Post on 05-Dec-2015
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ADOPSI
A. Definisi Adopsi
Pengertian adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris “adoption” yang
artinya pengangkatan atau pemungutan, sehingga sering dikatakan “adoption of a
child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak. Kata adopsi ini
dimaksudkan oleh ahli bahasa Arab dengan istilah yang artinya yang dimaksudkan
sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikan anak.1 Sedang dalam bahasa
Arab disebut tabanni (التبنى) yang menurut Mahmud Yunus diartikan “mengambil
anak angkat”.2
Sedangkan Surojo Wignjodipuro dalam bukunya “Pengantar dan Asas-asas
Hukum Adat”memberikan pengertian bahwa adopsi (mengangkat anak) adalah suatu
perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa,
sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut tersebut timbul
suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti lazimnya antara orang tua dan anak
kandung sendiri.3
1 Mahjuddin, masailul fiqhiyah: berbagai kasus yang dihadapi hukum Islam masa kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, cet IV, h. 32.
2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 73.
3 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1983, hlm. 117-118.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Umum disebutkan bahwa Adopsi adalah
suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga. Biasanya adopsi
dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang
tua yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang
diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak
dan kewajiban sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus memenuhi
syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.4
Adopsi mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh kasih saying
dan perhatian, dan diperlakukan oleh orang tuanya seperti anaknya sendiri, tanpa
memberi status anak kandung kepadanya.
2. Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia
berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalan nya dan
hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Pengertian kedua dari akta adopsi di atas, adalah pengertian menurut istilah di
kalangan agama dan adat di masyarakat. Dan adopsi menurut istilah ini telah
membudaya di muka bumi ini, baik sebelum Islam maupun sesudah Islam, termasuk
di masyarakat Indonesia.5
4 ABD-FIK, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hieve, 1997, hlm.275 Zuhdi Masjfuk, masail fiqhiyah: kapita selekta hukum Islam, Jakarta: toko Gunung agung,
1997, cet X, h. 28.
Adapun pengertian adopsi menurut istilah yang dikemukakan oleh para ahli antara
lain:
a. Muderis Zaini, SH mengemukakan pendapat Hilma Hadi Kusuma, SH dengan
mengatakan:
“anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum ada setempat dikarenakan tujuan untuk
kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah
tangga”.
Yang dikemukakan oleh mUderis Zaini, SH menggambarkan bahwa hukum
ada membolehkan pengangkatan anak, yang status anak tersebut disamakan dengan
anak kandung sendiri. Begitu pula status orang tua angkat, sama dengan orang tua
kandung si anak angkat itu. Kedua belah pihak (orang tua angkat dan anak angkat).
Mempunyai hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya. Dan atau anak
kandung terhadap orang tuanya.
b. Prof. Dr As-Syekh mahmud Syaltut mengemukakan dua macam definisi
sebagai berikut:
“adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak yang diketahuinya bahwa anak itu
teramsuk anak orang lain. Kemudian ia memerplakkan anak tersebut sama dengan
anak kandungnya. Baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya (biaya
hidupnya), tanpa ia memandang perbedaan. (meskipun demikian) agama tidak
menganggap sebagai anak kandungnya karena ia tidak dapat disamakan dengan
anak kandung.
Definisi ini memberikan gambaran, bahwa anak angkat itu sekedar
mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tidak dapat
disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan maupun dari segi
perwalian. Hal ini, dapat disamakan dengan anak asuh menurut istilah sekarang ini.
Selanjutnya Prof. Dr. As-Syekh mahmud Syaltut mengemukakan definisinya yang
kedua dengan mengatakan:
. . �ه� ب س� �ن ي �ه� �د�ل و�ل س� �ي و�ل ر�ه� غ�ي �د� و�ل �ه� �ن ا �عر�ف� ي � ط�فال ه� �فس� ن �ل�ى إ خص� الش� س�ب� �ن ي ن� أ ه�ي� &ى �ن �ب الت
. ح� ي الص�ح� ن� �ب إل �ة� ب �س ن ه� �فس� ن �ل�ى إ
“adopsi adalah adanya seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan
seorang anak sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan
anak kandungnya, lalu ia menjadikan nya sebagai anak yang sah.
Definisi ini menggambarkan pengangkatan anak tersebut sama dengan
pengangkatan anak di zaman jahiliyyah, dimana anak angkat itu sama statusnya
dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat
meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawini.6
6 Mahjuddin, masailul, h. 82-84.
B. Hak dan Kewajiban Anak
Adapun hak dan kewajiban anak dalam syariat Islam diantaranya :
1. Anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang.
Islam melarang orang tua untuk membunuh anak-anak mereka dengan tujuan apapun.
Perlindungan untuk hidup, tumbuh dan berkembang tersebut diberikan Islam sejak
masa dalam kandungan. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 31 :
ا ر� �ي �ب ك خ�طء�ا �ان� ك �ه�م ل ق�ت �ن� إ �اكم� �ي و�إ ق�ه�م ز� �ر ن �حن� ن ق8 �مال� إ �ة� ي خ�ش د�كم� وال�� أ �وا �ل �قت ت و�ال�
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah
yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.
قد الله على افتراء� الله ق�هم� ز� ر� ما موا وح�ر� 8 علم بغير سفها أوالد�هم ق�تلوا الذين خسر� قد
مهتد�ين كانوا وما Gوا ض�ل
“Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena
kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah
rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah.
Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”.
2. Hak dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi.
Nabi saw telah memerintahkan kepada sahabat untuk tidak melakukan
kekerasan, penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap anak-anak. Banyak riwayat
yang menuturkan tentang perbuatan dan perkataan lemah lembut Rasulullah saw
kepada anak-anak. Misalnya hadis yang meriwayatkan tentang teguran Rasulullah
saw terhadap seorang perempuan yang menarik anaknya ketika kencing di pangkuan
Rasulullah saw. Hadis lainnya antara lain menerangkan bahwa Rasulullah tidak
pernah memukul anak, tapi Beliau menjelaskan aturan memukul dan bahaya
pemukulan. Dari Aisyah ra berkata :
�جاهد� ي �ن ا اال والخادما بيده Jقط شيأ سلم عليه الله صلى الله رسول ماضرب
الله سبيل فى
“Rasulullah tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, baik
terhadap istri maupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah.”7
Rasulullah juga bersabda, “Seorang yang kuat bukanlah orang yang dapat
membanting orang lain, tetapi orang yang kuat ialah yang mampu mengendalikan
dirinya saat sedang marah.”8
Nabi Muhammad saw pun memerintahkan supaya umatnya berlaku adil
terhadap anak-anaknya dan tidak berlaku diskriminasi. Dari An-Nu’man bin Basyir
radhiallahu ‘anhuma dia berkata:
7 Muslim, Kitab Fadhail, No. 42968 Muttafaq Alaih
س�ول� ر� ه�د� �ش ت �ى ح�ت ض�ى ر� أ ال� و�اح�ة� ر� ت� �ن ب ة� ع�مر� م&ي
� أ ف�ق�ال�ت �ه� م�ال �عض� �ب ب �ي ب� أ ع�ل�ي� �ص�د�ق� ت
ع�ل�ى ه�د�ه� �ش �ي ل �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي& �ب الن �ل�ى إ �ي ب� أ ط�ل�ق� ف�ان �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل
ق�ال� ال� ق�ال� &ه�م �ل ك �د�ك� �و�ل ب ه�ذ�ا ف�ع�لت�� أ �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� �ه� ل ف�ق�ال� �ي ص�د�ق�ت
الص�د�ق�ة� �لك� ت د� ف�ر� �ي ب� أ ج�ع� ف�ر� �م د�ك وال�
� أ ف�ي �وا و�اعد�ل �ه� الل �ق�وا ات
"Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku yang
bernama ‘Amrah bintu Rawahah berkata, “Saya tak akan rela akan hal ini sampai
kamu meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai saksinya. ”Maka
ayahku pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam utk meminta beliau menjadi
saksi atas pemberian tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kepadanya: “Apakah kamu berbuat demikian kepada semua anak-
anakmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah
dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.” Kemudian ayahku pulang & meminta
kembali pemberiannya kepadaku.”9
3. Hak atas suatu nama, identitas diri, status dan mengetahui orang tuanya.
Anak berhak mendapatkan nama dan identitas diri dalam Islam. Untuk nama
anak, Allah swt telah mengisyaratkan dalam al-Qur’an bahwa anak harus diberi
nama.
مريم ( : سورة ]ا م�ي س� ل� ق�ب م�ن �ه� ل �جع�ل ن �م ل �ى ي �ح ي م�ه� اس 8 م �غ�ال� ب ك� ر� �ش& �ب ن �ا �ن إ �ا �ر�ي ك ز� �ا )۷ي
9 HR. Al-Bukhari no. 2650 & Muslim no. 1623
“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan
(beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah
menciptakan orang yang serupa dengan dia” (QS. Maryam: 7).
Anak juga berhak atas status dan mengetahui orang tuanya. Allah berfirman
dalam al-Qur’an :
... �ه�م �ائ ب آل� ) ادع�وه�م ه( : األحزاب سورة
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka…” (QS. Al-Ahzab: 5)
Bagi anak yang terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah tidak ada ikhtilaf
dalam nasab, sedangkan bagi anak yang dilahirkan di luar ikatan pernikahan terdapat
perbedaan di kalangan fuqoha. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya ikhtilaf dalam
memahami arti nikah sehingga berujung terhadap perbedaan memahami teks al-
Qur’an dan teks hadis.
a) Pendapat Imam Syafi’i.10
Perzinaan tidak menetapkan hurmatul mushaharah (kehormatan kerabat) yaitu
hubungan kekeluargaan yang diperoleh dengan jalan perkawinan. Jadi kalau seorang
lelaki meyakini bahwa akibat dari perzinahannya dengan seorang perempuan, lahirlah
seorang anak (wanita), maka laki-laki tersebut atau anaknya atau bapaknya masing-
10 Ibrahim Hosen. Fiqh Perbandingan, Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971, h. 68.
masing tidak ada halangan untuk menikahi anak itu sebagaimana anak dari laki-laki
itu atau bapaknya tidak berhalangan untuk menikahi perempuan tersebut. Alasan
yang dikemukakan antara sebagai berikut :
1) Wanita yang dizinahi oleh seorang lelaki keadaannya sebagai berikut :
· Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap selaku ibu tiri dari anak si
lelaki tersebut, yang oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang
berbunyi
“Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh bapakmu,
kecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
oleh Allah dan seburuk-buruk jalan”.
· Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap sebagai menantu dari
bapak si lelaki tersebut, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang
berbunyi
“Dan diharamkan atasmu (mengawini) istri-istri dari anak kandungmu (menantu)”.
· Anak yang dilahirkan oleh wanita tersebut dari perzinaan itu tidak, dapat
dianggap sebagai putri yang sah dari laki-laki itu, yang oleh karenanya tidak dapat
diperlakukan ayat al-Qur’an yang berbunyi :
“Diharamkan atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang perempuan”.
· Ibu dari wanita tersebut tidak dapat dianggap sebagai mertua dari laki-laki
tersebut, yang oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang
berbunyi :
“Dan diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibu dari istrimu (mertua)”.
Dengan demikian menurut Imam Syafi’i wanita yang dizinahi itu, anaknya
dan ibunya serta anak yang dihasilkan dari perzinaan dengan laki-laki tersebut tidak
termasuk dalam ayat muharramat, hal tersebut termasuk ke dalam ayat :
“Dan dihalalkan bagimu (mengawini) wanita-wanita selain dari yang tersebut itu”
2) Perzinaan adalah persetubuhan yang haram, perbuatan yang terkutuk dan
menimbulkan permusuhan dan bencana. Perbuatan seperti itu tidak wajar mendapat
hurmatul mushaharah.
b) Pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal dan Imamiyah menurut
riwayat yang masyhur.
Memandang bahwa perzinaan menetapkan hurmatul mushaharah, kebalikan
dari pendapat Syafi’i. Wanita yang berzina dengan lelaki tersebut seolah-olah dalam
hukum adalah istrinya, ibunya seolah-olah mertua dan anak yang hasil zina dalam
hukum adalah anaknya. Anak dari lelaki tersebut diharamkan mengawini wanita itu
karena ia dalam hukum adalah ibu tiri, menurut ayat al-Qur’an yang berbunyi :
“Jangalah kamu setubuhi wanita-wanita yang telah disetubuhi oleh bapakmu,
terkecuali pada masa yang sudah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan”.
Jadi menurut ulama fiqh Hanafi ayat ini melarang menyetubuhi wanita yang
disetubuhi oleh bapak itu dengan akad nikah yang sah atau akad milkul yamin
(membeli budak) atau mendapatkannya karena warisan atau tawanan perang ataukah
dengan zina atau karena terjadinya kekeliruan (wathi subhat)...tegasnya akibat dari
persetubuhan itu sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh akad nikah yang sah.
c) Pendapat Imam Malik menurut qaul yang masyhur.
Sependapat dengan pendapat yang pertama (Syafi’i) kecuali dalam hal anak
yang hasil dari zina. Mengenai hukum anak ini adalah bahwa perzinaan menetapkan
hurmatul mushaharah. Menurut pendapat golongan ini bahwa anak zina itu terjadi
dari air maninya yang mana keadaannya tidak berbeda antara haram dan halal dalam
proses kejadiannya sebagaimana diketahui dari sabda Nabi terhadap peristiwa Hilal
bin Umaiyah yang dituduh berzina : “...lihatlah anaknya nanti, kalau anak itu
bentuknya serupa dengan si Syuraik bin Samha (laki-laki yang menzinainya) maka ia
adalah anak Syuraik (diriwayatkan oleh Abu Daud). Hadis ini : “Diharamkan
atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang perempuan”.
4. Hak memelihara, membesarkan dan mengasuh.
Nabi saw memerintahkan kepada orang tua untuk membesarkan dan
mengasuh anak. Nabi Muhammad saw pernah menetapkan hak hadanah kepada
seorang ibu (janda) selama dia belum melakukan perkawinan lagi dengan orang lain.
Rasulullah saw bersabda :
“Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum berkawin.” (Riwayat
Ahmad dan Abu Dawud)
Hak dan tanggung jawab seorang ibu dalam mengasuh dan membesarkan
anaknya berlangsung hingga anak mencapai mumayyiz. Setelah itu anak diberi
keleluasan untuk memilih siapa yang paling ia sukai. Rasulullah saw bersabda :
“Wahai anak! Ini Bapakmu dan ini Ibumu, peganglah tangan siapa yang kamu suka
antara mereka berdua. Lalu anak itu memegang tangan ibunya, lantas ibunya
membawa ia pergi.” (Riwayat Imam Ahmad)
5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
Rasulullah saw menjenguk, mendoakan kesembuhan dan mengobati anak-
anak yang sakit. Dari As-Saib bin Yazid berkata : “Bibiku membawaku pergi
menemui Rasulullah lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, keponakanku ini sedang sakit.
Maka Rasulullah mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan bagiku dan beliau
berwudu lalu aku minum dari bekas air wudunya. Setelah itu aku berdiri di belakang
punggungnya dan kulihat cap kenabian ada di antara kedua pundaknya seperti telur
burung puyuh.” (Muttafaq Alaih)
Nabi saw pun memerintahkan untuk memberi makanan dan pakaian kepada
anak sebagai jaminan kehidupan baginya. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah
bersabda, “…Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan berilah mereka
pakaian dari apa yang kalian pakai…”.
6. Hak berpikir, dan berekspresi
Rasulullah saw membiarkan anak-anak untuk berpikir dan berekspresi sesuai
dengan bakat dan kemampuannya. Dari Aisyah ra bahwa Abu Bakar masuk ke
tempatnya saat ia bersama dua budak yang menyanyikan dan memukul rebana pada
hari-hari Mina. Sementara itu, Rasulullah sedang membentangkan (menjemur) baju
beliau. Maka Abu Bakar membentak mereka berdua. Rasulullah pun melongokkan
wajah dari balik baju yang dijemurnya dan bersabda, “Biarkanlah saja wahai Abu
Bakar karena ini sedang hari Raya.” Aisyah berkata, “Aku melihat Rasulullah
menutup dirinya dariku dengan jubahnya sedangkan aku melihat orang-orang
Habasyah yang sedang bermain saat aku masih kecil. Maka mereka menghormati
kadudukan anak kecil.
7. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Dalam berbagai literatur hadis, banyak diriwayatkan tentang pentingnya
pendidikan dan kewajiban seseorang, khususnya orang tua untuk memberikan
pendidikan dan pengajaran. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dan Baihaqi
dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari hak anak atas
orang tuanya ialah memberinya nama yang baik, mengajarkannya baca-tulis dan
menikahkannya jika sudah dewasa.”
Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir ibnu
Samurah, Rasulullah bersabda, “Sebenarnya seorang ayah mendidik anaknya adalah
lebih baik dari pada dia bersedekah dengan beras (4 liter).”
8. Hak untuk mendapatkan perlindungan dalam kegiatan politik, pelibatan
sengketa, peperangan, kerusuhan dan kekerasan.
Rasulullah saw melarang membunuh anak-anak ketika terjadi peperangan :
, , , وسلم عليه الله صلي النبي مغازي بعض في وجدت امرأة أن عمر بن الله عبد حديث
) البخاري, ( أخرجه والصبيان النساء قتل سلم و عليه الله صلى الله رسول فأنكر مقتولة
“Abdullah bin Umar r.a. berkata : Pernah terjadi dalam salah satu peperangan Nabi
saw ada wanita terbunuh, maka Nabi saw murka dan melarang pembunuhan
terhadap wanita dan anak-anak“. (Bukhari Muslim).
Tawanan perang dalam Islam bukanlah rakyat dari negeri yang berhasil
dikalahkan, melainkan individu yang ikut bertempur. Rasulullah saw bersabda kepada
penduduk Mekkah pada peristiwa Fathu Mekkah: “Pergilah kalian, kalian adalah
orang-orang yang telah bebas.” Suku-suku Arab biasa membawa anak dan istri
mereka dalam peperangan, sehingga selalu terdapat regu perempuan bagian logistik
di belakang pasukan perang. Ketika pasukan utamanya kalah, maka perempuan serta
anak-anak yang ikut berperang tertangkap, sehingga ikut menjadi tawanan perang.
Tawanan perang termasuk ghanimah dan terbagi dalam dua bagian, yaitu wanita dan
anak kecil, serta laki-laki yang sudah baligh.11
9. Hak mendapat perlindungan dan bantuan hukum.
Rasulullah bersabda, “Orang yang meminta perlindungan kepada kalian atas
nama Allah maka lindungilah dan siapa yang meminta kepada kalian dengan nama
Allah maka berilah.”
10. Hak mendapatkan hukuman yang sesuai dan manusiawi.
11 Sayyid Sabiq. Fikih Sunah (Jakarta: Penerbit Pena), 2006, Jilid 4.
Abdullah bin Busr Al Mazini berkata : “Ibuku mengutusku untuk
mengantarkan setangkai anggur kepada Rasulullah. Namun, aku memakannya
sebelum sampai kepada beliau. Ketika aku tiba di tempat beliau, beliau menjewer
telingaku (secara halus) dan memanggilku dengan sebutan, ‘Wahai penghianat
kecil.”
Rasulullah bersabda : “Apabila seseorang di antara kalian memukul, maka
hindarilah bagian wajah.”
11. Hak untuk tidak dieksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
Anak berhak atas penghidupan yang layak, tidak dibeda-bedakan dan tidak
diperlakukan diskriminatif. Anak pun tidak berhak untuk dieksploitasi, baik oleh
orang tuanya maupun masyarakat atau negara. Rasulullah saw selalu memberikan
suri tauladan kepada umatnya dalam hal tersebut. Rasul saw memerintahkan untuk
tidak berlaku diskriminatif, antara lain dalam satu riwayat yang menerangkan tentang
Rasulullah selalu menyambut dan mencium Fatimah ketika ia datang, menggandeng
tangannya, mempersilahkan ia duduk di sebelah beliau. Rasulullah bersabda, “Barang
siapa memiliki tiga anak perempuan, atau tiga saudara perempuan, atau dua anak
perempuan atau dua saudara perempuan lalu memperlakukan mereka dengan baik
(adil) dan bertakwa kepada Allah dalam mengasuh mereka, maka baginya surga.”12
Rasulullah tidak pernah mengeksploitasi anak baik dalam ekonomi maupun
seksual /gender. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda, “…Berilah
12 At Turmidzi, Kitab Barri wash Shilah, 1839 dan Abu Dawud, Kitab Adab, 4481
mereka makan dari apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa
yang kalian pakai…”
Al Ghazali mengatakan, “Hendaknya seorang anak tidak dibiarkan berbangga
diri di depan teman-teman sebayanya dengan harta yang dimiliki oleh orang tuanya
atau dengan sesuatu dari makanannya, pakaiannya, atau buku dan penanya. Akan
tetapi, hendaklah anak dibiasakan bersikap rendah hati, menghormati setiap orang
yang bergaul dengannya, dan lemah lembut tutur sapanya dengan mereka.” (Ihya
‘Ulumuddin)
12. Kewajiban menghormati orang tua, wali, dan guru;
Allah swt mewajibkan manusia untuk menghormati orang tua (ibu dan
bapaknya), sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an :
لي اشكر أن عامين في وفصاله وهن على وهنا أمه حملته بوالديه اإلنسان ووصينا
لقمان ( : سورة المصير إلي )۳۱ولوالديك
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS; Lukman : 31)
Kemudian Rasulullah memerintahkan supaya memuliakan gurunya :
م�نه �م�ون� �ع�ل �ت ت م�ن وا Gق�ر�و
Rasulullah saw bersabda : “Muliakanlah orang-orang yang telah memberikan
pelajaran padamu.” (HR. Abu Hasan Mawardi)
Rasulullah juga bersabda, “Tidak termasuk golonganku orang yang tidak
belas kasih terhadap yang lebih muda dan tidak mau menghormati orang yang lebih
tua serta tidak pula menghargai hak orang yang alim di antara kita.”
13. Kewajiban mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
Islam mengajarkan untuk mencintai tanah air, bangsa dan negara.
Memberitahu anak-anak tentang keadaan bangsa dan negaranya, bahkan
menceritakan peperangan yang mungkin pernah dialami oleh tanah air, bangsa dan
negaranya. Sahabat Rasulullah misalnya, ia menceritakan kepada anaknya tentang
peperangan yang pernah dialami kaum muslimin ketika menghadapi musuh. Urwah
menceritakan bahwa ayahnya, Zubair mempunyai beberapa bekas luka pada tubuhnya
yang dialami sewaktu dalam peperangan badar. Urwah berkata : “Aku sering
memasukkan jariku ke dalam bekas luka pukulan pedang yang sudah sembuh itu
seraya memainkannya sewaktu aku masih kecil…”
14. Kewajiban beretika dan berakhlak mulia.
Ajaran Islam sangat mengutamakan etika dan akhlak dalam berinteraksi
dengan sesama manusia bahkan sesama makhluk Allah di muka bumi ini. Rasulullah
pernah bersabda : “Seorang hamba dengan akhlak baiknya dapat mencapai derajat
tertinggi di akhirat, kedudukan yang terhormat sekalipun dia kurang ibadahnya dan
sesungguhnya dia akan mencapai tempat paling bawah di neraka jahannam karena
akhlaknya yang buruk.” (HR. Thabrani)
15. Kewajiban mencintai keluarga, masyarakat dan teman.
Mencintai keluarga, masyarakat dan teman termasuk ajaran Islam yang sangat
diutamakan. Kecintaan terhadapnya akan menimbulkan kasih sayang dan kebaikan,
jauh dari pertengkaran dan permusuhan, yang pada akhirnya akan terbentuk
masyarakat yang aman dan damai yang diridhai Allah swt.
Mencintai keluarga :
Rasulullah sendiri apabila putrinya, Fatimah, masuk menemuinya, beliau
bangkit menyambutnya dan menciumnya serta mendudukannya di tempat duduknya.
Begitu pula sebaliknya, apabila beliau masuk menemuinya, ia bangkit menyambutnya
dan menciumnya serta mempersilahkannya duduk di tempat duduknya.”
Mencintai masyarakat :
Rasulullah bersabda : “Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur malam
dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan dan ia mengetahuinya.”
Mencintai teman :
Al Ghazali mengatakan, “Hendaknya seorang anak tidak dibiarkan berbangga
diri di depan teman-teman sebayanya dengan harta yang dimiliki oleh orang tuanya
atau dengan sesuatu dari makanannya, pakaiannya, atau buku dan penanya. Akan
tetapi, hendaklah anak dibiasakan bersikap rendah diri, menghormati setiap orang
yang bergaul dengannya, dan lemah lembut tutur sapanya dengan mereka.”
C. Hak dan Kewajiban Orang Tua
Sebagaimana kita ketahui bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian
hidup bersama antara dua jenis kelamin untuk menempuh kehidupan rumah
tangga,semenjak dari keberlangsungan perjanjian melalui akad,kedua belah pihak
telah terikat dan sejak itu mereka mempunyai hak dan kewajiban yang tidak mereka
miliki sebelumnya.Maka dalam hal yang seperti ini focus kita terhadap hak dan
kewajiban orang tua terhadap anak atau disebut juga hak dan kewajiban
bersama,bukan hak dan kewajiban terhadap salah satu keduanya suami-istri.
Yang dimaksud dengan hak bersama suami-istri ini adalah hak bersama secara
timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain,yakni:13
1) Boleh bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya.
2) Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan begitu juga
sebaliknya,yang lazim disebut hubungan mushaharah.
3) Hubungan saling mewarisi diantara suami-istri.Setiap pihak berhak mewarisi
pihak lain bila terjadinya kematian.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan terjadinya perkawinan
itu secara garis besar adalah:
1) Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2) Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah dan warahmah.
Dari item diatas pada bagian kedua yang merupakan kewajiban orang tua
terhadap anaknya dan tidak terlepas dari tanggung jawab untuk membekali anak
dengan kebutuhan yang seharusnya menjadi hak anak tersebut,baik itu pemeliharaan
maupun didikan.Maka dalam hal ini memelihara dan mendidik mempunyai
13 Prof.Dr.Amir Syarifuddin (Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan..Jakarta : 2006). hlm 163
penjabaran yang sangat luas,sehingga peran orang tua dalam hal ini sangat membantu
akan tumbuh kembang anak tersebut.
Dalam pengertian yang lebih spesifik para ulama figh menyebutnya
dengan hadanah yang berarti pemeliharaan terhadap anak yang masih kecil atau
sudah besar sekalipun,akan tetapi belum bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk (mumayyiz),menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,menjaga
dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,mendidik jasmani,rohani dan akalnya
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.14
Berbicara masalah mengasuh atau mendidik anak yang merupakan sebagian
dari bagian tanggung jawab orang tua yang tidak akan terlepas sampai kapanpun
sebelum hak-hak anak ini diprioritasi,yang bukan hanya terbatas pada materi yang di
perlukan oleh anak,akan tetapi juga dari segi pendidikan agama yang bersifat
aqidah,amaliah dan lain sebagainya,sehingga anak ini mengetahui akan keesaan Allah
yang merupakan perkara wajib bagi seluruh ummat.
Oleh sebab itu pembekalan anak dengan ilmu agama hendaknya dilakukan
sedini mungkin dengan berbagai upaya,karena ia merupakan farzhu ‘ain yang bersifat
individual.Hal ini ditegaskan para ulama dengan pernyataan bahwa haram terhadap
seseorang menuntut ilmu selain ilmu agama sebelum ia membekali diri dengan ilmu
agama tersebut,yakni ilmu Tauhid yang mengesakan Allah,ilmu Fiqih yang sifatnya
tata cara pelaksanaan ibadah dan ilmu lainnya.
Masa Pemeliharaan
14 Aminuddin,Slalmat Abidin.(Fiqih Munakahat II Bandung.cv Pustaka Setia).hlm 171
Sebagai yang kita maklum bahwa pemeliharaan yang dalam bahasa Arab
disebut juga dengan hadhanah yang berarti pemeliharaan atau pengasuhan anak yang
masih kecil,baik sebelum putusnya ikatan perkawinan maupun setelah terjadinya
percerain,hal ini bukan hanya saja tertentu terhadap satu pihak dengan mengabaikan
yang lain,akan tatapi hendaklah keduanya ibu dan bapak.
Oleh karena demikian,pengasuhan atau pemeliharaan anak itu berlaku antara
dua unsur yang merupakan rukun dalam hukumnya,yaitu orang tua yang mengasuh
dan anak yang diasuh,maka keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk
wajib dan sahnya pengasuhan tersebut,hal ini tentu saja dalam masalah pengasuhan
setelah terjadinya perceraian,maka ibu dan bapak berkewajiban memelihara anaknya
secara terpisah.sebab itulah ibu dan bapak bisa mengasuh anaknya dengan ketentuan-
ketentuan pengasuh yang disyaratkat:15
1) Berakal.
2) Merdeka.
3) Konsisten dalam beragama.
4) Dapat menjaga kehormatan dirinya.
5) Menetap ditempak anak yang diasuh.
6) Keadaan perempuan tidak bersuami.
Ada enam motif utama disini sebagai persyaratan terhadap ibu dan bapak
untuk bisa mengasuh anak yang tidak boleh luput dari salah satunya.Sejalan dengan
ini,maka ketentuan terhadap anak yang diasuh disyaratkan pula sebagai berikut :
15 H.Sulaiman Rasjid.(Fiqh Islam .Attahiriyah.Jakarta.1976).hlm 404
1) Ia masih berada dalam usia kanak-kanak atau belum balig.
2) Ia berada dalam keadaan yang tidak sempurna,boleh jadi seperti idiot atau
lainnya,sekalipun dia sudah dewasa.
Persyaratan demikian terkait juga dengan masa pemeliharaan yang merupakan
masa yang harus dijalani oleh kedua orang tua selama keadaan anak belum balig dan
anak yang sudah balig,tetapi kondisinya tidak sempurna.Balig bukan hanya saja
diukur dari sampainya usia lima belas tahun,bisa jadi juga dengan sebab
mimpi,meskipun usianya masih dibawah lima belas tahun.
Biaya-Biayanya
Dari berbagai gambaran yang telah tersebut diatas,hal ini tidak terlepas dari
biaya yang harus dikeluarkan yang berupa material,ini merupakan tanggung jawab
suami,maka suamilah yang paling berperan untuk mencukupi keperluannya yang
sesuai dengan kesanggupannya.hal tersebut bisa jadi dalam ikatan perkawinan,boleh
juga jadi setelah perceraian yang dalam masa pemeliharaan,sebagaimana yang
tersebut dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 :
والدة تضار ال وسعها اال نفس التكلف بالمعروف وكسوتهن رزقهن له المولود وعلى
بولده له مولد وال بولدها
Artinya :kewajiban ayah untuk memeberikan belanja dan pakaian untuk istrinya
dengan cara yang makruf,seseorang tidak dibebani kecuali
semampunya,seseorang ibu tidak mendapatkan kesusahan karena anaknya
dan seorang ayah tidak mendapatkan kesusahan karena anaknya.
Kewajiban membiayai oleh suami kepada istrinya yang berlaku dalam Fiqh
didasarkan kepada pemisahan harta antara suami dan istri,sebab dalam kitab-kitab
Fiqh tidak dikenal dengan adanya pembauran harta suami setelah berlansungnya
perkawinan.Suami memiliki hartanya sendiri dan istri juga demikian,sebagai
kewajibannya suami memberikan sebagian dari hartanya itu kepada istri atas nama
nafakah,yang pada gilirannya istri menggunakan untuk keperluan rumah
tangga.Tidak ada penggabungan harta,kecuali dalam bentuk syirkah,yang untuk itu
dilakukan dalam suatu akad khusus untuk syirkah,tanpa adanya akad tersebut harta
tetap terpisah.Prinsip ini mengikuti alur pikiran bahwa suami itu adalah pencari
reziki;rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk
selanjutnya suami berkedudukan sebagai orang yang membiayai.Sebalik dari itu istri
bukanlah sebagai pencari rezeki dan untuk memenuhi kebutuhannya ia berkedudukan
sebagai penerima.
Dan dalam al-Qur’an surat at-Thalak ayat 6 juga menyebutkan tentang
kewajiban terhadap suami untuk membiayai istrinya,yakni:
Artinya :Dan jika mereka istri-istrinu yang telah kamu talak itu sedang hamil,maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,kemudian jika mereka
menyusukan anak-anakmu untukmu,maka berikanlah mereka berikanlah biaya-
biayanya.
Sungguhpun demikian,bila istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai
seorang istri atau dengan bahasa lain istri nusyuz (durhaka) kepada suaminya,menurut
jumhur ulama suami tidak wajib memberikan nafakah dalam masa nusyuznya
itu,yang namun tetap berkewajiban terhadap anaknya yang dalam masa pemeliharaan.
D. Hak Anak Hasil Adopsi
Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya,
sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid), akan tetapi ia tidak berkedudukan
sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan turunan bapak angkatnya.
Anak angkat di sini telah menjadi bagian keluarga dari orang tua yang
mengangkatnya. Sebagai bagian dari keluarga (anak), iapun berhak mendapatkan
cinta dan kasih sayang orang tua seperti yang lainnya serta hak-hak dan kewajiban
anak pada umumnya yang merupakan jaminan yang terdapat dalam ketetentuan
perundangan yang berlaku.
Orang tua angkat/wali yang telah mengangkat seorang anak secara legal
formal dan dengan perbuatan hokum tersebut telah mendapatkan hak asuh terhadap
anak angkatnya, yang mana mereka tersebut (orang tua angkat/wali dengan anak)
memiliki efek kausalitas pada hubungan hokum, hak dan kewajiban hokum yang
melekat layaknya orang tua terhadap anaknya dalam komunitas keluarga.
Selanjutnya pembahasan tentang Kedudukan Anak Angkat adalah merupakan
pembahasan tentang Kedudukan Anak secara umum (termasuk anak angkat dan anak-
anak lainnya) sebagaimana telah diatur dengan tegas dalam UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak pada Bab V Kedudukan Anak mulai pasal 27 sampai
dengan Pasal 29 sebagai berikut :
Pasal 27 Ayat (1) :
Identitas setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
Pasal 27 Ayat (2) :
Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
Pasal 27 Ayat (3) :
Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang
menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
Pasal 27 Ayat (4) :
Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak
diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan
pada keterangan orang yang menemukannya.
Pasal 28 Ayat (1) :
Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam
pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
Pasal 28 Ayat (2) :
Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.
Pasal 28 Ayat (3) :
Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai
biaya.
Pasal 29 Ayat (1) :
Jika terjadi perkawinan campuran antara warga Negara Republik Indonesia dan
warga Negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak
memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 29 Ayat (2) :
Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam
pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.
Pasal 29 Ayat (3) :
Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak
belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik
Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah
berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak
tersebut.
Perlu dijelaskan bahwa Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
anak adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keseluruhan
aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak secara umum yang dalam diri anak
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Sehingga segala ketentuan
yang diatur dalam UU tersebut berlaku untuk semua anak termasuk anak angkat, anak
terlantar, dll ; baik hak dan kewajiban anak, kewajiban dan tanggung jawab (orang
tua, masyarakat, pemerintah, bangsa dan Negara) kedudukan anak maupun
penyelenggaraan perlindungan anak, yang semuanya adalah berlaku dan/atau
diadakan untuk semua anak secara keseluruhan.
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tersebut berasaskan Pancasila
dan berlandaskan UUD 1945 serta Prinsip-Prinsip Dasar Konvensi Hak-Hak
Anak (Pasal 2). Lebih lanjut dalam penjelasannya undang-undang ini menegaskan
bahwa :
Pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara
merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi
terlindunginya hak-hak anak . . .
. . . kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang
potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak milia dan nilai
pancasila serta berkemauna keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan
Negara.
Hal-hal tersebut diatas jelas menegaskan bahwa Negara betul-betul menjamin
segala sesuatu tentang anak termasuk status dan kedudukan anak dimata pemerintah
dan Negara Indonesia sebagai penerus bangsa dan Negara di masa mendatang.
Mukadimah Deklarasi Hak-Hak Anak menjelaskan bahwa :
Dalam deklarasi sedunia tentang Hak Asasi Manusia, PBB telah menyatakan bahwa
setiap orang berhak atas segala hak dan kemerdekaan sebagaimana yang tercantum
dalam deklarasi ini tanpa membeda-bedakan suku bangsa, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan pendapat lainnya, asal-usul bangsa
atau tingkatan social, kaya atau miskin, kedudukan, keturunan atau status.
Lebih lanjut Deklarasi Hak-Hak Anak pada Asas I berbunyi :
Anak-anak berhak menikmati seluruh hak yang tercantum di dalam deklarasi
ini. Semua anak tanpa pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini,
tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat
di bidang politik, atau di bidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan social, kaya
atau miskin, keturunan atau status, baik di lihat dari dirinya sendiri maupun dari segi
keluarganya.16
Hal-hal tersebutlah yang diadopsi oleh UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan anak sebagai bentuk pengakuan secara legalitas terhadap anak-anak
sebagai tunas bangsa, penerus kelangsungan bangsa, pendobrak kemajuan dan
kebanggaan bangsa dan Negara Indonesia.
Dengan demikian jelas bahwa UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
anak mengatur tentang kedudukan anak secara keseluruhan yang dalam konteks
kajian skripsi ini adalah kedudukan anak angkat sebagaimana dalam Bab I Ketentuan
Umum (Pasal 1) menjelaskan tentang semua istilah tentang anak, yang kemudian
selanjutnya diatur secara keseluruhan pada ketentuan-ketentuan pasalnya. Termasuk
Bab V Kedudukan Anak (Pasal 27 sampai dengan Pasal 29) yang menjelaskan
tentang kedudukan anak secara keseluruhan (semua istilah anak yang terdapat pada
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1).
E. Hikmah Dan Tujuan Mengadopsi Anak
Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan anak. Secara
alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di muka bumi.
16 “Deklarasi Hak-Hak Anak”, Media Centre, Surabaya, 2006.
Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber kegembiraan di tengah
keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak menjadi tumpuan harapan.
Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi
ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya.
Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan
kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat
pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh
diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.
1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain
orang tuanya.
3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya,
yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan
perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu.
Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah
memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti
Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh
suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
�ه�م �آئ ي دع�� أ و�اج� ز
� أ ف�ي mج ح�ر� �ين� م�ؤم�ن ال ع�ل�ى �ون� �ك �ي ال �ي �ك ل �ه�ا �اك ن و�ج ز� ا و�ط�ر� ه�ا م&ن mد ي ز� ق�ض�ى �م�ا ف�ل
ا و�ط�ر� ه�ن� م�ن ق�ض�وا �ذ�ا إ
"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya
(Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk
mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah
menceraikan para isteri tersebut" [al-Ahzâb/33:37]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau
menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi
para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.17
Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam
ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang
artinya:
�م �ك ب صال�� أ م�ن �ذ�ين� ال �م� �ك �ائ ن ب
� أ �ل� ئ و�ح�ال�
…(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…[an-Nisaa`/4 : 23].
Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung
kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi
bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.18
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas
para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.19
Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam
perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.20
17 Al-Mishbahul-Munir, hlm. 1092.18 Al-Mishbahul-Munir, hlm. 284, dengan sedikit penyesuaian.19 Al-Umm (6/69).20 Al-Mughni (9/518).
5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh
dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka
wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib
memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.
Hikmah dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab
bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani
bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak
dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang
diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak
dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.
Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan
seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak
menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan
nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi
kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
ا �فر� و�ك �ا �ان ط�غي ه�ق�ه�م�ا �ر ي ن� أ �آ ين ف�خ�ش� ن� �ي م�ؤم�ن �و�اه� ب
� أ �ان� ف�ك �م� غ�ال ال م�ا� و�أ
"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin,
dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran"
[al-Kahfi/18:80]
Secara garis besar tujuan adopsi dapat dikemukakan dalam dua hal yakni:21
21 http://remantotumanggoryahoocom-rey.blogspot.co.id/2012/07/adopsi.html
a. Tujuan Umum: Adopsi adalah bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
anak dalam arti luas yakni berusaha untuk membantu anak agar ia dapat
tumbuh dan berkembang menuju ke arah kehidupan yang harmonis yaitu
kehidupan yang meliputi keamanan, ketertiban bagi jasmani maupun rohani.
b. Tujuan Khusus: Untuk membantu anak-anak terutama mereka yang
terlantar, berada dalam kehidupan tidak mampu, agar memperoleh kehidupan
yang layak dalam lingkungan keluarga tertentu sehingga si anak dapat
menikmati kehidupan keluarga yang dapat memberikan kasih sayang, asuhan,
perlindungan dan kesempatan esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental adan sosialnya