Post on 11-Aug-2019
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuh Kembang
2.1.1 Definisi Tumbuh Kembang
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses yang berlangsung
secara terus-menerus padda berbagai segi dan saling berhubungan satu sama lain.
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses dari maturasi dan
pembelajaran. Pertumbuhan adalah peningkatan yang bisa diukur, sedangkan
perkembangan merupakan suatu rangkaian dari peningkatan keterampilan dan
kapasitas untuk berfungsi (Suriadi & Yuliani, 2010: 1). Sedangkan menurut Hidayat
(2005) dalam Herentina & Yusiana (2012: 192), pertumbuhan (growth) adalah
bertambahnya jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif
dapat diukur, perkembangan (development) proses kematangan dan belajar tentang
fungsi alat tubuh.
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi
Menurut Andriyani (2013: 45-46) secara umum ada dua faktor yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak, yaitu:
a. Faktor genetik : faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil
akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang
terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas
dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan
pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas,
dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik antara lain
11
adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku
bangsa atau bangsa. Di negara maju faktor genetik paling banyak didapati
pada kasus gangguan pertumbuhan, sedangkan di negara berkembang faktor
lingkungan juga mempunyai pengaruh yang sama besarnya dalam gangguan
pertumbuhan pada anak, bahkan kedua faktor ini bisa menyebabkan kematian
anak sebelum mencapai usia lima tahun. Selain hal-hal di atas terdapat juga
penyakit keturunan yang disebabkan oleh kelainan kromosom, seperti Down
Syndrome, Turner Syndrome, dll
b. Faktor lingkungan : faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang
dibagi menjadi dua, yaitu : faktor yang mempengaruhi anak pada waktu masih
di dalam kandungan (faktor pranatal). Faktor-faktor yang mempengaruhi
pada masa pranatal antara lain gizi ibu pada waktu hamil, toksin, endokrin,
infeksi, stress, dan imunitas. Faktor yang kedua merupakan faktor anak
setelah lahir (faktor posnatal) meliputi lingkungan biologis (ras, jenis kelamin),
faktor fisik, faktor psikososial, dan faktor keluarga dan adat istiadat.
2.1.3 Proses dan Periode Perkembangan Anak
Dalam tumbuh kembang terdapat beberapa proses yang harus dilalui,
Santrock (2007: 18-19) mengatakan, proses–proses pada perkembangan meliputi
proses biologis, kognitif, dan sosial-emosi. Proses biologis menghasilkan perubahan
pada tubuh seseorang. Proses kognitif menggambarkan perubahan dalam pikiran,
inteligensi, dan bahasa seseorang. Sedangkan proses sosial-emosi (socioemotional process)
melibatkan perubahan dalam hubngan seseorang dengan orang lain, perubahan
emosi, dan perubahan dalam kepribadian. Periode tumbuh kembang anak dibagi
menjadi dua, yaitu masa pranatal dan masa postnatal. Masa pranatal dibagi menjadi
masa embrio dan masa fetus, sedangkan masa postnatal dibagi menjadi masa
12
neonatal, masa bayi, masa prasekolah, masa sekolah dan masa adolesensi
(konseling.umm.ac.id, diakses 22 Oktober 2015).
2.1.4 Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah
Selama tahun-tahun sekolah dasar, anak tumbuh rata-rata 5 hingga 7,5 cm
setahun. Anak perempuan dan laki-laki memiliki tinggi rata-rata 126 cm pada usia 8
tahun. Selama masa anak-anak tengah dan akhir, anak bertambah berat sekitar 2,25
hingga 3,15 kg pertahun, rata-rata anak perempuan dan laki-laki yang berusia 8 tahun
memeiliki berat sekitar 25,2 kg ( National Center for Health Statistics, 2004 dalam
Santrock, 2007: 161). Pada masa anak-anak, otak tidak tumbuh secepat pada masa
bayi, tetapi otak dan kepala masih tumbuh lebih cepat daripada anggota tubuh yang
lain. Beberapa peningkatan otak dalam ukuran disebabkan oleh myelinasi, dan
beberapa disebabkan oleh peningkatan dalam jumlah dan ukuran dendrit. Dari umur
6 tahun hingga masa puber, pertumbuhan otak paling signifikan terjadi pada lobus
temporal dan pariental, bagian ini yang paling banyak mempengaruhi perkembangan
bahasa dan hubungan spasial pada anak. Beberapa ahli perkembangan menyimpulkan
bahwa myelinasi adalah penting dalam kematangan sejumlah kemampuan anak
(Nagy, Westerberg, & Klingberg, 2004 dalam Santrock, 2007: 174). Ilmuwan mulai
membuat bagan hubungan perkmbangan kognitif anak, struktur otak yang berubah-
ubah, dan transmisi informasi di tingkat neuron (Santrock, 2007: 175).
25% orang tua dari seluruh budaya melaporkan bahwa anak mereka
mengalami masalah tidur ( Owens, 2005 dalam Santrock, 2007: 179). Studi yang
meneliti pola tidur anak kelas dua, empat, dan enam mengatakan bahwa anak kelas
enam pergi tidur di malam hari sekitar satu jam lebih lama dan melaporkan rasa
kantuk yang lebih besar disiang hari daripada anak kelas dua. Anak perempuan
menghabiskan lebih banyak waktu tidur daripada anak laki-laki (Sadeh, Raviv, &
13
Grabber, 2000 dalam Santrcok, 2007: 179). Masa anak-anak tengah dan akhir
merupakan masa dimana seorang anak memiliki kesehatan yang bagus. Penyebab
utama cedera serius dan kematian pada anak adalah kecelakaan kendaraan bermotor,
sedangkan kanker adalah penyakit yang bisa menyebabkan kematian pada anak
dengan presentase terbesar (National Health for Statistics, 2004; Negalia dkk, 2001
dalam Santrock, 2007: 182).
Kemampuan perkembangan motorik kasar diawali dengan koordinasi tubuh,
duduk, merangkak, berdiri, dan diakhiri dengan berjalan. Kemampuan ini ditentukan
oleh perkembangan kekuatan otot, tulang, dan koordinasi otot untuk menjaga
keseimbangan tubuh.perkembangan motorik kasar tidak hanya dipengaruhi oleh
kemampuan fisik, tetapi juga kesiapan psikis anak untuk melakukannya
(Permana,2013: 25). Perkembangan motorik kasar pada anak usia sekolah adalah
mereka sudah bisa mengendalikan motoriknya tetapi masih belum sempurna seperti
pada orang dewasa, anak usia sekolah akan merasakan lelah saat duduk terlalu lama
dibandingkan dengan berlari, bersepeda atau melompat. Olahrga yang teratur
merupakan salah satu cara agar anak bisa mengendalikan motoriknya dengan lebih
sempurna. Pada usia 8-10 tahun anak sudah bisa mengendalikan tangannya dengan
mandiri dan secara tepat (Santrock, 2007: 218).
2.2 Kognisi Anak
2.2.1 Definisi dan Teori Kognisi
Piaget meyakinin bahwa skema, asimilasi, akomodasi, organisasi,
keseimbangan, dan penyeimbangan adalah proses-proses yang penting bagi anak
untuk membangun pengetahuan mereka.
14
Skema adalah tingkat berpikir yang paling sederhana, otak yang berkembang
pun membentuk skema. Skema adalah representasi mental beberapa tindakan (fisik
maupun mental) yang dapat dilakukan terhadap objek (Santrock, 2007: 243; Solso,
Maclin & Maclin, 2008: 365). Skema perilaku (aktifitas fisik) adalah skema yang
terjadi saat bayi, sedangkan skema mental (aktifitas kognitif) akan terjadi pada masa
anak-anak (Lamb, Bornstein, & Teti, 2002 dalam Santrock, 2007: 243). Seiring
bertambahnya usia skema akan terintegrasi secara progresif dan terkoordinasikan
dalam pola-pola yang teratur, meliputi berbagai strategi dan perencanaan untuk
mengatasi persoalaan (Santrock, 2007: 244; Solso, Maclin & Maclin, 2008: 365).
Asimilasi merupakan proses pengolahan informasi baru ke dalam skema-skema
sambil beradaptasi. Akomodasi terjadi pada saat penyesuaian skema-skema untuk
menyesuaikan informasi dan objek baru di lingkungannya. Asimilasi dan akomodasi
bahkan berlaku bagi bayi yang baru lahir (Santrock, 2007: 244; Solso, Maclin &
Maclin, 2008: 365).
Piaget mengatakan bahwa anak-anak secara sadar mengorganisasikan
pengalaman-pengalaman mereka untuk memahami dunianya. Organisasi adalah
pengelompokan perilaku-perilaku dan pemikiran-pemikiran yang terisolasi ke dalam
sistem yang lebih teratur dan lebih tinggi. Perkembangan organisasi ini akan terus
menerus terjadi seiring dengan perkembangan anak (Santrock, 2007: 244).
2.2.2 Perkembangan kognisi anak usia sekolah
Piaget membagi tahap perkembangan kognitif menjadi empat, yaitu : perioe
sensorimotor (sejak kelahiran hingga usia 2 tahun), periode pra-operasional (usia 2
sampai 7 tahun), periode operasional konkret (usia 7 sampai 11 tahun), dan periode
operasional formal (11 tahun ke atas). Pada saat anak menginjak usia 7 – 11 tahun
anak akan memasuki periode operasional konkret. Pemikiran intuitif akan digantikan
15
dengan pemikiran logis, dengan syarat pemikiran tersebut bisa diterapkan paa contoh
spesifik dan konkret. Periode ini merupakan penyempurnaan tiga ranah penting
dalam pertumbuhan intelektual anak, yaitu : konservasi, klasifikasi, dan transitivitas.
Konservasi merupakan ranah pertama, konservasi merupakan kemampuan untuk
mentransformasikan sifat suatu objek. Pengklasifikasian benda yang mirip dan
memahami relasi antar benda tersebut. Transitivitas merupakan kemampuan
memikirkan relasi gabungan secara logis (Santrock, 2007: 255-257).
Tahapan Rentang usia
Karakteristik
Sensori-motorik
0-2 tahun Dunianya terbatas pada saat sekarang dan di sini Belum mengenal bahasa, belum memiliki pikiran pada masa-masa awal Belum mampu memahami realitas objektif
Pra-operasional
2-7 tahun Pikirannya bersifat egosentris Pemikirannya didominasi oleh persepsi Intuisinya lebih mednominasi daripada pikiran logisnya Belum meiliki kemampuan konservasi
Operasional-konkret
7-11 tahun
Kemampuan konservasi Kemampuan mengklasifikasikan dan menghubungkan Pemahaman tentang angka Berpikir konkret Perkembangan pikiran tentang reversibilitas
Operasional-formal
11 tahun hingga masa dewasa
Pikiran bersifat umum dan menyeluruh Berpikir proposisional Kemampuan membuat hipotesis Perkembangan idealisme yang kuat
Tabel 2.1 Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget
Pengaruh budaya dan pendidikan juga memiliki pengaruh yang kuat bagi
perkembangan kognitif pada anak. Hasil dari penelitian Greenfield (1966, dalam
Santrock, 2007: 263) di Senegal, Afrika Barat, hanya 50% dari populasi anak usia 10-
13 tahun yang mengerti dan memahami prinsip konservasinya Piaget. Hal serupa juga
terjadi di Australia Tengah, New Guinea, peesaan di Amazon, Brazil, dan pedesaan di
Sardinia (pulau pesisir di Italia). Anal usia sekolah mulai berpikir secara lebih objektif,
mau mendengarkan orang lain dan akan lebih selektif dalam mencari jawaban dari
sesuatu yang belum diketahuinya. Secara intelektual mampu memahami hukum
16
sebab-akibat, mampu menarik kesimpulan, bisa memishakan antara realita dan
fantasi, membuat keputusan, keterampilan mengingat, dan pemecahan masalah
menjadi lebih berkembang.
2.2.3 Perkembangan Kognitif Operasional Konkret
Dalam tahap operasional konkret anak mampu untuk mengkalsifikasikan
benda sesuai dengan kelompoknya dan mempertimbangkan hubungan timbal balik di
antara keduanya. Anak juga akan memiliki kemampuan seriasi, menyusun stimulus
berdasarkan dimensi kuantitatif, dan juga anak akan bisa memahami kesimpulan
tertentu (Santrock, 2011: 188). Karakteristik pada operasional konkret meliputi
beberapa aspek, seperti memori, pengetahuan dan keahlian, strategi, elaborasi, dll.
Pada aspek memori tidak ada pekembangan yang berarti, hanya memori jangka
panjang yang akan terus berembang sesuai dengan perkembangan usia, dalam
beberapa hal memori jangka panjang akan mempengaruhi pengetahuan dan strategi.
Pada aspek pengetahuan dan keahlian anak akan memiliki pengetahuan pada area
tertentu yang mempengaruhi apa yang mereka perhatikan dan bagaimana
mengorganisasikan, menggambarkan, serta menginterprestasikan sesuatu. Keahlian-
keahlian tersebut mempengaruhi kemampuan untuk mengingat, berpikir secara logis,
dan memecahkan masalah. Dalam strategi ada dua aspek yang penting, yaitu
gambaran mental dan menggabungkan informasi. Anak akan mampu
menggambarkan informasi secara imaginatif dan mengendalikannya untuk
mendapatkan informasi. Sedangkan pada elaborasi akan terjadi perubahan secara
bertahap, anak usia sekolah menggunakan elaborasi untuk membantu dalam proses
pembelajaran (Santrock, 2011: 192-194).
Pada tahap operasional konkret juga terjadi perkembangan pada proses
berpikir. Ada tiga aspek penting dalam berpikir, yaitu berpikir secara kritis, kreatif,
17
dan ilmiah. Pada aspek berpikir secara kritis meliputi berpikir secara produktif dan
reflektif seperti mengevaluasi data. Menurut Ellen Langer (2005), kewaspadaan –
waspada, sadar secara mental, dan fleksibel secara kognitif selama menjalani aktifitas
dan tugas akan memiliki pemecahan masalah yang biak, terbuka untuk informasi
baru, memiliki gagasan baru, dan berpegang pada persoetif tunggal. Jacqueline dan
Martin Brooks(2001) menilai bahwa sistem pembelajaran di beberapa sekolah yang
memaksa anak untuk berpikir kritis dan mengembangkan pemahaman mendalam atas
sebuah konsep dengan cara yang imitatif, bukan untuk menganalisis, menarik
kesimpulan, menghubungkan, menyaring, mengkritik, membuat, mengevaluasi,
berpikir dan mempertimbangkan kembali. Pada pemikiran kreatif anak akan belajar
berpikir dengan cara yang baru dan tidak biasa untuk menghasilkan solusi
permasalahan yang unik.
2.3 Permainan dan Perilaku Bermain
2.3.1 Defini Bermain
Menurut kamus Macmillan, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk bersenang-senang, memiliki aturan dan ada yang menang serta kalah.
Sedangkan menurut Tembong (2006: 103), bermain merupakan kegiatan yang
menimbulkan rasa senang, dilakukan dengan sukarela. Pada umumnya dilakukan
secara spontan, tidak memiliki peraturan baku selain aturan-aturan yang ditetapkan
sendiri serta tidak ada kompetisi.
Bermain merupakan suatu aktifitas di mana anak dapat melakukan atau
mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi
kreatif serta mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa. Permainan
18
harus dapat menstimulasi perkembangan kreatifitas anak serta perkembangan mental
dan emosional, sehingga orang tua harus mengarahkan agar sesuai dengan proses
kematangan perkembangan tersebut (Hidayat, 2008: 35).
2.3.2 Fungsi Bermain pada Anak
Menurut Hidayat (2008: 36-37) bermain memiliki beberapa fungsi, yaitu :
fungsi bermain pada anak dapat dikembangkan dengan melakukan rangsangan pada
sensorik dan motorik, melalui rangsangan ini aktifitas anak dapat mengeksplorasi
alam di sekitarnya. Perkembangan kognitif dapat dirangsang melalui permainan. Anak
akan mencoba melakukan komunikasi dengan bahasa yang dikuasai oleh anak, anak
juga akanmampu memahami objek permainannya seperti dunia tempat tinggal,
mampu membedakan khayalan dan kenyataan, belajar mengenal warna, memahami
bentuk, ukuran, dan berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan.
Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, misalnya pada saat anak akan
merasakan senang terhadap kehadiran orang lain dan merasakan ada teman yang
dunianya sama. Bermain juga dapat berfungis dalam peningkatan kreatifitas, dimana
anak mulai belajar meciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan mampu
memodifikasi objek yang digunakan dalam permainan sehingga anak akan lebih
kreatif. Bermain pada anak dapat memberi kemampuan untuk mengeksplorasi tubuh
dan mulai mengerti bahwa dirinya dan orang lain merupakan individu yang saling
berhubungan, anak mau belajar mengatur perilaku, serta membandingkan dengan
perilaku orang lain. Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman
sehingga adanya stress dan ketegangan dapat dihindari, mengingat bermain dapat
menghibur diri anak terhadap dunianya. Bermain juga dapat memberikan nilai moral
19
tersendiri pada anak, hal ini dapat dijumpai ketika anak sudah mampu belajar benar
atau salah dari budaya di rumah, di sekolah, dan ketika berinteraksi dengan temannya.
Suriadi & Yuliani (2010: 8) berpendapat bermain pada anak akan
meningkatkan perkembangan fisik yang meliputi motorik halus dan kasar, koordinasi
otot, eksplorasi, stimulasi kinestetik, dan perkembangan sendi dan tulang.
Perkembangan kognitif yang meliputi penggunaan panca indera; pengenalan warna,
ukuran, ketajaman, tekstur, objek; penyelesaian masalah, berpikir kritis; kreativitas;
dan koordinasi tangan dan kaki. Perkembangan emosional termasuk strategi koping,
koping pada stress, mengembangkan kesadaran diri, perkembangan sosial, belajar
bermain peran. Perkembangan moral juga dapat berkembang melalui bermain,
meliputi belajar berperilaku yang baik, belajar berbagi, dan belajar tentang konsep
diri. Sedangkan menurut Supartini (2004: 125-127) bermain memiliki beberapa fungsi
meliputi perkembangan sensoris-motorik, perkembangan intelektual, perkembangan
sosial, dan perkembangan kreativitas.
2.3.3 Permainan Untuk Anak Usia Sekolah
Permainan untuk anak sekolah dasar pada awalnya adalah ingin meneruskan
permainan yang mereka lakukan pada saat sebelum memasuki sekolah, namun lambat
laun mereka akan digantikan oleh permainan yang lebih matang seperti olahraga,
hobi, dsb. Selanjutnya permainan akan menyesuaikan dengan minat individu
(Tembong, 2006: 107). Bermain pada usia sekolah akan menjadi lebih teroganisir,
mepunyai kesadaran terhadap aturan, meliputi kemampuan berpikir, dan mulai
kompetitif (Suriadi & Yuliani, 2010: 12).
20
2.4 Game Online
2.4.1 Definisi Game Online
Freeman (2008: 44) mengatakan bahwa game online merupakan sebuah game
yang dimainkan dengan menggunakan internet. pendapat lain mengatakan bahwa
game online merupakan game yang bisa dimainkan bersama atau berkompetisi, sendiri,
bersama dengan pemain lain dalam satu tempat, atau dengan ribuan pemain lainnya,
dan dimainkan dalam bermacam-macam perangkat konsol (Nintendo Wii,
Playstation) hingga komputer dan smartphone (Granic, Lobel & Engels 2014: 67).
Sedangkan menurut Hardanti, Nurhidayah, dan Fitri (2013: 167) game online adalah
game multiplayer yang bisa dimainkan secara bersamaan dengan menggunakan
komputer yang didukung dengan koneksi internet. Weibel, et al (2007: 2275),
mendefinisikan game online sebagai game yang dimainkan di komputer atau perangkat
lain yang mendukung, dimainkan dalam berbagai macam bentuk jaringan komputer,
lebih sering internet. Game online memungkinkan interaksi sosial melalui internet,
membuat pemain bertemu dengan pemain lain dalam dunia virtual (Choi & Kim,
2004: 14). Menurut Lo, Wang, dan Fang (2005: 15), game online adalah aplikasi
teknologi informasi yang berbasis anonimitas, media yang beraneka ragam, interaksi
secara langsung, dan dunia tanpa batas.
2.4.2 Lama Bermain
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014) untuk lama bermain game
online dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu jarang apabila bermain <3,5 jam perminggu,
cukup sering dengan rentang durasi 3,5-7 jam perminggu, dan sering dengan total
durasi >7 jam perminggu. Sedangkan menurut Utami dan Retnaningsih (2007)
21
bermain game online dikatakan cukup apabila bermain selama 1-2 jam sehari dan
berlebihan jika >3 jam dalam sehari.
2.4.3 Jenis Game Online
Ada beberapa jenis game online, di antaranya adalah :role-playing game (RPG)
adalah game yang mengharuskan pemain untuk membuat karakter mereka lebih kuat
dengan mengikuti jalan cerita yang ada. Massively multi-player online role-playing game
(MMRPG), RPG yang melibatkan banyak pemain dalam dunia yang terus
berkembang pada saat yang sama (Williams & Skoric, 2005: 221). Bainbridge (2010:
1) dalam bukunya mengatakan bahwa MMRPG atau MMORPG merupakan
permainan bertema strategi yang memungkinkan pemain untuk berinteraksi satu
sama lain, dari dua sampai enam belas, tergantung dari jenis game yang dimainkan,
dengan memainkan peran sebagai tentara atau sebuah sistem ekonomi, bukan hanya
memainkan peran tunggal.
2.4.4 Efek dari Game Online
Di Indonesia game online yang banyak dimainkan adalah game yang berjenis
MMRPG, gamers yang memainkan MMRPG lebih banyak menghabiskan waktu
dibandingkan gamers jenis lain (Vindra, dalam Giandi, Mustikasari, Suprapto, 2012: 3).
Game online bisa menyebabkan adiksi yang akan membuat pemainnya lebih banyak
berfokus pada game yang dimainkannya secara terus menerus tanpa merasa kelelahan
(Rau, Peng & Yang, 2006: 396). Green & Bavelier (2012: 201) melakukan percobaan
dengan murid yang belum pernah memainkan game shooter. Hasilnya, murid tersebut
mengalami peningkatan perhatian, lebih merespon terhadap perubahan visual yang
ada, dan meningkatnya kemampuan mengontrol emosi. Dalam genre MMRPG, para
22
pemain akan mendapat quest yang tidak bisa diselesaikan sendiri sehingga
mengharuskan pemain untuk membentuk tim dengan pemain lain, dengan cara ini
pemain akan bersosialisasi dengan pemain lain, dan akan melatih anak tentang cara
bersosialisasi yang baik (Ducheneaut & Moore, 2004: 360).
Menurut Chen (2006: 222), hasil yang didapatkan dari pengalaman bermain
meliputi : memiliki tujuan yang jelas, umpan balik yang cepat, sering lupa waktu,
hilangnya kesadaran diri, terintegrasinya aktifitas, meningkatkan konsentrasi pada
aktifitasnya, dan bisa mengontrol semuanya. Interaksi sosial merupakan kebutuhan
dasar bagi semua manusia, elemen sosial dalam game online merupakan daya tarik
tersendiri bagi para pemainnya (Weibel, et al, 2008: 2279).
Bermain game online bisa memberikan efek yang baik dan juga efek buruk. Efek
buruknya seperti mengganggu perkembangan kognitif, fisik, dan psikologis. Bermain
game online bisa menyebabkan orang lupa akan waktu dan kegiatan yang lebih
bermanfaat lagi, bahkan pada tahap tertentu bisa memproyeksikan emosinya ketika
bermain game online pada kehidupan nyata. Game online dapat memacu untuk melatih
komunikasi dan sosialisasi, sedangkan genre MMRPG (Massively Multiplayer Role Playing
Game) akan melatih untuk mencerna cerita dalam game tersebut, selain itu game juga
berguna untuk menghilangkan stress. Dalam mengembangkan kemampuan
pemcehana masalah, game membantu pemain untuk belajar memecahkan masalah
yang tersaji dalam bentuk quest. Untuk memecahkan masalah para pemain diharuskan
berpikir kreatif dan memiliki strategi yang bagus (Hong & Liu, 2003: 245-246). Game
online bisa menghadirkan budaya, norma-norma sosial dan mekanisme komunikasi
yang baru tergantung kepada pemahaman aspek- aspek sosial dari individu yang
terlibat dalam permainan (Bainbridge, 2010: :6).
23
Whitaker & Bushman (2009: 1035-1036) mengemukakan tiga alasan game lebih
mempengaruhi seseorang daripada televisi, yaitu: game memberikan pengalaman lebih
aktif daripada televisi, game juga membuat pemainnya merasakan dia berada di dalam
dunia game yang dimainkannya, dan adanya reward dari game yang dimainkan, seperti
kenaikan level, atau bisa juga berupa reward secara verbal. Dari penelitian ini
didapatkan hasil bahwa anak yang bermain game lebih tinggi efek agresifitasnya
daripada anak yang hanya menonton orang lain bermain game. Sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh Koepp et al dalam Green & Bavelier (2004: 16), mendapati
terjadinya peningkatan kadar pelepasan dopamin saat subjek penelitian memainkan
action game. Dopamin merupakan salah satu neurotransmiter yang berfungsi untuk
modulasi informasi dari bagian otak yang satu ke bagian yang lainnya. Dopamin
mempunyai peran dalam perilaku manusia, seperti kesenangan, adiksi, dan belajar.
Berbanding lurus dengan pendapat ahli diatas, Davis dalam Peng & Liu (2010: 329-
330) mengemukakan bahwa terdapat distorsi kognitif dari pemain game online bahwa
“saya tidak berguna di sini, tapi di dunia online saya adalah seseorang”, “hanya di
dunia online saya dihargai”, “hanya internet teman saya”. Pemain akan merasa bahwa
dia akan lebih berguna dan berharga ketika berada di duinia game online. Pada sisi lain
pemain game online juga memiliki masalah dalam penggunaan game dibandingkan
dengan pemain game offline, seperti bermain terus-menerus selama 8 jam, kurang tidur,
kurangnya waktu bersama teman di dunia nyata, dan kekurangan sosialisasi. Wan &
Chiou (2006) dalam Hellstrom, et al (2012: 1380) menemukan bahwa orang dengan
harga diri yang rendah lebih mudah menjadi ketergantungan terhadap internet dan
ketergantungan game online merupakan imbas dari ketidakpuasaan yang merupakan
latar belakang dari bermain game yang berlebihan.