Metabolit sekunder hewan laut.
-
Upload
awarisusanti -
Category
Education
-
view
1.189 -
download
42
Transcript of Metabolit sekunder hewan laut.
PAPPER
IDENTIFIKASI METABOLIT SEKUNDER PADA BEBERAPA HEWAN LAUT
OLEH:
AWARI SUSANTI1320422015
PROGRAM PASCASARJANA BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG,2014
BAB I. PENDAHULAUN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan memilki garis pantai sepanjang lebih
kurang 81.000 km dengan wilayah laut yang sangat luas. Hal ini
menjadikan perairan Indonesia memilki potensi kekayaan alam yang besar
dengan tingkat keragaman hayati yang tinggi, di dalamnya terdapat
berbagai jenis organisme laut. Pemanfaatan organisme laut tidak hanya
terbatas sebagai bahan makanan, tetapi juga sebagai sumber bahan kimia
alam yang berpotensi sebagai obat (Handayani et.,all, 2008).
Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan
keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan juga didukung
kenyataan bahwa laut Indonesia memiliki hamparan terumbu karang
terluas di dunia, yaitu 51.020 km2 atau sekitar 17,95% dari luas seluruh
terumbu karang di dunia dan kedudukannya merupakan pusat segitiga
terumbu karang dunia (Maraskuranto, E. 2010). Diperkirakan lebih dari
35.000 spesies biota laut memiliki potensi sebagai penghasil bahan obat-
obatan, sementara yang dimanfaatkan baru sekitar 5.000 spesies (Dahuri,
R. 2003)
Bahan alam yang jumlahnya tidak terbatas ini menjadi potensi
tersendiri khususnya kimia bahan alam dalam bidang isolasi senyawa
bahan alam. Senyawa metabolit sekunder yang telah ditemukan sudah
sangat banyak tetapi belum maksimal dibandingkan dengan potensi
sumbernya.(Dini,2009).
Senyawa metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia alami
yang dapat ditemukan di alam, baik pada tumbuhan maupun pada hewan,
sejauh ini telah banyak dilakukan penelitian tentang senyawa metabolid
pada hewan laut yang berpotensi sebagai obat atau untuk menunjang
berbagai kepentingan indusri.
Senyawa metabolit pada hewan dan tumbuhan tidak akan pernah
habis dan terus akan tercipta dengan struktur molekul yang mengalami
interkonversi sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian
senyawa yang bersumber dari alam akan terus ada tercipta baik yang sudah
pernah ditemukan maupun yang baru dan belum diketemukan. (Dini
2009).
Pada dekade belakangan ini , penelitian tentang hewan laut yang
memiliki senyawa metabolit sekunder telah banyak di manfaatkan sebagai
obat dan bahan industri. Adapun jenis-jenis senyawa metabolit sekunder
yang di miliki oleh hewan - hewan laut akan dibahas pada bab selanjutnya.
B. Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis metabolit sekunder pada berbagai jenis hewan
laut.
2. Mengetahui fungsi dan manfaat yang di peroleh dari metabolit
sekunder pada hewan laut.
C. Manfaat
1. Bagi penulis papper ini dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
metabolit sekunder dari hewan-hewan laut.
2. Sebagai bagan acuan bagi yang akan melakukan penelitian tentang
metabolit sekunder pada hewan laut.
3. Dengan adanya informasi tentang metabolit sekunder pada hewan laut
maka penulis dan pembaca dapat memanfaatkan secara langsung
dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Metabolit Sekunder.
Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi
pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau
berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya. Fungsi metabolit
sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang
kurang menguntungkan, misalnya untuk mengatasi hama dan penyakit,
menarik polinator, dan sebagai molekul sinyal (Verpoorte & Alfermann,
2000). Identifikasi kandungan metabolit sekunder merupakan langkah
awal yang penting dalam penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari
bahan alam yang dapat menjadi prekursor bagi sintesis obat baru atau
prototipe obat beraktivitas tertentu ( Harborne, 2006).
Beberapa jenis organisme yang terdapat di dalamnya merupakan
sumber vitamin, protein, dan mineral. Selain itu, ada juga beberapa jenis
organisme yang mensintesis dan menyimpan senyawa toksin (marine
toxin) pada bagian tubuhnya atau dikeluarkan ke lingkungan hidupnya
(Satari, 2003). Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang
digunakan dalam sistem pertahanan diri, yaitu untuk mempertahankan
hidup dan menghindari gangguan dari organisme lain di lingkungan
hidupnya. Karena aktivitas farmakologiknya maka senyawa tersebut
memiliki prospek untuk diisolasi dan dimanfaatkan dalam bidang
pengobatan (Sardjoko, 1996).
Saat ini upaya kebutuhan obat baru dipenuhi melalui kerja
eksploratif yaitu pencarian dengan memodifikasi struktur senyawa obat
yang secara klinis masih digunakan dan memanfaatkan sumber daya alam.
Salah satu sumber daya alam yang belum dikembangkan secara maksimal
adalah sumber alam kelautan (Wahyuono, 2003).
B. Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Serta Uji Aktivitas Antibakteri Dan Antioksidan Ekstrak Metanol Teripang Stichopus Hermanii.
Identifikasi senyawa metabolit sekunder pada uji aktivitas antibakteri dan
antioksidan ekstrak metanol teripang Stichopus hermanii dengan
pengamatan reaksi warna, pengendapan dan buih. Uji aktivitas antibakteri
dan antioksidan ekstrak metanol teripang dilakukan masing-masing
dengan metode difusi dan reduksi senyawa radikal bebas 1,1-Diphenyl-2-
Picrylhydrazyl (DPPH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa golongan
senyawa metabolit sekunder yang teridentifikasi dalam ekstrak metanol
teripang S. hermanii adalah saponin dan steroid. Kedua metabolit sekunder
tersebut memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus,
Vibrio eltor dan Bacilus subtilis. Terhadap aktivitas antioksidan
menunjukkan bahwa nilai IC50 ekstrak metanol teripang S. hermanii
sebesar 65,08 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa S. hermanii memiliki
potensi sebagai antibakteri dan antioksidan.
Untuk identifikasi senyawa alkaloid, sebanyak 1 gram ekstrak
teripang ditambah dengan 3 tetes amonia 10% dan 1,5 mL kloroform, lalu
dikocok. Lapisan kloroform diambil kemudian dilarutkan dalam 1 ml asam
sulfat 2 N, kemudian dikocok. Setelah itu, ekstrak ditambahkan dengan
pereaksi Meyer. Terbentuknya endapan putih menandakan adanya
senyawa alkaloid (Harborne, 2006).
Untuk identifikasi senyawa steroid dan triterpenoid, sebanyak
sebanyak 1 gram ekstrak metanol teripang ditambah dengan 2 ml
kloroform dalam tabung reaksi, kemudian diteteskan ke dalam plat tetes,
dan dibiarkan sampai kering. Setelah itu, ditambahkan dengan 1 tetes
pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuknya warna merah menandakan
adanya senyawa triterpenoid dan terbentuknya warna biru atau ungu
menandakan adanya senyawa steroid (Harborne, 2006).
Untuk identifikasi senyawa saponin, sebanyak 1 gram ekstrak
teripang ditambah dengan 20 ml akuades, kemudian dipanaskan selama 5
menit. Larutan dituang ke dalam tabung reaksi dalam keadaan panas.
Larutan diambil sebanyak 10 ml, kemudian dikocok kuat secara vertical
selama 10 detik. Adanya saponin ditandai dengan terbentuknya busa yang
stabil setinggi 1-10 cm selama 10 menit dan tidak hilang pada saat
ditambahkan dengan satu tetes HCl 2 N (Harborne, 2006).
C. Aktivitas Hemolitik Teripang (Bohadschia Graeffei) Pada Beberapa Suhu dan PH.
Salah Satu Invertebrata Laut, Teripang (Bohadschia graeffei) merupakan
salah satu sumber bahan hayati laut yang bermanfaat di bidang pangan
maupun biomedik. Hewan ini dilaporkan memiliki kandungan hemolisin,
yaitu protein aktif yang mampu melisis sel darah merah. Senyawa ini
dikenal sebagai hemolisin, yang merupakan salah satu produk metabolit
sekunder (Russell, 1965). Hashimoto (1979) menyatakan bahwa toksin
yang dikandung teripang pada dasarnya adalah saponin triterpenoid yang
merupakan komponen utama toksin pada Echinodermata. Pengembangan
potensi hemolitiknya dapat menjadikannya sebagai kandidat obat
antitumor, sitolisin ataupun bahan dalam bidang kajian biomedik.
Metabolit sekunder dari invertebrata laut dapat diekstraksi lanjut
untuk dijadikan bahan baku obat (Wright, 1984). Demikian pula,
hemolisin pada teripang dapat dikembangkan potensinya sebagai sitolisin,
kandidat obat antitumor ataupun bahan untuk bidang kajian biomedik. Di
beberapa negara maju, jenis-jenis teripang tertentu selain dimanfaatkan
sebagai bahan pangan, juga telah dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam
industri obat-obatan.
Tu (1988) melaporkan, selain holothurin, jenis-jenis toksin lain
yang dikandung teripang, yaitu bohadschiosida, stichoposida,
thelenotosida dan holotoksin. Toksin teripang bersifat ichtiotoksik,
hemolitik, sitotoksik, antifungi (Hashimoto, 1979), antiviral (Wright,
1984), antimetabolik, neurotoksik (Russell, 1965), dan antitumor (Florkin
and Scheer, 1969).
Hemolisis merupakan peristiwa luruhnya membran eritrosit yang
mengakibatkan keluarnya isi sel diikuti lepasnya molekul hemoglobin
yang terkandung di dalamnya. Boorman et al. (1988) menyatakan bahwa
pada peristiwa lisis membran eritrosit tetap dalam keadaan tidak terurai,
tetapi pada bagian membran tertentu terjadi kebocoran yang menyebabkan
keluarnya isi sel karena mekanisme komplemen pada gabungan antigen-
antibodi. Mekanisma hemolisin melisis sel darah merah dari beberapa
bakteri yaitu dengan membentuk pori-pori pada membran sel (Chalneau et
al., 2010).
Hemolisin, sebagai senyawa penyebab hemolisis, ditemukan pada
beberapa biota laut misalnya anemon laut (Anthopleura japonica) (Shiomi
et al., 1986), ular laut (Tugali gigas) dan teripang (Holothuria polii)
(Kamiya et al., 1991), bakteri dan jamur (Humm & Lane, 1974). Aktivitas
hemolitik dapat diukur dengan menggunakan satuan hemolitik unit (HU).
Satu hemolitik unit merupakan jumlah hemolisin yang dapat melisis
setengah dari keseluruhan jumlah eritrosit pada suspensi eritrosit standar
yang digunakan (Humm & Lane, 1974).
Pada pengaruh suhu Jumlah hemolisin yang menyebabkan 50%
hemolisis pada eritrosit standar didapat dari rata-rata nilai absorbans
sampel dibagi dengan nilai absorbans 50% hemolisis pada kurva standar.
Nilai aktivitas hemolitik, dinyatakan dengan Satuan Hemolitik unit (HU),
yang dihasilkan pada beberapa suhu. Aktivitas hemolitik meningkat
seiring dengan peningkatan suhu. Nilai aktivitas optimum berada pada
suhu 50 C dengan nilai aktivitas hemolitik yaitu 1, 37 HU. Pemanasan
hingga 500C menyebabkan protein lain selain hemolisin menjadi
tidak/kurang aktif sehingga hemolisin dapat bekerja secara optimal.
Namun, pemanasan di atas 500C menyebabkan aktivitas hemolitik
menurun akibat hemolisin tidak atau kurang aktif.
Martin et al.(1985) menyatakan bahwa kenaikan kecepatan reaksi
di bawah suhu optimum disebabkan oleh peningkatan energi kinetik
molekul-molekul yang bereaksi. Apabila suhu tetap ditingkatkan hingga
melampaui suhu optimum maka energi kinetik molekul-molekul yang
bereaksi menjadi sedemikian besar sehingga melampaui penghalang energi
untuk pemecahan ikatan-ikatan sekunder. Hal ini akan mengakibatkan
protein atau enzim kehilangan struktur sekunder dan tersier disertai
kehilangan kemampuan hemolitiknya.
Shiomi et al. (1986) melaporkan bahwa hemolisin yang terdapat
pada anemon laut (Anthopleura japonica) labil terhadap pemanasan.
Pengujiannya pada beberapa suhu (40, 60, 80 dan 100 °C) menyebabkan
aktivitas hemolitik anemon laut menurun secara linear terhadap
peningkatan suhu. Penurunan aktivitas yang dilaporkannya secara
berturut-turut sebesar 15, 90 dan 95 %, sedangkan suhu 1000C merusakkan
seluruh aktivitasnya. (Kamiya et al., 1991).
Hemolisin yang diekstraksi dari cairan coelomic teripang
(Holothuria polii) terdiri dari dua jenis yaitu hemolisin yang labil dan
yang tidak labil terhadap pemanasan (Kamiya et al., 199). Florkin &
Scheer (1969) juga menyatakan hal serupa bahwa, secara umum, saponin
tipe holothurin yang dihasilkan teripang tahan terhadap pemanasan.
Hasil pengujian pada beberapa suhu yang diperoleh dapat
dihubungkan dengan suhu optimum yang dibutuhkan bagi aktivitas enzim
pada sel-sel teripang. Giese (1979) menyatakan bahwa umumnya aktivitas
enzim sel-sel organisme di daerah dingin sangat tinggi bagi enzim bakteri
termofilik pada suhu rendah, dan bagi enzim organisme daerah sedang
suhu optimumnya sedang. Teripang (B. graeffei) yang digunakan pada
pengujian ini hidup pada zona fotik perairan. Zona ini menerima banyak
energi cahaya matahari. Jika dihubungkan dengan pernyataan Giese (1979)
maka habitat hidup ini dapat mempengaruhi aktivitas enzim selselnya.
Diperkirakan, aktivitas enzim sel-sel teripang ini membutuhkan suhu
optimum sedang hingga relatif tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hemolisin pada teripang (B.graeffei) cukup tahan terhadap
pemanasan.
Pengaruh PH pada hasil pengujian pada beberapa nilai pH
menampakkan pH 8 adalah pH optimum bagi aktivitas hemolitik teripang.
Aktivitas hemolitik meningkat seiring dengan peningkatan pH kemudian
menurun kembali. Pada jenis hemolisin (AJH-2) yang diisolasi dari
anemon laut (A.japonica). Hemolisin jenis ini tidak mengalami perubahan
aktivitas selama jangka waktu penyimpanan 1 minggu pada suhu 40C
maupun pada suhu - 20 0C selama 6 bulan (Shiomi et al., 1986).
Shiomi et al. (1986) memperoleh dua jenis hemolisin pada anemon
lautt. Jenis (AJH-2) yang stabil pada kisaran pH yang luas (pH 2 - 11) dan
jenis (AJH-1) yang kehilangan 80% aktivitas hemolitiknya pada pH 11.
Aktivitas hemolitik yang dihasilkan hemolisin ular laut (T.gigas)
dinyatakan stabil pada kisaran pH 6 - 9, namun kehilangan aktivitas
hemolitiknya pada nilai pH ekstrim (Kamiya et al. 1991).
Pada penelitian ini digunakan pH yang bervariasi tetapi konsentrasi
buffe tetap. Kecenderungan meningkatnya kemampuan hemolitik sesuai
peningkatan pH ini dapat dihubungkan dengan pernyataan Martin et al.
(1985), jika kecepatan reaksi berubah sebagai fungsi pH pada konsentrasi
buffer tetap maka reaksi dikatakan dikatalisis basa spesifik ( pH 7) atau
asam spesifik (< pH 7). Didasarkan pada pernyataan tersebut dapat
dikatakan bahwa protein pada hemolisin B. graeffei dikatalisis oleh basa
spesifik.
Dari hasil Sampel teripang yang diperoleh diekstraksi mengikuti
metode Kamiya et al. (1991) yang telah dimodifikasi yang dilarutkan
dalam larutan Buffer fosfat yang telah di aduk dan di saring untuk
memperoleh filtrat yang akan di sentrifus pada super natan serta
dilakukan proses salting out dengan penambahan amonim sulfat dan
penambahan aseton. Di peroleh uji aktifitas hemolitik pada ektrak kasar
yang di keringkan dengan menggunakan suspensi eritrosit standar.
Menampakkan bahwa aktivitas hemolitik teripang terjadi pada suhu dan
pH optimum berturut-turut yaitu 50 C dan 8. Nampak bahwa suhu
optimum cukup tinggi dan tidak terjadi penurunan aktivitas yang tajam
pada suhu yang lebih tinggi.
D. Metabolit Sekunder Pada Spons (Clathria reinwardtii) dan Uji Bioaktivitasnya terhadap Artemia salina.
Metabolit Sekunder dari Spons di Wilayah Sulawesi Selatan telah
dilakukan, khususnya dari fraksi non aktif dari spons Clathria reinwardtii.
Uji bioaktivitas dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test
(BST) menggunakan Artemia salina Leach. Teknik pemisahan yang
digunakan terdiri atas ekstraksi, fraksinasi, dan pemurnian. Senyawa yang
diperoleh diuji golongan senyawa dan penentuan strukturnya berdasarkan
data fisik dan data spektroskopi UV, IR dan NMR. Dua senyawa yang
diduga termasuk dalam golongan senyawa fenolik dan steroid yaitu β-
sitosterol telah berhasil diisolasi dari Clathria reinwardtii. Ekstrak dari
Clathria sp. memberikan aktivitas antibiofouling yang tinggi dan aktivitas
dalam menghambat jamur Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp., dan
Fusarium sp. (Suryati et al., 2005).
Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder yaitu dari spons
Xentospongia aschmorica yaitu manzamin A yang berpotensi sebagai
antikanker dan berkemampuan menghambat parasit (Sakai, 1992),
thorectandrol A dan B yang diisolasi dari spons Thorectandra sp yang
dikoleksi dari Palau aktif terhadap sel kanker MALME- 3M (melanoma)
dan MCF-7, disamping itu ditemukan pula senyawa yang s palaulol yang
bersifat sitotoksik pula (Charan, 2001).
Berdasarkan Hasil interpretasi data fisik dan spektrum (UV,IR, dan
NMR) menghasilkan 2 jenis senyawa, yaitu senyawa satu golongan
fenolik dan senyawa dua diduga β-sitosterol. senyawa β -sitosterol
memiliki efek farmakologis yaitu mampu menghambat kerja enzim yang
mengkonversi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang
merupakan penyebab terjadinya kanker prostat, β-sitosterol merupakan
senyawa yang efektif digunakan dalam penyembuhan penyakit asma,
sehingga memungkinkan senyawa ini untuk dikembangkan sebagai obat
terapi penyakit alergi.
E. Identifikasi dan uji toksisitas ekstrak etanol spons hyrtios erecta terhadap larva udang artemia salina.
Spons laut merupakan hewan yang paling dominan dalam filum Porifera.
Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons laut memiliki golongan
senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, steroid dan
poliketida (Thakur, dan Muller,. 2004). Oleh karena itu saat ini mulai
banyak dilakukan penelitian tentang bahan obat yang berasal dari spons
laut, salah satunya adalah spons jenis Hyrtios erecta.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi
aktivitas biologis yang dimiliki oleh spons dari jenis Hyrtios erecta (H.
erecta). Dua alkaloid baru yaitu hyrtiosins A dan B telah diisolasi dari
H.erecta. Penelitian menyebutkan bahwa H. erecta mengadung beberapa
senyawa aktif, seperti spongistatin yang merupakan senyawa antikanker,
15-oxopupeheonol yaitu sebagai penghambat sel kanker dan malaria,
sesterpen 1 yang menghambat sel leukemia, dan dipupehedion sebagai
penghambat sel kanker.(Suaniti,N.M. et., al. 2014).
Senyawa bioaktif yang akan digunakan sebagai produk farmasi
untuk antikanker harus diuji bioaktivitasnya terlebih dahulu. Salah satu
metode uji sitotoksisitas adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) yang
dapat digunakan untuk praskrining terhadap senyawa- senyawa yang
diduga berkhasiat sebagai antikanker (Sukardiman. 2004) dan (Widyastuti,
S. 2008). Bioindikator yang digunakan uji toksisitas tersebut adalah larva
udang Artemia salina Leach. Toksisitas yang tinggi dari senyawa uji
sangat berkorelasi dengan aktivitas senyawa sebagai antikanker
(Suaniti,N.M. et., al. 2014).
Identifikasi senyawa pada isolat toksik relatif murni dilakukan
dengan uji golongan senyawa kimia (uji fitokimia). Uji fitokimia dapat
dilakukan dengan menggunakan pereaksi pendeteksi golongan senyawa
(Suaniti,N.M. et., al. 2014)., meliputi :
1. Flavonoid
Tes dengan NaOH 10% 0,02 g sampel + beberapa tetes pereaksi
NaOH 10%, reaksi positif apabila terjadi perubahan warna menjadi
coklat.
2. Alkaloid
Tes Dragendorff 0,02 g sampel + HCl 0,1 N + beberapa tetes
pereaksi Dragendorff, reaksi positif apabila terdapat endapan warna
merah.
3. Triterpenoid dan Steroid
Tes Liebermann-Burchard 0,02 g sampel + pereaksi Liebermann-
Burchard, reaksi positif apabila terjadi perubahan warna menjadi
ungu-merah-coklat untuk triterpenoid dan warna biru-hijau untuk
steroid.
4. Saponin
0,02 g sampel + 10 mL H2O panas, reaksi positif bila terbentuk busa
stabil kira-kira 10 detik setelah dikocok kuat-kuat dan tidak hilang
bila ditambahkan asam klorida encer.
5. Polifenol
0,02 g sampel + beberapa tetes pereaksi FeCl3 1%, reaksi positif
apabila terjadi perubahan warna menjadi ungu, biru atau hitam yang
kuat.
Idenfikasi Fraksi C spons H.erecta diidentifikasi dengan senyawanya
secara fitokimia. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa fraksi C
mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, dan polifenol.
Tabel 1. Uji Fitokimia untuk Fraksi C
F. Isolasi, Identifikasi dan Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder Ekstrak Kloroform Spons Petrosia alfiani.
Spons laut memiliki potensi bioaktif yang sangat besar. Selama 50 tahun
terakhir telah banyak kandungan bioaktif yang telah ditemukan.
Kandungan bioaktif tersebut dikelompokan beberapa kelompok besar
yaitu antiflammantory, antitumor, immunosuppessive, antivirus,
antimalaria, antibiotik, dan antifouling (Rasyid, 2009).
Isolasi dan identifikasi metabolit sekunder dari ekstrak kloroform spons
Petrosia alfiani telah dilakukan dengan menggunakan metode maserasi,
partisi, kromatografi kolom vakum, dan kromatografi kolom gravitasi.
Senyawa murni telah berhasil diisolasi, kemudian diuji bioaktivitasnya dan
diidentifikasi dengan spektrofotometer UV-Vis, FTIR, dan NMR.
Uji bioaktivitasnya mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococus aureus dengan diameter hambatan 13,8 mm (100 ppm);
16,2 mm (50 ppm); 16,8 mm (10 ppm); 11,2 mm (1 ppm); 7,0 mm
(kontrol negatif); 23,6 (kontrol positif), dan bakteri Escherichia coli
dengan daya hambat 100 ppm (9,8 mm), 50 ppm (8,2 mm), 10 ppm (7,4
mm), 1 ppm (6,8 mm); kontrol positif (25,6 mm); kontrol negatif (7,0
mm), serta uji toksisitas dengan larva udang Artemia salina Leach
menghasilkan nilai LC50 sebesar 0,045 μg/mL (ppm). Identifikasi
senyawa dengan UV-Vis, FTIR, dan NMR memperoleh hasil berupa
senyawa β-sitosterol. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain spons Petrosia alfiani, larutan metanol teknis, kloroform p.a., etil
asetat p.a dan teknis, n-heksana p.a dan teknis, aseton p.a, silika gel 60
(7733), silika gel 60 (7734), silika gel 60 (7730), plat KLT, KLT
preparatif, pasir kuarsa, biakan murni E. coli, biakan murni S. aureus,
medium NA (nutrient Agar), DMSO (dimetil sulfoksida),
Chloramphenicol, dan kapas.
Dua metabolit sekunder telah diisolasi dari spons Petrosia
Hoeksemai yang dikoleksi dari Pulau Menjangan, Bali- Indonesia.
Senyawa tersebut adalah manzamine A dan xestomanzamine A. Senyawa
alkaloid manzamine diketahui memiliki aktivitas antimalaria dan anti-HIV
(Murti, 2006). Spons merupakan sumber senyawa bahan alam seperti
terpenoid, steroid, poliketida, alkaloid, dan masih banyak lagi senyawa-
senyawa yang lain (Ralph, 1988).
G. Metabolit Sekunder Dari Spons Sebagai Bahan Obat-Obatan.
Spons (porifera) merupakan biota laut multi sel yang fungsi jaringan dan
organnya sangat sederhana. Habitat spons umumnya adalah menempel
pada pasir, batu-batuan dan karang-karang mati. Biota laut ini dikenal
dengan "filter feeders", yaitu mencari makanan dengan mengisap dan
menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui
oskulum. Partikel-partikel makanan seperti bakteri, mikroalga dan detritus
terbawa oleh aliran air ini (Amir, 1996). Habitat spons yang melekat pada
pasir atau bebatuan menyebabkan hewan ini sulit untuk bergerak. Untuk
mempertahankan diri dari serangan predator dan infeksi bakteri pathogen,
spons mengembangkan system "biodefense" yaitu dengan menghasilkan
zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan farmasi (Motomasa, 1998).
Penelitian senyawa aktif dari hasil metabolisme sekunder biota
spons telah menghasilkan beberapa senyawa obat, antara lain adalah
antimikroba, antikanker, anti virus dan lain-lain. Berikut adalah beberapa
senyawa aktif dari biota spons yang berpotensi sebagai bahan farmasi.
1. Senyawa Anti mikroba
Substansi antimikroba adalah senyawa kimia yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Sifat penghambatanini
dimanfaatkan dalam farmakologi sebagai obat terhadap penyakit yang
umumnya disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, yeast dan
jamur. Beberapa senyawa antimikroba yang telah diisolasi dari biota
spons diantaranya adalah :
a. Aeroplysinin-1 yang diisolasi dari spons jenis Aplysina
aerophoba. Senyawa aeroplysinin-1 dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Vibrio micrococcus atau Alteromonas sp
(TeeYapAnt et al. 1993). Berikut di bawah ini adalah struktur
kimia dari senyawa aeroplysinin.
b. Strongylophorines diisolasi dari spons Strongylophora
durissina yang ditemukan di Papua New Guinea. Senyawa
meroditerpenoid ini aktif menghambat bakteri Salmonella
typhii dan Micrococ-cus luteus dengan zone diameter hambat
bakteri 7-9 mm pada konsentrasi 100μg atau disk (Balbin et al.
1998). Berikut di bawah ini adalah struktur dari senyawa
Strongylophorine 2 dan Stronggyloporine 3.
c. Chromodorolide A adalah senyawa diterpene yang mempunyai
kerangka karbon yang berbeda dengan senyawa diterpen
sebelumnya. Senyawa ini mempunyai aktivitas antimikroba dan
sitotoksik. Chromodorolide tidak disintesa dalam tubuh spons,
melainkan berasal dari nudibranch (Chromodoris sp) yang
dimakannya (Capon & MAacleod, 1987). Berikut dibawah ini
adalah struktur dari Chromodorolide A.
d. Muqubilin, adalah senyawa peroksida siklik norsesterpen yang
diisolasi dari spons Prianos sp. Organisme tersebut diambil dari
Teluk Eilat. Senyawa ini mempunyai aktivitas sebagai
antibiotik (Alberici et al. 1979). Struktur kimia senyawa
muqubilin adalah sebagai berikut:
e. Sigmosceptrellin-A adalah senyawa antimikroba peroksida
siklik norsesterpen, yang tidak berbentuk kristal, penentuan
strereokimia dari senyawa ini tidak dapat dilakukan dengan
sinar x. Senyawa ini diisolasi dari spons jenis Sigmosceptrella
laevis yang berasal dari pantai utara Papua New Guinea.
(Albericci et al. 1979). Berikut dibawah ini adalah struktur
kimia dari Sigmosceptrellin-A.
f. Oroidin adalah senyawa antibiotik sikloheksadiena yang
mempunyai fungsi antiseptik seperti iodine tincture. Gambar
struktur kimia dari senyawa ini adalah sebagai berikut:
g. Aaptamine dan Demethylaaptamine adalah senyawa alkaloid
yang mempunyai keaktifan menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Vibrio eltor.
(Rachmaniar et al. 2001). Struktur kimia dari senyawa
aaptamine dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
h. Senyawa N-Amidino-4-bromo-pyrole-2-carboxamide senyawa
antibiotik yang diisolasi dari spons jenis Agelas sp. (Inanaga et
al. 1974). Berikut dibawah ini adalah gambar struktur kimia
dari senyawa tersebut di atas.
i. Senyawa 3,5-Dibromo-4-hydroxyphenyl-acetamide dan 4-
Acetamido-2,6-dibromo-4-hydroxy-cyclohexadienon. Kedua
senyawa ini mempunyai aktivitas sebagai antibiotik diisolasi
dari spons Verongia archeri dan Verongia cauliformis
(Botticelli, 1960). Berikut dibawah ini adalah gambar struktur
kimia dari kedua senyawa tersebut di atas.
2. Senyawa Antikanker
Beberapa senyawa yang berhasil diisolasi dari biota spons telah
terbukti menghambat pertumbuhan sel kanker, berikut adalah
senyawa-senyawa antikanker yang ditemukan:
a. Spongouridin dan spongothymidine, adalah senyawa yang
disintesa dari spons Cryptotetis crypta yang mempunyai keaktifan
sitotoksik terhadap sel karsinoma pada manusia. Senyawa ini
merupakan sebuah nukleosida yang berbeda dari biasanya dan
dapat berfungsi sebagai terapi terhadap nukleosida virustatik Ara-
A. Kedua senyawa ini merupakan zat aktif terhadap virus harpes
simplex. (Bergman & Feeny. 1951).
b. Avarol dan avaron adalah senyawa yang mempunyai keaktifan
menghambat virus HIV. Senyawa ini dapat menghambat replikasi
virus-HIV dan melindungi T-lymphoocytes dari infeksi virus
(Sarin et al. 1987). Berikut di bawah ini adalah struktur kimia
senyawa avarol (1) dan avaron (2).
c. Adociaquinon B diisolasi dari spons Xestospongia sp., Senyawa
ini aktif dalam menghambat pertumbuhan sel tumor manusia
(Human Colon Tumor) (Swersey, 1988). Berikut di bawah ini
adalah gambar struktur kimia dari senyawa tersebut di atas.
d. Bistratamide D diisolasi dari senyawa Lissoclinum bistratum.
Senyawa ini aktif menghambat sel tumor HCT (Human Colon
Tumor) (Concepcion et al. 1995). Berikut di bawah ini adalah
gambar struktur kimia dari senyawa tersebut.
e. Makaluvamine N Senyawa ini diisolasi dari Zyzzyafiiliginosa
dikumpulkan dari Filipina, mempunyai keaktifan menghambat
aktifitas katalitik topoisomerase II. (Foster et al 1992). Berikut di
bawah ini adalah struktur kimia dari senyawa makaluvamine N.
Selain senyawa-senyawa yang mempunyai keaktifan sebagai
antimikroba dan antikanker, beberapa senyawa dari spons dapat digunakan
juga sebagai "lead compound" obat antasida, antiepileptic, lipotropik dan
hypotensif. Adapun gambar struktur kimia dari senyawa tersebut adalah :
a. Glisin diisolasi dari spons Zoanthids, senyawa ini mempunyai
keaktifan sebagai antasida. (Oseana, 2003).
b. Asam Glutamat, senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai
antiepileptic (Oseana, 2003).
c. N,N-Dimethylhistamine, diisolasi dari spons Geodia gigas dan
Ianthella sp. Senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai hipotensif
(Oseana,2003).
d. Metionin, senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai lipotropic
agent (Bergmann & Stempien, 1957).
H. Substansi Kimia Untuk Pertahanan Diri Dari Hewan Laut Tak Bertulang Belakang
Beberapa metabolit sekunder yang diproduksi oleh invertebrata laut dan
mikroorganisme simbion, mempunyai prospek sebagai zat aktif dalam obat
dari berbagai penyakit seperti infeksi, neurologi (parkinsons, alzheimer’s),
penyakit jantung, immunologi, anti-inflammatory, antivirus dan
antikanker. Dalam studi tentang pencarian obat baru, hal yang penting
untuk diketahui adalah adanya target molekul. Target atau molekul target
adalah molekul yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas dan toksisitas
suatu senyawa bioaktif secara in vitro. Berikut di bawah ini adalah
beberapa metabolit yang diisolasi dari invertebrata laut maupun
mikroorganisme simbion, yang saat ini sedang dalam tahap uji klinis
sebagai bahan obat. Senyawa-senyawa yang dimaksud adalah :
1. Briostatin 1 diisolasi dari bryozoa Bugula neritina, saat ini sedang
berada pada Fase II uji klinis sebagai antikanker melanoma, non-
hodgkins lymphoma, dan kanker ginjal. Senyawa makrolide siklik ini
menghambat protein kinase C, yang merupakan pemicu tumbuhnya
tumor (Pettit et al., 1982).
2. Dolastatin 10 diisolasi dari kelinci laut jenis Dolabella auricularia.
Senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai antimitosis, yang saat ini
sedang dalam uji klinis tahap I sebagai obat kanker hati, kanker
payudara, tumor dan leukemia(Poncet, 1999).
3. Ecteinascidin 743 merupakan senyawa alkaloid tetrahidroisoquinoline
yang diisolasi dari tunikata Ecteinascidia turbinata. Senyawa ini
mempunyai keaktifan sebagai antimitosis dan saat ini sedang dalam
uji klinis tahap I yang akan diperuntukkan sebagai obat anti kanker
(Rinehart et al., 1990).
4. Aplidine atau dehydrodideminin B, merupakan senyawa antikanker
penghambat protein sintesis yang diisolasi dari tunicate jenis Aplidium
albicans. PharmaMar adalah perusahaan obat asal Spanyol yang
mendanai penelitian tersebut yang saat ini sedang dalam tahap I uji
klinis sebagai model struktur kimia (lead compound) antikanker.
Selain senyawa tersebut di atas, ada beberapa senyawa bioaktif
yang diisolasi dari invertebrata laut yang saat ini sedang dalam uji
praklinis untuk menjadi bahan obat. Senyawa tersebut diantaranya adalah
discodermolide dari spons jenis Discodermia dissolute, senyawa
antimitosis microtubule yang akan dikembangkan untuk obat antikanker
(Gunasekera et al., 1990).
Senyawa Halicondrin B yang diisolasi dari spons jenis
Lissodendoryx, saat ini sedang diuji praklinis oleh perusahaan NCI sebagai
obat melanoma dan leukemia (Litaudon et al., 1997). Kahalalide F
diisolasi dari moluska jenis Elysia rubefescens, sedang diuji sebagai
antikanker usus dan prostat (Hamman et al., 1996).
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Senyawa metabolit sekunder yang teridentifikasi dalam ekstrak metanol
teripang S. hermanii adalah saponin dan steroid. Kedua metabolit sekunder
tersebut memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus,
Vibrio eltor dan Bacilus subtilis.Terhadap aktivitas antioksidan
menunjukkan bahwa nilai IC50 ekstrak metanol teripang S. hermanii
sebesar 65,08 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa S. hermanii memiliki
potensi sebagai antibakteri dan antioksidan.
Senyawa metabolit yang dikandung teripang pada dasarnya adalah
saponin triterpenoid yang merupakan komponen utama toksin pada
Echinodermata. Pengembangan potensi hemolitiknya dapat menjadikannya
sebagai kandidat obat antitumor, sitolisin ataupun bahan dalam bidang
kajian biomedik.
Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons tidak hanya
digunakan untuk pertahanan diri, tetapi juga memiliki berbagai lebar
fungsi untuk obat-obatan. Isolasi senyawa bioaktif yang berasal dari spons
dengan kromatografi adalah metode yang paling akurat untuk
mendapatkan peran baru struktur kimia bioaktif. Investigasi senyawa
bioaktif dari metabolit sekunder spons 'memiliki keberhasilan untuk
menghasilkan antimikroba, antikanker, antivirus, antiepilepsi, dan senyawa
timbal antacid lambung.
Pengembangan obat baru yang berasal dari biota laut, saat ini
menjadi perhatian seluruh peneliti kimia bahan alam. Tingginya
keanekaragaman hayati laut dan uniknya struktur metabolit sekunder yang
dihasilkannya, merupakan dua hal yang menjadi daya tarik para ilmuan.
Untuk mendapatkan obat-obat baru dari laut diperlukan adanya kerjasama
antara berbagai bidang ilmu, yaitu bidang farmasi, kimia organik, biologi
dan kedokteran. Peneliti bidang farmasi memberikan informasi mengenai
mekanisme aktivitas metabolit sekunder di dalam tubuh mamalia.
Kemudian bidang kimia organik berperan mengisolasi dan mendapatkan
struktur model zat aktif dari bahan laut. Sedangkan bidang biologi,
memberikan informasi jenis biota sumber penghasil substansi aktif dan
pengembangan kearah kultur jaringan untuk konservasi dan penggunaan
secara berkelanjutan dari produk alam laut yang potensial. Peranan ilmu
ekologi kelautan, tidak kalah pentingnya untuk mempelajari perunutan
senyawa dalam sistem kehidupan di laut.
DAFTAR PUSTAKA
Alberici, M., M. Collart-Lempereur, J. C. Braekman, D. Daloze, B. Tursch, J.P. Declercq, G. German and M. Van Meerssche 1979 in Marine Norterpene Cyclic: a Stereochemical Paper Chase. Tet. Letts. 2687-2690.
Amir, I. dan Budiyanto.A. 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Oseana, XXI (2) : 15-31.
Balbin, M. 1998. A New Meroditerpenoid Dimer from an Undiscribed Philippine Marine Sponge of the Genus Strongylophora. Jurnal Natural Product 61: 948-962.
Bergmann, W. and R.J.Feeny. 1951. Con-tribution to the Study of Marine Sponges. The Nucleosides of Sponges. J. Org. Chem. 16:981-987.
Bergmann, W. and Stempien T.E., Jr. 1957. Contributions to the Study of Marine Products XLIII. The Nucleosides of Sponges V. The Synthesis of Spongosine. J. Org. Chem. 16: 22,1575.
Boorman, K.E., B.E. Dodd & P.J. Lincoln, 1988. Blood Group Serology, 6th Ed. Churchill Livingstone, New York.
Botticelli, C, F. Hisaw Jr. and Wotiz. H 1960. Estrogens and Progesterone in The Sea Urchin Strongylocentrotus franciscanus and Pecten hericius. Proc. Soc. Exp. Biol. Med, 106, 887.
Capon, J. and Macleod. K 1987 in Studies in Natural Products Chemistry: Structure and Chemistry. J. Nat. Product 50: 225-229.
Charan, R.D., McKee, T.C., and Boyd, M.R., (2001), J. Nat. Prod, 64, 661-663.
Chalneau N., N. Monina, J. Shin, C. View & V. Noireaux . 2010. Hemolysin pore formation into a supported phospholipid bilayer using cell-free expression. Elsevier.
Conception, G.P. 1995 in Bioinformatics and Biotechnology. GeneSeas Asia inc., Manila Philippines.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Florkin, M & T. Scheer, 1969. Chemical Zoology. Vol. III. Academic Press, New York.
Foster, M.P., G. P. Concepcion, G.B. Caraan, CM. Ireland, 1992 Study of Sponges and Ascidians J.Org. Chem. 57: 6672-6675.
Giese, A.C. 1979. Cell Physiology. 5th Ed. Topan Comp., Tokyo.
Gunasekera, S. P., M. Guanseker., R.E. Longley and Schulte. G.K. 1990. A new bioactive polyhydroxylated lactone from the marine sponge, Discodermia dissoluta. J. Org. Chem., 55 : 4912.
Hamman, M.T., C.S. OTTO, P.J. Scheuer and Dunbar D.C. 1996. Kahalalides : bioactive peptides from marine mollusk Elysia rufescens and its algal diet Bryopsis sp. J. Org. Chem., 61 : 6594.
Harborne, J.B. 2006. Metode fitokimia: Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Edisi IV. Kokasih P. dan I. Soediro. (penterjemah). ITB, Bandung. 354hlm.
Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Jap. Sci. Soc. Press, Tokyo.
Humm, H.J & C.E. Lane. 1974. Bioactive Compounds from the Sea. Marcel Dekker, Inc., New York.
Inanaga, J., T. Ike, A. Nakano, N. Okukado and M. Yamaguchi 1973 Total Synthesis of Natural Acetylenic Ana-logues of Isorenieratene. Bull. Chem. Soc. Japan, 46, 2920.
Kamiya, H., K. Muramoto & R. Goto. 1991. Naturally Occuring Hemolysin in the Marine Snail Tugali gigas. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish. 57 (11) : p. 2109-2113.
Litaudon, M.; S.J.H. Hickford and Lill. R.E. 1997. Antitumor polyether macrolides : new and hemisynthetic halicondrins from New Zealand Deepwater sponge Lissodendoryx sp. J. Org. Chem. 62 : 18.
Martin, D.W., P.A. Mayes, D.K. Granner, V.W. Rodwell & I. Darmawan, 1987. Biokimia. Edisi 20. EGC, Jakarta.
Maraskuranto, E. 2010. Kajian Bioprospeksi Spons Laut Asal Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Dan Implikasi Pengelolaannya. Institut Pertanian Bogor.
Murti, Y. B., 2006, Isolation and structure elucidation of bioactive secondary metabolites from sponss collected at Ujungpandang and in the Bali Sea, Indonesia, Disertation.
Motomasa, K. 1998 Search for Biologically Active Substances from Marine Sponges. In: Prosiding Seminar Bioteknologi I (R. R. eds.), Puslit Oseanologi Lipi, Jakarta.
Oseana,2003. Metabolit Sekunder dari Spons Sebagai Bahan Obat-obatan. Lipi. Vol. XXVIII. No. 3. 2003 : 27-33.
Pettit, G.R., C.L. Herald., D.L. Doubek and Herald D.L. 1982. Isolation and structure of bryostatin 1. J. Am. Chem. Soc., 104 : 6846
Poncet, J. 1999. The dolastatins, a family of promising antineoplastic agents. Curr.Pharm. Des., 5 : 139.
Rachmaniar, R., T. Murniasih, A. Rasyid, F. Untari, 2001 Substansi Bioaktif dari Spons Sebagai “Lead Com-pound" Antimikroba. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.
Ralph, D. F., 1988. What Are Sponnges Adapted From: Hooper, JNA. Sponguide, version April 1988, Queensland Museum, Australia.
Rasyid, A. 2012. Identifikasi senyawa metabolit sekunder dan aktivitas antibakteri ekstrak metanol tiga jenis teripang. Dalam: Nababan et al. (eds.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VIII ISOI. Jakarta. Hlm.:1-7.
Rinehart, K.L.; T.G. Holt; N.L. Fregeau; J.G. Stroh; P.A. Keifer; F. Sun; L.H. LI and Martin D.G. 1990. Ecteinascidins 729, 743, 745, 759B, and 770 : potent antitumor agents from the Caribbean tunicate, Ecteinascidia turbinate. J. Org.Chem. 55 : 4512.
Russsell, F.E. 1965. Marine Toxins and Venomous and Poisonous Marine Animals. Adv. Mar. Bio. Vol. 3. p. 255-384.
Sakai, R., Higa, T., and Jefoord, C. (1992), Manzamin A, A novel Antitumor Alkaloid from a sponge, J. Am. Chem. Soc., 11 (1), 8925-8927.
Sarin, P.S., D. Sun , A. Thornton, and Muller W.E.G. 1987 Inhibition of Repli-cation of The Etiologic Agent of Acquired Immune
Deficiency Syndrome (human T-lymphotropic retrovirus/lymphaedenopathy-associated virus) by Avarol and Avarone." J. Nat. Cancer Inst. 78: 663-666.
Shiomi, K., M. Takamiya, H. Yamanaka & T. Kikuchi, 1986. Physicochemical Properties of a Lethal Hemolysin Isolated from Sea Anemon Anthopleura japonica. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish. 52 (3) : p. 539-543.
Suaniti ,N,M., Hernindya,A,Rr dan Swantara, M,D. 2014. Identifikasi dan Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Spons Hyrtios erecta Terhadap Larva Udang Artemia salina L. Cakra Kimia, (Indonesia E-Joernal of Applied Chemistry).Vol.2, No 1.
Sukardiman, Rahman A, Pratiwi FN. 2004. Uji Praskrining Aktivitas Antikanker Ekstrak Eter dan Ekstrak Metanol Marchantia cf. planiloba Steph.
Suryati, E., Rosmiati, Parenrengi, A. 2005. Sponge Bioactive For Bactericide, Fungicide and Antibiofouling in Coastal Aquaculture. Riset Institute for Coastal Aquaculture, Maros.
Swersey, J.C., 1988 in Biomedical Importance of Marine Organisms D.G. Fautin, Ed., California Academy of Sciences, San Francisco.
Teeyapant, R. and Proksch. P 1993. Biotransformation of Brominated Com-pounds in The Marine Sponge Verongia aerophoba Evidence for an Induced Chemical Defence. Naturwissen-schafien 80, 369-370.
Thakur, NL., dan Muller, WEG. 2004. Biotechnological Potential of Marine Sponges. Current Science: 10 June 2004.
Tu, A.T. 1988. Marine Toxins and Venoms. Handbook of Natural Toxins. Vol. 3. Marcel Dekker, Inc., USA.
Widyastuti, S. 2008. “Uji Toksisitas Ekstrak Daun Iprih (Ficus Glabella Blume) Terhadap Artemia salina Leach Dan Profil Kromatografi Lapis Tipis”. (Skripsi). Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah.
Wright, J.L.C.1984. Biologically Active Marine Metabolites: Some Recent Examples. Proc. N. S. Inst. Sci. 34:p. 131-161.