Post on 16-Apr-2015
description
77
PELUANG PENGEMBANGAN BAHAN TANAMAN JAHE
UNGGUL UNTUK PENANGGULANGAN PENYAKIT
LAYU BAKTERI
Otih Rostiana
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
ABSTRAK
Kendala utama di dalam budidaya jahe
adalah penyakit layu yang disebabkan oleh se-
rangan bakteri Ralstonia solanaceraum. Ber-
bagai upaya telah dilakukan untuk menekan
kerugian hasil akibat penyakit tersebut, mulai
dari seleksi benih, manipulasi agronomis mau-
pun aplikasi pestisida. Namun, sampai saat ini
belum ada metode yang efektif untuk menang-
gulangi masalah tersebut. Penyediaan benih
jahe sehat bebas penyakit melalui kultur ja-
ringan, berhasil mengatasi masalah organisme
pangganggu tanaman (OPT) tular benih, tetapi
masih menemui banyak kendala. Upaya yang
paling efisien dalam penanggulangan OPT
adalah dengan penggunaan varietas tahan. Oleh
karena itu, untuk menanggulangi penyakit layu
pada jahe, perlu dilakukan perakitan varietas
tahan. Untuk itu, metode yang efisien serta
materi genetik dan dukungan teknologi lainnya
seperti majemen tanaman di lapangan yang
meliputi teknik budidaya dan upaya penekanan
populasi OPT serta teknik pengendaliannya
secara terpadu harus tersedia. Kendala dalam
persilangan jahe secara konvensional adalah
fertilitas polen yang rendah serta inkompa-
tibilitas sendiri, sehingga perlu diaplikasikan
metode inkonvesional seperti induksi mutasi,
seleksi in vitro, produksi tanaman haploid,
hibridisasi somatik, atau penyisipan gen, se-
hingga diperoleh ragam genetik baru sebagai
bahan seleksi. Untuk itu perlu protokol re-
generasi jahe in vitro serta materi genetik
sebagai sumber ketahanan untuk hibridisasi
somatik, harus tersedia. Peluang dan kendala
dalam pengembangan bahan tanaman unggul
jahe untuk penanggulangan penyakit layu
bakteri, diuraikan dalam tulisan ini.
PENDAHULUAN
Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
merupakan salah satu komoditas eks-
por penting dan bahan baku obat tra-
disional serta fitofarmaka yang banyak
digunakan dalam industri obat herbal di
Indonesia. Komoditas ini juga berperan
cukup berarti dalam penyerapan tenaga
kerja dan penerimaan devisa negara.
Dalam sepuluh tahun terakhir, ekspor
jahe dari Indonesia berupa rimpang
jahe segar, jahe kering, acar jahe
(pikel), dan minyak atsiri, berfluktuasi
sangat tajam.
Pasokan jahe di pasaran dunia
saat ini dikuasai oleh India (50% dari
kebutuhan dunia), sedangkan Indonesia
baru mampu mengekspor sebesar
34.564 ton dengan nilai US $
18.039.000 pada tahun 1997. Ekspor
jahe tahun 2000 meningkat menjadi
43.192 ton, tetapi karena harganya
menurun maka perolehan devisa hanya
senilai US $ 14.120.000 (BPS, 2003).
Tahun 2002, mengalami penurunan
drastis hanya 7.471 ton dengan nilai US
$ 4.029.000 (Ditjenbun, 2004). Pada
tahun 2004, produksi jahe nasional
(104 789 ton) mengalami penurunan
sebesar 20 597 ton jika dibandingkan
tahun 2003 (125 386 ton). Penurunan
produksi tersebut disebabkan oleh tu-
runnya produksi di sentra pengem-
78
bangan jahe utama (Jawa Barat) (BPS,
2004) akibat serangan organisme peng-
ganggu tanaman (OPT) dan budidaya
yang kurang optimal.
Untuk mengantisipasi hal ter-
sebut, sangat penting bagi petani dan
penangkar benih untuk menggunakan
bahan tanaman (benih) bermutu dari
varietas yang sudah dirilis, bersertifikat,
bebas OPT dan penerapan teknik budi-
daya anjuran yang dapat meningkatkan
produktivitas tanaman. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik sudah
melepas 1 varietas unggul jahe
(Cimanggu-1) dengan produksi rata-
rata 2 kg/rumpun. Namun, varietas
tersebut rentan terhadap penyakit layu
bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia
solanacearum, padahal R. solanacea-
rum merupakan OPT utama yang dapat
menggagalkan hasil dan sulit ditang-
gulangi karena di samping menyerang
jahe, juga dapat menyerang tanaman
temu-temuan lainnya seperti kunyit dan
kencur dan sayuran (tomat dan cabe),
serta beberapa macam gulma (Supriadi
et al., 1995). Hal ini mengindikasikan
bahwa isolat R. solanacearum dari jahe
mempunyai kisaran inang yang cukup
luas. Serangan penyakit layu bakteri
pada jahe semakin meluas akibat peng-
gunaan benih yang sudah mengandung
R. solanacearum.
Beberapa usaha pengendalian
masih belum efektif, terutama karena
belum ada nomor-nomor jahe yang ta-
han terhadap R. solanacearum
(Supriadi et al., 2000) dan belum ada-
nya sistem perbanyakan benih jahe
yang menghasilkan benih bebas pe-
nyakit (Hasanah et al., 2004). Di
Hawai, penyakit layu bakteri pada jahe
sudah dapat dikendalikan dengan baik
karena sudah ada sistem perbanyakan
benih jahe yang menghasilkan rimpang
benih bermutu asal kultur jaringan
generasi ke-2 (Hepperly et al., 2004).
Upaya pengadaan benih jahe se-
hat bebas penyakit dan perakitan varie-
tas tahan penyakit layu bakteri meng-
hadapi banyak kendala, antara lain
sempitnya ragam genetik, hambatan
fisiologis tanaman, dan teknologi yang
belum tersedia. Di dalam tulisan ini
dibahas peluang pengembangan bahan
tanaman unggul untuk penanggulangan
penyakit layu bakteri pada jahe,
kendala dan pemecahannya.
TEKNOLOGI PENGENDALIAN
PENYAKIT
Budidaya jahe sudah lama dila-
kukan oleh masyarakat Indonesia. Ti-
dak ada catatan resmi yang menyatakan
kapan budidaya jahe dimulai di
Indonesia, namun pada tahun 1936
sudah tercatat, 836 ton jahe Indonesia
diekspor ke Eropa (Djakamihardja et
al., 1996).
Makin beragamnya manfaat jahe,
baik sebagai rempah, bahan baku obat,
industri makanan, minuman dan sup-
lemen diet, semakin tinggi pula per-
mintaan bahan baku. Sehingga upaya
budidayanya pun semakin meningkat.
Namun pengembangan jahe skala luas
sampai saat ini belum didukung dengan
upaya pembudidayaan yang optimal
dan berkesinambungan. Untuk menca-
pai tingkat keberhasilan budidaya yang
optimal diperlukan bahan tanaman
dengan jaminan produksi dan mutu
79
yang baik serta stabil dengan cara me-
nerapkan budidaya anjuran. Adanya
penolakan ekspor jahe Indonesia di
negara tujuan terutama Jepang, karena
tingginya cemaran mikroorganisme,
mengakibatkan anjloknya pendapatan
petani jahe. Hal ini perlu segera dianti-
sipasi dengan menerapkan budidaya
anjuran terbaik di antaranya dengan
penggunaan bahan tanaman sehat yang
berasal dari varietas unggul yang ter-
seleksi. Selain itu, karena kualitas sim-
plisia bahan baku industri hilir diten-
tukan oleh proses budidaya dan pasca-
panennya, maka pembakuan standar
prosedur operasional (SPO) budidaya
jahe guna mendukung Good Agricul-
tural Practices (GAP), perlu diterapkan
oleh petani. Berbagai teknologi untuk
mendukung pembudidayaan jahe telah
dihasilkan oleh BALITTRO dan dire-
komendasikan kepada petani, seperti
varietas unggul berproduksi tinggi,
SPO budidaya dan pasca panen.
Namun, kemampuan petani untuk
mengadopsi teknologi hasil penelitian
masih tergolong rendah. Sehingga
belum mampu mengatasi masalah yang
dihadapi. Terlebih lagi setelah mere-
baknya serangan berbagai OPT, baik di
lapangan maupun di penyimpanan, ter-
utama serangan penyakit layu bakteri.
Penyakit layu bakteri yang dise-
babkan oleh R. solanacearum di Indo-
nesia, pertama kali ditemukan di Ku-
ningan, Jawa Barat, pada tahun 1971
(Sitepu, 1991). Upaya penanggulangan
penyakit ini telah dilakukan dengan
berbagai cara budidaya anjuran, antara
lain teknologi pencegahan dini melalui
penyediaan bibit sehat (Januwati et al.,
1991; Januwati dan Rosita, 1997),
penggunaan lahan bebas patogen, sani-
tasi, rotasi tanaman serta penggunaan
pestisida dan musuh alami (Mulya et
al., 2000; Supriadi et al., 2000),
meskipun semua upaya tersebut belum
memberikan hasil yang optimum.
Selain di Indonesia, penyakit la-
yu bakteri juga telah banyak menim-
bulkan kerugian pada pertanaman jahe
di berbagai negara produsen seperti
Hawaii, India, Cina, Malaysia dan
Thailand. Di India, upaya penanggu-
langan penyakit layu bakteri terbawa
benih dilakukan dengan pemanasan
rimpang untuk bibit baik dengan meng-
gunakan microwave maupun penje-
muran dengan sinar matahari. Penje-
muran rimpang selama 2 jam (dari jam
10-12 pagi), efektif menanggulangi
patogen terbawa bibit tanpa menggang-
gu pertumbuhan di lapangan sampai
tanaman berumur 3 bulan, demikian
juga perlakuan pemanasan rimpang
dengan microwave pada suhu 45-47°C
selama 30 detik (Kumar et al., 2005).
Teknik ini, tidak berbeda jauh dengan
teknologi penyediaan benih sehat yang
direkomendasikan BALITTRO dalam
upaya mengurangi penyakit terbawa
benih, yaitu dengan penjemuran rim-
pang untuk bibit menggunakan sinar
matahari pagi (Januwati et al., 1991).
Akan tetapi, upaya tersebut belum ber-
hasil menanggulangi penyakit layu
bakteri di lapangan seperti yang diha-
rapkan. Berbagai hal dapat menjadi pe-
nyebab kekurang berhasilan penang-
gulangan penyakit layu bakteri terbawa
benih di Indonesia. Pertama, varietas
yang digunakan di Indonesia dan di
80
India berbeda, kedua, kemungkinan
biovar R. solanacearum di India ber-
beda dengan di Indonesia, sehingga
tingkat patogenisitasnya pun berbeda
pula. Klasifikasi berdasarkan marka
molekular RFLP, R. solanacearum
yang ada di Asia dikelompokkan ke
dalam divisi 1 yang terdiri atas biovar
3, 4 dan 5. R. solanacearum yang di-
temukan pada jahe di Indonesia tergo-
long biovar 3 dan 4, sama dengan di
Jepang, Thailand dan Australia
(Supriadi et al., 1995; Tsuchiya et al.,
2005).
Di Hawaii, penanggulangan
penyakit layu bakteri dilakukan dengan
cara memproduksi jahe sehat bebas
penyakit di rumah kaca dengan meng-
gunakan benih asal kultur jaringan
generasi kedua yang ditanam di dalam
karung-karung yang mengandung me-
dium tumbuh steril berisi kompos dan
senyawa anorganik (Hepperly et al.,
2004). Selain penggunaan benih sehat
bebas penyakit, dalam upaya meng-
urangi serangan penyakit tular tanah
ini, juga dilakukan sanitasi lingkungan
tumbuh sebelum dan setelah penanam-
an, penggunaan tanaman penutup ta-
nah, dan aplikasi pupuk mineral yang
terbuat dari bahan-bahan organik dan
sisa panen tanaman famili Brassicacea,
berhasil memperbaiki sifat fisik dan
kimia tanah serta menekan populasi
bakteri layu dan nematoda yang men-
dukung upaya mengurangi resiko kega-
galan panen jahe akibat OPT (Johnson
et al., 2003).
Manipulasi lingkungan melalui
kultur teknik dengan menggunakan
mulsa untuk memperoleh kondisi
optimum untuk pertumbuhan tanaman,
tetapi tidak sesuai untuk perkembangan
patogen, di Indonesia telah dilakukan
pada tanaman kentang, dan berhasil
memperlambat serangan penyakit layu
bakteri pada awal pertumbuhan
(Ruchjaningsih et al., 2002). Namun,
belum sepenuhnya menghambat per-
kembangan OPT tersebut di dalam ta-
nah, dan meningkatkan produktivitas
tanaman. Pada tanaman tomat, aplikasi
minyak atsiri yang berasal dari timi
(Thymus vulgaris), palmarosa (Cymbo-
pogon martini) dan serai dapur
(Cymbopogon citratus), berpotensi
menekan populasi R. solanaceraum di
dalam tanah, dan menurunkan gejala
layu tanaman pada taraf percobaan pot
(Pradhanang et al., 2003). Metode ini
perlu dikaji lebih lanjut dalam skala
lapang untuk mengetahui efektivitas
formula minyak atsiri dari tanaman
tersebut di atas, bahkan beberapa ta-
naman lain dengan kandungan minyak
atsiri yang potensial sebagai anti
bakteri.
Upaya penyediaan benih sehat
bebas penyakit melalui kultur jaringan
di Indonesia, belum mampu mengatasi
masalah kehilangan hasil akibat serang-
an bakteri layu. Berbagai kendala
dalam produksi benih jahe secara in
vitro dengan kultur jaringan masih
perlu ditindak lanjuti melalui penelitian
yang berkesinambungan, sampai diper-
oleh protokol sistem perbanyakan be-
nih yang akan menghasilkan rimpang
berproduksi tinggi sesuai dengan stan-
dar ekspor.
81
PENYEDIAAN BENIH SEHAT
BEBAS PENYAKIT
Salah satu upaya yang dapat dila-
kukan untuk mengatasi masalah OPT
jahe, terutama mengatasi masalah pe-
nyakti tular benih, adalah menyediakan
benih sehat bebas penyakit melalui
kultur jaringan. Upaya penyediaan be-
nih bermutu melalui kultur jaringan,
baik melalui induksi tunas langsung
maupun fase kalus dengan mengguna-
kan sumber eksplan vegetatif (Mariska
dan Syahid, 1992) menghasilkan ta-
naman baru yang berimpang kecil
bahkan pada tanaman generasi kedua
(Syahid dan Hobir, 1996). Diduga telah
terjadi perubahan genetik selama pro-
ses inisiasi dan regenerasi tanaman
secara in vitro. Atau perubahan epi-
genetik yang disebabkan oleh tekanan
fisiologis akibat kondisi kultur yang
bersifat sementara (Bajaj, 1992). Oleh
karena itu untuk mengeliminasi per-
ubahan genetik selama proses in vitro,
perlu memperhatikan sumber eksplan
dan tingkat ploidi dari tanaman yang
akan digunakan serta model regenerasi
tanaman (Karp, 1991; Peschke dan
Phillips, 1992; Chowdhury et al., 1994;
Veilleux dan Johnson, 1998).
Sistem regenerasi tanaman mela-
lui kultur in vitro dapat dilakukan
melalui 2 jalur yaitu jalur organoge-
nesis dan jalur embriogenesis somatik.
Untuk produksi bibit melalui kultur
jaringan, pembentukan benih somatik
dari embrio somatik dapat mengha-
silkan bibit yang jauh lebih banyak
daripada hasil regenerasi melalui
organogenesis. Di samping itu dalam
perbaikan tanaman melalui kultur in
vitro dan melalui rekayasa genetik,
regenerasi melalui jalur embriogenesis
somatik lebih disukai karena dapat
berasal dari satu sel sehingga kepastian
hasil perbaikan sifat genetik lebih
tinggi. Secara umum dinyatakan bahwa
tanaman yang dihasilkan melalui pro-
ses embriogenesis somatik merupakan
klon yang identik dengan induknya
(Evans et al., 1984; Jimenez, 2001),
meskipun beberapa perbedaan akan
ditemukan tergantung dari jenis tana-
mannya. Induksi embrio somatik pada
tanaman kehutanan Picea abies, ter-
bukti menghasilkan tanaman baru yang
identik dengan induknya (Heinze dan
Schmidt, 1995).
Keberhasilan menginduksi em-
briogenesis somatik dipengaruhi oleh
tipe eksplan serta formulasi media tum-
buh. Jaringan meristematik seperti mata
tunas, anther/pollen, epi dan hipokotil
memberikan tingkat keberhasilan lebih
tinggi untuk pembentukan sel-sel em-
brioid (Mariska, 1997). Keberhasilan
induksi embriogenesis somatik pada
tanaman monokotil, sampai saat ini
dilakukan dengan menggunakan eks-
plan generatif. Tetapi pada jahe diken-
dalai dengan rendahnya fertilitas pollen
(fertilitas < 40%). Penggunaan bagian
vegetatif seperti daun, umumnya ba-
nyak digunakan pada tanaman dikotil.
Pada jenis rumput-rumputan (orchad-
grass), induksi embriogenesis somatik
dapat dilakukan dengan menggunakan
eksplan daun melalui fase kalus em-
briogenik dengan penambahan auksin
aktivitas kuat, seperti Dicamba
(Bhojwani dan Razdan, 1996). Kackar
et al. (1993) berhasil menginduksi
82
embriogenesis somatik jahe varietas
Eruttupetta, dengan menggunakan eks-
plan daun aseptik dengan penambahan
2,4-D dan Dicamba melalui fase kalus,
meskipun perkembangan yang simul-
tan dari meristem akar maupun tunas
embrio somatik tersebut belum diper-
oleh.
Penggunaan sumber eksplan da-
un aseptik dan meristem dari jahe putih
besar varietas Cimanggu-1, menunjuk-
kan eksplan asal meristem memberikan
potensi regenerasi lebih baik dari daun
aseptik pada media tumbuh yang diap-
likasikan untuk menginduksi embrio-
genesis somatik (Syahid dan Rostiana,
2007). Embriogenesis somatik pada
kultur meristem jahe secara optimal
dapat diperoleh dengan mengaplika-
sikan medium MS dengan penambahan
6% sukrosa (Rostiana dan Syahid,
2007a). Namun, kapasitas regenerasi
dari embrio somatik yang dihasilkan
masih tergolong rendah (51,2%/1 g
kalus) yang menghasilkan rata-rata 15
plantlet, karena pada tahap akhir per-
tumbuhan embrio somatik yaitu fase
terpedo, ditemukan beberapa hambatan
fisiologis seperti pembentukan akar
atau biasa disebut sebagai perkecam-
bahan dini abnormal (Rostiana dan
Syahid, 2007b).
Peluang untuk memperoleh
ukuran rimpang normal melalui sistem
regenerasi ini cukup tinggi (Rostiana
dan Syahid, 2007c), sehingga metode
tersebut potensial untuk dikembangkan
guna memperoleh benih jahe sehat
bebas penyakit serta diaplikasikan un-
tuk memperoleh varietas jahe tahan
penyakit melalui seleksi in vitro dan
transformasi gen (rekayasa genetik).
Namun rendahnya embrio membentuk
plantlet akibat perkecambahan dini,
masih perlu ditindak lanjuti dengan
memperbaiki medium tumbuh yang
diaplikasikan sehingga diperoleh proto-
kol regenerasi jahe in vitro yang akan
menghasilkan benih sehat bebas
penyakit berimpang normal.
Konsentrasi senyawa osmotik
dari medium menjadi faktor penting
untuk pertumbuhan embrio (Vasil et
al., 1982; Raghavan, 2003). Umumnya
produksi embrio meningkat pada medi-
um yang tekanan osmotiknya tinggi
(Percy et al., 2000). Tekanan osmotik
tersebut dapat ditentukan oleh sukrosa,
yang juga berfungsi sebagai sumber
karbon (Van Creij et al., 1999). Osmo-
laritas medium atau keseimbangan hor-
monal yang berperanan dalam mengen-
dalikan perkecambahan dini, juga dapat
dilakukan dengan penambahan ABA
ke dalam medium (Mohan dan
Krishnamurthy, 2002; Raghavan,
2003). Konsentrasi senyawa osmotik
dari medium menjadi faktor penting
untuk pertumbuhan embrio (Vasil et
al., 1982; Raghavan, 2003). Pendewa-
saan embrio normal dapat diperoleh
dengan cara mengkulturkan massa pro-
embriogenik pada konsentrasi sukrosa
3 – 6%. Sukrosa yang dihidrolisis oleh
enzim invertase menjadi glukosa dan
fruktosa, akan menjadi substrat yang
diperlukan untuk pertumbuhan (Merkle
et al., 1990). Gula juga dapat berfungsi
sebagai molekul sinyal yang mengen-
dalikan ekspresi gen dan proses per-
kembangan tumbuhan, meningkatkan
produksi embrio somatik dan men-
83
dukung pembentukan embrio somatik
menjadi plantlet (Sakhanokho et al.,
2004), serta dapat mempengaruhi mor-
fogenesis embrio somatik (Bogunia
dan Przywara, 2000). Medium tanpa
ZPT yang mengandung 6% sukrosa,
juga efektif pada pendewasaan embrio
somatik dari embrio zigotik Zea mays
L. (Bronsema et al., 1997) dan pada
embrio zigotik P. monticola, setelah 4
minggu kultur (Percy et al., 2000).
Namun, adanya perkembangan akar
yang dominan pada kultur meristem
jahe masih perlu diantisipasi dengan
mengaplikasikan asam absisik (ABA).
Penambahan perak nitrat (AgNO3) ke
dalam medium pendewasaan embrio
juga diketahui dapat meningkatkan
frekuensi pendewasaan embrio somatik
pada beberapa tanaman. Untuk mem-
perbaiki protokol regenerasi kultur
meristem jahe in vitro, aplikasi sukrosa
yang dikombinasikan dengan ABA
atau perak nitrat merupakan salah satu
metode yang dapat ditempuh sehingga
mampu meningkatkan perkecambahan
embrio somatik normal yang akan
menghasilkan plantlet dalam jumlah
yang optimal.
PEMULIAAN JAHE UNTUK
KETAHANAN TERHADAP
PENYAKIT LAYU BAKTERI
Upaya yang paling efisien dan
efektif dalam mengatasi masalah OPT
pada tanaman budidaya adalah dengan
penggunaan varietas tahan. Pemuliaan
untuk ketahanan terhadap penyakit layu
bakteri telah dilakukan pada berbagai
tanaman budidaya penting, seperti to-
mat, kentang, tembakau, terung, cabai
dan kacang tanah. Namun demikian,
sama halnya seperti upaya perbaikan
varietas untuk ketahanan terhadap pe-
nyakit lainnya, proses pemuliaan untuk
ketahanan terhadap penyakit layu bak-
teri sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor di antaranya adalah sumber gen
ketahanan, korelasi antara sifat keta-
hanan dengan karakter agronomi lain-
nya, perbedaan patogenisitas antar
strain, mekanisme interaksi antara pato-
gen dengan tanaman, serta metode
pemuliaan yang digunakan.
Proses pemuliaan atau seleksi
untuk ketahanan terhadap penyakit layu
bakteri, pertama kali berhasil dilakukan
pada tanaman kacang tanah di Indo-
nesia pada tahun 1910-an. Sehingga,
pada awal tahun 1920-an, Schwarz 21
dikenal sebagai genotipe kacang tanah
pertama di dunia yang memiliki tingkat
ketahanan relatif tinggi terhadap R.
solanacearum (Boshou, 2005).
Selain pada kacang tanah dan
tanaman famili Solanaceae, penyakit
layu bakteri yang disebabkan oleh R.
solanacearum juga merupakan masalah
yang sangat serius dalam budidaya jahe
di berbagai sentra produksi di dunia
seperti di Hawaii, Filipina, Cina, Je-
pang, Thailand, Indonesia, Malaysia,
India dan Mauritius. Di Hawaii, masa-
lah layu bakteri sejak tahun 1993
sampai tahun 1999 telah menyebabkan
kerugian hasil lebih dari 45% (Yu et
al., 2003; Hepperly et al., 2004). Ka-
rena belum ada varietas tahan, upaya
yang dilakukan untuk mengatasi masa-
lah tersebut diantaranya adalah dengan
penggunaan benih sehat bebas penyakit
(Alvarez et al., 2005). Sementara di
84
Indonesia sendiri, serangan penyakit ini
dapat menyebabkan kerugian hasil le-
bih dari 90% (Asman dan Hadad,
1989), dengan kondisi yang hampir se-
rupa yaitu tidak tersedia varietas tahan.
Sumber keragaman genetik jahe
Jahe dikenal sebagai tanaman
yang daerah asalnya tidak diketahui
dengan pasti, kemungkinan dari daerah
tropis di Asia, seperti India atau Cina.
Keberadaan jahe di Indonesia telah
diketahui sejak abad ke-13. Marcopolo
pada masa perjalanannya tahun 1271-
1297 menemukan jahe tumbuh di Cina,
Sumatera dan Malabar (Purseglove et
al., 1981). Sejak masa itu diperkirakan
jahe telah menyebar ke berbagai daerah
di Indonesia.
Berdasarkan bentuk, warna,
aroma rimpang serta komposisi kimia-
nya, selama ini di Indonesia dikenal
tiga tipe utama jahe, yaitu jahe putih
besar atau jahe gajah, jahe putih kecil
atau jahe emprit, dan jahe merah atau
jahe sunti (Sri Yuliani dan Risfaheri,
1990; Rostiana et al., 1991). Upaya
pengumpulan plasma nutfah jahe dari
berbagai sentra produksi di Indonesia
sudah pernah dilakukan. Sampai tahun
1996 telah terkumpul 45 nomor koleksi
dari berbagai tipe, namun sebagian be-
sar koleksi telah mati, di antaranya aki-
bat serangan bakteri layu, yang tersisa
saat ini hanya 18 nomor (Bermawie et
al., 1997).
Evaluasi berdasarkan sifat mor-
fologi terhadap 18 nomor aksesi jahe
yang dikumpulkan dari berbagai sentra
produksi di Indonesia, variasinya sa-
ngat rendah meskipun variasi produksi
dan kandungan minyak atsirinya ada
perbedaan (Bermawie et al., 2004a).
Analisis kekerabatan dengan meng-
gunakan marka molekuler AFLP
(Amplified Fragment Length
Polymorphism) juga menunjukkan ren-
dahnya variabilitas genetik dari koleksi
plasma nutfah jahe, dengan nilai indeks
variabilitas sebesar 0.22 (Wahyuni et
al., 2003; Bermawie et al., 2004b).
Berdasarkan data tersebut, nampak
jelas bahwa keragaman genetik plasma
nutfah jahe di Indonesia sempit. Hal ini
mungkin terjadi karena jahe selalu di-
perbanyak secara vegetatif. Meskipun
perbedaan iklim, tanah dan cara budi-
daya di berbagai daerah sentra produksi
menghasilkan berbagai tipe jahe yang
bervariasi dalam produksi maupun
komposisi kimianya. Adaptasi suatu
populasi dari spesies tanaman pada
daerah tertentu akan membentuk suatu
ekotipe, demikian halnya yang terjadi
dengan jahe, sehingga populasi jahe
dari sentra produksi yang berbeda
menunjukkan karakteristik yang ber-
beda pula. Akan tetapi, secara genetik
tidak berbeda.
Rendahnya variabilitas genetik
plasma nutfah jahe yang ada, menye-
babkan peluang untuk memperoleh
sumber gen ketahanan terhadap penya-
kit layu bakteri semakin kecil. Peng-
ujian pada tiga tipe jahe (jahe putih
besar, putih kecil dan jahe merah)
menunjukkan bahwa jahe putih besar
paling peka terhadap penyakit layu
bakteri, sedangkan jahe merah paling
toleran (Hadad et al., 1989). Selain itu,
hambatan fisiologis karena adanya sifat
inkompatibilitas sendiri (self-
incompatibility) serta rendahnya ferti-
85
litas polen pada populasi jahe yang ada
turut memperkecil peluang memper-
oleh varietas jahe tahan penyakit layu
bakteri. Meskipun jahe merah yang
relatif toleran serta jahe putih besar
dengan produktivitas tinggi sudah dile-
pas sebagai varietas unggul (Cimang-
gu-1), dapat dijadikan tetua untuk per-
silangan, hibridisasi konvensional un-
tuk memperoleh varian baru yang tahan
terhadap penyakit layu bakteri tidak
dapat dilakukan. Inkompatibilitas sen-
diri yang dikontrol secara sporophytic
ditemukan pada jahe baik pada diploid
maupun tetraploid (Ramachandhran
dan Chandrasekharan Nair, 1992).
Oleh karena itu, untuk memperoleh
varietas jahe tahan penyakit layu bak-
teri perlu dilakukan pendekatan lain, di
antaranya peningkatan keragaman
genetik melalui induksi mutasi, seleksi
in vitro, produksi tanaman haploid,
hibridisasi somatik (fusi protoplas) atau
transformasi gen.
Induksi mutasi
Upaya peningkatan keragaman
genetik jahe dapat dilakukan melalui
beberapa pendekatan di antaranya ada-
lah dengan induksi mutasi. Mutasi
dapat dilakukan dengan menggunakan
mutagen fisik dengan menggunakan
irradiasi sinar gamma atau mutagen
kimia seperti colchicine dan EMS
(ethyl methane sulphonate). Pengguna-
an mutagen fisik pada tanaman yang
diperbanyak secara vegetatif, lebih
banyak mengakibatkan kimera yang
secara ekonomis kurang menguntung-
kan, kecuali untuk tanaman hias. Ter-
lebih lagi kalau sifat yang diinginkan
adalah ketahanan terhadap penyakit,
karena teknik irradiasi banyak menye-
babkan perubahan pada klorofil. Demi-
kian juga penggunaan mutagen kimia.
Rendahnya penetrasi atau penyerapan
mutagen pada tanaman yang diper-
banyak secara vegetatif sering menjadi
alasan mengapa mutagen kimia jarang
digunakan untuk menginduksi mutasi,
kecuali apabila konsentrasi dan waktu
pemberian mutagen yang tepat sudah
ditemukan. Keberhasilan menginduksi
mutasi dengan mutagen kimia banyak
memberikan hasil yang positif ketika
dilakukan secara in vitro, seperti pada
tebu, pepermint dan nenas. Terlepas
dari kemungkinan bahwa proses in
vitro itu sendiri yang menginduksi
mutasi.
Induksi mutasi dengan menggu-
nakan teknik irradiasi sinar gamma
pada tunas jahe yang dikulturkan secara
in vitro, menghasilkan tunas yang
berdaun kimera sebesar 10% dan terus
meningkat sejalan dengan proses sub
kultur (Mariska et al., 1994). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
efektivitas sinas gamma dalam mengin-
duksi mutasi untuk meningkatkan kera-
gaman genetik jahe belum sejalan de-
ngan tujuan untuk memperoleh varian
baru yang tahan terhadap penyakit layu
bakteri. Hasil yang sama juga diperoleh
ketika irradiasi sinar gamma dilakukan
terhadap rimpang jahe (in vivo), di-
mana > 30% tunas yang tumbuh dari
rimpang yang diradiasi berdaun kimera
(Rostiana dan Taryono, 1989).
Salah satu karakter morfologi
dari jahe merah yang relatif toleran
terhadap penyakit layu bakteri adalah
sifat perakarannya yang kokoh, cende-
86
rung lebih banyak dan besar diban-
dingkan dengan dua tipe jahe lainnya
(Rostiana et al., 1991). Oleh karena itu,
salah satu pendekatan yang mungkin
dilakukan untuk meningkatkan keta-
hanan jahe putih besar terhadap
penyakit layu bakteri adalah dengan
penggunaan mutagen kimia yang dapat
meningkatkan ketebalan sel epidermis
akar. Selain itu, dari hasil karakterisasi
kandungan bahan aktif, kadar fenol
total jahe merah yang sudah dilepas
sebagai varietas unggul, relatif tinggi
dibandingkan dengan tipe jahe lainnya.
Menurut Marco et al., (2005) pening-
katan produksi zat fenolik di dalam
tanaman inang mampu menginduksi
resistensi tanaman dan mengontrol per-
kembangan bakteri. Hal serupa ditemu-
kan pada tomat, dimana aktivasi meta-
bolit sekunder zat fernolik terbukti
memberikan kontribusi yang positif ter-
hadap penghambatan pertumbuhan
bakteri di dalam tanaman inang (Vasse
et al., 2005). Dengan meningkatkan
kandungan total fenol di dalam rim-
pangnya, diharapkan dapat meningkat-
kan sifat ketahanan jahe terhadap
bakteri layu.
Keragaman somaklonal (seleksi in
vitro)
Pada era tahun 1980-an sampai
1990-an, berbagai keberhasilan dalam
peningkatan kualitas tanaman budidaya
melalui induksi keragaman somaklonal
sudah banyak dilaporkan (Veilleux dan
Johnson, 1998). Meskipun dapat mem-
percepat proses pembentukan varian
baru yang memiliki arti ekonomis,
tidak berarti induksi variasi somaklonal
menggantikan metode pemuliaan kon-
vensional secara keseluruhan. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan nilai
ekonomi tanaman budidaya melalui
induksi keragaman somaklonal, perlu
memahami terlebih dahulu perubahan
apa yang mungkin terjadi selama kultur
in vitro.
Berbagai perubahan dapat terjadi
selama kultur in vitro, mulai dari pe-
nampilan morfologi, sifat genetik atau
epigenetik, kariotik, fisiologis, bioki-
mia dan tingkat molekular lainnya
(Bajaj, 1992). Timbulnya keragaman
genetik selama proses kultur in vitro,
dipengaruhi oleh faktor internal mau-
pun eksternal (Karp, 1991). Faktor in-
ternal yang berpengaruh antara lain
genotipa tanaman itu sendiri, sumber
eksplan yang digunakan dan tingkat
ploidi (Karp, 1991; Peschke dan
Phillips, 1992; Chowdhury et al.,
1994). Semakin rendah tingkat ploidi,
semakin stabil suatu genotip tanaman
selama proses kultur in vitro. Sedang-
kan faktor eksternal adalah komposisi
media, zat pengatur tumbuh (ZPT) ser-
ta proses regenerasi seperti fase kalus
dan periode kultur terutama dalam fase
kalus (Karp, 1991; Veilleux dan
Johnson, 1998). Pada umumnya tahap-
an regenerasi melalui proses pembentu-
kan kalus akan menginduksi variasi
genetik. Penggunaan auksin kuat yang
menginduksi kalus seperti 2,4-D dan
Dicamba, pada konsentrasi tinggi dan
periode kultur yang panjang terbukti
menimbulkan keragaman somaklonal
yang relatif signifikan (Veilleux dan
Johnson, 1998).
Keragaman somaklonal yang di-
tunjukkan dengan sifat fenotif akibat
87
proses in vitro kultur jaringan, meli-
batkan perubahan genetik seperti
aberasi kromosom, gen amplifikasi dan
de-amplifikasi, mutasi gen tunggal,
ekspresi multi gen famili, mobilisasi
elemen trasposisi, dan metilasi DNA
(Peschke dan Phillips, 1992). Induksi
keragaman somaklonal pada tingkat
morfologi dan beberapa karakter kuan-
titatif terbukti dapat memperbaiki sifat
agronomis penting pada beberapa ta-
naman budidaya seperti bunga mata-
hari, Cyclamen, gandum, kentang,
krisan, padi dan tomat (Van den Bulk
et al., 1990; Wattanasiri and Walton,
1993; Antonetti dan Pinon, 1993;
Kawata et al., 1995; Symillides et al.,
1995; Dillen et al., 1996; Wallner et al.,
1996).
Dalam dua puluh tahun terakhir,
lebih dari 100 publikasi tentang pening-
katan ketahanan terhadap 40 patogen
melalui seleksi in vitro pada 30 spesies
tanaman sudah dilakukan (Svabova dan
Labuda, 2005). Pada tanaman seledri,
induksi keragaman somaklonal melalui
kultur kalus in vitro dengan penam-
bahan filtrat jamur Septoria apiicola,
selama 7-10 hari periode kultur, meng-
hasilkan varian baru (somaklon) yang
tahan terhadap patogen tersebut
(Evenor et al., 1994). Hasil yang sama
juga ditunjukkan pada seleksi in vitro
pada tanaman tahunan Populus sp.,
dengan menggunakan medium selektif
filtrat S. musiva (Ostry dan Skilling,
1988). Induksi ketahanan terhadap
patogen pada kultur kalus geranium in
vitro dengan mengaplikasikan filtrat
jamur patogen (Altenaria alternata)
juga memberikan hasil yang cukup
signifikan dalam upaya memperoleh
kultivar geranium baru tahan terhadap
patogen tersebut (Saxena et al., 2007).
Meskipun filtrat atau toksin bak-
teri R. solanacearum belum pernah
diaplikasikan sebagai medium selektif
untuk seleksi in vitro, pada jenis bakteri
lain seperti Clavibacter michiganensis
dan Pseudomonas syringae, seleksi in
vitro dengan menggunakan toksin mau-
pun filtrat sebagai agen seleksi, terbukti
menghasilkan somaklon tomat dan pro-
toklon tembakau yang tahan terhadap
patogen tersebut (Svabova dan Labuda,
2005). Selain menggunakan agen
seleksi filtrat atau toksin dari patogen,
elisitor kimia juga bisa diaplikasikan
sebagai agens seleksi untuk meng-
induksi ketahanan tanaman terhadap
patogen (Pradhanang et al., 2005).
Selain itu, beberapa jenis bakteri en-
dofit yang digunakan sebagai agens
hayati pengendali OPT, juga mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman
sekaligus menginduksi ketahanan
(Kloepper et al. 1992), sehingga dapat
diaplikasikan sebagai agens seleksi un-
tuk menginduksi ketahanan kalus ter-
hadap OPT, secara in vitro. Bakteri
endofit yang berperan di dalam meng-
induksi ketahanan tanaman antara lain
Pseudomonas sp strain PsJN yang
menginduksi ketahanan tomat terhadap
infeksi layu Verticillium sp. dan
Pseudomonas fluorescent WCS417
terhadap layu Fusarium, serta Serratia
marcescens 90-166 yang menginduksi
ketahanan mentimun terhadap infeksi
Pseudomonas siringae pv. lachrymans
(Liu et al., 1995).
88
Hal yang sama dapat dilakukan
pada jahe dengan cara menginduksi
keragaman somaklonal jahe berproduk-
si tinggi (Cimanggu-1) melalui seleksi
in vitro dengan menggunakan medium
selektif, berupa filtrat bakteri patogen
atau non patogen maupun elisitor
kimia, sehingga dapat diperoleh ragam
genetik baru sebagai bahan seleksi
untuk memperoleh varietas baru tahan
terhadap OPT. Masalahnya, protokol
kultur in vitro jahe yang dapat meng-
hasilkan tanaman baru dengan rimpang
normal, belum tersedia.
Produksi tanaman haploid (kultur
anter)
Salah satu keuntungan regenerasi
tanaman melalui kultur anter adalah
didapatkannya tanaman haploid yang
dapat digandakan kromosomnya untuk
memproduksi tanaman diploid homo-
zigot, yang dapat dijadikan tetua untuk
menghasilkan hibrida baru. Tersedia-
nya tetua tanaman haploid, akan me-
ningkatkan peluang untuk memperoleh
hibrida baru dengan tingkat homosigo-
sitas tinggi serta memudahkan dalam
proses seleksi, termasuk dalam upaya
memperoleh varietas jahe tahan ter-
hadap penyakit layu bakteri. Pada kul-
tur anter asparagus (Asparagus
officinalis) in vitro, penambahan filtrat
Fusarium oxysforum f. sp. asparagi ke
dalam medium menekan perkecambah-
an pollen, namun meningkatkan pur-
tumbuhan saluran pollen (pollen tube)
dari kultivar yang peka terhadap
penyakit busuk batang Fusarium. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pa-
da tanaman asparagus, seleksi in vitro
untuk ketahanan terhadap penyakit
tersebut, secara efisien dapat dilakukan
pada tingkat pollen, karena akan meng-
hasilkan genotipe dalam jumlah banyak
dan meningkatkan peluang memper-
oleh kultivar tahan (Pontarolli et al.,
2000). Namun demikian, karena ting-
kat keberhasilan regenerasi pada kultur
anter tanaman monokotil jauh lebih
rendah daripada tanaman dikotil, perlu
dikaji kondisi kultur dan komposisi
media serta fase perkembangan anter
yang akan dijadikan eksplan. Fase
pertumbuhan yang ideal untuk dikultur-
kan adalah pada fase mid- atau late-
uninucleate. Selain itu, penurunan nit-
rogen ammonia didalam media tumbuh
atau substitusi nitrogen nitrat serta
penambahan nitrogen organik dalam
bentuk asam amino seperti glutamin,
secara signifikan meningkatkan keber-
hasilan kultur anter.
Faktor lain yang tidak kalah pen-
tingnya adalah penambahan zat peng-
atur tumbuh auxin kuat pada konsen-
trasi tinggi serta sumber karbon yang
tepat. L-proline yang ditambahkan ke
dalam medium perkecambahan embrio
dari eksplan antera akan meningkatkan
daya kecambah embrio (Hu dan Guo,
1999). Sedangkan penambahan PAA,
hormon tumbuh yang memiliki aktivi-
tas auksin, pada taraf 100 mg/l mening-
katkan regenerasi tanaman normal pada
kultur anter tanaman barley dan gan-
dum (Zaiuddin et al., 1992). Pada jahe,
induksi tunas dari eksplan inflorensen
yang ditanam di dalam medium dasar
MS dengan penambahan 10 mg/l BA
dan 0,2 mg/l 2,4-D menghasilkan 5-25
tunas multipel (Babu et al., 1992),
tetapi bukan tanaman haploid, karena
89
berasal dari jaringan dengan dua set
kromosom (diploid), dan bukan dari
haploid spora.
Untuk kultur anter diperlukan
tepungsari yang fertil. Jahe diploid
diketahui memiliki tingkat sterilitas
tepung sari yang tinggi, sedangkan
pada jahe tetraploid, tingkat fertilitas
tepung sari mencapai 85%
(Ramachandran dan Chandrasekharan
Nair, 1992). Jahe putih besar dan jahe
merah yang ada di Indonesia tergolong
tanaman diploid dengan kisaran jumlah
kromosom 2n = 22-24 (Rugayah,
1994). Tidak mengherankan apabila
fertilitas pollennya rendah (< 40%), se-
hingga menyulitkan untuk memperoleh
tanaman haploid melalui kultur anter.
Terbukti ketika anter jahe putih besar
(Cimanggu-1) dijadikan sebagai sum-
ber eksplan untuk menginduksi em-
briogenesis somatik dan organogenesis,
tidak memberikan respon terhadap
berbagai medium yang diaplikasikan
(Rostiana et al., 2002; Syahid dan
Rostiana, 2007). Kemungkinan meng-
hasilkan tanaman haploid melalui kul-
tur anter pada jahe masih terbuka de-
ngan cara meningkatkan fertilitas pol-
len dari tanaman induk (sumber eks-
plan), melalui manipulasi fisiologis
atau genetik.
Pada tanaman cabe (Capsicum
annum L.), perlakuan pemanasan anter
pada suhu 35°C dalam kondisi gelap
selama 8 hari dan kondisi terang 4 hari,
mampu menstimulasi pembelahan mik-
rospora sehingga meningkatkan andro-
genesis (Koleva-Gudeva et al., 2007).
Sedangkan pada kultur anter mentimun
(Cucumis sativus L.), androgenesis
optimum diperoleh dengan perlakuan
suhu rendah (4°C) terhadap bakal
bunga (Kumar et al., 2003). Hal yang
sama juga terjadi pada kultur anter
Eriobotrya japonica L. (Li et al.,
2007). Di China, untuk meningkatkan
fertilitas pollen varietas jahe lokal, di-
lakukan manipulasi genetik, yaitu
menginduksi tanaman tetraploid de-
ngan mengaplikasikan 0,2% kolkisin
terhadap kultur tunas in vitro di dalam
medium MS yang ditambahkan 2 mg/L
BA dan 0,05 mg/L NAA (Adaniya dan
Shirai, 2001). Perlakuan suhu rendah
(4°C), pernah dicoba untuk mening-
katkan viabilitas dan fertilitas pollen
jahe putih besar, namun upaya tersebut
belum memberikan hasil yang signi-
fikan (Rostiana et al., 2002).
Fusi protoplas (hibridisasi somatik)
Fusi protoplas merupakan teknik
penggabungan inti dan atau sitoplasma
dari genotipa yang berbeda untuk me-
ningkatkan keragaman genetik atau
memperbaiki sifat unggul tanaman
yang diinginkan. Fusi protoplas dari
genotipa yang berbeda dapat meng-
hasilkan hibrida somatik dengan 3
kategori yaitu, hibrida simetrik dimana
kedua inti dari dua tetua tergabung
secara sempurna, kedua, hibrida
asimetrik dimana hanya sebagian saja
inti dari salah satu tetua bergabung
dengan inti tetua lainnya, serta tipe
cibrid dimana inti dari salah satu tetua
terakumulasi di dalam gabungan pro-
toplasma kedua tetua. Oleh karena itu,
variasi rekombinan sifat genetik di
dalam tanaman hasil fusi akan sangat
beragam dalam frequensi yang berbeda
(Bhojwani dan Razdan, 1996). Fusi
90
protoplas Solanum melongena dan S.
torvum secara elektrik (electrofusion)
menghasilkan tanaman baru dengan
sifat morfologi dan jumlah kromosom
yang berbeda (Sihachakr et al., 1989).
Sedangkan fusi protoplas kentang
dihaploid (Solanum tuberosum) dengan
S. circaeifolium menghasilkan hibrida
somatik yang tahan terhadap
Phytopthora infestans (Mattheij et al.,
1992). Fusi protoplas secara elektik
juga telah berhasil dilakukan untuk
memindahkan gen ketahanan terhadap
penyakit layu yang disebabkan oleh
bakteri R. solanacearum berasal dari
tanaman leunca (Solanum torvum) dan
terong liar (S. sisymbrifolium) pada
tanaman terong (S. melongena) dan
menghasilkan hibrida baru yang tahan
terhadap patogen tersebut (Collonnier
et al., 2003a; 2003b).
Untuk mendapatkan hibrida so-
matik yang tahan terhadap penyakit
layu bakteri, tanaman hasil fusi antara
jahe merah dan jahe putih besar di-
harapkan tetap mencirikan keunggulan
tetuanya yaitu berproduksi tinggi de-
ngan ukuran rimpang normal. Semen-
tara, protokol regenerasi untuk meng-
hasilkan tanaman jahe berimpang nor-
mal melalui kultur in vitro belum diper-
oleh, hibridisasi somatik belum dapat
dilakukan. Padahal tersedianya proto-
kol regenerasi jahe in vitro, merupakan
salah satu kunci keberhasilan dalam
upaya menghasilkan benih jahe sehat
bebas penyakit serta varietas unggul
jahe tahan penyakit layu bakteri me-
lalui seleksi in vitro, fusi protoplas
maupun penyisipan gen (transformasi
gen).
Rekayasa genetik
Kehadiran teknologi rekayasa
genetik memberikan wahana baru bagi
pemulia tanaman untuk memperoleh
kelompok gen baru yang lebih luas.
DNA sekuen, di antaranya Ds/Ac
transposable element atau T-DNA,
yang ditransfer ke dalam genom suatu
tanaman untuk membentuk tanaman
transgenik bisa berasal dari spesies lain
seperti bakteri, virus, atau tanaman
(Bennet, 1993) maupun sintetik.
Transposable element, baik Ac
(Activator) maupun Ds (Dissociation)
element diketahui sebagai aset penting
yang mampu menimbulkan mutasi.
Gen ketahanan yang sudah diiso-
lasi dan dikonstruksi dapat dipindahkan
ke dalam genom tanaman melalui tek-
nik transformasi secara langsung (pe-
nembakan partikel, elektroporasi),
maupun secara tidak langsung dengan
bantuan Agrobacterium tumefaciens
(Prakash dan Varadarajan, 1992;
Oliveira et al., 1996). Sistem transfor-
masi ini telah banyak digunakan pada
tanaman dikotil, namun sekarang tidak
menutup kemungkinan dapat dilakukan
pada tanaman monokotil. Bahkan pada
padi, sistem ini sudah stabil dan banyak
dikembangkan di beberapa negara
(Hiei et al., 1994). Transformasi plas-
mid yang mengandung promoter Certi-
fied f35S dan transposon (Ac/Ds-
elements) yang diperoleh dari Wage-
ningen University Research (WUR),
dengan menggunakan Agrobacterium
tumefaciens terbukti lebih efektif dalam
menghasilkan tanaman transgenik yang
memiliki jumlah inser T-DNA yang
lebih rendah dibandingkan dengan me-
91
toda particle bombartment. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa ham-
pir 50% dari tanaman transgenik yang
dihasilkan dari suatu kegiatan trans-
formasi memiliki satu inser T-DNA
(Koerniati, 2005). Tidak menutup ke-
mungkinan memperoleh varietas jahe
tahan terhadap penyakit layu bakteri,
dengan melakukan transformasi gen
penginduksi mutasi yang disisipkan ke
dalam plasmid kemudian dipindahkan
ke dalam genom tanaman jahe, se-
hingga dapat diperoleh tanaman baru
dengan ragam genetik yang lebih luas
dan dapat dijadikan bahan seleksi untuk
memperoleh varietas tahan terhadap
penyakit layu bakteri.
Keberhasilan memproduksi ta-
naman transgenik ditentukan oleh em-
pat komponen utama, yaitu : tersedia-
nya vektor yang sesuai, tersedianya
marker seleksi (selectable marker), tek-
nik transformasi yang efisien dan tek-
nik regenerasi (Kung, 1993). Meskipun
vektor yang sesuai sebagai pembawa
gen penginduksi mutasi sudah diper-
oleh dan marker seleksi sudah tersedia,
untuk memperoleh varian jahe baru
melalui rekayasa genetik, dibatasi oleh
belum tersedianya teknik transformasi
dan sistem regenerasi yang efisien.
ARAH PENELITIAN
Dalam upaya penanggulangan
penyakit layu pada jahe yang dise-
babkan oleh bakteri R. solanacearum,
perakitan varietas jahe tahan penyakit
layu merupakan langkah yang strategis.
Untuk itu, metode yang efisien serta
materi genetik dan dukungan teknologi
lainnya seperti manajemen tanaman di
lapangan yang meliputi teknik budi-
daya dan upaya penekanan populasi
OPT serta teknik pengendaliannya
secara terpadu harus tersedia.
Upaya pengendalian bakteri layu
di lapangan melalui kultur teknis, sam-
pai saat ini belum mencapai hasil yang
optimal. Oleh karena itu, peluang untuk
mendapatkan teknologi pengendalian
yang efisien serta ramah lingkungan
perlu terus digali. Misalnya, keber-
hasilan menekan populasi OPT tular
tanah (Soil borne disease), khususnya
bakteri layu pada tomat dengan meng-
gunakan minyak atsiri perlu dicoba
pada jahe, mengingat masih luasnya
ragam tanaman penghasil minyak atsiri
yang tumbuh di Indonesia dan belum
digali potensinya sebagai anti bakteri.
Selain itu, peluang penekanan OPT
menggunakan teknologi polatanam
tumpang gilir jahe dengan tanaman fa-
mili Brassicaceae seperti yang dila-
kukan di Hawaii, belum dimanfaatkan.
Perakitan varietas jahe tahan
penyakit secara konvensional dihambat
oleh kondisi fisiologis tanaman (ferti-
litas polen yang rendah serta inkompa-
tibilitas sendiri). Metode alternatif yang
dapat digunakan adalah melalui per-
silangan inkonvensional (fusi protop-
las/hibridisasi somatik). Untuk keber-
hasilan teknik tersebut, protokol rege-
nerasi jahe in vitro perlu disiapkan.
Selain itu, materi genetik sebagai sum-
ber ketahanan, yaitu jahe merah, perlu
diverifikasi tingkat ketahanannya ter-
hadap R. solanacearum.
Pendekatan lain yang dapat di-
lakukan untuk memperoleh varietas
jahe tahan penyakit layu adalah dengan
92
meningkatkan keragaman genetik jahe
putih besar berproduksi tinggi melalui
induksi mutasi, seleksi in vitro atau
penyisipan gen penginduksi mutasi,
sehingga akan diperoleh ragam genetik
baru sebagai bahan seleksi. Induksi
mutasi pada jahe, dapat dilakukan de-
ngan menggunakan mutagen kimia
EMS, untuk mempertebal epidermis
akar yang merupakan salah satu indi-
kator ketahanan. Mengacu kepada ke-
berhasilan meningkatkan ketahanan
terhadap bakteri layu pada tomat dan
pear, seleksi in vitro untuk mening-
katkan keragaman genetik jahe dapat
dilakukan dengan cara pengkulturan
kalus jahe putih besar yang berproduksi
tinggi, di dalam medium selektif baik
berupa filtrat atau toksin bakteri, serta
elisitor kimia. Oleh karena itu, untuk
menunjang keberhasilan program pera-
kitan varietas jahe tahan penyakit layu
bakteri, protokol regenerasi jahe in
vitro yang optimal sangat diperlukan.
KESIMPULAN
Upaya penanggulangan penyakit
layu bakteri pada jahe yang disebabkan
oleh R. solanaceraum, belum berhasil
dilakukan secara optimal. Pendekatan
yang paling efisien untuk mengatasi
masalah tersebut adalah dengan pera-
kitan varietas tahan yang didukung
dengan tersedianya paket teknologi
pendukung yaitu manajemen tanaman
di lapangan mulai dari kultur teknis
sampai paket pengendalian OPT yang
terintegrasi.
Persilangan konvensional pada
jahe dibatasi oleh rendahnya fertilitas
polen dan inkompatibilitas sendiri.
Pendekatan inkonvensional yang paling
memungkinkan untuk ditempuh dalam
upaya memperoleh varietas jahe tahan
penyakit layu bakteri, adalah induksi
mutasi dengan mutagen kimia untuk
menghasilkan varietas jahe dengan sel-
sel epidermis akar lebih tebal; seleksi in
vitro menggunakan medium selektif
untuk menghasilkan ragam genetik
baru; dan hibridisasi somatik untuk
memindahkan sifat toleran jahe merah
pada jahe putih besar berproduksi ting-
gi. Untuk keberhasilan proses tersebut,
harus tersedia protokol regenerasi jahe
in vitro yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adaniya, S and D. Shirai, 2001. In vitro
induction of tetraploid ginger
(Zingiber officinale Roscoe) and its
pollen fertility and germination
ability. Sci. Hort. 88: 277-287.
Alvarez, A.M., K.J. Trotter, M.B.
Swafford, J.M. Berestecky, Q. yu,
R. Ming, P.R. Hepperly and F. Zee,
2005. Characterization and detec-
tion of Ralstonia solanacearum
strains causing bacterial wilt of
ginger in Hawaii. In: Allen et al.,
(Eds). Bacterial Wilt Disease and
the Ralstonia solanaceraum
Species Complex. The American
Phytopathological Society Press,
St. Paul, Minnesota, USA. p. 471-
477.
Antonetti, P.L.E. and J. Pinon, 1993.
Somaclonal variation within poplar
(Populus sp.). Plant Cell, Tissue
and Organ Cult. 35: 99-106.
93
Arnold, D.L., A. Flegmann and J.M.
Clarkson, 1995. Somaclonal varia-
tion in water cress for resistance to
crook root disease. Plant Cell Rep.
14: 241-244.
Asman, A. dan Hadad, EA., 1989.
Pemberian agrimisin, abu sekam
ekstrak bawang merah dan bawang
putih pada tanah terkontaminasi P.
solanacearum untuk pertanaman
jahe. Buletin Peneltian Tanaman
Rempah dan Obat IV (2): 64-69.
Babu, K.N.K., K. Samsudeen and P.N.
Ravindran, 1992. Direct regenerati-
on of plantlets from immature
inflorescence of ginger (Zingiber
officinale Rosc.) by tissue culture.
J. of Spice and Aromatic Crops 1 :
43-48.
Bajaj, Y.P.S., 1992. Somaclonal varia-
tion-Origin, induction, cryopreser-
vation, and implication in plant
breeding. In: Bajaj, Y.P.S. (ed.).
Biotechnology in Agriculture and
Forestry 11: Somaclonal Variation
in Crop Improvement I. Springer-
Verlag, Berlin. p. 3-48.
Bennet, J., 1993. Genes for crop
improvements. Genetic Enginee-
ring 16: 93-113.
Bermawie, N., Hadad EA., B. Martono,
Nur Ajijah dan Taryono, 1997.
Plasma Nutfah dan Pemuliaan.
Dalam: Sitepu et al., (Eds.). Jahe.
Monograf No. 3. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat,
Bogor. hal. 18-33.
Bermawie, N., S. F. Syahid and N.N.
Kristina, 2004a. Inventory and
conservation of medicinal plants.
In: Proceedings of International
Symposium on Biomedicines,
Bogor Agricultural University, 18-
19 September 2003, Bogor. p. 349-
355.
Bermawie, S.F. Syahid, Nur Ajijah and
S. Wahyuni, 2004b. Yield, quality
and genetic evaluation of ginger
(Zingiber officinale Rosc.). In:
Proceedings of International
Symposium on Biomedicines,
Bogor Agricultural University, 18-
19 September 2003, Bogor. p, 145-
155.
Bhojwani, S.S. and M.K. Razdan,
1996. Plant Tissue Culture : Theory
and Practice, a Revised Edition.
Elsevier, Amsterdam. p. 167-214.
Bogunia, H. and L. Przywara, 2000.
Effect of carbohydrates on callus
induction and regeneration ability
in Brassica napus L. Acta Bio.
Crac. Series Bot. 42 (1): 79-86.
Boshou, L., 2005. Breeding and deve-
lopment of wilt-resistant crops. A
broad review and perspective on
breeding. In: Allen et al., (Eds).
Bacterial Wilt Disease and the
Ralstonia solanaceraum Species
Complex. The American Phytopa-
thological Society Press, St. Paul,
Minnesota, USA. p. 225-238.
Bronsema, F.B.F., W.J.F. van
Oostneen and A.A.M. van
Lammeren, 1997. Comparative
analysis of callus formation and
94
regeneration on cultured immature
maize embryos of the inbred lines
A 118 and A 632. Plant Cell Tissue
and Org. Cult. 50 : 57-65.
BPS., 2003. Statistik Perdagangan Luar
Negeri Indonesia. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. Hlm.
BPS., 2004. Statistik Tanaman Obat-
obatan dan Hias. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. 36 Hlm.
Chowdhury, M.K.V., V. Vasil and I.K.
Vasil, 1994. Molecular analysis of
plants regenerated from embryo-
genic cultures of wheat (Triticum
aestivum L.). Theor. Appl. Genet.
87: 821-828.
Collonnier C., I. Fock, M.C. Daunay,
A. Servaes, F. Vedel, S. Siljak-
Yakovlev, V. Souvannavong and
D. Sihachakr, 2003a. Somatic hyb-
rids between Solanum melongena
and S. sisymbribrifolium, as a
useful source of resistance against
bacterial and fungal wilts. Plant
Sci. 164: 849-861.
Collonnier C., I. Fock, I. Mariska, A.
Servaes, F. Vedel, S. Siljak-
Yakovlev, V. Souvannavong and
D. Sihachakr, 2003b. GISH
confirmation of somatic hybrids
between Solanum melongena and
S. torvum: assessment of resistance
to both fungal and bacterial wilts.
Plant Physiol. and Biochem. 41:
459-470.
Djakamihardja, S., C. Permadi dan N.
Hermiati, 1996. Jahe (Z. officinale
Rosc.). Budidaya dan prospek
pengembangannya di Indonesia.
Prosiding I Seminar Pembudida-
yaan Tanaman Obat. Univ. Jend.
Sudirman, Purwokerto. hal. 13-24.
Dillen, W., I. Dijkstra and J. Oud,
1996. Shoot regeneration in long-
term callus cultures derived from
mature flowering plants of
Cyclamen persicum Mill. Plant
Cell. Rep. 15: 545-548.
Ditjenbun, 2004. Statistik Perkebunan
Indonesia. Diektorat Jenderal Bina
Produksi Perkebunan, Departemen
Pertanian, Jakarta. 26 hlm.
Evans, D.A., W.R. Sharp and H.P.
Medina-Filho, 1984. Somaclonal
variation and gametoclonal varia-
tion. Amer. J. Bot. 71(6) : 759-774.
Evenor, D., E. Pressman, Y. Ben-
Yephet and L. Rappaport, 1994.
Somaclonal variation in celery and
selection by coculturing toward
resistance to Septoria apiicola.
Plant Cell Tissue and Organ Cult.
39: 203-210.
Hadad E.A., 1989. Ketahanan beberapa
klon jahe terhadap penyakit busuk
rimpang Pseudomonas solana-
cearum. Buletin Penelitian tanaman
rempah dan Obat IV (1): 54-58.
Hasanah M, Sukarman, Supriadi, M.
Januwati dan R. Balfas, 2004.
Keragaan perbenihan jahe di Jawa
Barat. Jurnal Penelitian Tanaman
industri 10 (3) : 118-125.
Heinze, B. and J. Schmidt, 1995.
Monitoring genetic fidelity vs
somaclonal variation in Norway
Spruce (Picea abies) somatic
95
embryogenesis by RAPD analysis.
Euphytica 85 : 341-345.
Hepperly P., F. Zee, R. Kai, C.
Arakawa, M. Meisner, B. Kratky,
K. Hamamoto, and D. Sato, 2004.
Producing bacterial wilt-free ginger
in green house culture. Soil and
Crop Management June 2004.
SCM-8. College of Tropical
Agriculture and Human Resources.
University of Hawaii. 6 pp.
Hiei. Y., Ohta, S., Komari, T. and T.
Kumashiro, 1994. Efficient trans-
formation of rice (Oryza sativa)
mediated by Agrobacterium and
sequence analysis of the boundaries
of the T-DNA. Plant Journal 6:
271-282.
Hu, H. and X. Guo, 1999. In vitro
induced haploids in plant genetic
and breeding. In “Morphogenesis
in Plant Tissue Culture”, Soh and
Bhojwani (eds.), Kluwer Academic
Press, London. p. 329-361.
Januwati, M. O. Rostiana, Rosita SM
dan D. Sitepu, 1991. Pedoman
Pengadaan Rimpang Jahe Sehat
Bebas Penyakit untuk Bibit. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor. 18 hlm.
Januwati, M., dan Rosita SMD., 1997.
Perbanyakan benih. Dalam: Sitepu
et al., (Eds.). Jahe. Monograf No. 3.
Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat, Bogor. hal. 40-50.
Jimenez, V.M., 2001. Regulation of in
vitro somatic embryogenesis with
emphasis on the role of endo-
genous hormones. R. Bras. Fisiol.
Veg. 13 (2): 196-223.
Johnson, H. and B. Shaffer, 2003.
Prevention of soil borne pests in
organic edible ginger. Sustainable
Agriculture Research and Edu-
cation. 4 pp.
Kackar, A., S.R. Bhat, K.P.S. Chandel
and S.K. Malik, 1993. Plant
regeneration via somatic embryo-
genesis in ginger. Plant Cell Tissue
and Org. Cult. 32 : 289-292.
Karp, A., 1991. On the current under-
standing of somaclonal variation.
Oxford Survey of Plant Mol. and
Cell Biol. 7: 1-58.
Kawata, M., A. Ohmiya, Y.
Shimamoto and K. Oono, 1995.
Structural changes in the plastid
DNA of rice (Oryza sativa L.)
during tissue culture. Theor. Appl.
Genet. 90: 364-371.
Kloepper, J.W., R. Rodriguez-Kabana,
J.A. McInroy and R.W. Young,
1992. Rhizosphere bacteria antago-
nistis to soybean cyst (Heterodera
glycines) and root knot (Meloi-
dogyne incognita) nematodes:
Identification by fatty acid analysis
and foliar diseases. Aust. Plant
Pathol 28 (1):21-26.
Koerniati, S., 2005. Development of
Transactivator System for Rice and
Its Application for Studies of Floral
Development. PhD Thesis. The
Australian National University,
Canberra-Australia. 187 pp.
96
Koleva-Gudeva, L. R., M. Spasenoski
and F. Trajkova, 2007. Somatic
embryogenesis in pepper anther
culture: The effect of incubation
treatments and different media. Sci.
Hortic 111: 114-119.
Kumar, A., M. Anandaraj and Y.R.
Sarma, 2005. Rhizome solarization
and microwave treatment: Eco-
friendly methods for disinfecting
ginger seed rhizomes. In: Allen et
al., (Eds). Bacterial Wilt Disease
and the Ralstonia solanaceraum
Species Complex. The American
Phytopathological Society Press,
St. Paul, Minnesota, USA. p. 185-
195.
Kumar, H.G.A., H.N. Murthy and K.Y.
Paek, 2003. Embryogenesis and
plant regeneration from anther
culture of Cucumis sativus L. Sci.
Hort. 98: 213-220.
Kung, S., 1993. From hybrid plants to
transgenic plants. In: Kung and Wu
(eds.). Transgenic Plants Vol. I:
Engineering and Utilization.
Academic Press, Inc., Toronto. p.
1-12.
Li, J., W. Yongqing, L. Lihua, Z. Lijun,
L. Nam, D. Qunxian, X. Junren, H.
Chunxia and Q. Yuan, 2007. Em-
bryogenesis and plant regeneration
from anther culture in loquat
(Eriobotrya japonica L.). Sci. Hort.
Doi: 10.1016/j.scientia.2007.10.
007. http://www.elsevier.com/
locate/scihorti <21 Nopember
2007>.
Liu L, Kloepper JW, Tuzun S., 1995.
Induction of systemic resistance in
cucumber by plant growth-
promoting rhizobacteria: duration
of protection and effect of host
resistance on protection and root
colonization. Phytophatology 85:
1064-1068.
Marco, Y., A. Trigalet, J. Vasse, J.
Olivier, D.X. Feng and L.
Deslandes, 2005. Host resistance to
Ralstonia solanacearum. In: Allen
et al., (Eds). Bacterial Wilt Disease
and the Ralstonia solanaceraum
Species Complex. The American
Phytopathological Society Press,
St. Paul, Minnesota, USA. p. 275-
283.
Mariska, I. dan S.F. Syahid, 1992.
Perbanyakan vegetatif melalui kul-
tur jaringan pada tanaman jahe.
Buletin Littri (4) : 1-5.
Mariska, I., 1997. Embriogenesis so-
matik tanaman kehutanan. Seminar
Intern Balitbio, 27 Juni 1997. 13
hal.
Mariska, I., D. Sukmadjaja dan S. F.
Syahid, 1994. Peningkatan kera-
gaman genetik tanaman jahe mela-
lui keragaman somaklonal. Buletin
Penelitian Tan. Industri 7: 1-6.
Mattheij, W.M., R. Eijlander, J.R.A. de
Koning and K.M. Lovwes, 1992.
Interspesific hybridization between
the cultivated potato Solanum
tuberosum L. and the wild species
S. cercaeifolium subsp. Circaei-
folium Bitter exhibiting resistance
to Phytophthora infestans (Mont)
97
de Bary and Globodera pallida
(Stone) Behrens I: Somatic hybrid.
Theor. Appl. Genet. 83: 459-466.
Merkle, S.A., W.A. Parrott, and E.G.
Williams, 1990. Application of
somatic embryogenesis and
embryo cloning. In S.S. Bhojwani
(ed.) Plant tissue culture:
Applications and limitations.
Elsevier, Amsterdam, Oxford, New
York, Tokyo. p. 67-93.
Mulya, K., Supriadi, Esther M. Adhi,
Sri Rahayu, dan Nuri Karyani,
2000. Potensi bakteri antagonis
dalam menekan perkembangan
penyakit layu bakteri jahe. J.
Penelitian Tanaman Industri 6 (2):
37-43.
Mohan, M.L and K.V. Krishnamurthy,
2002. Somatic embryogenesis and
plant regeneration in pigeonpea.
Biol. Plant. 45 (1): 19-25.
Oliveira, M.M., C.M. Miquel, and
M.H. Raquel, 1996. Transforma-
tion studies in woody fruit species.
Plant Tissue Culture and Biotech-
nology 2 (2): 76-93.
Ostry, M.E. and D.D. Skilling, 1988.
Somatic variation i resistance of
Populus to Septoria musiva. Plant
Disease 72 (8): 724-728.
Percy, R.E., K. Klimaszewska, and
D.R. Cyr, 2000. Evaluation of
somatic embryogenesis for clonal
propagation of western white pine.
Can. J. For. Res. 30: 1867-1876.
Peschke, P.M. and R.L. Phillips, 1992.
Genetic implication of somaclonal
variation in plants. Adv. Genet. 30:
41-75.
Pontaroli, A.C., E.L. Camadro, F.J.
babinee and A. Ridao, 2000. Res-
ponses of Asparagus officinalis
pollen to the culture filtrate of
Fusarium oxysforum f. sp.
asparagi. Sci. Hortic. 86: 349-356.
Pradhanang, P.M., M.T. Momol, S.M.
Olson and J.B. Jones, 2003. Effects
of plant essential oils on Ralstonia
solanacearum population density
and bacterial wilt incidence in
tomato. Plant Disease 87 (4): 423-
427.
Pradhanang, P.M., P. Ji., M.T. Momol
and S.M. Olson, 2005. Application
of Acibenzolar-S-Methyl enhances
host resistance in tomato aginst
Ralstonia solanacearum. Plant
Disease 89 (9): 989-993.
Prakash, C.S., and U. Varadarajan,
1992. Genetic transformation of
sweet potato by particle bom-
bardment. Plant Cell Rep. 11: 53-
57.
Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L.
Green and S.R.J. Robbins, 1981.
Spices Vol. 2, Longman, New
York. 813 pp.
Raghavan, V., 2003. One hundred
years of zygotic embryo culture
investigations. In Vitro Cell. Dev.
Biol. Plant. 89: 437-442.
Ramachandran, K. and P.N. Chad-
rasekharan Nair, 1992. Cytological
98
studies on diploid and autote-
traploid ginger (Zingiber officinale
Rosc.). J. Spices and Aromatic
Crops 1 (2): 125-130.
Rostiana, O., A. Abdullah, Taryono
dan Hadad, E.A., 1991. Jenis-jenis
tanaman jahe. Edisi Khusus Littro
VII (I): 7-10.
Rostiana, O. dan Taryono, 1989. Per-
tumbuhan tunas jahe hasil irradiasi
sinar gamma (tidak dipublikasi-
kan).
Rostiana, O., S.F. Syahid, D. Seswita,
Rosita SMD, S. Aisyah, dan D.
Surahman, 2002. Regenerasi in
vitro jahe melalui kultur anther dan
embrio somatik. Laporan Teknik
Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat. Bagian proyek penelitian
tanaman rempah dan obat, Bogor.
hal. 122-138.
Rostiana, O dan S.F. Syahid, 2007a.
Pengaruh media dasar MS dan N6
terhadap perkembangan embrio
somatik pada kultur meristem jahe
(Zingiber officinale Rosc.). Berita
Biol. 9 (2) (In press).
Rostiana, O., and S.F. Syahid, 2007b.
Somatic embryogenesis in meris-
tem culture of ginger (Zingiber
officinale Rosc.) (Unpublished).
Rostiana, O dan S.F. Syahid, 2007c.
Karakteristik rimpang tanaman
jahe (Zingiber officinale Rosc.) var.
Cimanggu-1 hasil kultur jaringan.
Makalah pada Seminar Nasional
Perkembangan Teknologi Tanam-
an Obat dan Aromatik, Puslitbang-
bun. Bogor, 9 September 2007. 6
hal.
Ruchjaningsih, R. Setiamihardja,
Murdaningsih H.K., dan W.
Marma Jaya, 2002. Efek mulsa
pada variabilitas genetik dan heri-
tabilitas ketahanan terhadap Ral-
stonia solanacearum pada 13 geno-
tip kentang dataran medium Jati-
nangor. Zuriat 13 (2): 73-80.
Rugayah, 1994. Status taksonomi jahe
putih dan jahe merah. Puslitbang
Biologi, LIPI. Floribunda 1 (14):
53-55.
Sakhanokho, H.F., A. Zipf, K.
Rajasekaran, S. Saha, G.C. Sharma,
and P.W. Chee, 2004. Somatic em-
bryo initiation and germination in
diploid cotton (Gossypium arbo-
reum L.). In vitro Cell. Dev. Biol.
Plant. 40: 177-181.
Saxena, G., P.C. Verma, L. Rahman, S.
banerjee, R.S. Shukla and S.
Kumar, 2007. Selection of leaf
blight-resistant Pelargonium gra-
veolens plants regenerated from
callus resistant to a culture filtrate
of Alternaria alternata. Crop Prot.
(2007), doi: 10.1026/j.cropro.2007.
08.01.3.
Sihachakr, D., Z. Haicour, M.H.
Chaput, E. Baricontas, G. Ducrex
and L. Rossignol, 1989. Somatic
hybrid plants produced by elec-
trofusion between Solanum melon-
gena L. and Solanum torvum Sw.
Theor. Appl. Genet. 77 : 1-6.
Sitepu, D., 1991. Strategi penang-
gulangan penyakit layu Pseudo-
99
monas solanacearnum pada tanam-
an industri kasus pada tanaman
jahe. Orasi Pengukuhan Ahli Pene-
liti Utama. Balai Penelitian Tanam-
an Rempah dan Obat, Bogor. 32
hal.
Sri Yuliani dan Risfaheri, 1990. Iden-
tifikasi berbagai klon minyak jahe.
Buletin Penelitian Tanaman Rem-
pah dan Obat V (2): 65-72.
Supriadi, J.G. Elphinstone, S.J. Eden-
Green and S.Y. Hartati, 1995. Phy-
siological, seroplogical and patho-
logical variation amongst isolates
of Pseudomonas solanacearum
from ginger and other hosts in
Indonesia. Jurnal Penelitian
Tanaman Industri 1 (2) : 88-98.
Supriadi, K. Mulya and D. Sitepu,
2000. Strategy for controlling wilt
disease of ginger caused by Pseu-
domonas solanacearum. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 19 (3): 106-111.
Syahid, S.F. dan O. Rostiana, 2007.
Pengaruh sumber eksplan terhadap
induksi kalus embriogenik pada
kultur in vitro jahe (Zingiber
officinale Rosc.). Dalam: Prosiding
Seminar Nasional XIII Persada.
Persada Cabang Bogor-Institut
Pertanian Bogor. Bogor, 9 Agustus
2007. Hlm. 304-308.
Syahid, S.F. dan Hobir, 1996. Pertum-
buhan dan produksi rimpang jahe
asal kultur jaringan. Jurnal Littri 2
(2) : 95-100.
Symillides, Y., Y. Henry and J. de
Buyser, 1995. Analysis of chinese
spring regenerants obtained from
short- and long-term wheat somatic
embryogenesis. Euphytica 82: 263-
268.
Svabova, L. and A. Labuda, 2005. In
vitro selection for improved plant
resistance to toxin-producing
pathogens. J. Phytopathology 153:
52-64.
Toth, K.F. and M.L. Lacy, 1991.
Increasing resistance in celery to
Fusarium oxysforum f. sp. apii.
race 2 with somaclonal variation.
Plant Disease 75 (10): 1035-1037.
Tsuchiya, K., K. Yano, M. Horita, Y.
Morita, K. Kawada and C.M.
d’Ursel, 2005. Occurence and epi-
demia adaptation of new strains of
Ralstonia solanacearum associated
with Zingiberaceae plants Ander
agro-ecosystem in Japan. In: Allen
et al., (Eds). Bacterial Wilt Disease
and the Ralstonia solanaceraum
Species Complex. The American
Phytopathological Society Press,
St. Paul, Minnesota, USA. p. 463-
469.
Van Creij, M.G.M., D.M.F.
Kerckhoffs, S.M. De Bruijn, D.
Vreugdenhil, and J.M. Van Tuyl,
1999. The effect of medium
composition on ovary-slice culture
and ovule culture in intraspecific
Tulipa gesneriana L. crosses.
http://www.liliumbreeding.ne/crey-
med.htm. <12/06/2004>.
Vasil, I.K., V. Vasil, C. Lu, P. Ozias-
Akins, Z. Haydu, and D. Wang,
1982. Somatic embryogenesis in
100
cereals and grasses. In: E.D. Earle
and Y. Demarly (ed.) Variability in
plants regenerated from tissue
culture. Praeger Scientific, New
York, USA. p. 3-34.
Vasse, J., S. Danoun and A. Trigalet,
2005. Microsopic studies of root
infection in resistant tomato
cultivar Hawaii7996. In: Allen et
al., (Eds). Bacterial Wilt Disease
and the Ralstonia solanaceraum
Species Complex. The American
Phytopathological Society Press,
St. Paul, Minnesota, USA. p. 285-
291.
Veilleux, R.E. and A.A. Johnson, 1998.
Somaclonal Variation: Molecular
Analysis, Transformation, Intera-
ction and Utilization. In: J. Janick
(ed.). Plant Breeding Reviews, Vol.
16. John Willey & Sons Inc., New
York, Chichester, Weinheim, Bris-
bane, Singapore, Toronto. p. 229-
260.
Wahyuni, S., D.H. Xu, N. Bermawie,
H. Tsunematsu and T. Ban, 2003.
Genetic relationships among ginger
accessions based on AFLP marker.
J. Bioteknologi Pertanian 8 (2): 60-
68.
Van den Bulk, R.W., H.J.M. Löffler,
W.H. Lindhout and M. Koornneef,
1990. Somaclonal variation in
tomato: Effect of explant source
and a comparison with chemical
mutagenesis. Theor. App. Genet.
80: 817-825.
Wallner, E., K. Weising, R. Rompf, G.
Kahl and B. Kopp, 1996. Oligo-
nucleotide fingerprinting and
RAPD analysis of Achillea species:
Characterization and long-term
monitoring of micropropagated
clones. Plant Cell Rep. 15: 647-
652.
Wattanasiri, C. and P.D. Walton, 1993.
Effect of growth regulators on
callus cell growth, plant regenera-
tion and somaclonal variation of
smooth bromegrass (Bromus
inermis Leyss.). Euphytica 69: 77-
82.
Yu, Q., A.M. Alvarez, P.H. Moore, F.
Zee, M.S. Kim, A. de Silva, P.R.
Hepperly and R. Ming, 2003.
Molecular diversity of Ralstonia
solanacearum isolated from ginger
in Hawaii. Phytopathology 93 (9):
1124-1130.
Zaiuddin, A., A. Marsolais, E. Sirimon
and K.J. Kasha, 1992. Improved
plant regeneration from wheat
anther and barley microspore
culture using phenylacetic acid
(PAA). Plant Cell Reports 11: 489-
498.