BAB II.docx

51
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ADOPSI A. Definisi Adopsi Pengertian adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris “adoption” yang artinya pengangkatan atau pemungutan, sehingga sering dikatakan “adoption of a child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak. Kata adopsi ini dimaksudkan oleh ahli bahasa Arab dengan istilah yang artinya yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikan anak. 1 Sedang dalam bahasa Arab disebut tabanni ( ى ن ب ت لا) yang menurut Mahmud Yunus diartikan “mengambil anak angkat”. 2 Sedangkan Surojo Wignjodipuro dalam bukunya “Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat”memberikan pengertian bahwa adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan 1 Mahjuddin, masailul fiqhiyah: berbagai kasus yang dihadapi hukum Islam masa kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, cet IV, h. 32. 2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 73.

Transcript of BAB II.docx

Page 1: BAB II.docx

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ADOPSI

A.    Definisi Adopsi

Pengertian adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris “adoption” yang

artinya pengangkatan atau pemungutan, sehingga sering dikatakan “adoption of a

child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak. Kata adopsi ini

dimaksudkan oleh ahli bahasa Arab dengan istilah yang artinya yang dimaksudkan

sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikan anak.1 Sedang dalam bahasa

Arab disebut tabanni (التبنى) yang menurut Mahmud Yunus diartikan “mengambil

anak angkat”.2

Sedangkan Surojo Wignjodipuro dalam bukunya “Pengantar dan Asas-asas

Hukum Adat”memberikan pengertian bahwa adopsi (mengangkat anak) adalah suatu

perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa,

sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut tersebut timbul

suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti lazimnya antara orang tua dan anak

kandung sendiri.3

1 Mahjuddin, masailul fiqhiyah: berbagai kasus yang dihadapi hukum Islam masa kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, cet IV, h. 32.

2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 73.

3 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1983, hlm. 117-118.

Page 2: BAB II.docx

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Umum disebutkan bahwa Adopsi adalah

suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam

hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga. Biasanya adopsi

dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang

tua yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang

diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak

dan kewajiban sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus memenuhi

syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.4

Adopsi mempunyai dua pengertian yaitu:

1.   Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh kasih saying

dan perhatian, dan diperlakukan oleh orang tuanya seperti anaknya sendiri, tanpa

memberi status anak kandung kepadanya.

2.   Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia

berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalan nya dan

hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.

Pengertian kedua dari akta adopsi di atas, adalah pengertian menurut istilah di

kalangan agama dan adat di masyarakat. Dan adopsi menurut istilah ini telah

membudaya di muka bumi ini, baik sebelum Islam maupun sesudah Islam, termasuk

di masyarakat Indonesia.5

4 ABD-FIK, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hieve, 1997, hlm.275 Zuhdi Masjfuk, masail fiqhiyah: kapita selekta hukum Islam, Jakarta: toko Gunung agung,

1997, cet X, h. 28.

Page 3: BAB II.docx

Adapun pengertian adopsi menurut istilah yang dikemukakan oleh para ahli antara

lain:

a.       Muderis Zaini, SH mengemukakan pendapat Hilma Hadi Kusuma, SH dengan

mengatakan:

“anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua

angkat dengan resmi menurut hukum ada setempat dikarenakan tujuan untuk

kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah

tangga”.

Yang dikemukakan oleh mUderis Zaini, SH menggambarkan bahwa hukum

ada membolehkan pengangkatan anak, yang status anak tersebut disamakan dengan

anak kandung sendiri. Begitu pula status orang tua angkat, sama dengan orang tua

kandung si anak angkat itu. Kedua belah pihak (orang tua angkat dan anak angkat).

Mempunyai hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya. Dan atau anak

kandung terhadap orang tuanya.

b.      Prof. Dr As-Syekh mahmud Syaltut mengemukakan dua macam definisi

sebagai berikut:

“adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak yang diketahuinya bahwa anak itu

teramsuk anak orang lain. Kemudian ia memerplakkan anak tersebut sama dengan

anak kandungnya. Baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya (biaya

hidupnya), tanpa ia memandang perbedaan. (meskipun demikian) agama tidak

Page 4: BAB II.docx

menganggap sebagai anak kandungnya karena ia tidak dapat disamakan dengan

anak kandung.

Definisi ini memberikan gambaran, bahwa anak angkat itu sekedar

mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tidak dapat

disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan maupun dari segi

perwalian. Hal ini, dapat disamakan dengan anak asuh menurut istilah sekarang ini.

Selanjutnya Prof. Dr. As-Syekh mahmud Syaltut mengemukakan definisinya yang

kedua dengan mengatakan:

. . �ه� ب س� �ن ي �ه� �د�ل و�ل س� �ي و�ل ر�ه� غ�ي �د� و�ل �ه� �ن ا �عر�ف� ي � ط�فال ه� �فس� ن �ل�ى إ خص� الش� س�ب� �ن ي ن� أ ه�ي� &ى �ن �ب الت

. ح� ي الص�ح� ن� �ب إل �ة� ب �س ن ه� �فس� ن �ل�ى إ

“adopsi adalah adanya seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan

seorang anak sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan

anak kandungnya, lalu ia menjadikan nya  sebagai anak yang sah.

Definisi ini menggambarkan pengangkatan anak tersebut sama dengan

pengangkatan anak di zaman jahiliyyah, dimana anak angkat itu sama statusnya

dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat

meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawini.6

6 Mahjuddin, masailul, h. 82-84.

Page 5: BAB II.docx

B.     Hak dan Kewajiban Anak

Adapun hak dan kewajiban anak dalam syariat Islam diantaranya :

1.      Anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang.  

Islam melarang orang tua untuk membunuh anak-anak mereka dengan tujuan apapun.

Perlindungan untuk hidup, tumbuh dan berkembang tersebut diberikan Islam sejak

masa dalam kandungan. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 31 :

ا ر� �ي �ب ك خ�طء�ا �ان� ك �ه�م ل ق�ت �ن� إ �اكم� �ي و�إ ق�ه�م ز� �ر ن �حن� ن ق8 �مال� إ �ة� ي خ�ش د�كم� وال�� أ �وا �ل �قت ت و�ال�

 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah

yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya

membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.

قد الله على افتراء� الله ق�هم� ز� ر� ما موا وح�ر� 8 علم بغير سفها أوالد�هم ق�تلوا الذين خسر� قد

مهتد�ين كانوا وما Gوا ض�ل

 “Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena

kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah

rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah.

Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”.

2.      Hak dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi.

Page 6: BAB II.docx

Nabi saw telah memerintahkan kepada sahabat untuk tidak melakukan

kekerasan, penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap anak-anak.  Banyak riwayat

yang menuturkan tentang perbuatan dan perkataan lemah lembut Rasulullah saw

kepada anak-anak.  Misalnya hadis yang meriwayatkan tentang teguran Rasulullah

saw terhadap seorang perempuan yang menarik anaknya ketika kencing di pangkuan

Rasulullah saw. Hadis lainnya antara lain menerangkan bahwa Rasulullah tidak

pernah memukul anak, tapi Beliau menjelaskan aturan memukul dan bahaya

pemukulan.  Dari Aisyah ra berkata :

�جاهد� ي �ن ا اال والخادما بيده Jقط شيأ سلم عليه الله صلى الله رسول ماضرب

الله سبيل فى

“Rasulullah tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, baik

terhadap istri maupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah.”7

Rasulullah juga bersabda, “Seorang yang kuat bukanlah orang yang dapat

membanting orang lain, tetapi orang yang kuat ialah yang mampu mengendalikan

dirinya saat sedang marah.”8

Nabi Muhammad saw pun memerintahkan supaya umatnya berlaku adil

terhadap anak-anaknya dan tidak berlaku diskriminasi. Dari An-Nu’man bin Basyir

radhiallahu ‘anhuma dia berkata:

7 Muslim, Kitab Fadhail, No. 42968 Muttafaq Alaih

Page 7: BAB II.docx

س�ول� ر� ه�د� �ش ت �ى ح�ت ض�ى ر� أ ال� و�اح�ة� ر� ت� �ن ب ة� ع�مر� م&ي

� أ ف�ق�ال�ت �ه� م�ال �عض� �ب ب �ي ب� أ ع�ل�ي� �ص�د�ق� ت

ع�ل�ى ه�د�ه� �ش �ي ل �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي& �ب الن �ل�ى إ �ي ب� أ ط�ل�ق� ف�ان �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل

ق�ال� ال� ق�ال� &ه�م �ل ك �د�ك� �و�ل ب ه�ذ�ا ف�ع�لت�� أ �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� �ه� ل ف�ق�ال� �ي ص�د�ق�ت

الص�د�ق�ة� �لك� ت د� ف�ر� �ي ب� أ ج�ع� ف�ر� �م د�ك وال�

� أ ف�ي �وا و�اعد�ل �ه� الل �ق�وا ات

"Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku yang

bernama ‘Amrah bintu Rawahah berkata, “Saya tak akan rela akan hal ini sampai

kamu meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai saksinya. ”Maka

ayahku pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam utk meminta beliau menjadi

saksi atas pemberian tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

bersabda kepadanya: “Apakah kamu berbuat demikian kepada semua anak-

anakmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah

dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.” Kemudian ayahku pulang & meminta

kembali pemberiannya kepadaku.”9

3.      Hak atas suatu nama, identitas diri, status dan mengetahui orang tuanya.

Anak berhak mendapatkan nama dan identitas diri dalam Islam. Untuk nama

anak, Allah swt telah mengisyaratkan dalam al-Qur’an bahwa anak harus diberi

nama.

مريم ( : سورة ]ا م�ي س� ل� ق�ب م�ن �ه� ل �جع�ل ن �م ل �ى ي �ح ي م�ه� اس 8 م �غ�ال� ب ك� ر� �ش& �ب ن �ا �ن إ �ا �ر�ي ك ز� �ا )۷ي

9 HR. Al-Bukhari no. 2650 & Muslim no. 1623

Page 8: BAB II.docx

“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan

(beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah

menciptakan orang yang serupa dengan dia” (QS. Maryam: 7).

  

Anak juga berhak atas status dan mengetahui orang tuanya. Allah berfirman

dalam al-Qur’an :

... �ه�م �ائ ب آل� )  ادع�وه�م ه( : األحزاب سورة

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

mereka…” (QS. Al-Ahzab: 5)

Bagi anak yang terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah tidak ada ikhtilaf

dalam nasab, sedangkan bagi anak yang dilahirkan di luar ikatan pernikahan terdapat

perbedaan di kalangan fuqoha.  Perbedaan tersebut dikarenakan adanya ikhtilaf dalam

memahami arti nikah sehingga berujung terhadap perbedaan memahami teks al-

Qur’an dan teks hadis.

a)      Pendapat Imam Syafi’i.10

Perzinaan tidak menetapkan hurmatul mushaharah (kehormatan kerabat) yaitu

hubungan kekeluargaan yang diperoleh dengan jalan perkawinan.  Jadi kalau seorang

lelaki meyakini bahwa akibat dari perzinahannya dengan seorang perempuan, lahirlah

seorang anak (wanita), maka laki-laki tersebut atau anaknya atau bapaknya masing-

10 Ibrahim Hosen. Fiqh Perbandingan, Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971, h. 68.

Page 9: BAB II.docx

masing tidak ada halangan untuk menikahi anak itu sebagaimana anak dari laki-laki

itu atau bapaknya tidak berhalangan untuk menikahi perempuan tersebut.  Alasan

yang dikemukakan antara sebagai berikut :

1)      Wanita yang dizinahi oleh seorang lelaki keadaannya sebagai berikut :

·         Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap selaku ibu tiri dari anak si

lelaki tersebut, yang oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang

berbunyi

“Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh bapakmu,

kecuali pada masa yang lampau.  Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci

oleh Allah dan seburuk-buruk jalan”.

·         Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap sebagai menantu dari

bapak si lelaki tersebut, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang

berbunyi

“Dan diharamkan atasmu (mengawini) istri-istri dari anak kandungmu (menantu)”.

·         Anak yang dilahirkan oleh wanita tersebut dari perzinaan itu tidak, dapat

dianggap sebagai putri yang sah dari laki-laki itu, yang oleh karenanya tidak dapat

diperlakukan ayat al-Qur’an yang berbunyi :

“Diharamkan atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang perempuan”.

Page 10: BAB II.docx

·         Ibu dari wanita tersebut tidak dapat dianggap sebagai mertua dari laki-laki

tersebut, yang oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang

berbunyi :

“Dan diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibu dari istrimu (mertua)”.

Dengan demikian menurut Imam Syafi’i wanita yang dizinahi itu, anaknya

dan ibunya serta anak yang dihasilkan dari perzinaan dengan laki-laki tersebut tidak

termasuk dalam ayat muharramat, hal tersebut termasuk ke dalam ayat :

“Dan dihalalkan bagimu (mengawini) wanita-wanita selain dari yang tersebut itu”

2)      Perzinaan adalah persetubuhan yang haram, perbuatan yang terkutuk dan

menimbulkan permusuhan dan bencana.  Perbuatan seperti itu tidak wajar mendapat

hurmatul mushaharah.

b)      Pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal dan Imamiyah menurut

riwayat yang masyhur.

Memandang bahwa perzinaan menetapkan hurmatul mushaharah, kebalikan

dari pendapat Syafi’i.  Wanita yang berzina dengan lelaki tersebut seolah-olah dalam

hukum adalah istrinya, ibunya seolah-olah mertua dan anak yang hasil zina dalam

hukum adalah anaknya.  Anak dari lelaki tersebut diharamkan mengawini wanita itu

karena ia dalam hukum adalah ibu tiri, menurut ayat al-Qur’an yang berbunyi :

“Jangalah kamu setubuhi wanita-wanita yang telah disetubuhi oleh bapakmu,

terkecuali pada masa yang sudah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan

dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan”. 

Page 11: BAB II.docx

Jadi menurut ulama fiqh Hanafi ayat ini melarang menyetubuhi wanita yang

disetubuhi oleh bapak itu dengan akad nikah yang sah atau akad milkul yamin

(membeli budak) atau mendapatkannya karena warisan atau tawanan perang ataukah

dengan zina atau karena terjadinya kekeliruan (wathi subhat)...tegasnya akibat dari

persetubuhan itu sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh akad nikah yang sah.

c)     Pendapat Imam Malik menurut qaul yang masyhur.

Sependapat dengan pendapat yang pertama (Syafi’i)  kecuali dalam hal anak

yang hasil dari zina.  Mengenai hukum anak ini adalah bahwa perzinaan menetapkan

hurmatul mushaharah.  Menurut pendapat golongan ini bahwa anak zina itu terjadi

dari air maninya yang mana keadaannya tidak berbeda antara haram dan halal dalam

proses kejadiannya sebagaimana diketahui dari sabda Nabi terhadap peristiwa Hilal

bin Umaiyah yang dituduh berzina : “...lihatlah anaknya nanti, kalau anak itu

bentuknya serupa dengan si Syuraik bin Samha (laki-laki yang menzinainya) maka ia

adalah anak Syuraik (diriwayatkan oleh Abu Daud).  Hadis ini : “Diharamkan

atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang perempuan”. 

4.      Hak memelihara, membesarkan dan mengasuh.  

Nabi saw memerintahkan kepada orang tua untuk membesarkan dan

mengasuh anak.  Nabi Muhammad saw pernah menetapkan hak hadanah kepada

seorang ibu (janda) selama dia belum melakukan perkawinan lagi dengan orang lain.

Rasulullah saw bersabda :

Page 12: BAB II.docx

“Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum berkawin.” (Riwayat

Ahmad dan Abu Dawud)

Hak dan tanggung jawab seorang ibu dalam mengasuh dan membesarkan

anaknya berlangsung hingga anak mencapai mumayyiz. Setelah itu anak diberi

keleluasan untuk memilih siapa yang paling ia sukai.  Rasulullah saw bersabda :

“Wahai anak! Ini Bapakmu dan ini Ibumu, peganglah tangan siapa yang kamu suka

antara mereka berdua. Lalu anak itu memegang tangan ibunya, lantas ibunya

membawa ia pergi.” (Riwayat Imam Ahmad)

5.    Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.

Rasulullah saw menjenguk, mendoakan kesembuhan dan mengobati anak-

anak yang sakit. Dari As-Saib bin Yazid berkata : “Bibiku membawaku pergi

menemui Rasulullah lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, keponakanku ini sedang sakit.

Maka Rasulullah mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan bagiku dan beliau

berwudu lalu aku minum dari bekas air wudunya. Setelah itu aku berdiri di belakang

punggungnya dan kulihat cap kenabian ada di antara kedua pundaknya seperti telur

burung puyuh.” (Muttafaq Alaih)

Nabi saw pun memerintahkan untuk memberi makanan dan pakaian kepada

anak sebagai jaminan kehidupan baginya. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah

bersabda, “…Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan berilah mereka

pakaian dari apa yang kalian pakai…”.

6.      Hak berpikir, dan berekspresi

Page 13: BAB II.docx

Rasulullah saw membiarkan anak-anak untuk berpikir dan berekspresi sesuai

dengan bakat dan kemampuannya.  Dari Aisyah ra bahwa Abu Bakar masuk ke

tempatnya saat ia bersama dua budak yang menyanyikan dan memukul rebana pada

hari-hari Mina. Sementara itu, Rasulullah sedang membentangkan (menjemur) baju

beliau. Maka Abu Bakar membentak mereka berdua. Rasulullah pun melongokkan

wajah dari balik baju yang dijemurnya dan bersabda, “Biarkanlah saja wahai Abu

Bakar karena ini sedang hari Raya.” Aisyah berkata, “Aku melihat Rasulullah

menutup dirinya dariku dengan jubahnya sedangkan aku melihat orang-orang

Habasyah yang sedang bermain saat aku masih kecil. Maka mereka menghormati

kadudukan anak kecil.

7.      Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Dalam berbagai literatur hadis, banyak diriwayatkan tentang pentingnya

pendidikan dan kewajiban seseorang, khususnya orang tua untuk memberikan

pendidikan dan pengajaran.  Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dan Baihaqi

dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari hak anak atas

orang tuanya ialah memberinya nama yang baik, mengajarkannya baca-tulis dan

menikahkannya jika sudah dewasa.”

Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir ibnu

Samurah, Rasulullah bersabda, “Sebenarnya seorang ayah mendidik anaknya adalah

lebih baik dari pada dia bersedekah dengan beras (4 liter).”

8.      Hak untuk mendapatkan perlindungan dalam kegiatan politik, pelibatan

sengketa, peperangan, kerusuhan dan kekerasan.

Page 14: BAB II.docx

Rasulullah saw melarang membunuh anak-anak ketika terjadi peperangan : 

, , , وسلم عليه الله صلي النبي مغازي بعض في وجدت امرأة أن عمر بن الله عبد حديث

) البخاري, ( أخرجه والصبيان النساء قتل سلم و عليه الله صلى الله رسول فأنكر مقتولة

“Abdullah bin Umar r.a. berkata : Pernah terjadi dalam salah satu peperangan Nabi

saw ada wanita terbunuh, maka Nabi saw murka dan melarang pembunuhan

terhadap wanita dan anak-anak“. (Bukhari Muslim).

Tawanan perang dalam Islam bukanlah rakyat dari negeri yang berhasil

dikalahkan, melainkan individu yang ikut bertempur. Rasulullah saw bersabda kepada

penduduk Mekkah pada peristiwa Fathu Mekkah: “Pergilah kalian, kalian adalah

orang-orang yang telah bebas.” Suku-suku Arab biasa membawa anak dan istri

mereka dalam peperangan, sehingga selalu terdapat regu perempuan bagian logistik

di belakang pasukan perang. Ketika pasukan utamanya kalah, maka perempuan serta

anak-anak yang ikut berperang tertangkap, sehingga ikut menjadi tawanan perang.

Tawanan perang termasuk ghanimah dan terbagi dalam dua bagian, yaitu wanita dan

anak kecil, serta laki-laki yang sudah baligh.11

9.      Hak mendapat perlindungan dan bantuan hukum.

Rasulullah bersabda, “Orang yang meminta perlindungan kepada kalian atas

nama Allah maka lindungilah dan siapa yang meminta kepada kalian dengan nama

Allah maka berilah.”

10.  Hak mendapatkan hukuman yang sesuai dan manusiawi.

11 Sayyid Sabiq. Fikih Sunah (Jakarta: Penerbit Pena), 2006, Jilid 4.

Page 15: BAB II.docx

Abdullah bin Busr Al Mazini berkata : “Ibuku mengutusku untuk

mengantarkan setangkai anggur kepada Rasulullah. Namun, aku memakannya

sebelum sampai kepada beliau. Ketika aku tiba di tempat beliau, beliau menjewer

telingaku (secara halus) dan memanggilku dengan sebutan, ‘Wahai penghianat

kecil.”

Rasulullah bersabda : “Apabila seseorang di antara kalian memukul, maka

hindarilah bagian wajah.”

11.  Hak untuk tidak dieksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

Anak berhak atas penghidupan yang layak, tidak dibeda-bedakan dan tidak

diperlakukan diskriminatif.  Anak pun tidak berhak untuk dieksploitasi, baik oleh

orang tuanya maupun masyarakat atau negara.  Rasulullah saw selalu memberikan

suri tauladan kepada umatnya dalam hal tersebut. Rasul saw memerintahkan untuk

tidak berlaku diskriminatif, antara lain dalam satu riwayat yang menerangkan tentang 

Rasulullah selalu menyambut dan mencium Fatimah ketika ia datang, menggandeng

tangannya, mempersilahkan ia duduk di sebelah beliau. Rasulullah bersabda, “Barang

siapa memiliki tiga anak perempuan, atau tiga saudara perempuan, atau dua anak

perempuan atau dua saudara perempuan lalu memperlakukan mereka dengan baik

(adil)  dan bertakwa kepada Allah dalam mengasuh mereka, maka baginya surga.”12

Rasulullah tidak pernah mengeksploitasi anak baik dalam ekonomi maupun

seksual /gender. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda, “…Berilah

12 At Turmidzi, Kitab Barri wash Shilah, 1839 dan Abu Dawud, Kitab Adab, 4481

Page 16: BAB II.docx

mereka makan dari apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa

yang kalian pakai…”

Al Ghazali mengatakan, “Hendaknya seorang anak tidak dibiarkan berbangga

diri di depan teman-teman sebayanya dengan harta yang dimiliki oleh orang tuanya

atau dengan sesuatu dari makanannya, pakaiannya, atau buku dan penanya. Akan

tetapi, hendaklah anak dibiasakan bersikap rendah hati, menghormati setiap orang

yang bergaul dengannya, dan lemah lembut tutur sapanya dengan mereka.” (Ihya

‘Ulumuddin)

12.  Kewajiban menghormati orang tua, wali, dan guru;

Allah swt mewajibkan manusia untuk menghormati orang tua (ibu dan

bapaknya), sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an :

لي اشكر أن عامين في وفصاله وهن على وهنا أمه حملته بوالديه اإلنسان ووصينا

لقمان ( : سورة المصير إلي )۳۱ولوالديك

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-

bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-

tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada

dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS; Lukman : 31)

Kemudian Rasulullah memerintahkan supaya memuliakan gurunya :

م�نه                                   �م�ون� �ع�ل �ت ت م�ن وا Gق�ر�و

Rasulullah saw bersabda : “Muliakanlah orang-orang yang telah memberikan

pelajaran padamu.” (HR. Abu Hasan Mawardi)

Page 17: BAB II.docx

Rasulullah juga bersabda, “Tidak termasuk golonganku orang yang tidak

belas kasih terhadap yang lebih muda dan tidak mau menghormati orang yang lebih

tua serta tidak pula menghargai hak orang yang alim di antara kita.”

13.  Kewajiban mencintai tanah air, bangsa, dan negara.

Islam mengajarkan untuk mencintai tanah air, bangsa dan negara.

Memberitahu anak-anak tentang keadaan bangsa dan negaranya, bahkan

menceritakan peperangan yang mungkin pernah dialami oleh tanah air, bangsa dan

negaranya. Sahabat Rasulullah misalnya, ia menceritakan kepada anaknya tentang

peperangan yang pernah dialami kaum muslimin ketika menghadapi musuh. Urwah

menceritakan bahwa ayahnya, Zubair mempunyai beberapa bekas luka pada tubuhnya

yang dialami sewaktu dalam peperangan badar. Urwah berkata : “Aku sering

memasukkan jariku ke dalam bekas luka pukulan pedang yang sudah sembuh itu

seraya memainkannya sewaktu aku masih kecil…”

14.  Kewajiban beretika dan berakhlak mulia.

Ajaran Islam sangat mengutamakan etika dan akhlak dalam berinteraksi

dengan sesama manusia bahkan sesama makhluk Allah di muka bumi ini.  Rasulullah

pernah bersabda : “Seorang hamba dengan akhlak baiknya dapat mencapai derajat

tertinggi di akhirat, kedudukan yang terhormat sekalipun dia kurang ibadahnya dan

sesungguhnya dia akan mencapai tempat paling bawah di neraka jahannam karena

akhlaknya yang buruk.” (HR. Thabrani)

15.  Kewajiban mencintai keluarga, masyarakat dan teman.

Page 18: BAB II.docx

Mencintai keluarga, masyarakat dan teman termasuk ajaran Islam yang sangat

diutamakan.  Kecintaan terhadapnya akan menimbulkan kasih sayang dan kebaikan,

jauh dari pertengkaran dan permusuhan, yang pada akhirnya akan terbentuk

masyarakat yang aman dan damai yang diridhai Allah swt.

Mencintai keluarga :

Rasulullah sendiri apabila putrinya, Fatimah, masuk menemuinya, beliau

bangkit menyambutnya dan menciumnya serta mendudukannya di tempat duduknya.

Begitu pula sebaliknya, apabila beliau masuk menemuinya, ia bangkit menyambutnya

dan menciumnya serta mempersilahkannya duduk di tempat duduknya.”

Mencintai masyarakat :

Rasulullah bersabda : “Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur malam

dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan dan ia mengetahuinya.”

Mencintai teman :

Al Ghazali mengatakan, “Hendaknya seorang anak tidak dibiarkan berbangga

diri di depan teman-teman sebayanya dengan harta yang dimiliki oleh orang tuanya

atau dengan sesuatu dari makanannya, pakaiannya, atau buku dan penanya. Akan

tetapi, hendaklah anak dibiasakan bersikap rendah diri, menghormati setiap orang

yang bergaul dengannya, dan lemah lembut tutur sapanya dengan mereka.”

C.   Hak dan Kewajiban Orang Tua

Sebagaimana kita ketahui bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian

hidup bersama antara dua jenis kelamin untuk menempuh kehidupan rumah

Page 19: BAB II.docx

tangga,semenjak dari keberlangsungan perjanjian melalui akad,kedua belah pihak

telah terikat dan sejak itu mereka mempunyai hak dan kewajiban yang tidak mereka

miliki sebelumnya.Maka dalam hal yang seperti ini focus kita terhadap hak dan

kewajiban orang tua terhadap anak atau disebut juga hak dan kewajiban

bersama,bukan hak dan kewajiban terhadap salah satu keduanya suami-istri.

Yang dimaksud dengan hak bersama suami-istri ini adalah hak bersama secara

timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain,yakni:13

1)      Boleh bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya.

2)      Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan begitu juga

sebaliknya,yang lazim disebut hubungan mushaharah.

3)      Hubungan saling mewarisi diantara suami-istri.Setiap pihak berhak mewarisi

pihak lain bila terjadinya kematian.

Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan terjadinya perkawinan

itu secara garis besar adalah:

1)      Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.

2)      Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah dan warahmah.

Dari item diatas pada bagian kedua yang merupakan kewajiban orang tua

terhadap anaknya dan tidak terlepas dari tanggung jawab untuk membekali anak

dengan kebutuhan yang seharusnya menjadi hak anak tersebut,baik itu pemeliharaan

maupun didikan.Maka dalam hal ini memelihara dan mendidik mempunyai

13 Prof.Dr.Amir Syarifuddin (Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan..Jakarta : 2006). hlm 163

Page 20: BAB II.docx

penjabaran yang sangat luas,sehingga peran orang tua dalam hal ini sangat membantu

akan tumbuh kembang anak tersebut.

Dalam pengertian yang lebih spesifik para ulama figh menyebutnya

dengan hadanah yang berarti pemeliharaan terhadap anak yang masih kecil atau

sudah besar sekalipun,akan tetapi belum bisa membedakan mana yang baik dan mana

yang buruk (mumayyiz),menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,menjaga

dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,mendidik jasmani,rohani dan akalnya

agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.14

Berbicara masalah mengasuh atau mendidik anak yang merupakan sebagian

dari bagian tanggung jawab orang tua yang tidak akan terlepas sampai kapanpun

sebelum hak-hak anak ini diprioritasi,yang bukan hanya terbatas pada materi yang di

perlukan oleh anak,akan tetapi juga dari segi pendidikan agama yang bersifat

aqidah,amaliah dan lain sebagainya,sehingga anak ini mengetahui akan keesaan Allah

yang merupakan perkara wajib bagi seluruh ummat.

Oleh sebab itu pembekalan anak dengan ilmu agama hendaknya dilakukan

sedini mungkin dengan berbagai upaya,karena ia merupakan farzhu ‘ain yang bersifat

individual.Hal ini ditegaskan para ulama dengan pernyataan bahwa haram terhadap

seseorang menuntut ilmu selain ilmu agama sebelum ia membekali diri dengan ilmu

agama tersebut,yakni ilmu Tauhid yang mengesakan Allah,ilmu Fiqih yang sifatnya

tata cara pelaksanaan ibadah dan ilmu lainnya.

Masa Pemeliharaan

14 Aminuddin,Slalmat Abidin.(Fiqih Munakahat II Bandung.cv Pustaka Setia).hlm 171

Page 21: BAB II.docx

Sebagai yang kita maklum bahwa pemeliharaan yang dalam bahasa Arab

disebut juga dengan hadhanah yang berarti pemeliharaan atau pengasuhan anak yang

masih kecil,baik sebelum putusnya ikatan perkawinan maupun setelah terjadinya

percerain,hal ini bukan hanya saja tertentu terhadap satu pihak dengan mengabaikan

yang lain,akan tatapi hendaklah keduanya ibu dan bapak.

Oleh karena demikian,pengasuhan atau pemeliharaan anak itu berlaku antara

dua unsur yang merupakan rukun dalam hukumnya,yaitu orang tua yang mengasuh

dan anak yang diasuh,maka keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk

wajib dan sahnya pengasuhan tersebut,hal ini tentu saja dalam masalah pengasuhan

setelah terjadinya perceraian,maka ibu dan bapak berkewajiban memelihara anaknya

secara terpisah.sebab itulah ibu dan bapak bisa mengasuh anaknya dengan ketentuan-

ketentuan pengasuh yang disyaratkat:15

1)      Berakal.

2)      Merdeka.

3)      Konsisten dalam beragama.

4)      Dapat menjaga kehormatan dirinya.

5)      Menetap ditempak anak yang diasuh.

6)      Keadaan perempuan tidak bersuami.

Ada enam motif utama disini sebagai persyaratan terhadap ibu dan bapak

untuk bisa mengasuh anak yang tidak boleh luput dari salah satunya.Sejalan dengan

ini,maka ketentuan terhadap anak yang diasuh disyaratkan pula sebagai berikut :

15 H.Sulaiman Rasjid.(Fiqh Islam .Attahiriyah.Jakarta.1976).hlm 404

Page 22: BAB II.docx

1)      Ia masih berada dalam usia kanak-kanak atau belum balig.

2)      Ia berada dalam keadaan yang tidak sempurna,boleh jadi seperti idiot atau

lainnya,sekalipun dia sudah dewasa.

Persyaratan demikian terkait juga dengan masa pemeliharaan yang merupakan

masa yang harus dijalani oleh kedua orang tua selama keadaan anak belum balig dan

anak yang sudah balig,tetapi kondisinya tidak sempurna.Balig bukan hanya saja

diukur dari sampainya usia lima belas tahun,bisa jadi juga dengan sebab

mimpi,meskipun usianya masih dibawah lima belas tahun.

Biaya-Biayanya

Dari berbagai gambaran yang telah tersebut diatas,hal ini tidak terlepas dari

biaya yang harus dikeluarkan yang berupa material,ini merupakan tanggung jawab

suami,maka suamilah yang paling berperan untuk mencukupi keperluannya yang

sesuai dengan kesanggupannya.hal tersebut bisa jadi dalam ikatan perkawinan,boleh

juga jadi setelah perceraian yang dalam masa pemeliharaan,sebagaimana yang

tersebut dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 :

والدة تضار ال وسعها اال نفس التكلف بالمعروف وكسوتهن رزقهن له المولود وعلى

بولده له مولد وال بولدها

Artinya :kewajiban ayah untuk memeberikan belanja dan pakaian untuk istrinya

dengan cara yang makruf,seseorang tidak dibebani kecuali

semampunya,seseorang ibu tidak mendapatkan kesusahan karena anaknya

dan seorang ayah tidak mendapatkan kesusahan karena anaknya.

Page 23: BAB II.docx

Kewajiban membiayai oleh suami kepada istrinya yang berlaku dalam Fiqh

didasarkan kepada pemisahan harta antara suami dan istri,sebab dalam kitab-kitab

Fiqh tidak dikenal dengan adanya pembauran harta suami setelah berlansungnya

perkawinan.Suami memiliki hartanya sendiri dan istri juga demikian,sebagai

kewajibannya suami memberikan sebagian dari hartanya itu kepada istri atas nama

nafakah,yang pada gilirannya istri menggunakan untuk keperluan rumah

tangga.Tidak ada penggabungan harta,kecuali dalam bentuk syirkah,yang untuk itu

dilakukan dalam suatu akad khusus untuk syirkah,tanpa adanya akad tersebut harta

tetap terpisah.Prinsip ini mengikuti alur pikiran bahwa suami itu adalah pencari

reziki;rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk

selanjutnya suami berkedudukan sebagai orang yang membiayai.Sebalik dari itu istri

bukanlah sebagai pencari rezeki dan untuk memenuhi kebutuhannya ia berkedudukan

sebagai penerima.

Dan dalam al-Qur’an surat at-Thalak ayat 6 juga menyebutkan tentang

kewajiban terhadap suami untuk membiayai istrinya,yakni:

Artinya :Dan jika mereka istri-istrinu yang telah kamu talak itu sedang hamil,maka

berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,kemudian jika mereka

menyusukan anak-anakmu untukmu,maka berikanlah mereka berikanlah biaya-

biayanya.

Sungguhpun demikian,bila istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai

seorang istri atau dengan bahasa lain istri nusyuz (durhaka) kepada suaminya,menurut

Page 24: BAB II.docx

jumhur ulama suami tidak wajib memberikan nafakah dalam masa nusyuznya

itu,yang namun tetap berkewajiban terhadap anaknya yang dalam masa pemeliharaan.

D.    Hak Anak Hasil Adopsi

Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya,

sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid), akan tetapi ia tidak berkedudukan

sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan turunan bapak angkatnya.

Anak angkat di sini telah menjadi bagian keluarga dari orang tua yang

mengangkatnya. Sebagai bagian dari keluarga (anak), iapun berhak mendapatkan

cinta dan kasih sayang orang tua seperti yang lainnya serta hak-hak dan kewajiban

anak pada umumnya yang merupakan jaminan yang terdapat dalam ketetentuan

perundangan yang berlaku.

Orang tua angkat/wali yang telah mengangkat seorang anak secara legal

formal dan dengan perbuatan hokum tersebut telah mendapatkan hak asuh terhadap

anak angkatnya, yang mana mereka tersebut (orang tua angkat/wali dengan anak)

memiliki efek kausalitas pada hubungan hokum, hak dan kewajiban hokum yang

melekat layaknya orang tua terhadap anaknya dalam komunitas keluarga.

Selanjutnya pembahasan tentang Kedudukan Anak Angkat adalah merupakan

pembahasan tentang Kedudukan Anak secara umum (termasuk anak angkat dan anak-

anak lainnya) sebagaimana telah diatur dengan tegas dalam UU No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak pada Bab V Kedudukan Anak mulai pasal 27 sampai

dengan Pasal 29 sebagai berikut :

Pasal 27 Ayat (1) :

Page 25: BAB II.docx

Identitas setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.

Pasal 27 Ayat (2) :

Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

Pasal 27 Ayat (3) :

Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang

menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.

Pasal 27 Ayat (4) :

Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak

diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan

pada keterangan orang yang menemukannya.

Pasal 28 Ayat (1) :

Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam

pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.

Pasal 28 Ayat (2) :

Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan

paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.

Pasal 28 Ayat (3) :

Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai

biaya.  

Pasal 29 Ayat (1) :

Jika terjadi perkawinan campuran antara warga Negara Republik Indonesia dan

warga Negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak

Page 26: BAB II.docx

memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 29 Ayat (2) :

Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam

pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.

Pasal 29 Ayat (3) :

Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak

belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik

Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah

berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak

tersebut.

Perlu dijelaskan bahwa Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

anak adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keseluruhan

aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak secara umum yang dalam diri anak

melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Sehingga segala ketentuan

yang diatur dalam UU tersebut berlaku untuk semua anak termasuk anak angkat, anak

terlantar, dll ; baik hak dan kewajiban anak, kewajiban dan tanggung jawab (orang

tua, masyarakat, pemerintah, bangsa dan Negara) kedudukan anak maupun

penyelenggaraan perlindungan anak, yang semuanya adalah berlaku dan/atau

diadakan untuk semua anak secara keseluruhan.

Page 27: BAB II.docx

UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tersebut berasaskan Pancasila

dan berlandaskan UUD 1945 serta Prinsip-Prinsip Dasar Konvensi Hak-Hak

Anak (Pasal 2). Lebih lanjut dalam penjelasannya undang-undang ini menegaskan

bahwa :

Pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara

merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi

terlindunginya hak-hak anak .  .  . 

.  .  .  kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang

potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak milia dan nilai

pancasila serta berkemauna keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan

Negara. 

Hal-hal tersebut diatas jelas menegaskan bahwa Negara betul-betul menjamin

segala sesuatu tentang anak termasuk status dan kedudukan anak dimata pemerintah

dan Negara Indonesia sebagai penerus bangsa dan Negara di masa mendatang. 

Mukadimah Deklarasi Hak-Hak Anak menjelaskan bahwa :

Dalam deklarasi sedunia tentang Hak Asasi Manusia, PBB telah menyatakan bahwa

setiap orang berhak atas segala hak dan kemerdekaan sebagaimana yang tercantum

dalam deklarasi ini tanpa membeda-bedakan suku bangsa, warna kulit, jenis

kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan pendapat lainnya, asal-usul bangsa

atau tingkatan social, kaya atau miskin, kedudukan, keturunan atau status.

Lebih lanjut Deklarasi Hak-Hak Anak pada Asas I berbunyi :

Anak-anak berhak menikmati seluruh hak yang tercantum di dalam deklarasi

Page 28: BAB II.docx

ini. Semua anak tanpa pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini,

tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat

di bidang politik, atau di bidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan social, kaya

atau miskin, keturunan atau status, baik di lihat dari dirinya sendiri maupun dari segi

keluarganya.16

Hal-hal tersebutlah yang diadopsi oleh UU No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan anak sebagai bentuk pengakuan secara legalitas terhadap anak-anak

sebagai tunas bangsa, penerus kelangsungan bangsa, pendobrak kemajuan dan

kebanggaan bangsa dan Negara Indonesia.

Dengan demikian jelas bahwa UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

anak mengatur tentang kedudukan anak secara keseluruhan yang dalam konteks

kajian skripsi ini adalah kedudukan anak angkat sebagaimana dalam Bab I Ketentuan

Umum (Pasal 1) menjelaskan tentang semua istilah tentang anak, yang kemudian

selanjutnya diatur secara keseluruhan pada ketentuan-ketentuan pasalnya. Termasuk

Bab V Kedudukan Anak (Pasal 27 sampai dengan Pasal 29) yang menjelaskan

tentang kedudukan anak secara keseluruhan (semua istilah anak yang terdapat pada

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1).

E.     Hikmah Dan Tujuan Mengadopsi Anak

Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan anak. Secara

alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di muka bumi.

16 “Deklarasi Hak-Hak Anak”, Media Centre, Surabaya, 2006.

Page 29: BAB II.docx

Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber kegembiraan di tengah

keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak menjadi tumpuan harapan.

Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi

ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya.

Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan

kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat

pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh

diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.

1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.

2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain

orang tuanya.

3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya,

yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.

4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan

perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu.

Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah

memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti

Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh

suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

�ه�م �آئ ي دع�� أ و�اج� ز

� أ ف�ي mج ح�ر� �ين� م�ؤم�ن ال ع�ل�ى �ون� �ك �ي ال �ي �ك ل �ه�ا �اك ن و�ج ز� ا و�ط�ر� ه�ا م&ن mد ي ز� ق�ض�ى �م�ا ف�ل

ا و�ط�ر� ه�ن� م�ن ق�ض�وا �ذ�ا إ

Page 30: BAB II.docx

"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya

(Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk

mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah

menceraikan para isteri tersebut" [al-Ahzâb/33:37]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau

menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi

para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.17

Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam

ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang

artinya:

�م �ك ب صال�� أ م�ن �ذ�ين� ال �م� �ك �ائ ن ب

� أ �ل� ئ و�ح�ال�

…(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…[an-Nisaa`/4 : 23].

Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung

kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi

bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.18

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas

para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.19

Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam

perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.20

17 Al-Mishbahul-Munir, hlm. 1092.18 Al-Mishbahul-Munir, hlm. 284, dengan sedikit penyesuaian.19 Al-Umm (6/69).20 Al-Mughni (9/518).

Page 31: BAB II.docx

5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh

dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka

wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib

memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.

Hikmah dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab

bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani

bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak

dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang

diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak

dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.

Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan

seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak

menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan

nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi

kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa

Ta'ala berfirman:

ا �فر� و�ك �ا �ان ط�غي ه�ق�ه�م�ا �ر ي ن� أ �آ ين ف�خ�ش� ن� �ي م�ؤم�ن �و�اه� ب

� أ �ان� ف�ك �م� غ�ال ال م�ا� و�أ

"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin,

dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran"

[al-Kahfi/18:80]

Secara garis besar tujuan adopsi dapat dikemukakan dalam dua hal yakni:21

21 http://remantotumanggoryahoocom-rey.blogspot.co.id/2012/07/adopsi.html

Page 32: BAB II.docx

a. Tujuan Umum: Adopsi adalah bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan

anak dalam arti luas yakni berusaha untuk membantu anak agar ia dapat

tumbuh dan berkembang menuju ke arah kehidupan yang harmonis yaitu

kehidupan yang meliputi keamanan, ketertiban bagi jasmani maupun rohani.

b. Tujuan Khusus: Untuk membantu anak-anak terutama mereka yang

terlantar, berada dalam kehidupan tidak mampu, agar memperoleh kehidupan

yang layak dalam lingkungan keluarga tertentu sehingga si anak dapat

menikmati kehidupan keluarga yang dapat memberikan kasih sayang, asuhan,

perlindungan dan kesempatan esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan

fisik, mental adan sosialnya