BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Lahan ......kriteria kelas tidak sesuai untuk budidaya...

14
1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Lahan Kering Desa Kebondowo Karakteristik lahan merupakan sifat lahan Djaenudin dkk (2003). Dalam budidaya menyesuaikan jenis tanaman dengan karakteristik lahan merupakan salah satu kuci utama untuk mendapatkan hasil yang optimal. Maka dari itu perlu dilakukan pengukuran untuk mengetahui bagaimana karakteristik lahan kering di Desa Kebondowo. Data ini digunakan untuk mengetahui kelas kesesuaian dan faktor pembatas di lahan kering Desa Kebondowo khususnya untuk budidaya Jahe (Zingiber officinale). Jenis data yang digunakan adalah suhu udara, elevasi, curah hujan, kelembaban, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, KTK, pH H 2 O, C-Organik, salinitas kelerengan, batuan permukaan. Penilaian karakteristik dilakukan berdasarkan data hasil analisis pada titik sampel yang telah ditentukan. Data tersebut dieksterpolasi dengan menggunakan Arcview 3.2 sehingga dapat membentuk peta. Data yang diperoleh ditampilkan pada tabel 4.1.

Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Lahan ......kriteria kelas tidak sesuai untuk budidaya...

  • 1

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Karakteristik Lahan Kering Desa Kebondowo

    Karakteristik lahan merupakan sifat lahan Djaenudin dkk (2003). Dalam

    budidaya menyesuaikan jenis tanaman dengan karakteristik lahan merupakan

    salah satu kuci utama untuk mendapatkan hasil yang optimal. Maka dari itu

    perlu dilakukan pengukuran untuk mengetahui bagaimana karakteristik lahan

    kering di Desa Kebondowo.

    Data ini digunakan untuk mengetahui kelas kesesuaian dan faktor

    pembatas di lahan kering Desa Kebondowo khususnya untuk budidaya Jahe

    (Zingiber officinale). Jenis data yang digunakan adalah suhu udara, elevasi,

    curah hujan, kelembaban, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah,

    KTK, pH H2O, C-Organik, salinitas kelerengan, batuan permukaan. Penilaian

    karakteristik dilakukan berdasarkan data hasil analisis pada titik sampel yang

    telah ditentukan. Data tersebut dieksterpolasi dengan menggunakan Arcview

    3.2 sehingga dapat membentuk peta. Data yang diperoleh ditampilkan pada

    tabel 4.1.

  • 2

    Tabel 4.1. Karakteristik Lahan Pertanian Desa Kebondowo di 18 Titik Observasi

    Komponen Temperatur Temperatur rerata (0C) Ketersediaan

    Oksigen Media Perakaran Resistensi hara Toksisitas

    Bahaya

    Erosi

    Penyiapan

    Lahan

    Sampel Temperatur rerata (0C)

    Elevasi

    (mdpl)

    Curah

    Hujan

    (mm/thn)

    Kelembaban

    (%) Drainase Tekstur

    Bahan

    Kasar

    (%)

    Kedalaman

    Tanah

    (cm)

    KTK

    liat

    (Cmol)

    pH

    H2O

    C

    Organik

    (%)

    Salinitas

    (dS/m)

    Lereng

    (%)

    Batuan

    permukaan

    (%)

    1 22 590

    1599

    .76 –

    200

    2

    83 Baik Liat < 5 50 – 70 31.68 5.68 2.92 0.00057 < 40 < 5

    2 22 550 83 Baik Liat < 5 50 – 70 39.81 5.73 3.17 0.0025 25 - 40 < 5

    3 23 540 83 Baik Liat < 5 50 – 70 29.47 5.41 1.66 0.0018 15 - 25 < 5

    4 23 520 83 Baik Liat < 5 50 – 70 29.05 5.57 3.58 0.002 15 - 25 < 5

    5 22 590 83 Baik Liat < 5 50 – 70 35.95 5.55 2.26 0.0015 15 - 25 < 5

    6 22 660 83 Agak baik Liat < 5 50 – 70 67.40 5.52 4.00 0.002 25 - 40 < 5

    7 22 690 83 Baik Liat < 5 50 – 70 21.36 5.49 2.22 0.0018 15 - 25 < 5

    8 22 560 83 Baik Liat < 5 50 – 70 12.23 5.4 2.10 0.0024 15 - 25 < 5

    9 23 500 83 Baik Liat < 5 50 – 70 20.48 5.28 1.91 0.0012 8 - 15 < 5

    10 22 750 83 Baik Liat < 5 50 – 70 32.58 5.32 1.61 0.0018 25 - 40 < 5

    11 22 650 83 Baik Liat < 5 50 – 70 24.37 5.32 0.95 0.0003 15 - 25 < 5

    12 23 540 83 Baik Liat < 5 50 – 70 23.44 4.87 3.08 0.0013 15 - 25 < 5

    13 22 790 83 Baik Liat < 5 50 – 70 27.38 5.12 2.54 0.0014 25 - 40 < 5

    14 22 620 83 Baik Liat < 5 50 – 70 21.00 5.4 1.87 0.0017 15 - 25 < 5

    15 23 550 83 Baik Liat < 5 50 – 70 34.86 5.19 2.45 0.0014 15 - 25 < 5

    16 22 830 83 Baik Liat < 5 50 – 70 19.49 5.23 2.33 0.0022 15 - 25 < 5

    17 22 660 83 Baik Liat < 5 50 – 70 28.44 5.22 1.61 0.0014 8 - 15 < 5

    18 25 530 83 Baik Liat < 5 50 – 70 34.71 4.92 1.64 0.0037 25 - 40 < 5

    Sumber: Analisis Primer, 2017

  • 3

    4.2 Kelas Kesesuaian Lahan Kering Desa Kebondowo Untuk Budidaya

    Jahe

    Penentuan kelas kesesuaian jahe dilakukan berdasarkan data analisis

    primer yang kemudian di Matching kan dengan kriteria kesesuaian lahan,

    dengan menggunakan Software yakni ArcView 3.2. dengan ekstensi

    ModelBuilder. Hasil kelas kesesuaian Jahe pada wilayah Desa Kebondowo

    menunjukan bahwa Jahe masuk dalam kelas kesesuaian S1, dan S2, seperti

    pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.2.

    Tabel 4.2 Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Jahe di Desa Kebondowo

    Kelas Kesesuaian Lahan

    N S1 S2

    Luas Lahan (ha) 121,733 208,510 215,333

    Sumber: Analisis Primer, 2016

    Gambar 4.1. Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Jahe di Desa Kebondowo

    Berdasarkan hasil pemetaan wilayah lahan kering Desa Kebondowo

    terbagi menjadi 3 kriteria kelas kesesuaian yakni N dengan luas wilayah

    121.733 yang merupakan daerah rawa/ sawah, kemudian kriteria kelas

    kesesuaian S1 dengan luas wilayah 208,510 ha, dan terakhir kriteria kelas

  • 4

    kesesuaian S2 dengan luas wilayah 215,333 ha. Menurut Djaenudin dkk

    (2003) Kelas kesesuaian S1 masuk dalam kriteria kelas sangat sesuai untuk

    budidaya tamanan jahe, sedangkan S2 masuk dalam kriteria kelas cukup

    sesuai untuk budidaya tanaman jahe, untuk kelas kesesuaian N masuk dalam

    kriteria kelas tidak sesuai untuk budidaya tanaman jahe.

    Menurut deskripsi varietas tanaman jahe Balittro (2011) memiliki jumlah

    rata-rata produksi mencapai 3 – 12 ton/ha syarat panen lebih dari 9 bulan.

    Dengan menerapkan pola tanam tumpang sari pada lahan S1 dan S2, petani

    dapat memiliki presentase keberhasilan target produksi antara 60% - 80%.

    Sehingga potensi hasil produksi yang diperoleh jika membudidayakan jahe

    pada lahan yang memiliki kesesuaian S1 dan S2 berkisar antara 7 – 10 ton/ha.

  • 5

    4.3 Faktor Pembatas Budidaya Tanaman Jahe

    Faktor pembatas merupakan sesuatu dalam karakteristik lahan yang dapat

    membatasi atau menjadi penghambat pada suatu penentuan kesesuaian, hal ini

    dapat berasal karakteristik fisika tanah, kimia tanah, dan keadaan geografis

    wilayah setempat. Rekomendasi budidaya yang diberikan berlandaskan hasil

    dari faktor – faktor pembatas yang diketahui. Skor faktor pembatas diperoleh

    dari pengolahan data antara skor kelas dengan presentase luas wilayah dimana

    pemberian skor dilakukan dengan range 1 – 4, skor 1 untuk bukan kelas faktor

    pembatas, skor 2 untuk kelas faktor pembatas ringan, skor 3 untuk kelas faktor

    pembatas berat dan skor 4 untuk kelas faktor pembatas sangat berat.

    Tabel 4.3. Peringkat Faktor Pembatas Karakteristik Lahan di Desa Kebondowo

    No Komponen Luas Wilayah % Skor

    Pembatas Peringkat

    BP P1 P2 P3

    1 Kelerengan 28,745 18,425 42,671 10,159 0,551 1

    2 Curah Hujan - 100 - - 0,367 2

    3 pH H2O 94,383 5,617 - - 0,194 3

    4 KTK 94,685 5.315 - - 0,193 4

    5 Drainase 100 - - - 0,183

    6 C-Organik 100 - - - 0,183

    7 Suhu 100 - - - 0,183

    8 Tekstur 100 - - - 0,183

    9 Bahan Kasar 100 - - - 0,183

    10 Batuan Permukaan 100 - - - 0,183

    11 EC 100 - - - 0,183

    12 Solum 100 - - - 0,183

    13 Kelembaban 100 - - - 0,183 Sumber: Analisis Primer, 2016

    Berdasarkan Tabel 4.3 terdapat 5 jenis faktor yang membatasi untuk

    kesesuaian tanaman Jahe (Zingiber officinale) di Desa Kebondowo yaitu:

    Kelerengan, Curah Hujan, Drainase, Kapasitas Tukar Kation, pH H2O.

    Pada Desa Kebondowo kelerengan menjadi faktor pembatas pertama.

    Berdasarkan Djainudin dkk., (2003), terdapat 5 kelas kelerengan, sehingga

    penentuan faktor pembatas kelerengan dilakukan berdasarkan ketentuan

    tersebut. Nilai kelas kelerengan ditentukan berdasarkan hasil interpolasi peta

    kontur Desa kebondowo yang kemudian direklasifikasi ulang menjadi 5 kelas

  • 6

    sehingga dapat diketahui wilayah persebaran berdasarkan kelas kelerengan

    (Gambar 4.3).

    Menurut Permentan (2006), kategori kelas kelerengan S1 dan S2

    merupakan wilayah yang sangat dan cukup sesuai untuk dipergunakan sebagai

    lahan pertanian. Kategori kelas kelerengan S3 menurut aturan penggunaan

    lahan adalah untuk tanaman kehutanan hal ini bertujuan untuk meminimalisir

    pengolahan lahan yang berlebih serta tetap mejaga kelestarian hutan lindung.

    Sedangkan kategori kelas kelerengan N sangat tidak sesuai, menurut aturan

    pemerintah pada wilayah ini tidak dimungkinkan untuk dilakukan pengolahan

    lahan ataupun pemukiman sehingga aturan penggunaan lahannya adalah hutan

    lindung/ konservasi.

    Gambar 4.2. Peta Kelerengan di Desa Kebondowo

    Hasil analisis faktor pembatas, memiliki menunjukan bahwa Desa

    Kebondowo memiliki persentase kelerengan yang beragam seperti pada

    Gambar 4.3. Terdapat 29,1% dari wilayah dengan luas 122,157 ha masuk

    dalam kriteria kelerengan < 8% (landai).

    kriteria kelerengan 8% - 15% (bergelombang) dengan persentase 18% dari

    seluruh wilayah memiliki luas 78,3 ha, kemudian 42,7% dari wilayah dengan

    luas 181,337 ha masuk dalam kriteria kelerengan 25% - 40% (berbukit) dan

  • 7

    sisanya 10,2% dengan luas wilayah 43,174 ha masuk dalam kriteria

    kelerengan < 40% (bergunung).

    Sebaran data curah hujan di Desa Kebondowo tidak menunjukan adanya

    perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan cakupan wilayah Desa

    Kebondowo tidak terlalu luas sehingga tidak terjadi perbedaan curah hujan

    antar dusun. Dalam peringkat faktor pembatas curah hujan terdapat di urutan

    ke 2 dengan skor 0,37% sebagai faktor pembatas untuk tanaman jahe seperti

    pada Tabel 4.3.

    Gambar 4.3. Peta curah hujan di Desa Kebondowo

    Curah hujan sangat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Lesmana,

    (2008) jahe sangat membutuhkan curah hujan tinggi, bila kebutuhan air tidak

    terpenuhi maka tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik. Untuk wilayah Desa

    Kebondowo curah hujan masuk dalam kelas kesesuaian S2 disebabkan rata –

    rata curah hujan tahunan untuk Desa Kebondowo sebanyak 1.500 – 2.000

    mm/thn sedangkan untuk syarat kelas S1 adalah 2.500 – 3.500 mm/thn

    (Djainudin dkk., 2003).

    Faktor pembatas ketiga adalah kapasitas tukar kation (KTK) dengan

    persentase 0,193%. KTK memiliki hubungan yang sangat erat dengan

    kesuburan. Menurut Hardjowigeno (1987), tanah dengan KTK tinggi mampu

  • 8

    menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik bila dibandingkan dengan

    tanah dengan KTK rendah.

    Gambar 4.4. Peta KTK di Desa Kebondowo

    Berdasarkan hasil analisis 95% dari wilayah Desa Kebondowo dengan

    luas 516,586 ha masuk dalam kriteria kelas kesesuaian S1. Sedangkan sisanya

    5% dengan luas 29 ha masuk dalam kelas kesesuaian S2 untuk tanaman Jahe

    (Zingiber officinale).

    Status pH H2O tanah masuk pada urutan peringkat keempat sebagai faktor

    pembatas pada lahan tegalan Desa Kebondowo. Menurut Djaenudin dkk,

    (2003) syarat kelas kesesuaian untuk tanaman jahe adalah 5 – 7. Pengaruh pH

    yang rendah menyebabkan konsentrasi alumunium yang cukup tinggi

    sehingga dapat menghambat pertumbuhan. Hal ini disebabkan terhambatnya

    ketersediaan fosfat dan proses penyerapan besi yang berdampak keracunan

    pada metabolisme pertumbuhan (Fahrudin, 2009).

  • 9

    Gambar 4.5. Peta pH H2O di Desa Kebondowo

    Berdasarkan hasil analisis 94% dari wilayah dengan luas 514,94 ha masuk

    dalam kelas kesesuaian S1. Sisanya sebanyak 6% dengan luas 30,646 ha

    masuk dalam kelas kesesuaian S2 dengan syarat kondisi pH tanah < 5.

    Menurut Sarwono (1987), pH mempengaruhi penyerapan unsur hara dalam

    tanah. Pada umumnya tanaman mudah menyerap unsur hara pada pH netral

    dikarenakan pada pH tersebut unsur hara lebih mudah terlarut dalam air

    sehingga mampu diserap oleh tanaman.

    4.4 Status Unsur Hara Tanah

    Unsur hara esensial merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh

    tanaman, dan fungsinya bagi tanaman tidak dapat tergantikan oleh unsur lain.

    Dan unsur – unsur tersebut harus dalam kondisi yang seimbang sesuai dengan

    kebutuhan tanaman yang dibudidayakan (Sarwono, 1987). Beberapa unsur hara

    yang digunakan dalam jumlah yang relatif besar sering disebut dengan unsur

    hara makro, antara lain: Karbon, Oksigen, Hidrogen, Nitrogen, Fosfor,

    Kalium, Kalsium, Magnesium dan Sulfur. Sebagian diantaranya dapat

    diperoleh dari udara dan air tetapi sebagian lainnya berasal dari dalam tanah

    (Buckman dan Brady, 1982).

  • 10

    Peran unsur hara bagi pertumbuhan tanaman jahe merupakan hal yang

    sangat mendasar. Kelas kesesuaian lahan perlu diimbangi dengan ketersediaan

    hara sehingga dapat memenuhi target produksi sesuai dengan deskripsi

    varietas tanaman jahe. Status hara tanah di Desa Kebondowo tergolong sangat

    rendah (Tabel 4.4). Sebanyak 99% dari wilayah Desa Kebondowo memiliki

    kriteria Nitrogen sangat rendah. Dan untuk hara Phospor dan Kalium seluruh

    wilayah masuk pada kriteria sangat rendah. Walaupun sifat tanah pH H2O dan

    KTK dalam kesesuaian jahe saat ini dianggap sebagai faktor pembatas ringan

    berdasarkan standart Djaenudin dkk., (2003), untuk jangka panjang diperlukan

    upaya meningkatkan guna meminimalisir potensi defisiensi pada sifat

    tersebut.

    Tabel 4.4. Tingkat Kesuburan Tanah Desa Kebondowo Berdasarkan Kriteria Sifat

    Kimia Tanah (menurut Sarwono, 1987)

    Sifat Tanah Hasil Pengukuran Kriteria

    pH H2O 4,87 – 5,515 Masam

    5,515 – 5,729 Agak Masam

    KTK (me/100g) 0,015 – 16,861 Sangat Rendah

    16,861 – 33,707 Sedang

    33,707 – 67,399 Sangat Tinggi

    Nitrogen (%) 0,01 – 1,107 Sangat Rendah

    1,107 – 0,14 Rendah

    Fosfor (mg/100 g) 0,01 – 0,02 Sangat Rendah

    Kalium (mg/100 g) 0,01 – 0,02 Sangat Rendah Sumber: Analisis Primer, 2017

    Kaitan ketersediaan unsur hara dengan lahan kering di Desa kebondowo

    adalah terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman yang dibudidayakan. Jika

    lahan tidak mampu menyediakan atau pun mungkin tersedia tetapi tidak dapat

    diserap akibat belum terfiksasi secara sempurna, tanaman yang dibudidayakan

    pun akan mengalami defisiensi hara. Kondisi tersebut terjadi ketika tanaman

    tetap tumbuh tetapi tidak mencapai pertumbuhan yang optimal. Akibat dari

    defisiensi hara N tanaman akan menjadi kerdil, daun akan menguning dan

    gugur karena tidak terbentuknya klorofil secara sempurna. Jika mengalami

    defiensi P terhambatnya pembelahan sel yang akan mempengaruhi

    pembentukan bunga, buah, biji, serta pertumbuhan akar. Jika defisiensi K

    terjadi maka akan mempengaruhi proses fotosintesis pada tanaman,

  • 11

    dikarenakan daun tua yang seharusnya bekerja optimal melakukan fotosintesis

    terhambat akibat daun muda mengambil unsur K pada daun-daun tersebut.

    Sehingga daun – daun tua akan mulai kuning kecokelatan yang memberi

    dampak terhambatnya proses fotosintesis (Sarwono, 1987). Peran KTK dalam

    reaksi kimia tanah adalah sebagai momen terjadinya pertukaran antara ion

    hidrogen yang digantikan dengan ion – ion lain. Peran pH dalam proses KTK

    adalah sebagai penyeimbang karna tersebut membutuhkan kalsium tinggi dan

    ketika pH mulai normal unsur hara akan lebih mudah difiksasi dan diserap

    oleh tanaman (Sarwono, 1987 dan Buckman dan Brady, 1982).

    4.5 Rekomendasi Budidaya

    Komponen yang menjadi faktor pembatas budidaya jahe pada lahan

    dengan kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marjinal) masih

    dapat diperbaiki sehingga lahan tersebut menjadi sangat sesuai (kelas S1)

    untuk budidaya jahe. Faktor pembatas dalam budidaya jahe di lahan kelas S2

    dan S3 adalah kelerengan, curah hujan, drainase, pH tanah, dan KTK tanah.

    4.5.1 Upaya Peningkatan Kelas Kesesuaian Lahan Dari Segi Fisik

    Memanipulasi kondisi lahan yang memiliki nilai faktor pembatas berat

    sangat mungkin dilakukan. Rekomendasi yang diberikan untuk meningkatkan

    kelas kesesuaian lahan menjadi S1 (sangat sesuai) adalah menggunakan

    teknologi konservasi. Definisi konservasi adalah semua perlakuan secara

    kimia, fisika, dan biologi terhadap lahan dalam bentuk pembuatan model

    lahan, penanaman vegetasi dan perbaikan hara yang ditujukan untuk

    mengurangi aliran permukaan, pengendalian erosi, serta manungkatkan kelas

    kemampuan lahan (Permentan, 2006).

    Menurut Permentan dan karsyno (2006 dan 2010), terdapat berbagai

    macam cara teknologi konservasi yang dapat digunakan pada lahan kering

    untuk meningkatkan kemampuan lahan. Salah satu tekknologi konservasi

    yang sering digunakan adalahn pembentukan teras bangku atau teras tangga,

    dibuat dengan cara memotong kelerengan kemudian ditimbun dan diratakan

    membentuk pola seperti tangga atau seperti bangku sesuai dengan kondisi

  • 12

    lahan. Pada zona yang memiliki tingkat kelerengan yang tinggi (S3) penerapan

    metode ini dapat mengurangi aliran permukaan dan bisa digunakan sebagai

    wilayah pertanaman keras untuk mengurangi resiko longsor. Selain itu juga

    dapat meminimalisir hilangnya kandungan hara yang larut dalam air. Untuk

    zona wilayah yang memiliki tingkat kelerengan sedang (S2) penggunaan teras

    dapat memanipulasi kelerengan sebagai faktor pembatas sehingga dapat

    masuk menjadi kelas kesesuaian S1.

    Menggunakan metode pola tanam budidaya lorong (alley cropping),

    sistem yang digunakan adalah tanaman sekunder ditanam diantara lorong pada

    barisan tanaman. Sehingga lahan yang tersisa dapat termanfaatkan secara

    maksimal. Pada wilayah yang memiliki kelerengan tinggi dapat menggunakan

    pola tanam mengikuti kontur (contour farming), sistem yang digunakan adalah

    menanam langsung mengikuti garis kontur pada area lahan baik yang

    memiliki tingkat kelerengan tinggi S3 maupun sedang S2. Tetapi rekomendasi

    yang diberikan untuk zona wilayah yang memiliki tingkat kelerengan S3

    adalah tetap membudidayakan tanaman kayu keras untuk meminimalisir

    resiko potensi longsor dan erosi. Sedangkan pada zona wilayah S2 dapat

    memaksimalkan penggunaan lahan dengan menggunakan jahe sebagai

    tanaman sela.

    Pembuatan rorak dan sumur, merupakan lubang penampungan atau

    resapan air sedangkan sumur adalah lubang yang sengaja digali sebagai wadah

    untuk menampur air tanah. Selama ini warga setempat hanya mengandalkan

    hujan untuk memenuhi kebutuhan air. Pembuatan sumur dan rorak merupakan

    langkah strategis untuk mengatasi kebutuhan air pada lahan. Hal ini adalah

    upaya untuk mengatasi kondisi curah hujan yang kurang hanya 1.500 - 2.000

    mm/thn untuk memenuhi kebutuhan tanaman jahe di Desa Kebondowo.

    4.5.2 Upaya Peningkatan Kelas Kesesuaian Lahan Dari Segi Kimia

    Jahe (Zingiber officinale) termasuk tanaman yang membutuhkan unsur

    hara yang tinggi (Yusron, 2005). Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan

    bahwa status unsur hara makro esensial, terutama N, P, dan K, di Desa

    Kebondowo masih sangat rendah. Metode yang efisien untuk mengatasi

  • 13

    permasalahan hara tersebut adalah pemberian pupuk secara langsung. Jenis

    pupuk yang digunakan dapat berasal dari bahan organik ataupun anorganik

    dalam bentuk padatan maupun cair. Menurut standar kebutuhan hara tanaman

    jahe BPTP (2012), lahan kering Desa Kebondowo membutuhkan N dalam

    bentuk urea sebanyak 400 kg/ha, untuk unsur K dalam bentuk KCl sebanyak

    300 kg/ha dan membutuhkan fosfor dalam bentuk SP-36 sebanyak 300 kg/ha.

    Akan tetapi, pemberian pupuk anorganik semata secara terus menerus

    tidak akan memberikan keseimbangan bagi unsur-unsur lainya. Pengaruh

    kelebihan pupuk anorganik dapat menyebabkan penurunan pH selain itu

    pemberian pupuk secara berkelanjutan dapat berpotensi mengubah struktur

    secara fisika, kimiawi dan biologis (Khairunisa 2015). Kaitan peran bahan

    organik secara fisika terhadap kondisi tanah adalah sebagai granulator yang

    menyebabkan keadaan gembur pada tanah sehingga tanah memiliki kapasitas

    menahan air tanah. Secara kimia, bahan organik merupakan sumber pokok

    utama unsur fosfor dan sulfur serta sedikit menyumbang kandungan nitrogen.

    Secara biologis bahan organik merupakan sumber utama dalam penyedia

    makanan bagi mikroorganisme dalam tanah (Sarwono, 1987 dan Buckman

    dan Brady, 1982).

    Oleh karena itu, peningkatan ketersediaan hara di lahan juga dapat

    diimbangi dengan pemberian bahan organik. Penambahan bahan organik

    meningkatkan ion negatif (kation) di dalam tanah sehingga dapat memperbaiki

    status KTK tanah. diiringi dengan pemberian kapur disebabkan pengaruh

    kapur yang menetralkan tanah asam akan mengaktifkan ion kasium sehingga

    dengan aksi massanya dapat menukarkan hidrogen dan kation lain (Buckman

    dan Brady, 1982). Bahan organik juga dapat meningkatkan pH tanah.

    Peningkatan pH terjadi karena adanya dekomposisi tingkat lanjut dimana

    bahan organik yang telah termineralisasi melepaskan mineralnya yang berupa

    kation-kation basa (Atmojo, 2003). Pemberian bahan organik juga dapat

    membantu memperbaiki drainase yang buruk. Bahan organik dapat

    meningkatkan pori makro tanah dan menekan pori mikro sehingga tanah

    memiliki laju perkolasi yang lebih baik (Atmojo, 2003). Meminimalisir

    genangan di lahan akan berdampak pada berkurangnya potensi penyakit layu

  • 14

    bakteri (Pribadi, 2013). Menurut Latifah, dkk (2008) pemberian bahan organik

    30 ton/ha dapat berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan dan hasil jahe.

    Pengaruh pemberian kapur dan dolomit mampu mempercepat dan

    meningkatkan kualitas hasil proses dokomposisi sehingga sangat tepat

    digabungkan pada saat pemberian bahan organik. Menurut Sukarman dan

    Melati (2011), pemberian dengan dosis 1 - 3 ton/ha kapur atau 0,5 - 2 ton/ha

    dolomit dapat meningkatkan kondisi pH tanah yang rendah. Pemenuhan

    kebutuhan hara dengan menggunakan organik maupun anorganik diharapkan

    dapat memperbaiki kesuburan hara di Desa Kebondowo.