Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

106
ZAKI ULYA, S.H., M.H. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (DIKTAT KULIAH)
  • Upload

    -
  • Category

    Law

  • view

    368
  • download

    2

Transcript of Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Page 1: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

ZAKI ULYA, S.H., M.H.

UPT-MATA KULIAH UMUMUNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH2010

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAA

N(DIKTAT KULIAH)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAA

N(DIKTAT KULIAH)

Page 2: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

PENGERTIAN, TUJUAN, SEJARAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN1

Oleh:

Zaki ‘Ulya, S.H., M.H.2

A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Istilah kewarganegaraan memiliki arti keanggotaan yang

menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dan warga negara.

Kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara

yang mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi

orang yang bersangkutan. Adapun menurut Undang-Undang

Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan adalah segala

ikhwal yang berhubungan dengan Negara.

Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu

sebagai berikut:

a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis

- Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan

adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara.

- Kewarganegaraan dalam arti sosiologis, tidak ditandai

dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosional, seperti

ikartan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan

sejarah, dan ikatan tanah air.

b. Kewarganegaraan dalam arti formil dan materil.

1 Bahan Ajar pertemuan pertama, mata kuliah Pendidikan Kewarganeraan, pada tanggal 14 september 20112 Adalah Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Pada UPT-MKU Univ. Syiah Kuala

- Kewarganegaraan dalam arti formil menunjukkan pada

tempat kewarganegaraan. Dalam sistematika hukum,

masalah kewarganegaraan berada pada hukum publik.

- Kewarganegaraan dalam arti materil menunjukkan pada

akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya

hak dan kewajiban warga negara.

Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan

terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara

dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan

pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan

kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.

Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan

warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik

kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa

dalam perikehidupan bangsa.

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa di setiap jenis, jalur dan

jenjang pendidikan wajib memuat terdiri dari Pendidikan Bahasa,

Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Keputusan Menteri pendidikan dan Kebudayaan No.

056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan

Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa menetapkan bahwa

“Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan

Kewarganegaraan termasuk dalam Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib

diberikan dalam kurikulum setiap program studi”.

Page 3: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Dengan penyempurnaan kurikulum tahun 2000, menurut Kep.

Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000 materi Pendidikan Kewiraan disamping

membahas tentang PPBN juga dimembahas tentang hubungan antara

warga negara dengan negara. Sebutan Pendidikan Kewiraan diganti

dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokok Pendidikan

Kewarganegaraan adalah tentang hubungan warga negara dengan

negara, dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).

B. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan

Pendidikan Kewarganegaraan mencakup:

1. Tujuan Umum

Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada

mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara

serta PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa

dan negara.

2. Tujuan Khusus

a) Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan

kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas

sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab.

b) Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah

dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis

dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan

Nusantara, dan Ketahanan Nasional

c) Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai

dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela

berkorban bagi nusa dan bangsa.

C. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pendidikan Kewiraan

Pendidikan Kewiraan dimulai tahun 1973/1974, sebagai bagian

dari kurikulum pendidikan nasional, dengan tujuan untuk

menumbuhkan kecintaan pada tanah air dalam bentuk PPBN yang

dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap awal yang diberikan

kepada peserta didik SD sampai sekolah menengah dan pendidikan

luar sekolah dalam bentuk pendidikan kepramukaan, sedangkan

PPBN tahap lanjut diberikan di PT dalam bentuk pendidikan

kewiraan.

2. Perkembangan kurikulum dan materi Pendidikan

Kewarganegaraan

a. Pada awal penyelenggaraan pendidikan kewiraan sebagai cikal

bakal darai PKn berdasarkan SK bersama Mendikbud dan

Menhankam tahun 1973, merupakan realisasi pembelaan

negara melalui jalur pengajaran khusus di Perguruan Tinggi, di

dalam SK itu dipolakan penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan

dan Pendidikan Perwira Cadangan di Perguruan Tinggi.

Page 4: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

b. Berdasarkan UU No. 20 tahun 1982 tentang Pokok-pokok

Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara ditentukan

bahwa:

1) Pendidikan Kewiraan adalah PPBN tahap lanjutan pada

tingkat Perguruan Tinggi, merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Penyelenggaraan Sistem Pendidikan

Nasional

2) Wajib diikuti seluruh mahasiswa (setiap warga negara).

c. Berdasarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan

Nasional dinyatakan bahwa:

1) Pendidikan Kewiraan bagi Perguruan Tinggi adalah bagian

dari Pendidikan Kewarganegaraan

2) Termasuk isi kurikulum pada setiap jenis, jalur, dan

jenjang pendidikan

d. SK Dirjen Dikti tahun 1993 menentukan bahwa Pendidikan

Kewiraan termasuk dalam kurikulum MKDU bersama-sama

dengan Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, ISD, IAD, dan

IBD sifatnya wajib.

e. Kep. Mendikbud tahun 1994, menentukan:

1) Pendidikan Kewarganegaraan merupakan MKU bersama-

sama dengan Pendidikan Agama, dan Pendidikan

Pancasila

2) Merupakan kurikulum nasional wajib diikuti seluruh

mahasiswa

f. Kep. Dirjen Dikti No. 19/Dikti/1997 menentukan antara lain:

1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn,

merupakan salah satu komponen yang tidak dapat

dipisahkan dari kelompok MKU dalam susunan kurikulum

inti

2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk

ditempuh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi

g. Kep. Dirjen Dikti No. 151/Dikti/Kep/2000 tanggal 15 Mei 2000

tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti MPK, menentukan:

1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn,

merupakan salah satu komponen yang tidak dapat

dipisahkan dari kelompok MPK dalam susunan kurikulum

inti Perguruan Tinggi di Indonesia

2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk

ditempuh setiap mahasiswa pada Perguruan Tinggi untuk

program diploma III, dan strata 1.

h. Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus,

menentukan antara lain:

1) Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan salah satu

komponen yang tidak dapat dipisahkan dari MPK

2) MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti Perguruan

Tinggi di Indonesia

3) Mata Kuliah PKn adalah MK wajib untuk diikuti oleh setiap

mahasiswa pada Perguruan Tinggi untuk program

Diploma/Politeknik, dan Program Sarjana.

Page 5: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

i. Kep. Mendiknas No. 232/U/2000 tanggal 20 Desember 2000

tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi

dan Penilaian Belajar Mahasiswa menentukan antara lain:

1) Kurikulum inti Program sarjana dan Program diploma,

terdiri atas:

a) Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian

(MPK)

b) Kelompok Mata kUliah Keilmuan dan Keterampilan

(MKK)

c) Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB)

d) Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB)

e) Kelompok Mata Kuliah Kehidupan Bermasyarakat

(MKB)

2) MPK adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk

mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan

bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur,

berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai

rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

3) Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan

pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi

yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara

nasional

4) MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam

kurikulum setiap program studi/kelompok program studi

terdiri dari bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila,

Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

5) MPK untuk PT berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari

Pendidikan Bahasa, Pendidikan Agama, dan Pendidikan

Kewarganegaraan.

D. Perkembangan Materi Pendidikan Kewarganegaraan

1. Awal 1979, materi disusun oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti yang

terdiri dari Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, politik dan

Strategi Nasional, Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan

Nasional, sistem Hankamrata. Mata kuliah ini bernama Pendidikan

Kewiraan.

2. Tahun 1985, diadakan penyempurnaan oleh Lemhannas dan Dirjen

Dikti, terdiri atas pengantar yang bersisikan gambaran umum

tentang bahan ajar PKn dan interelasinya dengan bahan ajar mata

kuliah lain, sedangkan materi lainnya tetap ada.

3. Tahun 1995, nama mata kuliah berubah menjadi Pendidikan

Kewarganegaraan yang bahan ajarnya disusun kembali oleh

Lemhannas dan Dirjen Dikti dengan materi pendahuluan, wawasan

nusantara, ketahanan nasional, politik strategi nasional, politik dan

strategi pertahanan dan keamanan nasional, sistem pertahanan dan

keamanan rakyat semesta.

Page 6: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

4. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi

pengantar dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan

hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik

dan strategi nasional

5. Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi berisi

pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan

nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional.

E. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum Pendidikan

Kewarganegaraan

a. Landasan Ilmiah

1. Dasar Pemikiran PKn

Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan

bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu

mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya.

Untuk itu diperlukan pembekalan IPTEKS yang berlandaskan

nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai budaya

bangsa. Nilai-nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan

pegangan hidup setiap warga negara dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Objek Pembahasan PKn

Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang

mempunyai objek, metode, sistem dan bersifat universal. Objek

pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material

maupun objek formal.

Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji

oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Objek material PKn adalah

segala hal yang berkaitan dengan warga negara baik yang

empirik maupun yang non empirik, yang meliputi wawasan,

sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan

negara.

Objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk

membahas objek material tersebut. Objek formal PKn adalah

hubungan antara warga negara dengan negara dan Pendidikan

Pendahuluan Bela Negara.

Objek pembahasan PKn menurut Kep. Dirjen Dikti No.

267/dikti/Kep./ 2000 meliputi pokok bahasan sebagai berikut:

1) Pengantar PKn

a. Hak dan kewajiban warga negara

b. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara

c. Demokrasi Indonesia

d. Hak Asasi Manusia

2) Wawasan Nusantara

3) Ketahanan Nasional

4) Politik dan Strategi Nasional

3. Rumpun Keilmuan

Page 7: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

PKn (Kewiraan) dapat disejajarkan dengan civics education yang

dikenal diberbagai negara. PKn bersifat interdisipliner (antar

bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan

yang membangun ilmu kewarganegaraan diambil dari berbagai

disiplin ilmu seperti hukum, politik, administrasi negara,

sosiologi, dsb

KONSTITUSI (Suatu Telaah UUD 1945 Dalam Bingkai Sejarah Indonesia)

A. Pendahuluan

Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja

yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah

negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal

(permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara.

Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-

undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia

menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-Undang Dasar.

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai

sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang

disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak

mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri.

Pengertian konstitusi menurut para ahli, diantaranya:

1) K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem

ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan

yang membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan

suatu negara.

Page 8: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

2) Herman heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD.

Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan

politis.

3) Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang

terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai

kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara

angkatan perang, partai politik dan sebagainya.

4) L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis

maupun peraturan tak tertulis.

5) Koernimanto soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa

latin cisme yang berarati bewrsama dengan dan statute yang

berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti

menetapkan secara bersama.

6) Carl schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian yaitu:

a) Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4 sub pengertian

yaitu;

- Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup

hukum dan semua organisasi yang ada di dalam

negara.

- Konstitusi sebagai bentuk Negara

- Konstitusi sebagai faktor integrasi

- Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum

yang tertinggi di dalam negara.

b) Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi 2 pengertian

yaitu konstitusi sebagai tuntyutan dari golongan borjuis

agar haknya dapat dijamin oleh penguasa dan konstitusi

sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi

dapat berupa tertulis) dan konstitusi dalam arti materiil

(konstitusi yang dilihat dari segi isinya).

c) konstitusi dalam arti positif adalah sebagai sebuah

keputusan politik yang tertinggi sehingga mampu mengubah

tatanan kehidupan kenegaraan.

d) konstitusi dalam arti ideal yaitu konstitusi yang memuat

adanya jaminan atas hak asasi serta perlindungannya.

B. Tujuan Konstitusi

keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara

berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata

negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata

negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas

dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.

Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan:

a) berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara

bekerjanya,

b) hubungan antar lembaga negara,

c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan

d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta

e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan

perkembangan zaman.

Page 9: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat

dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada

dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara

bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga

negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam

konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau kurang diatur

dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang

telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak

negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar

konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam

konstitusi.

Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen

yang terkenal yaitu “Magna Charta” yang merupakan dokumen

kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi manusia. Pada saat itu

raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas

daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna

Charta tersebut. Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin

hak-hak serta wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum

dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat

yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan-

bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai

pemegang puncak kekuasaan pemerintahan.

Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam

garis besarnya (pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja

Inggris dan kemerdekaan bergerak semua orang bebas (freeman) dalam

kerajaan Inggris. Di samping itu dijamin dan dilindungi, antara lain:

a. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian

dari siapapun tanpa membayar harganya seketika itu juga kecuali

apabila si pemilik memberi izin menangguhkan pembayaran

(pasal 28);

b. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau

kendaraan dari seorang yang bebas (freeman) untuk keperluan

pengangkutan tanpa izin si pemilik (pasal 30);

c. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu

untuk keperluan raja tanpa persetujuan si pemilik;

Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain

ditentukan:

a. Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan

seorang di muka pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang-

orang yang dipercaya (pasal 38);

b. Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke

dalam penjara atau dilarang berdiam di satu daerah tertentu

kecuali atas putusan oleh penguasa setempat atau dibenarkan

oleh aturan negara (pasal 39);

c. Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan

pelaksanaan haknya atau peradilan (pasal 40).

Dalam banyak hal ditentukan juga bahwa siapapun boleh

meninggalkan kerajaan atau kembali dengan sehat dan aman melalui

Page 10: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

daratan atau perairan (laut) kecuali ada perang dan karena ditahan

sesuai dengan aturan negara. Yang sangat menarik adalah aturan

mengenai pengangkatan/pengisian berbagai jabatan terkait dengan

penegakan hukum, misalnya ditentukan tidak seorangpun diangkat

sebagai hakim, polisi atau jaksa, kecuali apabila orang itu benar-benar

mengetahui aturan hukum negara, beritikad baik untuk melakukan

fungsi jabatan yang diisinya.

Ketentuan akhir dari Magna Charta antara lain menyatakan

gereja Inggris adalah merdeka dan semua orang dalam kerajaan akan

menikmati kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas sebaik-baiknya dalam

suasana damai tenteram sampai turun temurun atas itikad baik raja dan

para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna Charta ini diulangi lagi oleh

raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of England and Of The

Liberties Of Forest”.

C. Bentuk-Bentuk dan Materi Muatan Konstitusi

1) Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:

a) Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen

constitution) adalah aturan-aturan pokok dasar negara,

bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar

lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam

persekutuan hukum negara.

b) Konstitusi tidak tertulis/konvensi (nondokumentary

constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang

sering timbul. Adapun syarat-syarat konvensi adalah:

- Diakui dan dipergunakan berulang-ulang dalam

praktik penyelenggaraan negara.

- Tidak bertentangan dengan UUD 1945

- Memperhatikan pelaksanaan UUD 1945.

2) Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi:

a) konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam

penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan

pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara.

b) Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita-cita

sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem

ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa

itu.

3) Bedasarkan sifat dari konstitusi yaitu:

a) Flexible/luwes, apabila konstitusi/Undang Undang Dasar

memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan.

b) Rigid/kaku apabila konstitusi/Undang Undang Dasar jika sulit

untuk diubah.

4) Unsur/substansi sebuah konstitusi yaitu:

a) Menurut sri sumantri konstitusi berisi 3 hal pokok yaitu:

- Jaminan terhadap Ham dan warga negara

- Susunan ketatanegaraan yang bersdifat fundamental

- Pembagian dan poembatasan tugas ketatanegaraan

Page 11: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

b) Menurut Miriam budiarjo, konstitusi memuat tentang:

Organisasi, Negara, HAM, Prosedur penyelesaian masalah

pelanggaran hukum, dan Cara perubahan konstitusi.

c) Menurut koerniatmanto soetopawiro, konstitusi berisi

tentang:

- Pernyataan ideologis;

- Pembagian kekuasaan negara;

- Jaminan HAM (hak asasi manusia);

- Perubahan konstitusi;

- Larangan perubahan konstitusi.

D. Sejarah Konstitusi Indonesia

Sejak proklamasi 17 agustus 1945 sampai saat ini telah berlaku

tiga macam Undang-Undang Dasar dalam beberapa periode yaitu:

(1) Periode 18 Agustus 1945-27 Desember 1949,

(2) Periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950

(3) Periode 17 agustus 1950-5 Juli 1959

(4) Periode 5 Juli 1959 (saat ini UUD 1945 telah diamandeman).

Saat RI diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,

Republik baru ini belum mempunyai Undang-undang Dasar, sehingga

oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945 disahkan UUD 1945 sebagai

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Akan tetapi perubahan peta

perpolitikan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda telah

membawa dampak yang besar rongrongan Belanda dalam RI masih

cukup kuat dengan mencoba mendirikan Negara Sumatera Timur, NIT,

Negara Pasundan dll, sejalan dengan usaha untuk meruntuhkan RI

terjadilah Agresi I tahun 1947 dan Agresi II 1948 dimana akibat dari itu

PBB mengadakan KMB di Den Haag.

Dengan disetujuinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB)

pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka terbentuklah Negara

Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagaimana dikemukakan oleh Riclef,

dari konferensi tersebut disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan

kedaulatannya kepada RIS, antara Belanda dan RIS akan membentuk

suatu uni longgar dengan ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. RIS ini

terdiri dari 16 negara bagian yang masing-masing negara bagian tersebut

memiliki luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Negara-negara

bagian terpenting dari Republik Indonesia Serikat itu ialah Negara

Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan dan Negara

Indonesia Timur. Untuk itu perlu pula di bentuk alat-alat kelengkapan

negara yang salah satu faktor pentingnya ialah UUD maka dibuatlah

Konstitusi RIS.

Atas desakan yang kuat dari rakyat maka pada tanggal 8 April

1950 dieselenggarakanlah konfrensi segitiga antara Republik Indonesia

Serikat, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur, dimana

kedua negara bagian tersebut memberikan mandat kepada Hatta sebagai

Perdana Menteri RIS pada tanggal 12 Mei 1950 untuk membentuk negara

kesatuan, setelah terbentuk negara kesatuan tersebut pada tanggal 19

Mei 1950 kemudian dirancanglah Undang-Undang Dasar negara

kesatuan oleh panitia gabungan dari Republik Indonesia Serikat dengan

Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU No. 7

Page 12: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

tahun 1950 ditetapkan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950,

berdasarkan pasal 127 a, pasal 190 dan pasal 191 ayat 2 Konstitusi RIS.

Dalam perkembangannya, perbincangan mengenai konstitusi

mengalami masa vacum (atau reda) sama sekali sejak Dekrit Presiden 5

Juli 1959 sampai akhir pemerintahan Presiden Soeharto (1998). Trauma

atas perdebatan ideologis dan pengkotakan masyarakat berdasar sikap

politik kaum elitnya di Konstituante menyebabkan UUD 1945 diposisikan

sebagai "jalan keluar" paling aman bagi negara Indonesia.

Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 berhasil membahas dua

hal yaitu pembatasan kekuasaan Presiden dan pemberdayaan DPR. Apa

makna perubahan UUD 1945 yang pertama kali dilakukan ini? Ada tiga

aspek: desakralisasi UUD 1945; jaminan konstitusional berkembangnya

demokrasi; dan proporsionalitas kekuasaan eksekutif dan legislative.

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya

perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan

perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru,

kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di

tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya

pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga dapat menimbulkan multitafsir),

serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara

negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah

menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan

rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan

negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan

aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan

kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap

mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau

selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

E. Mekanisme Perubahan Konstitusi

C.F. Strong menyebutkan empat cara mengubah konstitusi.

a) Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen

dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan

syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan.

b) Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum,

yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk

diputuskan oleh rakyat melalui referendum.

c) Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara

bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari

parlemen federal atau sejumlah negara bagian.

d) Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau

konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan

pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi

atau konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih

dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota

konstituante.

Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan

terhadap UUD 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) yang

Page 13: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

sebelum perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan

rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat.”

Hal ini membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan

wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman terhadap

MPR dan Pimpinan MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga

tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan

rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara

dengan lembaga negara lainnya, yaitu: Lembaga Kepresidenan, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa

Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.

Berubahnya kedudukan MPR juga berimplikasi kepada tugas

dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang

untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika

Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur

dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Selain itu, MPR juga tidak

mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar

daripada haluan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945

sebelum diubah.

Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut

memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. MPR masih berwenang untuk:

a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;

b) melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil

pemilihan umum dalam Sidang Paripurna MPR;

c) memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil

Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di

dalam Sidang Paripurna MPR;

d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden

mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan

kewajibannya dalam masa jabatannya; memilih Wakil Presiden

dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan

jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-

lambatnya dalam waktu enam puluh hari;

e) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya

berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua

paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh

partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon

Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama

dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa

jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.

Berikut ini adalah mekanisme pelaksanaaan tugas dan

wewenang MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 setelah amandemen,

khususnya mengenai ketentuan perubahan UUD 194, yaitu:

a) Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari

jumlah anggota MPR [Pasal 37 (1)];

Page 14: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

b) diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang

diusulkan untuk diubah beserta alasannya [Pasal 37 (2)****];

c) sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah

anggota MPR [Pasal 37 (3)];

d) Putusan dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50%

+ 1 anggota dari seluruh anggota MPR [Pasal 37 (4)];

e) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia

tidak dapat dilakukan perubahan [Pasal 37 (5)].

Berubahnya kedudukan MPR memang sering diartikan salah

baik yang terkait dengan eksistensi lembaga maupun Pimpinan MPR, ia

juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. Sebagai lembaga

negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR

secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana

tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2)

dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam

pasal-pasal dan ayat-ayat itu, fungsi dan kewenangan MPR sekarang,

substansinya adalah menyangkut hal-hal yang sangat penting dan

mendasar dalam kehidupan bernegara.

Sebagai contoh adalah adalah wewenang MPR dalam hal

terjadinya impeachment yang tentu saja memperkuat sistem presidensial

kita. Dengan demikian perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang

MPR tidak berarti menghilangkan eksistensi MPR dan Pimpinannya serta

peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR masih

mempunyai peran penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Peran keseharian MPR lainnya juga terlihat dari upaya MPR mengelola

setiap wacana usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan peningkatan

pemahaman konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

melalui sosialisasi UUD NRI 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003

Bambang Widjojanto dkk. (Editor), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka sinar harapan, 2002

Lapian AP., et al. Terminology Sejarah 1945-1950 dan 1950-1959. Depdikbud, Jakarta, 1996

Marwati Djoened P dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Balai Pustaka, Jakarta, 1984

Mahfud MD Moh., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999

Ni’matul Huda, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta, 2008

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987

Page 15: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DI INDONESIA

(Mengenal Peraturan Perundang-Undangan Pasca Reformasi)

A. Pengertian

Secara etimologis, Perundang-undangan berasal dari istilah

‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an

menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang.

Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada

kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika

sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti

proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan

perundang-undangan.

Menurut Penulis, istilah perundang-undangan untuk

menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan

keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-

undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam

Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan

merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai

jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai

kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga

yang berwenang.

Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan

Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:

1. bersifat tertulis

2. mengikat umum

3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.

Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang

dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab

dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya

untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada

pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena

dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern

anggotanya saja. Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia

berdasarkan UUD 1945, misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-

undangan, yang jelas-jelas memenuhi tiga kriteria di atas adalah

“Undang-undang”.

B. Asas Perundang-Undangan

Beberapa asas dalam perundang-undangan adalah:

a. asas Undang-undang tidak berlaku surut

b. asas Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

c. asas Lex Specialis derogat Lex Generalis.

d. asas Lex posteriore derogat lex priori (Udang-undang yang berlaku

belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku

terdahulu/lama).

Page 16: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

e. asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini

misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2

Undang-undang Dasar Sementara 1950.

Sementara itu, I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul

“Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi

asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen

van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang

material.

Asas formal meliputi diantaranya:

a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);

c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

e. asas konsensus (het beginsel van consensus).

Asas-asas yang material meliputi:

a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar;

b. asas tentang dapat dikenali;

c. asas perlakuan yang sama dalam hukum;

d. asas kepastian hukum;

e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

patut itu meliputi juga:

a. asas tujuan yang jelas;

b. asas perlunya pengaturan;

c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;

d. asas dapatnya dilaksanakan;

e. asas dapatnya dikenali;

f. asas perlakuan yang sama dalam hukum;

g. asas kepastian hukum;

h. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.

C. Dasar Peraturan Perundang-Undangan

Sejak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah dilakukan

perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Pada tahun 1996, dengan Ketetapan MPR No.

XX/MPR/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan

perundang-undangan Indonesia adalah:

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden

6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti:

- Peraturan Menteri

Page 17: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

- Instruksi Menteri

- Dan lain-lainnya

Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai

daerah di Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta

semakin kuatnya ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai

mengubah konsep otonomi daerah. Maka lahirlah Undang-Undang No. 22

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No.

32 Tahun 2004) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (telah diganti dengan UU No.

33 Tahun 2004). Perubahan ini tentu saja berimbas pada tuntutan

perubahan terhadap tata urutan peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Karena itulah, dibuat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000

Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang.

Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak dimasukkan dalam tata

urutan peraturan perundang-undangan, setelah lahirnya Ketetapan MPR

No. III Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata urutan tersebut

setelah Keputusan Presiden.

Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di

Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden

7. Peraturan Daerah.

Pada tanggal 24 Mei 2004 lalu, DPR telah menyetujui RUU

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi UU No. 10

Tahun 2004, yang berlaku efektif pada bulan November 2004.

Keberadaan undang-undang ini sekaligus menggantikan pengaturan tata

urutan peraturan perundang-undangan yang ada dalam Ketetapan MPR

No. III Tahun 2000.

Tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10

Tahun 2004 ini diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut.

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang

3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden

5. Peraturan Daerah, yang meliputi:

- Peraturan Daerah Provinsi

- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

- Peraturan Desa.

D. Definisi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan:

a. UUD 1945

Page 18: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-

undangan. Naskah resmi UUD 1945 adalah:

- Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal dan

diberlakukan kembali dengan pada tanggal serta

dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal

- Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan

Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing

hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).

Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam

Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002

sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

b. Undang-Undang

Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh dengan persetujuan bersama.

Materi muatan Undang-Undang adalah:

- Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi:

hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan

penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan

negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan

dan kependudukan, serta keuangan negara.

- Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur

dengan Undang-Undang.

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh dalam hal

ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi

muatan Undang-Undang.

d. Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang

ditetapkan oleh untuk menjalankan sebagaimana mestinya. Materi

muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan

Undang-Undang sebagaimana mestinya.

e. Peraturan Presiden

Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah

materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk

melaksanakan.

f. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur

atau bupati/walikota).

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan

dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

Page 19: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta

penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih

tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004

…………………, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Indo-Hill Co, Jakarta, 1992

…………………, (dkk), Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.

Jimly Assiddigie, dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendarial dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.

KETAHANAN NASIONAL

(Studi Penguatan Nasionalisme & Cinta Tanah Air Bagi Mahasiswa)

A. Pendahuluan

Terbentuknya negara Indonesia dilatar belakangi oleh perjuangan

seluruh bangsa. Sudah sejak lama Indonesia menjadi incaran banyak

negara atau bangsa lain, karena potensinya yang besar dilihat dari

wilayahnya yang luas dengan kekayaan alam yang banyak. Kenyataannya

ancaman datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Terbukti,

setelah perjuangan bangsa tercapai dengan terbentuknya NKRI, ancaman

dan gangguan dari dalam juga timbul, dari yang bersifat kegiatan fisik

sampai yang idiologis. Meski demikian, bangsa Indonesia memegang satu

komitmen bersama untuk tegaknya negara kesatuan Indonesia.

Dorongan kesadaran bangsa yang dipengaruhi kondisi dan letak

geografis dengan dihadapkan pada lingkungan dunia yang serba berubah

akan memberikan motivasi dlam menciptakan suasana damai.

Pengertian ketahanan nasional adalah kondisi dinamika, yaitu

suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu

mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam menghadapi dan

mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang

dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak

Page 20: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta

kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dalam perjuangan mencapai

cita-cita/tujuan nasionalnya bangsa Indonesia tidak terhindar dari

berbagai ancaman-ancaman yang kadang-kadang membahayakan

keselamatannya. Cara agar dapat menghadapi ancaman-ancaman

tersebut, bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan, keuletan, dan

daya tahan yang dinamakan ketahanan nasional.

Kondisi atau situasi dan juga bisa dikatakan sikon bangsa kita ini

selalu berubah-ubah tidak statik. Ancaman yang dihadapi juga tidak

sama, baik jenisnya maupun besarnya. Karena itu ketahanan nasional

harus selalu dibina dan ditingkatkan, sesuai dengan kondisi serta

ancaman yang akan dihadapi. Dan inilah yang disebut dengan sifat

dinamika pada ketahanan nasional. Kata ketahanan nasional telah sering

kita dengar disurat kabar atau sumber-sumber lainnya. Mungkin juga

kita sudah memperoleh gambarannya.

Untuk mengetahui ketahanan nasional, sebelumnya kita sudah

tau arti dari wawasan nusantara. Ketahanan nasional merupakan kondisi

dinamik yang dimiliki suatu bangsa, yang didalamnya terkandung

keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatan

nasional. Kekuatan ini diperlukan untuk mengatasi segala macam

ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang langsung atau tidak

langsung akan membahayakan kesatuan, keberadaan, serta

kelangsungan hidup bangsa dan negara. Bisa jadi ancaman-ancaman

tersebut dari dalam ataupun dari luar.

Beberapa ancaman dalam dan luar negeri telah dapat diatasi

bangsa Indonesia dengan adadnya tekad bersama-sama menggalang

kesatuan dan kecintaan bangsa. Berbagai pemberontakan PKI, RMS

(Republik Maluku Selatan), PRRI Permesta dan juga gerakan sparatis di

Timor- Timur yang pernah menyatakan dirinya berintegrasi dengan

Indonesia, meskipun akhirnya kenyataan politik menyebabkan lepasnya

kembali daerah tersebut. Ancaman sparatis dawasa ini ditunjukan

dengan banyaknya wilayah atau propinsi di Indonesia yang

menginginkan dirinya merdeka lepas dari Indonesia seperti Aceh, Riau,

Irian Jaya, dan beberapa daerah lain begitu pila beberapa aksi provokasi

yang mengganggu kestabilan kehidupan sampai terjadinya berbagai

kerusuhan yang diwarnai nuansa etnis dan agama dan gangguan dari luar

adalah gangguan dari negara lain yang ingin menguasai pulau-pulau kecil

yang masih berada di didalam wilayah NKRI namun dekat dengan

wilayah negara lain. Bangsa Indonesia telah berusaha menghadapi semua

ini dengan semangat persatuan dan keutuhan, meskipun demikian

gangguan dan ancaman akan terus ada selama perjalanan bangsa, maka

diperlukan kondisi dinamis bangsa yang dapat mengantisipasi keadaan

apapun terjadi dinegara ini.

B. Perkembangan Ketahanan Nasional

Dewasa ini istilah ketahanan nasional sudah dikenal diseluruh

Indonesia. Dapat dikatakan bahwa istilah itu telah menjadi milik nasianal.

Ketahanan Nasional baru dikenal sejak permulaan tahun 60 an. Pada saat

itu istilah itu belum diberi devenisi tertentu. Disamping itu belum pula

Page 21: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

disusun konsepsi yang lengkap menyeluruh tentang ketahanan nasional.

Istilah ketahanan nasional pada waktu itu dipakai dalam rangka

pembahasan masalah pembinaan ter itorial atau masalah pertahanan

keamanan pada umumnya.

Walaupun banyak instansi maupun perorangan pada waktu itu

menggunakan istilah ketahanan nasional, namun lembaga yang secara

serius dan terus-menerus mempelajari dan membahas masalah

ketahanan nasional adalah lembaga pertahanan nasional atau lemhanas.

Sejak Lemhanas didirikan pada tahun 1965, maka masalah ketahanan

nasional selalu memperoleh perhatian yang besar.

Sejak mulai dengan membahas masalah ketahanan nasional

sampai sekarang, telah dihasilkan tiga konsepsi.Pengertian atau devenisi

pertama Lemhanas, yang disebut dalam konsep 1968 adalah sebagai

berikut: Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan kita dalam

menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar maupun dari

dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan

kelangsungan hidup Negara dan bangsa Indonesia.

Pengertian kedua dari Lemhanas yang disebut dalam ketahanan

nasional konsepsi tahun 1969 merupakan penyempurnaan dari konspsi

pertama yaitu: Ketahanan nasional adalah keuletan dan daya tahan suatu

bangsa yang mengandung kemampuan untuk memperkembangkan

kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang

dari luar maupun yang datang dari dalam yang langsung maupun tidak

langsung membahayakan kelangsungan hidup Negara Indonesia.

Ketahanan nasional merupakan kodisi dinamis suatu bangsa,

berisi keuletan dan ketangguahan, yang mengandung kemampuan

mengembangkan kekuatan nasional,didalam menghadapi didalam

menghadapi dan mengisi segala tantangan, ancaman ,hambatan, serta

gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung

maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas,

kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mengejar

perjuangan nasional.

Apabila kita bandingkan dengan yang terdahulu, maka akan

tampak perbedaan antara lain seperti berikut :

a. Perumusan 1972 bersifat universal, dalam arti bahwa rumusan

tersebut dapat diterapkan dinegara-negara lain, terutama di

negara-negara yang sedang berkembang.

b. Tidak lagi diusahakan adanya suatu devenisi, sebagai gantinya

dirumuskan apa yang dimaksud kan dengan istilah ketahanan

nasional.

c. Jika dahulu ketahanan nasional di identikkan dengan keuletan

dan daya tahan, maka ketahanan nasional merupakan suatu

kondisi dinamis yang berisikan keuletan dan ketangguhan, yang

berarti bahwa kondisi itu dapat berubah.

d. Secara lengkap dicantumkan tantangan, ancaman , hambatan,

serta ganguan.

e. Kelangsungan hidup lebih diperinci menjadi integritas, identitas,

dan kelangsungan hidup.

Page 22: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jendral

Suharto di depan siding DPR tanggal 16 Agustus 1975, dikatakan bahwa

ketahanan nsional adalah tingkat keadaan dan keuletan dan ketangguhan

bahwa Indonesia dalam menghimpun dan mengarahkan kesungguhan

kemampuan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional

yang mampu dan sanggup menghadapi setiap ancaman d an tantangan

terhadap keutuhanan maupun kepribadian bangsa dan mempertahankan

kehidupan dabn kelangsungan cita-citanya. Karena keadaan selalu

berkembang serta bahaya dan tantangan selalu berubah, maka

ketahanan nasional itu juga harus dikembangkan dan dibina agar

memadai dengan perkembangan keadaan. Karena itu ketahanan nasional

itu bersift dinamis, bukan statis.

Ikhtiar untuk mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh ini

bukanlah hl baru bagi kita. Tetapiu pembinaan dan peningkatannya

sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan fasililitas yang tersedi pula.

Pembinaan ketahanan nasional kita dilakukan dipelgai bidang: ideology,

politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam, baik secara serempak

maupun menurut prioritas kebutuhan kita.

C. Asas-Asas dan Sifat Ketahanan Nasional

Asas ketahanan nasional adalah tata laku yang didasari nilai-nilai

yang tersusun berlandaskan Pancasil, UUD 1945 dan Wawasan

Nusantara. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

a) Asas kesejahtraan dan keamanan

Asas ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan wajib

dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok. Didalam

kehidupan nasional berbangsa dan bernegara, unsur kesejahteraan

dan keamanan ini biasanya menjadi tolak ukur bagi mantap/tidaknya

ketahanan nasional.

b) Asas komprehensif/menyeluruh terpadu

Artinya, ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan.

Aspek-aspek tersebut berkaitan dalam bentuk persatuan dan

perpaduan secara selaras, serasi, dan seimbang.

c) Asas kekeluargaan

Asas ini bersikap keadilan, kebersamaan, kesamaan, gotong royong,

tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Dalam hal hidup dengan asas kekeluargaan

ini diakui adanya perbedaan, dan kenyataan real ini dikembangkan

secara serasi dalam kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang

bersifat merusak/destruktif.

Beberapa sifat ketahanan nasional yang ada mingkin akan

dijabarkan seperti dibawah ini :

- Mandiri

Maksudnya adalah percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri

dan tidak mudah menyerah. Sifat ini merupakan prasyarat untuk

Page 23: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

menjalin suatu kerjasama. Kerjasama perlu dilandasi oleh sifat

kemandirian, bukan semata-mata tergantung oleh pihak lain.

- Dinamis

Artinya tidak tetap, naik turun tergantung situasi dan kondisi bangsa

dan negara serta lingkungan strategisnya. Dinamika ini selalu

diorientasikan kemasa depan dan diarahkan pada kondisi yang lebih

baik.

- Wibawa

Keberhasilan pembinaan ketahanan nasional yang berlanjut dan

berkesinambungan tetap dalam rangka meningkatkan kekuatan dan

kemampuan bangsa. Dengan ini diharapkan agar bangsa Indonesia

mempunyai harga diri dan diperhatikan oleh bangsa lain sesuai

dengan kualitas yang melekat padanya. Atas dasar pemikiran diatas,

maka berlaku logika, semakin tinggi tingkat ketahanan nasional,

maka akan semakin tinggi wibawa negara dan pemerintah sebagai

penyelenggara kehidupan nasional.

- Konsultasi dan kerjasama

Hal ini dimaksudkan adanya saling menghargai dengan

mengandalkan pada moral dan kepribadian bangsa. Hubungan kedua

belah pihak perlu diselenggarakan secara komunikatif sehingga ada

keterbukaan dalam melihat kondisi masing-masing didalam rangka

hubungan ini diharapkan tidak ada usaha mengutamakan konfrontasi

serta tidak ada hasrat mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik

semata.

D. Kedudukan dan Fungsi Ketahanan Nasional

Kedudukan dan fungsi ketahanan nasional dapat dijelaskan

sebagai berikut :

a) Kedudukan :

Ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diyakini

kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia serta merupakan cara

terbaik yang perlu di implementasikan secara berlanjut dalam rangka

membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan,

wawasan nusantara dan ketahanan nasional berkedudukan sebagai

landasan konseptual, yang didasari oleh Pancasila sebagai landasan

ideal dan UUD sebagai landasan konstisional dalam paradigma

pembangunan nasional.

b) Fungsi :

Ketahanan nasional nasional dalam fungsinya sebagai doktrin dasar

nasional perlu dipahami untuk menjamin tetap terjadinya pola pikir,

pola sikap, pola tindak dan pola kerja dalam menyatukan langkah

bangsa yang bersifat inter-regional (wilayah), inter-sektoral maupun

multi disiplin. Konsep doktriner ini perlu supaya tidak ada cara

berfikir yang terkotak-kotak (sektoral). Satu alasan adalah bahwa bila

penyimpangan terjadi, maka akan timbul pemborosan waktu, tenaga

dan sarana, yang bahkan berpotensi dalam cita-cita nasional.

Page 24: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Ketahanan nasional juga berfungsi sebagai pola dasar pembangunan

nasional. Pada hakikatnya merupakan arah dan pedoman dalam

pelaksanaan pembangunman nasional disegala bidang dan sektor

pembangunan secara terpadu, yang dilaksanakan sesuai dengan

rancangan program.

E. Ketahanan Nasional dan Konsepsi Ketahanan Nasional

Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi

segenap kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan

ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan

nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,

hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar,

untuk menjamin identitas, integrasi dan kelangsungan hidup bangsa dan

negar serta perjuangan mencapai tujuan nasional dapat dijelaskan

seperti dibawah ini :

- Ketangguhan adalah kekuatan yang menyebabkan seseorang atau

sesuatu dapat bertahan, kuat menderita atau dapat menanggulangi

beban yang dipikulnya.

- Keuletan adalah usaha secara giat dengan kemampuan yang keras

dalam menggunakan kemampuan tersebut diatas untuk mencapai

tujuan.

- Identitas yaitu ciri khas suatu bangsa atau negara dilihat secara

keseluruhan. Negara dilihat dalam pengertian sebagai suatu

organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah dengan penduduk,

sejarah, pemerintahan, dan tujuan nasional serta dengan peran

internasionalnya.

- Integritas yaitu kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional

suatu bangsa baik unsur sosial maupun alamiah, baik bersifat

potensional maupun fungsional.

- Ancaman yang dimaksud disini adalah hal/usaha yang bersifat

mengubah atau merombak kebijaksanaan dan usaha ini dilakukan

secara konseptual, kriminal dan politis.

- Hambatan dan gangguan adalah hal atau usaha yang berasal dari luar

dan dari diri sendiri yang bersifat dan bertujuan melemahkan atau

menghalangi secara tidak konsepsional.

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008

Lemhanas, Bunga Rampai: Ketahanan Nasional, Konsep & Teori, PT. Pustaka Utama, Jakarta, 1998

Page 25: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Saafroedin Bahar et., al., Pendidikan Pendahuluan Bela Negara: Tahap Lanjutan, Intermedia, Jakarta, 1989

LEMBAGA NEGARA

(Dinamika Lembaga-lembaga Negara Mandiri di Indonesia Pasca

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945)

A. Pendahuluan

Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya lembaga-lembaga

negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum

yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada

yang dibentuk dengan keputusan presiden saja.

Dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa

lembaga-lembaga negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu

parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang

sedang dihadapi. Hal ini mengakibatkan komisi-komisi itu berjalan

secara sendiri-sendiri dan tidak saling melengkapi satu sama lain,

sehingga dalam implikasi yang lebih jauh dapat mengakibatkan

efektivitas keberadaan komisi-komisi itu dalam struktur ketatanegaraan

masih belum tampak berjalan sesuai dengan tujuan mulia pembentukan

lembaga yang ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.

B. Pasang Surut Lembaga Negara

Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju

demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut

adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat

personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini

mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap

sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak

cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan

pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan

kehakiman. Sekadar menunjuk contoh, di Inggris komplikasi persoalan-

persoalan kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan

konfigurasi sosial-politik berupa Revolusi Industri pada abad ke-18 dan

19 tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan mekanisme

kelembagaan yang telah ada sebelumnya, melainkan direspons dengan

membentuk badan-badan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh

parlemen. Pembentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap

sebagai jawaban yang paling tepat dan diidealkan mampu menangani

dan menyelesaikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan

melalui cara yang terlembagakan dengan baik.

Oleh karena itu, bersamaan dengan derasnya komplikasi

persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul itu ratusan badan

yang sama sekali baru didirikan dengan tujuan untuk melakukan tugas-

tugas semacam (1) membuat peraturan, seperti Komisi Keselamatan dan

Kesehatan Kantor Perdagangan yang Jujur (The Health and Safety

Page 26: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Commission The Office of Fair Trading); (2) memberikan nasihat, seperti

Komisi Daerah (Countryside Commission); dan (3) menyelesaikan

perselisihan, seperti Komisi untuk Persamaan Rasial (The Commission for

Racial Equality). Alasan utama yang ditunjuk berkenaan dengan

pembentukan badan-badan tersebut adalah untuk meminimalisasi

pengaruh kaum aristokrat dan memberikan penegasan terhadap konsep

pemisahan kekuasaan. Nomenklatur yang diberikan untuk lembaga-

lembaga itu pun berlainan satu sama lain, seperti korporasi publik,

quoqos (badan non-pemerintah semiotonom), badan non-departemen,

badan publik, komisi, dewan, atau badan ad hoc yang biasanya dasar

pembentukannya dapat berupa undang-undang, piagam kerajaan,

tindakan administratif, atau perjanjian.

Pembentukan lembaga-lembaga ekstra serupa juga terjadi di

Amerika Serikat seiring dengan meluasnya peran parlemen dalam

struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat

yang semakin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang

berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban

baru yang harus segera ditemukan. Oleh karena itu, parlemen Amerika

Serikat membentuk suatu badan yang bertanggung jawab kepadanya

dalam pelbagai urusan khusus berkenaan dengan fungsi legislasi, seperti

Komisi Komunikasi Federal (The Federal Communications Commission),

Dewan Penerbangan Sipil (Civil Aeronautics Board), Komisi Sekuritas dan

Kurs (Securities and Exchange Commission), Dewan Kerja Sama Buruh

Nasional (National Labor Relation Board), Komisi Kekuasaan Federal

(Federal Power Commission), Komisi Perdagangan Antarnegara Bagian

(Interstate Commerce Commission), Komisi Perdagangan Federal (Federal

Trade Commission). Dalam catatan Jimly Asshiddiqie, di seluruh Amerika

Serikat, badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang

merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas

menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan semilegislatif.

Kedudukan badan-badan khusus itu di Amerika Serikat meskipun

secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan, tetapi

pengangkatan dan pemberhentian para anggota badan-badan khusus itu

ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres.

Sementara itu, di negara-negara Skandinavia (Swedia, Denmark,

Finlandia, dan Norwegia), Perancis, Selandia Baru, Guyana Mauritius, dan

lain-lain, secara khusus juga membentuk lembaga tersendiri di luar

kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan

kekuasaan kehakiman untuk melindungi warga negaranya dari tindakan-

tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Lembaga ini tidak berhak

mengadili atau memiliki fungsi peradilan terhadap keluhan warga negara

atas suatu tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Akan

tetapi, lembaga ini dapat melakukan penyelidikan atas persoalan

tersebut. Nomenklatur untuk lembaga semacam ini disebut secara

berbeda-beda di berbagai negara. Swedia, misalnya, menyebutnya

dengan istilah Ombudsman Yustisi (Justitie Ombudsman). Sementara itu,

Perancis dengan Komisioner Tinggi Pertahanan (Haut Commissionaire

Defenseur), dan Selandia Baru dengan Komisi Parlemen untuk

Administrasi (Parliamentary Commission for Administration).

Page 27: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan

bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang

semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif.

Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak

mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang

berkembang di berbagai Negara.

Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-

negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan

mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan,

dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan

membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak

terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik

pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari

rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era

demokrasi yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain,

khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara

keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif

berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-

lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak

dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai

lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan

pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa

mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut.

C. Lembaga Negara di Indonesia

Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan

salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-

creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying

function). Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly

Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat

dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut,

ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum

maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara

yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya

diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari

segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu

penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai

perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam

lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah

perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara

dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada

dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu: (i) kriteria hirarki bentuk sumber

normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya.

Yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan

negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari

segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau

primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).

Page 28: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke

dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga

tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja,

sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara

lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ

utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang

merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).

Corak dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami

dinamika perkembangan yang sangat pesat.

Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-

lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly

Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi

independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan

sebagai berikut:

1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen,

yaitu:

a) Presiden dan Wakil Presiden;

b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

e) Mahkamah Konstitusi (MK);

f) Mahkamah Agung (MA);

g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat

independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional

importance lainnya, seperti:

a) Komisi Yudisial (KY);

b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;

c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);

d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);

e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);

f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan

kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU,

tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak

hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional

importance yang sama dengan kepolisian;

g) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk

berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance

berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;

h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM-NAS- HAM)49 yang

dibentuk berdasarkan undangundang tetapi juga memiliki sifat

constitutional importance.

3) Lembaga Independen lainnya yang dibentuk berdasarkan undang-

undang, seperti:

a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);

b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);

c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);

Page 29: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

4) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif

(pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau

Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan,

seperti:

a) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);

b) Komisi Pendidikan Nasional;c) Dewan Pertahanan Nasional;54

d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);

e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);

f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);

g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);

h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);

i) Lembaga Administrasi Negara (LAN);

j) Lembaga Informasi Nasional (LIN).

5) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif

(pemerintah) lainnya, seperti:

a) Menteri dan Kementerian Negara;

b) Dewan Pertimbangan Presiden;

c) Komisi Hukum Nasional (KHN);

d) Komisi Ombudsman Nasional (KON);

e) Komisi Kepolisian;

f) Komisi Kejaksaan.

6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan

Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan

umum lainnya, seperti:

a) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;

b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);

c) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);

d) BHMN Perguruan Tinggi;

e) BHMN Rumah Sakit;

f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);

g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);

h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);

Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri –

atau apa pun namanya– di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga

negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan

menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan

perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era

demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu

merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-

lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang

dihadapi.

Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara

mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak

adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat

adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar,

Page 30: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-

lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh

suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga

negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus

dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan

internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang

menunukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk

lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri

(state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog)

yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-

lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus

diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional

untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era

baru menuju demokratisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Alder, John. Constitutional & Administrative Law. London: Macmillan Professional Masters, 1989.

Jimly Asshiddiqie. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996.

_______. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

_______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Duchacek, Ivo D. Power Maps: Comparative Politics of Constitutions. Santa Barbara, California: American Bibliographical Center, 1973.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel, 1973.

Komisi Ombudsman Nasional. Laporan Tahunan 2001. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2001.

Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.

Yazid, T.M. Luthfi. “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.

Wieslander, Bengt. The Parliamentary Ombudsman in Sweden. Stokholm: The Bank of Sweden Tercentenary Foundation, 1999

Page 31: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

HAK ASASI MANUSIA

(Suatu Kajian Aktualisasi Penegakan HAM di Indonesia)

A. Pendahuluan

Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM dalam perspktif

sejarahnya dapat ditarik sampai pada permulaan kisah manusia dalam

pergaulan hidup di dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimilikinya dan

kedudukannya sebagai subyek hukum. Tetapi menurut hasil penelitian,

sejarah HAM tumbuh dan berkembang sejak HAM itu diperjuangkan

ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan negara.

Dari sejarah dunia kita mengetahui bahwa negara negara Eropa

pernah menjajah bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika, Australia, dan

Amerika. Realitas sejarah berupa penjajahan suatu bangsa atas bangsa

lain ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam bentuknya

yang klasik. Tidak hanya oleh negara asing, pelanggaran HAM juga

mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.

Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan

mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap

kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti

penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas orang-orang yang

dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi

kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang represif dan otoriter sudah terlalu

banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga

menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya

mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 lalu.

Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah

dihayati dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM

ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah

mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa

banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan

untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu

menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep

kontrak sosialnya Thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk penyerahan

seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk

mengatur tata tertib dalam masyarakat.

Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia

hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropah. HAM tersebut semula

dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang-

wenang penguasa (raja). Namur dalam perkembangannya HAM bukan

lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa

terkecuali. Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal

HAM (Universal Declaration of Human Rights (UDHR)) tahun 1948.

Namun demikian dalam era reformasi ini telah berhasil disusun

instrumen instrumen penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD ‘45

Page 32: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

yang kemudian memasukkan HAM dalam bab tersendiri dengan pasal

pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain amandemen

UUD ‘45 juga ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998

tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga

tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati,

menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada

seluruh masyarakat. Juga menugaskan kepada Presieden RI dan DPR RI

untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak

bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dan diudangkannya Undang

Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum dan Undang Undang RI No 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memperkuat posisi Komnas HAM

yang dibentuk sebelumnya berdasarkan Keppres. No 50 Tahun 1993

Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta diundangkannya

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia.

B. Pandangan Teoritis

Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang

melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan

setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah

hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan

merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan

dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti mengingkari

anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula mengingkari

eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk  yang

paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal budi yang

menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang

baik dan mana yang buruk.

Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus

dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya.

Hak hak itu meliputi :

1) Hak untuk hidup

2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

3) Hak mengembangkan diri

4) Hak memperoleh keadilan

5) Hak atas kebebasan pribadi

6) Hak atas rasa aman

7) Hak atas kesejahteraan

8) Hak turut serta dalam pemerintahan

9) Hak wanita

10) Hak anak.

Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami

bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling

fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar

Page 33: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya

pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan

demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan

dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen.

Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999

hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya

dapat dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan

kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam

Undang Undang tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa

pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau

menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan

mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi

pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang

Tentang HAM sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM

yang dijamin oleh Undang Undang tersebut.

Sementara itu, Jika, dicermati dengan seksama asas-asas yang

termaktub dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,

yaitu:

1. Hanya mengadili pelanggaran HAM berat.

2. Kejahatan universal. Pengadilan HAM berwenang mengadili

pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial RI

oleh warga negara Indonesia.

3. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja yang diadili

oleh Pengadilan HAM.

4. Jaksa Agung adalah penyidik dan penuntut umum.

5. Dalam pengadilan HAM dikenal penyidik Ad Hoc, Penuntut Ad

Hoc dan hakim Ad Hoc.

6. Pemeriksaan banding, kasasi, limitatif paling lama 90 hari.

7. Dilindungi korban dan saksi.

8. Dikenal kompensasi, restitusi dan rehabilitasi korban.

9. Ancaman hukuman diperberat.

10. Adanya tanggungjawab komandan dan atasan terhadap

pelanggaran HAM berat oleh bawahannya.

11. Penerapan asas retroaktif, dimana terhadap pelanggaran HAM

berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU pengadilan

HAM, diadili oleh pengadilan HAM Ad Hoc.

12. Tidak dikenal daluwarsa.

13. Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh

Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM).

14. Tidak ada kewenangan ANKUM dan perwira penyerah perkara

dalam kasus pelanggaran HAM berat.

Dengan asas-asas tersbut bukankah sudah mencerminkan

kemandirian dari Peradilan HAM…? lalu kenapa harus dipolitisir bahwa

Peradilan HAM harus beradai di bawah Lingkup Peradilan Umum …?

Bisakah Peradilan HAM bebas dan mandiri dalam melakukan proses

penegakan hukum HAM jika masih harus bertanggungjawab secara

struktural kepada lingkup Peradilan Umum, bukankah ini merupakan

jalan panjang dan melelahkan untuk sampai pada proses peradilan HAM

yang fair dan manusiawi…? Begitu panjangnya jalan yang harus

Page 34: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

ditempuh, hingga akhirnya korban pencari keadilan pasrah dan

menyerahkan nasibnya pada takdir. Kalau ada sebuah lembaga yang

bernama KOMNAS HAM yang bertugas mencari fakta dan menemukan

ada tidaknya pelanggaran HAM dalam kasus-kasus yang diduga telah

terjadi pelanggaran berat HAM. Toh, kalau akhirnya harus diadili dengan

sebuah peradilan di bawa lingkup pengadilan umum, maka hasilnya

“Jeruk makan jeruk” dan nothing dapat mencapai keadilan, kepastian

dan kemanfaatan apalagi perlindungan dan kesejahteraan bagi

korban kejahatan HAM.

C. Instrumen Hukum Dalam Penegakan HAM

Pemikiran  HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat

ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan

dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada

konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia.

Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan tentang HAM yang

mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tetapi

pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan

dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.

Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan

bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu:

1. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan

melakukan amandemen UUD 45.

2. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya

adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak

mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.

3. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur

tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.

Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk

hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia:

a. Amandemen UUD 1945

Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45

berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan

perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim

Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45

tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar

secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak

mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi

Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk

memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang

tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin

memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan

melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral

UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara

konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian

direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui

amandemen II UUD 45.

Page 35: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia

Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR

pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan

mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang

HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu

sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut

bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah

Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik

antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan

kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua

kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang

secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan

membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping

secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan

amandemen UUD 45.

c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana

dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia

di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR

tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua

pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang

HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya

ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang .

Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang

HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang

HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada

tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak

seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang

tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi

peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada

selama ini.

Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan

ketentuan tentang HAM juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian,

penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.

d. Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia

Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua

dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini

merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang

Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang

telah ditolak oleh DPR sebelumnya.

e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

Page 36: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka

umum melalui Undang Undang ini bertujuan:

1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai

salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan

UUD 45.

2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan

berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan

menyampaikan pendapat.

3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya

partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai

perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan

berdemokrasi.

4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa

mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

D. Problematika Penegakan HAM di Indonesia

Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan

banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun

yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan

HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya

ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan

perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak

Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis

Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan

lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi

penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru

hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk

mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada

masa itu tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran

realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu

bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa

hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan

hukum bukan apa apa.

Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan

Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status

quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di

Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo)

secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis)

dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan

pemerintahan. Maka yang terjadi adalah pertarungan dan pergumulan

antara dua kelompok itu. Dan ternyata, setelah era reformasi bergulir

kurang lebih lima tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo

masih mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam

penegakan hukum. Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde

Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana

dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure),

substansi (substance), kultur hukum (legal culture).

Page 37: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur

sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita

sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong

berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan

profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan

masyarakat secara umum.

Selain itu secara struktural, kemandirian institusi institusi

penegakan hukum di Indonesia masih juga menjadi problem yang cukup

serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut belum cukup

resisten terhadap intervensi pihak lain terutama eksekutif, padahal

penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan pemerintahan

berdasarkan hukum (rule of law).

Problem penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menyangkut

sistem hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah dijelaskan

di atas, tapi juga melibatkan sistem sistem lain yang turut berpengaruh

secara signifikan misalnya sistem politik, ekonomi dan sosial.

Sistem politik transisional dari sistem politik otoriter ke

demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus. Pergantian rezim dari

Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak menimbulkan berbagai

bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde Reformasi berkuasa

timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan reformasi sendiri,

tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang yang pro-status

quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal ini juga banyak

menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama ketika militer

diposisikan sebagai alat dan pendukung kekuasaan yang sedang

berlangsung.

Sistem ekonomi yang dibangun selama masa Orde Baru terbukti

belum mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat kehidupan

bangsa Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif paling

banyak jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang

menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia

semakin terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga

bersifat multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi

problem penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan

dapat menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia

belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum

sekalipun?.

Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber

dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati

kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi

ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk etika

sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan

berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup

bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal

dengan sifat sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta

rasa kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi

permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional

karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan

puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan

Page 38: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

kekerasan yang kemudian menimbulkan ketidak-tertiban dan ketidak-

harmonisan sosial (social disorder and disharmony). Dan kondisi sosial

semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha penegakan

HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi jawaban dari

permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia

rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya

sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem

sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik

pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling

mempengaruhi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,

2002

Arief Sidharta, Bernard. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum CV.Mandar

Maju, Bandung, 2000

Kleden, Ignas. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta,

2001.

Lopa, Baharuddin. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama:

Sebuah Pemikiran. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001

Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi

Manusia di Indonesia. PT. Alumni, Bandung, 2001

Purbopranoto. Kuntjoro. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Pradnya

Paramita, Jakarta, 1979

NEGARA, NEGARA HUKUM, DAN WARGA NEGARA

A. Negara

1. Pengertian Negara

Secara umum, pengertian negara adalah suatu daerah atau

wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan

yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan

keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal

terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah

yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. Negara merupakan

suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan

bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga

negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945

yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.

Berdasarkan pendapat para sarjana, dapat dilihat beberapa

pengertian dari negara yaitu:

Page 39: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Menurut Gorge Jellinek : Negara ialah organisasi kekuasaan

dari sekolompok manusia yang telah berkediaman di wilayah

tertentu.

Menurut Gorge Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan

organisasi kesusilaan yang mencul sebagai sintesis dari

kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.

Mr. Kranerburg : Negara adalah suatu organisasi yang timbul

karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.

Roger. F. Soltau : Negara adalah alat (agency) atau wewenang

(authority) yang mengatur atau mengendalikan persalan

bersama atas nama masyarakat.

Prof. R. Djolosoetrono : Negara ialah suatu organisasi manusia

atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu

pemerintahan yang sama.

Prof. Mr. Soenarko : Negara ialah organisasi masyarakat yang

mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara

berlaku sepenuhnya sebagai souvereign (kedaulatan).

Bila dilihat dari segi fungsi, maka fungsi-fungsi negara

meliputi:

a) Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat: Negara yang

sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat

masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial

kemasyarakatan.

b) Melaksanakan ketertiban: Untuk menciptakan suasana dan

lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan

pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh

masyarakat.

c) Pertahanan dan keamanan: Negara harus bisa memberi rasa

aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan

ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.

d) Menegakkan keadilan: Negara membentuk lembaga-lembaga

peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di

segala bidang kehidupan.

2. Asal Muasal Terjadinya Negara

Asal mulanya terjadi negara dapat juga dilihat berdasarkan

pendekatan teoritis, antara lain :

- Teori Ketuhanan, negara terjadi atas kehendak Tuhan, nampak

pada UUD nya atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, penganutnya

adalah Agustinus, Yulius Stahi, Haller, Kranenburg dan Thomas

Aquinas.

- Teori Perjanjian Masyarakat, negara terjadi karena adanya

perjanjian masyarakat yang mengikat diri untuk mendirikan

suatu organisasi yang bisa melindungai dan menjamin

kelangsungan hidup bersama. Penganutnya adalah Thomas

Hobbes, John Locke, JJ Rousseau dan Montesquieu

Page 40: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

- Teori Kekuasaan, negara terjadi karena adanya kekuasaan yang

paling kuat. Penganut teori ini adalah H.J. Laski, L. Duguit, Karl

Marx, Oppenheimer dan Kollikles.

- Teori Hukum Alam, negara terjadi karena kehendak alam yang

merupakan lembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk

menyelenggarakan kepentingan umum. Penganut teori ini

adalah Plato, Aristoteles, Agustinus dan Thomas Aquino.

Pada dasarnya negara mempunyai tujuan masing-masing,

namun tujuan akhirnya sama yaitu menciptakan kebahagian pada

rakyatnya.

3. Bentuk-Bentuk Negara

- Negara Kesatuan (Unitaris)

Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni

kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan

pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan

sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara

pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat dijalankan

secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi,

satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen.

Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang

memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan.

Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen pusat dan

tiadanya badan-badan lain yang berdaulat.

- Negara Serikat (Federasi)

Negara Serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas

beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Kendati

negara-negara bagian boleh memiliki konstitusi sendiri, kepala

negara sendiri, parlemen sendiri, dan kabinet sendiri, yang berdaulat

dalam negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang

disebut negara federal.

Setiap negara bagian bebas melakukan tindakan ke dalam,

asal tak bertentangan dengan konstitusi federal. Tindakan ke luar

(hubungan dengan negara lain) hanya dapat dilakukan oleh

pemerintah federal.

Dalam praktik kenegaraan, jarang dijumpai sebutan jabatan

kepala negara bagian (lazimnya disebut gubernur negara bagian).

Pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara

bagian ditentukan oleh negara bagian, sehingga kegiatan pemerintah

federal adalah hal ikhwal kenegaraan selebihnya (residuary power).

4. Jenis-Jenis Kekuasaan Negara

- Negara Monarki dan Negara Tirani

Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu

jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang

kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki

biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang

dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu

stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan.

Page 41: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau

persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab

cuma ada satu kekuasaan yang dominan.

Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki

hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia,

Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara

ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif,

misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang

ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan

maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem

monarki.

Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus

berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses

berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-

undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern

sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki

konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik

(sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek

pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara

monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa

untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan

perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.

Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab

Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala

negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara

konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola

kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-

Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.

Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan

adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah

politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin.

Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi

jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya

terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak

mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat

kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik.

- Negara Monarki dan Aristokrasi

Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya

bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan

birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang

ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada

pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).

Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh

sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini

mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang

besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan),

menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini

disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).

Page 42: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara

politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh

beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab

orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk

mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka

berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi,

yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-

bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau

pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.

- Negara Demokrasi dan Negara Mobokrasi

Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh

mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di

dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri

dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung

(direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative

democracy).

Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya

secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi

langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini

mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya

demokrasi langsung yaitu :

Jumlah warganegara harus kecil.

Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata

(hampir merata).

Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.

Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata

pencaharian pertanian.

Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat

lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua

warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan,

tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan

demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno,

ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut

serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan,

dan orang asing.

Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama

oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara

modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah

demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat

yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat

berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk

memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.

Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan

pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum

periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota

parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi

keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang

mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang

Page 43: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang

pemilih.

Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara

penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200

juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di

tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang

duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia

menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia

duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan?

Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis

ketimbang demokrasi langsung.

Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung,

keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara.

Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang

terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin

didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada

situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes —

perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya

melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari

demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan

dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat

dibuat secara damai.

B. Negara Hukum

1. Pengantar

Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat

pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang

sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945,

dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan,

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara

Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam

dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik

ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam

bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the

rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya

adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya

bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.

Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan

mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem

yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata

supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan

social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun

budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu,

sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law

enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai

hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya

konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the

supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi

Page 44: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate

interpreter of the constitution’.

2. Konsep Negara Hukum

Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan

konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan

konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.

Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan

‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,

sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai

faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau

hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide

kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu

dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di

Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”.

Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu

sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang

kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The

Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya

telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah

Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul

Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah

Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika,

konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey

dengan sebutan “The Rule of Law”.

Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang

disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen

penting, yaitu:

Perlindungan hak asasi manusia.

Pembagian kekuasaan.

Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

Peradilan tata usaha Negara.

Muhammad Tahir Azhary, dengan mengambil inspirasi dari

sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri

nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9

(sembilan) prinsip, yaitu:

o Prinsip kekuasaan sebagai amanah;

o Prinsip musyawarah;

o Prinsip keadilan;

o Prinsip persamaan;

o Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia;

o Prinsip peradilan yang bebas;

o Prinsip perdamaian;

o Prinsip kesejahteraan;

o Prinsip ketaatan rakyat.

Page 45: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan

kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-

pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak

dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan

bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’.

Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas

dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali

rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan

dengan tegas.

Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001

terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan

mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang

berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita

negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah

ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945 itu sebaiknya kita pahami.

C. Warga Negara

Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah

adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum

tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan

dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini

biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu

prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.

Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 1 UU No. 12

Tahun 2006 ttg Kewarganegaraan Republik Indonesia). Sementara itu,

kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan

warga negara.

Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan

diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius

sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Berdasarkan

prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum

suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan

dari negara tempat kelahirannya itu.

Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah

termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini,

sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara

otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi

warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar

negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya,

melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika

Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua

orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.

Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan

banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri,

baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja

melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena

alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak

Page 46: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam

proses persalinan.

Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia

melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang

sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila

kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka

dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status

dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah

menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).

Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut

prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian

seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya.

Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis

kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan

kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam

dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita

tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda

status kewarganegaraannya.

Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu

ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui

proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan

kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang

bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya

menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.

Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai

kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui

registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam

pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa

penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di

daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status

kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.

Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di

luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena

Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan

yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di

daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya

dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis.

Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu

melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat

diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui

proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di

Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka

menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status

sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki

anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup

melalui registrasi saja.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses

kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i)

Page 47: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii)

kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by

naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa

atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat

sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai

kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak

membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status

kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja

sebagaimana lazim dipahami selama ini.

Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang

tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua

saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena

sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di

Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai

melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status

kewarganegaraan Republik Indonesia.

Keturunan mereka ini dapat memperoleh status

kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya

tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula

terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan

kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab

lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan

kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak

disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh

status kewarganegaraan Indonesia.

Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa

saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis

yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan

memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya

sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya

kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting,

apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status

kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-

masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain.

Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya

untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari

kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi

pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan

seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah

sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara

modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh

karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan

kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut,

juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui

registrasi biasa.

Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu

diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral

bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’

sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan

pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip

Page 48: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk

mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu,

sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan,

tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa

kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap

kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha

menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada

prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.

Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip

‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan

status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh

banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina

ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina,

tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia.

Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak

berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal

orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena

kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar

yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan

ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa,

bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan

mereka sebagai orang asing sama sekali.

Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan,

berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya

disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di

Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing.

Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli

ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam

penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan.

Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka

amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan,

atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan

dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara

warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai

warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan

sebagai warganegara Indonesia.

Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara

Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi

warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai

warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai

‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai

warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi

warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai

‘Warga Negara Asli’.

Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia

asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga Negara

Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum

dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah

Page 49: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya

dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan

Wakil Presiden Republik Indonesia.

Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan

pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai

kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status

kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti

tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok.

Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif

berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam

penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai

dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi

dewasa ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985

Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008

Laica Marzuki, Berjalan-jalan Diranah hukum, Pikiran Lepas Laica Marzuki, Jilid Kesatu, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

http://jajusuf.blogspot.com/2011/03/warga-negara.html

http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/10/27/warganegara-dan-

kewarganegaraan/

Page 50: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

DEMOKRASI

(Kajian Pembangunan Wawasan Mahasiswa Dalam Berdemokrasi)

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan

pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi

langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal

dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang

dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan",

merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-

4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat

pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh

Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang

menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat).

Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi

sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini

berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan

rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur

kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil

berdasarkan suara terbanyak.

Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai

respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan

pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu

pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat

dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun

pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan

pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak,

orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak

memiliki hak untuk itu.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu

negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan

warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai

suatu kebenaran. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang

membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif)

untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas

(independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.

Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar

ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol

berdasarkan prinsip checks and balances.

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga

pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan

kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang

menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan

rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan

kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh

masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi

Page 51: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui

proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

A. Sejarah Demokrasi Indonesia

Perkembangan Demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut

sejak berdirinya negara Republik Indonesia.Masalah selama pasang surut

ini berkisar penyusunan suatu system politik dimana kepemimpinan

cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation

building,dengan partisipasi rakyat dengan menghindarkan diktator baik

itu diktator individu,partai,maupun militer. Perkembangan

sejarah,demokrasi Indonesia dapat dibedakan dalam beberapa masa:

1. Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 – 1950 ).

Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi

Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan

demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh

masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat

sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD

1945 yang berbunyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut

UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu

oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah

negara yang absolut pemerintah mengeluarkan :

• Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945,

KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.

• Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang

Pembentukan Partai Politik.

• Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang

perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi

parlementer.

2. Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Orde Lama

Pada masa ini, pelaksanaan demokrasi terbagi lagi dalam beberapa

periode:

a) Masa demokrasi Liberal 1950 – 1959

Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai

lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan

sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan parlemen,

akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-

partai politik.

Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal

disebabkan :

• Dominannya partai politik

• Landasan sosial ekonomi yang masih lemah

• Tidak mampunya konstituante bersidang untuk

mengganti UUDS 1950

Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 :

• Bubarkan konstituante

• Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950

Page 52: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

• Pembentukan MPRS dan DPAS

b) Masa demokrasi Terpimpin 1959 – 1966

Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No.

VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan

musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua

kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan

nasakom dengan ciri:

a. Dominasi Presiden

b. Terbatasnya peran partai politik

c. Berkembangnya pengaruh PKI

Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:

a. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak

yang dipenjarakan

b. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan

oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR

c. Jaminan HAM lemah

d. Terjadi sentralisasi kekuasaan

e. Terbatasnya peranan pers

f. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok

Timur)

g. Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September

1965 oleh PKI.

3. Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Orde Baru 1966 – 1998

Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat

Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan

Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde

baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala

bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil

menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987,

1992, dan 1997.

Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini

dianggap gagal sebab:

a. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada

b. Rekrutmen politik yang tertutup

c. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis

d. Pengakuan HAM yang terbatas

e. Tumbuhnya KKN yang merajalela

Sebab jatuhnya Orde Baru:

a. Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )

b. Terjadinya krisis politik

c. TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba

d. Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut

Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden

e. Pelaksanaan demokrasi pada masa Reformasi 1998 s/d

sekarang.

Page 53: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan

dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21

Mei 1998.

4. Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Reformasi

Demokrasi yang dikembangkan pada masa reformasi pada

dasarnya adalah demokrasi dengan mendasarkan pada Pancasila dan

UUD 1945, dengan penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan

peraturan-peraturan yang tidak demokratis, dengan meningkatkan

peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan

menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu

pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas

antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan

terbentuknya DPR – MPR hasil Pemilu 1999 yang telah memilih

presiden dan wakil presiden serta terbentuknya lembaga-lembaga

tinggi yang lain. Masa reformasi berusaha membangun kembali

kehidupan yang demokratis antara lain:

a. Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-

pokok reformasi

b. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang

Referandum

c. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara

yang bebas dari KKN

d. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan

Presiden dan Wakil Presiden RI

e. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV

f. Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum

sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.

B. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah

terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang

kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-

prinsip demokrasi adalah:

a) Kedaulatan rakyat;

b) Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;

c) Kekuasaan mayoritas;

d) Hak-hak minoritas;

e) Jaminan hak asasi manusia;

f) Pemilihan yang bebas dan jujur;

g) Persamaan di depan hukum;

h) Proses hukum yang wajar;

i) Pembatasan pemerintah secara konstitusional;

j) Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;

k) Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Page 54: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

C. Ciri-Ciri Pemerintahan Demokratis

Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang

diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.Ciri-ciri suatu

pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:

a) Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan

keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung

(perwakilan).

b) Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap

hak-hak asasi rakyat (warga negara).

c) Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala

bidang.

d) Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang

independen sebagai alat penegakan hukum

e) Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.

f) Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan

informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.

g) Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk

di lembaga perwakilan rakyat.

h) Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk

menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta

anggota lembaga perwakilan rakyat.

i) Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku,

agama, golongan, dan sebagainya).

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara

yang Demokratis, PT Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2005

2. Abubakar,Suardi dkk, Kewarganegaraan 1: Menuju Masyarakat Madani,

Yudhistira, Jakarta, tt

3. Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 2002

4. Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewarganegaraan, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 2006

5. Ghazali Abbas Adan, Sistem Politik/Demokrasi Di Indonesia; Dari Masa Ke

Masa, Makalah disampaikan pada Acara Musyawarah Kerja Nanggroe

(MUKERNANG) I Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS) Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, 2007

Page 55: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

PARTAI POLITIK

(Kajian Bagi Mahasiswa Dalam Memaknai Kebebasan Berkumpul,

Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat)

Berkembangnya aspirasi-aspirasi politik baru dalam suatu masyarakat,

yang disertai dengan kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar,

derngan sendirinya menuntut pelembagaan sejumlah saluran baru,

diantaranya melalui pembentukan partai politik baru. Tetapi pengalaman di

beberapa negara dunia ketiga menunjukkan, pembentukan partai baru tidak

akan banyak bermanfaat, kalau sistem kepartaiannya sendiri tidak ikut

diperbaharui.

Suatu sistem kepartaian baru disebut kokoh dan adaptabel, kalau ia

mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul

sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan

menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk

saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi

politik. Sistem kepartaian yang kokoh, sekurang-kurangnya harus memiliki

dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai,

sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan

kekerasan. Kedua, mengcakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah

kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar

tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem

kepartaian yang kuat menyediakan organisasi-organisasi yang mengakar dan

prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompok-kelompok baru

ke dalam sistem politik.

A. Definisi Partai Politik

Partai politik yaitu organisasi politik yang menjalani ideologi

tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah

kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai

orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Sedangkan definisi partai

politik menurut ilmuwan politik yaitu:

Friedrich : partai politik sebagai kelompok manusia yang

terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan

mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin

partainya, dan berdasarkan kekuasaan tersebut akan memberikan

kegunaan materil dan idil kepada para anggotanya.

Soltau : partai politik sebagai kelompok warga negara yang

sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan

politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih,

bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan

umum yang mereka buat.

Tujuan dari pembentukan partai polik ialah untuk memperoleh

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan

cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

B. Fungsi Partai Politik

Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat

mengkomunikasikan pandangan dan prinsip-prinsip partai, program

kerja partai, gagasan partai dan sebagainya. Agar anggota partai dapat

Page 56: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

mengetahui prinsip partai, program kerja partai atau pun gagasan

partainya untuk menciptakan ikatan moral pada partainya, komunikasi

politik seperti ini menggunakan media partai itu sendiri atau media

massa yang mendukungnya.

Adapun fungsi partai politik dalam sistem politik nasional secara

garis besar terdiri dari:

a) Partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka

ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan

penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan

merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur

(interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap

kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan

kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan

pada masyarakat.

b) Partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap,

pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian,

peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.

Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-

norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia

memperjuangkan kepentingan umum.

c) Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik

berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam

kegiatan politik sebagai anggota partai.

d) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah

masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik

berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini

dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri

melainkan untuk kepentingan umum.

C. Tujuan Pembentukan Partai Politik

Tujuan dari pembentukan partai politik menurut Undang-Undang

No.2 Tahun 2008 tentang partai politik, yaitu:

1. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam pembukaan undang-undang dasar negara republik

Indonesia tahun 1945

2. menjaga dan memelihara keutuhan negara kesatuan republik

Indonesia

3. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila

dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam negara

kesatuan republik Indonesia

4. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam

rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan

6. memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

7. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Page 57: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Selain itu ada juga tujuan partai politik menurut basis sosial

dibagi menjadi empat tipe yaitu :

a) Partai politik berdasarkan lapisan masyarakat yaitu bawah,

menengah dan lapisan atas.

b) Partai politik berdasarkan kepentingan tertentu yaitu petani,

buruh dan pengusaha.

c) Partai politik yang didasarkan pemeluk agama tertentu.

d) Partai politik yang didasarkan pada kelompok budaya tertentu.

D. Potret Partai Politik Masa Kini

Ideologi bagi partai adalah suatu idealisme yang menjadi garis

besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang

kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati

dirinya. Sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia–selain dengan

mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler.

Dari segi ini pun terkadang ada partai yang terlihat berusaha

menggabungkan kedua unsur ini. Partai Amanat Nasional, misalnya,

berusaha menggabungkan citra nasionalisnya dengan kedekatannya

terhadap Muhammadiyah. Lemahnya ideologi bahkan bisa dilihat dalam

partai-partai utama. Partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDIP), pun masih amat bergantung pada karisma Mbak

Mega (Megawati Soekarnoputri) untuk menarik pendukung. Padahal,

demi kelangsungan organisasinya, partai ini seharusnya sudah bisa

“mengalihkan” dukungan terhadap pemimpin menjadi dukungan

terhadap identitas dan organisasi partai.

Dilihat dari kacamata organisasi fisik, partai-partai kita juga

masih sangat lemah. Di tingkat masyarakat, hanya partai-partai besar

yang mampu terus eksis di luar masa kampanye dan pemilu. Kebanyakan

partai masih “tidur” kalau tidak ada pemilu, dan cabang-cabang mereka

juga tutup. Kemampuan untuk tetap aktif sangat bergantung pada

kapasitas cabang partai dan komitmen pemimpin di tingkat lokal. Lagi

pula, cabang lokal juga sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk

tetap mengadakan aktivitas. Sebagian besar partai juga masih

mengontrak kantor cabangnya, dan hanya partai Orde Baru yang punya

kantor tetap. Walhasil, kalau mereka sulit mendapat kontrakan, aktivitas

juga terhenti dan partai menjadi vakum.

Dengan kapasitas organisasi yang seperti ini, sangat sulit bagi

partai politik Indonesia membangun hubungan yang stabil dengan para

pendukung dan anggotanya. Dari segi rekrutmen, partai-partai besar

biasanya hanya mengandalkan pada suara yang didapat pada

pemungutan suara sebelumnya. Partai-partai seperti PDIP dan Golkar

kurang mementingkan rekrutmen dan lebih menggantungkan diri pada

popularitas partainya saat pemilu. Adapun partai-partai muda, seperti

PKS dan PAN, memang memprioritaskan rekrutmen anggota baru, tetapi

kemampuan mereka untuk merekrut sangatlah berbeda. PKS terlihat

lebih mampu untuk konsisten menjalankan program rekrutmen,

sedangkan PAN tertatih-tatih untuk mempertahankan eksistensinya di

tingkat lokal. Hanya dengan komitmen para kadernya, cabang PAN dapat

tetap bertahan tetapi aktivitasnya sangat terbatas. Dengan manajemen

anggota yang semacam ini, tidaklah mengherankan bahwa partai

Page 58: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

biasanya mengejar produk “jadi” dari selebritas sebagai calon anggota

legislatif mereka. Memang tren ini menandakan ketidakmampuan dan

kemalasan partai untuk mendidik dan memupuk kadernya sendiri. Tapi

bisa juga ini karena kegagalan partai untuk berkembang pada masa lalu,

dan pada masa reformasi ini pun mereka juga masih dalam tahap awal

perkembangannya. Terutama bagi partai muda, belum ada kader yang

siap maju.

Jadi, yang diperlukan oleh partai politik bukan hanya dukungan,

tapi juga kesabaran pemilih untuk memberikan kesempatan kepada

partai politik pilihan mereka. Perjalanan partai politik Indonesia ke arah

kemajuan masihlah panjang. Selagi kita belajar tentang demokrasi selama

kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, partai politik kita juga sedang

belajar tentang organisasi dan manajemen. Godaan dan tantangan tentu

saja banyak dan sangat mudah bagi partai politik untuk menjadi non-

aktif dan kembali ke praktek politik uang. Karena itulah partisipasi

pemilih sangatlah penting untuk menyeleksi partai politik yang kurang

efisien. Pemilihan Umum 2009 maupun pada saat pemilihan umum 2014

nanti adalah ujian penting bagi kematangan, bukan hanya bagi partai

politik, tapi juga bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 2002

2. http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan-partai-

politik-di-indonesia/

3. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Page 59: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

MASYARAKAT MADANI

A. Latar Belakang

Wacana masyarakat madani yang sudah menjadi arus utama dewasa ini, baik

di lingkungan masyarakat, pemerintah, dan akademisi, telah mendorong

berbagai kalangan untuk memikirkan bagaimana perkembangan sektor-sektor

kehidupan di Indonesia yang sedang dilanda reformasi itu dapat diarahkan

kepada konsep masyarakat madani sebagai acuan baru.

Dalam perkembangan wacana tersebut bidang ekonomi agaknya belum

mendapatkan perhatian. Di bidang ini, yang masih menjadi acuan utama

adalah konsep demokrasi ekonomi, Ekonomi Pancasila, dan akhir-akhir ini,

ekonomi rakyat. Pertanyaannya adalah, apa kaitan konsep ekonomi madani

dengan konsep-konsep yang juga masih ramai diperbincangkan itu? Salah satu

masalah yang timbul dalam wacana baru tersebut adalah bahwa konsep

masyarakat madani itu sendiri dewasa ini masih berada dalam proses

pencarian. Masih menjadi pertanyaaan, misalnya, apakah masyarakat madani

itu identik dengan civil society yang bercirikan individualisme, ekonomi pasar

dan pluralisme budaya itu? 1. Konsep masyarakat madani memang telah

menjadi wacana utama dan acuan, termasuk dalam memikirkan kembali

sistem ekonomi Indonesia. 2 Konsep ini mengandung unsur-unsur pemikiran

dan kerangka baru yang telah berkembang secara global, tidak saja di negara-

negara sedang berkembang, melainkan juga di negara-negara maju sendiri

yang sudah lama mengenal dan mengembangkan konsep ini. 3. Karena itu,

maka Sistem Ekonomi Indonesia di era reformasi ini harus memperhatikan

wacana masyarakat madani tersebut. 4 Namun, sistem ekonomi, di samping

sistem politik dan sistem sosial-budaya adalah salah satu komponen dalam

masyarakat madani. Oleh karena itu maka wacana tentang sistem ekonomi ini

juga akan ikut mewarnai corak masyarakat madani yang dicita-citakan. Konsep

ini mencakup komponen-komponen negara (state), pasar (market), sektor

voluntir (voluntary sector) atau gerakan baru masyarakat (new social

movement) serta individu dan keluarga (individuals and family).5 Semua

komponen tesrebut dituntut mengembangkan etos kerja dan kualitas

pelayanan lebih baik dan memiliki sikap dan perilaku yang berintikan

pengabdian yang utuh bagi masyarakat (public service oriented). Inilah

harapan masyarakat madani (civil society)6 yaitu masyarakat yang maju,

mandiri, sejahtera dalam suasana berkeadilan dilandasi oleh iman dan taqwa.

Untuk memperkaya wawasan dan pemahaman pembaca tentang masyarakat

madani, maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain :

a). Konsep dari masyarakat madani.

b). Masyarakat madani dalam kacamata islam

c). Masyarakat madani di Indonesia

B. PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI

A. Pengertian

Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society.

Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan

masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata

“societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali

dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar

dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini

Page 60: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan

otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond,

2003: 278).

Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk

dari kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas,

perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum

dan komunikasi yang independen. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari

transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004: 61). Sementara menurut Haynes,

tekanan dari “masyarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk

mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi

politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum multipartai,

yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff Haynes,

2000: 28).

Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin

berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung

oleh kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan

kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS Hikam, ada

tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu

dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan

dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi

keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praktis

yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan

membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.

Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi individu terhadap

kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang

mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik

lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan

individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi

dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok,

dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan

pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan

harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa

(Haryatmoko, 2003: 212).

Antara Masyarakat Madani dan Civil Society Sebagaimana yang telah

dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk

menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil

society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang

dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim

modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara

keduanya.

Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society

merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan

Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga

civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena

meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian

dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat

madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas

landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah

(A. Syafii Maarif, 2004: 84).

Page 61: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

B. Ciri-ciri Masyarakat Madani

Ada beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang

cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam

masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang

publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga

negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik,

dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak

intervensionis.

Berikut ini adalah beberapa karakteristik masyarakat madani:

1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat

memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak

melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat,

berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.

2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip

demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk

menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat

berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan

untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan

demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan

pilar-pilar demokrasi yang meliputi:

a) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

b) Pers yang bebas

c) Supremasi hukum

d) Perguruan Tinggi

e) Partai politik

3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan

politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling

menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh

orang/kelompok lain.

4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang

majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif

dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang

proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu

terhadap lingkungannya.

6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari

rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga

masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang

bertanggungjawab.

7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya

keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang

memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.

Page 62: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani

di Indonesia diantaranya:

1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.

2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.

3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.

4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang

terbatas.

5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.

C. Konsep Masyarakat Madani

Konsep masyarakat madani yang menjadi perbincangan dewasa ini pada

dasarnya memang mengacu pada konsep civil society yang sudah berkembang

di Barat, walaupun akhir-akhir ini sedang digali juga pemikiran yang mengacu

kepada “masyarakat Madinah”. Konsep civil society yang telah mapan,

sekalipun selalu mengalami pemikiran ulang (rethinking) itu, bukan

merupakan konsep yang universal, melainkan historis-kontekstual. Secara

historis, civil society dibentuk oleh tiga kejadian besar di Eropa Barat. Pertama,

Reformasi Teologis yang menghasilkan sekularisme. Kedua, Revolusi lndustri

yang menghasilkan model teknokratisme, baik yang bercorak kapitalisme

pasar, sosialisme maupun negara kesejahteraan (welfare state). Ketiga

Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang menghasilkan model negara dan

masyarakat yang mengacu kepada trilogi liberte, egalite, fraternite dalam

berbagai coraknya.

Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah

keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi

sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor

swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat,

organisasi keagamaan dan kelompok profesional).

Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan

yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi.

Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi

masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di

tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan

dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang

melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi,

juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap

kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat

dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan

sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual

participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil society

kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-

structures.

Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk

keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim

dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah

memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan

Page 63: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau

perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.

Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran

bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara

ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat

memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti

memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat

pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi

semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang

seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial

tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the

ruling class). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi

birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu

memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam

ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi

birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal

pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu

mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting

Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey C. Alexander

(ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 1913

Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of

Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93

kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan

tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala

tindakannya lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan

masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi

politik menjadi mandul.

Atau adi kuasa, civil society berusaha menciptakan interaksi antara negara dan

masyarakat dilekati interdependensi, saling mengisi dan saling

menguntungkan satu sama lain. Nilai penting yang melekat dalam civil society

adalah partisipasi politik dalam arti peran masyarakat sangat diperhitungkan

dalam proses pengambilan keputusan publik atau masyarakat dapat mewarnai

keputusan publik. Di samping itu juga ada akuntabilitas negara (state

accountability) dalam arti negara harus bisa memperlihatkan kepada

masyarakat bahwa kebijakan publik yang diambil sesuai dengan ketentuan

yang berlaku, efisien (mengeluarkan resources secara porposional dengan

hasil optimal) dan efektif (tidak merusak atau bertentangan dengan nilai dan

norma yang berkembang dalam masyarakat). Selanjutnya, ide civil society

menghendaki institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sektor swasta

maupun sektor sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif

atau berupa asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum

atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan

sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan keinginannya. Melalui forum

atau asosiasi semacam itu civil society menjamin adanya kebebasan mimbar,

kebebasan melakukan disiminasi atau penyebar luasan opini publik. Itulah

sebabnya seringkali dinyatakan bahwa civil society adalah awal kondisi yang

sangat vital bagi eksistensi demokrasi. Kendatipun karakteristik civil society

bertentangan dengan karakteristik political society (yang menempatkan

Page 64: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

negara pada posisi sentral), namun tidak berarti bahwa civil society harus

selalu melawan negara atau harus menghilangkan rambu-rambu politik yang

telah dibangun oleh negara, jadi status dan peran negara tetap diperlukan.

Salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah

keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi

sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor

swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat,

organisasi keagamaan dan kelompok profesional).

Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan

yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi.

Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi

masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di

tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan

dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang

melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi,

juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap

kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat

dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan

sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual

participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil society

kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-

structures.

Yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk

keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim

dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah

memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai bentuk penjajahan

terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau

perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.

Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran

bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara

ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat

memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi pelbagai bukti

memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat

pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi

semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang

seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial

tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the

ruling class). Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi

birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu

memperoleh pelbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam

ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi

birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal

pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu

mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr, ‘Mistrusting

Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey C. Alexander

(ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization, 1998, p. 1913

Page 65: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of

Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93

kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan

tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala

tindakannya lebih mengutamakan kemuan rejim daripada kepentingan

masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi

politik menjadi mandul.

D. Masyarakat Madani Dalam Islam

Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah,

kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan

masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada

kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah).

Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-

menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).

Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani yang kadang disamakan

dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan tatanan

sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan

antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial.

Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang tunduk

pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.Dalam

konteks ini, kita memilih mengartikan masyarakat madani sebagai terjemahan

dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani. Kata ini secara etimologis

mempunyai dua arti, pertama, masyarakat kota, karena kata ‘madani’ berasal

dari kata madinah yang berarti ‘kota’, yang menunjukkan banyaknya aktivitas,

dinamis, dan penuh dengan kreativitas; kedua, masyarakat peradaban, karena

kata ‘madani’ juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang berarti

‘peradaban’. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi

nilai-nilai peradaban.

Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada

umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan

tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan,

Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase

yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah

perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi

disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala’a

al-badru ‘alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair

dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah

mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat

al-nabiy (kota nabi).

Secara konvensional, perkataan “madinah” memang diartikan sebagai “kota”.

Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna

“peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban” memang dinyatakan dalam

kata-kata “madaniyah” atau “tamaddun”, selain dalam kata-kata “hadharah”.

Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada

hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau

Page 66: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum

Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.

E. Masyarakat Madani Di Indonesia

Tantangan masa depan demokrasi di negeri kita ialah bagaimana mendorong

berlangsungnya proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai

peradaban dan kemanusiaan universal. Kita semua harus bahu membahu agar

jiwa dan semangat kemanusiaan universal itu merasuk ke dalam jiwa setiap

anak bangsa sehingga nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,

menurut Nurcholish Madjid, terdapat beberapa pokok pikiran penting dalam

pandangan hidup demokrasi, yaitu: (1) pentingnya kesadaran kemajemukan

atau pluralisme, (2) makna dan semangat musyawarah menghendaki atau

mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan tulus

menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suara”, (3) mengurangi

dominasi kepemimpinan sehingga terbiasa membuat keputusan sendiri dan

mampu melihat serta memanfaatkan alternatif-alternatif, (4) menjunjung

tinggi moral dalam berdemokrasi (5) pemufakatan yang jujur dan sehat adalah

hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat, (6) terpenuhinya kebutuhan

pokok; sandang, pangan, dan papan, dan (7) menjalin kerjasama dan sikap

yang baik antar warga masyarakat yang saling mempercayai iktikad baik

masing-masing.

Pemberdayaan masyarakat madani ini menurut penulis harus di motori oleh

dua ormas besar yaitu NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi Islam ini usia

lebih tua dari republik. Oleh karena itu, ia harus lebih dewasa dalam segala hal.

Wibawa, komitmen dan integritas para pemimpin serta manajemen

kepemimpinannya harus bisa seimbang dengan para pejabat negara, bahkan ia

harus bisa memberi contoh baik bagi mereka. Ayat yang disebutkan di awal itu

mengisyarakat bahwa perubahan akan terjadi jika kita bergerak untuk

berubah.

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka

merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Dan bila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada

yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain

Dia,”(QS Ar-Ra’d [13]: 11).

Masyarakat madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan

mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis

melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian

rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada

pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis

sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat

madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong

perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Untuk membangun masyarakat yang maju dan berbudaya, menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dengan iman dan takwa, paling

tidak harus ada tiga syarat: menciptakan inovasi dan kreasi, mencegah

kerusakan-kerusakan sumber daya, dan pemantapan spiritualitas. Masyarakat

Page 67: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

madani itu hendaknya kreatif terhadap hal-hal baru, antisipatif dan preventif

terhadap segala kemungkinan buruk, serta berketuhanan Yang Maha Esa.

Jika syarat-syarat dan komponen-komponen masyakarat madani berdaya

secara maksimal, maka tata kehidupan yang demokratis akan terwujud. Selain

ikut membangun dan memberdayakan masyarakat, masyarakat madani juga

ikut mengontrol kebijakan-kebijakan negara. Dalam pelaksanaannya, mereka

bisa memberikan saran dan kritik terhadap negara. Saran dan kritik itu akan

objektif, jika ia tetap independen. Setiap warga negara berada dalam posisi

yang sama, memilik kesempatan yang sama, bebas menentukan arah hidupnya,

tidak merasa tertekan oleh dominasi negara, adanya kesadaran hukum,

toleran, dan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru

karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi

di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-

organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI,

KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak

memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan

program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol

terhadap jalannya roda pemerintahan.

F. Analisa Masalah

Sesuai dengan pengertian dan masyarakat yaitu masyarakat yang beradab,

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak

kekurangan yang terjadi dinegara kita.

Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani

di Indonesia diantaranya:

1). Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum

merata.

2). Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.

3). Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.

4). Tingginya lapangan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja

yang terbatas.

Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman

pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya:

1). Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan

pendapatan dan pendidikan.

2). Sebagai advokasi bagi masyarakat yang teraniaya, tidak berdaya

membela hak-hak dan kepentingan mereka.

A. KESIMPULAN

Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan

pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan

Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka

Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115).

Page 68: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang

diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban

Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata “madani”

berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban,

sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun.

Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim

Melayu yang mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan

modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society

yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan

sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan

bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam

krisis multidimensional yang tak berkesudahan.

Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society.

Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan

masyarakat. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state).

Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.

Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu

bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan

monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).

Ada beberapa ciri-ciri utama dalam civil society, (1) adanya kemandirian yang

cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam

masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang

publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga

negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik,

dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak

intervensionis.

Konsep civil society dalam arti politik bertujuan melindungi individu terhadap

kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang

mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik

lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan

individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi

dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok,

dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan

pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan

harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa

(Haryatmoko, 2003: 212).

Antara masyarakat madani dan Civil Society sebagaimana yang telah

dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk

menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil

society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang

dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim

modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara

keduanya.

Page 69: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat barat secara teoritis

bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka. Nilai-nilai yang juga dimiliki oleh

masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan

berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang

dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu,

persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam

masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya.

Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society

merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan

Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga

civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena

meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian

dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat

madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas

landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah

(A. Syafii Maarif, 2004: 84).

Sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan

egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama),

penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan

kelompok masyarakat (seperti penetapan stategi perang), dan pelaku

ketidakadilan, dari kelompok mana pun, diganjar dengan hukuman yang

berlaku.

Komunitas Muslim awal merupakan masyarakat yang demokratis untuk

masanya. Indikasinya adalah tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan

partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan publik serta keterbukaan

posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan pemimpin tidak

berdasarkan keturunan (heredities), tapi kemampuan (Robert N. Bellah, 2000:

211).

Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah,

kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan

masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada

kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah).

Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-

menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).

Masyarakat ideal – kerap disebut masyarakat madani – yang kadang

disamakan dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan

tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin

keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban

sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang

tunduk pada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan.

Masyarakat madani memiliki peran signifikan dalam memelopori dan

mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia bisa ia rintis

melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan perekonomian

rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada

Page 70: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

pengusaha dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis

sangat kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat

madani, khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong

perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti

yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang

terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut

di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu

pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran

yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal

sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113).

Dilihat dari sejarahnya civil society yang bertujuan untuk menghindari

pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika,

dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-à-vis masyarakat. Hal itu

bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah

masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga

menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri

oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari

pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang

menjadi kewajiban negara modern.

B. SARAN

Dalam era reformasi itu kita perlu melakukan kaji ulang dan wacana baru

dengan mempertimbangan faktor-faktor yang menjadi kecenderungan

nasional, regional, dan global, seperti meningkatnya peranan pasar,

perampingan peranan negara dan perlunya pemberdayaan lembaga-lembaga

civil society dan gerakan sosial baru (new social movement).

Wacana masyarakat madani agaknya berbeda dengan wacana civil society

yang berkembang di Barat, walaupun konsep civil society itu menjadi rujukan

penting. Namun harus diingat, bahwa wacana civil society itu sendiri, baik di

negara-negara industri maju maupun di Dunia Ketiga, masih terus berlangsung

dalam konteks baru. Oleh karena itu, masyarakat madani yang sedang

dipikirkan di Indonesia ini merupakan wacana yang tebuka.

Page 71: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

DAFTAR PUSTAKA

Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian

Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,

Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT

Tanjung Mas Inti.

Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27 Februari 1999.

Jakarta.

Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan

tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam

Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan

Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political

Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas

Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.

Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan

Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,

Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Mohtar Mas’oed. (1999). Republika 3 Maret 1999.

Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5

November 1999.

Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London:

Oxford University Press.

Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya

dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi.

Jakarta: BP 7 Pusat.

Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme

Peradaban Islam

Vaizey, J. 1967. Pendidikan di Dunia Modern. Jakarta: Gunung Agung.

Page 72: Bahan ajar Pendidikan dan Kewarganegaraan

Zamroni. 1997. Pembaharuan Pendidikan dan Penelitian Multidisiplin.

Makalah Seminar Regional Pengembangan Budaya Penelitian Multidisiplin dan

Antardisiplin. Yogyakarta: 19-20 Mei.