapat
dikatakan nanas madu juga memiliki arti penting tidak hanya pada kehidupan
petani penggarap, namun juga bandar nanas, penjual nanas, anak-anak kecil,
bahkan masyarakat desa.
“Makan nanas udah kaya hiburan aja buat saya ama keluarga”. –Bapak
HM
“Ganas (nanas-red) madu ini cuma ada di Subang aja. Ga bisa ditanem di
daerah lain rasanya ga bakal manis kaya ditanem disini. Malah ada kepercayaan
kalo kita beli ganas madu terus dibawa pulang keluar Subang rasanya udah
kurang enak lah. Maksudnya beda kalo makan di Subang. Itu keistimewaan si
madu.” –Bapak SN
“Dulu kalo bapak abis panen nanas suka ada yang dibawa pulang, terus
kita semua pada ngumpul makan si madu bareng-bareng. Seneng banget kaya
gitu juga. Rasanya kan enak yah. Tapi coba sekarang sedih saya mah. Kalo lagi
kepengan si madu nyarinya mesti susah terus kan kalo beli di pedagang juga
harganya mahal, mending uang buat makan nasi.” –Ibu DI, putri Bapak DD
6 1 patok = 25 bata, 1 bata = 14 m
2
DINAMIKA SENGKETA LAHAN: SEJARAH KEPEMILIKAN
DAN PENGUASAAN LAHAN HINGGA KONVERSI
TANAMAN KOMODITI
Sejarah Panjang Kepemilikan, Penguasaan, dan Garapan Lahan Eks-HGU
PT. Nagasawit*
Di dalam kehidupan manusia, sebidang lahan selalu terkait dengan setiap
tindak tanduk tingkah laku manusia. Lahan adalah tempat bagi semua manusia
untuk memulai, menjalani, dan mengakhiri kehidupannya. Atas kodrat tersebut
lahan selalu dibutuhkan oleh setiap manusia. Kebutuhan akan lahan berbanding
lurus dengan peningkatan penduduk. Pernyataan tersebut memiliki makna bahwa
saat ini seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan
lahan semakin meningkat. Namun, permasalahannya terletak pada lahan
merupakan sumber daya yang sulit untuk diperbaharui. Keterbatasan jumlah lahan
membuat manusia harus berusaha keras untuk mendapatkan hak atas sebidang
lahan. Tak jarang usaha keras tersebut berujung pada konflik antar sesama
manusia. Melihat betapa pentingnya lahan, maka diperlukan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antar manusia dengan tanah dan manusia dengan manusia di
atas sebuah tanah. Kaidah-kaidah tersebut dapat memberikan penjelasan mengenai
masalah kepemilikan dan penguasaan lahan.
Berbicara mengenai siapakah yang memiliki dan menguasai sebuah lahan,
maka harus ditelusuri dahulu bagaimanakah sejarah panjang dari lahan tersebut.
Terlebih jika lahan yang dibicarakan adalah lahan sengketa, seperti yang terdapat
di Desa Kumpay, Subang. Di desa ini, terjadi kasus sengketa lahan pertanian
antara masyarakat dengan PT. Nagasawit. Sengketa lahan ini memperebutkan hak
penguasaan atas sebuah lahan seluas 300 hektar. Dengan mengetahui sejarah
lahan ini, kita juga akan mengetahui siapakah pihak yang memiliki hak atas tanah
ini.
Tanah sengketa seluas 300 hektar yang terdapat di Desa Kumpay, atau
yang biasa disebut oleh masyarakat setempat sebagai tanah eks-HGU PT.
Nagasawit, awalnya termasuk ke dalam tanah eigendom verponding. Tanah
eigendom verponding adalah tanah yang pada saat masa penjajahan Belanda
merupakan tanah milik pribumi yang digunakan untuk perkebunan kolonial7.
Klaim atas tanah verponding ini dibuktikan dengan adanya surat-surat
kepemilikan atas nama Nyi Mas Enjteh, yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri
Subang No. 16-17-18 dan 21/PDT-P/2006.
Pada tahun 1978, karena tanah ini belum jelas asal-usul kepemilikannya,
maka oleh pemerintah Indonesia tanah ini di Hak Guna Usaha-kan kepada PTP 10
yang saat ini bernama PT. Nagasawit. Tanah yang diberikan HGU kepada PT.
Nagasawit seluas 1,911 hektar. Pemberian HGU dilakukan demi keperluan
perkebunan teh. Pada saat yang sama, yakni awal-awal masa pemberian HGU,
* Bukan nama sebenarnya. Nama samaran digunakan agar tidak ada pihak yang merasa
dicemarkan nama baiknya. 7 Hasil wawancara dengan ketua LSM Himpunan Petani Nanas, Bapak MH.
30
pihak PT. Nagasawit telah menelantarkan lahan tersebut sebesar 30% tanpa
alasan yang jelas.
Tahun demi tahun berlalu, penelantaran lahan tersebut oleh PT. Nagasawit
semakin menjadi. Akibat dari penelantaran, lahan-lahan tersebut menjadi semak
belukar yang dihuni oleh binatang-binatang liar, seperti babi hutan, ular, dan lain-
lain. Semenjak tahun 1978, memang terdapat segelintir orang yang telah mencoba
memanfaatkan lahan tersebut. Namun jumlahnya hanya sedikit dan dapat dihitung
dengan jari.
“Dulu ibu mesti menebas semak belukar, kadang ketemu sama babi hutan,
ular, buat buka lahan buat ditanemin jagung. Ga banyak palingan orang yang
garap. Satu dua oranglah.” –Ibu NH, warga pertama yang membuka lahan
terlantar
Hingga pada tahun 1998, ketika krisis moneter melanda bangsa Indonesia,
atas inisiatif beberapa warga, maka lahan yang ditelantarkan tersebut diajukan
agar menjadi garapan warga setempat. Mereka mengajukan permohonan
pemanfaatan lahan kepada Bupati Subang dengan diketahui oleh Kepala Desa
Kumpay, dengan nomor surat 02/AM/UM/98. Kemudian, surat tersebut
ditanggapi oleh Bupati Subang dengan cara melanjutkan surat tersebut atau
menyurati direksi PT. Nagasawit dengan nomor surat 593/1047/Tapem tanggal 4
Juli 1998. Selanjutnya, direksi PT. Nagasawit menerima baik itikad masyarakat
dengan menerbitkan 3 buah surat, yakni surat tentang pemanfaatan lahan tidur
(No. SB/D. IV/2642/VII/1998), pinjam pakai untuk tanaman semusim (No. SB/D.
III/4169/X/1999), dan penggarapan tanah perkebunan Tambaksari dan adanya
PBB dan kompensasi yang harus dibayar oleh penggarap (No. D.
IV/TAS/212/VII/98). Setelah penerbitan surat tersebut, kemudian dibuatlah surat
perjanjian antara PT. Nagasawit dengan masing-masing ketua kelompok tani.
Setelah surat tersebut diterima mulailah warga Kumpay menggarap lahan
tersebut. Petani yang menggarap pada saat itu sekitar 700 kepala keluarga. Awal
mula penggarapan tersebut, petani menanaminya dengan tanaman semusim sesuai
perjanjian, seperti kacang tanah, padi, jagung, singkong, ubi, dan sebagainya.
Petani pun membayar uang PBB dan kompensasi atau yang disebut petani uang
sewa lahan yang berkisar antara Rp30 hingga Rp50.4 per meter persegi per tahun.
31
Gambar 5 Surat perjanjian penggarapan lahan antara petani dengan
PT. Nagasawit
Pada tahun 2000, PT. Nagasawit mengajukan perpanjangan Hak Guna
Usaha lahan tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian, pada
tahun 2001 BPN menyatakan bahwa tidak ada masa perpanjangan Hak Guna
Usaha lahan tersebut. Pada saat itu PT. Nagasawit tidak melakukan upaya-upaya
hukum untuk memperpanjang masa HGU lahan tersebut. PT. Nagasawit seperti
menerima keputusan BPN.
Waktu pun berlalu, hingga sampai pada tahun 2003, dimana resmi PT.
Nagasawit tidak lagi memiliki hak atas tanah tersebut. Berdasarkan fakta tersebut,
maka petani penggarap pun mulai berhenti membayar uang sewa lahan kepada
PT. Nagasawit, karena dengan berakhirnya HGU yang dimiliki PT. Nagasawit,
maka berakhir pula perjanjian petani dengan PT. Nagasawit. Kemudian, pada saat
yang sama penggarap pun mulai mengganti komoditinya menjadi tanaman
tahunan. Tanaman tahunan tersebut adalah nanas, pisang, dan kayu olahan.
Namun, mayoritas tanaman yang ditanam adalah nanas. Pemilihan nanas adalah
karena nilai jual nanas lebih tinggi daripada tanaman lainnya. Akibat hal tersebut
adalah Kecamatan Jalancagak terkenal sebagai penghasil nanas terbesar di
Subang, dan Subang terkenal sebagai daerah asli penghasil nanas madu. Bukti
dari hal ini adalah dengan dibangunnya tugu nanas yang letaknya berada di
simpangan Jalan raya Jalancagak.
32
Program Kelapa Sawit Masuk Jawa: Kebijakan Sepihak PT. Nagasawit
Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang sedang “naik daun” di
dunia. Tanaman yang biasa disebut sebagai raja tanaman karena
ketidaktoleransiannya terhadap tanaman lain yang hidup didekatnya, memiliki
nilai ekonomis yang tinggi. Melihat potensi itu Indonesia sebagai negara tropis
terus mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Saat ini banyak perusahaan-
perusahaan perkebunan entah itu negeri maupun swasta berlomba-lomba
mengembangkan usaha kelapa sawit. Akibatnya, para perusahaan tersebut terus
mencari lahan-lahan yang sesuai untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Salah satu
perusahaan tersebut adalah PT. Nagasawit yang memiliki program pengembangan
kelapa sawit di Pulau Jawa. Lahan yang diincar oleh PT. Nagasawit ini salah
satunya berada di Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang,
Jawa Barat.
Waktu silih berganti, kehidupan petani penggarap Desa Kumpay mulai
harmonis. Kesejahteraan mereka mulai terlihat dan mereka memiliki kehidupan
yang stabil. Kemudian, pada tahun 2007 tersiar kabar bahwa PT. Nagasawit akan
menanami lahan tersebut dengan tanaman kelapa sawit. Kabar tersebut menjadi
nyata, setelah pada tanggal 17 Febuari 2007, Camat Jalancagak menerima sebuah
surat dari PT. Nagasawit mengenai rencana perusahaan perkebunan yang akan
menanami kelapa sawit pada lahan yang digarap oleh petani, dan meminta camat
melakukan sosialisasi kepada penggarap. Tanpa diduga pihak kecamatan pun
seperti memberikan restu kepada PT. Nagasawit dengan mengeluarkan surat
instruksi kepada seluruh desa di Kecamatan Jalancagak, untuk melaksanakan
sosialisasi tersebut, dengan nomor surat SB/TAS. 148/II/2007.
Petani penggarap pun tidak mengetahui apa alasan PT. Nagasawit
melakukan hal tersebut. Fakta yang diketahui oleh penggarap adalah PT.
Nagasawit tidak lagi memiliki HGU atas lahan tersebut, yang artinya PT.
Nagasawit tidak memiliki hak untuk menanami lahan tersebut. Namun,
pertanyaan para penggarap hilang seiring dengan tindakan pembabatan yang
dilakukan oleh PT. Nagasawit.
Aksi-Reaksi Petani Penggarap
Suatu pagi di bulan Juli 2007, tepatnya tanggal 16 Juli 2007, menjadi saat
yang tidak akan pernah dilupakan oleh petani penggarap lahan sengketa atau lahan
eks-HGU PT. Nagasawit. Mereka ingat pada tanggal itu adalah tanggal
dimulainya kemunduran dalam hidup mereka. Masih jelas dalam ingatan mereka
bagaimana pihak PT. Nagasawit melakukan pembabatan. Pada saat itu PT.
Nagasawit memberikan perintah kepada mandor kebun dan beberapa karyawan
untuk membabat habis lahan yang digarap petani. Kedatangan karyawan PT.
Nagasawit tidak sendiri, mereka dibekali oleh ratusan orang anggota keamanan
yang bersenjata lengkap.
“Masih inget saya mah pas lagi di lahan tiba-tiba dateng aja itu orang-
orang PT (PT. Nagasawit-red) sama tentara. Dateng tiba-tiba langsung ngerusak
taneman ganas (nanas-red) milik warga.” –Bapak DD
33
Aksi pembabatan yang dilakukan pihak PT. Nagasawit membuat
masyarakat sedih sekaligus geram. Pasalnya, tanaman-tanaman nanas tersebut
dalam waktu beberapa bulan lagi akan dipanen. Para penggarap telah
membayangkan keuntungan yang akan mereka terima karena waktu panen yang
dinanti bertepatan dengan bulan puasa. Selain itu, pembabatan dilakukan tanpa
adanya pemberitahuan secara langsung kepada penggarap. Sikap PT. Nagasawit
yang dinilai arogan oleh penggarap ini sangat disayangkan oleh penggarap.
Menurut mereka, seharusnya PT. Nagasawit mengajak mereka musyawarah
terlebih dahulu.
“Ga ada sama sekali orang PT (PT. Nagasawit-red) yang ngasih tau
langsung ke kita masalah pembabatan. Orang desa juga ga ada yang dateng
ngasih tau. Tiba-tiba langsung main babat aja. Kalo mau sosialisasi seharusnya
jangan ke desa, langsung ke petani! Ini mah jangankan sosialisasi, musyawarah
pun ga ada.” –Bapak MH
Masyarakat tidak hanya diam menjadi saksi bisu atas aksi pembabatan yang
dilakukan orang-orang PT. Nagasawit. Mereka melakukan perlawanan dengan
seluruh kemampuan mereka. Mereka berusaha menghadang petugas PTPN dan
keamanan. Mereka dengan berani menghadang alat-alat berat yang digunakan
petugas, seperti bulldozer. Namun, perlawanan mereka berujung pada
kekecewaan. Meskipun petani penggarap secara jumlah lebih banyak daripada
orang-orang yang diperintahkan PT. Nagasawit, mereka mengalami kekalahan.
Hal tersebut disebabkan pihak keamanan yang menyertai karyawan PT.
Nagasawit, membawa persenjataan. Bahkan beberapa petani ada yang
mendapatkan tindakan penganiayaan oleh pihak keamanan tersebut. Ujung dari
perlawanan mereka adalah habisnya seluruh tanaman nanas yang ditanam oleh
petani penggarap.
Sikap petani yang akhirnya pasrah menerima kenyataan lahan mereka
dibabat, bukan berarti menerima. Para petani penggarap ini tetap tidak bisa
menerima perlakuan pihak PT. Nagasawit. Mereka tidak habis pikir mengapa
PTPN tidak memikirkan nasib mereka. Padahal mereka mengaku selalu
membayar uang sewa lahan kepada PT. Nagasawit. Seperti yang diungkapkan
oleh Bapak AB.
“Yah jangankan sosialisasi, uang ganti rugi aja kita ga dapet. Udah abis-
abisan pokona mah.” –Bapak AB
“Sakit hatinya kita mah ya itu neng orang PT (PT. Nagasawit-red)
langsung main babat aja. Padahal kita udah bilang ke tukang-tukang jangan
dibabat dulu tungguin sampe panen. Ini mah bentar lagi mau dipanen tetep aja
tega dibabat. Terus pas mau kita ambil bibit sama sisa-sisa buahnya juga udah
pada ga ada. Yang disisainnya cuma bonggol nanas sama sampah-sampah.” –Bu
EH
Pada awalnya, masyarakat sebenarnya ingin melawan PT. Nagasawit
dengan jalan kekerasan. Petani penggarap berpikir hanya itulah yang dapat
mereka lakukan. Dalam kondisi yang genting tersebut munculah sosok opinion
34
leader dalam masyarakat. Sosok opinion leader ini bukanlah pemimpin desa.
Beliau juga sama seperti yang lainnya, yakni seorang petani penggarap. Beliau
juga tidak mengenyam pendidikan bangku kuliah. Modal beliau adalah berani
mengutarakan apa yang ada di isi hatinya dan isi hati petani penggarap. Akhirnya,
dengan ide beliau dan beberapa orang, terbentuklah sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak petani
penggarap. LSM ini kemudian diberi nama Himpunan Petani Nanas (HPN).
Secara garis besar, kronologi peristiwa sengketa lahan eks-HGU PT.
Nagasawit beserta sejarah kepemilikan dan penggarapan lahan dapat dilihat pada
Gambar 6.
35
PT. Nagasawit mendapatkan Hak
Guna Usaha lahan untuk kebun
Tambaksari dan kebun Ciater
1978
30% dari lahan HGU telah
ditelantarkan
Krisis moneter: warga Kumpay
dengan diwakili beberapa orang
mengajukan permohonan
menggarap lahan yang
ditelantarkan
1998
Surat dari direksi PT. Nagasawit
mengenai perjanjian penggarapan
lahan HGU PT. Nagasawit dengan
petani
Permohonan dikabulkan oleh pihak
PT. Nagasawit
PT. Nagasawit mengajukan
perpanjangan lahan HGU kepada
Badan Pertanahan Nasional
2000
Permohonan perpanjangan lahan
ditolak oleh BPN
PT. Nagasawit mengirimkan surat
kepada Camat Jalancagak
mengenai penanaman kelapa sawit
di atas lahan yang digarap
masyarakat dengan menyebutkan
izin dari Bupati Subang
2007
PT. Nagasawit secara bertahap
membabat habis tanaman nanas di
atas lahan garapan kemudian
ditanami dengan kelapa sawit
JuliDesember 2007
Gambar 6 Kronologi kasus sengketa
lahan eks-HGU PT. Nagasawit
DUA SISI PRANATA SOSIAL PERTANIAN DESA KUMPAY:
PRANATA NANAS DAN PRANATA KELAPA SAWIT
Salah satu bentuk kegiatan manusia yang memiliki pranata yang khas dan
mungkin saja memiliki perbedaan antara daerah yang satu dengan yang lain
adalah pranata pada kegiatan pertanian. Pranata ini mengatur setiap aktor-aktor
yang berkaitan pada lahan pertanian tersebut. Hal tersebut berlaku pada kegiatan
usaha tani yang dilakukan pada lahan sengketa di Desa Kumpay atau yang dapat
disebut sebagai lahan eks HGU PT. Nagasawit.
Seperti yang telah disebutkan di awal, jika dalam kehidupan yang memiliki
pranata di dalamnya mengalami perubahan, meskipun hanya satu aspek saja,
makan akan mengubah pranata tersebut. Setiap kegiatan manusia memiliki
pranata yang khas yang fungsinya sebagai peraturan. Segala bentuk peraturan,
baik itu tertulis maupun tidak tertulis dapat dikatakan sebagai pranata. Inti dari
pranata adalah peraturan yang mengatur kebiasan manusia untuk melakukan
kegiatan dan berhubungan satu dengan yang lainnya.
Tujuan dari permasalahan sengketa lahan yang terjadi di Kumpay adalah
mengganti tanaman warga menjadi kelapa sawit. Mayoritas komoditi yang
ditanam oleh warga pada lahan tersebut adalah tanaman nanas. Bergantinya
komoditi, yakni dari nanas ke kelapa sawit menyebabkan perubahan pranata
pertanian yang harus dijalani oleh setiap aktor yang terlibat dalam lahan tersebut.
Hal tersebut disebabkan sistem berusaha tani tanaman nanas dan kelapa sawit
memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut akan dijabarkan melalui dua subbab,
yakni pranata ketika nanas dan kelapa sawit.
Pranata Sosial Pertanian Komoditi Nanas: Pranata yang Merangkul Banyak
Pihak
Subang, merupakan sebuah daerah yang terkenal akan komoditi nanas.
Nanas Subang biasa disebut oleh masyarakat sebagai nanas madu atau “si madu”.
Nanas madu ini dapat dikatakan sebagai tanaman endemik karena hanya tumbuh
di daerah Subang yang daerah produksi terbanyak berada di Jalancagak. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan bapak SH.
“Nanas subang atau disebut orang sini si madu mah udah terkenal banget.
Cuma bisa tumbuh disini aja neng. Kalo ini nanas ditanem di daerah lain rasanya
ga bisa manis dan enak kaya gini. Gara-gara dulu saking terkenalnya nanas dari
Subang disini sampe dibikin tugu nanas.” –Bapak DD
Tak jauh berbeda dengan usaha tani tanaman lainnya, kegiatan usaha tani
nanas terdiri dari 4 kegiatan utama, yaitu pembibitan, penanaman, pemeliharaan,
dan panen. Untuk kegiatan pembibitan, biasanya hanya dilakukan oleh penggarap
sendiri. Untuk kegiatan penanaman, penggarap biasanya mempekerjakan petani
laki-laki penggarap lainnya. Sedangkan, kegiatan peran perempuan, atau istri
penggarap, terlihat pada kegiatan pemeliharaan. Mereka membantu suami-suami
mereka atau bekerja pada lahan garapan orang lain. Para perempuan ini biasanya
38
mencabut rumput yang tumbuh atau ngored jika disebut oleh masyarakat Kumpay
dan merapikan jalur tumbuh tanaman nanas agar tetap lurus.
Saat panen adalah saat bagi seorang penggarap dapat mempekerjakan anak-
anak kecil untuk mengangkut hasil panen mereka. Tak hanya sampai itu saja, saat
panen seorang penggarap dapat menjadi bandar nanas. Bandar nanas adalah
seseorang yang membeli nanas-nanas milik petani penggarap untuk kemudian ia
jual kepada pedagang-pedangan buah besar atau kecil. Seorang penggarap dapat
menjadi bandar nanas jika ia memiliki banyak modal uang dan jejaring yang luas.
Kepemilikan jejaring bertujuan agar banyak petani penggarap yang mau menjual
nanas hasil produksinya kepada dirinya. Bandar nanas akan mempekerjakan
penggarap lainnya sebagai kuli pikul nanas ke truk atau mobil milik mereka atau
kuli timbang.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pranata pertanian
nanas di Desa Kumpay lebih mengatur pada penggunaan tenaga kerja. Upah yang
diberikan untuk pekerja yang terlibat dalam usaha tani nanas berbeda, sesuai
dengan usia. Orang dewasa yang bekerja sebagai buruh tani, kuli pikul atau kuli
timbang (saat panen) akan diberikan upah sebesar Rp15 000/hari. Anak-anak akan
diberikan upah sebesar Rp5 000 atas jasanya membantu penggarap mengangkut
hasil panen mereka.
Penggunaan tenaga kerja dapat digolongkan menjadi tenaga kerja keluarga
dan non-keluarga. Ada petani yang hanya mempekerjakan keluarga mereka, ada
yang mempekerjakan keluarga dan non-keluarga, dan ada yang tidak
mempekerjakan keluarga namun mempekerjakan non-keluarga. Alasan perbedaan
tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti luas lahan yang digarap tidak terlalu
besar dan tidak terdapatnya anggota keluarga untuk dipekerjakan. Alasan kedua
seperti yang terjadi pada keluarga Bapak MH dan Bapak AI.
“Oh ibu mah ga suka bantu-bantuin bapak dulu. Ibu kan kerja jadi guru
soalnya. Kan istri-istri yang bantuin suaminya di kebon yang ga ada kerjaan aja
di rumah.” –Ibu DN, istri Bapak MH
“Biarpun lahan saya kecil, 50 bata, tetep aja suka minta tolong penggarap
lain buat bantuin. istri jaga warung di rumah” –Bapak AI
“Kalo tani nanas, banyak yang bisa bantu. Misalnya bapak jadi bandar
nanas. Terus ibu bantu ngored di kebon sendiri sama orang. Ngored di kebon
orang juga dibayar. Terus anak bapak yang kecil juga kadang suka bantu-bantu
petani naik-naikin nanas ke truk-truk bandar, dikasih upah juga.” –Bapak OC
Pranata Sosial Pertanian Komoditi Sawit: Pranata yang ‘Menyingkirkan’
Banyak Pihak
Bergantinya tanaman pada lahan sengketa, membuat para aktor pertanian
yang terkait dengan lahan tersebut harus menyesuaikan diri. Penyesuaian diri
yang dilakukan oleh mereka sesuai dengan pranata pertanian tanaman kelapa
sawit. Celakanya, kelembagaan pertanian untuk komoditi sawit sangat berbeda
180 derajat dengan kelembagaan pertanian komoditi nanas. Ibarat dua sisi mata
39
uang, pranata sosial pertanian kedua komoditi ini sangat berbeda. Jika pada
komoditi nanas kelembagaan pertaniannya dapat menyerap banyak tenaga kerja,
maka kelembagaan pada kelapa sawit tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja.
Permasalahan tersebut dapat terjadi karena tanaman kelapa sawit adalah tipe
tanaman yang dapat tumbuh besar tanpa perlunya perhatian khusus seperti nanas.
Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kelapa sawit setelah ditanam hanya untuk
memberikan obat-obatan dan panen saja. Sesuai dengan pernyataan informan
Bapak AM dan Bapak DI.
“Ya bayangin aja gimana ga banyak petani yang kesingkir. Sekarang gini,
kelapa sawit itu kan ga butuh penanganan yang macem-macem, terus
pemeliharaannya juga ga kaya nanas, jadi dari dua hektar itu aja palingan cuma
butuh dua sampe empat orang.” –Bapak AM
“Sawit itu tanaman yang ga butuh macem-macem. Tinggal tanem aja biarin
bisa tumbuh. Palingan cuma perlu dikasih obat. Makanya ga heran ga butuh
banyak petani. Orang Kumpay sini yang kerja di sawit paling di bawah 10
orangan. Kerjaan mereka ke kebon tiap hari ngecek ngasih obat sama kalo lagi
panen.” –Bapak DI
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dibayangkan dari seluruh lahan yang
diambil alih oleh PT. Nagasawit, maka jumlah buruh tani yang dipakai hanya
sedikit. Selain itu, memang tanaman kelapa sawit tidak membutuhkan perlakuan
dan pemeliharaan khusus. Tanaman ini ketika baru ditanam tinggal dibiarkan saja
hingga berumur 5 tahun untuk masa panen pertama. Padahal, pada awal masa-
masa pembabatan, kepada pemerintah PT. Nagasawit menyatakan bahwa
perkebunan kelapa sawit yang akan dibangun pada akhirnya akan menguntungkan
bagi masyarakat sekitar. Menguntungkan karena dapat menyerap tenaga kerja dan
tenaga kerja yang digunakan hanya warga desa di sekitar lahan tersebut. Pada
kenyataannya, omongan tersebut hanya bualan belaka, warga tidak mendapatkan
kesempatan bekerja menjadi buruh sawit. Orang-orang yang mendapatkan
pekerjaan menjadi buruh sawit hanyalah segelintir orang. Orang yang bisa
mendapatkan pekerjaan menjadi buruh sawit adalah saudara atau kenalan dekat
dari orang yang bekerja di PT. Nagasawit. Permasalahan tersebut didukung oleh
pernyataan beberapa orang warga.
“Ah itu mah bohong aja neng. Sampe sekarang mana katanya kita bisa
tetep ngegarap lahan. Yang bisa kerja ya paling itu saudara-saudaranya orang
PT (PT. Nagasawit-red)”. –Bapak CR
“Udah kaya kompeni lah PT itu. Pilih-pilih orang yang bisa kerja. Yang
bisa kerja di kelapa sawit cuma saudaranya aja.” –Bapak SN
Melihat berbagai pernyataan warga, dapat disimpulkan konversi tanaman
komoditi telah mengubah pranata pertanian yang ada. Perubahan ini menyebabkan
banyak pihak yang tersingkir dari lahan garapan tersebut. Mereka tersingkir dan
kehilangan mata pencahariannya. Petani laki-laki, istri-istri petani, buruh tani,
anak-anak, dan bandar nanas kehilangan sumber pendapatannya.
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN
TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI
Pranata sosial pertanian baru yang kini berlaku di atas lahan garapan eks-
HGU PT. Nagasawit telah membuat banyak pihak tersingkir. Petani penggarap,
istri petani, buruh tani, bandar nanas, anak-anak telah kehilangan sumber
pendapatannya. Kondisi baru yang harus dihadapi oleh mereka yang tersingkir
secara perlahan tapi pasti telah mengubah kehidupan mereka. Layaknya efek
domino, perubahan pranata akan mengubah kehidupan seseorang. Perubahan pada
kehidupan akan berujung pada perubahan tingkat kesejahteraan yang dirasakan
oleh mereka yang tersingkir. Kesejahteraan adalah hal penting dalam kehidupan
seseorang atau dapat dikatakan kondisi yang harus dimiliki oleh seseorang.
Kesejahteraan yang dibicarakan di sini bukan hanya kesejahteraan yang dirasakan
secara materi, namun juga kesejahteraan yang dirasakan secara moril atau batin.
Dampak dari perubahan pranata sosial pertanian ini telah menyebabkan
ratusan orang kehilangan mata pencahariannya. Keadaan tersebut membuat
penggarap berusaha mencari pekerjaan lain. Tidak hanya hal itu saja, perubahan-
perubahan yang terjadi juga secara langsung mengubah kesempatan bekerja
masyarakat baik itu di sektor pertanian maupun non-pertanian. Akibat perubahan
dalam sistem mata pencaharian di Desa Kumpay, maka tingkat kesejahteran
masyarakat Kumpay, khususnya petani penggarap dan keluarganya mengalami
perubahan. Selain mengubah sistem mata pencaharian yang berujung pada
perubahan tingkat kesejahteraan, perubahan pranata sosial pertanian juga
menyebabkan hubungan antar warga mengalami perubahan.
Perubahan Hubungan Antar Warga: Konsekuensi yang Terbentuk Akibat
Perubahan Pranata Sosial Pertanian dan Sistem Mata Pencaharian
Pranata usaha tani nanas telah membuat kehidupan harmonis tercipta di
dalam masyarakat. Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa petani
penggarap dapat bekerja menjadi buruh tani di lahan garapan petani lainnya. Hal
tersebut juga berlaku bagi istri penggarap yang bekerja sebagai buruh tani, tidak
hanya bekerja di lahan garapan suaminya, namun juga bekerja di lahan garapan
milik orang lain. Tak hanya itu saja, penggarap yang menjadi bandar nanas juga
memiliki banyak hubungan baik kepada petani penggarap. Hal tersebut membuat
terciptanya kondisi kenyamanan dalam berhubungan dengan terciptanya jejaring-
jejaring kerja. Gotong royong pun menjadi hal yang biasa dilakukan antara
sesama penggarap ketika mereka membutuhkan sesuatu yang harus dikerjakan
bersama-sama, seperti perbaikan jalan menuju lahan garapan.
Selain jejaring kerja dan gotong royong, hal lain yang terbentuk adalah
kepercayaan. Saat itu seorang bandar nanas, yang merupakan seseorang yang
dianggap memiliki kemampuan ekonomi lebih, menjadi seseorang yang dapat
diandalkan untuk memberikan hutang bagi para penggarap. Bandar nanas dapat
memberikan pinjaman bagi mereka yang memiliki kebutuhan mendesak, seperti
untuk modal, uang sekolah, kesehatan, atau renovasi rumah. Saat itu bandar nanas
tidak merasa takut untuk memberikan pinjaman karena meyakini bahwa petani
42
penggarap yang meminjam akan mengembalikan uang mereka. Keyakinan itu
didapat karena bandar nanas mengetahui bahwa seorang penggarap akan mampu
mengembalikan karena pekerjaan usaha tani nanas menjanjikan secara finansial.
Bandar nanas mengetahui dengan pasti penggarap akan mengembalikan uang
pinjaman dengan uang yang didapat dari hasil panen.
Namun, kemudahan untuk meminjam dan memberi pinjaman tidak lagi
terasa saat ini. Beberapa orang responden mengakui saat ini mereka sulit
memberikan pinjaman atau meminjam sejumlah uang. Pengakuan tersebut
diungkapkan responden yang merupakan mantan penggarap yang juga menjadi
bandar nanas, Bapak SN. Bapak SN menyatakan bahwa meskipun ia saat ini dapat
dikatakan memiliki uang yang lebih daripada yang lain, namun ia tidak berani
memberikan pinjaman karena tidak percaya yang meminjam akan membayar
hutangnya. Keadaan tersebut terasa masuk akal karena ketidakpercayaan itu
tumbuh akibat mereka sama-sama mengetahui bahwa kini mereka tidak memiliki
pekerjaan tetap. Tidak memiliki pekerjaan berarti tidak ada jaminan bagi mereka
dapat melunasi pinjaman dengan lancar seperti dulu. Alasan lain adalah mereka
menyadari bahwa sesama mereka, tetangga-tetangga mereka juga sama-sama
susah akibat tidak lagi menjadi penggarap. Hilangnya kepercayaan antar warga
yang telah dijelaskan tersebut lebih disebabkan oleh perubahan sistem mata
pencaharian yang telah terjadi di masyarakat.
“Sekarang mah mau cari pinjeman ke tetangga aja susah. Ya gimana lagi?
Pada ga percaya bisa ngelunasin utang. Orang kerjaan aja juga gitu ga jelas.
Lagian sama-sama tau aja semua penggarap disini pada susah juga.” –Pak DD.
“Kalo dulu saya suka minjemin uang ke penggarap, tapi sekarang mah
susah saya minjeminnya. Ke orang-orang tertentu aja yang saya percaya.
Takutnya mah pada ga bisa balikin. Kalo dulu kan percaya soalnya mereka pada
kerja. Lagian sekarang juga kita sama-sama susah sengsara, yang suka ngasih
pinjeman juga mending buat kebutuhan sehari-hari.” –Bapak SN
Selain rasa ketidakpercayaan yang cenderung memudar, hal lain yang dapat
terindikasi adalah munculnya rasa saling curiga antar warga. Kecurigaan ini
terbentuk seiring dengan munculnya kasus-kasus warga yang kehilangan benda-
benda berharga di rumahnya. Walaupun yang kehilangan tidak menuduh secara
langsung, namun ada indikasi di antara mereka curiga bahwa ada warga di dalam
desa yang melakukannya. Mereka menduga bahwa masalah kriminalitas ini ada
kaitannya dengan kondisi kesejahteraan warga yang terus menurun setelah
peristiwa pembabatan.
“Sekarang suka banyak warga yang ngelapor keilangan barang. Suka ada
yang mikir itu kerjaan orang dalem sini. Itulah akibat hilangnya pendapatan,
kasus kriminalitas jadi muncul. Orang yang ngambil mungkin butuh uang buat
kebutuhan hidup.” –Bapak MH
Kecemburuan sosial juga menjadi hal yang terindikasi selanjutnya.
Kecemburuan sosial ini terjadi di antara penggarap yang tersingkir dengan
penggarap yang kini masih bekerja menjadi buruh kelapa sawit. Mereka
43
menganggap bahwa penggarap yang kini bekerja untuk PT. Nagasawit sama saja
mengkhianati Kumpay. Kecemburuan jelas terjadi disini karena tidak semua
penggarap mendapatkan pekerjaan di lahan kelapa sawit. Hanya segelintir orang
saja yang dianggap memiliki hubungan kerabat dengan karyawan PT. Nagasawit
yang dapat bekerja.
“Suka sebel liat orang yang berangkat ke lahan sawit. Mereka mah enak
bisa kerja. Lah yang lain bapak-bapaknya cuma jadi pengangguran.” –Pak YT
.
“Itu mah KKN orang yang masih kerja sama PT. Yang kerja juga pasti
punya sodara disana. Harusnya mah orang PT bisa adil kalo mau kasih kerjaan
juga kasih ke semua orang. Sakit hati kalo inget itu mah.” –Bapak AI
Dari semua perubahan-perubahan hubungan sosial masyarakat tersebut,
yang paling terasa perubahannya adalah adanya ketidakselarasan hubungan antara
LSM pejuang nasib penggarap dengan pemerintah desa. Ketidakselarasan ini
terasa dengan berbedanya keterangan mengenai informasi yang disampaikan oleh
LSM dengan pemerintah desa. Kondisi ini menyebabkan penggarap yang dekat
dengan lingkungan pemerintah desa menjadi seperti kurang menyukai keberadaan
LSM. Begitu pun sebaliknya dengan penggarap yang dekat dengan lingkungan
LSM.
Kondisi perubahan hubungan antar warga telah membuat warga merasa
tidak bahagia. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka tidak lagi memiliki
hubungan yang harmonis dengan warga lain. Antar warga saling curiga, saling
cemburu, hingga terpecah menjadi 2 kubu merupakan hal yang tidak diinginkan
oleh warga Kumpay. Keadaan tersebut membuat mereka menjadi tidak nyaman
jika harus berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal itulah yang membuat
mereka tidak sejahtera secara moril. Kesejahteraan moril yang dibahas pada
bagian ini adalah kesejahteraan yang dirasakan secara moril yang berkaitan
dengan interaksi sosial antar manusia.
Perubahan Sistem Mata Pencaharian: Perubahan Langsung Akibat
Perubahan Pranata Sosial Pertanian
Dampak sistem mata pencaharian adalah perubahan yang terjadi pada sistem
mata pencaharian responden, yakni petani penggarap lahan eks-HGU PT.
Nagasawit. Dampak sistem mata pencaharian dikategorikan menjadi dua, yakni
perubahan pada kesempatan kerja dan perubahan pada pola pekerjaan. Berikut
akan disajikan hasil dari analisis data dari masing-masing ukuran variabel.
Perubahan Kesempatan Kerja Pertanian dan Non-Pertanian
Dampak pada kesempatan kerja dapat didefinisikan sebagai perubahan yang
terjadi pada kesempatan responden untuk bekerja di wilayah Kumpay saat ini
dibandingkan dengan saat sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi.
Kesempatan kerja ini berupa kesempatan kerja di bidang pertanian dan non-
pertanian. Ukuran yang digunakan adalah persepsi dari masing-masing responden
mengenai kesempatan kerja. Variabel ini terdiri dari satu pertanyaan dengan 5
44
pilihan jawaban yaitu, sangat sulit, sulit, netral (tidak sulit dan tidak mudah),
mudah, dan sangat mudah mengenai kesempatan bekerja di sektor pertanian dan
non-pertanian. Secara lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
Berdasarkan hasil pengumpulan dan olah data, diketahui bahwa terjadi
perbedaan kesempatan kerja pada saat ini dibandingkan saat sebelum terjadinya
konversi tanaman komoditi, baik itu pada bidang pertanian dan non-pertanian.
Untuk mengetahui perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
Gambar 7 Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian sebelum
konversi tanaman komoditi
Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan responden
menganggap mencari pekerjaan di bidang pertanian sebelum konversi tanaman
komoditi sangat mudah. Hal tersebut ditunjukan pada gambar bahwa sebanyak 30
responden atau seluruhnya kompak menjawab pekerjaan di bidang pertanian saat
itu mudah didapat atau dicari. Pada kesempatan pekerjaan di sektor non-pertanian,
mayoritas responden menjawab netral atau menganggap tidak sulit dan tidak
mudah dalam mencari pekerjaan sektor non-pertanian. Responden yang menjawab
pada pilihan jawaban netral sebanyak 19 orang atau sekitar 63.33% dari jumlah
responden. Sedangkan sisanya, yakni sebanyak 10 orang responden menjawab
mudah dan 1 orang menjawab sangat mudah. Hal yang dapat disimpulkan dari
gambar tersebut adalah pada saat sebelum konversi tanaman komoditi, responden
menganggap kesempatan untuk bekerja di sektor pertanian termasuk ke dalam
kategori yang mudah. Sedangkan mendapatkan pekerjaan di sektor non-pertanian
saat itu dianggap biasa-biasa aja, tidak mudah namun tidak sulit juga.
“Dulu mah kerja di pertanian gampang nyarinya. Masyarakat Kumpay sini
kan hampir semuanya ngegarap. Yang ga dapet lahan garapan juga bisa jadi
45
buruh. Waktu itu juga masih banyak masyarakat yang punya lahan pertanian
selain lahan garapan.” –Ibu RH
“Dulu bapak kan kerja juga jadi kuli bangunan. Dulu mah ga kaya
sekarang banyak saingan. Dulu kan warga pada makmur jadi banyak yang
benerin atau bikin rumah jadi untung juga jadi kuli bangunan. Ga kaya sekarang
jadi kuli bangunan juga percuma udah jarang orang Kumpay sini yang bangun
rumah. Teu boga duit (tidak punya uang-red). –Bapak OC
Gambar 8 Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian setelah konversi
tanaman komoditi
Pada gambar di atas, diketahui bahwa persepsi responden dalam mencari
pekerjaan di bidang pertanian setelah terjadinya konversi tanaman komoditi
sangat sulit. Ditunjukan pada gambar, sebanyak 26 responden atau lebih dari
setengah dari jumlah seluruh responden memberikan jawaban sangat sulit.
Sedangkan sisanya yakni sebanyak 3 orang menjawab netral dan 1 orang
menjawab sulit. Sementara itu, ketika ditanyakan mengenai kesempatan kerja di
sektor non-pertanian, jawaban terbanyak yang dipilih adalah sangat sulit. Sisanya
sebanyak 9 orang menjawab netral dan 8 orang menjawab sulit. Berdasarkan
gambar tersebut diketahui bahwa menurut sebagian besar responden, saat ini
mencari pekerjaan di bidang pertanian dan non-pertanian termasuk ke dalam
kategori sulit.
“Kerjaan jadi apa aja jaman sekarang mah susah. Liat aja sepanjang jalan
sini pos-pos tukang ojek sepi. Mau cari kerja dimana lagi, pabrik ga ada, apa-apa
ga ada.” –Bapak SO
46
“Kadang kerja jadi kuli bangunan, buruh, ngambil rumput, ga tentu. Apa
aja dikerjain. Kerja serabutan lah. Tapi tetep aja namanya juga serabutan ga
tentu tiap hari kerja. Kadang minggu ini kerja, kadang minggu depan ga kerja.” –
Bapak OC.
“Suami sekarang mah mancing aja neng. Ga ada kerjaan. Mau kerja jadi
petani juga ga punya lahan ibu mah. Kalo mau kerja di lahan punya orang aja
susah. Jarang-jarang ada yang nyuruh buat buburuh. Ga tentu gitu neng.” –Ibu
KT
“Sekarang kerjaan orang-orang yang dulu jadi penggarap ga tentu. Banyak
yang ga kerja. Yang masih kerja jadi petani atau buruh tani mah paling satu dua
orang, bisa diitung pake jari. Yang bisa kerja jadi petani atau buruh gitu
palingan orang yang punya lahan atau punya saudara atau tetangga deketnya
masih punya lahan (lahan pertanian-red).” –Pak PD
“Jangankan kerja jadi petani? Cari rumput buat makan ternak aja susah
sekarang mah. Kudu jauh kesana cari rumput. Kalo cari di bekas lahan garapan
pada ga doyan ternaknya. Udah dikasih obat tanahnya sama pihak sana. Jadi
ternak teh kurang suka.” –Bapak LL
Jika kedua gambar tersebut dibandingkan, maka terlihat bahwa terdapat
perbedaan yang terlihat jelas. Jika pada sebelum konversi tanaman komoditi
mencari pekerjaan di sektor pertanian termasuk ke dalam kategori mudah.
Sementara itu menurut mayoritas responden menyatakan kesempatan bekerja di
luar pertanian adalah netral, namun kondisi tersebut tidak berlaku dengan keadaan
saat ini. Kesempatan bekerja luar pertanian yang dahulu dikatakan netral, kini
mayoritas responden menjawab sangat sulit. Masalah tersebut juga terjadi pada
kesempatan kerja di sektor pertanian. Setelah konversi terjadi, mayoritas
responden menganggap mencari pekerjaan di kedua sektor tersebut menjadi sulit.
Orang-orang yang tersingkir dari lahan garapan mau tidak mau harus mencari
pekerjaan lain, entah itu di sektor pertanian atau non-pertanian. Celakanya, saat
ini sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang sedikit. Sempitnya lahan
pertanian yang dimiliki atau dikuasai masyarakat Kumpay saat ini menjadi faktor
yang berperan penting dalam menciptakan kondisi ini. Ketika sektor pertanian
tidak ada lagi, maka sektor non-pertanian menjadi pilihan satu-satunya.
Sedangkan ketika mereka ingin mencari pekerjaan di sektor non-pertanian,
mereka juga mengalami kesulitan karena ragam pekerjaan non-pertanian yang
sedikit ditambah banyaknya para pesaing. Minimnya keahlian maupun
pengetahuan yang dimiliki oleh responden juga menjadi hambatan dalam sulitnya
mencari pekerjaan di luar pertanian.
“Yah sekarang mah mau kerja apa. Mau kerja jadi petani lahan udah
diambil, terus mau garap lahan orang juga ga ada. Jarang disini mah warga
yang masih punya lahan pertanian. Mau kerja jadi tukang ojek misalnya, motor
butut gini siapa yang mau naikin.” –Bapak KN
47
Pola Pekerjaan Sebelum dan Sesudah Konversi Tanaman Komoditi
Dampak pada pola pekerjaan dapat didefinisikan sebagai perubahan dari
pekerjaan-pekerjaan yang kini dilakukan oleh para responden. Semenjak konversi
tanaman komoditi, semua responden tidak lagi bekerja sebagai petani penggarap.
Di antara mereka memang masih ada yang bekerja di bidang pertanian, misalnya
sebagai petani pemilik atau buruh tani. Namun kebanyakan responden bekerja di
luar sektor pertanian, misalnya sebagai kuli bangunan, tukang ojek, peternak,
pedagang, dan lain-lain. Bahkan di antara mereka ada yang kini tidak bekerja atau
menganggur. Perubahan pola pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi tanaman
komoditi
Sebelum konversi tanaman komoditi, seluruh responden bekerja sebagai
petani penggarap. Sebanyak 1 orang dari responden pada saat itu juga bekerja di
luar sektor pertanian, seperti yang dilakukan oleh Bapak SN, selain sebagai
peternak, beliau juga merupakan pedagang nanas. Di antara responden juga ada
yang mencari penghasilan tambahan dengan menjadi buruh tani di lahan garapan
milik orang lain. Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan sesudah konversi
tanaman komoditi. Pola pekerjaan masyarakat berubah secara drastis. Hal tersebut
ditandai dengan menurunnya jumlah responden yang bekerja sebagai petani atau
buruh tani. Jumlah responden yang bekerja di sektor pertanian kini hanya tersisa 5
orang saja. Mayoritas pekerjaan responden saat ini adalah sebagai pekerja di
sektor pertanian yang tidak menghasilkan gaji tetap. Pekerjaan yang termasuk ke
dalam kategori ini misalnya tukang ojek, kuli bangunan, pedagang, dan
sebagainya. Semua pekerjaan tersebut memberikan pemasukan bagi responden
48
setiap hari atau beberapa hari sekali secara rutin, namun dengan jumlah yang tidak
tetap. Responden yang termasuk ke dalam kategori ini berjumlah 14 orang.
Berdasarkan hal tersebut, pekerjaan dalam kategori ini menjadi mayoritas
pekerjaan dari responden saat ini. Selanjutnya, sebanyak 8 orang dari responden
saat ini tidak bekerja atau bekerja serabutan. Responden dikatakan bekerja
serabutan apabila ia tidak memiliki pekerjaan rutin yang dilakukan setelah
konversi tanaman komoditi. Kondisi ini seperti yang dialami oleh Bapak KN,
dimana terkadang ia bekerja sebagai buruh ngored atau pencabut rumput. Jika
pekerjaan sebagai buruh ngored tidak ada, maka beliau akan bekerja sebagai
tukang perbaikan jalan umum8. Kemudian, sisa responden sebanyak 2 orang
bekerja di sektor non-pertanian yang menghasilkan gaji tetap.
Berdasarkan Gambar 9, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi
tanaman komoditi. Dahulu seluruh responden hanya bekerja di sektor pertanian,
yakni sebagai petani penggarap, dan hanya sedikit yang juga bekerja di sektor
non-pertanian. Saat ini pola pekerjaan responden menjadi beragam. Responden
yang saat ini masih bekerja di sektor pertanian disebabkan masih memiliki lahan
pertanian atau berkerabat dekat dengan orang yang memiliki lahan pertanian.
Sedangkan, sisanya tidak memiliki atau menguasai lahan pertanian. Hal tersebut
membuat mereka tidak tahu harus bekerja sebagai apa atau memilih pekerjaan
apapun dengan prinsip „asal bisa menghasilkan uang‟.
“Kalo lagi ga ada kerjaan disuruh-suruh orang gitu ya nungguin jalanan
yang rusak aja. Suka ada yang ngasih sumbangan, sebagian buat benerin jalan,
sebagian buat upah saya benerin itu jalan.” –Bapak KN.
“Mau kerja di luar bidang pertanian juga susah. Jadi tukang ojek juga
sedikit penghasilannya. Ga seberapalah. Udah jarang yang ngojek. Kan biasanya
udah pada punya motor.” –Bapak SO.
Berubahnya Tingkat Kesejahteraan Akibat Perubahan Pranata Sosial
Pertanian
Kehidupan sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan. Pada umumnya
kesejahteraan dijadikan oleh manusia sebagai tujuan atau pencapaian hidup
mereka. Beragam cara dilakukan oleh manusia agar mencapai kesejahteraan
secara hakiki, yaitu kesejahteraan moril dan materiil. Dibutuhkan waktu panjang
agar kehidupan yang sejahtera dapat tercapai. Kesejahteraan yang dirasakan dapat
ditentukan dari mata pencaharian yang mereka lakukan. Mata pencaharian
menentukan jumlah penerimaan yang akan mereka dapatkan. Selain itu, jenis
mata pencaharian juga menentukan jaminan keamanan dalam kehidupan mereka,
sehingga mereka dapat merasakan kesejahteraan moril.
Seperti yang telah sering disebutkan di atas, konversi tanaman komoditi
pada akhirnya akan menyebabkan perubahan kesejahteraan. Awal dari perjalanan
8 Maksud pekerjaan ini adalah responden berdiri di tengah jalan umum yang rusak, kemudian
meminta sumbangan kepada pengguna jalan, lalu memperbaiki jalan. Sebagian dari uang
sumbangan tersebut digunakan responden sebagai upah memperbaiki jalan.
49
tersebut adalah permasalahan perampasan lahan karena klaim PT. Nagasawit atas
lahan yang telah bertahun-tahun digarap 700 petani Kumpay. Kemudian,
sengketa lahan tersebut berujung pada kekalahan para penggarap yang ditandai
dengan pengambilalihan lahan dan ditanami oleh kelapa sawit. Kelapa sawit
tanaman yang diharapkan dapat menjadi sumber penghidupan baru, ternyata tidak
banyak menyerap tenaga kerja. Akibatnya petani penggarap yang berjumlah
ratusan itu pun tersingkir dan mencari beragam pekerjaan baru. Namun pekerjaan
baru itu tidak menjanjikan untuk kehidupan mereka. Sehingga pada akhirnya,
tingkat kesejahteraan penggarap berubah.
Untuk mengetahui hubungan antara perubahan sistem mata pencaharian
dengan tingkat kesejahteraan, dilakukan secara 7 tahap. Tahap pertama sampai
ketiga adalah tahapan pada variabel perubahan sistem mata pencaharian. Tahap
pertama adalah menjumlahkan skor pertanyaan kesempatan kerja di sektor
pertanian dan non-pertanian sesudah terjadinya konversi tanaman komoditi.
Kemudian, skor tersebut kembali dijumlahkan dengan pertanyaan pola pekerjaan
responden saat ini. Jika ketiga pertanyaan tersebut dijumlahkan maka akan
didapatkan skor tertinggi sebesar 15 dan terendah sebesar 3. Tahap kedua adalah
mengkategorikan skor dari penjumlahan ketiga pertanyaan tersebut menjadi 3
kategori, yakni negatif (skor 6), netral (skor 711), dan tinggi (skor 12). Yang
dimaksud netral apabila perubahan sistem mata pencaharian tidak negatif dan
tidak positif. Tahap ketiga adalah menentukan responden yang termasuk ke dalam
tiga kategori tersebut berdasarkan jawaban yang mereka pilih.
Tahap keempat sampai keenam adalah tahapan pada variabel tingkat
kesejahteraan. Tahap ini secara garis besar seperti pada tahapan variabel
perubahan sistem mata pencaharian. Tahap keempat menjumlahkan skor
pertanyaan kesejahteraan moril responden sesudah konversi, yang terdiri dari 2
pertanyaan, dan pertanyaan kesejahteraan materiil responden sesudah konversi,
yang terdiri dari 5 pertanyaan. Dari ketujuh pertanyaan tersebut didapatkan skor
tertinggi sebesar 35 dan terendah sebesar 7. Tahap kelima adalah
mengkategorikan skor tertinggi-terendah menjadi 3 kategori, yaitu rendah,
sedang, dan tinggi. Dikatakan rendah apabila skor 16, sedang apabila skor
1725, dan tinggi apabila skor 26. Tahap keenam adalah menentukan responden
yang termasuk ke dalam tiga kategori tersebut berdasarkan jawaban yang mereka
pilih. Tahap terakhir atau tahap ketujuh merupakan tahap penghitungan hubungan
antara variabel sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan melalui
aplikasi PASW statistics 18. dengan uji statistik Rank Spearman. Namun, sebelum
penghitungan dilakukan, dibuat tabel tabulasi silang untuk melihat korelasi kedua
variabel tersebut. Tabel tabulasi silang dapat dilihat dalam Tabel 1.
50
Tabel 1 Tabel tabulasi silang antara variabel sistem mata pencaharian dengan
tingkat kesejahteraan responden
Tingkat kesejahteraan Total
Rendah Sedang
Perubahan sistem
mata pencaharian
Negatif 17 2 19
Netral 4 7 11
Total 21 9 30
Tabel tabulasi silang antara kedua variabel menunjukkan bahwa mayoritas
responden berada dalam kategori perubahan sistem mata pencaharian negatif dan
tingkat kesejahteraan rendah. Selanjutnya jumlah terbanyak dari responden
terletak pada perubahan sistem mata pencaharian sedang dan kesejahteraan
sedang. Tidak ada dari responden yang berada pada kategori tinggi pada variabel
sistem mata mencaharian maupun tingkat kesejahteraan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara perubahan sistem mata pencaharian
dengan tingkat kesejahteraan. Alasannya adalah responden yang masuk ke dalam
kategori perubahan negatif, maka kesejahteraannya akan rendah.
Pada tabel juga terdapat responden yang berada pada kategori negatif untuk
variabel perubahan sistem mata pencaharian, namun tingkat kesejahteraannya
sedang. Hal tersebut dapat disebabkan karena sebelum terjadinya konversi
tanaman komoditi, responden memiliki lahan garapan yang cukup luas, sehingga
memiliki penghasilan, tabungan, aset yang lebih banyak, atau kesejahteraan moril
yang dirasakan tidak terlalu buruk. Hal tersebut menyebabkan saat ini
kesejahteraan responden berada dalam kategori sedang. Sedangkan, ada
responden yang perubahan sistem mata pencahariannya termasuk ke dalam
kategori sedang, namun kesejahteraannya rendah. Banyak faktor yang
menyebabkan hal tersebut, seperti lahan garapan yang dimilikinya dahulu tidak
luas, sehingga saat ini aset-asetnya banyak yang dijual, memiliki jumlah
tanggungan yang banyak, atau kesejahteraan moril yang dirasakan dapat
dikatakan buruk.
“Ini Pak HD mah masih kaya dia. Dulu tanahnya luas jadi bisa kebeli
mobil 3, motor, terus ternak kambing sama sapinya juga banyak. Kalo kaya gitu
jadi bisa buat tabungan buat sekarang-sekarang, tapi ga tau kalo nanti.
Banyakan dijual juga buat memenuhi kebutuhan sehari-hari.” –Bapak LL
Hasil korelasi yang dapat dilihat dari tabulasi silang di atas sejalan dengan
hasil korelasi uji statistik Rank Spearman. Hasil uji statistik Rank Spearman
menyatakan bahwa nilai korelasi yang didapat sebesar 0.737. Nilai tersebut
menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat. Hal tersebut disebabkan karena
nilai hitung berada pada kategori 0.50.75. Dijelaskan dalam Sarwono (2009),
jika nilai hitung berada dalam kategori > 0.50.75 artinya adanya korelasi yang
kuat antar variabel. Korelasi tersebut merupakan korelasi searah dengan
ditunjukan oleh nilai hitung yang positif. Searah memiliki makna bahwa jika
51
variabel A rendah, maka variabel B juga rendah, begitupun sebaliknya.
Selanjutnya mengenai masalah signifikansi korelasi antar variabel, variabel
perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan dikatakan
signifikan. Hal tersebut dijelaskan dengan nilai signifikan sebesar 0.00 yang
berarti kurang dari 0.01. Nilai 0.01 didapat karena tingkat ketepatan sebesar 99%
yang berarti kesalahan pengambilan sampel sebesar 1% atau 0.01.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel
perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan memiliki
korelasi yang kuat, searah, dan signifikan. Dengan kata lain hipotesis penelitian
untuk metode kuantitatif diterima, semakin negatif perubahan sistem mata
pencaharian, maka semakin negatif tingkat kesejahteraan. Hasil penghitungan
dengan aplikasi PASW statistics 18. secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 5.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konversi tanaman komoditi adalah bergantinya suatu komoditi yang
diusahakan di atas sebuah lahan pertanian. Pergantian komoditi ini disebabkan
karena komoditi baru dinilai lebih menguntungkan. Hal inilah yang terjadi di Desa
Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Di desa ini
terjadi konversi tanaman komoditi secara besar-besaran dari nanas ke kelapa
sawit. Awal mula kasus tersebut adalah adanya klaim dari sebuah perusahaan
perkebunan atas suatu lahan yang telah lama digarap warga setempat, yang
berujung pada pengambilalihan lahan oleh perusahaan perkebunan tersebut.
Kemudian, akibat komoditi yang berubah, maka secara otomatis pranata pertanian
pun berubah.
Pranata pertanian komoditi yang baru, yakni kelapa sawit ternyata tidak
menyerap tenaga kerja yang banyak, tidak seperti pranata usaha tani nanas.
Akibatnya, ratusan orang kehilangan pekerjaan sebagai petani penggarap. Tidak
sampai itu saja, istri petani yang bekerja membantu suaminya, anak-anak kecil,
dan bandar nanas juga terkena dampaknya. Masalah tersebut membuat kehidupan
penggarap dan keluarganya mengalami perubahan. Perubahan tersebut berupa
perubahan pada sistem mata pencaharian. Perubahan pada sistem mata
pencaharian meliputi perubahan pada kesempatan bekerja di sektor pertanian dan
non-pertanian serta perubahan pada pola pekerjaan yang dilakukan oleh
penggarap.
Berdasarkan hasil pengambilan data, diketahui bahwa persepsi responden
mengenai kesempatan bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian, sebelum dan
sesudah konversi tanaman komoditi berbeda. Sebelum konversi tanaman
komoditi, mencari pekerjaan di kedua sektor tersebut termasuk ke dalam kategori
mudah dicari. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi saat ini,
dimana responden menganggap mencari pekerjaan di kedua sektor terebut susah.
Pola pekerjaan responden pun sangat berbeda antara sebelum dan sesudah
konversi tanaman komoditi. Saat sebelum, seluruh responden bekerja di sektor
pertanian sebagai penggarap. Namun, saat ini seluruh responden memiliki pola
pekerjaan yang menyebar ke dalam 5 kategori pola pekerjaan, dimana mayoritas
responden berada pada kategori pekerja sektor non-pertanian yang tidak
menghasilkan gaji tetap.
Perubahan sistem mata pencaharian secara langsung mempengaruhi tingkat
kesejahteraan yang dirasakan mereka, dimana kesejahteraan yang dimaksud
adalah kesejahteraan secara moril dan materiil. Pengaruh tersebut dibuktikan
dengan nilai hasil uji statistik sebesar 0.737 (nilai signifikan sebesar 0.00 dengan
nilai alpha 1%) yang menyatakan terdapat korelasi yang kuat, searah, dan
signifikan antara perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat
kesejahteraan.
Tidak hanya perubahan sistem mata pencaharian saja yang berubah akibat
perubahan pranata sosial pertanian, hubungan sosial di dalam masyarakat pun
mengalami perubahan. Perubahan hubungan tidak hanya disebabkan oleh
konversi tanaman komoditi, namun juga disebabkan oleh perubahan sistem mata
54
pencaharian. Meskipun perubahan tersebut masih terasa samar, namun sudah
dapat terindikasi. Perubahan hubungan antar warga yang terindikasi adalah
memudarnya tingkat kepercayaan dan gotong royong, munculnya rasa curiga dan
kecemburuan sosial, dan adanya ketidakselarasan hubungan antara dua pihak
penting di Desa Kumpay yang telah menyebabkan masyarakat terbagi ke dalam
dua kubu. Perubahan hubungan antar warga juga telah menyebabkan perubahan
pada tingkat kesejahteraan moril yang berkaitan dengan kesejahteraan dalam
berinteraksi sosial.
Saran
Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:
1. Agar pemerintah lebih peka terhadap nasib rakyat terutama petani. Diharapkan
pemerintah daerah atau pusat turun langsung ke Desa Kumpay untuk melihat
kondisi sebenarnya yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pemerintah
diharapkan menjadi penengah antara PT. Nagasawit dengan petani penggarap,
dan membuat kebijakan yang win-win solution di antar kedua pihak yang
bersengketa
2. Bagi pemerintah desa dan Lembaga Swadaya (LSM) Masyarakat Himpunan
Petani Nanas, agar saling bekerja sama demi memperjuangkan hak-hak
penggarap.
3. Perlu adanya tinjauan ulang atas kepemilikan lahan sengketa eks-HGU PT.
Nagasawit.
55
DAFTAR PUSTAKA
[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang
Kesejahteraan Sosial
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). 2010. Perampasan tanah sebab,
bentuk dan akibatnya bagi kaum tani. [Internet]. [diunduh 31 Oktober
2012]. Dapat diunduh dari: http://farmlandgrab.org/wp-
content/uploads/2010/09/Risalah-ttg-Perampasan-Tanah_24-Sept-2010.doc
Astuti UP, Wibawa W, Ishak A. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih
fungsi lahan pangan menjadi kelapa sawit di Bengkulu: kasus petani di Desa
Kungkai Baru. Prosiding: Seminar Nasional Budidaya Pertanian Urgensi
dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. [Internet]. [25
Oktober 2012]. Dapat diunduh dari:
http://repository.unib.ac.id/128/1/16Alih%20%20Fungsi%20%20Lahan%20
%20_UNIB_.pdf
Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Statistik kesejahteraan rakyat 2006. Jakarta
[ID]: BPS.
Basrowi. 2005. Pengantar sosiologi. Bogor [ID]: Ghalia Indonesia.
Center for International Forestry Research (CIFOR) 2007. Menuju kesejahteraan
dalam masyarakat hutan: buku panduan untuk pemerintah daerah. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Dassir M. 2010. Sistem penguasaan lahan dan pendapatan petani pada Wanatani
Kemiri di Kecamatan Camba Kabupaten Maros. Perennial. 06(2): 90-98.
Hamdan. 2012. Ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di
Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. [thesis].
Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Kodoatie RJ, Sjarief R. 2010. Tata ruang air. Yogyakarta [ID]: Andi Publisher.
Krisnamurthi B. 2006. Revitalisasi pertanian dan dialog peradaban. Jakarta [ID]:
Kompas.
Landsberger HA, Alexandrov YG. 1981. Pergolakan petani dan perubahan sosial.
Jakarta [ID]: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Nasution M. 2005. Pengelolaan perkebunan untuk kesejahteraan rakyat. Widjaya
AH, Dwiastuti F, Ubaydillah M, Bubun, Dewina O, Kadarsyah E, Nurdin
AA, editor. Membangun Indonesia. Bogor [ID]: IPB Press.
Rahardjo. 2004. Pengantar sosiologi pedesaan dan pertanian. Yogyakarta [ID]:
Gadjah Mada University Press.
Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayer A. 1992. Pertanian masa depan.
Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Sukoco
Y, penerjemah. Yogyakarta [ID]: Kanisius. Terjemahan dari: An
introduction to low-external-input and sustainable agriculture.
56
Ruswandi A. 2005. Dampak konversi lahan pertanian terhadap perubahan
kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah [tesis]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor.
Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikjo K. 2007. Dampak konversi lahan pertanian
terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah: studi kasus di
Daerah Bandung Utara. Agro Ekonomi, 25 (2): 207-219.
Savitri LA. 2007. Uncover the concealed link: gender & ethnicity-divided local
knowledge on the agro-ecosystem of a forest margin. A case study of
Kulawi and Palolo local Knowledge in Central Sulawesi, Indonesia.
[inaugural-dissertation].
Serikat Petani Indonesia (SPI). 2010. Hentikan kebijakan liberalisasi dan
Korporatisasi Pertanian. [Internet]. [diunduh 1 Januari 2013]. Dapat diunduh
dari: http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/2010/12/2010-12-16-Catatan-
Akhir-Tahun-2010.pdf
Sihaloho M, Dharmawan AH, Rusli S. 2007. Konversi lahan pertanian dan
perubahan struktur agraria (studi kasus di Kelurahan Mulyaharja,
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Sodality. 01: 253-269.
Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Dalam: Singarimbun M dan
Effendi S, editor. Metode penelitian survai. Jakarta [ID]: LP3ES. Hal. 3-15.
Soekartawi, Soehardjo A, Dillon JL, Hardaker JB. 1989. Ilmu usaha tani dan
penelitian pengembangan petani kecil. Jakarta [ID]: UI Press.
Sutanto R. 2002. Penerapan pertanian organik: pemasyarakatan dan
pengembangannya. Yogyakarta [ID]: Kanisius.
Syahza A, Khaswarina S. 2007. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dan
kesejahteraan petani di Daerah Riau. Sorot. [Internet]. [dikutip tanggal 1
Desember 2012]. 1 (2). Dapat diunduh dari:
http://almasdi.unri.ac.id/artikel_pdf/PEMBANGUNAN%20PERKEBUNA
N%20KELAPA%20SAWIT%20DAN%20KESEJAHTERAAN%20PETA
NI%20DI%20DAERAH%20RIAU.pdf
Utomo M. 1992. Alih fungsi lahan dan tinjauan analitis. Utomo M, Rifai E,
Thahar A, editor. Bandar Lampung [ID]: Universitas Lampung. 61 hal.
Wiyono. 2002. Tanam tebu di hutan siapa diuntungkan? Serasah. 03(27): 5-7.
Yustika AE. 2006. Teori perubahan kelembagaan. Wahyuni S, Setyorini Y,
Basuki I, editor. Ekonomi kelembagaan definisi, teori, dan strategi. Malang
[ID]: Bayumedia Publishing.
57
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Desa Kumpay, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa
Barat
58
Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian 2013
Kegiatan
Bulan
Februari Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
proposal
penelitian
Kolokium
Studi
lapangan
Penyusunan
dan
penulisan
laporan
Ujian
Perbaikan
laporan
penelitian
59
Lampiran 3 Kerangka sampel petani penggarap lahan eks-HGU PT. Nagasawit
1 Tarmun 40 Dedi 79 Nina
2 Imi 41 Inuk 80 Ayum Suyana
3 Titi Maryati 42 Sapri Supriyadi 81 Unnan Al Uhnan
4 Karti 43 Rusim 82 Entin Rohaetin
5 Ani 44 UT 83 Entes
6 Encun 45 Sudin 84 Ade Namin
7 Usan Tarno 46 Ruhita 85 Encum
8 Kardi 47 Inik 86 E. Maryamah
9 Rahman 48 Taryana 87 Juhria
10 Darlan Garling 49 Udis 88 E. Karmin
11 Suryana 50 Ade Herli 89 Kusmayati
12 Epon Rukisah 51 Yati 90 Eros
13 Sakri 52 U. Aminin 91 Warnan
14 Uman 53 OC 92 Eni
15 Warsa 54 KR 93 AR
16 Iyep Jana 55 Wartini 94 Sahum
17 Karmi 56 Ukar 95 Endang Masum
18 Cahya 57 Damin 96 Ani Tamad
19 Elan 58 Sulmi 97 Dedeng Hermawan
20 Sukarni 59 Iri Irawan 98 Mahdin
21 Mansur 60 Ade Mahmud 99 Cahyan
22 Edes 61 Dayeng 100 AS
23 Karsi 62 Entin 101 Amah
24 Muncis 63 Feri Farid 102 HD
25 Jojon 64 Maman 103 Cicih Sunarsih
26 Amud 65 Asib 104 Nehab
27 Uhmi 66 Ujang Hatim 105 Udi
28 Warlin 67 Endi 106 Karwati
29 Sahwar 68 Katma 107 Ali
30 Arna 69 Herman 108 Adib
31 Tati Rohayati 70 Jeri Ismail 109 Deblo
32 Sarkim 71 ON 110 H. Suhlan
33 Eem 72 Cahya 111 Warsih
34 PD 73 Wawa Hermawan 112 U. Sahdi
35 Wahli 74 Jumin 113 Dayeng
36 Darmin 75 Jaja 114 Aceng Rusib
37 Nadi 76 Unen 115 Kudin
38 Itang Suherman 77 Rahmat 116 Encid
39 Yeni 78 Eem 117 Taryudin
60
118 Darpit 159 Aceng Sutisna 200 Ade
119 Bandi 160 Erwi 201 Ata
120 Ocih 161 Waryan 202 Catur Agustin
121 Saepudin 162 Kusman 203 Tasib
122 Sarnim 163 Eem 204 Arsim
123 Rahadiah FB 164 Catim 205 Jeri
124 AI 165 Aar Artesih 206 Kasno
125 Wati 166 Samad 207 Oman S
126 YT 167 Darmi 208 Ameh
127 Enes 168 Oom 209 Anih
128 Ruhni 169 Jajang Suhanda 210 Oda
129 Yani Rahma 170 Entin Al Ecin 211 Ooy Hayati
130 Euis Herina 171 M. Dahlan 212 Emur
131 Empir 172 Wasdi 213 Enung Rohaeni
132 Cucu 173 Iti 214 Walsid
133 Wasni 174 Kono 215 Amat
134 SO 175 Ade 216 Endang
135 Tohar 176 Dadang 217 Eulis
136 Tomo 177 Durinih binti Jaiq 218 Enar
137 Hendra Abdullah 178 Walsih 219 Umik
138 Eros Rosita 179 Umah 220 Momon
139 Cahyono 180 Apen Apendi 221 Nani
140 Mulyati 181 EH 222 Sukrawan
141 Didi 182 Kamad Tamad 223 Anan
142 RO 183 Euis Rohmayati 224 Ny Tarsih
143 Arin 184 Karmid 225 Heri Suherman
144 Tali 185 Ade Taryana 226 Casmita
145 Otong Sahrudin 186 Samli 227 Alsi
146 Aah 187 Isah 228 Neli Nurlelah
147 Mat Kosim 188 Rosim 229 Suta
148 Neni Suhaeni 189 Ny. Emi 230 AB
149 Imas 190 Agus Suryana 231 Warnengsing
150 Dodo 191 Acah 232 Dudi Setiadi
151 Kurdi 192 Dedeh 233 Warga
152 Didi Kurnia 193 Ade Suherman 234 Kenda Ruhita
153 Kahmar 194 Otong 235 US
154 Awa 195 Acit 236 Nuhari
155 Jumi Juariah 196 Iis Sumiyati 237 Kokom
156 Rohmat 197 KM 238 Aep Suparman
157 KK 198 Uul 239 Ursih
158 Rian 199 Tarsih Tarsim 240 Samir
61
241 Ruswati 282 Warya 323 Heri
242 Ara Suryana 283 Iis 324 Samsu
243 Udin 284 Entis 325 Karman
244 Asim 285 Aat 326 U. Maman
245 Asep Koswara 286 Eti 327 Wacih
246 Atin Nurmayatin 287 Rahman 328 Sukur
247 Karsiah 288 Ocin 329 Ento
248 Akub 289 Sumiati 330 Nati
249 Yayan 290 Udin Saepudin 331 Icah Ruskanah
250 Isar 291 Memed H 332 Udung
251 Rukayah 292 Esih 333 AS
252 Uju 293 Mahri 334 DD
253 Edi 294 Amat 335 Suyaha
254 Eja 295 Rahmat 336 Wahyu
255 Emen 296 Ujang Feri 337 Aisah
256 U. Rahmat 297 Suti 338 Enen/Warya
257 SP 298 Kuswanto 339 Amin Sutisna
258 Asud 299 Ruhenda 340 Rohaeti
259 Ade 300 Tati Rahmawati 341 Dedi Junaedi
260 Kamad Sutaha 301 TH 342 Marlan
261 Dasim 302 Kaceng Sahudin 343 Sahna
262 Wahyu 303 NT 344 Sukendi
263 CR 304 Iis Nurjanah 345 Endi
264 Hayat 305 Uartini 346 Sarya
265 Talim 306 Elah 347 Sunarto
266 Wawan 307 Suhmi 348 Entam
267 Ama 308 Deni Sutarni 349 Ane
268 Edah Yuyu 309 Sahar 350 Uhman
269 Abang 310 Adun 351 Neng Gita
270 Teti Rohayamah 311 Andi 352 Asib
271 Karlin 312 UM 353 Tarsum
272 Sudin S. 313 M. Toyib 354 Aop Sopandi
273 Suwangsih 314 Kanda 355 Cicih
274 Tarman P 315 Yayat 356 Uu Rusnadi
275 Cicih 316 Aen 357 Emen
276 Ali Hidayat 317 SN 358 Wati Setiawati
277 Kotim 318 Ma Emin 359 Supriati
278 Uneb 319 Uli 360 U. Cahya
279 Erum 320 Asep Ramdan 361 Dadang
280 Siti Rohmah 321 Tarya 362 LL
281 Mira Apriliati 322 Muksin 363 Sarman
62
364 Dayeng 405 Titi Runeti
365 CH 406 Ahnen
366 Ruhana 407 Sakman
367 Ruhnib 408 Ayah
368 Ujang Yayat 409 Rohim
369 Kanim 410 Oneng Suryati
370 Didin 411 Ny Aminah
371 Edah 412 Ipin
372 Anah 413 Rukayah
373 Emuh 414 Udi
374 Yuyu 415 Kasmar
375 Pepen 416 Arum N
376 Tasih 417 SD
377 Entas 418 Wasim
378 Wati 419 Omih
379 NH 420 Rustam
380 Atang Rustandi 421 Isum Sumiati
381 Osar 422 Rukarman
382 Nahari 423 Rosita
383 Ucok 424 Kamah
384 Eni 425 Ahmad Cardo
385 Marlis 426 Aris Mulyani
386 Rahudi 427 Karsih
387 Carwita 428 AA
388 Sar'an 429 Suhandi
389 Urfi 430 Dede Supriatna
390 Wawan 431 Icah
391 Keris 432 Warsita Rohyana
392 Dasir 433 Aman Rusmanto
393 Darsiti 434 Sasmita
394 Anah 435 Dahyar
395 Saud
396 Irma Yuliwai
397 Adar
398 Oci
399 Kariman
400 Icin
401 Edeh
402 Kirno
403 Karnengsih
404 HS Furqon
63
Lampiran 4 Kuesioner penelitian
KUESIONER
DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN PADA
KONVERSI TANAMAN KOMODITI TERHADAP KESEJAHTERAAN
PETANI DESA KUMPAY-SUBANG
Peneliti bernama Rizki Budi Utami, merupakan mahasiswi Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan
studi. Peneliti berharap Bapak/Ibu/Saudara/i menjawab kuesioner ini dengan
lengkap dan jujur. Identitas dan jawaban dijamin kerahasiannya dan semata-mata
hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi. Terima kasih atas
bantuan dan partisipasi Bapak/Ibu/ Saudara/i untuk menjawab kuesioner ini.
1. IDENTITAS RESPONDEN
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Pendidikan Terakhir ( ) SD
( ) SMP
( ) SMA
( ) Universitas
Luas lahan garapan nanas yang
dimiliki di lahan eks-HGU
Pekerjaan Sebelum Terjadinya
Konversi Tanaman Komoditi
Pekerjaan Setelah Terjadinya Konversi
Tanaman Komoditi
Nomor Responden
Tanggal Survei
Tanggal Entri Data
64
2. DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN
2.1. Kesempatan Kerja
Bagaimana kesempatan kerja pada saat sebelum dan sesudah konversi tanaman
komoditi?
Sebelum Konversi Tanaman Komoditi Sesudah Konversi Tanaman Komoditi
A. Sangat sulit A. Sangat sulit
B. Sulit B. Sulit
C. Netral C. Netral
D. Mudah D. Mudah
E. Sangat Mudah E. Sangat Mudah
2.2. Pola Pekerjaan
Apa sajakah pekerjaan yang Anda lakukan pada saat ini (setelah terjadinya
konversi tanaman komoditi)?
A. Tidak bekerja apa-apa/ bekerja serabutan
B. Bekerja di sektor non-pertanian, sebagai buruh, kuli bangunan, tukang ojeg,
warung
C. Bekerja di sektor non-pertanian yang bergaji tetap per bulan.
D. Tetap bekerja sebagai petani atau buruh tani
E. Bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian
3. TINGKAT KESEJAHTERAAN
3.1. Kesejahteraan Moril
a) Tingkat Keamanan Pekerjaan
Bagaimana tingkat keamanan finansial/ekonomi yang Anda rasakan atas
pekerjaan yang Anda miliki saat ini dan sebelum terjadinya konversi tanaman
komoditi?
Sebelum Konversi Tanaman Komoditi Sesudah Konversi Tanaman Komoditi
A. Sangat tidak aman A. Sangat tidak aman
B. Tidak aman B. Tidak aman
C. Netral C. Netral
D. Aman D. Aman
E. Sangat aman E. Sangat aman
b) Tingkat Kenyamanan Hubungan Sosial
Bagaimana tingkat kenyamanan Anda dalam berhubungan sosial dengan warga
yang lainnya saat ini dan sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi?
Sebelum Konversi Tanaman Komoditi Sesudah Konversi Tanaman Komoditi
A. Sangat tidak nyaman A. Sangat tidak nyaman
B. Tidak nyaman B. Tidak nyaman
C. Netral C. Netral
D. Nyaman D. Nyaman
E. Sangat nyaman E. Sangat nyaman
65
3.2. Kesejahteraan Materiil
a) Tingkat pendapatan
Usaha Tani On Farm (Jika responden masih bekerja sebagai petani)
Hasil Panen
No. Jenis Tanaman yang Diproduksi per
Tahun Hasil Panen (kg x @Rp)
1
2
3
Jumlah Rp
Biaya Produksi
1 Bibit
2 Pupuk
3 Pestisida
4 Sewa alsintan
5 Upah tenaga kerja
Jumlah Rp
Lainnya
1 Dikonsumsi sendiri
2 Disimpan untuk bibit
Jumlah Rp
Sisa hasil panen untuk dijual Rp
Sisa hasil panen-jumlah pengeluaran Rp
Usaha Tani Off Farm (Jika responden bekerja dalam lingkup pertanian
namun tidak menguasai lahan/bekerja sebagai buruh tani)
No. Pekerjaan Jumlah hasil bersih (Rp)
Perbulan Pertahun
1
2
3
Total hasil bersih satu tahun terakhir
Usaha Tani Non-Farm (Jika responden bekerja di luar bidang pertanian)
No. Pekerjaan Jumlah hasil bersih (Rp)
Perbulan Pertahun
1
2
3
Total hasil bersih satu tahun terakhir
66
b) Kepemilikan aset
Kepemilikan lahan pertanian
Berapakah jumlah luas lahan pertanian yang Anda miliki, sebelum dan
sesudah terjadinya konversi tanaman komoditi?
Sebelum Konversi Tanaman Komoditi Sesudah Konversi Tanaman Komoditi
A. 0 bata A. 0 bata
B. < 50 bata B. < 50 bata
C. 50-100 bata C. 50-100 bata
D. 100-150 bata D. 100-150 bata
E. >150 bata E. >150 bata
Penguasaan lahan pertanian
Apakah pada saat ini Anda masih menguasai lahan pertanian? Jika ya,
apakah statusnya?
A. Tidak punya lahan
B. Tumpang sari
C. Bagi hasil
D. Sewa
E. Milik
Kepemilikan barang-barang berharga
No. Aset Sebelum Konversi Setelah Konversi
1 Kendaraan
1. Sepeda (… buah)
2. Motor (… buah)
3. Mobil (… buah)
4. Tidak punya
1. Sepeda(... buah)
2. Motor (… buah)
3. Mobil (… buah)
4. Tidak punya
2 Hewan Ternak 1. Tidak
2. Ada
1. Tidak
2. Ada
67
Lampiran 5 Panduan pertanyaan wawancara mendalam responden dan
informan
Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Responden
1. Apakah terdapat peraturan-peraturan pada sistem usaha tani nanas yang
berkenaan dengan hal-hal berikut:
a) Sistem kepemilikan lahan
b) Hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap
c) Sistem pembayaran antara pemilik lahan dengan penggarap
d) Hubungan antara pemilik lahan dengan penerima hasil panen
e) Sistem pembayaran antara pemilik lahan dengan penerima hasil panen
f) Hubungan serta sistem yang berlaku antara pemilik lahan dengan lembaga
penyedia modal atau saprotan pertanian
g) Peraturan dalam setiap tahapan penanaman mulai dari awal hingga pasca
panen
h) Peraturan penggunaan tenaga kerja dalam setiap tahapan
2. Jika ada pranata sosial di antara kedelapan hal di atas, bagaiamana dan seperti
apakah pranata yang ada?
3. Apakah diantara pranata-pranata sosial tersebut ada yang mengalami
perubahan setelah lahan ini ditanami kelapa sawit?
4. Jika iya, bagaimana bentuk pranata sosial baru tersebut?
5. Bagaimana perasaan bapak/ibu mengenai pranata sosial yang baru tersebut?
6. Apakah bapak/ibu menjalankan pranata sosial baru tersebut dengan senang hati
atau terpaksa?
7. Apakah bapak/ibu merasakan adanya perubahan pada kesejahteraan setelah
terbentuknya pranata baru tersebut?
8. Apakah perubahan kesejahteraan yang dirasakan tersebut makin membaik atau
menurun?
9. Bagaimanakah hubungan antar warga sebelum dan sesudah terjadinya konversi
tanaman komoditi?
Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Informan
1. Bagaimana sejarah kepemilikan lahan di wilayah ini?
2. Bagaimana kronologis sebenarnya dari kejadian berubahnya tanaman nanas
menjadi kelapa sawit?
3. Apakah ada hambatan atau konflik yang dilakukan petani penggarap nanas atas
kebijakan yang dilakukan untuk menanam kelapa sawit?
4. Apakah Bapak/Ibu melihat adanya perubahan sosial-ekonomi setelah
dilaksanakannya program tersebut?
68
Lampiran 6 Hasil perhitungan PASW statistics 18. variabel perubahan sistem
mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan
CROSSTABS
/TABLES=SMP BY TK
/FORMAT=AVALUE TABLES
/CELLS=COUNT EXPECTED
/COUNT ROUND CELL.
Crosstabs
Notes
Output Created 31-Mei-2013 09:56:21
Comments
Input Data C:\Users\user\Documents\spss1.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working
Data File
30
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are
treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based on
all the cases with valid data in the
specified range(s) for all variables in
each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=SMP BY TK
/FORMAT=AVALUE TABLES
/CELLS=COUNT EXPECTED
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00,000
Elapsed Time 00:00:00,010
Dimensions Requested 2
Cells Available 174762
[DataSet1] C:\Users\user\Documents\spss1.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Sistem Mata Pencaharian *
Tingkat Kesejahteraan
30 100,0% 0 ,0% 30 100,0%
69
Sistem Mata Pencaharian * Tingkat Kesejahteraan Crosstabulation
Tingkat Kesejahteraan
Total Rendah Sedang
Sistem Mata Pencaharian negatif Count 21 1 22
Expected Count 16,9 5,1 22,0
netral Count 2 6 8
Expected Count 6,1 1,9 8,0
Total Count 23 7 30
Expected Count 23,0 7,0 30,0
NONPAR CORR
/VARIABLES=SMP TK
/PRINT=SPEARMAN ONETAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Nonparametric Correlations
Notes
Output Created 31-Mei-2013 09:56:43
Comments
Input Data C:\Users\user\Documents\spss1.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 30
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each pair of variables are based on
all the cases with valid data for that pair.
Syntax NONPAR CORR
/VARIABLES=SMP TK
/PRINT=SPEARMAN ONETAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Resources Processor Time 00:00:00,016
Elapsed Time 00:00:00,010
Number of Cases Allowed 174762 casesa
a. Based on availability of workspace memory
70
[DataSet1] C:\Users\user\Documents\spss1.sav
Correlations
Sistem Mata
Pencaharian
Tingkat
Kesejahteraan
Spearman's rho Sistem Mata Pencaharian Correlation Coefficient 1,000 ,737**
Sig. (1-tailed) . ,000
N 30 30
Tingkat Kesejahteraan Correlation Coefficient ,737**
1,000
Sig. (1-tailed) ,000 .
N 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
71
Lampiran 7 Dokumentasi penelitian
Batas Desa Kumpay dengan Desa
Tambakmekar
Kebun kelapa sawit di lahan eks-HGU
Salah satu kebun nanas yang masih dimiliki
oleh warga
Kelapa sawit yang telah dipanen
Buah kelapa sawit
Pedagang nanas di Jalan Raya Jalancagak
72
Kandang kambing yang kini kosong Kondisi rumah salah satu responden
Kegiatan wawancara dengan responden dan informan
73
Pemandangan yang kini ditemui di Kumpay, banyak warga
yang menjadi kuli bangunan
Kondisi lahan eks-HGU saat masih digarap warga
74
Kondisi lahan garapan dan tanaman nanas penggarap sesaat setelah
terjadinya peristiwa pembabatan
Kondisi Danau Kumpay-Desa Kumpay yang kering (6 tahun setelah tanaman sawit ditanam)
75
Yang bertanda tangan di bawah ini saya TH alamat RT 7/RW 8, menyatakan bahwa paska pembabadan pohon nanas yang siap panen. Saya jadi nganggur dan jadi banyak hutang. Untuk menghidupi keluarga saya sampai melakukan pekerjaan yang tidak semestinya yaitu memperbaiki jalan berlubang di desa saya untuk minta belas kasihan dari pengendara yang lewat. Yang intinya daripada saya melakukan pekerjaan yang melanggar hukum seperti merampok, mencuri, menipu, terpaksa saya melakukan pekerjaan yang tadi. Entah apalagi pekerjaan yang saya lakukan setelah pekerjaan tersebut selesai
Yang bertanda tangan di bawah ini Nama: OS Alamat: Desa Kumpay, RT 04.02 menyatakan Saya seorang bandar ganas (nanas-red) sekaligus petani di lahan garapan eks-HGU PT Tambaksari. Dulu saya merasa sejahtera anak bisa saya sekolahkan ke SMA. Setelah garapan dibabat saya jadi nganggur dan sekarang coba buka warung kecil-kecilan di rumah. Tapi ngerasa susah menghidupi keluarga buat bayar SPP anak dan makan. Warung sepi karena banyak yang ngutang mungkin karena sama garapan mereka dibabat. Dan saya ampir (hampir-red) bangkrut sampe saya ngutang sama agen. Tak terpikir kalo garapan ditanami sawit masa depan kami semua bagaimana?
Yang bertandatangan di bawah ini, sayah bernama RM umur 48 tahun alamat Desa
Kumpay. MENYATAKAN
Setelah pembabadan ganas di garapan sayah oleh PT (perusahaan perkebunan-
red) Tambaksari - sayah jadi tidak memiliki penghasilan sampey istri sayah minta cerey (cerai-red) karna saya tidak ada kerjaan.
Anak sayah tidak bisa melanjutkan sekolah. Sayah minta keadilan supaya garapan ek-
hageu (HGU-red) digarap kembali oleh saya.
Kumpay, 02-02-2008
Nama saya AB, alamat RT 02 RW 01 Desa Kumpay. Istri saya sampai meninggal gara-gara kebun nanas yang mau dipanen dibabad oleh pihak PT karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya dan saya sekarang jadi susah. Untuk kelangsungan hidup saya karena mata pencaharian saya ilang mohon garapan saya dikembalikan lagi.
Lampiran 8 Curahan hati petani penggarap
MEREKA YANG TERSINGKIR
“Bagian ini merupakan kumpulan surat-surat yang ditulis oleh petani
penggarap yang beisi jeritan hati yang mereka rasakan setelah terjadinya
peristiwa pembabatan. Surat-surat ini menceritakan bagaimana kehidupan saat
ini yang mereka jalani, bagaimana sengsaranya mereka saat ini. Surat ini
kembali ditulis dengan penyuntingan seperlunya dan nama penulis surat yang
disamarkan agar identitas penulis surat terjamin kerahasiaannya.”
76
Surat Pernyataan Yang bertanda tangan di bawah ini Nama: TG Alamat: Kumpay/RT 05/02 Dengan ini menyatakan sebenar-benarnya bahwa: Dulu saya bisa mencukupi keluarga dengan hasil kerja saya itu walaupun tidak besar jumlahnya tapi saya bisa membahagiakan keluarga. Tapi setelah tanah garapan dibabad saya nganggur buat makan ampir tidak cukup, tambah lagi utang di warung, banyak anak saya sekola belum utang motor nunggak. Saya mohon sama pihak yang peduli untuk bisa membantu masalah kami.
Nama AS, alamat Kumpay RT 14/RW 1 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dulu saya bisa keridit (kredit-red) motor hasil dari buruh tani di tanah garapan. Tapi setelah garapannya dibabad oleh PT mata pencaharian saya jadi hilang sampay (sampai-red) motor disita oleh pihak deler (dealer-red) bulan Januari 2008.
Yang bertanda tangan di bawah ini, nama DI RT14/04 Desa Kumpay. Sekarang telah ada pembabadan nanas saya jadi nganggur. Punya motor juga sudah diambil oleh bang (bank-red). Listrik tida (tidak-red) kebayar. Boro2 membayar listrik untuk makan juga susah. Anak sekola juga susah bayarnya. Dagang juga saya sudah bangkrut engga ada yang bayar. Tanggungan saya banyak semuanya 7 orang. Sekian pernyataan dari saya. Terima kasih
Surat pernyataan Yang bertanda tangan di bwah ini saya Nama: SD Umur: 48 Alamat: Kumpay RT 8/2 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dulu sewaktu saya garah tanah PT bisa menyicil mobil dari hasil panen ganas dan dari hasil angutan nanas. Tapi sekarang serelah garapan dibabad mobil saya banyak yang nganggur. Sungguh saya mohon supaya garapan dikembalikan lagi pada penggarap. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun.
Surat pernyataan Yang bertanda tangan di bwah ini saya Nama: AN Alamat: Kumpay RT 3/2 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya mempunya garapan sebanyak 6 patok sekarang dibabad ditambah kuli pikul nanas. Sekarang tidak punya lagi apa-apa. Sedangkan keluarga saya sebanyak 6 orang. Penghasilan saya Cuma dari kuli pikul itupun kalau ada. Maka saya mohon kepada semua pihak agar garapan kembali. Supaya saya bisa menghidupi keluarga saya.Ibu saya sakit sudah lama 9 tahun. Saya sudah tidak bisa apa-apa. Saya mohon garapan kembali.
Yang bertanda tangan di bawah ini Nama EH, alamat Kumpay RT 17 RW 04. Menyatakan bahwa saya pernah tidak bisa membeli beras. Sedangkan saya status janda beranak dua. Dulu sebelum lahan garapan di babad oleh PT yang tidak punya moral, penghianat masih mending saya bisa bekerja garap dan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sekarang ekonomi saya terpuruk drastis, sampai listrik pun tidak pernah terbayar hampir diputus. Jajan anak pun sudah beruntung ada yang belas kasihan. Untuk itu tolong kepada pemerintah agar garapan yang dulu pernah membangkitkan ekonomi bisa digarap kembali. Demikian surat ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari siapapun.
77
Yang bertanda tangan di bawah ini nama ND alamat Kumpay RT 7/02. Menyatakan bahwa sesungguhnya saya sering tidak makan nasi dan makan rebus singkong. Karena sesudah garapan di babad ku urang pete saya jadi tidak garap, kuli muat dan pikul di bandar-bandar nanas. Saya jadi nganggur dan tidak punya uang untuk beli beras. Rantaran kitu baliken garapan supaya abdi bisa kuli. (Yang bertanda tangan di bawah ini nama ND alamat Kumpay RT 7/02. Menyatakan bahwa sesungguhnya saya sering tidak makan nasi dan makan rebus singkong. Karena sesudah garapan di babad oleh orang PT saya jadi tidak garap, kuli muat dan pikul di bandar-bandar nanas. Saya jadi nganggur dan tidak punya uang untuk beli beras. Lantaran itu kembalikan garapan supaya saya bisa kuli.)
Saya SM alamat Kumpay RT 07.02 Menyatakan
Bahwa pada pembabadan pohon nanas yang siap panen bulan 11-2007 saya jadi susah banyak utang. Jualan jadi suah modalnya abis sampai saya nganggur. Sedangkan saya punya beban anak 3 yang masih sekolah. Jualan tidak punya modal dan nanasnya juga susah. Tani engga punya garapan. Sekarang saya jadi kuli nyangkul selagi ada yang mengulikannya (menyuruh kuli nyangkul-red). Entah bagaimana buat kedepannya.
Saya anak dari DH ingin menceritakan bahwa gara-gara bapa saya kehilangan kerjaan jadi penggarap, ibu saya sampai minta cerai dan kawin dengan mandor sawit di desa lain. Bapa saya sakit-sakitan sekarang kena struk (stroke-red). Buat makan saya juga
susah. Rumah dulu bagus sekarang jadi jelek ga punya duit buat benerin.
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama AN, alamat Desa Kumpay RT 03/RW 01, pekerjaan buruh tani/penggarap Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya sudah sakit empat taun sakit kaki. Sampai saat ini saya bisa mengobati dari hasil pertanian dari tanah EX-HGU PT. Tetapi saya tidak bisa berobat lagi setelah PTP membabad lahan garapannya. Jangankan untuk berobat, buat makan sekeluarga saja kami susah. Kami mohon ada
yang peduli terhadap nasib kai sekeluarga
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan dari pasangan Ayah Suharyanto dan Ibu Umi Rudatinah pada
tanggal 16 Oktober 1991 di Jakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari empat
bersaudara. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis antara lain Taman Kanak-
kanak Edelweis (1996-1997), SD Negeri 02 Ciriung Cibinong (1997-2003), SMP Negeri
1 Cibinong (2003-2006), dan SMA Negeri 3 Bogor (2006-2009). Pada tahun 2009,
penulis diterima sebagai mahasiswi di Institut Pertanian Bogor (IPB) di Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi (SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswi di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada
Mata Kuliah Dasar-dasar Komunikasi. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan sosial
bersama Gerakan Cinta Anak Tani (GCAT) dalam divisi pembinaan. Penulis juga pernah
mengikuti kegiatan kepanitiaan berupa Masa Perkenalan Departemen (MPD) Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 2011, Communication Day 2010,
Pekan Ekologi Manusia (PEM) 2011, dan Himasiera Olah Talenta (H.O.T) 2012.