BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Lahan ......kriteria kelas tidak sesuai untuk budidaya...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Lahan ......kriteria kelas tidak sesuai untuk budidaya...
-
1
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Lahan Kering Desa Kebondowo
Karakteristik lahan merupakan sifat lahan Djaenudin dkk (2003). Dalam
budidaya menyesuaikan jenis tanaman dengan karakteristik lahan merupakan
salah satu kuci utama untuk mendapatkan hasil yang optimal. Maka dari itu
perlu dilakukan pengukuran untuk mengetahui bagaimana karakteristik lahan
kering di Desa Kebondowo.
Data ini digunakan untuk mengetahui kelas kesesuaian dan faktor
pembatas di lahan kering Desa Kebondowo khususnya untuk budidaya Jahe
(Zingiber officinale). Jenis data yang digunakan adalah suhu udara, elevasi,
curah hujan, kelembaban, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah,
KTK, pH H2O, C-Organik, salinitas kelerengan, batuan permukaan. Penilaian
karakteristik dilakukan berdasarkan data hasil analisis pada titik sampel yang
telah ditentukan. Data tersebut dieksterpolasi dengan menggunakan Arcview
3.2 sehingga dapat membentuk peta. Data yang diperoleh ditampilkan pada
tabel 4.1.
-
2
Tabel 4.1. Karakteristik Lahan Pertanian Desa Kebondowo di 18 Titik Observasi
Komponen Temperatur Temperatur rerata (0C) Ketersediaan
Oksigen Media Perakaran Resistensi hara Toksisitas
Bahaya
Erosi
Penyiapan
Lahan
Sampel Temperatur rerata (0C)
Elevasi
(mdpl)
Curah
Hujan
(mm/thn)
Kelembaban
(%) Drainase Tekstur
Bahan
Kasar
(%)
Kedalaman
Tanah
(cm)
KTK
liat
(Cmol)
pH
H2O
C
Organik
(%)
Salinitas
(dS/m)
Lereng
(%)
Batuan
permukaan
(%)
1 22 590
1599
.76 –
200
2
83 Baik Liat < 5 50 – 70 31.68 5.68 2.92 0.00057 < 40 < 5
2 22 550 83 Baik Liat < 5 50 – 70 39.81 5.73 3.17 0.0025 25 - 40 < 5
3 23 540 83 Baik Liat < 5 50 – 70 29.47 5.41 1.66 0.0018 15 - 25 < 5
4 23 520 83 Baik Liat < 5 50 – 70 29.05 5.57 3.58 0.002 15 - 25 < 5
5 22 590 83 Baik Liat < 5 50 – 70 35.95 5.55 2.26 0.0015 15 - 25 < 5
6 22 660 83 Agak baik Liat < 5 50 – 70 67.40 5.52 4.00 0.002 25 - 40 < 5
7 22 690 83 Baik Liat < 5 50 – 70 21.36 5.49 2.22 0.0018 15 - 25 < 5
8 22 560 83 Baik Liat < 5 50 – 70 12.23 5.4 2.10 0.0024 15 - 25 < 5
9 23 500 83 Baik Liat < 5 50 – 70 20.48 5.28 1.91 0.0012 8 - 15 < 5
10 22 750 83 Baik Liat < 5 50 – 70 32.58 5.32 1.61 0.0018 25 - 40 < 5
11 22 650 83 Baik Liat < 5 50 – 70 24.37 5.32 0.95 0.0003 15 - 25 < 5
12 23 540 83 Baik Liat < 5 50 – 70 23.44 4.87 3.08 0.0013 15 - 25 < 5
13 22 790 83 Baik Liat < 5 50 – 70 27.38 5.12 2.54 0.0014 25 - 40 < 5
14 22 620 83 Baik Liat < 5 50 – 70 21.00 5.4 1.87 0.0017 15 - 25 < 5
15 23 550 83 Baik Liat < 5 50 – 70 34.86 5.19 2.45 0.0014 15 - 25 < 5
16 22 830 83 Baik Liat < 5 50 – 70 19.49 5.23 2.33 0.0022 15 - 25 < 5
17 22 660 83 Baik Liat < 5 50 – 70 28.44 5.22 1.61 0.0014 8 - 15 < 5
18 25 530 83 Baik Liat < 5 50 – 70 34.71 4.92 1.64 0.0037 25 - 40 < 5
Sumber: Analisis Primer, 2017
-
3
4.2 Kelas Kesesuaian Lahan Kering Desa Kebondowo Untuk Budidaya
Jahe
Penentuan kelas kesesuaian jahe dilakukan berdasarkan data analisis
primer yang kemudian di Matching kan dengan kriteria kesesuaian lahan,
dengan menggunakan Software yakni ArcView 3.2. dengan ekstensi
ModelBuilder. Hasil kelas kesesuaian Jahe pada wilayah Desa Kebondowo
menunjukan bahwa Jahe masuk dalam kelas kesesuaian S1, dan S2, seperti
pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Jahe di Desa Kebondowo
Kelas Kesesuaian Lahan
N S1 S2
Luas Lahan (ha) 121,733 208,510 215,333
Sumber: Analisis Primer, 2016
Gambar 4.1. Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Jahe di Desa Kebondowo
Berdasarkan hasil pemetaan wilayah lahan kering Desa Kebondowo
terbagi menjadi 3 kriteria kelas kesesuaian yakni N dengan luas wilayah
121.733 yang merupakan daerah rawa/ sawah, kemudian kriteria kelas
kesesuaian S1 dengan luas wilayah 208,510 ha, dan terakhir kriteria kelas
-
4
kesesuaian S2 dengan luas wilayah 215,333 ha. Menurut Djaenudin dkk
(2003) Kelas kesesuaian S1 masuk dalam kriteria kelas sangat sesuai untuk
budidaya tamanan jahe, sedangkan S2 masuk dalam kriteria kelas cukup
sesuai untuk budidaya tanaman jahe, untuk kelas kesesuaian N masuk dalam
kriteria kelas tidak sesuai untuk budidaya tanaman jahe.
Menurut deskripsi varietas tanaman jahe Balittro (2011) memiliki jumlah
rata-rata produksi mencapai 3 – 12 ton/ha syarat panen lebih dari 9 bulan.
Dengan menerapkan pola tanam tumpang sari pada lahan S1 dan S2, petani
dapat memiliki presentase keberhasilan target produksi antara 60% - 80%.
Sehingga potensi hasil produksi yang diperoleh jika membudidayakan jahe
pada lahan yang memiliki kesesuaian S1 dan S2 berkisar antara 7 – 10 ton/ha.
-
5
4.3 Faktor Pembatas Budidaya Tanaman Jahe
Faktor pembatas merupakan sesuatu dalam karakteristik lahan yang dapat
membatasi atau menjadi penghambat pada suatu penentuan kesesuaian, hal ini
dapat berasal karakteristik fisika tanah, kimia tanah, dan keadaan geografis
wilayah setempat. Rekomendasi budidaya yang diberikan berlandaskan hasil
dari faktor – faktor pembatas yang diketahui. Skor faktor pembatas diperoleh
dari pengolahan data antara skor kelas dengan presentase luas wilayah dimana
pemberian skor dilakukan dengan range 1 – 4, skor 1 untuk bukan kelas faktor
pembatas, skor 2 untuk kelas faktor pembatas ringan, skor 3 untuk kelas faktor
pembatas berat dan skor 4 untuk kelas faktor pembatas sangat berat.
Tabel 4.3. Peringkat Faktor Pembatas Karakteristik Lahan di Desa Kebondowo
No Komponen Luas Wilayah % Skor
Pembatas Peringkat
BP P1 P2 P3
1 Kelerengan 28,745 18,425 42,671 10,159 0,551 1
2 Curah Hujan - 100 - - 0,367 2
3 pH H2O 94,383 5,617 - - 0,194 3
4 KTK 94,685 5.315 - - 0,193 4
5 Drainase 100 - - - 0,183
6 C-Organik 100 - - - 0,183
7 Suhu 100 - - - 0,183
8 Tekstur 100 - - - 0,183
9 Bahan Kasar 100 - - - 0,183
10 Batuan Permukaan 100 - - - 0,183
11 EC 100 - - - 0,183
12 Solum 100 - - - 0,183
13 Kelembaban 100 - - - 0,183 Sumber: Analisis Primer, 2016
Berdasarkan Tabel 4.3 terdapat 5 jenis faktor yang membatasi untuk
kesesuaian tanaman Jahe (Zingiber officinale) di Desa Kebondowo yaitu:
Kelerengan, Curah Hujan, Drainase, Kapasitas Tukar Kation, pH H2O.
Pada Desa Kebondowo kelerengan menjadi faktor pembatas pertama.
Berdasarkan Djainudin dkk., (2003), terdapat 5 kelas kelerengan, sehingga
penentuan faktor pembatas kelerengan dilakukan berdasarkan ketentuan
tersebut. Nilai kelas kelerengan ditentukan berdasarkan hasil interpolasi peta
kontur Desa kebondowo yang kemudian direklasifikasi ulang menjadi 5 kelas
-
6
sehingga dapat diketahui wilayah persebaran berdasarkan kelas kelerengan
(Gambar 4.3).
Menurut Permentan (2006), kategori kelas kelerengan S1 dan S2
merupakan wilayah yang sangat dan cukup sesuai untuk dipergunakan sebagai
lahan pertanian. Kategori kelas kelerengan S3 menurut aturan penggunaan
lahan adalah untuk tanaman kehutanan hal ini bertujuan untuk meminimalisir
pengolahan lahan yang berlebih serta tetap mejaga kelestarian hutan lindung.
Sedangkan kategori kelas kelerengan N sangat tidak sesuai, menurut aturan
pemerintah pada wilayah ini tidak dimungkinkan untuk dilakukan pengolahan
lahan ataupun pemukiman sehingga aturan penggunaan lahannya adalah hutan
lindung/ konservasi.
Gambar 4.2. Peta Kelerengan di Desa Kebondowo
Hasil analisis faktor pembatas, memiliki menunjukan bahwa Desa
Kebondowo memiliki persentase kelerengan yang beragam seperti pada
Gambar 4.3. Terdapat 29,1% dari wilayah dengan luas 122,157 ha masuk
dalam kriteria kelerengan < 8% (landai).
kriteria kelerengan 8% - 15% (bergelombang) dengan persentase 18% dari
seluruh wilayah memiliki luas 78,3 ha, kemudian 42,7% dari wilayah dengan
luas 181,337 ha masuk dalam kriteria kelerengan 25% - 40% (berbukit) dan
-
7
sisanya 10,2% dengan luas wilayah 43,174 ha masuk dalam kriteria
kelerengan < 40% (bergunung).
Sebaran data curah hujan di Desa Kebondowo tidak menunjukan adanya
perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan cakupan wilayah Desa
Kebondowo tidak terlalu luas sehingga tidak terjadi perbedaan curah hujan
antar dusun. Dalam peringkat faktor pembatas curah hujan terdapat di urutan
ke 2 dengan skor 0,37% sebagai faktor pembatas untuk tanaman jahe seperti
pada Tabel 4.3.
Gambar 4.3. Peta curah hujan di Desa Kebondowo
Curah hujan sangat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Lesmana,
(2008) jahe sangat membutuhkan curah hujan tinggi, bila kebutuhan air tidak
terpenuhi maka tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik. Untuk wilayah Desa
Kebondowo curah hujan masuk dalam kelas kesesuaian S2 disebabkan rata –
rata curah hujan tahunan untuk Desa Kebondowo sebanyak 1.500 – 2.000
mm/thn sedangkan untuk syarat kelas S1 adalah 2.500 – 3.500 mm/thn
(Djainudin dkk., 2003).
Faktor pembatas ketiga adalah kapasitas tukar kation (KTK) dengan
persentase 0,193%. KTK memiliki hubungan yang sangat erat dengan
kesuburan. Menurut Hardjowigeno (1987), tanah dengan KTK tinggi mampu
-
8
menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik bila dibandingkan dengan
tanah dengan KTK rendah.
Gambar 4.4. Peta KTK di Desa Kebondowo
Berdasarkan hasil analisis 95% dari wilayah Desa Kebondowo dengan
luas 516,586 ha masuk dalam kriteria kelas kesesuaian S1. Sedangkan sisanya
5% dengan luas 29 ha masuk dalam kelas kesesuaian S2 untuk tanaman Jahe
(Zingiber officinale).
Status pH H2O tanah masuk pada urutan peringkat keempat sebagai faktor
pembatas pada lahan tegalan Desa Kebondowo. Menurut Djaenudin dkk,
(2003) syarat kelas kesesuaian untuk tanaman jahe adalah 5 – 7. Pengaruh pH
yang rendah menyebabkan konsentrasi alumunium yang cukup tinggi
sehingga dapat menghambat pertumbuhan. Hal ini disebabkan terhambatnya
ketersediaan fosfat dan proses penyerapan besi yang berdampak keracunan
pada metabolisme pertumbuhan (Fahrudin, 2009).
-
9
Gambar 4.5. Peta pH H2O di Desa Kebondowo
Berdasarkan hasil analisis 94% dari wilayah dengan luas 514,94 ha masuk
dalam kelas kesesuaian S1. Sisanya sebanyak 6% dengan luas 30,646 ha
masuk dalam kelas kesesuaian S2 dengan syarat kondisi pH tanah < 5.
Menurut Sarwono (1987), pH mempengaruhi penyerapan unsur hara dalam
tanah. Pada umumnya tanaman mudah menyerap unsur hara pada pH netral
dikarenakan pada pH tersebut unsur hara lebih mudah terlarut dalam air
sehingga mampu diserap oleh tanaman.
4.4 Status Unsur Hara Tanah
Unsur hara esensial merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh
tanaman, dan fungsinya bagi tanaman tidak dapat tergantikan oleh unsur lain.
Dan unsur – unsur tersebut harus dalam kondisi yang seimbang sesuai dengan
kebutuhan tanaman yang dibudidayakan (Sarwono, 1987). Beberapa unsur hara
yang digunakan dalam jumlah yang relatif besar sering disebut dengan unsur
hara makro, antara lain: Karbon, Oksigen, Hidrogen, Nitrogen, Fosfor,
Kalium, Kalsium, Magnesium dan Sulfur. Sebagian diantaranya dapat
diperoleh dari udara dan air tetapi sebagian lainnya berasal dari dalam tanah
(Buckman dan Brady, 1982).
-
10
Peran unsur hara bagi pertumbuhan tanaman jahe merupakan hal yang
sangat mendasar. Kelas kesesuaian lahan perlu diimbangi dengan ketersediaan
hara sehingga dapat memenuhi target produksi sesuai dengan deskripsi
varietas tanaman jahe. Status hara tanah di Desa Kebondowo tergolong sangat
rendah (Tabel 4.4). Sebanyak 99% dari wilayah Desa Kebondowo memiliki
kriteria Nitrogen sangat rendah. Dan untuk hara Phospor dan Kalium seluruh
wilayah masuk pada kriteria sangat rendah. Walaupun sifat tanah pH H2O dan
KTK dalam kesesuaian jahe saat ini dianggap sebagai faktor pembatas ringan
berdasarkan standart Djaenudin dkk., (2003), untuk jangka panjang diperlukan
upaya meningkatkan guna meminimalisir potensi defisiensi pada sifat
tersebut.
Tabel 4.4. Tingkat Kesuburan Tanah Desa Kebondowo Berdasarkan Kriteria Sifat
Kimia Tanah (menurut Sarwono, 1987)
Sifat Tanah Hasil Pengukuran Kriteria
pH H2O 4,87 – 5,515 Masam
5,515 – 5,729 Agak Masam
KTK (me/100g) 0,015 – 16,861 Sangat Rendah
16,861 – 33,707 Sedang
33,707 – 67,399 Sangat Tinggi
Nitrogen (%) 0,01 – 1,107 Sangat Rendah
1,107 – 0,14 Rendah
Fosfor (mg/100 g) 0,01 – 0,02 Sangat Rendah
Kalium (mg/100 g) 0,01 – 0,02 Sangat Rendah Sumber: Analisis Primer, 2017
Kaitan ketersediaan unsur hara dengan lahan kering di Desa kebondowo
adalah terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman yang dibudidayakan. Jika
lahan tidak mampu menyediakan atau pun mungkin tersedia tetapi tidak dapat
diserap akibat belum terfiksasi secara sempurna, tanaman yang dibudidayakan
pun akan mengalami defisiensi hara. Kondisi tersebut terjadi ketika tanaman
tetap tumbuh tetapi tidak mencapai pertumbuhan yang optimal. Akibat dari
defisiensi hara N tanaman akan menjadi kerdil, daun akan menguning dan
gugur karena tidak terbentuknya klorofil secara sempurna. Jika mengalami
defiensi P terhambatnya pembelahan sel yang akan mempengaruhi
pembentukan bunga, buah, biji, serta pertumbuhan akar. Jika defisiensi K
terjadi maka akan mempengaruhi proses fotosintesis pada tanaman,
-
11
dikarenakan daun tua yang seharusnya bekerja optimal melakukan fotosintesis
terhambat akibat daun muda mengambil unsur K pada daun-daun tersebut.
Sehingga daun – daun tua akan mulai kuning kecokelatan yang memberi
dampak terhambatnya proses fotosintesis (Sarwono, 1987). Peran KTK dalam
reaksi kimia tanah adalah sebagai momen terjadinya pertukaran antara ion
hidrogen yang digantikan dengan ion – ion lain. Peran pH dalam proses KTK
adalah sebagai penyeimbang karna tersebut membutuhkan kalsium tinggi dan
ketika pH mulai normal unsur hara akan lebih mudah difiksasi dan diserap
oleh tanaman (Sarwono, 1987 dan Buckman dan Brady, 1982).
4.5 Rekomendasi Budidaya
Komponen yang menjadi faktor pembatas budidaya jahe pada lahan
dengan kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marjinal) masih
dapat diperbaiki sehingga lahan tersebut menjadi sangat sesuai (kelas S1)
untuk budidaya jahe. Faktor pembatas dalam budidaya jahe di lahan kelas S2
dan S3 adalah kelerengan, curah hujan, drainase, pH tanah, dan KTK tanah.
4.5.1 Upaya Peningkatan Kelas Kesesuaian Lahan Dari Segi Fisik
Memanipulasi kondisi lahan yang memiliki nilai faktor pembatas berat
sangat mungkin dilakukan. Rekomendasi yang diberikan untuk meningkatkan
kelas kesesuaian lahan menjadi S1 (sangat sesuai) adalah menggunakan
teknologi konservasi. Definisi konservasi adalah semua perlakuan secara
kimia, fisika, dan biologi terhadap lahan dalam bentuk pembuatan model
lahan, penanaman vegetasi dan perbaikan hara yang ditujukan untuk
mengurangi aliran permukaan, pengendalian erosi, serta manungkatkan kelas
kemampuan lahan (Permentan, 2006).
Menurut Permentan dan karsyno (2006 dan 2010), terdapat berbagai
macam cara teknologi konservasi yang dapat digunakan pada lahan kering
untuk meningkatkan kemampuan lahan. Salah satu tekknologi konservasi
yang sering digunakan adalahn pembentukan teras bangku atau teras tangga,
dibuat dengan cara memotong kelerengan kemudian ditimbun dan diratakan
membentuk pola seperti tangga atau seperti bangku sesuai dengan kondisi
-
12
lahan. Pada zona yang memiliki tingkat kelerengan yang tinggi (S3) penerapan
metode ini dapat mengurangi aliran permukaan dan bisa digunakan sebagai
wilayah pertanaman keras untuk mengurangi resiko longsor. Selain itu juga
dapat meminimalisir hilangnya kandungan hara yang larut dalam air. Untuk
zona wilayah yang memiliki tingkat kelerengan sedang (S2) penggunaan teras
dapat memanipulasi kelerengan sebagai faktor pembatas sehingga dapat
masuk menjadi kelas kesesuaian S1.
Menggunakan metode pola tanam budidaya lorong (alley cropping),
sistem yang digunakan adalah tanaman sekunder ditanam diantara lorong pada
barisan tanaman. Sehingga lahan yang tersisa dapat termanfaatkan secara
maksimal. Pada wilayah yang memiliki kelerengan tinggi dapat menggunakan
pola tanam mengikuti kontur (contour farming), sistem yang digunakan adalah
menanam langsung mengikuti garis kontur pada area lahan baik yang
memiliki tingkat kelerengan tinggi S3 maupun sedang S2. Tetapi rekomendasi
yang diberikan untuk zona wilayah yang memiliki tingkat kelerengan S3
adalah tetap membudidayakan tanaman kayu keras untuk meminimalisir
resiko potensi longsor dan erosi. Sedangkan pada zona wilayah S2 dapat
memaksimalkan penggunaan lahan dengan menggunakan jahe sebagai
tanaman sela.
Pembuatan rorak dan sumur, merupakan lubang penampungan atau
resapan air sedangkan sumur adalah lubang yang sengaja digali sebagai wadah
untuk menampur air tanah. Selama ini warga setempat hanya mengandalkan
hujan untuk memenuhi kebutuhan air. Pembuatan sumur dan rorak merupakan
langkah strategis untuk mengatasi kebutuhan air pada lahan. Hal ini adalah
upaya untuk mengatasi kondisi curah hujan yang kurang hanya 1.500 - 2.000
mm/thn untuk memenuhi kebutuhan tanaman jahe di Desa Kebondowo.
4.5.2 Upaya Peningkatan Kelas Kesesuaian Lahan Dari Segi Kimia
Jahe (Zingiber officinale) termasuk tanaman yang membutuhkan unsur
hara yang tinggi (Yusron, 2005). Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan
bahwa status unsur hara makro esensial, terutama N, P, dan K, di Desa
Kebondowo masih sangat rendah. Metode yang efisien untuk mengatasi
-
13
permasalahan hara tersebut adalah pemberian pupuk secara langsung. Jenis
pupuk yang digunakan dapat berasal dari bahan organik ataupun anorganik
dalam bentuk padatan maupun cair. Menurut standar kebutuhan hara tanaman
jahe BPTP (2012), lahan kering Desa Kebondowo membutuhkan N dalam
bentuk urea sebanyak 400 kg/ha, untuk unsur K dalam bentuk KCl sebanyak
300 kg/ha dan membutuhkan fosfor dalam bentuk SP-36 sebanyak 300 kg/ha.
Akan tetapi, pemberian pupuk anorganik semata secara terus menerus
tidak akan memberikan keseimbangan bagi unsur-unsur lainya. Pengaruh
kelebihan pupuk anorganik dapat menyebabkan penurunan pH selain itu
pemberian pupuk secara berkelanjutan dapat berpotensi mengubah struktur
secara fisika, kimiawi dan biologis (Khairunisa 2015). Kaitan peran bahan
organik secara fisika terhadap kondisi tanah adalah sebagai granulator yang
menyebabkan keadaan gembur pada tanah sehingga tanah memiliki kapasitas
menahan air tanah. Secara kimia, bahan organik merupakan sumber pokok
utama unsur fosfor dan sulfur serta sedikit menyumbang kandungan nitrogen.
Secara biologis bahan organik merupakan sumber utama dalam penyedia
makanan bagi mikroorganisme dalam tanah (Sarwono, 1987 dan Buckman
dan Brady, 1982).
Oleh karena itu, peningkatan ketersediaan hara di lahan juga dapat
diimbangi dengan pemberian bahan organik. Penambahan bahan organik
meningkatkan ion negatif (kation) di dalam tanah sehingga dapat memperbaiki
status KTK tanah. diiringi dengan pemberian kapur disebabkan pengaruh
kapur yang menetralkan tanah asam akan mengaktifkan ion kasium sehingga
dengan aksi massanya dapat menukarkan hidrogen dan kation lain (Buckman
dan Brady, 1982). Bahan organik juga dapat meningkatkan pH tanah.
Peningkatan pH terjadi karena adanya dekomposisi tingkat lanjut dimana
bahan organik yang telah termineralisasi melepaskan mineralnya yang berupa
kation-kation basa (Atmojo, 2003). Pemberian bahan organik juga dapat
membantu memperbaiki drainase yang buruk. Bahan organik dapat
meningkatkan pori makro tanah dan menekan pori mikro sehingga tanah
memiliki laju perkolasi yang lebih baik (Atmojo, 2003). Meminimalisir
genangan di lahan akan berdampak pada berkurangnya potensi penyakit layu
-
14
bakteri (Pribadi, 2013). Menurut Latifah, dkk (2008) pemberian bahan organik
30 ton/ha dapat berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan dan hasil jahe.
Pengaruh pemberian kapur dan dolomit mampu mempercepat dan
meningkatkan kualitas hasil proses dokomposisi sehingga sangat tepat
digabungkan pada saat pemberian bahan organik. Menurut Sukarman dan
Melati (2011), pemberian dengan dosis 1 - 3 ton/ha kapur atau 0,5 - 2 ton/ha
dolomit dapat meningkatkan kondisi pH tanah yang rendah. Pemenuhan
kebutuhan hara dengan menggunakan organik maupun anorganik diharapkan
dapat memperbaiki kesuburan hara di Desa Kebondowo.