Post on 27-Jul-2015
ZAKI ULYA, S.H., M.H.
UPT-MATA KULIAH UMUMUNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH2010
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAA
N(DIKTAT KULIAH)
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAA
N(DIKTAT KULIAH)
PENGERTIAN, TUJUAN, SEJARAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN1
Oleh:
Zaki ‘Ulya, S.H., M.H.2
A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Istilah kewarganegaraan memiliki arti keanggotaan yang
menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dan warga negara.
Kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara
yang mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi
orang yang bersangkutan. Adapun menurut Undang-Undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan adalah segala
ikhwal yang berhubungan dengan Negara.
Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:
a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis
- Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan
adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara.
- Kewarganegaraan dalam arti sosiologis, tidak ditandai
dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosional, seperti
ikartan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan
sejarah, dan ikatan tanah air.
b. Kewarganegaraan dalam arti formil dan materil.
1 Bahan Ajar pertemuan pertama, mata kuliah Pendidikan Kewarganeraan, pada tanggal 14 september 20112 Adalah Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Pada UPT-MKU Univ. Syiah Kuala
- Kewarganegaraan dalam arti formil menunjukkan pada
tempat kewarganegaraan. Dalam sistematika hukum,
masalah kewarganegaraan berada pada hukum publik.
- Kewarganegaraan dalam arti materil menunjukkan pada
akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya
hak dan kewajiban warga negara.
Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan
terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara
dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan
pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan
kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.
Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan
warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik
kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa
dalam perikehidupan bangsa.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa di setiap jenis, jalur dan
jenjang pendidikan wajib memuat terdiri dari Pendidikan Bahasa,
Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Keputusan Menteri pendidikan dan Kebudayaan No.
056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa menetapkan bahwa
“Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Kewarganegaraan termasuk dalam Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib
diberikan dalam kurikulum setiap program studi”.
Dengan penyempurnaan kurikulum tahun 2000, menurut Kep.
Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000 materi Pendidikan Kewiraan disamping
membahas tentang PPBN juga dimembahas tentang hubungan antara
warga negara dengan negara. Sebutan Pendidikan Kewiraan diganti
dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokok Pendidikan
Kewarganegaraan adalah tentang hubungan warga negara dengan
negara, dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).
B. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan
Pendidikan Kewarganegaraan mencakup:
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada
mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara
serta PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa
dan negara.
2. Tujuan Khusus
a) Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan
kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas
sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
b) Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah
dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis
dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan
Nusantara, dan Ketahanan Nasional
c) Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela
berkorban bagi nusa dan bangsa.
C. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan
1. Pendidikan Kewiraan
Pendidikan Kewiraan dimulai tahun 1973/1974, sebagai bagian
dari kurikulum pendidikan nasional, dengan tujuan untuk
menumbuhkan kecintaan pada tanah air dalam bentuk PPBN yang
dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap awal yang diberikan
kepada peserta didik SD sampai sekolah menengah dan pendidikan
luar sekolah dalam bentuk pendidikan kepramukaan, sedangkan
PPBN tahap lanjut diberikan di PT dalam bentuk pendidikan
kewiraan.
2. Perkembangan kurikulum dan materi Pendidikan
Kewarganegaraan
a. Pada awal penyelenggaraan pendidikan kewiraan sebagai cikal
bakal darai PKn berdasarkan SK bersama Mendikbud dan
Menhankam tahun 1973, merupakan realisasi pembelaan
negara melalui jalur pengajaran khusus di Perguruan Tinggi, di
dalam SK itu dipolakan penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan
dan Pendidikan Perwira Cadangan di Perguruan Tinggi.
b. Berdasarkan UU No. 20 tahun 1982 tentang Pokok-pokok
Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara ditentukan
bahwa:
1) Pendidikan Kewiraan adalah PPBN tahap lanjutan pada
tingkat Perguruan Tinggi, merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Penyelenggaraan Sistem Pendidikan
Nasional
2) Wajib diikuti seluruh mahasiswa (setiap warga negara).
c. Berdasarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan bahwa:
1) Pendidikan Kewiraan bagi Perguruan Tinggi adalah bagian
dari Pendidikan Kewarganegaraan
2) Termasuk isi kurikulum pada setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan
d. SK Dirjen Dikti tahun 1993 menentukan bahwa Pendidikan
Kewiraan termasuk dalam kurikulum MKDU bersama-sama
dengan Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, ISD, IAD, dan
IBD sifatnya wajib.
e. Kep. Mendikbud tahun 1994, menentukan:
1) Pendidikan Kewarganegaraan merupakan MKU bersama-
sama dengan Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Pancasila
2) Merupakan kurikulum nasional wajib diikuti seluruh
mahasiswa
f. Kep. Dirjen Dikti No. 19/Dikti/1997 menentukan antara lain:
1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn,
merupakan salah satu komponen yang tidak dapat
dipisahkan dari kelompok MKU dalam susunan kurikulum
inti
2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk
ditempuh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi
g. Kep. Dirjen Dikti No. 151/Dikti/Kep/2000 tanggal 15 Mei 2000
tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti MPK, menentukan:
1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn,
merupakan salah satu komponen yang tidak dapat
dipisahkan dari kelompok MPK dalam susunan kurikulum
inti Perguruan Tinggi di Indonesia
2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk
ditempuh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi untuk
program diploma III, dan strata 1.
h. Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus,
menentukan antara lain:
1) Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan salah satu
komponen yang tidak dapat dipisahkan dari MPK
2) MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti Perguruan
Tinggi di Indonesia
3) Mata Kuliah PKn adalah MK wajib untuk diikuti oleh setiap
mahasiswa pada Perguruan Tinggi untuk program
Diploma/Politeknik, dan Program Sarjana.
i. Kep. Mendiknas No. 232/U/2000 tanggal 20 Desember 2000
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi
dan Penilaian Belajar Mahasiswa menentukan antara lain:
1) Kurikulum inti Program sarjana dan Program diploma,
terdiri atas:
a) Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK)
b) Kelompok Mata kUliah Keilmuan dan Keterampilan
(MKK)
c) Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB)
d) Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB)
e) Kelompok Mata Kuliah Kehidupan Bermasyarakat
(MKB)
2) MPK adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk
mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur,
berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
3) Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan
pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi
yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara
nasional
4) MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam
kurikulum setiap program studi/kelompok program studi
terdiri dari bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
5) MPK untuk PT berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari
Pendidikan Bahasa, Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
D. Perkembangan Materi Pendidikan Kewarganegaraan
1. Awal 1979, materi disusun oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti yang
terdiri dari Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, politik dan
Strategi Nasional, Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan
Nasional, sistem Hankamrata. Mata kuliah ini bernama Pendidikan
Kewiraan.
2. Tahun 1985, diadakan penyempurnaan oleh Lemhannas dan Dirjen
Dikti, terdiri atas pengantar yang bersisikan gambaran umum
tentang bahan ajar PKn dan interelasinya dengan bahan ajar mata
kuliah lain, sedangkan materi lainnya tetap ada.
3. Tahun 1995, nama mata kuliah berubah menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan yang bahan ajarnya disusun kembali oleh
Lemhannas dan Dirjen Dikti dengan materi pendahuluan, wawasan
nusantara, ketahanan nasional, politik strategi nasional, politik dan
strategi pertahanan dan keamanan nasional, sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta.
4. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi
pengantar dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan
hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik
dan strategi nasional
5. Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi berisi
pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan
nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional.
E. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum Pendidikan
Kewarganegaraan
a. Landasan Ilmiah
1. Dasar Pemikiran PKn
Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan
bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu
mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya.
Untuk itu diperlukan pembekalan IPTEKS yang berlandaskan
nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai budaya
bangsa. Nilai-nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan
pegangan hidup setiap warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Objek Pembahasan PKn
Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang
mempunyai objek, metode, sistem dan bersifat universal. Objek
pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material
maupun objek formal.
Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji
oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Objek material PKn adalah
segala hal yang berkaitan dengan warga negara baik yang
empirik maupun yang non empirik, yang meliputi wawasan,
sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan
negara.
Objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk
membahas objek material tersebut. Objek formal PKn adalah
hubungan antara warga negara dengan negara dan Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara.
Objek pembahasan PKn menurut Kep. Dirjen Dikti No.
267/dikti/Kep./ 2000 meliputi pokok bahasan sebagai berikut:
1) Pengantar PKn
a. Hak dan kewajiban warga negara
b. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
c. Demokrasi Indonesia
d. Hak Asasi Manusia
2) Wawasan Nusantara
3) Ketahanan Nasional
4) Politik dan Strategi Nasional
3. Rumpun Keilmuan
PKn (Kewiraan) dapat disejajarkan dengan civics education yang
dikenal diberbagai negara. PKn bersifat interdisipliner (antar
bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan
yang membangun ilmu kewarganegaraan diambil dari berbagai
disiplin ilmu seperti hukum, politik, administrasi negara,
sosiologi, dsb
KONSTITUSI (Suatu Telaah UUD 1945 Dalam Bingkai Sejarah Indonesia)
A. Pendahuluan
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja
yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah
negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal
(permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara.
Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-
undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia
menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-Undang Dasar.
Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai
sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang
disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak
mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri.
Pengertian konstitusi menurut para ahli, diantaranya:
1) K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem
ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan
yang membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan
suatu negara.
2) Herman heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD.
Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan
politis.
3) Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang
terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai
kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara
angkatan perang, partai politik dan sebagainya.
4) L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis
maupun peraturan tak tertulis.
5) Koernimanto soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa
latin cisme yang berarati bewrsama dengan dan statute yang
berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti
menetapkan secara bersama.
6) Carl schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian yaitu:
a) Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4 sub pengertian
yaitu;
- Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup
hukum dan semua organisasi yang ada di dalam
negara.
- Konstitusi sebagai bentuk Negara
- Konstitusi sebagai faktor integrasi
- Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum
yang tertinggi di dalam negara.
b) Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi 2 pengertian
yaitu konstitusi sebagai tuntyutan dari golongan borjuis
agar haknya dapat dijamin oleh penguasa dan konstitusi
sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi
dapat berupa tertulis) dan konstitusi dalam arti materiil
(konstitusi yang dilihat dari segi isinya).
c) konstitusi dalam arti positif adalah sebagai sebuah
keputusan politik yang tertinggi sehingga mampu mengubah
tatanan kehidupan kenegaraan.
d) konstitusi dalam arti ideal yaitu konstitusi yang memuat
adanya jaminan atas hak asasi serta perlindungannya.
B. Tujuan Konstitusi
keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara
berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata
negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata
negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas
dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.
Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan:
a) berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara
bekerjanya,
b) hubungan antar lembaga negara,
c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan
d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta
e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman.
Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat
dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada
dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara
bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga
negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam
konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau kurang diatur
dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang
telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak
negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar
konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam
konstitusi.
Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen
yang terkenal yaitu “Magna Charta” yang merupakan dokumen
kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi manusia. Pada saat itu
raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas
daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna
Charta tersebut. Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak serta wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum
dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat
yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan-
bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai
pemegang puncak kekuasaan pemerintahan.
Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam
garis besarnya (pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja
Inggris dan kemerdekaan bergerak semua orang bebas (freeman) dalam
kerajaan Inggris. Di samping itu dijamin dan dilindungi, antara lain:
a. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian
dari siapapun tanpa membayar harganya seketika itu juga kecuali
apabila si pemilik memberi izin menangguhkan pembayaran
(pasal 28);
b. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau
kendaraan dari seorang yang bebas (freeman) untuk keperluan
pengangkutan tanpa izin si pemilik (pasal 30);
c. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu
untuk keperluan raja tanpa persetujuan si pemilik;
Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain
ditentukan:
a. Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan
seorang di muka pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang-
orang yang dipercaya (pasal 38);
b. Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke
dalam penjara atau dilarang berdiam di satu daerah tertentu
kecuali atas putusan oleh penguasa setempat atau dibenarkan
oleh aturan negara (pasal 39);
c. Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan
pelaksanaan haknya atau peradilan (pasal 40).
Dalam banyak hal ditentukan juga bahwa siapapun boleh
meninggalkan kerajaan atau kembali dengan sehat dan aman melalui
daratan atau perairan (laut) kecuali ada perang dan karena ditahan
sesuai dengan aturan negara. Yang sangat menarik adalah aturan
mengenai pengangkatan/pengisian berbagai jabatan terkait dengan
penegakan hukum, misalnya ditentukan tidak seorangpun diangkat
sebagai hakim, polisi atau jaksa, kecuali apabila orang itu benar-benar
mengetahui aturan hukum negara, beritikad baik untuk melakukan
fungsi jabatan yang diisinya.
Ketentuan akhir dari Magna Charta antara lain menyatakan
gereja Inggris adalah merdeka dan semua orang dalam kerajaan akan
menikmati kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas sebaik-baiknya dalam
suasana damai tenteram sampai turun temurun atas itikad baik raja dan
para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna Charta ini diulangi lagi oleh
raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of England and Of The
Liberties Of Forest”.
C. Bentuk-Bentuk dan Materi Muatan Konstitusi
1) Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
a) Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen
constitution) adalah aturan-aturan pokok dasar negara,
bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar
lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam
persekutuan hukum negara.
b) Konstitusi tidak tertulis/konvensi (nondokumentary
constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang
sering timbul. Adapun syarat-syarat konvensi adalah:
- Diakui dan dipergunakan berulang-ulang dalam
praktik penyelenggaraan negara.
- Tidak bertentangan dengan UUD 1945
- Memperhatikan pelaksanaan UUD 1945.
2) Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi:
a) konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam
penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan
pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara.
b) Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita-cita
sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem
ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa
itu.
3) Bedasarkan sifat dari konstitusi yaitu:
a) Flexible/luwes, apabila konstitusi/Undang Undang Dasar
memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan.
b) Rigid/kaku apabila konstitusi/Undang Undang Dasar jika sulit
untuk diubah.
4) Unsur/substansi sebuah konstitusi yaitu:
a) Menurut sri sumantri konstitusi berisi 3 hal pokok yaitu:
- Jaminan terhadap Ham dan warga negara
- Susunan ketatanegaraan yang bersdifat fundamental
- Pembagian dan poembatasan tugas ketatanegaraan
b) Menurut Miriam budiarjo, konstitusi memuat tentang:
Organisasi, Negara, HAM, Prosedur penyelesaian masalah
pelanggaran hukum, dan Cara perubahan konstitusi.
c) Menurut koerniatmanto soetopawiro, konstitusi berisi
tentang:
- Pernyataan ideologis;
- Pembagian kekuasaan negara;
- Jaminan HAM (hak asasi manusia);
- Perubahan konstitusi;
- Larangan perubahan konstitusi.
D. Sejarah Konstitusi Indonesia
Sejak proklamasi 17 agustus 1945 sampai saat ini telah berlaku
tiga macam Undang-Undang Dasar dalam beberapa periode yaitu:
(1) Periode 18 Agustus 1945-27 Desember 1949,
(2) Periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950
(3) Periode 17 agustus 1950-5 Juli 1959
(4) Periode 5 Juli 1959 (saat ini UUD 1945 telah diamandeman).
Saat RI diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
Republik baru ini belum mempunyai Undang-undang Dasar, sehingga
oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945 disahkan UUD 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Akan tetapi perubahan peta
perpolitikan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda telah
membawa dampak yang besar rongrongan Belanda dalam RI masih
cukup kuat dengan mencoba mendirikan Negara Sumatera Timur, NIT,
Negara Pasundan dll, sejalan dengan usaha untuk meruntuhkan RI
terjadilah Agresi I tahun 1947 dan Agresi II 1948 dimana akibat dari itu
PBB mengadakan KMB di Den Haag.
Dengan disetujuinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB)
pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka terbentuklah Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagaimana dikemukakan oleh Riclef,
dari konferensi tersebut disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan
kedaulatannya kepada RIS, antara Belanda dan RIS akan membentuk
suatu uni longgar dengan ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. RIS ini
terdiri dari 16 negara bagian yang masing-masing negara bagian tersebut
memiliki luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Negara-negara
bagian terpenting dari Republik Indonesia Serikat itu ialah Negara
Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan dan Negara
Indonesia Timur. Untuk itu perlu pula di bentuk alat-alat kelengkapan
negara yang salah satu faktor pentingnya ialah UUD maka dibuatlah
Konstitusi RIS.
Atas desakan yang kuat dari rakyat maka pada tanggal 8 April
1950 dieselenggarakanlah konfrensi segitiga antara Republik Indonesia
Serikat, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur, dimana
kedua negara bagian tersebut memberikan mandat kepada Hatta sebagai
Perdana Menteri RIS pada tanggal 12 Mei 1950 untuk membentuk negara
kesatuan, setelah terbentuk negara kesatuan tersebut pada tanggal 19
Mei 1950 kemudian dirancanglah Undang-Undang Dasar negara
kesatuan oleh panitia gabungan dari Republik Indonesia Serikat dengan
Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU No. 7
tahun 1950 ditetapkan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950,
berdasarkan pasal 127 a, pasal 190 dan pasal 191 ayat 2 Konstitusi RIS.
Dalam perkembangannya, perbincangan mengenai konstitusi
mengalami masa vacum (atau reda) sama sekali sejak Dekrit Presiden 5
Juli 1959 sampai akhir pemerintahan Presiden Soeharto (1998). Trauma
atas perdebatan ideologis dan pengkotakan masyarakat berdasar sikap
politik kaum elitnya di Konstituante menyebabkan UUD 1945 diposisikan
sebagai "jalan keluar" paling aman bagi negara Indonesia.
Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 berhasil membahas dua
hal yaitu pembatasan kekuasaan Presiden dan pemberdayaan DPR. Apa
makna perubahan UUD 1945 yang pertama kali dilakukan ini? Ada tiga
aspek: desakralisasi UUD 1945; jaminan konstitusional berkembangnya
demokrasi; dan proporsionalitas kekuasaan eksekutif dan legislative.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya
perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan
perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru,
kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di
tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya
pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga dapat menimbulkan multitafsir),
serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan
rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan
negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan
kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
E. Mekanisme Perubahan Konstitusi
C.F. Strong menyebutkan empat cara mengubah konstitusi.
a) Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen
dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan
syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan.
b) Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum,
yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk
diputuskan oleh rakyat melalui referendum.
c) Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara
bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari
parlemen federal atau sejumlah negara bagian.
d) Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau
konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan
pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi
atau konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih
dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota
konstituante.
Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan
terhadap UUD 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
sebelum perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.”
Hal ini membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan
wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman terhadap
MPR dan Pimpinan MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara
dengan lembaga negara lainnya, yaitu: Lembaga Kepresidenan, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa
Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Berubahnya kedudukan MPR juga berimplikasi kepada tugas
dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang
untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika
Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Selain itu, MPR juga tidak
mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar
daripada haluan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945
sebelum diubah.
Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut
memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. MPR masih berwenang untuk:
a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b) melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil
pemilihan umum dalam Sidang Paripurna MPR;
c) memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di
dalam Sidang Paripurna MPR;
d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan
kewajibannya dalam masa jabatannya; memilih Wakil Presiden
dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
e) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya
berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua
paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa
jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
Berikut ini adalah mekanisme pelaksanaaan tugas dan
wewenang MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 setelah amandemen,
khususnya mengenai ketentuan perubahan UUD 194, yaitu:
a) Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota MPR [Pasal 37 (1)];
b) diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah beserta alasannya [Pasal 37 (2)****];
c) sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota MPR [Pasal 37 (3)];
d) Putusan dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50%
+ 1 anggota dari seluruh anggota MPR [Pasal 37 (4)];
e) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perubahan [Pasal 37 (5)].
Berubahnya kedudukan MPR memang sering diartikan salah
baik yang terkait dengan eksistensi lembaga maupun Pimpinan MPR, ia
juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. Sebagai lembaga
negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR
secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana
tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2)
dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam
pasal-pasal dan ayat-ayat itu, fungsi dan kewenangan MPR sekarang,
substansinya adalah menyangkut hal-hal yang sangat penting dan
mendasar dalam kehidupan bernegara.
Sebagai contoh adalah adalah wewenang MPR dalam hal
terjadinya impeachment yang tentu saja memperkuat sistem presidensial
kita. Dengan demikian perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang
MPR tidak berarti menghilangkan eksistensi MPR dan Pimpinannya serta
peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR masih
mempunyai peran penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Peran keseharian MPR lainnya juga terlihat dari upaya MPR mengelola
setiap wacana usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan peningkatan
pemahaman konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
melalui sosialisasi UUD NRI 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003
Bambang Widjojanto dkk. (Editor), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka sinar harapan, 2002
Lapian AP., et al. Terminology Sejarah 1945-1950 dan 1950-1959. Depdikbud, Jakarta, 1996
Marwati Djoened P dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Balai Pustaka, Jakarta, 1984
Mahfud MD Moh., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999
Ni’matul Huda, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta, 2008
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
(Mengenal Peraturan Perundang-Undangan Pasca Reformasi)
A. Pengertian
Secara etimologis, Perundang-undangan berasal dari istilah
‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an
menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang.
Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada
kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika
sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti
proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan
perundang-undangan.
Menurut Penulis, istilah perundang-undangan untuk
menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan
keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-
undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam
Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan
merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai
jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai
kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga
yang berwenang.
Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan
Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:
1. bersifat tertulis
2. mengikat umum
3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.
Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang
dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab
dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya
untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada
pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena
dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern
anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia
berdasarkan UUD 1945, misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-
undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah
“Undang-undang”.
B. Asas Perundang-Undangan
Beberapa asas dalam perundang-undangan adalah:
a. asas Undang-undang tidak berlaku surut
b. asas Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c. asas Lex Specialis derogat Lex Generalis.
d. asas Lex posteriore derogat lex priori (Udang-undang yang berlaku
belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku
terdahulu/lama).
e. asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini
misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2
Undang-undang Dasar Sementara 1950.
Sementara itu, I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul
“Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi
asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen
van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang
material.
Asas formal meliputi diantaranya:
a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar;
b. asas tentang dapat dikenali;
c. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
d. asas kepastian hukum;
e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
patut itu meliputi juga:
a. asas tujuan yang jelas;
b. asas perlunya pengaturan;
c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
d. asas dapatnya dilaksanakan;
e. asas dapatnya dikenali;
f. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
g. asas kepastian hukum;
h. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
C. Dasar Peraturan Perundang-Undangan
Sejak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah dilakukan
perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Pada tahun 1996, dengan Ketetapan MPR No.
XX/MPR/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan
perundang-undangan Indonesia adalah:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti:
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
- Dan lain-lainnya
Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai
daerah di Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta
semakin kuatnya ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai
mengubah konsep otonomi daerah. Maka lahirlah Undang-Undang No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No.
32 Tahun 2004) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (telah diganti dengan UU No.
33 Tahun 2004). Perubahan ini tentu saja berimbas pada tuntutan
perubahan terhadap tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Karena itulah, dibuat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang.
Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak dimasukkan dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan, setelah lahirnya Ketetapan MPR
No. III Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata urutan tersebut
setelah Keputusan Presiden.
Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah.
Pada tanggal 24 Mei 2004 lalu, DPR telah menyetujui RUU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi UU No. 10
Tahun 2004, yang berlaku efektif pada bulan November 2004.
Keberadaan undang-undang ini sekaligus menggantikan pengaturan tata
urutan peraturan perundang-undangan yang ada dalam Ketetapan MPR
No. III Tahun 2000.
Tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10
Tahun 2004 ini diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut.
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah, yang meliputi:
- Peraturan Daerah Provinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
- Peraturan Desa.
D. Definisi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan:
a. UUD 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan. Naskah resmi UUD 1945 adalah:
- Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal dan
diberlakukan kembali dengan pada tanggal serta
dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal
- Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan
Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing
hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).
Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam
Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002
sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
b. Undang-Undang
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh dengan persetujuan bersama.
Materi muatan Undang-Undang adalah:
- Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi:
hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan
penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan
dan kependudukan, serta keuangan negara.
- Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur
dengan Undang-Undang.
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi
muatan Undang-Undang.
d. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh untuk menjalankan sebagaimana mestinya. Materi
muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.
e. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah
materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan.
f. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur
atau bupati/walikota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
…………………, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Indo-Hill Co, Jakarta, 1992
…………………, (dkk), Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
Jimly Assiddigie, dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendarial dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
KETAHANAN NASIONAL
(Studi Penguatan Nasionalisme & Cinta Tanah Air Bagi Mahasiswa)
A. Pendahuluan
Terbentuknya negara Indonesia dilatar belakangi oleh perjuangan
seluruh bangsa. Sudah sejak lama Indonesia menjadi incaran banyak
negara atau bangsa lain, karena potensinya yang besar dilihat dari
wilayahnya yang luas dengan kekayaan alam yang banyak. Kenyataannya
ancaman datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Terbukti,
setelah perjuangan bangsa tercapai dengan terbentuknya NKRI, ancaman
dan gangguan dari dalam juga timbul, dari yang bersifat kegiatan fisik
sampai yang idiologis. Meski demikian, bangsa Indonesia memegang satu
komitmen bersama untuk tegaknya negara kesatuan Indonesia.
Dorongan kesadaran bangsa yang dipengaruhi kondisi dan letak
geografis dengan dihadapkan pada lingkungan dunia yang serba berubah
akan memberikan motivasi dlam menciptakan suasana damai.
Pengertian ketahanan nasional adalah kondisi dinamika, yaitu
suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu
mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang
dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak
langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dalam perjuangan mencapai
cita-cita/tujuan nasionalnya bangsa Indonesia tidak terhindar dari
berbagai ancaman-ancaman yang kadang-kadang membahayakan
keselamatannya. Cara agar dapat menghadapi ancaman-ancaman
tersebut, bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan, keuletan, dan
daya tahan yang dinamakan ketahanan nasional.
Kondisi atau situasi dan juga bisa dikatakan sikon bangsa kita ini
selalu berubah-ubah tidak statik. Ancaman yang dihadapi juga tidak
sama, baik jenisnya maupun besarnya. Karena itu ketahanan nasional
harus selalu dibina dan ditingkatkan, sesuai dengan kondisi serta
ancaman yang akan dihadapi. Dan inilah yang disebut dengan sifat
dinamika pada ketahanan nasional. Kata ketahanan nasional telah sering
kita dengar disurat kabar atau sumber-sumber lainnya. Mungkin juga
kita sudah memperoleh gambarannya.
Untuk mengetahui ketahanan nasional, sebelumnya kita sudah
tau arti dari wawasan nusantara. Ketahanan nasional merupakan kondisi
dinamik yang dimiliki suatu bangsa, yang didalamnya terkandung
keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatan
nasional. Kekuatan ini diperlukan untuk mengatasi segala macam
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang langsung atau tidak
langsung akan membahayakan kesatuan, keberadaan, serta
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Bisa jadi ancaman-ancaman
tersebut dari dalam ataupun dari luar.
Beberapa ancaman dalam dan luar negeri telah dapat diatasi
bangsa Indonesia dengan adadnya tekad bersama-sama menggalang
kesatuan dan kecintaan bangsa. Berbagai pemberontakan PKI, RMS
(Republik Maluku Selatan), PRRI Permesta dan juga gerakan sparatis di
Timor- Timur yang pernah menyatakan dirinya berintegrasi dengan
Indonesia, meskipun akhirnya kenyataan politik menyebabkan lepasnya
kembali daerah tersebut. Ancaman sparatis dawasa ini ditunjukan
dengan banyaknya wilayah atau propinsi di Indonesia yang
menginginkan dirinya merdeka lepas dari Indonesia seperti Aceh, Riau,
Irian Jaya, dan beberapa daerah lain begitu pila beberapa aksi provokasi
yang mengganggu kestabilan kehidupan sampai terjadinya berbagai
kerusuhan yang diwarnai nuansa etnis dan agama dan gangguan dari luar
adalah gangguan dari negara lain yang ingin menguasai pulau-pulau kecil
yang masih berada di didalam wilayah NKRI namun dekat dengan
wilayah negara lain. Bangsa Indonesia telah berusaha menghadapi semua
ini dengan semangat persatuan dan keutuhan, meskipun demikian
gangguan dan ancaman akan terus ada selama perjalanan bangsa, maka
diperlukan kondisi dinamis bangsa yang dapat mengantisipasi keadaan
apapun terjadi dinegara ini.
B. Perkembangan Ketahanan Nasional
Dewasa ini istilah ketahanan nasional sudah dikenal diseluruh
Indonesia. Dapat dikatakan bahwa istilah itu telah menjadi milik nasianal.
Ketahanan Nasional baru dikenal sejak permulaan tahun 60 an. Pada saat
itu istilah itu belum diberi devenisi tertentu. Disamping itu belum pula
disusun konsepsi yang lengkap menyeluruh tentang ketahanan nasional.
Istilah ketahanan nasional pada waktu itu dipakai dalam rangka
pembahasan masalah pembinaan ter itorial atau masalah pertahanan
keamanan pada umumnya.
Walaupun banyak instansi maupun perorangan pada waktu itu
menggunakan istilah ketahanan nasional, namun lembaga yang secara
serius dan terus-menerus mempelajari dan membahas masalah
ketahanan nasional adalah lembaga pertahanan nasional atau lemhanas.
Sejak Lemhanas didirikan pada tahun 1965, maka masalah ketahanan
nasional selalu memperoleh perhatian yang besar.
Sejak mulai dengan membahas masalah ketahanan nasional
sampai sekarang, telah dihasilkan tiga konsepsi.Pengertian atau devenisi
pertama Lemhanas, yang disebut dalam konsep 1968 adalah sebagai
berikut: Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan kita dalam
menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar maupun dari
dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan
kelangsungan hidup Negara dan bangsa Indonesia.
Pengertian kedua dari Lemhanas yang disebut dalam ketahanan
nasional konsepsi tahun 1969 merupakan penyempurnaan dari konspsi
pertama yaitu: Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan suatu
bangsa yang mengandung kemampuan untuk memperkembangkan
kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang
dari luar maupun yang datang dari dalam yang langsung maupun tidak
langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara Indonesia.
Ketahanan nasional merupakan kodisi dinamis suatu bangsa,
berisi keuletan dan ketangguahan, yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional,didalam menghadapi didalam
menghadapi dan mengisi segala tantangan, ancaman ,hambatan, serta
gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung
maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas,
kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar
perjuangan nasional.
Apabila kita bandingkan dengan yang terdahulu, maka akan
tampak perbedaan antara lain seperti berikut :
a. Perumusan 1972 bersifat universal, dalam arti bahwa rumusan
tersebut dapat diterapkan dinegara-negara lain, terutama di
negara-negara yang sedang berkembang.
b. Tidak lagi diusahakan adanya suatu devenisi, sebagai gantinya
dirumuskan apa yang dimaksud kan dengan istilah ketahanan
nasional.
c. Jika dahulu ketahanan nasional di identikkan dengan keuletan
dan daya tahan, maka ketahanan nasional merupakan suatu
kondisi dinamis yang berisikan keuletan dan ketangguhan, yang
berarti bahwa kondisi itu dapat berubah.
d. Secara lengkap dicantumkan tantangan, ancaman , hambatan,
serta ganguan.
e. Kelangsungan hidup lebih diperinci menjadi integritas, identitas,
dan kelangsungan hidup.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jendral
Suharto di depan siding DPR tanggal 16 Agustus 1975, dikatakan bahwa
ketahanan nsional adalah tingkat keadaan dan keuletan dan ketangguhan
bahwa Indonesia dalam menghimpun dan mengarahkan kesungguhan
kemampuan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional
yang mampu dan sanggup menghadapi setiap ancaman d an tantangan
terhadap keutuhanan maupun kepribadian bangsa dan mempertahankan
kehidupan dabn kelangsungan cita-citanya. Karena keadaan selalu
berkembang serta bahaya dan tantangan selalu berubah, maka
ketahanan nasional itu juga harus dikembangkan dan dibina agar
memadai dengan perkembangan keadaan. Karena itu ketahanan nasional
itu bersift dinamis, bukan statis.
Ikhtiar untuk mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh ini
bukanlah hl baru bagi kita. Tetapiu pembinaan dan peningkatannya
sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan fasililitas yang tersedi pula.
Pembinaan ketahanan nasional kita dilakukan dipelgai bidang: ideology,
politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam, baik secara serempak
maupun menurut prioritas kebutuhan kita.
C. Asas-Asas dan Sifat Ketahanan Nasional
Asas ketahanan nasional adalah tata laku yang didasari nilai-nilai
yang tersusun berlandaskan Pancasil, UUD 1945 dan Wawasan
Nusantara. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
a) Asas kesejahtraan dan keamanan
Asas ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan wajib
dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok. Didalam
kehidupan nasional berbangsa dan bernegara, unsur kesejahteraan
dan keamanan ini biasanya menjadi tolak ukur bagi mantap/tidaknya
ketahanan nasional.
b) Asas komprehensif/menyeluruh terpadu
Artinya, ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan.
Aspek-aspek tersebut berkaitan dalam bentuk persatuan dan
perpaduan secara selaras, serasi, dan seimbang.
c) Asas kekeluargaan
Asas ini bersikap keadilan, kebersamaan, kesamaan, gotong royong,
tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam hal hidup dengan asas kekeluargaan
ini diakui adanya perbedaan, dan kenyataan real ini dikembangkan
secara serasi dalam kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang
bersifat merusak/destruktif.
Beberapa sifat ketahanan nasional yang ada mingkin akan
dijabarkan seperti dibawah ini :
- Mandiri
Maksudnya adalah percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri
dan tidak mudah menyerah. Sifat ini merupakan prasyarat untuk
menjalin suatu kerjasama. Kerjasama perlu dilandasi oleh sifat
kemandirian, bukan semata-mata tergantung oleh pihak lain.
- Dinamis
Artinya tidak tetap, naik turun tergantung situasi dan kondisi bangsa
dan negara serta lingkungan strategisnya. Dinamika ini selalu
diorientasikan kemasa depan dan diarahkan pada kondisi yang lebih
baik.
- Wibawa
Keberhasilan pembinaan ketahanan nasional yang berlanjut dan
berkesinambungan tetap dalam rangka meningkatkan kekuatan dan
kemampuan bangsa. Dengan ini diharapkan agar bangsa Indonesia
mempunyai harga diri dan diperhatikan oleh bangsa lain sesuai
dengan kualitas yang melekat padanya. Atas dasar pemikiran diatas,
maka berlaku logika, semakin tinggi tingkat ketahanan nasional,
maka akan semakin tinggi wibawa negara dan pemerintah sebagai
penyelenggara kehidupan nasional.
- Konsultasi dan kerjasama
Hal ini dimaksudkan adanya saling menghargai dengan
mengandalkan pada moral dan kepribadian bangsa. Hubungan kedua
belah pihak perlu diselenggarakan secara komunikatif sehingga ada
keterbukaan dalam melihat kondisi masing-masing didalam rangka
hubungan ini diharapkan tidak ada usaha mengutamakan konfrontasi
serta tidak ada hasrat mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik
semata.
D. Kedudukan dan Fungsi Ketahanan Nasional
Kedudukan dan fungsi ketahanan nasional dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a) Kedudukan :
Ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diyakini
kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia serta merupakan cara
terbaik yang perlu di implementasikan secara berlanjut dalam rangka
membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan,
wawasan nusantara dan ketahanan nasional berkedudukan sebagai
landasan konseptual, yang didasari oleh Pancasila sebagai landasan
ideal dan UUD sebagai landasan konstisional dalam paradigma
pembangunan nasional.
b) Fungsi :
Ketahanan nasional nasional dalam fungsinya sebagai doktrin dasar
nasional perlu dipahami untuk menjamin tetap terjadinya pola pikir,
pola sikap, pola tindak dan pola kerja dalam menyatukan langkah
bangsa yang bersifat inter-regional (wilayah), inter-sektoral maupun
multi disiplin. Konsep doktriner ini perlu supaya tidak ada cara
berfikir yang terkotak-kotak (sektoral). Satu alasan adalah bahwa bila
penyimpangan terjadi, maka akan timbul pemborosan waktu, tenaga
dan sarana, yang bahkan berpotensi dalam cita-cita nasional.
Ketahanan nasional juga berfungsi sebagai pola dasar pembangunan
nasional. Pada hakikatnya merupakan arah dan pedoman dalam
pelaksanaan pembangunman nasional disegala bidang dan sektor
pembangunan secara terpadu, yang dilaksanakan sesuai dengan
rancangan program.
E. Ketahanan Nasional dan Konsepsi Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi
segenap kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan
ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar,
untuk menjamin identitas, integrasi dan kelangsungan hidup bangsa dan
negar serta perjuangan mencapai tujuan nasional dapat dijelaskan
seperti dibawah ini :
- Ketangguhan adalah kekuatan yang menyebabkan seseorang atau
sesuatu dapat bertahan, kuat menderita atau dapat menanggulangi
beban yang dipikulnya.
- Keuletan adalah usaha secara giat dengan kemampuan yang keras
dalam menggunakan kemampuan tersebut diatas untuk mencapai
tujuan.
- Identitas yaitu ciri khas suatu bangsa atau negara dilihat secara
keseluruhan. Negara dilihat dalam pengertian sebagai suatu
organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah dengan penduduk,
sejarah, pemerintahan, dan tujuan nasional serta dengan peran
internasionalnya.
- Integritas yaitu kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional
suatu bangsa baik unsur sosial maupun alamiah, baik bersifat
potensional maupun fungsional.
- Ancaman yang dimaksud disini adalah hal/usaha yang bersifat
mengubah atau merombak kebijaksanaan dan usaha ini dilakukan
secara konseptual, kriminal dan politis.
- Hambatan dan gangguan adalah hal atau usaha yang berasal dari luar
dan dari diri sendiri yang bersifat dan bertujuan melemahkan atau
menghalangi secara tidak konsepsional.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008
Lemhanas, Bunga Rampai: Ketahanan Nasional, Konsep & Teori, PT. Pustaka Utama, Jakarta, 1998
Saafroedin Bahar et., al., Pendidikan Pendahuluan Bela Negara: Tahap Lanjutan, Intermedia, Jakarta, 1989
LEMBAGA NEGARA
(Dinamika Lembaga-lembaga Negara Mandiri di Indonesia Pasca
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945)
A. Pendahuluan
Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya lembaga-lembaga
negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum
yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada
yang dibentuk dengan keputusan presiden saja.
Dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu
parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang
sedang dihadapi. Hal ini mengakibatkan komisi-komisi itu berjalan
secara sendiri-sendiri dan tidak saling melengkapi satu sama lain,
sehingga dalam implikasi yang lebih jauh dapat mengakibatkan
efektivitas keberadaan komisi-komisi itu dalam struktur ketatanegaraan
masih belum tampak berjalan sesuai dengan tujuan mulia pembentukan
lembaga yang ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.
B. Pasang Surut Lembaga Negara
Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju
demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut
adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat
personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini
mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap
sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak
cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan
pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan
kehakiman. Sekadar menunjuk contoh, di Inggris komplikasi persoalan-
persoalan kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan
konfigurasi sosial-politik berupa Revolusi Industri pada abad ke-18 dan
19 tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan mekanisme
kelembagaan yang telah ada sebelumnya, melainkan direspons dengan
membentuk badan-badan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh
parlemen. Pembentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap
sebagai jawaban yang paling tepat dan diidealkan mampu menangani
dan menyelesaikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan
melalui cara yang terlembagakan dengan baik.
Oleh karena itu, bersamaan dengan derasnya komplikasi
persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul itu ratusan badan
yang sama sekali baru didirikan dengan tujuan untuk melakukan tugas-
tugas semacam (1) membuat peraturan, seperti Komisi Keselamatan dan
Kesehatan Kantor Perdagangan yang Jujur (The Health and Safety
Commission The Office of Fair Trading); (2) memberikan nasihat, seperti
Komisi Daerah (Countryside Commission); dan (3) menyelesaikan
perselisihan, seperti Komisi untuk Persamaan Rasial (The Commission for
Racial Equality). Alasan utama yang ditunjuk berkenaan dengan
pembentukan badan-badan tersebut adalah untuk meminimalisasi
pengaruh kaum aristokrat dan memberikan penegasan terhadap konsep
pemisahan kekuasaan. Nomenklatur yang diberikan untuk lembaga-
lembaga itu pun berlainan satu sama lain, seperti korporasi publik,
quoqos (badan non-pemerintah semiotonom), badan non-departemen,
badan publik, komisi, dewan, atau badan ad hoc yang biasanya dasar
pembentukannya dapat berupa undang-undang, piagam kerajaan,
tindakan administratif, atau perjanjian.
Pembentukan lembaga-lembaga ekstra serupa juga terjadi di
Amerika Serikat seiring dengan meluasnya peran parlemen dalam
struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat
yang semakin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang
berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban
baru yang harus segera ditemukan. Oleh karena itu, parlemen Amerika
Serikat membentuk suatu badan yang bertanggung jawab kepadanya
dalam pelbagai urusan khusus berkenaan dengan fungsi legislasi, seperti
Komisi Komunikasi Federal (The Federal Communications Commission),
Dewan Penerbangan Sipil (Civil Aeronautics Board), Komisi Sekuritas dan
Kurs (Securities and Exchange Commission), Dewan Kerja Sama Buruh
Nasional (National Labor Relation Board), Komisi Kekuasaan Federal
(Federal Power Commission), Komisi Perdagangan Antarnegara Bagian
(Interstate Commerce Commission), Komisi Perdagangan Federal (Federal
Trade Commission). Dalam catatan Jimly Asshiddiqie, di seluruh Amerika
Serikat, badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang
merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas
menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan semilegislatif.
Kedudukan badan-badan khusus itu di Amerika Serikat meskipun
secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan, tetapi
pengangkatan dan pemberhentian para anggota badan-badan khusus itu
ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres.
Sementara itu, di negara-negara Skandinavia (Swedia, Denmark,
Finlandia, dan Norwegia), Perancis, Selandia Baru, Guyana Mauritius, dan
lain-lain, secara khusus juga membentuk lembaga tersendiri di luar
kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan
kekuasaan kehakiman untuk melindungi warga negaranya dari tindakan-
tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Lembaga ini tidak berhak
mengadili atau memiliki fungsi peradilan terhadap keluhan warga negara
atas suatu tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Akan
tetapi, lembaga ini dapat melakukan penyelidikan atas persoalan
tersebut. Nomenklatur untuk lembaga semacam ini disebut secara
berbeda-beda di berbagai negara. Swedia, misalnya, menyebutnya
dengan istilah Ombudsman Yustisi (Justitie Ombudsman). Sementara itu,
Perancis dengan Komisioner Tinggi Pertahanan (Haut Commissionaire
Defenseur), dan Selandia Baru dengan Komisi Parlemen untuk
Administrasi (Parliamentary Commission for Administration).
Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan
bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang
semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif.
Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak
mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang
berkembang di berbagai Negara.
Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-
negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan
mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan,
dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan
membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak
terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik
pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari
rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era
demokrasi yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain,
khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara
keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif
berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-
lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak
dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai
lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan
pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa
mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut.
C. Lembaga Negara di Indonesia
Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan
salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-
creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying
function). Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly
Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat
dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut,
ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum
maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara
yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya
diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari
segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu
penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai
perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam
lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah
perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara
dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada
dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu: (i) kriteria hirarki bentuk sumber
normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya.
Yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan
negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari
segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau
primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).
Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke
dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga
tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja,
sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara
lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ
utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang
merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).
Corak dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami
dinamika perkembangan yang sangat pesat.
Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-
lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly
Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi
independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen,
yaitu:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat
independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional
importance lainnya, seperti:
a) Komisi Yudisial (KY);
b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;
c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan
kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU,
tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak
hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional
importance yang sama dengan kepolisian;
g) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk
berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance
berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM-NAS- HAM)49 yang
dibentuk berdasarkan undangundang tetapi juga memiliki sifat
constitutional importance.
3) Lembaga Independen lainnya yang dibentuk berdasarkan undang-
undang, seperti:
a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
4) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif
(pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau
Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan,
seperti:
a) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);
b) Komisi Pendidikan Nasional;c) Dewan Pertahanan Nasional;54
d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);
e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
i) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
j) Lembaga Informasi Nasional (LIN).
5) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif
(pemerintah) lainnya, seperti:
a) Menteri dan Kementerian Negara;
b) Dewan Pertimbangan Presiden;
c) Komisi Hukum Nasional (KHN);
d) Komisi Ombudsman Nasional (KON);
e) Komisi Kepolisian;
f) Komisi Kejaksaan.
6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan
Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan
umum lainnya, seperti:
a) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;
b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);
d) BHMN Perguruan Tinggi;
e) BHMN Rumah Sakit;
f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);
Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri –
atau apa pun namanya– di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga
negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan
menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan
perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era
demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu
merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-
lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang
dihadapi.
Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara
mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak
adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat
adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar,
dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-
lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh
suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga
negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus
dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan
internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang
menunukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk
lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri
(state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog)
yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-
lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus
diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional
untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era
baru menuju demokratisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, John. Constitutional & Administrative Law. London: Macmillan Professional Masters, 1989.
Jimly Asshiddiqie. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996.
_______. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
_______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Duchacek, Ivo D. Power Maps: Comparative Politics of Constitutions. Santa Barbara, California: American Bibliographical Center, 1973.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel, 1973.
Komisi Ombudsman Nasional. Laporan Tahunan 2001. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2001.
Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.
Yazid, T.M. Luthfi. “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.
Wieslander, Bengt. The Parliamentary Ombudsman in Sweden. Stokholm: The Bank of Sweden Tercentenary Foundation, 1999
HAK ASASI MANUSIA
(Suatu Kajian Aktualisasi Penegakan HAM di Indonesia)
A. Pendahuluan
Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM dalam perspktif
sejarahnya dapat ditarik sampai pada permulaan kisah manusia dalam
pergaulan hidup di dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimilikinya dan
kedudukannya sebagai subyek hukum. Tetapi menurut hasil penelitian,
sejarah HAM tumbuh dan berkembang sejak HAM itu diperjuangkan
ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan negara.
Dari sejarah dunia kita mengetahui bahwa negara negara Eropa
pernah menjajah bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika, Australia, dan
Amerika. Realitas sejarah berupa penjajahan suatu bangsa atas bangsa
lain ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam bentuknya
yang klasik. Tidak hanya oleh negara asing, pelanggaran HAM juga
mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan
mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti
penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas orang-orang yang
dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi
kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang represif dan otoriter sudah terlalu
banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga
menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya
mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 lalu.
Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah
dihayati dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM
ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah
mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa
banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan
untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu
menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep
kontrak sosialnya Thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk penyerahan
seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk
mengatur tata tertib dalam masyarakat.
Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia
hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropah. HAM tersebut semula
dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang-
wenang penguasa (raja). Namur dalam perkembangannya HAM bukan
lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa
terkecuali. Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal
HAM (Universal Declaration of Human Rights (UDHR)) tahun 1948.
Namun demikian dalam era reformasi ini telah berhasil disusun
instrumen instrumen penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD ‘45
yang kemudian memasukkan HAM dalam bab tersendiri dengan pasal
pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain amandemen
UUD ‘45 juga ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga
tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati,
menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada
seluruh masyarakat. Juga menugaskan kepada Presieden RI dan DPR RI
untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dan diudangkannya Undang
Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum dan Undang Undang RI No 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memperkuat posisi Komnas HAM
yang dibentuk sebelumnya berdasarkan Keppres. No 50 Tahun 1993
Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta diundangkannya
Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
B. Pandangan Teoritis
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah
hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan
dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti mengingkari
anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula mengingkari
eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk yang
paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal budi yang
menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk.
Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus
dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya.
Hak hak itu meliputi :
1) Hak untuk hidup
2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3) Hak mengembangkan diri
4) Hak memperoleh keadilan
5) Hak atas kebebasan pribadi
6) Hak atas rasa aman
7) Hak atas kesejahteraan
8) Hak turut serta dalam pemerintahan
9) Hak wanita
10) Hak anak.
Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami
bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar
ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya
pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan
demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan
dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen.
Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999
hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya
dapat dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan
kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam
Undang Undang tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa
pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau
menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan
mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi
pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang
Tentang HAM sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM
yang dijamin oleh Undang Undang tersebut.
Sementara itu, Jika, dicermati dengan seksama asas-asas yang
termaktub dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
yaitu:
1. Hanya mengadili pelanggaran HAM berat.
2. Kejahatan universal. Pengadilan HAM berwenang mengadili
pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial RI
oleh warga negara Indonesia.
3. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja yang diadili
oleh Pengadilan HAM.
4. Jaksa Agung adalah penyidik dan penuntut umum.
5. Dalam pengadilan HAM dikenal penyidik Ad Hoc, Penuntut Ad
Hoc dan hakim Ad Hoc.
6. Pemeriksaan banding, kasasi, limitatif paling lama 90 hari.
7. Dilindungi korban dan saksi.
8. Dikenal kompensasi, restitusi dan rehabilitasi korban.
9. Ancaman hukuman diperberat.
10. Adanya tanggungjawab komandan dan atasan terhadap
pelanggaran HAM berat oleh bawahannya.
11. Penerapan asas retroaktif, dimana terhadap pelanggaran HAM
berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU pengadilan
HAM, diadili oleh pengadilan HAM Ad Hoc.
12. Tidak dikenal daluwarsa.
13. Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh
Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM).
14. Tidak ada kewenangan ANKUM dan perwira penyerah perkara
dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Dengan asas-asas tersbut bukankah sudah mencerminkan
kemandirian dari Peradilan HAM…? lalu kenapa harus dipolitisir bahwa
Peradilan HAM harus beradai di bawah Lingkup Peradilan Umum …?
Bisakah Peradilan HAM bebas dan mandiri dalam melakukan proses
penegakan hukum HAM jika masih harus bertanggungjawab secara
struktural kepada lingkup Peradilan Umum, bukankah ini merupakan
jalan panjang dan melelahkan untuk sampai pada proses peradilan HAM
yang fair dan manusiawi…? Begitu panjangnya jalan yang harus
ditempuh, hingga akhirnya korban pencari keadilan pasrah dan
menyerahkan nasibnya pada takdir. Kalau ada sebuah lembaga yang
bernama KOMNAS HAM yang bertugas mencari fakta dan menemukan
ada tidaknya pelanggaran HAM dalam kasus-kasus yang diduga telah
terjadi pelanggaran berat HAM. Toh, kalau akhirnya harus diadili dengan
sebuah peradilan di bawa lingkup pengadilan umum, maka hasilnya
“Jeruk makan jeruk” dan nothing dapat mencapai keadilan, kepastian
dan kemanfaatan apalagi perlindungan dan kesejahteraan bagi
korban kejahatan HAM.
C. Instrumen Hukum Dalam Penegakan HAM
Pemikiran HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat
ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada
konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia.
Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan tentang HAM yang
mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tetapi
pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan
dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan
bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu:
1. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan
melakukan amandemen UUD 45.
2. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya
adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak
mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
3. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur
tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk
hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia:
a. Amandemen UUD 1945
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45
berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan
perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim
Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45
tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar
secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak
mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi
Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk
memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang
tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin
memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan
melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral
UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara
konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian
direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui
amandemen II UUD 45.
b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR
pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan
mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang
HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu
sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut
bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah
Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik
antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan
kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua
kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang
secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan
membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping
secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan
amandemen UUD 45.
c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana
dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia
di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR
tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua
pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang
HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya
ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang .
Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang
HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang
HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada
tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak
seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang
tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi
peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada
selama ini.
Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan
ketentuan tentang HAM juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
d. Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia
Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua
dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini
merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang
Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang
telah ditolak oleh DPR sebelumnya.
e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka
umum melalui Undang Undang ini bertujuan:
1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai
salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan
UUD 45.
2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan
berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan
menyampaikan pendapat.
3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya
partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan
berdemokrasi.
4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa
mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
D. Problematika Penegakan HAM di Indonesia
Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan
banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun
yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan
HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya
ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak
Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis
Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan
lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi
penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru
hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk
mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada
masa itu tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran
realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu
bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa
hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan
hukum bukan apa apa.
Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan
Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status
quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di
Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo)
secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis)
dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan
pemerintahan. Maka yang terjadi adalah pertarungan dan pergumulan
antara dua kelompok itu. Dan ternyata, setelah era reformasi bergulir
kurang lebih lima tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo
masih mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam
penegakan hukum. Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde
Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana
dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure),
substansi (substance), kultur hukum (legal culture).
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur
sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita
sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong
berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan
profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan
masyarakat secara umum.
Selain itu secara struktural, kemandirian institusi institusi
penegakan hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup
serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut belum cukup
resisten terhadap intervensi pihak lain terutama eksekutif, padahal
penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan pemerintahan
berdasarkan hukum (rule of law).
Problem penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut
sistem hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah dijelaskan
di atas, tapi juga melibatkan sistem sistem lain yang turut berpengaruh
secara signifikan misalnya sistem politik, ekonomi dan sosial.
Sistem politik transisional dari sistem politik otoriter ke
demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus. Pergantian rezim dari
Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak menimbulkan berbagai
bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa
timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri,
tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status
quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak
menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer
diposisikan sebagai alat dan pendukung kekuasaan yang sedang
berlangsung.
Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti
belum mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan
bangsa Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif paling
banyak jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang
menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia
semakin terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga
bersifat multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi
problem penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan
dapat menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia
belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum
sekalipun?.
Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber
dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati
kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi
ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk etika
sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan
berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup
bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal
dengan sifat sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta
rasa kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi
permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional
karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan
puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan
kekerasan yang kemudian menimbulkan ketidak-tertiban dan ketidak-
harmonisan sosial (social disorder and disharmony). Dan kondisi sosial
semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha penegakan
HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi jawaban dari
permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia
rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya
sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem
sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik
pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling
mempengaruhi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2002
Arief Sidharta, Bernard. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum CV.Mandar
Maju, Bandung, 2000
Kleden, Ignas. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta,
2001.
Lopa, Baharuddin. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama:
Sebuah Pemikiran. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001
Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. PT. Alumni, Bandung, 2001
Purbopranoto. Kuntjoro. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1979
NEGARA, NEGARA HUKUM, DAN WARGA NEGARA
A. Negara
1. Pengertian Negara
Secara umum, pengertian negara adalah suatu daerah atau
wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan
yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal
terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah
yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. Negara merupakan
suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan
bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga
negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945
yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.
Berdasarkan pendapat para sarjana, dapat dilihat beberapa
pengertian dari negara yaitu:
Menurut Gorge Jellinek : Negara ialah organisasi kekuasaan
dari sekolompok manusia yang telah berkediaman di wilayah
tertentu.
Menurut Gorge Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan
organisasi kesusilaan yang mencul sebagai sintesis dari
kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
Mr. Kranerburg : Negara adalah suatu organisasi yang timbul
karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
Roger. F. Soltau : Negara adalah alat (agency) atau wewenang
(authority) yang mengatur atau mengendalikan persalan
bersama atas nama masyarakat.
Prof. R. Djolosoetrono : Negara ialah suatu organisasi manusia
atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu
pemerintahan yang sama.
Prof. Mr. Soenarko : Negara ialah organisasi masyarakat yang
mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara
berlaku sepenuhnya sebagai souvereign (kedaulatan).
Bila dilihat dari segi fungsi, maka fungsi-fungsi negara
meliputi:
a) Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat: Negara yang
sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat
masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial
kemasyarakatan.
b) Melaksanakan ketertiban: Untuk menciptakan suasana dan
lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan
pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh
masyarakat.
c) Pertahanan dan keamanan: Negara harus bisa memberi rasa
aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan
ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
d) Menegakkan keadilan: Negara membentuk lembaga-lembaga
peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di
segala bidang kehidupan.
2. Asal Muasal Terjadinya Negara
Asal mulanya terjadi negara dapat juga dilihat berdasarkan
pendekatan teoritis, antara lain :
- Teori Ketuhanan, negara terjadi atas kehendak Tuhan, nampak
pada UUD nya atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, penganutnya
adalah Agustinus, Yulius Stahi, Haller, Kranenburg dan Thomas
Aquinas.
- Teori Perjanjian Masyarakat, negara terjadi karena adanya
perjanjian masyarakat yang mengikat diri untuk mendirikan
suatu organisasi yang bisa melindungai dan menjamin
kelangsungan hidup bersama. Penganutnya adalah Thomas
Hobbes, John Locke, JJ Rousseau dan Montesquieu
- Teori Kekuasaan, negara terjadi karena adanya kekuasaan yang
paling kuat. Penganut teori ini adalah H.J. Laski, L. Duguit, Karl
Marx, Oppenheimer dan Kollikles.
- Teori Hukum Alam, negara terjadi karena kehendak alam yang
merupakan lembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Penganut teori ini
adalah Plato, Aristoteles, Agustinus dan Thomas Aquino.
Pada dasarnya negara mempunyai tujuan masing-masing,
namun tujuan akhirnya sama yaitu menciptakan kebahagian pada
rakyatnya.
3. Bentuk-Bentuk Negara
- Negara Kesatuan (Unitaris)
Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni
kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan
pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan
sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara
pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat dijalankan
secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi,
satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen.
Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang
memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan.
Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen pusat dan
tiadanya badan-badan lain yang berdaulat.
- Negara Serikat (Federasi)
Negara Serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas
beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Kendati
negara-negara bagian boleh memiliki konstitusi sendiri, kepala
negara sendiri, parlemen sendiri, dan kabinet sendiri, yang berdaulat
dalam negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang
disebut negara federal.
Setiap negara bagian bebas melakukan tindakan ke dalam,
asal tak bertentangan dengan konstitusi federal. Tindakan ke luar
(hubungan dengan negara lain) hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah federal.
Dalam praktik kenegaraan, jarang dijumpai sebutan jabatan
kepala negara bagian (lazimnya disebut gubernur negara bagian).
Pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara
bagian ditentukan oleh negara bagian, sehingga kegiatan pemerintah
federal adalah hal ikhwal kenegaraan selebihnya (residuary power).
4. Jenis-Jenis Kekuasaan Negara
- Negara Monarki dan Negara Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu
jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang
kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki
biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang
dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu
stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan.
Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau
persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab
cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki
hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia,
Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara
ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif,
misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang
ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan
maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem
monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus
berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses
berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-
undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern
sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki
konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik
(sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek
pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara
monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa
untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan
perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab
Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala
negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara
konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola
kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-
Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan
adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah
politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin.
Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi
jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya
terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak
mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat
kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik.
- Negara Monarki dan Aristokrasi
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya
bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan
birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang
ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada
pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh
sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini
mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang
besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan),
menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini
disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara
politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh
beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab
orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk
mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka
berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi,
yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-
bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau
pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
- Negara Demokrasi dan Negara Mobokrasi
Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh
mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di
dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri
dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung
(direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative
democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya
secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi
langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini
mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya
demokrasi langsung yaitu :
Jumlah warganegara harus kecil.
Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata
(hampir merata).
Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata
pencaharian pertanian.
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat
lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua
warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan,
tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan
demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno,
ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut
serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan,
dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama
oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara
modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah
demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat
yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat
berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk
memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan
pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum
periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota
parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi
keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang
mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang
wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang
pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara
penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200
juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di
tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang
duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia
menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia
duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan?
Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis
ketimbang demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung,
keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara.
Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang
terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin
didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada
situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes —
perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya
melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari
demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan
dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat
dibuat secara damai.
B. Negara Hukum
1. Pengantar
Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat
pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang
sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945,
dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan,
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara
Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam
dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik
ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the
rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya
adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya
bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan
mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem
yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata
supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan
social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun
budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu,
sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law
enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai
hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya
konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the
supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi
yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate
interpreter of the constitution’.
2. Konsep Negara Hukum
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan
konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan
konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.
Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan
‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,
sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai
faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau
hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide
kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu
dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di
Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”.
Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu
sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The
Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya
telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah
Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika,
konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey
dengan sebutan “The Rule of Law”.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen
penting, yaitu:
Perlindungan hak asasi manusia.
Pembagian kekuasaan.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
Peradilan tata usaha Negara.
Muhammad Tahir Azhary, dengan mengambil inspirasi dari
sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri
nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9
(sembilan) prinsip, yaitu:
o Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
o Prinsip musyawarah;
o Prinsip keadilan;
o Prinsip persamaan;
o Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia;
o Prinsip peradilan yang bebas;
o Prinsip perdamaian;
o Prinsip kesejahteraan;
o Prinsip ketaatan rakyat.
Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan
kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-
pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak
dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan
bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’.
Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas
dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali
rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan
dengan tegas.
Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001
terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan
mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang
berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita
negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 itu sebaiknya kita pahami.
C. Warga Negara
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah
adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum
tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan
dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini
biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu
prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.
Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 1 UU No. 12
Tahun 2006 ttg Kewarganegaraan Republik Indonesia). Sementara itu,
kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan
warga negara.
Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan
diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius
sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Berdasarkan
prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum
suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan
dari negara tempat kelahirannya itu.
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah
termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini,
sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara
otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi
warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar
negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya,
melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika
Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua
orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan
banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri,
baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja
melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena
alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak
di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam
proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia
melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang
sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila
kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka
dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status
dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah
menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut
prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian
seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya.
Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis
kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan
kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam
dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita
tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda
status kewarganegaraannya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu
ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui
proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan
kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang
bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya
menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai
kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui
registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam
pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa
penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di
daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status
kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.
Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di
luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena
Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan
yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di
daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya
dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis.
Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu
melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat
diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui
proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di
Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka
menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status
sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki
anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup
melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses
kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i)
kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii)
kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by
naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa
atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat
sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai
kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak
membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status
kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja
sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang
tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua
saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena
sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di
Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai
melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status
kewarganegaraan Republik Indonesia.
Keturunan mereka ini dapat memperoleh status
kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya
tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula
terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan
kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab
lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak
disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh
status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa
saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis
yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan
memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya
sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya
kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting,
apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status
kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-
masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain.
Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya
untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari
kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi
pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan
seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah
sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara
modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh
karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut,
juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui
registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu
diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral
bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’
sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan
pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip
yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk
mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu,
sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan,
tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa
kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap
kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha
menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada
prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip
‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan
status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh
banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina
ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina,
tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia.
Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak
berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal
orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena
kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar
yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan
ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa,
bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan
mereka sebagai orang asing sama sekali.
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan,
berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya
disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di
Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing.
Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli
ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam
penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan.
Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka
amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan,
atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan
dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara
warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai
warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan
sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara
Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi
warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai
warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai
‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai
warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi
warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai
‘Warga Negara Asli’.
Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia
asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga Negara
Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum
dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah
menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya
dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan
pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai
kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status
kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti
tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok.
Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif
berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam
penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai
dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi
dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008
Laica Marzuki, Berjalan-jalan Diranah hukum, Pikiran Lepas Laica Marzuki, Jilid Kesatu, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
http://jajusuf.blogspot.com/2011/03/warga-negara.html
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/10/27/warganegara-dan-
kewarganegaraan/
DEMOKRASI
(Kajian Pembangunan Wawasan Mahasiswa Dalam Berdemokrasi)
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan
pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi
langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal
dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang
dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan",
merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-
4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat
pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh
Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang
menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat).
Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi
sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini
berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan
rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur
kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil
berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai
respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan
pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu
pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat
dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun
pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan
pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak,
orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak
memiliki hak untuk itu.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai
suatu kebenaran. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif)
untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar
ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga
pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan
kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan
rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan
kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh
masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi
masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui
proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
A. Sejarah Demokrasi Indonesia
Perkembangan Demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut
sejak berdirinya negara Republik Indonesia.Masalah selama pasang surut
ini berkisar penyusunan suatu system politik dimana kepemimpinan
cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation
building,dengan partisipasi rakyat dengan menghindarkan diktator baik
itu diktator individu,partai,maupun militer. Perkembangan
sejarah,demokrasi Indonesia dapat dibedakan dalam beberapa masa:
1. Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 – 1950 ).
Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi
Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan
demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh
masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat
sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD
1945 yang berbunyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut
UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu
oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah
negara yang absolut pemerintah mengeluarkan :
• Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945,
KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.
• Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang
Pembentukan Partai Politik.
• Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang
perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi
parlementer.
2. Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Orde Lama
Pada masa ini, pelaksanaan demokrasi terbagi lagi dalam beberapa
periode:
a) Masa demokrasi Liberal 1950 – 1959
Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai
lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan
sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan parlemen,
akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-
partai politik.
Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal
disebabkan :
• Dominannya partai politik
• Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
• Tidak mampunya konstituante bersidang untuk
mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 :
• Bubarkan konstituante
• Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
• Pembentukan MPRS dan DPAS
b) Masa demokrasi Terpimpin 1959 – 1966
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No.
VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan
musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua
kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan
nasakom dengan ciri:
a. Dominasi Presiden
b. Terbatasnya peran partai politik
c. Berkembangnya pengaruh PKI
Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:
a. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak
yang dipenjarakan
b. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan
oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR
c. Jaminan HAM lemah
d. Terjadi sentralisasi kekuasaan
e. Terbatasnya peranan pers
f. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok
Timur)
g. Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September
1965 oleh PKI.
3. Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Orde Baru 1966 – 1998
Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat
Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde
baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala
bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil
menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini
dianggap gagal sebab:
a. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
b. Rekrutmen politik yang tertutup
c. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
d. Pengakuan HAM yang terbatas
e. Tumbuhnya KKN yang merajalela
Sebab jatuhnya Orde Baru:
a. Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
b. Terjadinya krisis politik
c. TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
d. Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut
Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden
e. Pelaksanaan demokrasi pada masa Reformasi 1998 s/d
sekarang.
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan
dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21
Mei 1998.
4. Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Reformasi
Demokrasi yang dikembangkan pada masa reformasi pada
dasarnya adalah demokrasi dengan mendasarkan pada Pancasila dan
UUD 1945, dengan penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan
peraturan-peraturan yang tidak demokratis, dengan meningkatkan
peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan
menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu
pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas
antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan
terbentuknya DPR – MPR hasil Pemilu 1999 yang telah memilih
presiden dan wakil presiden serta terbentuknya lembaga-lembaga
tinggi yang lain. Masa reformasi berusaha membangun kembali
kehidupan yang demokratis antara lain:
a. Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-
pokok reformasi
b. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang
Referandum
c. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara
yang bebas dari KKN
d. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden RI
e. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV
f. Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum
sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.
B. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah
terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang
kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-
prinsip demokrasi adalah:
a) Kedaulatan rakyat;
b) Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
c) Kekuasaan mayoritas;
d) Hak-hak minoritas;
e) Jaminan hak asasi manusia;
f) Pemilihan yang bebas dan jujur;
g) Persamaan di depan hukum;
h) Proses hukum yang wajar;
i) Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
j) Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
k) Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
C. Ciri-Ciri Pemerintahan Demokratis
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang
diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.Ciri-ciri suatu
pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
a) Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan
keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung
(perwakilan).
b) Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi rakyat (warga negara).
c) Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala
bidang.
d) Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang
independen sebagai alat penegakan hukum
e) Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
f) Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan
informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
g) Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk
di lembaga perwakilan rakyat.
h) Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk
menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta
anggota lembaga perwakilan rakyat.
i) Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku,
agama, golongan, dan sebagainya).
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara
yang Demokratis, PT Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2005
2. Abubakar,Suardi dkk, Kewarganegaraan 1: Menuju Masyarakat Madani,
Yudhistira, Jakarta, tt
3. Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 2002
4. Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewarganegaraan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2006
5. Ghazali Abbas Adan, Sistem Politik/Demokrasi Di Indonesia; Dari Masa Ke
Masa, Makalah disampaikan pada Acara Musyawarah Kerja Nanggroe
(MUKERNANG) I Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS) Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2007
PARTAI POLITIK
(Kajian Bagi Mahasiswa Dalam Memaknai Kebebasan Berkumpul,
Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat)
Berkembangnya aspirasi-aspirasi politik baru dalam suatu masyarakat,
yang disertai dengan kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar,
derngan sendirinya menuntut pelembagaan sejumlah saluran baru,
diantaranya melalui pembentukan partai politik baru. Tetapi pengalaman di
beberapa negara dunia ketiga menunjukkan, pembentukan partai baru tidak
akan banyak bermanfaat, kalau sistem kepartaiannya sendiri tidak ikut
diperbaharui.
Suatu sistem kepartaian baru disebut kokoh dan adaptabel, kalau ia
mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul
sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan
menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk
saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi
politik. Sistem kepartaian yang kokoh, sekurang-kurangnya harus memiliki
dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai,
sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan
kekerasan. Kedua, mengcakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah
kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar
tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem
kepartaian yang kuat menyediakan organisasi-organisasi yang mengakar dan
prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompok-kelompok baru
ke dalam sistem politik.
A. Definisi Partai Politik
Partai politik yaitu organisasi politik yang menjalani ideologi
tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Sedangkan definisi partai
politik menurut ilmuwan politik yaitu:
Friedrich : partai politik sebagai kelompok manusia yang
terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin
partainya, dan berdasarkan kekuasaan tersebut akan memberikan
kegunaan materil dan idil kepada para anggotanya.
Soltau : partai politik sebagai kelompok warga negara yang
sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan
politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih,
bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan
umum yang mereka buat.
Tujuan dari pembentukan partai polik ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan
cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
B. Fungsi Partai Politik
Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat
mengkomunikasikan pandangan dan prinsip-prinsip partai, program
kerja partai, gagasan partai dan sebagainya. Agar anggota partai dapat
mengetahui prinsip partai, program kerja partai atau pun gagasan
partainya untuk menciptakan ikatan moral pada partainya, komunikasi
politik seperti ini menggunakan media partai itu sendiri atau media
massa yang mendukungnya.
Adapun fungsi partai politik dalam sistem politik nasional secara
garis besar terdiri dari:
a) Partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka
ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan
penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan
merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur
(interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap
kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan
kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan
pada masyarakat.
b) Partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap,
pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian,
peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.
Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-
norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia
memperjuangkan kepentingan umum.
c) Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik
berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam
kegiatan politik sebagai anggota partai.
d) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah
masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik
berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini
dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri
melainkan untuk kepentingan umum.
C. Tujuan Pembentukan Partai Politik
Tujuan dari pembentukan partai politik menurut Undang-Undang
No.2 Tahun 2008 tentang partai politik, yaitu:
1. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam pembukaan undang-undang dasar negara republik
Indonesia tahun 1945
2. menjaga dan memelihara keutuhan negara kesatuan republik
Indonesia
3. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam negara
kesatuan republik Indonesia
4. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam
rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan
6. memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
7. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Selain itu ada juga tujuan partai politik menurut basis sosial
dibagi menjadi empat tipe yaitu :
a) Partai politik berdasarkan lapisan masyarakat yaitu bawah,
menengah dan lapisan atas.
b) Partai politik berdasarkan kepentingan tertentu yaitu petani,
buruh dan pengusaha.
c) Partai politik yang didasarkan pemeluk agama tertentu.
d) Partai politik yang didasarkan pada kelompok budaya tertentu.
D. Potret Partai Politik Masa Kini
Ideologi bagi partai adalah suatu idealisme yang menjadi garis
besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang
kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati
dirinya. Sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia–selain dengan
mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler.
Dari segi ini pun terkadang ada partai yang terlihat berusaha
menggabungkan kedua unsur ini. Partai Amanat Nasional, misalnya,
berusaha menggabungkan citra nasionalisnya dengan kedekatannya
terhadap Muhammadiyah. Lemahnya ideologi bahkan bisa dilihat dalam
partai-partai utama. Partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), pun masih amat bergantung pada karisma Mbak
Mega (Megawati Soekarnoputri) untuk menarik pendukung. Padahal,
demi kelangsungan organisasinya, partai ini seharusnya sudah bisa
“mengalihkan” dukungan terhadap pemimpin menjadi dukungan
terhadap identitas dan organisasi partai.
Dilihat dari kacamata organisasi fisik, partai-partai kita juga
masih sangat lemah. Di tingkat masyarakat, hanya partai-partai besar
yang mampu terus eksis di luar masa kampanye dan pemilu. Kebanyakan
partai masih “tidur” kalau tidak ada pemilu, dan cabang-cabang mereka
juga tutup. Kemampuan untuk tetap aktif sangat bergantung pada
kapasitas cabang partai dan komitmen pemimpin di tingkat lokal. Lagi
pula, cabang lokal juga sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk
tetap mengadakan aktivitas. Sebagian besar partai juga masih
mengontrak kantor cabangnya, dan hanya partai Orde Baru yang punya
kantor tetap. Walhasil, kalau mereka sulit mendapat kontrakan, aktivitas
juga terhenti dan partai menjadi vakum.
Dengan kapasitas organisasi yang seperti ini, sangat sulit bagi
partai politik Indonesia membangun hubungan yang stabil dengan para
pendukung dan anggotanya. Dari segi rekrutmen, partai-partai besar
biasanya hanya mengandalkan pada suara yang didapat pada
pemungutan suara sebelumnya. Partai-partai seperti PDIP dan Golkar
kurang mementingkan rekrutmen dan lebih menggantungkan diri pada
popularitas partainya saat pemilu. Adapun partai-partai muda, seperti
PKS dan PAN, memang memprioritaskan rekrutmen anggota baru, tetapi
kemampuan mereka untuk merekrut sangatlah berbeda. PKS terlihat
lebih mampu untuk konsisten menjalankan program rekrutmen,
sedangkan PAN tertatih-tatih untuk mempertahankan eksistensinya di
tingkat lokal. Hanya dengan komitmen para kadernya, cabang PAN dapat
tetap bertahan tetapi aktivitasnya sangat terbatas. Dengan manajemen
anggota yang semacam ini, tidaklah mengherankan bahwa partai
biasanya mengejar produk “jadi” dari selebritas sebagai calon anggota
legislatif mereka. Memang tren ini menandakan ketidakmampuan dan
kemalasan partai untuk mendidik dan memupuk kadernya sendiri. Tapi
bisa juga ini karena kegagalan partai untuk berkembang pada masa lalu,
dan pada masa reformasi ini pun mereka juga masih dalam tahap awal
perkembangannya. Terutama bagi partai muda, belum ada kader yang
siap maju.
Jadi, yang diperlukan oleh partai politik bukan hanya dukungan,
tapi juga kesabaran pemilih untuk memberikan kesempatan kepada
partai politik pilihan mereka. Perjalanan partai politik Indonesia ke arah
kemajuan masihlah panjang. Selagi kita belajar tentang demokrasi selama
kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, partai politik kita juga sedang
belajar tentang organisasi dan manajemen. Godaan dan tantangan tentu
saja banyak dan sangat mudah bagi partai politik untuk menjadi non-
aktif dan kembali ke praktek politik uang. Karena itulah partisipasi
pemilih sangatlah penting untuk menyeleksi partai politik yang kurang
efisien. Pemilihan Umum 2009 maupun pada saat pemilihan umum 2014
nanti adalah ujian penting bagi kematangan, bukan hanya bagi partai
politik, tapi juga bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 2002
2. http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan-partai-
politik-di-indonesia/
3. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
MASYARAKAT MADANI
A. Latar Belakang
Wacana masyarakat madani yang sudah menjadi arus utama dewasa ini, baik
di lingkungan masyarakat, pemerintah, dan akademisi, telah mendorong
berbagai kalangan untuk memikirkan bagaimana perkembangan sektor-sektor
kehidupan di Indonesia yang sedang dilanda reformasi itu dapat diarahkan
kepada konsep masyarakat madani sebagai acuan baru.
Dalam perkembangan wacana tersebut bidang ekonomi agaknya belum
mendapatkan perhatian. Di bidang ini, yang masih menjadi acuan utama
adalah konsep demokrasi ekonomi, Ekonomi Pancasila, dan akhir-akhir ini,
ekonomi rakyat. Pertanyaannya adalah, apa kaitan konsep ekonomi madani
dengan konsep-konsep yang juga masih ramai diperbincangkan itu? Salah satu
masalah yang timbul dalam wacana baru tersebut adalah bahwa konsep
masyarakat madani itu sendiri dewasa ini masih berada dalam proses
pencarian. Masih menjadi pertanyaaan, misalnya, apakah masyarakat madani
itu identik dengan civil society yang bercirikan individualisme, ekonomi pasar
dan pluralisme budaya itu? 1. Konsep masyarakat madani memang telah
menjadi wacana utama dan acuan, termasuk dalam memikirkan kembali
sistem ekonomi Indonesia. 2 Konsep ini mengandung unsur-unsur pemikiran
dan kerangka baru yang telah berkembang secara global, tidak saja di negara-
negara sedang berkembang, melainkan juga di negara-negara maju sendiri
yang sudah lama mengenal dan mengembangkan konsep ini. 3. Karena itu,
maka Sistem Ekonomi Indonesia di era reformasi ini harus memperhatikan
wacana masyarakat madani tersebut. 4 Namun, sistem ekonomi, di samping
sistem politik dan sistem sosial-budaya adalah salah satu komponen dalam
masyarakat madani. Oleh karena itu maka wacana tentang sistem ekonomi ini
juga akan ikut mewarnai corak masyarakat madani yang dicita-citakan. Konsep
ini mencakup komponen-komponen negara (state), pasar (market), sektor
voluntir (voluntary sector) atau gerakan baru masyarakat (new social
movement) serta individu dan keluarga (individuals and family).5 Semua
komponen tesrebut dituntut mengembangkan etos kerja dan kualitas
pelayanan lebih baik dan memiliki sikap dan perilaku yang berintikan
pengabdian yang utuh bagi masyarakat (public service oriented). Inilah
harapan masyarakat madani (civil society)6 yaitu masyarakat yang maju,
mandiri, sejahtera dalam suasana berkeadilan dilandasi oleh iman dan taqwa.
Untuk memperkaya wawasan dan pemahaman pembaca tentang masyarakat
madani, maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain :
a). Konsep dari masyarakat madani.
b). Masyarakat madani dalam kacamata islam
c). Masyarakat madani di Indonesia
B. PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI
A. Pengertian
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society.
Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan
masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata
“societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali
dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar
dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini
mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan
otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond,
2003: 278).
Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk
dari kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas,
perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum
dan komunikasi yang independen. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari
transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004: 61). Sementara menurut Haynes,
tekanan dari “masyarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk
mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi
politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum multipartai,
yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff Haynes,
2000: 28).
Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin
berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung
oleh kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan
kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS Hikam, ada
tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu
dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan
dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi
keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praktis
yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan
membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi individu terhadap
kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang
mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik
lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan
individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi
dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok,
dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan
pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan
harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa
(Haryatmoko, 2003: 212).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society Sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil
society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang
dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim
modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga
civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena
meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian
dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat
madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas
landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah
(A. Syafii Maarif, 2004: 84).
B. Ciri-ciri Masyarakat Madani
Ada beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang
cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam
masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang
publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga
negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik,
dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak
intervensionis.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik masyarakat madani:
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak
melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk
menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat
berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan
untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan
demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan
pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
a) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
b) Pers yang bebas
c) Supremasi hukum
d) Perguruan Tinggi
e) Partai politik
3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling
menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang
majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif
dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang
proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu
terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari
rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga
masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang
bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang
memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani
di Indonesia diantaranya:
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang
terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
C. Konsep Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani yang menjadi perbincangan dewasa ini pada
dasarnya memang mengacu pada konsep civil society yang sudah berkembang
di Barat, walaupun akhir-akhir ini sedang digali juga pemikiran yang mengacu
kepada “masyarakat Madinah”. Konsep civil society yang telah mapan,
sekalipun selalu mengalami pemikiran ulang (rethinking) itu, bukan
merupakan konsep yang universal, melainkan historis-kontekstual. Secara
historis, civil society dibentuk oleh tiga kejadian besar di Eropa Barat. Pertama,
Reformasi Teologis yang menghasilkan sekularisme. Kedua, Revolusi lndustri
yang menghasilkan model teknokratisme, baik yang bercorak kapitalisme
pasar, sosialisme maupun negara kesejahteraan (welfare state). Ketiga
Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang menghasilkan model negara dan
masyarakat yang mengacu kepada trilogi liberte, egalite, fraternite dalam
berbagai coraknya.
Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah
keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi
sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor
swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat,
organisasi keagamaan dan kelompok profesional).
Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan
yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi.
Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi
masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di
tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan
dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang
melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi,
juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap
kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat
dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan
sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual
participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil society
kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-
structures.
Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk
keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim
dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah
memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan
terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau
perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.
Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran
bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara
ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat
memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti
memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat
pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi
semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang
seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial
tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the
ruling class). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi
birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu
memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam
ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi
birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal
pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu
mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting
Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey C. Alexander
(ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 1913
Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of
Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93
kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan
tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala
tindakannya lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan
masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi
politik menjadi mandul.
Atau adi kuasa, civil society berusaha menciptakan interaksi antara negara dan
masyarakat dilekati interdependensi, saling mengisi dan saling
menguntungkan satu sama lain. Nilai penting yang melekat dalam civil society
adalah partisipasi politik dalam arti peran masyarakat sangat diperhitungkan
dalam proses pengambilan keputusan publik atau masyarakat dapat mewarnai
keputusan publik. Di samping itu juga ada akuntabilitas negara (state
accountability) dalam arti negara harus bisa memperlihatkan kepada
masyarakat bahwa kebijakan publik yang diambil sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, efisien (mengeluarkan resources secara porposional dengan
hasil optimal) dan efektif (tidak merusak atau bertentangan dengan nilai dan
norma yang berkembang dalam masyarakat). Selanjutnya, ide civil society
menghendaki institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sektor swasta
maupun sektor sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif
atau berupa asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum
atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan
sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan keinginannya. Melalui forum
atau asosiasi semacam itu civil society menjamin adanya kebebasan mimbar,
kebebasan melakukan disiminasi atau penyebar luasan opini publik. Itulah
sebabnya seringkali dinyatakan bahwa civil society adalah awal kondisi yang
sangat vital bagi eksistensi demokrasi. Kendatipun karakteristik civil society
bertentangan dengan karakteristik political society (yang menempatkan
negara pada posisi sentral), namun tidak berarti bahwa civil society harus
selalu melawan negara atau harus menghilangkan rambu-rambu politik yang
telah dibangun oleh negara, jadi status dan peran negara tetap diperlukan.
Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah
keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi
sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor
swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat,
organisasi keagamaan dan kelompok profesional).
Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan
yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi.
Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi
masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di
tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan
dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang
melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi,
juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap
kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat
dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan
sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual
participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil society
kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-
structures.
Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk
keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim
dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah
memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan
terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau
perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.
Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran
bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara
ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat
memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti
memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat
pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi
semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang
seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial
tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the
ruling class). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi
birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu
memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam
ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi
birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal
pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu
mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting
Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey C. Alexander
(ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 1913
Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of
Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93
kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan
tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala
tindakannya lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan
masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi
politik menjadi mandul.
D. Masyarakat Madani Dalam Islam
Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah,
kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan
masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada
kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah).
Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-
menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani yang kadang disamakan
dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan
sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial.
Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang tunduk
pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.Dalam
konteks ini, kita memilih mengartikan masyarakat madani sebagai terjemahan
dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani. Kata ini secara etimologis
mempunyai dua arti, pertama, masyarakat kota, karena kata ‘madani’ berasal
dari kata madinah yang berarti ‘kota’, yang menunjukkan banyaknya aktivitas,
dinamis, dan penuh dengan kreativitas; kedua, masyarakat peradaban, karena
kata ‘madani’ juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang berarti
‘peradaban’. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai peradaban.
Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada
umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan
tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan,
Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase
yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah
perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi
disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala’a
al-badru ‘alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair
dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah
mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat
al-nabiy (kota nabi).
Secara konvensional, perkataan “madinah” memang diartikan sebagai “kota”.
Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna
“peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban” memang dinyatakan dalam
kata-kata “madaniyah” atau “tamaddun”, selain dalam kata-kata “hadharah”.
Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada
hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau
bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum
Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.
E. Masyarakat Madani Di Indonesia
Tantangan masa depan demokrasi di negeri kita ialah bagaimana mendorong
berlangsungnya proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai
peradaban dan kemanusiaan universal. Kita semua harus bahu membahu agar
jiwa dan semangat kemanusiaan universal itu merasuk ke dalam jiwa setiap
anak bangsa sehingga nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
menurut Nurcholish Madjid, terdapat beberapa pokok pikiran penting dalam
pandangan hidup demokrasi, yaitu: (1) pentingnya kesadaran kemajemukan
atau pluralisme, (2) makna dan semangat musyawarah menghendaki atau
mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan tulus
menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suara”, (3) mengurangi
dominasi kepemimpinan sehingga terbiasa membuat keputusan sendiri dan
mampu melihat serta memanfaatkan alternatif-alternatif, (4) menjunjung
tinggi moral dalam berdemokrasi (5) pemufakatan yang jujur dan sehat adalah
hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat, (6) terpenuhinya kebutuhan
pokok; sandang, pangan, dan papan, dan (7) menjalin kerjasama dan sikap
yang baik antar warga masyarakat yang saling mempercayai iktikad baik
masing-masing.
Pemberdayaan masyarakat madani ini menurut penulis harus di motori oleh
dua ormas besar yaitu NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi Islam ini usia
lebih tua dari republik. Oleh karena itu, ia harus lebih dewasa dalam segala hal.
Wibawa, komitmen dan integritas para pemimpin serta manajemen
kepemimpinannya harus bisa seimbang dengan para pejabat negara, bahkan ia
harus bisa memberi contoh baik bagi mereka. Ayat yang disebutkan di awal itu
mengisyarakat bahwa perubahan akan terjadi jika kita bergerak untuk
berubah.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Dan bila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia,”(QS Ar-Ra’d [13]: 11).
Masyarakat madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan
mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis
melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian
rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada
pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis
sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat
madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong
perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Untuk membangun masyarakat yang maju dan berbudaya, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dengan iman dan takwa, paling
tidak harus ada tiga syarat: menciptakan inovasi dan kreasi, mencegah
kerusakan-kerusakan sumber daya, dan pemantapan spiritualitas. Masyarakat
madani itu hendaknya kreatif terhadap hal-hal baru, antisipatif dan preventif
terhadap segala kemungkinan buruk, serta berketuhanan Yang Maha Esa.
Jika syarat-syarat dan komponen-komponen masyakarat madani berdaya
secara maksimal, maka tata kehidupan yang demokratis akan terwujud. Selain
ikut membangun dan memberdayakan masyarakat, masyarakat madani juga
ikut mengontrol kebijakan-kebijakan negara. Dalam pelaksanaannya, mereka
bisa memberikan saran dan kritik terhadap negara. Saran dan kritik itu akan
objektif, jika ia tetap independen. Setiap warga negara berada dalam posisi
yang sama, memilik kesempatan yang sama, bebas menentukan arah hidupnya,
tidak merasa tertekan oleh dominasi negara, adanya kesadaran hukum,
toleran, dan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru
karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi
di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-
organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI,
KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak
memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan
program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol
terhadap jalannya roda pemerintahan.
F. Analisa Masalah
Sesuai dengan pengertian dan masyarakat yaitu masyarakat yang beradab,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak
kekurangan yang terjadi dinegara kita.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani
di Indonesia diantaranya:
1). Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum
merata.
2). Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3). Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4). Tingginya lapangan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja
yang terbatas.
Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman
pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya:
1). Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan
pendapatan dan pendidikan.
2). Sebagai advokasi bagi masyarakat yang teraniaya, tidak berdaya
membela hak-hak dan kepentingan mereka.
A. KESIMPULAN
Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan
pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan
Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka
Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115).
Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang
diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban
Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata “madani”
berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban,
sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun.
Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim
Melayu yang mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan
modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society
yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan
sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan
bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam
krisis multidimensional yang tak berkesudahan.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society.
Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan
masyarakat. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state).
Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.
Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan
monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Ada beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang
cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam
masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang
publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga
negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik,
dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak
intervensionis.
Konsep civil society dalam arti politik bertujuan melindungi individu terhadap
kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang
mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik
lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan
individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi
dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok,
dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan
pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan
harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa
(Haryatmoko, 2003: 212).
Antara masyarakat madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil
society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang
dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim
modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya.
Masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat barat secara teoritis
bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka. Nilai-nilai yang juga dimiliki oleh
masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan
berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang
dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu,
persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam
masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga
civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena
meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian
dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat
madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas
landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah
(A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan
egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama),
penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan
kelompok masyarakat (seperti penetapan stategi perang), dan pelaku
ketidakadilan, dari kelompok mana pun, diganjar dengan hukuman yang
berlaku.
Komunitas Muslim awal merupakan masyarakat yang demokratis untuk
masanya. Indikasinya adalah tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan
partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan publik serta keterbukaan
posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan pemimpin tidak
berdasarkan keturunan (heredities), tapi kemampuan (Robert N. Bellah, 2000:
211).
Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah,
kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan
masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada
kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah).
Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-
menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani – yang kadang
disamakan dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan
tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban
sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang
tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.
Masyarakat madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan
mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis
melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian
rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada
pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis
sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat
madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong
perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti
yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang
terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut
di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu
pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran
yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal
sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113).
Dilihat dari sejarahnya civil society yang bertujuan untuk menghindari
pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika,
dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-à-vis masyarakat. Hal itu
bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah
masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga
menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri
oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari
pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang
menjadi kewajiban negara modern.
B. SARAN
Dalam era reformasi itu kita perlu melakukan kaji ulang dan wacana baru
dengan mempertimbangan faktor-faktor yang menjadi kecenderungan
nasional, regional, dan global, seperti meningkatnya peranan pasar,
perampingan peranan negara dan perlunya pemberdayaan lembaga-lembaga
civil society dan gerakan sosial baru (new social movement).
Wacana masyarakat madani agaknya berbeda dengan wacana civil society
yang berkembang di Barat, walaupun konsep civil society itu menjadi rujukan
penting. Namun harus diingat, bahwa wacana civil society itu sendiri, baik di
negara-negara industri maju maupun di Dunia Ketiga, masih terus berlangsung
dalam konteks baru. Oleh karena itu, masyarakat madani yang sedang
dipikirkan di Indonesia ini merupakan wacana yang tebuka.
DAFTAR PUSTAKA
Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian
Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT
Tanjung Mas Inti.
Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27 Februari 1999.
Jakarta.
Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan
tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam
Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan
Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political
Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas
Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.
Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan
Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Mohtar Mas’oed. (1999). Republika 3 Maret 1999.
Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5
November 1999.
Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London:
Oxford University Press.
Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya
dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi.
Jakarta: BP 7 Pusat.
Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme
Peradaban Islam
Vaizey, J. 1967. Pendidikan di Dunia Modern. Jakarta: Gunung Agung.
Zamroni. 1997. Pembaharuan Pendidikan dan Penelitian Multidisiplin.
Makalah Seminar Regional Pengembangan Budaya Penelitian Multidisiplin dan
Antardisiplin. Yogyakarta: 19-20 Mei.