Post on 06-Mar-2019
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kajian pustaka merupakan parameter utama dalam penelitian
ilmiah, karena kajian pustaka merupakan dasar pijakan untuk
membangun suatu konstruk teoritik, sebagai acuan dasar dalam
membangun kerangka berpikir, dan menyusun hipotesis penelitian.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini akan dibahas tentang
teori yang mendasari prestasi belajar dan bagaimana hubungan prestasi
belajar dan faktor-faktor yang memengaruhinya yaitu dukungan sosial
teman sebaya dan kontrol diri.
1.1 PRESTASI BELAJAR
1.1.1 Pengertian Prestasi Belajar
Belajar merupakan aktivitas yang sangat penting dalam
mewujudkan tujuan pendidikan, khususnya dalam mencapai prestasi.
Melalui proses belajar dapat diperoleh pengetahuan dan pengalaman
yang diperlukan oleh individu guna mencapai cita-cita. Dalam suatu
kesempatan, Koster (2001) menyatakan bahwa pretasi belajar siswa
adalah pencapaian siswa setelah mengalami proses belajar yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan (kognitif) maupun konsep diri
(afektif) serta keterampilan tertentu (psikomotorik) seperti persepsi,
respon siswa, dan adaptasi.
Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil
dari proses belajar mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional,
2
atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu
(Abdullah, 2008). Prestasi belajar adalah hasil maksimum yang dicapai
oleh seseorang setelah melakukan kegiatan belajar yang diberikan
berdasarkan atas pengukuran tertentu (Ilyas, 2008). Prestasi belajar
adalah perubahan tingkah laku yang dianggap penting yang diharapkan
dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar
siswa, baik yang berdimensi cipta, dan rasa maupun yang berdimensi
karsa (Syah, 2006).
Ada pernyataan menyatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu
penilaian yang mencerminkan kinerja akademik siswa dan penilaian
tersebut diambil sebagai indikator kompetensi siswa setelah mengikuti
proses pendidikan. Hal ini terlihat jelas dari penjelasan yang
dikemukakan oleh Pellegrino, dkk (dalam Semper, 2008, h. 24) bahwa
the academic performance is assessment reflects a student’s academic
performance and istaken as an indicator of the student’s competence
after an educational phase. Sementara itu, Tirtonegoro (dalam Tarmidi
& Wulandari, 2005) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah
penilaian aktivitas belajar siswa yang dinyatakan dalam bentuk simbol,
angka, huruf, maupun nilai yang sudah dicapai dalam periode tertentu.
Sementara itu, Latipah (2010) menyatakan bahwa prestasi belajar
menunjuk pada kinerja belajar seseorang yang umumnya ditunjukkan
dalam bentuk nilai rata-rata yang diperoleh. Prestasi belajar terwujud
karena adanya perubahan selama beberapa waktu yang tidak
disebabkan oleh pertumbuhan, tetapi karena adanya situasi belajar.
3
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah
pencapaian seseorang setelah mempelajari materi pelajaran dalam satu
kurun waktu tertentu. Pencapaian prestasi tersebut dapat berpengaruh
pada perubahan perilaku. Prestasi biasanya ditunjukkan dengan nilai tes
(ujian) atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
1.1.2 Teori Belajar
Nasution (1994) berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan
kesempurnaan seorang peserta didik dalam berpikir, merasa dan
berbuat. Menurutnya, prestasi belajar seorang peserta didik dikatakan
sempurna jika memenuhi tiga aspek yaitu:
1. Aspek Kognitif. Aspek kognitif adalah aspek yang berkaitan
dengan kegiatan berpikir. Aspek ini sangat berkaitan erat dengan
tingkat intelegensi (IQ) atau kemampuan berpikir peserta didik.
Sejak dahulu aspek kognitif selalu menjadi perhatian utama dalam
sistem pendidikan formal. Hal itu dapat dilihat dari metode
penilaian pada sekolah-sekolah dewasa ini sangat mengedepankan
kesempurnaan pada aspek kognitif.
2. Aspek Afektif. Aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan
nilai dan sikap. Penilaian pada aspek ini dapat terlihat pada
kedisiplinan, sikap hormat terhadap guru, kepatuhan dan lain
sebagainya. Aspek afektif berkaitan erat dengan kecerdasan emosi
(EQ) peserta didik.
4
3. Aspek Psikomotorik. Aspek psikomotorik menurut kamus besar
Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
kemampuan gerak fisik yang mempengaruhi sikap mental. Jadi
sederhananya aspek ini menunjukkan kemampuan atau
keterampilan (skill) peserta didik setelah menerima sebuah
pengetahuan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi
belajar memiliki tiga aspek utama yakni aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik dimana ketiga aspek ini yang kemudian dituangkan
sebagai nilai dalam bentuk angka pada laporan hasil belajar siswa
(Iswanti, 2010). Berdasarkan hal inilah, maka dalam penelitian ini
penulis menggunakan hasil belajar atau nilai laporan pendidikan
sebagai alat dalam mengukur tinggi rendahnya prestasi belajar siswa
SMA Kristen YPKPM Ambon.
1.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Prestasi Belajar
Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil
interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari
dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal)
individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu murid
dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya. Menurut Ahmadi
(dalam Pratiwi, 2010) terdapat dua faktor yang mempengaruhi prestasi
5
belajar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
mempengaruhi prestasi belajar:
1. Faktor jasmaniah (fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun
yang diperoleh. Yang termasuk faktor ini misalnya jenis kelamin,
penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya.
2. Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun diperoleh
yang terdiri atas:
a. Faktor intelektif yang meliputi: faktor potensial yaitu kecerdasan
dan bakat, faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah
dimiliki.
b. Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu
seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi,
kontrol diri, dan penyesuaian diri.
3. Faktor kematangan fisik maupun psikis.
Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi prestasi belajar
adalah:
1. Faktor sosial yang terdiri atas: Lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, dan dukungan
sosial baik orang tua, guru, maupun teman sebaya.
2. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian.
3. Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar,
iklim.
4. Faktor lingkungan spiritual dan keamanan.
6
2.2. DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEBAYA
2.2.1. Pengertian Dukungan Sosial
Salah satu faktor yang dibutuhkan siswa dalam proses belajar
adalah adanya dukungan sosial. Sebagai remaja, mereka dapat
memperoleh dukungan sosial dari berbagai sumber, seperti keluarga,
guru, orang tua, dan teman sebayanya. Kumalasari & Ahyani (2012)
menyatakan bahwa dukungan sosial yang diterima individu dari
lingkungan, baik berupa semangat, perhatian, penghargaan, bantuan
dan kasih sayang membuat remaja menganggap bahwa dirinya dicintai,
diperhatikan, dan dihargai oleh orang lain. Jika individu diterima dan
dihargai secara positif, maka individu tersebut cenderung
mengembangkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan lebih
menerima dan menghargai dirinya sendiri. Sehingga individu mampu
hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat luas secara harmonis.
Dukungan sosial merupakan suatu kumpulan proses sosial,
emosional, kognitif, dan perilaku yang berlangsung dalam sebuah
hubungan pribadi dimana individu memperoleh bantuan untuk
melakukan penyesuaian adaptif atas masalah yang dihadapinya (Syarifa
dkk, 2011). Sementara itu, House (dalam Kumalasari & Ahyani, 2012)
menjelaskan bahwa dukungan sosial merupakan hubungan
interpersonal yang di dalamnya berisi pemberian bantuan yang
melibatkan aspek-aspek yang terdiri dari informasi, perhatian,
emosional, penghargaan dan bantuan instrumental yang diperoleh
individu melalui interaksi dengan lingkungan.
7
Dukungan sosial adalah komunikasi verbal dan non verbal
antara penerima dan penyedia dalam mengurangi ketidakpastian
tentang situasi, diri, yang lain, atau hubungan, dan fungsi untuk
meningkatkan persepsi kendali pribadi dalam pengalaman hidup
seseorang. Pernyataan ini terlihat jelas dalam pendapat yang
diungkapkan oleh Albrecht & Adelman (dalam Kendall, 2011, h.182),
defined social support as “verbal and nonverbal communication
between recipients and providers that reduces uncertainty about the
situation, the self, the other, or the relationship, and functions to
enhance a perception of personal control in one’s life experience.
Menurut Cobb (dalam Sarafino, 1998) menyatakan bahwa
dukungan sosial diartikan sebagai suatu kenyamanan, perhatian,
penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang
atau kelompok-kelompok lain. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Cohen & Wills (dalam Bishop, 1997) mendefinisikan dukungan sosial
sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari
interaksinya dengan orang lain.
Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
dukungan sosial adalah proses pemberian informasi, perhatian,
emosional, penghargaan, dan bantuan instrumental lainnya yang
diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain.
8
2.2.2. Pengertian Teman Sebaya
Pada masa remaja ditandai dengan adanya perkembangan yang
pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosialnya, yang mana
pada masa ini keterikatan terhadap teman sebaya sangat kuat. Keadaan
seperti ini menjadikan remaja kelompok tersendiri, seolah-olah mereka
antar sesamanya saling memahami, mereka mulai menjauh dari orang
tua, karena merasa orang tua kurang memahami dirinya. Mereka lebih
memilih memecahkan masalahnya dengan teman sebayanya dari pada
dengan orang tua atau gurunya, masalah yang sangat seriuspun mereka
biasanya akan membahas dengan teman sebayanya.
Dalam suatu kesempatan Santrock (2009) menyatakan bahwa
dalam konteks perkembangan anak, teman sebaya adalah anak-anak
dengan usia atau tingkat kedewasaan yang kurang lebih sama. Dari
kedua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa teman sebaya
adalah suatu bentuk hubungan pada remaja yang memiliki usia dan
tingkat kedewasaan yang sama, baik di lingkungan sekolah ataupun
lingkungan rumah.
Interaksi teman sebaya yang memiliki usia yang sama
memainkan peran khusus dalam perkembangan sosioemosional anak-
anak. Salah satu fungsi yang paling penting dari kelompok teman
sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan perbandingan
tentang dunia di luar keluarga. Hubungan baik dengan teman sebaya
merupakan peran yang mungkin penting agar perkembangan anak
9
menjadi normal. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Howes & Tonyan
(dalam Santrock, 2009).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia
atau tingkat kedewasaan yang sama. Dengan kata lain, dukungan sosial
teman sebaya adalah proses sosial yang melibatkan aspek-aspek yang
terdiri dari informasi, perhatian, emosional, penghargaan dan bantuan
instrumental yang diperoleh individu dari kelompok yang memiliki
kesamaan tingkat kedewasaan dan usia yang kurang lebih sama.
2.2.3. Teori Dukungan Sosial Teman Sebaya
Pada suatu kesempatan, Kumalasari & Ahyani (2012)
menyatakan bahwa hampir setiap remaja memiliki teman-teman sebaya
dalam bentuk kelompok. Kelompok teman sebaya ini ada yang
menguntungkan pengembangan proses penyesuaian diri tetapi ada pula
yang justru menghambat proses penyesuaian diri remaja. Dukungan
sosial dijelaskan oleh Malecki & Demaray (dalam Hidayati, 2011)
merupakan persepsi seseorang terhadap dukungan yang diberikan orang
lain dalam jaringan sosialnya (misalnya keluarga dan teman) yang
membantu meningkatkan kemampuan diri untuk bertahan dari
pengaruh-pengaruh yang merugikan. Dukungan sosial meliputi
dukungan emosional, informasi, atau materi alat bantu yang diberikan.
Kemudian Mead, dkk (dalam Solomon, 2004) telah jauh meneliti
dukungan teman sebaya dan menyatakan bahwa dukungan teman
10
sebaya merupakan sistem memberi dan menerima bantuan yang
dibangun berdasar prinsip-prinsip kunci yang meliputi rasa hormat,
berbagi tanggung jawab, dan persetujuan yang sama mengenai apa itu
menolong.
Dalam suatu kesempatan, House (dalam Glanz dkk., 2008)
menyatakan bahwa dimensi dukungan sosial mencakup:
1. Dukungan emosi, keberadaan seseorang atau lebih yang bisa
mendengarkan dengan simpati ketika seorang individu
mengalami masalah dan bisa menyediakan indikasi kepedulian
dan penerimaan.
2. Dukungan penilaian, meliputi ketersediaan informasi yang
berguna dalam rangka evaluasi diri. Dengan kata lain,
memberikan umpan balik dan penguatan atau penegasan.
3. Dukungan informasi, meliputi ketersediaan pengetahuan yang
berguna dalam menyelesaikan masalah, seperti menyediakan
informasi mengenai sumber-sumber dan layanan komunitas
atau menyediakan nasehat dan tuntunan mengenai suatu aksi
atau hal-hal tertentu untuk menyelesaikan masalah.
4. Dukungan instrumental, melibatkan bantuan nyata atau praktis
yang secara langsung dapat membantu seseorang yang
membutuhkan.
Sementara itu, Tardy (dalam del Valle dkk., 2010) menekankan
kompleksitas konsep dukungan sosial dari sudut pandang pengukuran
11
(measurement), mengidentifikasi empat dimensi dukungan sosial,
antara lain :
1. Arahan, dukungan yang diberikan atau diterima. Arahan atau
dukungan yang diberikan berupa nasihat atau penjelasan
sehubungan dengan topik yang dibicarakan.
2. Deskripsi atau penilaian, dukungan sosial yang secara
sederhana digambarkan atau dinilai dalam cara tertentu.
3. Isi, meliputi dukungan emosional, instrumental, informasional,
atau penilaian. Dapat berupa petunjuk informasi atau dapat
berupa dukungan materi atau benda yang diberikan.
4. Jaringan, orang tua, guru, teman sebaya. Jaringan yang
dimaksud adalah adanya orangtua, guru, dan teman sebaya
sebagai sumber dukungan sosial yang diberikan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dimensi dukungan
social teman sebaya yang dikemukakan oleh House (dalam Glanz dkk.,
2008). Penulis memilih empat dimensi ini disebabkan karena lebih
lengkap jika dibandingkan dengan dimensi yang dikemukakan oleh
Tardy (dalam del Valle dkk., 2010).
2.2.4. Fungsi Teman Sebaya
Dalam perkembangan individu yaitu pada masa remaja,
kelompok teman sebaya memiliki peran yang sangat penting bagi
perkembangan remaja baik secara emosional maupun secara sosial.
Buhrmester (dalam Papalia, 2008) menyatakan bahwa kelompok teman
12
sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, panduan moral,
tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi serta
independensi dari orang tua. Salah satu peran dari teman sebaya yaitu
berupa pemberian dukungan sosial. Dukungan sosial dari teman sebaya
yaitu dukungan yang diterima dari teman sebaya yang berupa bantuan
baik secara verbal maupun non verbal. Dari kelompok teman sebaya,
remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka.Anak-
anak sampai remaja menghabiskan semakin banyak waktu dalam
interaksi teman sebaya. Pada hari sekolah, terjadi 299 episode bersama
teman sebaya dalam tiap hari. Bagi remaja, hubungan teman sebaya
merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya (Barker &
Wright, dalam Santrock, 2003).
Pada penelitian yang lain selama satu minggu, remaja muda
laki-laki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak
dengan teman sebaya daripada waktu dengan orang tuanya seperti yang
dijelaskan oleh Condry, Simon, & Bronffenbrenner (dalam Santrock,
2003). Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan rasa
saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah. Di sekolah, remaja
biasanya menghabiskan waktu bersama-sama paling sedikit selama
enam jam setiap harinya. Sistem dukungan sering kali diperlukan untuk
bertahan terhadap stres (Santrock, 2003). Dalam penelitian O’Brien
(1996) ditemukan bahwa teman sebaya adalah sumber utama dukungan
yang menyeluruh bagi remaja. Bagi remaja, teman-teman sebaya adalah
kehidupannya. Hasil penelitian Becker & Luthar (dalam Yettie, 2004),
13
menemukan bahwa remaja yang mendapatkan dukungan dari teman
sebayanya dalam bentuk penghargaan, pujian, kekaguman sekaligus
menjadi seseorang yang disukai oleh teman-temannya akan
menunjukkan prestasi yang baik di sekolah.
Sementara itu, Atwater (1983) menjelaskan mengenai beberapa
fungsi teman sebaya sebagai berikut:
1. Teman sebaya membantu individu dalam melakukan suatu
transisi dari orientasi keluarga menuju orientasi teman sebaya.
Dalam proses perkembangan remaja, proses ini dimulai ketika
remaja berinisiatif untuk tidak terlalu bergantung pada keluarga,
tetapi mulai mencari kemandirian dengan cara mendapatkan
perasaan emosional secara aman melalui teman-temannya.
2. Teman sebaya memberikan keuntungan bagaimana caranya
membina suatu hubungan yang baik dengan orang lain dan hal
ini akan berguna di masa yang akan datang.
3. Teman sebaya berfungsi sebagai kelompok referensi dimana
mereka akan berperan dalam menilai perilaku seseorang apakah
baik atau buruk. Teman sebaya membantu individu dalam
menentukan identitas personalnya.
Pada suatu kesempatan yang berbeda, Papalia (2001)
menyatakan bahwa kelompok teman sebaya dapat memengaruhi
pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Ia
mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber
referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang
14
berkaitan dengan gaya hidup. Kemudian Greenberg & Baron (dalam
Atwater, 1993), menambahkan bahwa memiliki sahabat pada saat-saat
sulit dapat membuat individu melihat stres yang dialaminya tidak
terlalu mengancam. Sahabat atau teman juga dapat memberikan saran
yang bermanfaat untuk mengatasi stres. Dukungan teman sebaya pada
dasarnya adalah tindakan menolong yang diperoleh melalui hubungan
interpersonal dan peran teman sebaya dalam penyesuaian sosial salah
satunya berupa pemberian dukungan sosial (Yettie, 2004).
2.3. KONTROL DIRI
2.3.1 Pengertian Kontrol diri
Pada suatu kesempatan, Wursanto (dalam Marcal, 2006)
mengartikan kontrol diri sebagai pengendalian diri yang mengarahkan
kepada pencapaian kinerja. Sirikulchayanonta, dkk (2011), menyatakan
bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu untuk mengambil
tindakan, berpikir, dan berperilaku yang akan menghasilkan perbaikan
diri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kontrol diri rendah
maka bertendensi memiliki kontrol diri yang rendah untuk mereduksi
dari berbagai penyimpangan perilaku. Sementara itu, Purnama (2006)
menyatakan bahwa kontrol diri merupakan kontrol internal yang
mendorong individu untuk menaati suatu peraturan atau norma atas
dasar kemauan serta pertimbangan diri sendiri akan makna dan fungsi
suatu aturan.
15
Kontrol diri secara umum dianggap sebagai kemampuan untuk
berubah dan menyesuaikan diri sehingga memberikan hasil yang baik.
Fokus utama kontrol diri adalah kemampuan untuk mengesampingkan
kecenderungan perilaku mengganggu serta menaham diri dari perilaku
tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam penjelasan yang diberikan oleh
Tangney & Baumeister (2004, h. 275) menyatakan bahwa self-control
is widely regarded as a capacity to change and adapt the self so as to
produce a better, more optimal fit between self and world. Central to
our concept of self-control is the ability to override or change one’s
inner responses, as well as to interrupt undesired behavioral
tendencies and refrain from acting on them. From this perspective, self-
control should contribute to producing a broad range of positive
outcomes in life. Dari pandangan ini, kontrol diri dapat memberikan
manfaat atau kontribusi positif dalam hidup individu.
Kontrol diri merupakan ketaatan yang didasarkan pada kontrol
dari dalam diri sendiri (internal control). Kontrol diri terbentuk melalui
proses internalisasi terhadap kontrol luar (external control) atau
batasan-batasan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Individu
yang telah berhasil menginternalisasi kontrol dari luar atau tata nilai,
berarti mampu menyerap dan menjiwai nilai-nilai tersebut. Individu
tersebut mampu mentaati suatu peraturan tanpa merasa terpaksa atau
karena ikut-ikutan, tetapi didorong oleh niat dari dalam dirinya.
Individu yang memiliki kontrol diri, tidak hanya mampu mentaati
peraturan dari luar, akan tetapi cenderung mampu untuk mengatur
16
dirinya, atau mengarahkan diri untuk mencapai tujuan yang diharapkan
(Purnama, 2006).
Kontrol diri yang perlu dikembangkan pada diri individu
mungkin banyak dimensi, salah satunya ialah dalam belajar. Belajar
merupakan unsur pokok dalam proses pendidikan. Sesuai dengan hal
ini, Gunarsa (dalam Purnama, 2006) mengemukakan bahwa adanya
kontrol diri, terutama dalam hal belajar dan bekerja, akan
memudahkan kelancaran belajar dan bekerja, karena dengan adanya
kontrol diri, maka rasa segan, rasa malas, rasa menentang dapat mudah
diatasi. Seolah-olah tidak ada rintangan maupun hambatan lain yang
menghalangi kelancaran bertindak. Dalam proses pendidikan, kualitas
kontrol diri dalam belajar diharapkan berkembang pada diri siswa
dengan tujuan memperoleh prestasi belajar yang tinggi.
Pada suatu kesempatan Yahaya, dkk (2009) menyatakan bahwa
kontrol diri memiliki peranan penting dalam suatu sistem pendidikan,
karena akan mendorong mahasiswa meningkatkan kemampuan untuk
mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan ulasannya Bear & Duquette
(2008) bahwa kontrol diri berfungsi untuk membenahi diri mencapai
tujuan. Tangney, dkk (2004) menambahkan bahwa kesuksesan
seseorang dapat ditentukan dari tingkat kontrol diri orang tersebut. Hal
ini berarti bahwa peningkatan diri secara berkesinambungan terhadap
kontrol diri perlu dilakukan secara sadar, sehingga seseorang tidak
mengalami kesalahan mengelola waktu serta aktivitas-aktivitas yang
perlu dilakukan untuk meningkatkan akumulasi kesuksesan.
17
Kemudian, Rossianti (1994) menyatakan bahwa kontrol diri
merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi
diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan
mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi
untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi. Kemampuan
untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan untuk menarik
perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku agar sesuai untuk orang
lain, menyenangkan orang lain, selalu conform dengan orang lain,
menutup perasaannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kontrol diri
merupakan cerminan dari seluruh kemampuan yang ada dalam diri
individu untuk mengontrol diri atau mengendalikan perilaku guna
menggapai tujuan yang positif dalam hidup. Sehubungan dengan
penelitian ini, kontrol diri diarahkan kepada bagaimana individu
mengontrol diri dengan baik guna mencapai prestasi belajar yang
maksimal.
2.3.2 Teori Kontrol diri
Perilaku individu dalam proses tumbuh dan berkembang,
memerlukan kontrol agar dapat mengendalikan diri. Menurut Tangney,
dkk (2009), kontrol diri merupakan suatu bentuk dari kontrol diri yang
mengarahkan pada perubahan perilaku positif, maka dalam penelitian
ini akan lebih menekan pada kontrol diri internal sebagai wujud nyata
dari kesadaran diri untuk memiliki kontrol diri yang tinggi. Selain itu,
18
kontrol diri yang tinggi akanmampu mengantisipasi peluang akan
terpengaruhnya perilaku positif akibat terhubung dengan lingkungan
eksternal. Lebih dalam lagi, dijelaskan bahwa disebabkan substansinya
tersebut maka kontrol diri perlu dilihat secara keseluruhan sehingga
setiap kontrol utamanya dapat dikaitkan dan dielaborasi. Hal ini
mendapatkan kesesuaian dengan Gong, dkk (2009) yang menyatakan
bahwa disiplin diri yang beresensikan kontrol diri merupakan salah satu
penentu pencapaian akademik seseorang.
Pada suatu kesempatan, Marcel (2006) dalam penelitiannya
untuk mengukur kontrol diri siswa, ia menggunakan empat komponen
yaitu:
1. Ketaatan. Seorang siswa akan memperoleh hasil belajar yang
maksimal jika terlebih dahulu taat terhadap peraturan yang
diberlakukan di lingkungan sekolah. Contohnya datang tepat
waktu, menggunakan pakaian seragam dengan baik dan benar.
2. Kesadaran untuk melaksanakan tugas sesuai pedoman. Seorang
siswa yang memiliki kontrol diri yang tinggi memiliki
kesadaran dalam diri untuk menyelesaikan atau mengerjakan
setiap tugas yang diterima di sekolah sesuai dengan pedoman
yang diberikan oleh guru.
3. Tanggungjawab terhadap pekerjaan. Siswa dengan kontrol diri
yang tinggi memiliki tanggung jawab yang tinggi atau loyal
terhadap setiap tugas yang diberikan.
19
4. Kejujuran. Kontrol diri yang tinggi digambarkan melalui
perilaku jujur dan tidak pernah membuat kecurangan.
Contohnya tidak berkata bohong, tidak menyontek saat ujian.
Dalam suatu kesempatan, Gong, dkk (2009) mengukur kontrol
diri menggunakan empat komponen yang dikemukakan oleh Tangney,
dkk (2004), yakni kontrol terhadap pemikiran (kognitif), kontrol
terhadap impulse (dorongan hati), kontrol terhadap emosi, dan kontrol
terhadap unjuk kerja (performance). Berikut ini penjelasan dari
keempat komponen tersebut:
1. Kontrol terhadap pemikiran (kognitif) adalah kemampuan dari
individu untuk mengendalikan pikiran sehingga menghasilkan
sikap yang yang positif atau mengarah kepada perilaku yang
objektif.
2. Kontrol terhadap impuls (dorongan hati) adalah kemampuan
individu untuk mengendalikan diri serta bertindak secara bijak
terhadap setiap dorongan hati negatif yang muncul secara tiba-
tiba.
3. Kontrol terhadap emosi adalah kemampuan individu untuk
memiliki kesadaran diri emosi dalam hubungan dengan diri
sendiri maupun dengan orang lain.
4. Kontrol terhadap unjuk kerja adalah kemampuan individu
untuk memperoleh nilai yang lebih baik dalam jangka waktu
panjang, karena mereka akan lebih baik dalam mengerjakan
tugas tepat waktu, mencegah dari aktivitas-aktivitas untuk
20
menunda-nunda waktu saat bekerja, belajar dengan efektif,
memilih mata pelajaran dengan tepat dan mampu menjaga
emosi negatif yang merusak kinerja.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan empat aspek yang
dikemukakan oleh Gong, dkk (2004) yang dikutip dari Tangney, dkk
(2009), yaitu kontrol terhadap pemikiran (kognitif), kontrol terhadap
impulse (dorongan hati), kontrol terhadap emosi, dan kontrol terhadap
unjuk kerja (performance). Pemilihan ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa keempat aspek yang dikemukakan oleh Gong dkk
(2004) lebih lengkap dalam mengukur keadaan internal siswa
sehubungan dengan kontrol diri.
2.3.3 Manfaat Kontrol diri
a. Perubahan positif perilaku
Tangney, dkk (2004) menyatakan bahwa kontrol diri akan
membawa dampak positif karena seseorang akan mampu membedakan
dan mengelola tiap impuls yang diperoleh dalam interaksinya dengan
lingkungan. Hal ini berarti bahwa kontrol diri merupakan faktor yang
tidak dapat diabaikan, jika seseorang mau melakukan perubahan ke
arah yang lebih baik. Selain itu juga, kontrol diri terkait dengan
kesadaran diri untuk tetap berusaha ataupun mengontrol dirinya sendiri
tanpa adanya paksaan dari luar.
Ulasan di atas didukung juga oleh Rachman (1999) bahwa
kontrol diri sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental
21
individu atau masyarakat dalam mengembangkan kepatuhan dan
ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan
kesadaran yang muncul dari dalam hatinya. Menurutnya, kontrol diri
sebagai alat dan sarana untuk membentuk, mengendalikan, dan
menciptakan pola perilaku seseorang sebagai pribadi yang berada
dalam suatu lingkungan atau kelompok tertentu. Kontrol diri muncul
karena adanya kesadaran dari dalam diri bahwa tindakan yang
dilakukan bermanfaat baik secara pribadi maupun bagi lingkungan
sosial.
b. Bagi prestasi belajar
Baumeister, dkk (1994) dalam Tangney, dkk (2004)
menyatakan bahwa kontrol diri yang baik akan memampukan individu
untuk mengalokasikan waktu secara tepat dalam mengerjakan hal-hal
yang positif. Tidak jauh berbeda, Rachman (1999) menyatakan bahwa
kontrol diri di sekolah akan mempunyai pengaruh yang positif bagi
kehidupan siswa di masa yang akan datang. Pada mulanya kontrol diri
dirasakan sebagai sesuatu yang mengekang kebebasan siswa. Akan
tetapi jika kontrol diri tersebut dirasakan sebagai sesutau yang
membawa manfaat di kemudian hari, maka ketaatan terhadap peraturan
akan lambat laun menjadi suatu kebiasaan baik yang perlu
ditingkatkan. Dengan demikian akan membawa dampak positif
terhadap prestasi belajar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kontrol diri
memiliki manfaat yang begitu besar dalam kehidupan setiap individu.
22
Manfaat dapat berupa perubahan perilaku individu ke arah yang positif
yang pada akhirnya dapat menghasilkan prestasi belajar yang tinggi.
2.4 HASIL-HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA
2.4.1 Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Prestasi Belajar
Dukungan sosial teman sebaya adalah pemberian bantuan
seorang remaja baik berupa verbal maupun non-verbal sebagi bentuk
kepedulian, perhatian, keakraban, penghargaan kepada kelompok yang
kepadanya remaja tersebut bergantung. Beberapa penelitian terdahulu
telah dilakukan untuk melihat pengaruh dukungan sosial teman sebaya
terhadap prestasi belajar siswa. Selanjutnya Ahmed, dkk (2008)
menemukan bahwa dukungan sosial berpengaruh pada prestasi belajar
siswa. Hasil penelitian Agmarina (2008) tentang hubungan dukungan
sosial teman sebaya dengan prestasi belajar siswa kelas VI akselerasi
SD Bina Insani Bogor menunjukkan bahwa korelasi rxy = 0,394 dengan
signifikansi 0,031 (p<0,05) yang berarti bahwa terdapat hubungan
positif antara dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian sosial
siswa akselerasi.
Penelitian di atas senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ristianti (2010) tentang hubungan antara dukungan sosial teman sebaya
dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial teman
sebaya dengan prestasi belajar siswa di SMA Pusaka 1 Jakarta dengan
koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,565 dengan signifikansi
23
0,000 (p < 0,01). Hasil penelitian tambahan yang dilakukan oleh Yettie
(2004) menunjukkan bahwa dukungan sosial dari teman sebayalah
yang lebih berhubungan dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi
dibandingkan dengan dukungan dari orangtua atau guru. Siswa yang
mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebayanya
cenderung menunjukkan tingkat penyesuaian sosial di bawah rata-rata.
Sebaliknya, subjek yang mendapat dukungan dari teman sebayanya atas
perbedaan yang dimilikinya cenderung menunjukkan tingkat prestasi
yang tinggi.
Maslihah (2010), menjelaskan hasil temuannya sebagai berikut:
penelitian ini merupakan kajian tentang hubungan antara dukungan
sosial teman sebaya dan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah
dengan prestasi akademik siswa boarding school. Sampel penelitian
adalah terdiri dari 92 siswa kelas VIII Sekolah Menengah Pertama
Islam Terpadu (SMPIT) Assyfa Boarding School Kabupaten Subang
Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif dan teknik studi korelasional (correlation
study) dengan dua independen variabel, yaitu dukungan sosial orang
tua dan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah serta satu dependent
variable, yaitu prestasi akademik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial orang tua
dengan prestasi akademik, yaitu sebesar 0,820. Artinya, semakin besar
dukungan sosial orang tua yang dipersepsi siswa, semakin baik prestasi
akademik yang dapat dicapai siswa. Kajian lebih dalam tentang
24
hubungan dukungan sosial orang tua dalam bentuk instrumental
support dengan prestasi akademik menunjukkan nilai korelasi sebesar
0.798 dan hubungan dukungan sosial bentuk emotional support dengan
prestasi akademik adalah sebesar 0.654.
Mackinnon (2011) meneliti tentang persepsi hubungan sosial
teman sebaya dan prestasi belajar. Peserta yang diteliti 10.445 siswa
(56 % perempuan, 12,6 % yang lahir di luar Kanada) sekolah
menengah dari usia 15-19. Hasil penelitian menunjukkan walapun ada
peran dari dukungan sosial teman sebaya dimana kadar ketinggian
perannya dirasakan pada usia 15 tetapi tidak berhubungan terhadap
prestasi akademik dari waktu ke waktu. Singkatnya, dukungan sosial
yang dirasakan tampaknya tidak memiliki hubungan terhadap prestasi
akademik masa remaja.
Rensi & Sugiarti (2010) melakukan penelitian karena melihat
adanya banyak faktor yang dapat berperan pada naik turunnya prestasi
belajar seorang siswa. Hal ini dapat berupa sesuatu yang berasal dari
dalam maupun dari luar diri siswa tersebut. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengukur pengaruh dukungan sosial dan konsep diri terhadap
prestasi belajar siswa. Subjek penelitian adalah siswa-siswi SMP
Kristen YSKI Semarang yang sedang duduk di kelas VII. Jumlah
subjek 179 orang siswa, dan dari antaranya diambil sampel sebanyak
60 orang siswa. Penelitian ini menggunakan uji statistik simultan (uji
statistik F) untuk menguji hipotesis mayor penelitian dan uji statistik t
25
untuk menguji hipotesis minornya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dukungan sosial berpengaruh terhadap prestasi belajar.
Penelitian dari Dewi dkk (2011) tentang hubungan antara
dukungan sosial teman sebaya dengan komitmen terhadap tugas (Task
Commitment) pada siswa akselerasi tingkat SMA. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan
sosial teman sebaya dengan komitmen terhadap tugas (task
commitment) pada siswa akselerasi tingkat SMA. Penelitian ini
dilakukan pada siswa akselerasi. Analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik korelasi Product Moment dengan bantuan
SPSS yang menunjukkan skor koefisien korelasi rxy= 0,531 dengan (p)
0,000 jadi p<0,01 (signifikan). Hal ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan komitmen terhadap
tugas (task commitment) pada siswa akselerasi tingkat SMA.
Sumbangan efektif dukungan sosial teman sebaya dengan komitmen
terhadap tugas (task commitment) adalah 28,2%, sehingga masih ada
71,8% variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, antara lain
cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, kondisi
lingkungan fisik dan lingkungan keluarga, unsur-unsur dinamis dalam
belajar, pembelajaran, serta upaya guru dalam membelajarkan siswa.
Penelitian yang berbeda juga ditemukan oleh Fuligni (1997),
yang melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh dukungan
sosial teman sebaya pada prestasi belajar keluarga imigrant dari negara-
negara Asia. Fuligni menemukan bahwa dukungan sosial teman sebaya
26
tidak berpengaruh pada prestasi belajar. Taylor (1998) menyatakan
bahwa secara tidak langsung dukungan sosial teman sebaya
berpengaruh pada prestasi belajar. Hal ini disebabkan karena untuk
mencapai sebuah prestasi akademik maka harus melalui persepsi dari
pentingnya kemampuan akademis. Cauce (1992) menyatakan bahwa
dukungan teman sebaya memiliki hubungan yang negatif dengan
kompetensi di sekolah, yang dalam hal ini adalah kompetensi untuk
berprestasi. Hal senada juga diteliti oleh Maassen & Landsheer (2000),
dan menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara
dukungan sosial teman sebaya dengan prestasi belajar Matematika.
Dalam penelitian Maassen & Landsheer (2000), menemukan bahwa
terdapat hubungan yang negatif antara dukungan sosial teman sebaya
dengan prestasi belajar Matematika. Fuligni (1997) melakukan
penelitian untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial teman sebaya
pada prestasi belajar dari keluarga immigrant dari negara-negara Asia,
dan menemukan bahwa dukungan sosial teman sebaya tidak
berpengaruh pada prestasi belajar.
2.4.2 Kontrol Diri dan Prestasi Belajar
Selain dukungan sosial teman sebaya dalam peningkatan
prestasi belajar, kontrol diri merupakan suatu faktor penting. Tanpa
adanya kesadaran akan pentingnya melaksanakan aturan yang telah
ditentukan sebelumnya, pembelajaran tidak akan mungkin mencapai
target yang maksimal. Penelitian yang dilakukan oleh Saputro (2007)
27
menemukan bahwa ada pengaruh yang kuat kontrol diri terhadap
prestasi belajar sebesar 0,219 pada taraf signifikansi 0,05. Marcal (2006)
melakukan penelitian terhadap mahasiswa Timor-Leste di Jakarta
dengan menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif signifikan
kontrol diri terhadap prestasi belajar. Pengaruh positif signifikan
ditunjukkan dengan nilai Fhitung 12.069 > Ftabel 4.00 pada tingkat
signifikansi 0.001 < 0.05.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sakdiyah (2006)
menyatakan bahwa kontrol diri memiliki pengaruh yang positif
signifikan terhadap prestasi belajar dengan hasil uji diperoleh thitung
sebesar 4,065 dengan p=0,000 < 0,05. Duckworth & Seligman (2005)
menemukan bahwa kontrol diri lebih menentukan daripada kecerdasan
intelektual, karena walaupun mahasiswa memiliki tingkat kecerdasan
namun tidak diimbangi dengan kemampuan mengontrol diri maka akan
menyebabkan mahasiswa menjadi tidak mampu mengelola waktu dan
kurang memiliki prioritas dalam apa yang sebaiknya dilakukan.
Marpaung (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kontrol
diri berpengaruh secara positif signifikan terhadap prestasi belajar.
Hasil uji secara simultan dengan uji F diperoleh Fhitung= 73,446 dengan
probabiltias 0.000 < 0.05. Hal Senada juga diungkapkan oleh Saputro
(2007) yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif signifikan
motivasi berprestasi dan kontrol diri terhadap prestasi belajar dengan R
square sebesar 0.204 pada taraf signifikan 0.05. Hasil penelitian
Widiastuti (2008) menyatakan bahwa ada hubungan yang positif
28
signifikan antara kontrol diri dengan prestasi belajar siswa. Hal senada
juga disimpulkan dalam hasil penelitian dari Muhid (2010) ada
hubungan antara self control, dan self efficacy dengan pretasi akademik
dengan nilai regresi sebesar 0,644 dan alpha (p) sebesar = 0,000.
Muammar (2011) dalam penelitiannya dengan judul intelligence
and self control predict academic performance of giftedand non-gifted
students, meneliti peran intelijen dan pengendalian diri pada prestasi
akademik dari siswa berbakat dan yang tidak berbakat. Kecerdasan
diukur dengan Tes Kemampuan Umum ( GAT ), dan terdiri dari dua
sub-skala, secara eksplisit, subtes verbal dan subtest kuantitatif. Kontrol
diri adalah dinilai dengan melihat tingkat komitmen siswa untuk
menyerahkan tugas dan pekerjaan rumah tepat waktu. Sampel terdiri
dari 74 mahasiswa di sebuah lembaga di bagian Timur Arab Saudi.
Prestasi siswa berbakat yang terpilih sesuai dengan kinerja akademis
yang diukur dengan skor IPK; pemisahan titik adalah 3,50 dari 5,00.
Intelijen dan pengendalian diri yang masuk melalui model simultan
linear regresi berganda sebagai variabel independen, sedangkan IPK
mahasiswa di semester pertama dimasukkan sebagai variabel kriteria.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan dan pengendalian diri
berkorelasi secara signifikan dengan prestasi belajar.
Tangney, dkk (2004) juga melakukan penelitian untuk melihat
pengaruh kontrol diri terhadap keberhasilan dalam belajar. Hasil
penelitian menunjukan bahwa seorang siswa yang memiliki kontrol diri
akan berusaha keras dalam melakukan kegiatan belajar serta memiliki
29
rasa optimis yang tinggi dalam mencapai sesuatu sesuai dengan
diharapankan. Sebaliknya, seseorang dengan kontrol diri yang rendah
menilai bahwa dirinya kurang memiliki kemampuan. Sehingga hal ini
memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan
studi.
2.4.3 Jenis Kelamin dan Prestasi Belajar
Jenis kelamin juga merupakan salah satu variabel demografi
yang menarik untuk diteliti jika dihubungkan dengan prestasi belajar.
Selain jenis kelamin dapat berpengaruh pada prestasi belajar, perbedaan
jenis kelamin juga menarik untuk diteliti sehubungan dengan prestasi
belajar.Beberapa penelitian telah dilakukan, diantaranya adalah Colley
(dalam Santrock, 2007). Colley menemukan bahwa tidak ada
perbedaan jenis kelamin pada kemampuan atau prestasi Matematika di
grade 4, 8, dan 12. Adeyinka, dkk (dalam Santrock, 2007) juga
menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin memberikan pengaruh dan
kontribusi pada prestasi belajar siswa. Dimana siswa laki-laki memiliki
usaha yang keras dan kemampuan untuk memberikan yang terbaik
dalam prestasi belajar, bila dibandingkan dengan siswa perempuan.
Rumusan penelitian yang berbeda juga ditemukan oleh Hyness,
dkk (1988) melakukan penelitian pada siswa SMA kulit hitam dalam
kaitannya dengan prestasi belajar. Kemudian mereka menemukan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara siswa laki-laki dan
perempuan pada pencapaian prestasi belajar. Senada dengan penelitian
30
di atas, Burleson & Samter (1992) juga meneliti perbedaan jenis
kelamin di antara mahasiswa, keduanya menemukan bahwa tidak ada
perbedaan jenis kelamin pada prestasi akademik mahasiswa. Arslan,
Canl, & Sabo (2012) melakukan penelitian terhadap 553 orang siswa
sekolah menengah pertama di Turki untuk mengetahui perbedaan
prestasi belajar matematika ditinjau dari jenis kelamin. Hasil penelitian
menyatakan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa
perempuan dan laki-laki. Siswa perempuan memiliki prestasi belajar
Matematika yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki. Hal
ini disebabkan karena pada saat proses belajar berlangsung, siswa
perempuan lebih menunjukkan sikap belajar yang positif seperti duduk
dengan tenang, menyimak pelajaran dengan baik, serta mengemukakan
pertanyaan ketika terdapat bagian pelajaran yang tidak dipahami. Hal
ini menyebabkan prestasi belajar perempuan lebih tinggi dari pada
prestasi belajar Matematika laki-laki.
Dalam kesempatan yang berbeda, Lauzon (2001) melakukan
penelitian untuk melihat perbedaan prestasi belajar Matematika siswa
ditinjau dari jenis kelamin. Hasil penelitian membuktikan bahwa
terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa laki-laki dan
perempuan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa siswa laki-laki kurang tekun
dalam belajar, sulit berkonsentrasi, maupun kurang bertanggung
jawab.Sedangkan siswa perempuan lebih mampu mengontrol diri untuk
dapat mengatur waktu belajar dengan baik sehingga menghasilkan
prestasi yang maksimal. Dronen, dkk (2006) juga melakukan penelitian
31
terhadap untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa laki-laki
dan perempuan. Hasil penelitian membuktikan bahwa siswa perempuan
lebih tekun dan berkonsentrasi dalam belajar. Siswa perempuan mampu
mengatur waktu bersantai karena lebih terobsesi untuk memperoleh
hasil belajar yang tinggi. Sedangkan siswa laki-laki mudah tergoda
dengan kegiatan lain selain belajar, kurang tekun dalam belajar, sulit
berkonsentrasi, bahkan siswa laki-laki tidak mampu mengatur waktu
antara belajar dan bermain serta nonton TV.
Berdasarkan fenomena dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang
telah penulis utarakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial teman sebaya, kontrol diri, dan jenis kelamin sebagai
prediktor prestasi belajar siswa. Artinya semakin tinggi dukungan
sosial yang diberikan oleh teman sebaya diikuti dengan kontrol diri
yang tinggi maka akan memberikan peningkatan pada prestasi belajar
siswa.
2.5 LANDASAN TEORI
Belajar adalah proses mental yang terjadi di dalam diri
seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku.
Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan
lingkungan yang disadari. Bukti keberhasilan dari seseorang setelah
memperoleh pengalaman belajar atau mempelajari sesuatu merupakan
prestasi belajar yang dicapai dalam waktu tertentu. Hal ini sejalan
dengan pendapat yang diungkapkan oleh Nana (2009) bahwa hasil
32
belajar atau achievement merupakan realisasi atau pemekaran dari
kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki oleh
seseorang. Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat dilihat dari
perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan,
keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik. Prestasi belajar
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Dua
faktor yang turut memengaruhi prestasi belajar diantaranya dukungan
sosial teman sebaya dan kontrol diri.
Ketika siswa berada di sekolah, maka ia berada di tengah-
tengah suatu lingkungan yang baru. Di lingkungan yang baru ini,
individu membutuhkan penyesuaian. Schneiders (dalam Maslihah,
2011) menyebutkan bahwa penyesuaian sosial sebagai kemampuan
individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas
sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam
kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan
memuaskan. Dengan demikian, jika siswa ingin mengembangkan
kemampuan dalam penyesuaian sosial di lingkungan sekolah maka ia
harus menghargai hak orang lain, mampu menciptakan suatu relasi
yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan
aktif dalam kegiatan sosial, menghargai nilai-nilai dari hukum-hukum
sosial dan budaya yang ada di lingkungan sekolahnya. Apabila prinsip-
prinsip ini dilakukan secara konsisten, maka penyesuaian sosial di
lingkungan sekolah yang baik akan tercapai. Diharapkan bahwa dengan
33
adanya penyesuaian sosial, siswa saling memberikan dukungan
terhadap satu dengan yang lainnya.
Dukungan yang diberikan dapat berupa nasehat, motivasi, atau
saling memberikan masukan sehubungan dengan pelajaran di sekolah.
Dukungan yang diberikan ini, pada akhirnya akan memberikan dampak
terhadap peningkatan prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Hurlock (2001) yang berpendapat bahwa
dukungan sosial juga berperan dalam prestasi belajar. Dukungan sosial
dapat diperoleh bukan saja dari orangtua yang merupakan sosok
penting dalam pencapaian prestasi belajar seorang siswa, tapi juga dari
teman sebaya. Dukungan sosial teman sebaya dapat berupa dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental maupun
dukungan informasi. Dukungan yang diberikan ini dapat meningkatkan
prestasi belajar.
Dukungan sosial akan memberikan kontribusi yang positif jika
diimbangi dengan kontrol diri yang tinggi dalam hal prestasi belajar.
Muammar (2011) menyatakan bahwa ketika kekuatan dari dalam diri
berupa kontrol diri ditingkatkan maka akan mengimbangi setiap
kekuatan-kekuatan yang berasal dari faktor eksternal untuk
memberikan sumbangan efektif terhadap peningkatan hasil belajar
siswa. Hal ini berarti bahwa kontrol diri memainkan peran penting
dalam peningkatan prestasi belajar siswa dari sisi internal. Marpaung
(2009) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan suatu kekuatan dari
dalam diri siswa untuk mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan.
34
Pengontrolan diri yang tinggi memberikan manfaat bagi siswa agar
mampu menggunakan waktu dengan efisien, menggunakan fasilitas
belajar dengan maksimal, serta sebagai sumber motivasi dalam diri
siswa untuk meningkatkan hasil belajar. Dengan demikian, sangat
diharapakan bahwa dengan adanya dukungan sosial teman sebaya
sebagai faktor eksternal diimbangi dengan kontrol diri sebagai faktor
internal akan memberikan dampak yang positif bagi peningkatan
prestasi belajar siswa. Dengan kata lain, seorang siswa dapat meraih
prestasi belajar yang maksimal jika diikuti dengan dukungan sosial
teman sebaya serta diimbangi dengan kontrol diri yang tinggi.
35
2.6 MODEL PENELITIAN
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka
penulis menyusun sebuah model atau kerangka berpikir sebagai
berikut:
Gambar 2.1
Model Penelitian
Dukungan Sosial Teman
Sebaya
Kontrol
Diri
Jenis
Kelamin
Prestasi Belajar
36
2.7 HIPOTESIS PENELITIAN
Terdapat beberapa hipotesis dalam penelitian ini, yakni:
1. Ada hubungan dukungan sosial teman sebaya dan kontrol diri
dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.
2. Ada pengaruh interaksi dukungan sosial teman sebaya dan jenis
kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM
Ambon.
3. Ada pengaruh interaksi kontrol diri dan jenis kelamin dengan
prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.
4. Ada pengaruh interaksi dukungan sosial teman sebaya, kontrol
diri, dan jenis kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA
Kristen YPKPM Ambon.
5. Ada perbedaan prestasi belajar ditinjau dari jenis kelamin pada
siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon.