Post on 25-Jun-2018
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kandungan Metabolit Sekunder Sargassum crassifolium
Sampel kering Sargassum crassifolium yang telah dihaluskan ditimbang
0,5 gram dengan menggunakan timbangan analitik untuk masing-masing 6
perlakuan uji fitokimia, yaitu uji alkaloid, uji flavonoid, uji saponin, uji tanin, uji
steroid, uji triterpenoid. Hasil uji fitokimia yang telah dilakukan pada sampel
rumput laut Sargassum crassifolium diperoleh hasil kandungan metabolit
sekunder sebagai berikut :
4.1.1 Alkaloid
Identifikasi alkaloid pada sampel rumput laut Sargassum crassifolium
menunjukkan nilai negatif, dengan kata lain Sargassum crassifolium tidak
mengandung senyawa alkaloid. Pereaksi yang digunakan dalam pengujian
senyawa alkaloid dalam rumput laut Sargassum crassifolium menggunakan
pereaksi meyer, dan hasilnya tidak terbentuk endapan. Hasil positif uji alkaloid
jika terbentuk endapan putih. Pereaksi meyer digunakan sebagai pereaksi
pengendapan, artinya berdasarkan kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan
logam yang memiliki berat atom tinggiseperti merkuri, bismuth atau iood
(Sastrohamidjojo 1996 dalam Sari 2013). Kelarutan dan sifat lain alkaloid sangat
berbeda, cara penjaringan umum untuk alkaloid dalam tumbuhan tidak akan
berhasil mendeteksi senyawa khas. Alkaloid pada umumnya tidak ditemukan pada
gymnospermae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan rendah (Harborne, 1987).
Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium
33
4.1.2 Flavonoid
Identifikasi senyawa flavonoid pada rumput laut Sargassum crassifolium
dilakukan dengan menggunakan 3 pereaksi, yaitu pereaksi pertama menggunakan
H2SO4 2N, pereaksi kedua menggunakan NaOH 10% dan pereaksi ketiga
menggunakan HCl+Mg. Senyawa flavonoid dapat diidentifikasi dalam suasana
basa dan asam. Hasil uji flavonoid menunjukkan bahwa pada pereaksi pertama
dan kedua terjadi perubahan warna, sedangkan pada pereaksi yang ketiga tidak
mengalami perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi adalah garam
benzolpirilum atau garam flavilium (Achmad 1986 dalam Sari 2013). Hasil yang
berbeda ditunjukkan pada pereaksi ketiga yang tidak terjadi perubahan warna.
Pereaksi ketiga menggunakan campuran asam kuat dan logam, hal ini
menunjukkan senyawa yang dihasilkan pada pereaksi ini merupakan senyawa
kompleks yang dapat bereaksi dengan logam (Mg). Sehingga dapat dikatakan
bahwa Sargassum crassifolium positif mengandung senyawa flavonoid dengan
pereaksi asam dan basam.
(a) (b) (c)
Gambar 11. Hasil Uji Flavonoid Pereaksi Sargassum crassifolium
Hasil positif Pereaksi H2SO4 2N (a) dan Pereaksi NaOH 10% (b), Hasil negatif
Pereaksi HCl+Mg (c)
4.1.3 Saponin
Identifikasi uji saponin pada rumput laut Sargassum crassifolium
menuunjukkan nilai positif, dengan terdapat buih stabil saat pengocokan
dilakukkan. Hal ini menandakan bahwa dalam Sargassum crassifolium
mengandung senyawa saponin. Menurut Rusyid dan Marina dkk (1990) dalam
Sari (2013) menyatakan bahwa busa yang terdapat dalam pengujian senyawa
saponin menunjukkan adanya glikosida yang mampu membentuk buih dalam air,
34
senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glukosa dan aglikon. Saponin sendiri
merupakan senyawa glikosida yang termasuk kelompok aglikon. Glikosida
saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin (Cheek, 2005 dalam
Sari 2013).
Gambar 12. Hasil Positif Saponin Sargassum crassifolium
4.1.4 Tanin
Identifikasi uji tanin pada Sargassum crassifolium menunjukan hasil
positif, hal ini dibuktikan dengan adanya endapan berwarna kecoklatan.
Sargassum crassifolium memiliki senyawa tanin yang bereaksi dengan protein
yang ada dalam Sargassum crassifolium dan membentuk kopolimer yang tidak
larut dalam air, dan hal ini sudah dibuktikan dalam uji tanin dengan adanya
endapan yang menandakan adanya kopolimer.
Gambar 13. Hasil Positif Tanin Sargassum crassifolium
4.1.5 Triterpenoid / Steroid
Identifikasi senyawa triterpenoid/steroid pada rumput laut Sargassum
crassifolium menunjukkan nilai positif pada uji steroid dan nilai negatif pada uji
triterpenoid. Karena pada uji steroid, saat ditetesi pereaksi asam sulfat pekat
terjadi perubahan warna biru kehijauan yang mengindikasi senyawa steroid dalam
suatu bahan alam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) yang
35
menyatakan bahwa sterol lain terutama terdapat dalam tumbuhan rendah, tetapi
kadang-kadang terdapat dalam tumbuhan tinggi. Misalnya fukosterol, yaitu
steroid utama pada alga coklat dan kelapa.
Gambar 14. Hasil Positif Steroid Sargassum crassifolium
Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Sargassum crassifolium
Uji Fitokimia Sampel Rumput Laut
Sargassum crassifolium
Alkaloid -
Flavonoid
H2SO4 2N
NaOH 10%
HCl + Mg
+
+
-
Saponin ++
Tanin ++
Steroid +
Triterpenoid -
Keterangan :
- = Negatif
+ = Positif
++ = Positif Kuat
36
Tujuan dilakukannya analisis fitokimia ialah untuk menentukan ciri
senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat yang ditunjukkan
dalam suatu bahan dengan sistem biologi (Harborne 1987).
4.2 Ekstraksi Rumput Laut Sargassum crassifolium
Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa yang terkandung dalam
suatu bahan dengan menggunakan pelarut sesuai dengan kepolaran senyawa yang
diinginkan. Ekstraksi ini bertujuan untuk mendapatkan komponen senyawa yang
terkandung di dalam suatu bahan sesuai kepolaran senyawa tersebut (Harborne
1987). Proses maserasi rumput laut Sargassum crassifolium yang dilakukan dalam
penelitian ini yaitu selama 2x24 jam dengan 3 kali pengulangan, dimana pada
ulangan ke-4, sampel tidak menunjukkan warna hijau. Hal ini dikarenakan
senyawa yang terkandung dalam sampel sudah tidak terdapat lagi pada ulangan
keempat. Proses evaporasi menghasilkan filtrat hasil ulangan tiga kali maserasi
sebanyak 1,2 L pelarut. Jenis ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
eksraksi tunggal yaitu ekstraksi yang hanya menggunakan pelarut metanol, ini
berdasarkan penelitian Sarastani (2002) dan Prabowo (2009) dalam Sari (2013)
yang menunjukkan bahwa rendemen ekstrak dari hasil ekstraksi tunggal jauh lebih
besar dibandingkan dengan ekstraksi bertingkat. Pelarut yang digunakan dalam
proses ekstraksi ini menggunakan pelarut polar berupa metanol. Pelarut polar
dapat menarik senyawa-senyawa polar yang terkandung dalam suatu bahan.
Selain itu, metanol secara umum dapat melarutkan kandungan metabolit sekunder
dari bahan alam dengan berbagai kepolaran (Syahputri, 2012). Metabolit sekunder
target diantaranya senyawa flavonoid penyusun senyawa aktif dalam rumput laut
Sargassum crassifolium.
Suhu yang dipakai pada proses ekstraksi dengan menggunakan rotary
evaporator yaitu dengan suhu 400C dibawah suhu titik didih dari pelarut metanol
yaitu 650C. Hal ini dimaksudkan agar pada saat ekstraksi, senyawa-senyawa yang
terkandung dalam bahan alam tidak rusak akibat suhu tinggi. Hal ini sesuai
dengan pernyatakan Harborne (1987) yang menyatakan bahwa yang biasa
dilakukan dalam penguap putar yang akan memekatkan larutan menjadi volume
37
kecil tanpa terjadi percikan yaitu pada suhu antara 30 dan 400C. Setelah hasil
ekstrak didapat dari ekstraksi, ekstrak ditempatkan pada botol vial kemudian
dimasukkan kedalam lemari es, untuk mencegah kerusakan senyawa yang ada
pada ekstrak. Sebagai tindakan pencegahan untuk kehilangan senyawa, ekstrak
pekat harus disimpan dalam lemari es (Harborne 1987).
Gambar 15. Proses Pemekatan Filtrat Menggunakan Rotary Evaporator
4.2.1 Rendemen Ekstrak Rumput Laut Sargassum crassifolium
Pada penelitian ini berat sampel kering rumput laut Sargassum
crassifolium yang sudah dihaluskan berjumlah 113,3 gram sedangkan jumlah hasil
ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium adalah 2,58 gram. Rendemen
merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang diperoleh dari suatu bahan terhadap
awal berat bahan simplisia. Hal ini dimaksudkan bahwa hasil rendemen
merupakan hasil senyawa bioaktif yang terkandung dalam bahan simplisia
tersebut sesuai dengan berat awal simplisia yang diperoleh. Semakin tinggi hasil
persentase rendemen menunjukkan semakin banyak senyawa bioaktif yang
terkandung dalam suatu bahan (Rohmansyah 2011).
Berikut merupakan perhitungan nilai rendemen menurut (SNI-19-1705-
2000 dalam Prabowo 2009) :
38
R = Berat Ekstrak
Berat Sampel 100%
R = 2,58
113,3 100%
= 2,27 %
Dalam 113,3 gram sampel kering rumput laut Sargassum crassifolium
terkandung sekitar 2,27% senyawa bioaktif dalam rumput laut tersebut. Hasil
rendemen ekstrak rumput laut ini salah satunya dipengaruhi oleh jumlah pelarut
yang digunakan dan lama waktu maserasi.
4.3 Hasil Uji LC50 Ekstrak Rumput Laut Sargassum crassifolium Selama
24 Jam Terhadap Udang Windu
Uji LC50 dilakukan untuk mengetahui batas toleransi udang windu
terhadap ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium dapat menyebabkan 50%
kematian pada hewan uji udang windu. Berikut adalah hasil uji LC50-24 Jam
ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium terhadap larva udang windu, dimana
tiap perlakuannya terdapat 5 larva udang windu dengan umur Post Larva (PL) 22
yang berada di wadah kaca (keller) dengan volume 1 liter :
Tabel 5. Hasil Uji LC50-24 Jam
Waktu Dedah
Konsentrasi
( ppm )
0
(A)
50
(B)
200
(C)
400
(D)
1 2 1 2 1 2 1 2
15 menit
30 menit
1 jam
2 jam
4 jam
6 jam
8 jam
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
2
-
1
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
1
1
-
-
-
-
-
-
-
1
1
-
39
16 jam
24 jam
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
2
Total Udang
yang Mati
- - 2 1 3 2 3 4
Dilihat dari hasil pengamatan LC50-24 jam, ekstrak pada konsentrasi 50
ppm memberikan 70% kelangsungan hidup udang windu. Ini merupakan
konsentrasi yang paling banyak menunjukkan kelangsungan hidup udang windu
yang tinggi, dikarenakan konsentrasi yang relatif rendah bagi udang windu dan
tidak menjadikan konsentrasi ini menjadi toksik yang dapat mematikan lebih dari
50% hewan uji. Sehingga dapat dikatakan ekstrak rumput laut Sargassum
crassifolium dengan konsentrasi 50 ppm aman bagi kelangsungan hidup udang
windu. Pada konsentrasi 200 ppm, kelangsungan hidup udang windu memberikan
nilai 50% kematian hewan uji. Hidayat (2011) juga menunjukan bahwa ekstrak
rumput laut Sargassum sp. Sebesar 316,228 µg/ml masih dapat ditolerir oleh
udang windu dan pada konsentrasi 10 µg/ml sampai dengan 100 µg/ml
memberikan hasil kelangsungan hidup udang windu yang tinggi. Pada konsentrasi
400 ppm hasil nilai 30% untuk kelangsungan hidup udang windu. Hal ini
dikarenakan pada konsentrasi lebih dari 300 ppm ekstrak rumput laut Sargassum
sp dapat menjadikkan ekstrak tersebut menjadi toksik bagi udang windu karena
konsentrasi yang melebihi ambang batas (Hidayat 2011).
Berikut merupakan hasil analisis LC50 menggunakan program EPA Probit
1.5 dengan konsentrasi 50 ppm, 200 ppm dan 400 ppm dengan 2 kali pengulangan
dan terdapat 5 udang windu untuk tiap perlakuan.
Tabel 6. Hasil Analisis EPA Probit 1.5 Ekstrak Rumput Laut
Sargassum crassifolium Terhadap Larva Udang Windu Estimated LC/EC Values and Confidence Limits
Exposure Point Conc.
LC/EC 1.00 3.570 LC/EC 5.00 11.827
40
LC/EC 10.00 22.401 LC/EC 15.00 34.473 LC/EC 50.00 213.201 LC/EC 85.00 1318.550 LC/EC 90.00 2029.134 LC/EC 95.00 3843.223 LC/EC 99.00 12733.703
Data hasil analisis EPA Probit, menunjukkan bahwa hasil LC50
memberikan nilai sebesar 213,201 ppm, yaitu ekstrak rumput laut Sargassum
crassifolium yang dapat menyebabkan kematian udang windu sebesar 50% yaitu
pada konsentrasi 213 ppm dan dibulatkan menjadi 200 ppm. Berdasarkan
konsentrasi tersebut, maka konsentrasi yang digunakan dalam media
pemeliharaan udang windu adalah perlakuan A = 50 ppm (25% dari 200 ppm),
perlakuan B = 100 ppm (50% dari 200 ppm), perlakuan C = 150 ppm (75% dari
200 ppm), perlakuan D = 200 ppm (100% dari 200 ppm).
4.4 Kelangsungan Hidup Udang Windu Selama Masa Perlakuan
Penambahan Campuran Ekstrak dan Pakan
Tingkat kelangsungan hidup merupakan total organisme yang mampu
bertahan hidup hingga waktu yang ditentukan dalam suatu penelitian atau
percobaan. Tingkat kelangsungan hidup organisme dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang berhubungan dengan organisme itu sendiri seperti umur
dan genetika yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan
dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang
berkaitan dengan lingkungan tempat hidup yang meliputi sifat fisika dan kimia
air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas
(Mudjiman, 1998 dalam Rohman 2013).
Waktu yang digunakan dalam masa perlakuan pemberian pakan dan
ekstrak terhadap udang windu adalah 20 hari. Hal ini berdasarkan masa
pertumbuhan udang yang lebih kurang membutuhkan waktu 20 hari dalam masa
pergantian dari fase mysis ke fase postlarva, dimana pada fase ini sistem imun
41
udang windu sedang berkembang menghasilkan hemosit yang memiliki peranan
penting dalam sistem pertahanan udang. Hemosit bekerja aktif mengeluarkan
partikel asing dalam hemocoel melalui fagositosis (Rodriguez dan Lee Moullac
2000 dalam Rohman 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian Citarasu dkk (2006)
yang menyatakan bahwa pemberian ekstrak lima jenis tanaman obat (Cyanodon
dactylon, Eagle marmelos, Tinospora corditolia, Picrorizha kuroa dan Eclipta
alba) selama 25 hari pemberian pakan yang ditambahkan ekstrak sebanyak
800mg/kg pakan secara signifikan mampu meningkatkan kelangsungan hidup
udang windu hingga 74%. Pemberian campuran ekstrak dan pakan dimaksudkan
dapat efektif dalam meningkatkan ketahanan tubuh udang windu sebelum
diinfeksikan bakteri Vibrio harveyi. Pada perlakuan pemberian pakan udang
windu yang dicampur dengan ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium,
ditemukan tiap perlakuannya jumlah udang windu berkurang, diduga udang windu
mengalami kanibalisme, sebab tidak ditemukan tubuh udang windu yang mati
tetapi jumlahnya berkurang. Hal ini disebabkan luas penampang yang tidak terlalu
luas yaitu dalam keller, kurangnya jumlah shelter dalam tiap perlakuan dan
kurangnya frekuensi pemberian pakan selama 20 hari masa perlakuan. Selama
penelitian, frekuensi pemberian pakan dilakukan pada rentang pukul 10.00-12.00
dan 15.00-17.00 ini tidak sesuai dengan frekuensi pemberian pakan terhadap
udang yang idealnya dilakukan pada rentang empat jam sekali dan dilakukan
pemberian pakan pada malam hari. Karena pada malam hari udang lebih agresif
dibanding siang hari.
Pada perlakuan kontrol dengan pemberian pakan tidak dicampur ekstrak,
kelangsungan hidup pada masa perlakuan sebesar 86,6%. Perlakuan A dengan
konsentrasi 50 ppm dalam media pemeliharaan udang windu, memberikan
kelangsungan hidup sebesar 83,33%. Perlakuan B dengan konsentrasi 100 ppm,
memberikan kelangsungan hidup sebesar 83,3%. Perlakuan C dengan 150 ppm,
memberikan kelangsungan hidup sebesar 80%. Pada perlakuan D dengan 200
ppm, memberikan kelangsungan hidup sebesar 76,6%. Hal ini dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan hidup udang windu selama masa perlakuan, sifat kanibalisme
udang windu itu sendiri dan kurangnya frekuensi pemberian pakan terhadap
42
udang windu, memicu terjadinya kanibalisme dalam 20 hari masa perlakuan. Sifat
kanibalisme pada udang disebabkan karena lingkungan hidup udang windu yang
tidak sesuai dengan keadaan alamnya (tambak). Selama masa perlakuan, terdapat
stok yang perlakuannya sama dengan penambahan pakan dengan konsentrasi
ekstrak yang berbeda-beda. Keberadaan stok ini berguna mengganti udang windu
yang kurang dalam tiap perlakuan, sebelum masa kohabitasi atau penginfeksian
bakteri Vibrio harveyi. Sehingga jumlah udang windu yang nantinya di uji in vivo
jumlahnya sama dengan jumlah awal masa perlakuan.
Tabel 7. Mortalitas Udang Windu Selama Perlakuan Pemberian Campuran
Ekstrak dan Pakan
Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan
A (50 ppm) 5
B (100 ppm) 5
C (150 ppm) 6
D (200 ppm) 7
Kontrol 4
Gambar 16. Grafik Mortalitas Udang Windu Selama Perlakuan Pemberian
Campuran Pakan dan Ekstrak
0
1
2
3
4
5
6
7
8
A B C D K
Mo
rtal
itas
Perlakuan
Total Mortalitas Udang Windu
Mortalitas
43
4.5 Gejala Klinis Udang Windu Selama Masa Perlakuan
Pada masa uji in vivo udang windu yang diamati memiliki perubahan
gejala klinis jika dibandingkan dengan masa perlakuan pemberian campuran
pakan dan ekstrak. Perubahan gejala klinis tersebut meliputi perubahan respon
udang terhadap pakan, perubahan fisik dan pergerakan udang windu. Terjadi
penurunan respon udang windu terhadap pakan. Hal ini dibuktikan dengan
pergerakan udang windu yang tidak agresif pada saat pemberian pakan. Jika
dibandingkan dengan sebelum uji in vivo, respon udang windu terhadap pakan
yang dicampur ekstrak sangat baik. Respon makan yang baik terlihat saat
pemberian pakan, udang windu bergerak untuk berenang ke atas mengambil
pakan yang belum tenggelam atau pakan yang masih berada dipermukaan air.
Perubahan juga terjadi pada perubahan fisik udang windu. Udang windu yang
diamati pada saat uji in vivo berenang lambat dan selalu berada di dasar air. Hal
ini berbeda pada saat perlakuan pemberian pakan, udang windu lebih agresif
dengan seringnya berenang ke atas permukaan air dan mengelilingi keller.
Informasi dari petambak udang windu, menyatakan bahwa indikasi udang
windu yang tidak sehat diantaranya adalah terdapat udang yang terlihat menempel
pada tempat wadah (keller/akuarium) itu menandakan udang yang stres. Hal ini
disebabkan pengaruh kondisi lingkungan udang yang tidak sesuai dengan kondisi
alaminya (tambak). Tetapi pada penelitian ini, tidak terdapat udang yang
menempel di pinggir tempat wadah pada saat perlakuan pemberian penambahan
pakan dan ekstrak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada perlakuan pemberian
pakan dan ekstrak tidak memberikan pengaruh buruk dari penambahan ekstrak.
Penambahan ekstrak tidak bersifat toksik terhadap udang windu. Hal ini
dibuktikan dengan tidak ditemukannya udang mati pada saat perlakuan.
44
Gambar 17. Udang windu mati karena Vibrio harveyi
4.6 Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Uji In Vivo
Pada uji in vivo atau uji tantang yaitu penginfeksian terhadap udang windu
dengan kepadatan bakteri Vibrio harveyi sebesar 104 cfu/ml kelangsungan hidup
udang windu mencapai 100% pada semua perlakuan (konsentrasi ekstrak dalam
media pemeliharaan, yaitu 50, 100, 150 dan 200 ppm) kecuali perlakuan kontrol
yaitu perlakuan pemberian pakan tanpa ekstrak, dengan kelangsungan hidup
mencapai 93,3%. Hal ini diduga penginfeksian dengan kepadatan bakteri 104
cfu/ml tidak bersifat patogen terhadap udang windu. Penelitian ini tidak sesuai
dengan pernyataan Roza dan Zafran (1993) dalam Noiborhu (2002) yang
menyatakan bahwa kepadatan bakteri Vibrio harveyi dalam air yang mencapai
8.35 x 104 cfu/ml bersifat patogen bagi larva udang windu. Hal ini juga diduga
pada penelitian ini konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam campuran pakan
cukup tinggi, yaitu pada perlakuan A (50 ppm dalam media pemeliharaan)
konsentrasi ekstrak yang digunakan pada percampuran pakan sebesar 49,98
ppm/10gr pakan. Perlakuan B (100 ppm dalam media pemeliharaan) sebesar
99,86 ppm/10gr pakan. Perlakuan C (150 ppm dalam media pemeliharaan)
sebesar 149,97 ppm/10 gr pakan. Perlakuan D (200 ppm dalam media
pemeliharaan) sebesar 199,98 ppm/10 gr pakan.
Pada penelitian ini dilakukan penginfeksian kembali dengan peningkatan
konsentrasi Vibrio harveyi mencapai 107 cfu/ml. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Anonim (2007) dalam Azis (2011) yang menyatakan bahwa informasi
dosis infeksi bakteri terhadap udang windu sangat dibutuhkan bagi pembudidaya
udang windu. Dalam proses budidaya udang windu kriteria air tambak yang baik
45
adalah dengan jumlah bakteri Vibrio tidak melebihi 102 cfu/ml pada saat
penebaran dan 104 cfu/ml pada pertengahan dan akhir pemeliharaan. Pada
penginfeksian ini, umur udang windu yang digunakan sudah mencapai PL 35,
sehingga dapat dikatakan bahwa sistem imun dari udang windu sendiri sudah
semakin kompleks dengan seiring bertambahnya umur udang windu, karena pada
fase ini udang windu mulai beralih dari fase postlarva menuju pada fase juvenil
yaitu awal fase udang dewasa. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa Sargassum
crassifolium mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin dan steroid.
Senyawa flavonoid merupakan salah satu senyawa yang dikategorikan senyawa
yang memiliki aktivitas imunomodulator (Collegate 1993 dalam Syarifah 2006).
Pada penelitian senyawa flavonoid yang terkandung dalam Sargassum
crassifolium yang dicampur dengan pakan, memiliki aktivitas imunomodulator
pada udang windu. Pada penelitian ini udang windu yang sudah diberi perlakuan
pemberian penambahan campuran ekstrak Sargassum crassifolium dan pakan
selama 20 hari dapat mentoleransi bakteri Vibrio harveyi dengan kepadatan 104
cfu/ml. Sehingga perlunya penginfeksian lanjutan dengan kepadatan melebihi 104
cfu/ml untuk melihat toleransi imunomodulasi udang windu dari ekstrak
Sargassum crassifolium terhadap ketahanan udang windu.
Tabel 8. Mortalitas Udang Windu Pada Penginfeksian Vibrio harveyi Kepadatan
104 cfu/ml
Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan
A (50 ppm) -
B (100 ppm) -
C (150 ppm) -
D (200 ppm) -
Kontrol 2
46
Gambar 18. Grafik Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Penginfeksian
Vibrio harveyi Kepadatan 104 cfu/ml
4.6.1 Uji In vivo dengan Penginfeksian Peningkatan Konsentrasi Vibrio
harveyi Kepadatan 107 cfu/ml
Penginfeksian udang windu dengan kepadatan bakteri Vibrio harveyi 107
cfu/ml menghasilkan kelangsungan hidup mencapai 100% baik perlakuan kontrol
tanpa penambahan ekstrak Sargassum crassifolium maupun perlakuan yang diberi
penambahan ekstrak. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak Sargassum
crassifolium yang terkandung dalam pakan udang windu yang digunakan cukup
tinggi yaitu 49,98 ppm/10 gr pakan, 99,86 ppm/10 gr pakan, 149,97 ppm/10 gr
pakan, 199,98 ppm/10 gr pakan dan campuran ekstrak pakan ini memiliki
aktivitas sebagai imunomodulator pada tubuh udang windu dibuktikan dengan
kelangsungan hidup udang windu pada masa perlakuan. Selama uji in vivo udang
windu tetap diberi campuran ekstrak dan pakan sehingga diduga campuran ekstrak
Sargassum crassifolium pada pakan juga memiliki aktivitas antibakteri sebagai
probiotik alami dalam lingkungan perairan udang windu. Hasil positif senyawa
saponin dan tanin pada Sargassum crassifolium, memperkuat dugaan bahwa
ekstrak yang terkandung dalam campuran ekstrak memiliki aktivitas antibakteri.
Hal ini dibuktikan dengan uji TPC bakteri Vibrio harveyi, yaitu
perhitungan jumlah koloni bakteri dalam cawan petri. Perbandingan hasil TPC
88%
90%
92%
94%
96%
98%
100%
102%
A B C D K
Pe
rse
nta
se S
R
Perlakuan
Survival Rate Udang Windu
SR
47
bakteri Vibrio harveyi sebelum direndam dengan campuran ekstrak pakan dan
hasil TPC bakteri yang sudah direndam selama 24 jam, menghasilkan TPC yang
sebelum direndam 344 koloni, dan yang sudah direndam 237 koloni (Lampiran
17). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri Vibrio harveyi
pada saat perendaman dengan campuran ekstrak dan pakan. Pernyataan ini
diperkuat dengan Penelitian Hidayat (2012) menunjukan bahwa Ekstrak
Sargassum sp. pada konsentrasi 237,102 µg/ml efektif menghambat pertumbuhan
bakteri Vibrio harveyi kepadatan 107 cfu/ml. Pada penginfeksian ini, umur udang
windu yang digunakan sudah mencapai PL 38, artinya udang windu mulai beralih
dari fase post larva (PL) ke fase juvenil.
Tabel 9. Mortalitas Udang Windu Pada Penginfeksian Vibrio Harveyi
Kepadatan 107 cfu/ml
Perlakuan Total Mortalitas Selama Perlakuan
A (50 ppm) -
B (100 ppm) -
C (150 ppm) -
D (200 ppm) -
Kontrol -
Gambar 19. Grafik Kelangsungan Hidup Udang Windu Pada Penginfeksian
Vibrio Harveyi Kepadatan 107 cfu/ml
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
A B C D K
Pe
rse
nta
se S
R
Perlakuan
Kelangsungan Hidup Udang Windu
SR
48
4.7 Parameter Kualitas Air
4.7.1 Salinitas
Salinitas atau kadar garam air selama penelitian, dikategorikan baik atau
sesuai dengan masa hidup udang windu di tambak. Hal ini dikarenakan air yang
dipakai selama proses penelitian merupakan air laut, bukan air tawar yang
ditambahkan garam krosok. Selama proses penelitian ditemukan perubahan
salinitas yang signifikan, dimana stok akuarium yang diberi pengatur suhu
(Heater) dengan pengaturan suhu 30-320C mempengaruhi nilai salinitas. Semakin
tinggi suhu dalam penelitian, semakin tinggi nilai salinitasnya. Nilai salinitas
dalam penelitian adalah 30-38 ppt. Udang windu dapat hidup dengan salinitas 5-
40 ppt dan kisaran optimumnya adalah 30 ppt. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Rakhmatun dan Mudjiman (2003) yang menyatakan bahwa udang
windu tumbuh paling baik pada kadar garam 15-35 ppt.
4.7.2 Suhu
Suhu selama penelitian berkisar 25-280C dan masih berada dalam
kelayakan pemeliharaan udang windu. Suhu dalam perlakuan dikategorikan cukup
rendah, hal ini dikarenakan tiap perlakuan tidak menggunakan pengatur suhu.
Tetapi dalam pelaksanaan penelitian, terdapat stok air laut dalam akuarium yang
diaerasi dan diberi pengatur suhu (Heater). Sehingga dalam pelaksanaan
penelitian, setelah proses sipon yaitu pembersihan tempat pemeliharaan udang
windu. Pengganti air buangan sipon adalah stok air laut yang di akuarium
tersebut. Sehingga suhunya masih terjaga. suhu optimum udang windu adalah 28-
320C. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Suyatno (2001) yang menyatakan
bahwa kisaran suhu yang baik di kawasan tambak budidaya udang windu adalah
kisaran 280 – 320 C.
49
4.7.3 DO (Oksigen Terlarut)
Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar 6,5 – 8,3 mg/L.
Nilai tersebut masih dikategorikan layak untuk kelangsungan hidup udang windu.
Dimana kisaran yang aman untuk kelangsungan hidup udang windu adalah
dengan nilai DO diatas 3. Dan oksigen terlarut yang optimum pada udang windu
adalah 4-8 mg/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyanto (2004) bahwa kisaran
oksigen terlarut yang baik untuk budidaya udang windu adalah 4-8 mg/L.
4.7.4 pH
Derajat keasaman atau pH selama penelitian berkisar antara 6,90 – 7,14.
Nilai pH ini masih layak bagi kelangsungan hidup udang windu. Walaupun bukan
dikategorikan pH yang optimum bagi kehidupan udang windu. pH yang optimum
bagi kehidupan udang windu adalah dengan kisaran 7 – 8. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Ghufron (1997) bahwa pH yang optimal bagi kehidupan dan
pertumbuhan udang windu adalah 6,8 - 8,7 .