Post on 16-May-2018
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tatanan Geologi
2.1.1 Geologi Regional
Secara regional endapan emas Cibaliung berada pada kompleks Honje yang
terletak di baratdaya dari pulau Jawa. Kompleks Honje berada sekitar 70 km ke
arah barat dan terpisah dari Kubah Bayah tempat deposit emas Gunung Pongkor
dan Cikotok berada.
Litologi dari Kompleks Honje sendiri mempunyai kesamaan dengan litologi
dari Kompleks Kubah Bayah, yaitu Calc-Alkaline Rhyolitic yang berumur
Oligosen-Kuarter sampai batuan andesitis dan beberapa singkapan intrusi-intrusi
kecil ( Marcoux dan Milesi, 1994; dalam Harijoko, 2004).
Kompleks Honje sendiri terdiri dari Formasi Honje yang merupakan akumulasi
dari batuan vulkanik andesit basalt sampai dengan lava andesit dan breksi
vulkanik dengan beberapa perselingan dari batuan sedimen (Marjoribanks, 2001,
Angeles, 2001).
Formasi Honje ditindih secara tidak selaras oleh lapisan tipis tuf, lapisan tipis
ini dinamakan Cibaliung Tuf. Kearah timur, batuan vulkanik ini ditindih oleh
batuan sedimen dengan arah kemiringan kearah timur. Batuan sedimen ini
dinamakan Formasi Cipacar yang berumur Pliosen.
8
2.1.2 Geologi Daerah Cibaliung
2.1.2.1 Morfologi
Daerah penelitian terletak pada morfologi bergelombang lemah dan perbukitan
sedang dengan elevasi 150 mdpl sampai 250 mdpl dan kemiringan lereng 7-20%.
Perbukitan tertinggi terletak disebelah barat kawasan tambang, yaitu Gunung
Honje dengan ketinggian 620 m di atas permukaan laut. Umumnya sungai-sungai
pada daerah ini membentuk pola pengaliran rektangular dengan sungai utama
yang mengalir di daerah ini adalah Sungai Citeluk, Sungai Cikoneng, dan Sungai
Cibeber yang mengalir dari utara ke selatan dan bermuara sampai di pantai
selatan.
2.1.2.2 Stratigrafi
Secara regional daerah penelitian tersusun oleh Formasi Honje. Formasi Honje
terdiri atas lava basaltik dan andesitik, breksi gunungapi, aglomerat, tuf lapili, tuf
batuapung dan breksi tuf. Lava basaltik berwarna abu-abu gelap, afanitik kadang
porfiritik berfenokris plagioklas, berukuran sangat kasar. Lava andesitik berwarna
abu-abu kehijauan, porfiritik dengan fenokris plagioklas berukuran menengah,
dengan masa dasar gelas, menyisip diantara lava basalt, breksi gunungapi atau
aglomerat. Breksi gunungapi berwarna abu-abu gelap, berfragmen basalt dengan
matrik tuf pasiran, fragmen berukuran kerakal-bongkah, menyudut tanggung.
Aglomerat berwarna abu-abu gelap hingga kehijauan, berfragmen basalt dan
andesit porfiri, berukuran kerakal-bongkah, membulat-menyudut tanggung.
Breksi maupun aglomerat bertekstur laharik. Tuf lapili bersifat litik mengandung
komponen andesit, berwarna putih kecoklatan, struktur perlapisan sejajar,
9
bersusunan andesitik. Tuf batuapung berwarna abu-abu keputihan, struktur
perlapisan sejajar, berbutir halus. Breksi tuf berwarna kehijauan, berfragmen tuf
dengan struktur perlapisan sejajar, berukuran kerakal-bongkah menyudut
tanggung. Jurus dan kemiringan batuan berarah timurlaut-baratdaya dengan
kemiringan kearah tenggara. Formasi Honje diperkirakan berumur Miosen
Tengah (Angeles, 2002).
Satuan batuan dapat dibagi menjadi dua unit batuan yaitu pre-mineraliasi dan
post-mineralisasi. Batuan pre-mineralisasi umumnya dikarakteristik oleh alterasi
hidrotermal dan menjadi batuan tempat terbentuknya urat kuarsa yang
mengandung emas. Sebaliknya, batuan post-mineralisasi tidak mengalami alterasi
hidrotermal dan bukan merupakan batuan tempat terbentuknya urat kuarsa
sehingga batuan ini tidak berhubungan dengan proses mineralisasi.
Sekuen batuan pre-mineralisasi disebut Formasi Honje, tersusun atas volcanic
pile dari sekuen tebal aliran basaltik-andesitik, andesitik tuf, dan breksi vulkanik
dengan interkalasi sedimen tufaan dibeberapa tempat. Semua unit batuan pre-
mineralisasi tertutup oleh batuan post-mineralisasi, yaitu Cibaliung Tuff.
Cibaliung Tuff tersusun atas tuf dasitik dan batupasir vulkanik dengan kandungan
kayu terkarbonkan dan kayu terkersikkan, tertutup oleh tuff pumisan (Gambar
2.1).
10
Gambar 2.1 Peta Geologi daerah Cibaliung (Andi Kurniawan, 2010).
2.1.2.3 Struktur Geologi
Secara struktur geologi, prospek emas di Cibaliung terletak dalam koridor
struktur yang berarah barat-baratlaut dengan lebar 3,5 km dan panjang 6 km. Dua
struktur arah utara-baratlaut yang kaya cadangan emas dengan posisi relatif tegak
sebagai sistem urat kuarsa, adalah Cikoneng disebelah utara dan Cibitung
disebelah selatan yang berjarak 400 m. Tubuh yang kaya cadangan emas ini
memiliki ukuran tebal 1-10 m, panjang 140-200 m, kedalaman sampai lebih 300
m dan masih menerus kebawah. Tubuh yang kaya cadangan emas Cikoneng-
Cibitung ini berupa dilational jogs dan sigmoid bends yang terbentuk dari
perpotongan patahan barat-baratlaut, utara-baratlaut, dan utara-timurlaut.
11
Gambar 2.2 Peta Struktur Geologi daerah Cibaliung (PT.CSD, 2010)
2.1.3 Alterasi dan Mineralisasi
Alterasi hidrotermal di daerah penelitian dibagi menjadi 4 zona (Data PT.CSD,
2010) berdasarkan temperatur dari mineral-mineral lempung dan zeolit, dan juga
mineral indikator permeabilitas yaitu adularia. Keempat zona alterasi hidrotermal
tersebut adalah :
12
1. Zona kristobalit-smektit-kaolinit (Zona I)
Zona kristobalit-smektit-kaolinit (Zona I) dapat digolongkan berdasarkan
keberadaan dari mineral-mineral kristobalit, smektit, kaolinit, dan sisa
mineral primer plagioklas. Zona ini terletak dibagian tenggara dari
Cibaliung.
2. Zona smektit-kuarsa (Zona II)
Zona smektit-kuarsa tersebar di sebuah utara dari zona I. Zona II berada di
elevasi yang sama dengan munculnya zona I. Mineral-mineral sekunder
yang umum terdapat pada zona ini seperti kuarsa dan smektit berasosiasi
dengan sedikit kaolinit dan pirit.
3. Zona campuran dari mineral-mineral lempung (Zona III)
Zona campuran dari mineral-mineral lempung (Zona III) digolongkan
berdasarkan keberadaan dari campuran lapisan lempung dari illit/smektit
dan/atau klorit/smektit. Mineral lain yang umumnya terdapat adalah
kuarsa, albit, adularia, pirit, kalsit dengan sedikit smektit dan kaolinit pada
saat penambahan zeolit dari laumonit dan plagioklas primer.
4. Zona kaolinit-diktit-nakrit (Zona IV)
Zona kaolinit-diktit-nakrit (Zona IV) tidak tersebar secara luas tapi
tersebar setempat pada daerah yang terbatas. Diktit dan nakrit terbentuk
pada temperatur yang lebih tinggi dari kaolinit, mulai 150˚C sampai lebih
dari 200˚C.
13
2.2 Teori Dasar
2.2.1 Alterasi Hidrotermal
Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100˚C-500˚C) sisa
pendinginan magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya
dan membentuk mineral-mineral tertentu. Larutan hidrotermal terbentuk pada fase
akhir siklus pembekuan magma. Interaksi antara larutan hidrotermal dengan
batuan yang dilewati akan menyebabkan terubahnya mineral-mineral penyusun
batuan samping dan membentuk mineral alterasi. Larutan hidrotermal tersebut
akan terendapkan pada suatu tempat membentuk mineralisasi.
Tipe epitermal terbentuk di lingkungan dangkal dengan temperatur <300˚C,
dan fluida hidrotermal diinterpretasikan bersumber dari fluida meteorik. Endapan
tipe ini merupakan kelanjutan dari sistem hidrotermal tipe porfiri, dan terbentuk
pada busur magmatik bagian dalam di lingkungan gunungapi kalk-alkali atau
batuan dasar sedimen (Corbett dan Leach, 1996).
Fluida epitermal biasanya temperaturnya berkurang bersamaan dengan
berkurangnya kedalaman dan bertambahnya jarak dari saluran fluida.
Paleoisoterm dan saluran fluida dapat diketahui dengan memetakan mineral
alterasi hidrotermal yang terdapat di dalam vein dan batuan induknya. Dalam hal
ini, geotermometer mineral alterasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat
ubahan suatu sistem; daerah yang mengindikasikan paleotemperatur yang rendah
adalah baik, sementara indikasi paleotemperatur yang tinggi menunjukkan
terbatasnya keterusan bijih epitermal ke arah kedalaman terbatas (Hedenquist,
1997).
14
Gambar 2.3 Sistem vulkanik hidrotermal (Hedenquist, 1997 dalam Nagel, 2008)
Menurut Corbett dan Leach (1996), ada enam faktor utama yang
mempengaruhi proses alterasi hidrotermal, yaitu :
1. Suhu
2. Komposisi kimiawi fluida
3. Konsentrasi/kepekatan
4. Komposisi batuan induk
5. Lama aktifitas atau derajat kesetimbangan
6. Permeabilitas
1. Suhu
Suhu yang meningkat akan mempengaruhi stabilitas dan akan membentuk
mineral yang lebih sedikit kandungan airnya. Ini khususnya terlihat pada
15
mineralogi silikat-lempung yang pada temperatur yang lebih tinggi akan
membentuk urutan mineral-mineral sebagai berikut : smektit, smektit-illit, illit-
smektit, illit dan mika putih.
Suhu juga mempengaruhi tingkat kristalinitas suatu mineral. Temperatur yang
lebih tinggi akan membentuk fasa yang lebih kristalin. Kaolin dengan bentuk
tidak teratur terbentuk pada suhu rendah, pada suhu yang tinggi akan terbentuk
dikit dengan bentuk kristal yang bagus.
Tabel 2.1 Suhu pembentukan beberapa mineral alterasi (modifikasi penulis
berdasarkan Hedenquist, 1997; Corbett dan Leach, 1996).
16
2. Komposisi Kimiawi Fluida
Komposisi fluida sangat mempengaruhi mineralogi alterasi, dengan temperatur
yang akan mempengaruhi posisi batas phase. Yang lebih penting dari konsentrasi
absolut adalah perbandingan unsur utama seperti: aNa+
/aH+
, aK+
/aH+
.
3. Konsentrasi / Kepekaan
Konsentrasi absolut pada fluida hidrotermal berpengaruh pada tipe mineralogi
alterasi, karena ini mempengaruhi derajat kejenuhan yang berkenaan dengan
mineral-mineral tertentu.
4. Komposisi Batuan Induk
Komposisi batuan induk juga berpengaruh sangat luas pada tipe mineralogi
alterasi. Mineralogi skarn terbentuk pada batuan induk calcareous/gamping.
Adularia sebagai bentuk sekunder dari k-feldspar akan dijumpai pada batuan
induk yang kaya potasium (contoh: riolit atau sosonit). Paragonit (Na-mika) pada
kondisi tertentu merupakan produk alterasi dari albit, seperti juga muskovit yang
terbentuk dari alterasi feldspar potasik.
5. Lama aktifitas atau derajat kesetimbangan
Durasi dari sistem hidrotermal atau waktu selama permeabilitas masih terbuka,
menentukan apakah kesetimbangan telah tercapai antara sirkulasi fluida dan
batuan induk.
6. Permeabilitas
Permeabilitas memiliki pengaruh nyata yang membuat batuan induk
berhubungan langsung dengan sirkulasi fluida hidrotermal. Alterasi philik dan
argilik biasanya berbatasan langsung dengan struktur utama atau dengan sistem
17
vein dimana fluida memiliki pH dibawah normal dikarenakan gas-gas yang larut,
sedangkan alterasi propilitik biasanya terdapat pada batuan induk dengan
permeabilitas rendah dan jauh dari jalur fluida utama.
Kontrol Temperatur dan pH Dalam Mineralogi Alterasi.
Menurut Corbett dan Leach (1996) temperatur dan pH fluida merupakan dua
faktor yang paling utama yang mempengaruhi mineralogi sistem hidrotermal
(Gambar 2.4). Kelompok alterasi dibagi menjadi 7 group utama :
1. Group Mineral Silika/Kuarsa
Merupakan mineral yang stabil pada pH rendah < 2. Pada kondisi yang sangat
asam ini, silika opalin, kristobalit, dan tridimit terbentuk pada suhu <100˚C.
Kuarsa merupakan fase utama pada suhu yang tinggi. Pada kondisi pH fluida yang
lebih tinggi, silika amorf terbentuk pada suhu yang lebih dingin.
2. Group Mineral Alunit
Alunit terbentuk pada pH yang sedikit lebih besar dari 2, terbentuk bersama
dengan group silika dalam rentang temperatur yang besar, berasosiasi dengan
andalusit pada temperatur yang tinggi (>300-350˚C) dan korundum hadir pada
suhu yang lebih tinggi lagi. Ada 4 macam alunit, alunit steam-heated, alunit
supergene, alunit magmatik, dan alunit liquid.
3. Group Mineral Kaolinit
Dijumpai pada pH sekitar 4, biasa hadir bersama group alunit-andalusit-
korundum pada pH 3-4. Halloysit merupakan produk supergene utama group ini.
Kaolinit terbentuk pada kedalaman dangkal dan temperatur yang rendah. Dikit
terbentuk pada suhu yang tinggi dan pada suhu yang lebih tinggi lagi akan
18
terbentuk pirophilit. Diaspor setempat dijumpai dalam zona silifikasi yang intens
dengan group alunit dan/atau kaolinit.
4. Group Mineral Illit
Terbentuk pada fluida dengan pH yang lebih tinggi (4-6). Smektit terbentuk
pada temperatur <100˚C-150˚C, perlapisan illit-smektit (100˚C-200˚C), illit
(200˚C-250˚C), serisit (muskovit) >200˚C-250˚C, phengit >250˚C-300˚C.
Kandungan smektit pada perlapisan illit-smektit akan berkurang bersamaan
dengan naiknya temperatur. Perlapisan illit-smektit dapat menunjukkan
temperatur fluida hidrotermal pada kisaran 160˚C-220˚C. Alterasi dengan mineral
alterasi yang dominan illit menunjukkan temperatur fluida pada kisaran 220˚C-
270˚C. Sebagaimana illit umumnya stabil pada temperatur lebih tinggi dari 220˚C,
berkurangnya temperatur akan meningkatkan stabilitas smektit. Pada umumnya
illit banyak dijumpai pada zona permeabel dan permeabilitas berkurang dengan
bertambahnya mineral klorit (Lawless, 1997).
5. Group Mineral Klorit
Pada kondisi pH yang sedikit asam mendekati netral, fase klorit-karbonat
menjadi dominan, dimana mineral ini terbentuk bersama dengan group illit pada
lingkungan transisi pH 5-6. interlayer klorit-smektit akan terbentuk pada
temperatur rendah, dan klorit akan dominan pada suhu yang lebih tinggi. Klorit
bukan merupakan mineral yang baik untuk indikator paleotemperatur, karena
dapat dijumpai pada temperatur rendah sampai temperatur lebih tinggi dari 300˚C,
tetapi mineral ini merupakan mineral yang baik untuk menunjukkan pH
pembentukan yang mendekati netral 6-7 (Lawless dan White, 1997).
19
6. Group Mineral Kalksilikat
Group kalksilikat terbentuk pada kondisi pH netral sampai alkali, pada
temperatur rendah membentuk zeolit-klorit-karbonat, dan epidot diikuti amfibol
(umumnya aktinolit) terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi. Di beberapa
sistem prehnit atau pumpellyit dijumpai berasosiasi dengan epidot. Epidot dengan
kristalinitas yang rendah terbentuk pada suhu 180˚C-220˚C, pada kristalinitas
yang lebih baik pada suhu yang lebih tinggi (>220˚C-250˚C). Amfibol sekunder
(aktinolit) terbentuk pada suhu 280˚C-300˚C. Biotit umumnya tersebar luas
didalam atau disekitar intrusi porfiri dan terbentuk pada suhu 300˚C-325˚C.
Tabel 2.2 Pembagian tipe alterasi menurut Corbett dan Leach (1996)
20
Gambar 2.4 Himpunan mineral alterasi sistem hidrotermal (Corbett dan
Leach,1996)
Alterasi hidrotermal merupakan konversi dari gabungan beberapa mineral
membentuk mineral baru yang lebih stabil di dalam kondisi temperatur, tekanan
dan komposisi hidrotermal tertentu (Barnes, 1979; Reyes, 1990 dalam
21
Hedenquist, 1998). Mineralogi batuan alterasi dapat mengindikasikan komposisi
atau pH fluida hidrotermal (Henley et al., 1984 dalam Hedenquist, 1998).
Gambar 2.5 Jenis mineral dengan interval suhu dan keasaman lingkungan
pembentukan (Hedenquist, 1996)
2.2.2 Mineralisasi Hidrotermal
Mineralisasi adalah proses pembentukan endapan mineral logam atau non
logam yang terkonsentrasi dari satu atau lebih mineral yang dapat dimanfaatkan
(Bateman dan Jensen, 1981). Emas pada mineralisasi ini umumnya berassosiasi
dengan galena, spalerit, kalkopirit, dan sedikit pirit (Corbett dan Leach 1996).
Pola mineralisasinya yaitu mineral bijih yang mengisi rongga-rongga dan rekah
(open space & cavity filling). Zona bijih biasanya dibatasi oleh struktur, tetapi
juga bisa muncul pada litologi yang bersifat permeable. Urat yang lebar (memiliki
22
lebar >1m dengan beberapa ratus meter searah jurus) sampai urat-urat kecil dan
stockworks biasanya memiliki penyebaran dan pergantian yang lebih sedikit.
Mineral penyerta yang umum dijumpai pada sistem epitermal sulfidasi rendah
yaitu kuarsa, ametis, kalsedon, struktur kalsit yang kemudian digantikan oleh
kuarsa, kalsit, adularia, serisit, barit, fluorit, rodokrosit, hematit, dan klorit.
Sistem epitermal sulfidasi rendah dapat dikelompokkan (Corbett dan Leach,
1996) sebagai berikut :
Deposit yang berhubungan dengan porfiri menunjukkan hubungan yang
sangat dekat dengan sumber magmatik dan membentuk suatu kesatuan ke
arah kerak yang lebih dangkal dan semakin jauh dari sumber intrusi dibagi
menjadi:
Kuarsa – emas ± perak sulfida
Karbonat – emas logam dasar
Epitermal emas – perak kuarsa
Emas yang menggantikan batuan induk sedimen
Berdasarkan arah kedalaman, sistem epitermal Au-Cu-adularia-serisit
dapat dikelompokkan lagi sebagai berikut:
Sinter dan breksi hidrothermal Au-Cu (deposit Hot spring)
Urat kuarsa stockworks Cu
Urat pengisi rekah Au-Cu
23
Gambar 2.6 Model Deposit Bijih (Corbett dan Leach, 1996)
2.2.3 Sistem Epitermal Sulfida Rendah
Karakteristik sistem endapan epitermal tipe sulfidasi rendah menempati host
rock batuan vulkanik yang bersifat asam sampai menengah. Kontrol struktur
berupa sesar atau zona rekahan yang tertutup oleh batuan vulkanik. Kedalaman
zona endapan atau formasi batuan sekitar 0-1000 meter dengan temperatur
formasi 50˚C-300˚C. Karakter fluida yang mengontrol bersifat salinitas rendah,
pH mendekati netral, kandungan sulfida dan mineral logam dasar (base metal)
rendah.
24
Tabel 2.3 Karakteristik umum endapan emas epitermal sulfidasi rendah
(Hedenquist & Reid,1985)
Sulfidasi Rendah (Adularia-Serisit)
Bentuk endapan Didominasi oleh urat hasil bukaan,
stockworks, penggantian bijih kecil
Tekstur Veins, cavity filling, (bands,
colloform, druses), breccias
Mineral bijih Pirit, emas, sfalerit, galena
(arsenopirit)
Logam An, Ag, Zn, Pb (Cu, Sb, As, Hg, Se)
Sistem epitermal sulfidasi rendah zona alterasi potasik dan filik tidak
ditemukan. Zona alterasi yang umum dijumpai pada epitermal sulfidasi rendah
adalah sebagai berikut: silisifikasi, ini banyak terdapat bersama mineral bijih
sebagai generasi multiple dari kuarsa dan kalsedon yang umumnya disertai dengan
adularia dan kalsit. Silisifikasi dalam urat biasanya diapit oleh serisit-illit-kaolinit.
Alterasi argilik (kaolinit-illit-monmorillonit-smektit) biasanya terbentuk
berdampingan dengan urat. Alterasi argilik lanjut (kaolinit-alunit) ini dapat
terbentuk disepanjang bagian atas zona mineralisasi. Alterasi propilitik dijumpai
pada bagian yang lebih dalam dan menjauhi vein.
Sistem epitermal terbentuk pada kedalaman kurang dari 1 km dari permukaan
pada temperatur kurang 300˚C (umumnya 150˚C-250˚C), dan dari fluida asal
meteorik, mungkin dengan sebagian tambahan dari magmatik. Sistem epitermal
25
umumnya dibedakan dari tipe endapan lainnya berdasarkan perbandingan emas
dan peraknya, komposisi batuan induk, dan tatanan geologinya. Banyak peneliti
membedakan tipe deposit emas epitermal menjadi dua yang pada awalnya
dibedakan sebagai serisit-adularia dan sulfat-asam. Sekarang lebih dikenal dengan
sistem sulfida tinggi dan sulfida rendah (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Distribusi skematik dari alterasi hidrotermal berassosiasi dengan
deposit epitermal sulfidasi rendah dan sulfidasi tinggi (Hedenquist,
1997).
Deposit emas epitermal sulfidasi rendah terbentuk dari larutan hidrotermal
yang naik melalui zona rekah dan bereaksi dengan batuan samping dan air
meteorik sehingga pH nya terus berkurang hingga mendekati netral. Sistem
epitermal sulfidasi rendah ini dicirikan oleh sulfur yang berkurang dan
membentuk H2S (Corbett dan Leach, 1996).
26
Tatanan tektonik dari epitermal sulfidasi rendah umumnya terdapat pada
volcanic island, busur magmatik pada batas lempeng dan continental volcanic
dengan regime struktur extensional dan strike-slip.