Post on 20-Dec-2015
KELOMPOK 2
ANGGOTA:
1. FENNI FATHIA PUTRI 3101412001
2. SALSABILLA FIRDAUS 3101412003
3. VALIZNA NUR KARIMA 3101412005
4. MUHAMAD KHOLID 3101412026
5. BACHTIAR ALAMSYAH 3101412144
BAB IV
INDONESIA SETELAH AGRESI BELANDA II
A. INDONESIA MENGHADAPI AM II
1. Langkah Politik/Diplomasi
Pada pukul 23.30 tanggal 18 Desember 1948, Cochran mendapat surat dari delegasi
Belanda di Jakarta untuk disampaikan kepada KTN di Yogyakarta. Isi surat tersebut adalah
Belanda tidak terikat lagi dengan isi perjanjian Reville. Perwakilan RI di Jakarta juga mendapat
surat dengan isi yang sama pada pukul 11.45. Baik Cochran maupun perwakilan RI di Jakarta
kesulitan mengirim surat tersebut ke Yogyakarta. Sampai tahun 1949, Belanda sudah
memasukkan 145.000 pasukan ke Indonesia, namun hanya berhasil menguasai kota-kota dan
jalan raya, sedangkan pemerintahan RI tetap berjalan wajar di desa-desa. TNI secara gerilya
tetap melawan Belanda. Rakyat dan pemerinhan sipil melakukan politik non cooperasi dan ikut
bergerilya pula.
Pada pagi harinya, tentara belanda mulai bergera. Kira-kira pukul 05.00 pagi, kedengaran
derut pesawat terbang di sebelah timur Yogyakarta. Bombardemen di pangkalan udara
Yogyakarta oleh pihak Belanda diikuti oleh rentetan tembakan senapan mesin. Sementara itu
tentara payung Belanda diturunkan, yang segera menduduki pangkalan Maguwo.1
Tanggal 19 Desember 1948, menurut angkatan bersenjata Republik Indonesia akan
mngadakan latihan Militer. Oleh karena itu, rentetan tembakan senapan mesin, dentuman Bom di
Maguwo, oleh penduduk disangka latihan militer Republik Indonesia. baru setelah diketahui
1 Slamet Muljana, Kesadaran Nasional, hal: 201-202
secara jelas tanda merah- putih- biru pada badan pesawat yang makin kerap menembakkan
peluru kearah objek militer.2
Dalam suasana genting pada hari itu juga dilakukan sidang kabinet yang dihadiri juga
oleh beberapa pembesar TNI. Sidang kabinet mempertimbangkan beberapa hal :
1. Presiden dan Wakil Presiden/Perdana Menteri mengungsi ke luar kota Yogya, tetapi harus
dikawal oleh satu batalyon tentara. Ternyata tentara yang akan mengawal itu tidak ada
karena tentara yang ada di Yogya sudah keluar semua.
2. Tetap tinggal di kota dan membiarkan diri ditawan Belanda tetapi dekat dengan KTN.
Sidang kabinet yang diadakan pada tanggal 19 Desember 1948 di Gedung Negara
Yogyakarta dalam suasana genting itu akhirnya mengambil keputusan sebagai berikut :
1. Memberi kuasa penuh kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera.
2. Kepada Mr. AA. Maramis, Lambertus Nico Palar dan Drs.
Sudarsono yang sedang berada di India diberi tugas untuk membentuk PDRI di India
apabila Mr. Syafrudin Prawiranegara gagal membentuk PDRI di Sumatera.
3. Presiden, Wakil Presiden dan para petinggi lainnya akan tetap tinggal di ibukota dengan
kemungkinan ditawan oleh pihak Belanda tetapi tetap berdekatan dengan pihak KTN.
Dengan keputusan tetap tinggal di ibukota Yogyakarta, maka Presiden dan para pimpinan
negara akhirnya ditawan Belanda. Walaupun ditawan tetapi tetap dapat berkomunikasi dengan
anggota KTN sehingga tetap dapat melaksanakan perjuangan diplomasi, baik nasional maupun
internasional. Dengan langkah diplomasi itu maka keberadaan Indonesia akan tetap dapat
diketahui oleh negara-negara lain. Selain itu, sepak terjang Belanda diharapkan tidak semakin
mendapat simpatik dunia, karena telah menyerang dan menawan pimpinan negara lain yang
sudah merdeka.
Sebelum di tawan Belanda, Presiden Sukarno masih sempat mengirimkan radiogram
kepada Menteri Kemakmuran Rakyat, Mr. Syafrudin Prawiranegara yang sedang bertugas di
Sumatera untuk membentuk pemerintahan darurat. Mandat tersebut, adalah :
Mandat Pemerintah
“Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19
Desember 1948 jam 05.00 pagi Belanda memulai serangannya atas ibukota Yogyakarta. Jika
2 Ibid, halaman 201-202
dalam keadaan pemerintah tidak dapat melakukan tugasnya lagi, kami mengutus kepada Mr.
Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat Republik Indoneia untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera”
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Soekarno
Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta
Selain mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara, Presiden juga
mengirimkan radiogram kepada pimpinan negara yang sedang berada di luar negeri, sesuai
dengan keputusan sidang kabinet. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi apabila
pembentukan PDRI di dalam negeri gagal. Dengan adanya PDRI di luar negeri berarti RI masih
tetap berdiri dan mempunyai pemerintahan walaupun di pengasingan. Dengan demikian maka
Belanda tidak dapat mengklaim bahwa RI telah hancur atau tidak ada.
2. Langkah Militer/Konfrontasi
Ketika Belanda benar-benar melancarkan serangannya, TNI sebenarnya tidak kaget,
karena sudah menduga sebelumnya. Setiap kali Belanda mengadakan perjanjian, selalu
melanggar persetujuan itu, dilanjutkan dengan serangan militer. Walaupun tidak kaget, bukan
berarti TNI benar-benar siap menghadapi Belanda. Kemampuan dan keterbatasan persenjataan
maupun personil menjadi penyebab utama ketidaksiapan itu.
Sebelum Belanda melancarkan serangan terhadap Kota Yogyakarta 19 Desember 1948,
Panglima Besar Jenderal Sudirman pada 9 November 1948 telah mengeluarkan perintah
perubahan siasat pertahanan, yang terkenal dengan Perintah Siasat Nomor 1. Dalam perintah
sisaat tersebut intinya merupakan penjabaran dari Pertahanan Rakyat Semesta berisikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Sistem pertahnan lini (Pertahanan Berlapis Segaris) tidak lagi digunakan untuk
menghadapi Belanda, melainkan dengan Sistem Wehrkreise (Lingkaran Pertahanan).
Dalam sistem wehrkreise ini daerah pertahanan dibagi-bagi dalam lingkaran pertahanan
yang dapat berdiri sendiri. Tiap daerah wehrkreise memilki satu brigade pasukan mobil dan
unsur-unsur teritorial.
2. Pasukan-pasukan yang tadinya hijrah ke daerah RI harus melakukan wingate yang
artinya melakukan infiltrasi ke wilayah/daerah asal pasukan itu yang telah menjadi daerah
pendudukan musuh.
3. Pengungsian dapat dilakukan dengan usaha menghambat laju serangan musuh antara
lain dengan melakukan sabotase dan siasat bumi hangus.
Dalam perintah ini terjadi perubahan sistem pertahanan dari sistem linier menjadi sistem
wehrkreise. Dalam sistem pertahanan linier, pasukan dipusatkan pada satu daerah atau garis
pertahanan. Apabila daerah pertahanan itu berhasil ditembus musuh, maka hancurlah kekuatan
Republik karena tidak mempunyai pasukan cadangan maupun pertahanan lainnya.
Wehrkreise istilah bahasa Jerman yang berarti lingkaran pertahanan. Sistem wehrkreise
artinya pertahanan dalam lingkaran-lingkaran pertahanan yang dapat berdiri sendiri, namun
dapat juga saling membantu dan mendukung dengan lingkaran pertahanan yang lain. Dalam
sistem wehrkreise ditentukan bahwa pertahanan haruslah berlapis-lapis sesuai dengan daerah-
daerah kantong gerilya. Apabila daerah pertahanan di depan berhasil dikuasai musuh, maka
masih mempunyai daerah pertahanan lainnya. Prajurit yang sudah mundur dari garis pertahanan
pertama dapat menggabungkan diri dengan daerah pertahanan berikutnya. Dengan demikian,
maka gerak musuh dapat dihambat. Selain itu dapat menghemat personil prajurit karena sistem
pertahanan ini sesuai benar dengan konsep perang gerilya. Konsep pertahanan inilah yang
diterapkan TNI untuk menghadapi Agresi Belanda II, sehingga di daerah-daerah gerilya
terjadilah proses konsolidasi kekuatan.
Selain perubahan sistem pertahanan, dalam Perintah Siasat juga diperintahkan untuk
wingate. Yang namanya wingate adalah melakukan infiltrasi ke daerah atau tempat asal pasukan
itu yang telah menjadi daerah pendudukan musuh. Pasukan Siliwangi ditugaskan kembali ke
Jawa Barat. Perjalanan tersebut terkenal sebagai long march Divisi Siliwangi. Divisi Brawijaya
diperintahkan kembali ke Jawa Timur. Wingate adalah nama pimpinan pasukan Inggris di Birma
yang berhasil mengusir Jepang yaitu Jenderal Orde Wingate. Dengan wingate, maka pasukan
disusupkan ke daerah musuh, sebab semula para gerilyawan hanya terpusat di Jawa Tengah dan
DIY sebagai akibat dari Perjanjian Renville. Agar tampak tidak melanggar perjanjian maka TNI
menyusupkan tentaranya ke daerah-daerah yang masih dikuasai Belanda seperti Jawa Barat dan
Jawa Timur.
Di bidang organisasi telah dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dipimpin
oleh Kolonel AH. Nasution dan Markas Besar Komando Sumatera (MBKS) dipimpin oleh
Kolonel Hidayat. Di seluruh medan gerilya dibentuk pemerintahan militer yang menyatukan
unsur-unsur militer dan unsur-unsur pamong praja sipil. Dalam pemerintahan militer
kecamatanlah yang menjadi basis utama pertahanan dengan sandaran kekuatan pada tenaga
rakyat di desa-desa. Pasukan TNI dan pejabat pemerintahan telah mempunyai tugas-tugas
tertentu. Tempat pengungsian Kepala Negara dan tokoh pemerintahan telah disiapkan. Sekali ini
pada hakekatnya RI telah mempunyai persiapan untuk menghadapi aksi militer Belanda.
Pada pukul 05.00 lapangan terbang Maguwo dibom Belanda dengan menggunakan
pesawat pembom Mitchel B-25 diikuti penerjunan pasukan Baret Hijau untuk merebut lapangan
terbang itu. Kota Yogyakarta juga dihujani bom dengan pesawat Mustang dan Spitfire Belanda.
Brigade marinirnya pun serta diterjunkan dan kemudian bergabung dengan pasukan Baret Hijau.
Ketika tentara kolonial Belanda untuk kedua kalinya menyerbu RI dan berhasil menduduki
ibukota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak menyingkir, TNI di
bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman melancarkan perang gerilya beserta seluruh
rakyat. Ia segera mengeluarkan perintah agar TNI dan para pejuang lainnya untuk meninggalkan
kota dan menyusun kekuatan di luar kota. Kapten Suparjo diutus untuk menyampaikan kepada
Presiden sedangkan Kapten Soewondo ditugaskan untuk menyampaikan perintah kilat kepada
Angkatan Perang Republik Indonesia melalui siaran RRI Yogyakarta. Perintah kilat tersebut
sebagai berikut :
1. Kita telah diserang
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta
dan lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.
4. Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi
serangan Belanda.
Perintah itu di terima oleh Kolonel Nasution, wakil Panglima Besar/Panglima Tentra dan
Teritorium Jawa Tengah yang sedang mengadakan perjalanan keliling ke Jaa Timur, di markas
tentara jombang pada pukul 08.00 pagi. Berhubung adanya perintah itu, Kolonel Nasution
dengan rombongan meninggalkan Jombang menuju Yogyakarta. Berhubung ada berita tentang
penangkapan pemimpin-pemimpin Republik indonesia, Kolonel Nasution membentuk
pemerintahan militer untuk mengisi kekosongan pemerintah sipil dan menyusun pertahanan
rakyat semesta. Di Jawa tengah ada dua divisi, satu dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto, satu
lagi dipimpin oleh Kolonel Bambang sugeng. Divisi yang dipimpin oleh Kolonel Gatot subroto
bergerak dikota Surakarta dan sekitarnya, sedagkan divisi yang dipimpin oleh Kolonel Bambang
sugeng melancarkan gerakan gerilya di daerah kedu dengan magelang sebagai sasaran
utamanya.3
Dengan diiringi oleh ajudan dan pasukan pengawalnya, Jenderal Sudirman naik gunung
turun gunung, masuk hutan keluar hutan, menempuh terik matahari dan curahan hujan lebat
untuk memimpin perlawanan rakyat semesta terhadap musuh. Pak Dirman memberikan
pegangan dan kekuatan batin kepada rakyat dan prajurit-prajurit yang berjuang habis-habisan
untuk kelangsungan hidup negaranya. Selama 7 bulan Jenderal Sudirman menjadi pegangan
bagi seluruh rakyat yang melaksanakan pergulatan dahsyat untuk kelangsungan hidup Negara
Republik Indonesia. Dalam saat-saat yang paling gelap dalam perjuangan bangsa, Sudirman
merupakan obor yang memancarkan sinar ke sekelilingnya. Konsolidasi dan koordinasi
dilakukan dengan para komandan pasukan di daerah kantong-kantong gerilya maupun
pemerintah setempat baik sipil maupun militer. Dengan konsolidasi dan koordinasi tampak
bahwa semangat juang para prajurit semakin meningkat apalagi dengan dukungan penuh dari
rakyat. MBKD dan MBKS segera diaktifkan di bawah kendali panglima masing-masing yaitu
Kol. AH. Nasution dan Kolonel Hidayat. Pemerintahan militer memutar rodanya dengan lancar.
Dengan demikian di seluruh Jawa dan Sumatera di mana terdapat parjurit TNI, Polisi dan
pejuang, disitulah kekuasaan Republik Indonesia tetap berdiri. Di seluruh daerah Republik
menjadi medan gerilya yang sangat luas, sehingga sangat menyulitkan posisi Belanda yang
hanya menguasai kota-kota, sedangkan di daerah dan desa-desa masih dalam kekuasaan kaum
pejuang.
Sementara itu, TNI dalam waktu kurang lebih satu bulan sudah selesai dengan
konsolidasinya dan sudah memberikan pukulan-pukulan kepada tentara Belanda. Pertama kali
yang menjadi sasaran adalah garis-garis komunikasi Belanda. Kawat telepon diputuskan, jalan
kereta api dirusak dan bahkan konvoi-konvoi Belanda di siang hari diserang. Oleh karena itu,
pihak Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang
menghubungkan kota-kota yang telah didudukinya. Dengan demikian man power-nya habis,
3 Slamet Muljana, Kesadaran Nasional, hal: 208-209
terpaku pada ribuan pos kecil di seluruh daerah Republik yang kini merupakan satu medan
gerilya yang luas.
Di luar jawa ada juga gerakan gerilya seperti di Sumatra dan Kalimantan. Sebaian di
daerah Sumatra masih dikuasai Republik Indonesia, hanya kota medan dan Palembang yang
telah jatuh ke tangan Belanda. Demikianlah perang gerilya itu merajalela dan mengganggu
kehidupan tentara Belanda di kota-kota yang mereka duduki.4
B. REAKSI DUNIA TERHADAP AM II
1. Negara Asia dan Afrika
Birma dan India memprakarsai diselenggarakannya Konferensi Asia di New Delhi pada
20 – 23 Januri 1949. Konferensi itu dihadiri oleh perwakilan negara-negara Afrika dan Australia.
Di New Delhi, perdana menteri Nehru pada tanggal 20-23 januari mengadakan konferensi
mengenai sengketa Indonesia-Nederland yang dihadiri oleh 21 negara : india, Persia, Sri Langka,
Afganistan, Birma, Mesir, Thailand, Syria, Saudi Arabia, Nepal, Libanon, Transyordania, Irak,
Yaman, Pakistan, Cina, Filiphina, Indonesia, Selandia Baru, Abessinia dan Australia. Konferensi
New Delhi membuat resolusi yang menguntungkan indonesia.5
Jumlah seluruhnya 19 negara dengan acara tunggal membahas Agresi Militer Belanda II
terhadap Indonesia. Dalam konferensi ini Indonesia juga mengirimkan wakil-wakilnya yang
kebetulan para pimpinan yang pada saat Belanda menyerang Yogyakarta sedang bertugas di Luar
Negeri. Beberapa perwakilan Indonesia adalah Mr. AA. Maramis selaku Menteri Luar Negeri
PDRI, Mr. Utoyo sebagai wakil RI di Singapura, Dr. Sudarsono sebagai wakil RI di India dan
Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Wakil Dagang RI di Amerika Serikat.
Konferensi ini menghasilkan resolusi sebagai berikut ;
1. Belanda harus mengembalikan pemerintahan RI ke Yogyakarta
2. Pembentukan pemerintahan ad interim yang mempunyai kemerdekaan politik luar negeri
sebelum 15 Maret 1949
3. Tentara Belanda harus ditarik mundur dari seluruh wilayah negara RI
4 Slamet Muljana, Kesadaran Nasiona,. Halaman 2095 Slamet Mulyana, Kesadaran Nasional, Halaman 218
4. Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat (RIS) paling lambat pada 1
Januari 1950.
Hasil konferensi Asia-Afrika di New Delhi tersebut selanjutnya disampaikan kepada
Dewan Keamanan PBB untuk dibahas dan ditindaklanjuti. Akhirnya pada tanggal 24 Januari
1949 DK PBB bersidang membahas masalah. Pada tanggal 28 januari 1949 Dewan Keamanan
menerima resolusi yang diajukan oleh Amerika, cina, cuba dan Norwegia, yang isinya:
1. Mendesak Nederland untuk segera menhengtkan operasi militer ; mendesak
indonesia untuk mengeluarkan perintah gencatan senjata untuk para gerilyawan.
2. Mendesak Nederland untuk segra membebaskan para tawanan politik tanpa syarat
dan memberikan kemudahan untuk pengembalian mereka ke Yogyakarta dengan maksud
untuk melaksanakan keputusan Dewan Keamanan pasal 1, dan menjalankan tugas
pemerintahan di wilayah Yogyakarta yang bebas dan,
3. Agar pihak Nederland dan Indonesia membuka perundingan lagi atas dasar
persetujan Linggarjati dan Renville.6
2. Amerika dan Eropa
Perubahan Sikap Amerika Serikat
Meskipun Amerika Serikat adalah salah satu negara yang pada saat itu mengeluarkan
reaksi marah terhadap Belanda yang sudah melanggar perjanjian gencatan senjata yang
disponsori oleh PBB dan melalui wakilnya di Dewan Keamanan PBB yaitu Dr. Phillip Jessup
yang meminta agar diadakan rapat pada tanggal 21 dan dihasilkanlah suatu konsepsi resolusi
bersama Amerika Serikat, Columbia, dan Syria. Konsep itu menganjurkan agar kedua pihak
mulai saat itu menghentikan pertempuran dan segera mengundurkan tentaranya ke garis
demarkasi masing-masing yang sudah ditetapkan oleh Perjanjian Gencatan Senjata tanggal 17
Januari 1948.7
Amerika Serikat sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya selalu mendukung
Belanda. Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, Dr. Baskara T. Wardana SJ,
menyampaikan bahwa Amerika Serikat selalu mendukung Belanda untuk menduduki kembali
Indonesia. Ada sejumlah alasan bagi Amerika Serikat untuk menempatkan pada posisi demikian.
6 Slamet Muljana, Kesadaran Nasional, Halaman 2217 Kahin, George McTurnan, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, Halaman 430
Pertama, ketakutan akan komunisme. Para pembuat kebijakan luar negeri pada masa
Presiden Truman takut bahwa tiadanya kekuatan Barat di Indonesia pada pasca Perang Dunia II
akan memungkinkan masuknya Uni Soviet dan menjadikan wilayah tersebut rentan terhadap
pengaruh komunisme. Lebih lanjut mereka khawatir bahwa masuknya komunisme di wilayah ini
akan mengancam negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Para pembantu Truman di
Washinton sependapat dengan pandangan Loving, Duta Besar Belanda untuk Uni Soviet bahwa
di Indonesia “apa yang dipertaruhkan Uni Soviet berkaitan dengan masalah strategis sangat
tinggi, sebuah benteng komunis yang terletak antara Singapura, Filipina dan Australia”. Mereka
berharap bahwa keberadaan Belanda di wilayah itu mampu menghalangi ketakutan macam itu
menjadi kenyataan. Dengan kata lain, ketakutan terhadap penyebaran komunisme mengalahkan
sentimen anti kolonial Amerika.
Kedua, pentingnya Indonesia bagi kepentingan ekonomi Belanda. Indonesia yang kaya
dengan berbagai sumber daya alam seperti minyak, emas, karet, bauxite, kopra dan lain-lain
telah menjadi sumber utama ekonomi Belanda selama masa penjajahan. Negeri jajahan ini telah
menyumbangkan sekitar dua puluh persen pemasukan ekonominya. Membantu mengembalikan
Indonesia ke Belanda akan berarti membantu Negeri Kincir Angin tersebut dalam usaha
membangun kembali perekonomiannya yang telah porak poranda oleh Perang Dunia II.
Sebaliknya kegagalan Amerika untuk m,embantu menguasai kembali Indonesia akan
menyebabkan ketidakstabilan ekonomi Belanda, betapa pun besarnya bantuan Amerika yang
dikucurkan ke Belanda.
Ketiga, kepentingan ekonomi Amerika. Meskipun belum besar sekali, pada waktu itu
Amerika sudah memiliki berbagai kepentingan ekonomi di Indonesia. Ada sejumlah perusahaan
Amerika yang beroperasi di sini, khususnya dalam bisnis minyak dan karet di Sumatera. Para
pejabat Amerika khawatir bahwa kepergian Belanda dari Indonesia akan mendorong negeri baru
itu untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing termasuk milik Amerika. Stanley
Hornbeck, salah seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang paling ahli
mengenai Asia saat itu menulis pada tahun 1948 bahwa Indonesia adalah “ rangkaian kepulauan
yang paling kaya di dunia…suatu wilayah yang secara politis, ekonomis dan strategis amat
penting bagi seluruh dunia”. Sementara itu dalam surat kabar kepada Duta Besar Amerika untuk
Inggris (Harriman) pada 12 Juni 1946, Menteri Luar Negeri AS Byrnes menulis :
….perlindungan terhadap berbagai kepentingan yang berkaitan dengan minyak di wilayah
Palembang, khususnya ladang-ladang minyak, merupakan hal yang sangat mendesak, mengingat
bahwa kaum ekstremis sedang bersiap-sisap untuk menghancurkan sumur-sumur minyak dan
berbagai instalasi yang berkaitan dengan penyulingan minyak. Sejauh ini Departemen Luar
Negeri belum mendapat kejelasan mengenai siapa yang akan melindungi ladang-ladang minyak
itu, sementara rencana untuk melindungi kota Palembang tetap meragukan. Berhubung
kepentingan Inggris dalam melindungi perusahaan Shell juga melibatkan perlindungan sumur-
sumur dan berbagai peralatan yang letaknya tak jauh dari lokasi perusahaan Amerika di
Pendopo dan Talang Akar, Departemen Luar Negeri mengandaikan bahwa pemerintah Inggris
akan mengambil langkah-langkah guna melindungi berbagai asset itu.Dengan kata lain
keberadaan Belanda di Indonesia diharapkan akan turut menjamin kepentingan ekonomi
Amerika di Indonesia.
Keempat, kebutuhan Amerika akan dukungan Belanda di Eropa pasca Perang Dunia II.
Pada tahun-tahun pertama Perang Dingin, Amerika amat membutuhkan dukungan pihak Belanda
untuk bersama-sama negara lain membendung pengaruh Uni Soviet di Eropa Barat. Sebagai
imbalannya., Amerika membantu Belanda untuk menguasai kembali Indonesia atau setidaknya
ikut mengusahakan terjaminnya berbagai kepentingan ekonomi Belanda di wilayah bekas
jajahannya ini.
Kelima, kebutuhan Belanda akan dukungan Amerika. Sebagai negara kecil yang luluh
lantak akibat serbuan Jerman dalam Perang Dunia II, Belanda benar-benar membutuhkan
bantuan Amerika atau negara manapun untuk menguasai kembali bekas jajahannya guna
membangun kembali ekonominya. Tanpa bantuan dari luar, khususnya Amerika akan sulit bagi
Belanda untuk bisa menguasai kembali Indonesia. Dalam, rangka itulah mereka menekankan
kepada pihak Amerika bahwa Sukarno, Hatta dan para pemimpin Indonesia telah melakukan
tindakan tercela dengan menjadi kolaborator Jepang. Lebih dari itu sekarang ini mereka berubah
menjadi kaum ekstremis yang condong pada komunisme, walaupun dalam politik luar negeri
resminya menganut prinsip non blok. Jika para pemimpin itu berhasil dalam perjuangan
mengusir kekuatan Barat, maka akan terbukalah jalan bagi masuknya Uni Soviet dan pengaruh
komunisme, tidak hanya di Indonesda melainkan juga di Asia Tenggara pada umumnya.
Namun ketika berbagai kepentingan itu tidak selalu menguntungkan Amerika Serikat,
maka terjadilah perubahan dan kecenderungan sikap Amerika terhadap Indonesia. Setelah
Belanda melancarkan agresinya yang kedua terhadap Indonesia, kecenderungan sikap Amerika
yang mendukung Indonesia semakin nampak. Setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan
perubahan sikap Amerika Serikat ini.
Pertama adalah keberhasilan pemerintah Indonesia mengatasi peristiwa Pemberontakan
PKI di Madiun. Kolonel Gatot Subroto lalu memerintakan Siliwangi unutuk menghancurkan
kubu-kubu Muso di Madiun, sementara Presiden Sukarno mengangkat Kolonel Sungkono
sebagai Gubenur Militer Jawa Timur dengan maksud menyerang Madiun dari arah itu. Beberapa
saat sebelum Belanda menyerang RI pada Desember 1948, Muso ditembak mati oleh TNI.
Sebagian dari pengikut-pengikutnya yang tertangkap juga ditembak di tempat. Jumlah komunis
yang ditawan ketika itu adalah 35.000 orang. Dengan ketegasan ini menunjukkan bahwa
pemerintah Indonesia bukanlah pemerintahan komunis, melainkan anti komunis. Selama ini
Belanda selalu mempropagandakan bahwa Indoensia adalah negara komunis, sehingga
membahayakan kekuatan Barat yang dipimpin Amerika Serikat. Propaganda Belanda ini
dilakukan bukan hanya di forum-forum internasional seperti PBB, tetapi dalam lobi-lobi politik
kepada negara-negara Eropa dan Amerika. Tujuannya sangat jelas yaitu untuk mendapatkan
dukungan dalam menguasai Indoensesia kembali, baik dukungan politik maupun finansial.
Dengan ketegasan Pemerintah Indonesia menumpas PKI Madiun maka patahlah propaganda
Belanda selama ini. Oleh karena itu Amerika Serikat tidak perlu mengkhawatirkan lagi
keberadaan Indonesia.
Kedua adanya ketidakpatuhan Belanda terhadap segala ketentuan PBB berkaitan dengan
konflik di Indonesia. Agresi militer Belanda kedua 19 Desember 1948 telah mengabaikan seruan
PBB untuk menghentikan serangan terhadap Indonesia. Ketika serangan sudah berlangsung,
Belanda berhasil menawan para pemimpin Indonesia.
Amerika Serikat dalam suatu sidang DK PBB pada tanggal 24 Januari 1949 mengusulkan
resolusi yang mendapat tanggapan positif dari peserta sidang, yaitu :
1. Penghentian permusuhan.
2. Pembebasan Presiden RI dan para pemimpin yang ditawan sejak 19 Desember 1948.
3. Pemberian laporan lengkap tentang keadaan Indonesia sejak 19 Desember 1948 yang
diperintahkan kepada KTN.
Tindak lanjut dari usulan Amerika Serikat tersebut maka DK PBB mengeluarkan sebuah
resolusi yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak yang bertikai yaitu Indonesia dan Belanda.
Pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang
berisi :
1. Penghentian operasi militer Belanda dan aktifitas gerilya Indonesia serta mengadakan
perdamaian.
2. Pembebasan tahanan politik RI yang ditawan sejak 19 Desember 1948
3. Pengembalian pemimpin RI ke Yogyakarta, pemerintahan RI seta wilayah RI menurut
persetujuan Renville DK PBB tersebut
4. Perundingan dilakukan secepatnya berdasarkan Perjanjian Linggarjati, Renville dan
pembentukan pemerintah ad interim federal paling lambat 15 Maret 1949. Pembentukan
Dewan Konstitusi UUD Negara serikat paling lambat 1 Juli 1949.
5. Penggantian KTN menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Indoesia atau
United Nation Commission for Indonesia (UNCI).
Tetapi Belanda tidak menganggap serius seruan PBB tersebut, sehingga menolak untuk
mematuhinya. Akibat penolakan ini maka anggota Amerika Serikat mulai berpikir ulang
terhadap dukungan kepada Belanda. Hal ini karena Belanda berani menolak resolusi PBB, dan
bila dibiarkan bisa membahayakan serta merendahkan kewibawaan organisasi internasional
tersebut.
Bila negara kecil berani menolak resolusi DK PBB, apalagi PBB baru beberapa tahun
berdiri maka dikhawatirkan akan mengulang hancurnya lembaga internasional seperti di alami
LBB. Pada saat itu beberapa anggota LBB yang merupakan negara kecil seperti Jepang dan
Jerman sering tidak mematuhi resolusi LBB akhirnya meletuslah Perang Dunia II. Amerika
Serikat tentu saja tidak ingin mengulang hal ini apalagi salah seorang pendiri PBB adalah
Presiden AS Franklin Delano Resevelt sehingga nama besar cAmerika Serikat dipertaruhkan di
hadapan belanda. Selain itu AS merupakan salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB
yang mempunyai hak veto, tentu saja kehendaknya ingin dipatuhi dan dihormati oleh negara lain.
Amerika Serikat mengancam jika Belanda tidak menghentikan tindakan agresinya
terhadap Indonesia, maka akan dikenakan sanksi ekonomi dengan mencabut bantuan Amerika
Serikat dalam Marshall Plan (Supriatna, 2002: 149).
3. PBB
Dewan Keamanan PBB segera bersidang pada tanggal 24 Januari 1949 sebagai reaksi
terhadap Agresi Militer Belanda II sekaligus tanggapan terhadap desakan negara-negara Asia
dan Afrika dalam pertemuyan di New Delhi (India).
Pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang
berisi :
6. Penghentian operasi militer Belanda dan aktifitas gerilya Indonesia serta mengadakan
perdamaian.
7. Pembebasan tahanan politik RI yang ditawan sejak 19 Desember 1948
8. Pengembalian pemimpin RI ke Yogyakarta, pemerintahan RI seta wilayah RI menurut
persetujuan Renville DK PBB tersebut
9. Perundingan dilakukan secepatnya berdasarkan Perjanjian Linggarjati, Renville dan
pembentukan pemerintah ad interim federal paling lambat 15 Maret 1949. Pembentukan
Dewan Konstitusi UUD Negara serikat paling lambat 1 Juli 1949.
10. Penggantian KTN menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Indoesia atau
United Nation Commission for Indonesia (UNCI).
Tugas UNCI pada dasarnya sama dengan tugas KTN, tetapi dengan anggotanya UNCI
melibatkan lebih banyak negara, yaitu negara-negara yang telah mempunyai perwakilan di
Indonesia. Sedangkan KTN hanya beranggotakan tiga negara yaitu Amerika Serikat, Australia
dan Belgia. Selanjutnya UNCI berinisiatif untuk mempertemukan kedua belah pihak yang
bertikai yaitu Indonesia dan Belanda untuk mengadakan perundingan.
Resolusi yang dikeluarkan PBB tersebut di atas merupakan hasil usulan negara-negara
Asia dan Afrika dalam Konferensi di New Delhi (India) 20-23 Januari 1949 maupun usulan
Amerika Serikat dalam Sidang DK PBB 24 Januari 1949.
Tetapi Belanda tidak menganggap serius seruan PBB tersebut, sehingga menolak untuk
mematuhinya. Akibat penolakan ini maka anggota DK PBB mulai berpikir ulang terhadap
dukungan kepada Belanda. Hal ini karena Belanda berani menolak resolusi PBB, dan bila
dibiarkan bisa membahayakan serta merendahkan kewibawaan organisasi internasional tersebut.
Pada tanggal 23 Maret 1949 Dewan Keamanan PBB mengirimkan kawat kepada
Belanda, yang isinya sebagai berikut :
1. DK PBB akan memberikan bantuan agar tercapainya pelaksanaan resolusi DK PBB 28
Januari 1949, terutama tentang penghentian aksi militer Belanda dan pengembalian
pemimpin RI ke Yogyakarta
2. Belanda harus menetapkan tanggal, waktu dan syarat-syarat penyelenggraan KMB di
Den Haag agar diselenggrakan secepatnya.
4.Palang Merah Internasional (PMI)
Permasalahan antara Indonesia dengan Belanda tidak hanya menarik perhatian dan peran
serta dari Negara-Negara dari berbagai belahan dunia, tetapi juga turut menarik perhatian dan
peran serta dari berbagai organisasi Internasional yang ada. Salah satu Organisasi Internasional
yang tercatat pernah terlibat dalam urusan penyelesaian sengketa antara Indonesia dengan
Belanda ialah Organisasi Palang Merah Internasional. Pada masa-masa awal dilakukannya
Agresi Militer oleh Belanda, Palang Merah Internasional tercatat pernah berupaya begitu keras
untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang berupa obat-obatan kepada Indonesia yang
mereka katakan telah mengalami penderitaan akibat dari Agresi Militer yang dilakukan oleh
Belanda (Nasution, 1979).8
Tercatat telah beberapa kali Organisasi Internasional ini berupaya dengan keras untuk
dapat menyalurkan bantuan kepada Indonesia ditengah upaya Belanda untuk menutup rapat-rapat
setiap peluang bantuan Internasional diberikan kepada Indonesia. Setelah menemui kegagalan
pada upayanya yang pertama untuk mengirimkan bantuan kepada Indonesia melalui jalur laut,
beberapa upaya berikutnya dari Palang Merah Internasional untuk mengirimkan bantuan kepada
Indonesia juga turut mengalami kegagalan akibat dari sikap agresif yang ditunjukan oleh
Belanda atas seluruh upaya pemberian bantuan terhadap Indonesia.9
Salah satu upaya yang cukup mendapat perhatian karena berakhir dengan sangat tragis
adalah upaya mengirimkan bantuan melalui jalur udara dengan menggunakan pesawat ringan
bertanda Palang Merah Internasional yang berakhir dengan kegagalan karena pesawat tersebut
ditembak jatuh oleh pesawat tempur Belanda saat akan mendarat di lapangan udara Magoewo di
Yogyakarta. Dalampersitiwa tersebut hampir seluruh penumpang pesawat tersebut tewas,
8 Nasution, A.H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesi-Agresi Militer Belanda II, 1978.9 Ibid
termasuk dua penerbang Indonesia, Adisutjipto dan Adisumarmo yang turut gugur dalam
peristiwa tersebut.10
Meskipun kerap mengalami kegagalan pada upaya-upayanya yang pertama untuk
memberikan bantuan kepada Indonesia, namun berkat kegigihan baik Palang Merah
Internasional, tokoh-tokoh Republik Indonesia, serta pejuang-pejuang Indonesia, pada akhirnya
seiring dengan meningkatnya dukungan terhadap posisi Indonesia serta tekanan kepada
Pemerintah Belanda atas tindakan Agresi Militer yang dilakukannya terhadap Indonesia,
bantuan-bantuan yang dikirimkan oleh Palang Merah Internasional akhirnya dapat diterima oleh
pihak Indonesia dikemudian hari.11
C. PERJANJIAN ROEM ROYEN
Pada bulan pertama tahun 1949 karena didesak oleh Dewan Keamanan PBB, Belanda
mengadakan pendekatan-pendekatan politis dengan Indonesia. Perdana Menteri Belanda Dr.
Willem Drees mengundang Prof. Dr. Supomo untuk berunding. Undangan itu diterima dan
merupakan pertemuan pertama antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda sejak tanggal 19
Desember 1948. Pertemuan antara Perdana Menteri Dr. Willem Drees dengan Prof. Dr. Supomo
tidak diumumkan kepada masyarakat sehingga bersifat informal. Petemuan lainnya yang bersifat
informal adalah antara utusan BFO yaitu Mr. Djumhana dan Dr. Ateng dengan Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 21 Januari 1949. Hasil pembicaraan
secara mendetil dari pertemuan-pertemuan itu tidak pernah diumumkan secara resmi, kecuali
diberitakan oleh harian Merdeka pada 19 Januari 1949 dan 24 Januari 1949. Namun demikian
dari pertemuan informal tersebut dicapai kesepakatan antara RI dengan BFO yang disampaikan
oleh Mr. Moh. Roem bahwa RI bersedia berunding dengan BFO di bawah pengawasan Komisi
PBB dalam suatu perundingan formal.
Pada tanggal 13 Pebruari 1949 Wakil Presiden Mohammad Hatta secara resmi
menyatakan pendapatnya bahwa perundingan dapat saja dilakukan dengan syarat
dikembalikannya pemerintah RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari wilayah
RI sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 24 Januari 1949. Pendirian Wakil
Presiden Mohammad Hatta kemudian disetujui dan didukung oleh delegasi BFO.
10 Ibid11 Ibid
Berdasarkan kenyataan dan penjajagan politis yang dilakukan oleh Belanda terhadap para
pemimpin Indonesia diperoleh kesimpulan bahwa pada umumnya bersedia berunding. Oleh
karena itu Belanda pada tanggal 26 Pebruari 1949 mengumumkan akan mengadakan Konferensi
Meja Bundar pada tanggal 12 Maret 1949. KMB akan diadakan dengan diikuti oleh Belanda,
Indonesia dan negara-negara bentukan Belanda guna membicarakan masalah Indonesia seperti
syarat-syarat penyerahan kedaulatan dan pembentukan Uni Indonesia Belanda.
Pemerintah Belanda mengutus Dr. Koets sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda pada
tanggal 28 Pebruari 1949 untuk menemui Ir. Sukarno beserta beberapa pemimpin RI yang masih
ditawan di Pulau Bangka untuk menyampaikan rencana KMB. Hal-hal yang disampiakan kepada
Ir. Sukarno antara lain :
1. Pemerintah Belanda akan mengadakan KMB di Den Haag guna membahas penyerahan
kedaulatan yang dipercepat.
2. Penarikan pasukan Belanda secepat-cepatnya setelah penyerahan kedaulatan
3. Tentang pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta, dinyakatan bahwa hal tersebut tidak
mungkin dilakukan (Kartodirjo, 1977: 64). Selain menjelaskan hal-hal tersebut diatas, Dr.
Koets juga mengundang Presiden Sukarno untuk hadir dalam KMB.
Pada tanggal 3 Maret 1949 Presiden Sukarno mengadakan pembicaraan dengan
penghubung BFO tentang perlunya pengembalian kedudukan pemerintah RI sebagai syarat
diadakannya perundinagn sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pada tanggal 4 Maret 1949 Presiden Sukarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota
Belanda, berisi penolakan menghadiri KMB, kecuali dengan syarat :
1. Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk memulai perundingan.
2. Kedudukan dan kewajiban Komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu melaksanakan
resolusi PBB tidak akan terganggu (Kartodirjo, 1977: 64).
Undangan menghadiri KMB yang dimaksud oleh Dr. Koets tentu saja bukan undangan
pribadi kepada Ir. Sukarno, melainkan undangan untuk pemerintah Indonesia. Oleh karena itu
Presiden Sukarno menyampaikan bahwa RI tidak mungkin berunding tanpa pengembalian
pemerintahan ke Yogyakarta. Dengan demikian maka sebelum perundingan dimulai, secara tidak
langsung Belanda harus sudah mengakui bahwa RI masih tegak berdiri.
Sementara itu pihak BFO juga mengeluarkan surat pernyataan yang berisi pemberitahuan
bahwa BFO tetap dalam pendirian semula, yakni :
1. Supaya pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta
2. Komisi PBB untuk Indonesia membantu melaksanakan resolusi.
3. RI memerintakan gencatan senjata.
Sedangkan Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 23 Maret 1949 memberitahukan
kepada Belanda bahwa Komisi PBB telah bekerja sesuai dengan resolusi Dewan Keamnaan PBB
tanggal 28 Januari 1949 dan tidak merugikan tuntutan kedua belah pihak. Komisi PBB akan
memberikan bantuan terhadap :
1. Tercapainya persetujuan sebagai pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28
Januari 1949 paragraf 1 dan 2 yakni menghentikan aksi militer Belanda dan pengembalian
pemimpin RI ke Yogyakarta
2. Menetapkan tanggal dan waktu serta syarat untuk mengadakan KMB di Den Haag agar dapat
diselenggarakan secepatnya.
Adanya tekanan dunia internasional terhadap Belanda serta dukungan perjuangan
terhadap Indonesia dari beberapa negara asing menyebabkan Belanda bersedia mengadakan
perundingan kembali dengan Indonesia. Selain faktor dari luar, perjuangan bersenjata dari pihak
TNI dan badan kelaskaran di Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II telah ikut
memaksa Belanda untuk menyadari posisinya.
Di dalam negeri terjadi diplomasi informal antara pihak PDRI, AP, Presiden dan Wakil
Presiden di satu pihak dengan BFO dipihak lain. Hal ini dilakukan untuk menghadapi
perundinagn dengan Belanda, yang selam ini terkenal dengan kelicikannya. Oleh karena itu
pihak Republiken dan pihak federal untuk saling menyatukan langkah agar tercipta
kesepahaman. Dengan perundingan internal ini maka apa yang akan dilakukan oleh delegasi RI
dalam perundingan Roem Royen mewakili aspirasi sebagai besar rakyat Indonesia. Selain itu
untuk mendinginkan susana penentangan yang begitu besar dari kalangan Angkatan Perang dan
badan kelaskaran lainnya. Dengan demikian maka beban para delegasi akan semakin ringan
sekaligus mantap menghadapi Belanda. Selanjutnya para pemimpin RI yang masih di
pengasingan menunjuk anggota delegasi yang akan berunding dengan Belanda.
Delegasi Republik dipimpin oleh Mr. Moh. Roem sebagai Ketua dan Mr. Ali
Sastroamijoyo sebagai wakil ketua. Anggota-anggotanya adalah : Dr. J. Leimena, Ir. Juanda,
Prof. Dr. Supomo, Mr. Latuharhary disertai lima orang penasehat. Delegasi Belanda dipimpin
oleh Dr. J.H. Van Royen, dengan anggota-anggotanya Mr. N.S. Blom, Mr. A.S. Jacob, Dr. J.J.
Van der Velde dan empat orang penasehat.
Perundingan dimulai pada 14 April 1949 yang dilakukan oleh Mr. Moh. Roem
(Indonesia) dengan Dr. Van Roijen (Belanda) dengan mediator Merle Cochran (anggota UNCI
dari AS). Perundingan ini dilakukan di Hotel Des Indes (Hotel Duta Merlin Jakarta, sekarang).
Dalam pembukaan perundingan Merle Cochran mengemukakan bahwa perundingan
tersebut merupakan inisiatif PBB dengan maksud untuk melaksanakan resolusi Dewan
Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949. Selain itu dia mengatakan bahwa pendirian pemerintah
RI agar perundingan mendahulukan tuntutan pemerintah RI agar dikembalikan ke Yogyakarta.
Dengan kenbalinya pemerintah RI ke Yogyakarta baru terbuka kemungkinan bagi delegasi untuk
mengambil keputusan soal lainnya.
Delegasi Belanda bersedia mendahulukan perundingan mengenai syarat-syarat untuk
memungkinkan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta tetapi tiap kewajiban yang mengikat
yang mungkin timbul dalam perundingan harus ditunda sampai tercapainya persetujuan tentang
perintah penghentian perang gerilya dan membuat perjanjian mengenai waktu dan syarat KMB
di Den Haag. Setelah dicapai kesepakan awal maka perundingan beriktunya berjalan lambat
karena masing-maisng pihak berpegang pada pendiriannya masing-masing.
Perundingan berlarut-larut dan sempat terhenti sampai 1 Mei 1949 karena terjadinya
perbedaan pendapat yang tajam. Pemerintah Belanda menghendaki agar RI menghentikan
gerakan gerilya oleh pejuangnya, bersedia menghadiri KMB dan bersedia bekerjasama
menciptakan keamanan dan ketertiban, barulah pemerintahan dan pemimpin RI yang ditahan
Belanda dibebaskan. Sedangkan pihak Indonesia menghendaki agar para pemimpin dibebaskan
lebih dahulu agar dapat melakukan koordinasi untuk menjalankan pemerintahan.
Karena perundinagn berjalan sangat lamban, bahkan hampir mengalami jalan buntu,
pada tanggal 24 April 1949 Drs. Mohammad Hatta datang ke Jakarta. Pihak RI menempuh cara
lain yakni mengadakan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda disaksikan
Merle Cochran. Pada tanggal 25 April diadakan pertemuan informal pertama antara Drs. Moh.
Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr. Van Royen. Hasil pertemuan ini tidak diumumkan,
namun Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan bahwa pertemuan informal itu untuk membantu
memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda.
Perundingan infromil juga dilakukan antara pemerintah RI dengan BFO sebanyak dua
kali yaitu tanggal 28 April 1949 dan tanggal 4-5 Mei 1949. Komisi PBB untuk Indonesia
menunggu hasil-hasil perundingan informal tersebut karena hasil-hasil perundingan tersebut
justru membawa kemajuan. Dari perundinagn-perundingan informal tersebut pada dasarnya
pemerintah Belanda telah setuju tentang pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dengan
syarat harus dibarengi dengan perintah pengehentian perang gerilya.
Masalah lainnya yang begitu sulit adalah masalah luasnya daerah kekuasaan RI. Petunjuk
dari Bangka kepada delegasi RI menghendaki dilaksanakannya resolusi Dewan Keamanan PBB
dan pengembalian daerah RI (menurut persetujuan Renville) secara berangsur-angsur. Petunjuk
dari Bangka hanya menekankan pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta, bukan pada
luasnya wilayah RI. Oleh karena itu walaupun wilayah RI hanya seluas lima mil persegi pun
harus diterima sebagai langkah permulaan. Tetapi delegasi RI di Jakarta mengkhawatirkan
dengan luas wilayah seluas lima mil persegi sangat berbahaya untuk pertahanan.
Anggota UNCI dari AS Merle Cohran mendesak Indonesia agar dapat menerima usulan
Belanda dengan kompensasi bantuan ekonomi setelah pengakuan kedaulatan, tetapi sebaliknya
mengancam untuk tidak memberi bantuan apapun kepada Indonesia apabila pihak RI tidak bisa
melanjutkan perundingan. Selanjutnya masing-masing pihak mengeluarkan pernyataan.
Pihak Indonesia mengeluarkan pernyataan sebagai berikut :
1. Mengeluarkan perintah kepada kesatuan-kesatuan bersenjata untuk menghentikan perang
gerilya, sedangkan pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta.
2. Bersedia bekerjasama dalam pemulihan perdamaian, dan pemeliharaan ketertiban dan
keamanan
3. Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan
kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada RIS tanpa syarat.
Pernyataan pihak Belanda adalah :
1. Menyetujui kembalinya pemerintah dan pemimpin RI ke Yogyakarta
1. Menjamin penghentian gerakan militer dan menjamin pembebasan semua tahanan politik
2. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara di daerah yang dikuasai RI sebelum
19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan
pihak RI.
3. Belanda akan mendukung RI sebagai bagian dari RIS dengan mempunyai sepertiga suara
dalam perwakilan Federal.
Persetujuan ini sebenarnya hanya berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang masing-masing
menyetujui pernyataan pihak lainnya. Isi pernyataan ini ditanda tangani pada 7 Mei 1949 oleh
ketua perwakilan kedua negara yaitu Mr. Moh. Roem dan Dr. Van Roiyen, oleh karena itu
terkenal dengan sebutan Roem Royen Statemens.
Dalam bentuk isi yang masih belum terperinci, Roem Royen Statement ditulis oleh
Sartono Kartodirjo, sebagai berikut :
I. Statement Delegasi Repblik Indonesia (Diucapkan oleh Mr. Moh. Roem).
Sebagai Ketua Delegasi Republik saya diberi kuasa oleh Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka sendiri (personlijk),
sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 28 Januari 1949 dan petunjuk-
petunjuknya tertanggal 23 Maret 1949 untuk memudahkan tercapainya :
1. Pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk
menghentikan perang gerilya.
2. Kerjasama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan
keamanan, dan
3. Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk
mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara
Indonesia Serikat, yang tidak bersyarat. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh
pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di
Yogyakarta.
II. Statement Delegasi Belanda (Diucapkan oleh Dr. Van Royen)
1. Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa, berhubungan dengan
kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Roem, ia menyetujui kembalinya
Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Delegasi Belanda selanjutnya
menyetujui pembentukan satu panitia bersama atau lebih di bawah auspices UNCI
dengan maksud ;
a. Mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya
Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta
b. Mempelajari dan memberi nasehat tentang tindakan-tindakan yang akan
diambil untuk melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerjasama
dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan
keamanan.
2. Pemeerintah Belanda setuju bahwa Pemerintah Republik Indonesia harus bebas
dan leluasa melakukan jabatannya yang sepatutnya dalam satu daerah yang
meliputi Karesidenan Yogyakarta dan bahwa ini adalah langkah yang dilakukan
sesuai dengan maksud petunjuk-petunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret
1949.
Dari hasil Roem Royen Statemen kalau dicermati lebih dalam sebenarnya sangat
merugikan RI yaitu :
1. Pemerintah RI hanya diakui dengan wilayah Yogyakarta
1. Pegawai RI di luar Yogyakarta tetap dapat menjalankan tugasnya, tetapi tentata Belanda
yang ditarik hanya dari Yogyakarta saja.
2. Belanda tetap mengakui negara-negara bagian yang dibentuk sebelum Agresi Militer
Belanda II. Dan kita tahu bahwa semua negara bagian dibentuk Belanda sebelum 19
Desember 1948, sehingga jelas merugikan wilayah RI.
3. Dalam DPR Federal sementara , Negara Republik Indonesia hanya akan diwakili oleh
sepertiga dari seluruh anggota, sedangkan dua pertiga anggota akan diisi wakil negara
bagian sehingga kedudukan RI sangan lemah.
Bagi Indonesia persetujuan Roem Royen masih tetap merugikan, tetapi dipihak Belanda lebih
merasa dirugikan akibatnya Wakil Tinggi Mahkota Belanda Beel mengundurkan diri, dan
digantikan oleh HVS Lovink.
Dengan diadakannya KMB di Nederland, sudah banyak menimbulkan sikap anti dan pro.
Sebagian golongan ada yang tidak menyetujui adanya konferensi tersebut karena mereka sudah
tidak menaruh kepercayan sedikit pun juga kepada Belanda. Sejarah mencatat bahwa tiap kali
ada perundingan dengan Belanda, tiap kali pula pihak Indonesia seantiasa ditipu dan dikibuli.
Puncak lelicikan serta kecurangan Belanda terjadi pada jaman Diponegoro dulu dan kemudian
juga pada jaman mutakhir dengan adanya Persetujuan Linggarjati dan Renville. Beberapa pihak
keberatan dengan hasil perundingan antara lain Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan
Sahrir dan Murba. Begitu juga kalangan pers Indonesia seperti harian Merdeka. Mereka yang
tidak menyetujui itu ialah mereka kaum tawanan politik yang sedang mendekam di berbagai
rumah penjara, baik di Wirogunan Yogya, ataupun yang ada di Ambarawa dan di tempat lainnya
lagi. Umumnya kelompok yang tidak menyetujui hasil perundingan Roem Royen, terutama
adanya KMB selalu melihat pengalaman sejarah di masa lalu yang selalu mengecewakan bangsa
Indonmesia. Mereka sudah muak dan kenyang dengan tipu muslihat, kelicikan dan kelicinan
Belanda.
Sebaliknya golongan yang menyetujui adanya KMB berpendapat bahwa kali ini Belanda
betul-betul sudah tidak dapat berkutik lagi. KMB ini diadakan di bawah pengawasan dunia
internasional, diikuti dan disimak oleh dunia internasional dan sekaligus pengakuan bahwa
Indonesia kedudukannya betul-betul sederajat dengan kawannya berunding. Namun demikian
beberapa kelompok menyetujui adanya KMB dengan perasaan curiga dan bersyarat. Pihak TNI
diwakili Jendral Sudirman dan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kol.
AH. Nasution tetap mencurigai maksud baik Belanda, tetapi mereka berusaha menunggu
perkembangan selanjutnya sambil lebih mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan serangan
Belanda. Kecurigaan TNI didasarkan atas kebiasaan Belanda melanggar kesepakatan yang telah
dibuat bersama seperti Perjanjian Linggarjati dan Renville, selain itu agar TNI tidak sampai
lengah menghadapi kemungkinan terburuk. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan pada 1
Mei 1949, Panglima Besar Sudirman memperingatkan agar segenap komponen bangsa waspada
dan jangan terlalu percaya terhadap janji-janji Belanda karena akan merugikan pertahanan.
Bahkan Jenderal Sudirman dan Kolonel AH. Nasution bermaksud mengundurkan diri, tetapi
Presiden Sukarno mengancam ikut mengundurkan diri apabila TNI tidak menerima hasil
perundingan, sehingga akhirnya TNI mematuhi keputusan pemerintah.
Hasil perundingan Roem-Royen ini mendapat reaksi keras dari berbagai pihak di
Indonesia, terutama dari pihak TNI dan PDRI, ialah sebagai berikut:
Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Sudirman pada tanggal 1
Mei 1949 mengeluarkan amanat yang ditujukan kepada komandan-komandan kesatuan
memperingatkan agar mereka tidak turut memikirkan perundingan, karena akibatnya hanya akan
merugikan pertahanan dan perjuangan.
Amanat Panglima Besar Sudirman itu kemudian disusul dengan maklumat-maklumat
Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang meyerukan agar tetap waspada, walaupun ada
perundingan-perundingan yang menghasilkan persetujuan.
Perkiraan TNI terhadap kemungkinan serangan dari pihak Belanda tidak meleset.
Pasukan-pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta dipindahkan ke Surakarta. Dengan
bertambahnya kekuatan Belanda di Surakarta dan akibatnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi yang
memimpin TNI di Surakarta memerintahkan penyerangan-penyerangan terhadap obyek-obyek
vital di Solo. Di tempat lain pun perlawalan gerilya tetap berjalan, tanpa terpengaruh oleh
perundingan apa pun hasilnya.
Kemudian bersamaan dengan berlangsunya Konferensi Inter-Indonesia pada tanggal 1
Agustus 1949 di Jakarta diadakan perundingan resmi antara Wakil-wakil RI BFO dan Belanda di
bawah pengawasan UNCI yang menghasilkan Persetujuan Penghentian Permusuhan. Presiden
selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI melalui Radio Republik Indonesia di Yogya pada
tanggal 3 Agustus 1949 mengumumkan perintah menghentikan tembak-menembak, hal serupa
dilakukan pula oleh Jenderal Sudirman, Panglima Besar TNI. Pada hari yang sama, AHJ Lovink,
Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Belanda
di Indonesia memerintahkan kepada serdadu-serdadunya untuk meletakkan senjata, yang berarti
kedua belah pihak menghentikan permusuhan secara resmi yang pelaksanaannya diawasi oleh
KTN dari PBB.
Dalam perjanjian Roem-Royen ini pihak angkatan perang sebaliknya menyambut adanya
persetujuan itu dengan perasaan curiga. Panglima besar angkatan perang Jenderal Soedirman
pada tanggal 1 Mei 1949 memperingatkan kepada para komandan kesatuan agar tidak
memikirkan masalah perundingan. Pernyataan sama untuk mempertegas amanat Panglima Besar
Jenderal Soedirman dikeluarkan juga oleh Paglima Tentara dan Territorium Jawa Kolonel A.H.
Nasution pada tanggal 5 Mei 1949. Pernyataan itu mengetengahkan bahwa perundingan yang
dilaksanakan itu hanyalah merupakan taktik perjuangan, dan diperingatkan kepada semua
komandan agar membedakan antara gencatan senjata untuk kepentingan politik dan untuk
kepentingan militer. Pada pokoknya dari kalangan angkata perang tidak terdapat kepercayaan
akan berhasilnya perundingan karena menurut pengalaman dengan Linggarjati. Renville, dll.
Perundingan atau persetujuan dengan Belanda dianggap selalu merugikan perjuangan. Sebagai
tindak lanjut dari persetujuan Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni diadakan perundingan formal
antara RI, BFO dan Belanda di bawaha pengawasan komisi PBB, dipimpin oleh Critchley
(Australia). Hasil perundingan itu adalah:
1. Pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni
1949. Karasidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda pada tanggal 1 Juli 1949 dan
pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya daerah itu
2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI
ke Yogyakarta
3. Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.
Setelah para pemimpin RI berkumpul kembali di Yogyakarta, maka pada tanggal 13 Juli
1949 jam 20.30, diadakan sidang kebinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Mr. Sjarifudin
Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden/Perdana Mentri Moh. Hatta.
Dalam sidang kabinet diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkubowono IX sebagai
Mentri Pertahanan dan Koordinator Keamanan. Divisi III di Jawa Tengah terhitung cepat dalam
menyusun pertahanannya, mereka telah membagi dalam 3 daerah pertahanan, yang
disebut’wehkreise’. Wehkreise I dipimpin oleh letnen kolonel mohammad bakhrun, posnya
berada disebelah selatan purbolinggo. Wehkreise II dpimpin letkol suharto, posnya sebelah utara
purworejo Wehkreise III dipimpin letkol sarbini, posnya didaerah pegunungan manoreh.12
Dalam dan dari perbincangan-perbincangan nampak sekali bahwa pemerintah waktu itu
hanya dapat sokongan dari dua partai yaitu Masyumi dan PNI dan mengingat akan kepentingan
negara dan rakyat, maka segenap anggota Dewan Partai waktu itu mencurahkan segala
pikirannya pada kepentingan-kepentingan ini, hinggga keperluan menyusun kembali partai
seolah-olah masih dikesampingkan. Partai Masyumi dan PNI baru menyatakan dukungannya
pada 28 Mei 1949.
Sedangkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mendukung pemerintah RI
dengan syarat :
1. Tentara RI tetap berada di tempat kedudukannya masing-masing
2. Tentara Belanda harus ditarik dari wilayh RI yang didudukinya
1. Pemulihan RI ke Yogyakarta tanpa syarat
3. Kedaulatan RI atas Jawa, Madura, Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya harus tetap diakui
Belanda berdasarkan persetujuan Linggarjati.
12 Pujianti, Selvi M, 2011, Perundingan Roem-Royen Versi I diunduh pada tanggal 27/11/2014
Pernyataan PDRI di Bukit Tinggi telah ikut mendukung moral perjuangan para
gerilyawan. Mereka semakin meningkatkan tekanannya terhadap Belanda di luar Yogyakarta
sehingga Belanda segera merealisasi persetujuan Roem Royen yaitu :
a. Belanda meninggalkan ibukota RI Yogyakarta
b. TNI menduduki kota Yogyakarta
c. Presiden dan Wakil Presiden beserta pemimpin lainnya kembali ke Yogyakarta
dari pengasingannya di Pulau Bangka dan Prapat.
d. Panglima Besar Jendral Sudirman kembali ke Yogyakarta dari medan gerilya
e. PDRI mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno.
Pada tanggal 6 Juli 1949, pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan
oleh pasukan-pasukan Belanda pada akhir bulan juni. Soedirman dan pimpinan-pimpinan tentara
lainnya enggan mengakui kekuasaan sipil yang mereka anggap telah meninggalkan Republik.
Akan tetapi, pihak militer akirnya mengakui ketika Sukarno mengancam akan mengundurkan
diri kalau mereka tidak melakukannya. Suatu konferensi diselenggarakan di Yogyakarta dan
Jakarta pada bulan Juli. Di dalam konferensi itu, negara-negara federal ternyata mempunyai
banyak kepentingan yang sama dengan Republik, sebagian besar dikarenakan rasa hormat
mereka atas perlawanan Republik dan kekecewaan mereka atas kelalaian Belanda untuk
menyerahkan kekuasaan yang penting kepada mereka. Konferensi tersebut bersepakat bahwa
tentara republik akan menjadi inti kekuatan militer bagi Republik Indonesia Serikat yang baru
dan bahwa Sukarno serta Hatta akan menjadi presiden dan wakil presiden negara itu.13
Pada tanggal 1 Agustus, diumumkanlah genjatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada
tanggal 11 Agustus dan Sumatera pada tanggal 15 agustus. Justru sebelum genjatan senjata itu
dilaksanakan, pasukan-pasukan Republik berhasil merebut kembali sebagian besar Surakarta dan
mempertahankannya selama dua hari. Bentrokan-bentrokan berikutnya yang berdiri sendiri
berlanjut sampai bulan Oktober. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, penyerahan kekuasaan militer
yang terintegrasi bagi RIS diurus oleh Hamengkubawana IX selaku koordinator keamanan. Akan
tetapi, ada beberapa wilayah yang bergolak seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Timur,
Kalimantan Selatan dan Jawa Barat, dimana proses ini mengahdapi perlawanan dari pasukan-
pasukan liar setempat.
13 Zailani, Dahlan. 2010. Perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949 diunduh pada tanggal 27/11/2014
Dengan disepakatinya prinsip-prinsip Roem-Royen tersebut, pemerintah darurat RI di Sumatra
memerintahkan kepada Sultan Hamengkubowono IX untuk mengambilalih pemerintahan di
Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. Partai politik yang pertama kali
menyatakan setuju dan menerima baik tercapainya persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi.
Dr. Sukiman selaku ketua umum Masyumi menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh delegasi
RI adalah dengan melihat posisi RI di dunia internasional dan di dalam negeri sendiri, apalagi
dengan adanya sikap BFO yang semakin menyatakan hasratnya untuk bekerjasama dengan RI.
Sedangkan Mr. Surjono Hadinoto, ketua umum PNI menyatakan bahwa Persetujuan Roem-
Royen merupakan satu langkah ke arah tercapainya penyelesaian dari masalah-masalah
Indonesia. Akhirnya kedua partai ini mengeluarkan pernyataan bersama bahwa Persetujuan
Roem-Royen sekalipun masih kurang memuaskan, namun beberpa langkah ke arah penyelesaian
pertikaian Indonesia-Belanda.14
14 Ibid