Post on 21-Oct-2019
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Jalan Tol
Jalan Tol merupakan sebagai bagian sistem jaringan jalan umum lintas
alternatif yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Namun dalam keadaan
tertentu jalan tol tidak merupakan lintas alternatif (UU 38/2004 Pasal 44).
Pembangunan jalan tol dilakukan untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang
telah berkembang, meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi
barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi, meringankan
beban dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan serta meningkatkan
pemerataan hasil pembangunan dan keadilan (UU 38/2004 Pasal 43 ayat1).
2.2 Perkerasan Jalan Raya
Perkerasan jalan merupakan bagian dari jalan raya yang diperkeras dengan
lapis konstruksi tertentu yang memiliki ketebalan, kekuatan, kekakuan serta
kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu-lintas diatasnya ke tanah
dasar. Perkerasan jalan menggunakan campuran agregat dan bahan ikat. Agregat
yang dipakai adalah batu pecah, batu belah, batu kali atau bahan lainnya, sedangkan
bahan ikat yang dipakai adalah aspal, semen ataupun tanah liat.
Menurut Sukirman (1999), berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi
perkerasan jalan dapat dibedakan atas:
a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan
perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah
dasar.
b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat
beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan
atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul
oleh pelat beton.
5
c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan
kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa
perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas
perkerasan lentur.
Menurut Suryawan (2009), pemilihan dalam penggunaan jenis perkerasan
kaku dibandingankan dengan perkerasan lentur yang sudah lama dikenal dan lebih
sering digunakan, berdasarkan keuntungan dan kerugian masing-masing jenis
perkerasan tersebut.
Perbedaan antara perkerasan kaku dan lentur dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Perbedaan antara perkerasan kaku dengan perkerasan lentur
No Perkerasan Kaku Perkerasan Lentur
1
Kebanyakan digunakan hanya pada jalan
kelas tinggi, serta pada perkerasan lapangan
terbang.
Dapat digunakan untuk semua tingkat
volume lalu-lintas.
2
Job Mix lebih mudah dikendalikan
kualitasnya. Modulus elastisitas antara lapis
permukaan dan pondasi sangat berbeda.
Kendali kualitas untuk Job Mix lebih
rumit.
3 Dapat lebih bertahan terhadap kondisi
drainase yang buruk.
Sulit untuk bertahan terhadap kondisi
drainase yang buruk.
4 Umur rencana dapat mencapai 20 tahun. Umur rencana relatif pendek 5-10 tahun.
5 Jika terjadi kerusakan maka kerusakan
tersebut cepat dan dalam waktu singkat.
Kerusakan tidak merambat ke bagian
konstruksi yang lain, kecuali jika
perkerasan terendam air.
6
Indeks pelayanan tetap baik hampir selama
umur rencana, terutama jika transverse joints
dikerjakan dan dipelihara dengan baik.
Indeks pelayanan yang terbaik hanya
pada saat selesai pelaksanaan konstruksi,
setelah itu seiring dengan waktu dan
frekuensi beban lalu-lintasnya.
7
Pada umumnya biaya awal konstruksi tinggi.
Tetapi biaya awal hampir sama untuk jenis
konstruksi jalan berkualitas tinggi dan tidak
tertutup kemungkinan bisa lebih rendah.
Pada umumnya biaya awal konstruksi
rendah, terutama untuk jalan lokal dengan
volume lalu-lintas rendah.
8 Biaya pemeliharaan relatif tidak ada.
Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan
mencapai lebih kurang dua kali lebih
besar dari perkerasan kaku.
9 Agak sulit untuk menetapkan saat yang tepat
untuk melakukan pelapisan ulang.
Pelapisan ulang dapat dilaksanakan pada
semua tingkat ketebalan perkerasan yang
diperlukan, dan lebih mudah menentukan
perkiraan pelapisan ulang.
6
10
Kekuatan konstruksi perkerasan kaku lebih
ditentukan oleh kekuatan pelat beton sendiri
(tanah dasar tidak begitu menentukan).
Kekuatan konstruksi perkerasan lentur
ditentukan oleh tebal setiap lapisan dan
daya dukung tanah dasar.
11 Tebal konstruksi perkerasan kaku adalah
tebal pelat beton tidak termasuk pondasi.
Tebal konstruksi perkerasan lentur adalah
tebal seluruh lapisan yang ada diatas
tanah dasar.
(Sumber : Suryawan, 2009)
2.3 Pengertian Perkerasan Kaku
Menurut Suryawan (2009), perkerasan jalan beton semen atau perkerasan kaku
adalah suatu konstruksi perkerasan dengan bahan baku agregat dan menggunakan
semen sebagai bahan ikatnya. Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus
elastisitas yang tinggi, akan mendistribusikan beban terhadap area tanah yang
cukup luas, sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh
dari slab beton sendiri. Hal ini berbeda dengan dengan perkerasan lentur dimana
kekuatan perkerasan diperoleh dari lapisan-lapisan tebal pondasi bawah, pondasi
dan lapisan permukaan.
Perkerasan beton semen memiliki struktur yang terdiri dari atas pelat beton
semen yang bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan tulangan, atau menerus
dengan tulangan, terletak di atas pondasi bawah atau tanah dasar, tanpa atau dengan
lapis permukaan beraspal. Struktur perkerasan beton semen secara tipikal
sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Tipikal struktur perkerasan beton semen
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)
7
Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis:
a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan (Jointed
Unreinforced Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan beton semen
yang dibuat tanpa tulangan dengan ukuran pelat mendekati bujur sangkar,
dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan
melintang. Panjang pelat dari jenis perkerasan ini berkisar 4-5 meter.
b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan (Jointed Reinforced
Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan beton semen yang dibuat
dengan tulangan ukuran pelatnya berbentuk empat persegi panjang,
dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan
melintang. Panjang pelat dari jenis perkerasan ini berkisar 8-15 meter.
c. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan (Continously
Reinforced Concrete Pavement) adalah jenis perkerasan beton semen yang
dibuat dengan tulangan dengan panjang pelat menerus yang hanya dibatasi
oleh adanya sambungan-sambungan muai melintang. Panjang pelat dari
jenis perkerasan ini lebih besar dari 75 meter.
d. Perkerasan beton semen pra-tegang (Prestressed Concrete Pavement)
adalah jenis perkerasan beton semen menerus tanpa tulangan yang
menggunakan kabel-kabel pratekan guna mengurangi pengaruh susut,
muai, dan lenting akibat perubahan temperatur dan kelembaban.
Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari
pelat beton. Sifat daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton
semen. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air pemadatan,
kepadatan, dan perubahan kadar air selama masa pelayanan (Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003).
2.4 Komponen Konstruksi Perkerasan Kaku
Pada konstruksi perkerasan beton semen, sebagai konstruksi utama adalah
berupa satu lapis beton semen mutu tinggi. Sedangkan lapis pondasi bawah
(subbase berupa cement treated subbase maupun granular subbbase) berfungsi
sebagai konstruksi pendukung atau pelengkap.
8
Gambar 2.2 Skema Potongan Melintang Konstruksi Perkerasan Kaku (Aly, 2004)
Menurut Aly (2004), adapun komponen konstruksi perkerasan beton semen
(rigid pavement) adalah sebagai berikut:
1. Tanah Dasar (Subgrade)
Tanah dasar adalah bagian dari permukaan badan jalan yang dipersiapkan
untuk menerima konstruksi di atasnya yaitu konstruksi perkerasan. Tanah
dasar ini berfungsi sebagai penerima beban lalu lintas yang telah disalurkan /
disebarkan oleh konstruksi perkerasan. Persyaratan yang harus dipenuhi
dalam penyiapan tanah dasar (subgrade) adalah lebar, kerataan, kemiringan
melintang keseragaman daya dukung dan keseragaman kepadatan.
2. Lapis Pondasi (Subbase)
Lapis pondasi ini terletak di antara tanah dasar dan pelat beton semen mutu
tinggi. Sebagai bahan subbase dapat digunakan unbound granular (sirtu) atau
bound granural (CTSB, cement treated subbase).
Fungsi utama dari lapisan ini adalah sebagai lantai kerja yang rata dan
uniform. Apabila subbase tidak rata, maka pelat beton juga tidak rata.
Ketidakrataan ini dapat berpotensi sebagai crack inducer.
3. Tulangan
Pada perkerasan beton semen terdapat dua jenis tulangan, yaitu tulangan
pada pelat beton untuk memperkuat pelat beton tersebut dan tulangan
sambungan untuk menyambung kembali bagian – bagian pelat beton yang
telah terputus (diputus). Adapun tulangan tersebut antara lain:
9
1) Tulangan Pelat
Adapun karakteristik dari tulangan pelat pada perkerasan beton semen
adalah sebagi berikut:
Bentuk tulangan pada umumnya berupa lembaran atau gulungan.
Pada pelaksanaan di lapangan tulangan yang berbentuk lembaran
lebih baik daripada tulangan yang berbentuk gulungan. Kedua
bentuk tulangan ini dibuat oleh pabrik.
Lokasi tulangan pelat beton terletak ¼ tebal pelat di sebelah atas.
Fungsi dari tulangan beton ini yaitu untuk “memegang beton” agar
tidak retak (retak beton tidak terbuka), bukan untuk menahan momen
ataupun gaya lintang. Oleh karena itu tulangan pelat beton tidak
mengurangi tebal perkerasan beton semen.
2) Tulangan Sambungan
Tulangan sambungan ada dua macam yaitu tulangan sambungan arah
melintang dan arah memanjang. Sambungan melintang merupakan
sambungan untuk mengakomodir kembang susut ke arah memanjang
pelat. Sedangkan tulangan sambungan memanjang merupakan sambungan
untuk mengakomodir gerakan lenting pelat beton.
Gambar 2.3 Sambungan Pada Konstruksi Perkerasan Kaku (Aly, 2004)
Adapun ciri dan fungsi dari masing – masing tulangan sambungan
adalah sebagai berikut:
10
a. Tulangan Sambungan Melintang
Tulangan sambungan melintang disebut juga dowel.
Berfungsi sebagai sliding device dan load transfer device.
Berbentuk polos, bekas potongan rapi dan berukuran besar.
Satu sisi dari tulangan melekat pada pelat beton, sedangkan satu sisi
yang lain tidak lekat pada pelat beton.
Lokasi di tengah tebal pelat dan sejajar dengan sumbu jalan.
b. Tulangan Sambungan Memanjang
Tulangan sambungan memanjang disebut juga Tie Bar.
Berfungsi sebagai unsliding devices dan rotation devices.
Berbentuk deformed / ulir dan berbentuk kecil.
Lekat di kedua sisi pelat beton.
Lokasi di tengah tebal pelat beton dan tegak lurus sumbu jalan.
4. Sambungan atau Joint
Fungsi dari sambungan atau joint adalah mengendalikan atau
mengarahkan retak pelat beton akibat shrinkage (susut) maupun wrapping
(lenting) agar teratur baik bentuk maupun lokasinya sesuai yang kita
kehendaki (sesuai desain). Pada sambungan melintang terdapat dua jenis
sambungan yaitu sambungan susut dan sambungan lenting. Sambungan susut
diadakan dengan cara memasang bekisting melintang dan dowel antara pelat
pengecoran sebelumnya dan pengecoran berikutnya. Sedangkan sambungan
lenting diadakan dengan cara memasang bekisting memanjang dan tie bar.
5. Bound Breaker di atas Subbase
Bound Breaker adalah plastik tipis yang diletakkan di atas subbase agar
tidak terjadi bounding antara subbase dengan pelat beton di atasnya. Selain
itu, permukaan subbase juga tidak boleh di-groove atau di-brush.
6. Alur permukaan atau Grooving/Brushing
Agar permukaan tidak licin pada permukaan beton dibuat alur-alur
(tekstur) melalui pengaluran/penyikatan (grooving/brushing) sebelum beton
disemprot curing compound, sebelum beton ditutupi wet burlap dan sebelum
beton mengeras. Arah alur bisa memanjang maupun melintang.
11
2.5 Perencanaan Perkerasan Kaku
Menurut Aly (2004), untuk dapat memenuhi fungsi perkerasan dalam memikul
beban, maka perkerasan harus:
a. Mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar sampai batas-batas yang
masih mampu dipikul tanah dasar tersebut tanpa menimbulkan perbedaan
lendutan atau penurunan yang dapat merusak perkerasan itu sendiri.
b. Direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga mampu mengatasi
pengaruh kembang susut dan penurunan kekuatan tanah dasar serta
pengaruh cuaca dan kondisi lingkungan.
Dalam perencanaan perkerasan kaku ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan, antara lain:
1. Peranan perkerasan kaku dan intensitas lalu lintas yang akan dilayani.
2. Volume lalu lintas, konfigurasi sumbu dan roda, beban sumbu, ukuran dan
tekanan beban, pertumbuhan lalu lintas, jumlah jalur dan arah lalu lintas.
3. Umur rencana perkerasan kaku ditentukan atas dasar pertimbangan-
pertimbangan peranan perkerasan, pola lalu lintas dan nilai ekonomi
perkerasan serta faktor pengembangan wilayah.
4. Kapasitas perkerasan yang direncanakan harus dipandang sebagai
pembatasan.
5. Daya dukung dan keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi
keawetan dan kekuatan pelat perkerasan.
6. Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen bukan merupakan
bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang
berfungsi sebagai berikut :
- Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.
- Mencegah instrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan tepi-
tepi pelat.
- Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat.
- Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan.
12
2.6 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku
2.6.1 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku Metode Bina Marga 2003
Perencanaan perkerasan kaku dengan metode Bina Marga 2003 (Pd-T-14-
2003) atau Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen merupakan
pedoman perencanaan perkerasan kaku yang dikeluarkan oleh Departemen
Pekerjaan Umum. Pedoman ini merupakan penyempurnaan Petunjuk Perencanaan
Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) tahun 1985 – SKBI 2.3.28.1985. Pedoman ini
diadopsi dari AUSTROADS, Pavement Design, A Guide to the Structural Design of
Pavements (1992). Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode Bina Marga
2003 diuraikan sebagai berikut:
1. Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai
dengan SNI 03-173101989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-
1744-1989, masing-masing untuk perencanaan tebal perkerasan lama dan
perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil
dari 2 %, maka harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari beton kurus
(Lean-Mix Concreate) setebal 15 cm yang dianggap mempunyai nilai CBR
tanah dasar efektif 5%.
2. Pondasi Bawah
Bahan pondasi bawah dapat berupa :
a. Bahan berbutir.
b. Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled
Concrete).
c. Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete).
Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi perkerasan
beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus perihal jenis
dan penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan tegangan
pengembangan yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi dengan
lebar sampai ke tepi luar lebar jalan merupakan salah satu cara untuk
mereduksi perilaku tanah ekspansif.
13
Tebal lapis pondasi pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit
mempunyai mutu sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan AASHTO M-
155 serta SNI 03-1743-1989. Bila direncanakan perkerasan beton semen
bersambung tanpa ruji, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton
kurus (CBK). Tebal lapis pondasi bawah minimum yang disarankan dapat
dilihat pada Gambar 2.4 dan CBR tanah dasar efektif didapat dari Gambar
2.5.
Gambar 2.4 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan beton semen
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)
Gambar 2.5 CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)
14
3. Beton Semen
Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural
strenght) umur 28 hari, yang didapat dari hasil pengujian balok dengan
pembebanan tiga titik (ASTM C-78) yang besarnya secara tipikal sekitar 3-5
MPa (30-50 kg/cm2).
Kuat tarik lentur beton yang diperkuat dengan bahan serat penguat seperti
serat baja, aramit atau serat karbon harus mencapai kuat tarik lentur 5–5,5
MPa (50-55 kg/cm2). Kekuatan rencana harus dinyatakan dengan kuat tarik
lentur karakteristik yang dibulatkan hingga 0,25 MPa (2,5 kg/cm2) terdekat.
Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik-lentur beton
dapat didekati dengan rumus berikut:
fcf = K (fc’)0,50 dalam Mpa atau..............................(1)
fcf = 3,13 K (fc’)0,50 dalam kg/cm2..........................(2)
Dengan pengertian :
fc’ = kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf = kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K = konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 agregat
pecah.
Kuat tarik lentur dapat juga ditentukan dari hasil uji kuat tarik belah
beton yang dilakukan menurut SNI 03-2491-1991 sebagai berikut :
fcf = 1,37.fcs, dalam Mpa atau..............................(3)
fcf = 13,44.fcs, dalam kg/cm2................................(4)
Dengan pengertian :
Fcs = kuat tarik belah beton 28 hari
4. Lalu-lintas
Penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen,
dinyatakan dalam sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai
dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana.
Lalu-lintas harus dianalisa berdasarkan hasil perhitungan volume lalu-
lintas dan konfigurasi sumbu. Jenis kendaraan yang ditinjau untuk
15
perencanaan perkerasan beton semen adalah kendaraan niaga (commercial
vehicle) yang mempunyai berat total minimum 5 ton. Konfigurasi sumbu
untuk perencanaan terdiri dari atas empat jenis kelompok sumbu dapat dilihat
pada Gambar 2.6.
- Sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
- Sumbu tunggal roda ganda (STRG).
- Sumbu tandem roda ganda (STdRG).
- Sumbu tridem roda ganda (STrRG).
Gambar 2.6 Konfigurasi Beban Sumbu (Suryawan, 2009).
16
4.1 Lajur Rencana dan Koefisien Distribusi
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas
jalan raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan
tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi
(C) kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel
2.2.
Tabel 2.2 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien
distribusi kendaraan niaga pada lajur rencana
Lebar Perkerasan Jumlah Lajur Koefisien Distribusi
1 Arah 2 Arah
Lp < 5,50 m 1 lajur 1 1
5,50 m ≤ Lp < 8,25 m 2 lajur 0,7 0,5
8,25 m ≤ Lp < 11,25 m 3 lajur 0,5 0,475
11,25 m ≤ Lp < 15,00 m 4 lajur - 0,45
15,00 m ≤ Lp < 18,75 m 5 lajur - 0,425
18,75 m ≤ Lp < 22,00 m 6 lajur - 0,4
(Sumber: Pd T-14-2003)
4.2 Umur rencana
Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur
rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.
4.3 Pertumbuhan lalu-lintas
Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau
sampai tahap dimana kapasitas jalan dicapai dengan faktor pertumbuhan
lalu-lintas yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
R = (1 + 𝑖)UR − 1/𝑖 .................................................(5)
Dengan pengertian :
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas
i = Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %.
UR = Umur rencana (tahun)
17
Faktor pertumbuhan lalu-lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan
Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Faktor pertumbuhan lalu- lintas (R)
Umur Rencana
(Tahun)
Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
(Sumber: Pd T-14-2003)
4.4 Lalu-lintas rencana
Lalu-lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga
pada lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta
distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu
jenis sumbu secara tipikal dikelompokkan dalam interval 10 kN (1 ton)
bila diambil dari survai beban. Jumlah sumbu kendaraan niaga selama
umur rencana dihitung dengan rumus berikut:
JSKN = JSKN x 365 x R x C ...............................(6)
Dengan pengertian :
JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana .
JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan
dibuka.
R : Faktor pertumbuhan kumulatif yang besarnya tergantung
dari pertumbuhan lalu lintas tahunan dan umur rencana.
C : Koefisien distribusi kendaraan
4.5 Faktor keamanan beban
Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor
keamanan beban (FKB). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan
18
adanya berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti terlihat pada
Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Faktor keamanan beban (FKB)
No. Penggunaan Nilai FKB
1
Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur
banyak, yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume
kendaraan niaga yang tinggi. Bila menggunakan data lalu lintas
dari hasil survey beban (weight-in-motion) dan adanya
kemungkinan route alternatif, maka nilai faktor keamanan
beban dapat dikurangi menjadi 1,15
1,2
2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan
volume kendaraan niaga menengah 1,1
3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah 1,0
(Sumber: Pd T-14-2003)
5. Bahu Jalan
Bahu jalan dapat terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau
tanpa lapisan penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan
kekuatan antara bahu dengan jalur lalu-lintas akan memberikan pengaruh
pada kinerja perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu beton
semen, sehingga akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi
tebal pelat.
Yang dimaksud dengan bahu beton semen dalam pedoman ini adalah
bahu yang dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu-lintas dengan lebar
minimum 1,50 m atau bahu yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar
0.60 m, yang juga dapat mencakup saluran dan kereb.
6. Sambungan
Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
- Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh
penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.
- Memudahkan pelaksanaan.
- Mengakomodasi gerakan pelat.
19
Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan antara
lain:
- Sambungan memanjang
- Sambungan melintang
- Sambungan isolasi
Semua sambungan harus ditutup dengan bahan penutup (joint sealer),
kecuali pada sambungan isolasi terlebih dahulu harus diberi bahan
pengisi (joint filler).
a) Sambungan memanjang dengan batang pengikat (tie bars)
Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk
mengendalikan terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan
memanjang 3 – 4 m. Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan
batang ulir dengan mutu minimum BJTU-24 dan berdiameter 16 mm.
Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
At = 204 x b x h dan
I = (38,3 x ø) +75
Dengan pengertian:
At = Luas penampang tulangan per meter panjang
sambungan (mm2).
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak
sambungan dengan tepi perkerasan (m).
h = Tebal pelat (m).
I = Panjang pengikat batang pengikat (mm).
Ø = Diameter batang pengikat yang dipilih (mm).
Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 75 cm.
Tipikal smbungan memanjang diperlihatkan pada Gambar 2.7.
20
Gambar 2.7 Tipikal sambungan memanjang (Pd T-14-2003).
b) Sambungan susut melintang
Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal
pelat (1/4 H) untuk perkerasan dengan lapis pondasi berbutir atau
sepertiga dari tebal pelat (1/3 H) untuk lapis pondasi stabilisasi semen
sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9.
Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton
bersambung tanpa tulangan sekitar 4 - 5 m, sedangkan untuk perkerasan
beton bersambung dengan tulangan 8 – 15 m dan untuk sambungan
perkerasan beton menerus dengan tulangan sesuai dengan kemampuan
pelaksanaan.
Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji polos panjang 45 cm,
jarak antara ruji 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan
mempengaruhi gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut.
Setengah panjang ruji polos harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti
lengket untuk menjamin tidak ada ikatan dengan beton. Diameter ruji
tergantung pada tebal pelat beton sebagaimana terlihat pada Tabel 2.5.
21
Gambar 2.8 Sambungan susut melintang tanpa ruji (Pd T-14-2003).
Gambar 2.9 Sambungan susut melintang dengan ruji (Pd T-14-2003).
Tabel 2.5 Diameter Ruji Bina Marga 2003
Tebal Plat
Perkerasan
Dowel
Diameter Panjang Jarak
Inch Mm Inch Mm inch Mm Inch Mm
6 150 ¾ 19 18 450 12 300
7 175 1 25 18 450 12 300
8 200 1 25 18 450 12 300
9 225 1 ¼ 32 18 450 12 300
10 250 1 ¼ 32 18 450 12 300
11 275 1 ¼ 32 18 450 12 300
12 300 1 ½ 38 18 450 12 300
13 325 1 ½ 38 18 450 12 300
14 350 1 ½ 38 18 450 12 300
(Sumber: Principles of Pavement Design by Yoder and Witczak, 1975)
22
7. Prosedur Perencanaan Perkerasan Kaku
Prosedur perencanaan perkerasan kaku didasarkan atas dua model
kerusakan yaitu:
a. Retak fatik (lelah) tarik lentur pada pelat.
b. Erosi pada pondasi bawah atau tanah dasar yang diakibatkan oleh
lendutan berulang pada sambungan dan tempat retak yang
direncanakan.
Prosedur ini mempertimbangkan ada tidaknya ruji pada sambungan atau
bahu beton. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan dianggap
sebagai perkerasan bersambung yang dipasang ruji. Data lalu lintas yang
diperlukan adalah jenis sumbu dan distribusi beban serta jumlah repetisi
masing-masing jenis sumbu atau kombinasi beban yang diperkirakan
selama umur rencana.
Tebal pelat taksiran dipilih dan total fatik serta kerusakan erosi dihitung
berdasarkan komposisi lalu lintas selama umur rencana. Jika kerusakan fatik
atau erosi lebih dari 100% , maka tebal taksiran dinaikkan dan proses
perencanaan diulangi. Tebal rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil
yang mempunyai total fatik dan atau total kerusakan erosi lebih kecil atau
sama dengan 100%.
2.6.2 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku Metode American Association of
State Highway Transportation Officials atau AASHTO 1993
AASHTO (American Association of State Highway and Transportation
Officials) Guide For Design of Pavement Structures 1993 atau yang lebih dikenal
dengan istilah AASHTO 1993. AASHTO 1993 merupakan salah satu metode
perencanaan perkerasan kaku yang umum digunakan.
Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode AASHTO 1993 terdiri dari:
- Analisa lalu lintas: mencakup umur rencana, lalu-lintas rata-rata,
pertumbuhan lalu lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent
single axle load
- Terminal serviceability index
23
- Initial serviceability
- Reability
- Standar normal deviasi
- Standar deviasi
- CBR dan Modulus Reaksi tanah dasar
- Modulus elastisitas beton, fungsi dan kuat tekan beton
- Flexural strength
- Drainage coefficient
- Load transfer coefficient
1. Analisa Lalu-lintas (Traffic Design)
a. Umur rencana
Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur
rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun (Pd T-14-2003).
b. Vehicle Damage Factor (VDF)
Vehicle Damage Factor atau faktor daya rusak kendaraan adalah
perbandingan antara daya rusak oleh muatan sumbu suatu kendaraan
terhadap daya rusak oleh beban sumbu standar. Penentuan besarnya
nilai VDF ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
VDF = (𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑚𝑏𝑢 𝐾𝑒𝑛𝑑𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛, 𝑘𝑔
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟)
4
Dimana:
Beban Sumbu Standar merupakan beban sumbu kendaraan
berdasarkan konfigurasi dan jenis sumbu.
Ketentuan Beban Sumbu Standar yang dengan ketentuan sebagai
berikut:
- Sumbu Tunggal Roda Tunggal: 5.400 kg
- Sumbu Tunggal Roda Ganda: 8.200 kg
- Sumbu Tandem Roda Ganda: 13.600 kg
- Sumbu Tripel Roda Ganda: 18.100 kg
24
Data dan parameter lalu lintas lain yang digunakan untuk perencanaan
tebal perkerasan kaku meliputi :
1) Jenis kendaraan
2) Volume lalu lintas harian rata-rata
3) Pertumbuhan lalu lintas tahunan
4) Faktor distribusi arah (DA)
5) Faktor distribusi lajur (DL)
6) Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur rencana
(traffic design)
Menurut AASHTO 1993, Faktor Distribusi Arah, DA = 0,3 – 0,7
umumnya diambil nilai 0,5. Sedangkan untuk Faktor Distribusi Lajur
(DL), mengacu pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Faktor Distribusi Lajur
Jumlah Lajur Tiap Arah DL (%)
1 100
2 80-100
3 60-80
4 50-75
(Sumber : AASHTO 1993)
Perhitungan lalu-lintas berdasarkan nilai ESAL (Equivalent Single
Axle Load) selama umur rencana (traffic design) menggunakan rumus
sebagai berikut:
Rumus umum :
W18 = ∑ LHRj
Nn
N1
× VDFj × DD × DL × 365
Dimana :
W18 = Traffic design pada lajur lalu-lintas, ESAL
LHRj = Jumlah lalu-lintas harian rata-rata dua arah untuk jenis
kendaraan j.
25
VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j.
DD = Faktor distribusi arah.
DL = Faktor distribusi lajur.
N1 = Lalu-lintas pada tahun pertama jalan dibuka.
Nn = Lalu-lintas pada akhir umur rencana.
2. Tanah Dasar
Dalam perencanaan perkerasan kaku CBR (California Bearing Ratio)
digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar (k).
CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6% untuk
lapis tanah dasar, mengacu pada spesifikasi (versi Departemen Pekerjaan
Umum 2005 dan versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta 2004). Akan
tetapi tanah dasar dengan nilai CBR 5% dan atau 4% pun dapat digunakan
setelah melalui geoteknik, dengan CBR kurang 6% ini jika digunakan
sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan.
3. Material Konstruksi Perkerasan
Material perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait
dalam perencanaan tebal perkerasan sebagai berikut :
1. Pelat beton
Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2
Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : Fc’ = 350 kg/cm2
(disarankan)
2. Wet lean concrete
Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : Fc’ = 105 kg/cm2
Sc’ digunakan untuk penentuan Flexural strength, Fc digunakan untuk
penentuan parameter modulus elastisitas beton (Ec).
26
4. Reliability
Reliability adalah probabilitas bahwa perkerasan yang direncanakan akan
tetap memuaskan selama masa layannya. Penetapan angka reliability dari
50% sampai 99,99% menurut AASHTO merupakan tingkat kehandalan
desain untuk mengatasi, mengakomodasi kemungkinan melesetnya
besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability yang
dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi kemungkinan terjadinya selisih
(deviasi) desain. Besaran-besaran desain yang terkait dengan ini antara lain:
Peramalan kinerja perkerasan
Peramalan lalu-lintas.
Perkiraan tekanan gandar.
Pelaksanaan konstruksi.
Mengkaji keempat faktor di atas, penetapan besaran dalam desain
sebetulnya sudah menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan
terjadi. Tetapi tidak ada satu jaminan-pun berapa besar dari keempat faktor
tersebut menyimpang. Penetapan Reliability mengacu pada Tabel 2.7
Standar normal deviasi (ZR) mengacu pada Tabel 2.8. Sedangkan standar
deviation rigid pavement : So = 0,30 – 0,40.
Tabel 2.7 Reliability (R) disarankan
Klasifikasi Jalan Reliability (R)
Urban Rural
Jalan tol 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 – 80
(Sumber: AASHTO 1993)
27
Tabel 2.8 Standar normal deviation (ZR)
R (%) ZR R (%) ZR
50 0,000 93 1,476
60 0,253 94 1,555
70 0,524 95 1,645
75 0,674 96 1,751
80 0,841 97 1,881
85 1,037 98 2,054
90 1,282 99 2,327
91 1,340 99,9 3,090
92 1,405 99,99 3,750
(Sumber: AASHTO 1993)
Penetapan konsep Reliablity dan Standar Deviasi :
Parameter reliability dapat ditentukan sebagai berikut :
Berdasarkan parameter klasifikasi fungsi jalan
Berdasarkan status lokasi jalan urban / rural
Penetapan tingkat reliability (R)
Penetapan standar normal deviation (ZR)
Penetapan standar deviasi (So)
Kehandalan data lalu-lintas dan beban kendaraan.
5. Serviceability
Terminal serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 2.9 dan Initial
serviceability untuk rigid pavement : (po) = 4,5 (AASHTO,1993).
Tabel 2.9 Terminal Serviceability Index
Presentasi Publik Tidak
Menerima Pt
12 3,0
55 2,5
85 2,0
(Sumber : AASHTO 1993)
28
Penetapan parameter Serviceability :
Initial Serviceability : po = 4,5
Terminal Serviceability index : pt = 2,5
jalur utama (major highways)
Terminal Serviceability index : pt = 2,0
jalan lalu-lintas rendah
Total Loss of Serviceability : ∆PSI = po – pt
6. Modulus Reaksi Tanah Dasar
Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan
grafik penentuan modulus reaksi tanah dasar berdasarkan ketentuan CBR
tanah dasar. Setelah didapatkan nilai CBR rata-rata, maka Modulus of
Subgrade reaction ( k ) dapat dihitung dengan rumus :
4,19
RMk
MR = 1.500 x CBR
dimana:
MR = Resilient Modulus
Faktor loss of Support (LS) mengacu pada Tabel 2.10 (AASHTO 1993)
Tabel 2.10 Faktor Loss of Support
No. Tipe Material LS
1. Cement Trated Granular Base (E = 1.000.000 - 2.000.000 psi) 0 - 1
2. Cement Aggregate Mixture (E = 500.000 - 1.000.000 psi) 0 - 1
3. Asphalt Treated Base (E = 350.000 - 1.000.000 psi) 0 - 1
4. Bituminous Stabilized Mixtures (E = 40.000 - 300.000 psi) 0 - 1
5. Lime Stabilized (E = 20.000 - 70.000 psi) 1 -3
6. Unbound Granular Material (E = 15.000 - 45.000 psi) 1 -3
7. Fine Grained/Natural Subgrade Materials (E = 3.000 - 40.000 psi) 2 -3
(Sumber : AASHTO 1993)
29
7. Modulus Elastisitas Beton
Modulus elastisitas beton adalah perbandingan antara tegangan dan
regangan beton. Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti.
Nilainya bervariasi tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis
pembebanan, dan karakteristik dan perbandingan semen dan agregat. Pada
perkerasan kaku rumus yang digunakan untuk mendapatkan modulus
elastisitas beton yaitu :
EC = 57.000 √𝑓𝑐′
Dimana:
EC = Modulus elastisitas beton (psi)
fc’ = Kuat tekan beton, silinder (psi)
8. Flexural Strength
Flexural Strength (modulus of rupture) ditetapkan sesuai spesifikasi
pekerjaan. Flexural Strength di Indonesia saat ini umumnya digunakan Sc’
= 45 kg/cm2 atau sama dengan 640 psi.
9. Koefisien Drainase (Drainage Coefficient)
AASHTO memberikan 2 varibel untuk menentukan nilai koefisien
drainase:
Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good,
fair, poor, very poor. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air
dapat dibebaskan dari pondasi perkerasan. Penetapan variabel
pertama mengacu pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Quality of drainage
Kualitas Drainase Tingkat Penyerapan Air
Excelent 2 jam
Good 1 hari
Fair 1 minggu
Poor 1 bulan
Very poor Air tidak terbebaskan
(Sumber: AASHTO 1993)
30
Variabel kedua : persentasi struktur perkerasan dalam satu tahun
terkena air sampai tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan
variasi < 1 %, 1 – 5 %, 5 – 25 %, > 25 %. Untuk mendapatkan nilai
variabel kedua dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
Pheff = Tjam
24×
Thari
365 × WL × 100
Dimana :
Pheff = Presentase hari efektif hujan dalam setahun ( %).
Tjam = Rata-rata hujan per hari (jam).
Thari = Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari).
WL = Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%).
Selanjutnya koefisien drainase mengacu pada Tabel 2.12 dibawah
ini:
Tabel 2.12 Koefisien drainase
Percent of time pavement structure is exposed to moisture levels
approaching saturation
Quality of drainage < 1% 1 - 5% 5 - 25% > 25%
Excelent 1,25 - 1,20 1,20 - 1,15 1,15 - 1,10 1,10
Good 1,20 - 1,15 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1,00
Fair 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,90
Poor 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,90 - 0,80 0,80
Very poor 1,00 - 0,90 0,90 - 0,80 0,80 - 0,70 0,70
(Sumber: AASHTO 1993)
Penetapan parameter koefisien drainase :
Bedasarkan kualitas drainase
Kondisi time pavement structure dalam setahun.
10. Koefisien Penyaluran Beban (Load Transfer Coefficient)
Koefisien Penyaluran Beban (Load transfer coefficient) (J) dapat
ditentukan menggunakan Tabel 2.13 yang mengacu pada AASHTO 1993.
31
Tabel 2.13 Koefisien Penyaluran Beban
Bahu Aspal Tied PCC
Penyaluran beban Ya Tidak Ya Tidak
Jenis perkerasan
Beton bersambung tak
bertulang dan bertulang 3,2 3,8 - 4,4 2,5 - 3,1 3,6 - 4,2
CRCP 2,9 - 3,2 N/A 2,3 - 2,9 N/A
(Sumber: AASHTO 1993)
Pendekatan penetapan paramater load transfer :
Joint dengan dowel : J = 2,5 – 3,1
Untuk Overlay design : J = 2,2 – 2,6
11. Perhitungan Tebal Perkerasan
Dalam perencanaan tebal perkerasan beton, perlu dipilih kombinasi
yang paling optimum atau ekonomis dari tebal pelat beton dan lapis
pondasi bawah. Penentuan tebal perkerasan beton dapat ditentukan
dengan persamaan:
25,0
75,0
75,0'
10
46,8
7
10
101810
:
42,1863,215
132,1 .log.32,022,4
)1(
10624,11
5,15,4log
06,0)1(log 35,7.log
kEDJ
DCSp
D
PSI
DSZW
c
dctoR
Dimana :
W18 = Lalu-lintas rencana, traffic design (ESAL)
ZR = Standar normal deviasi.
S0 = Standar deviasi.
D = Tebal pelat beton (inches).
∆PSI = Serviceability loss PSI = Po –Pt
Po = Initial serviceability.
Pt = Terminal serviceability index.
Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi).
Cd = Drainage Coefficient.
J = Load Transfer coefficient.
Ec = Modulus elastisitas (psi).
k = Modulus reaksi tanah dasar (pci).
32
12. Dowel dan Tie bar
a. Dowel
Dowel merupakan batang baja tulangan polos (maupun profil), yang
digunakan sebagai sarana penyambung atau pengikat pada beberapa jenis
sambungan pelat beton perkerasan jalan. Dowel berfungsi sebagai
penyalur beban pada sambungan, yang dipasang dengan separuh panjang
terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk memberikan
kebebasan bergeser. Untuk menentukan diameter, panjang dan jarak
pemasangan dowel dapat digunakan Tabel 2.14. Sedangkan untuk
menentukan dowel dapat juga ditentukan menggunakan persamaan seperti
berikut :
d = 𝐷
8
Dimana :
d = diameter dowel/ ruji
D = Tebal pelat beton
Tabel 2.14 Ketentuan Dimensi dan Jarak Pemasangan Dowel
Tebal
Perkerasan
(in)
Diameter
Dowel (in)
Panjang
Dowel
(in)
Jarak Dowel (in)
6 ¾ 18 12
7 1 18 12
8 1 18 12
9 1 ¼ 18 12
10 1 ¼ 18 12
11 1 ¼ 18 12
12 1 ¼ 18 12
(Sumber : AASHTO 1993)
33
b. Tie bar
Batang Pengikat (Tie bar) adalah potongan baja profil yang dipasang
pada lidah alur dengan maksud untuk mengikat pelat agar tidak
bergerak horizontal. Batang pengikat dipasang pada sambungan
memanjang. Cara perhitungan tie bar menggunakan Tabel 2.15
berikut:
Tabel 2.15 Ketentuan Dimensi dan Jarak Pemasangan Tie Bar
Jenis
dan
mutu
baja
Tegangan
kerja
(psi)
Tebal
Perkerasan
(in)
Diameter batang ½ in
Panjang
(in)
Jarak maximum (in)
Lebar
lajur
10 ft
Lebar
lajur
11 ft
Lebar
lajur
12 ft
Grade
40 30.000
6 25 48 48 48
7 25 48 48 48
8 25 48 44 40
9 25 48 40 38
10 25 48 38 32
11 25 35 32 29
12 25 32 29 26
(Sumber : AASHTO 1993)
2.7 Rencana Anggaran Biaya
Menurut Istimawan (1996), anggaran merupakan suatu bentuk perencanaan
penggunaan dana untuk melaksanakan pekerjaan dalam kurun waktu tertentu,
dibuat dalam bentuk uang, jam, tenaga kerja atau dalam suatu lain. Penyusunan
konstruksi bangunan pada dasarnya selalu disertai dengan Rencana Anggaran Biaya
(RAB). Membuat anggaran biaya berarti memperkirakan suatu barang bangunan
atau benda yang akan dibuat dengan teliti.
Pihak owner membuat perhitungan atau estimasi dengan tujuan untuk
mendapatkan informasi sejelas-jelasnya tentang biaya yang harus disediakan untuk
merealisasikan poyeknya. Hasil estimasi disebut dengan OE (Owner Estimate) dan
hasil estimate yang dilakukan oleh konsultan perencana disebut EE (Engineer
Estimate).
34
Pihak kontraktor membuat estimate dengan tujuan untuk kegiatan penawaran
terhadap proyek konstruksi pada saat pelelangan atau tender. Formula dasar
perhitungan rencana anggaran biaya adalah sebagai berikut:
RAB = Σ (volume x Harga Satuan Pekerjaan)
2.7.1 Komponen Rencana Anggaran Biaya
Sebelum menghitung atau merencanakan anggaran biaya dari suatu proyek
terlebih dahulu harus melakukan perhitungan pada komponen-komponen yang
terdapat pada rencana anggaran biaya yang meliputi:
a. Volume Pekerjaan
Kuantitas pekerjaan dapat ditentukan melalui pengukuran pada obyek
dalam gambar (dengan memperhatikan skala) maupun langsung pada obyek
sesungguhnya di lapangan, maka digunakan metode luas penampang rata-
rata dengan menganggap sisi-sisi dari bidang ruang diukur berbentuk garis
lurus. Satuan merupakan lambang yang menyatakan besaran yang diukur,
cara pengukuran, dan ciri-ciri obyek yang diukur. Satuan angka pengukuran
tanpa disertai oleh satuan pengukuran, tidak mempunyai makna, jadi volume
setiap pekerjaan yang dihitung harus mempunyai satuan yang jelas karena
akan berpengaruh pada perhitungan biaya pelaksanaan.
Volume pekerjaan yang dihitung akan sangat berpengaruh terhadap
besarnya biaya yang akan digunakan untuk menyelesaikan volume dari item
tersebut. Satuan yang umumnya digunakan untuk menghitung kuantitas
pekerjaan konstruksi dapat dilihat pada Tabel 2.16.
Tabel 2.16 Satuan
No. Pengukuran Satuan Simbol
1 Panjang Meter M
2 Luas Meter-persegi m2
3 Isi padat Meter-kubik m3
4 Isi cair Liter Liter
5 Berat Kilogram, Ton Kg, ton
6 Waktu Jam, hari Jam, hari
(Sumber: Istimawan, 1996)
35
b. Analisa Harga Satuan Dasar (HSD)
Komponen untuk menyusun harga satuan pekerjaan (HSP) memerlukan
HSD tenaga kerja, HSD alat, dan HSD bahan. Berikut ini diberikan langkah-
langkah perhitungan HSD komponen HSP (Kementrian Pekerjaan Umum).
1) Harga Satuan Tenaga Kerja
Untuk menghitung harga satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan
dahulu bahan rujukan harga standar untuk upah sebagai HSD tenaga kerja.
Langkah perhitungan HSD tenaga kerja adalah sebagai berikut:
a) Tentukan jenis keterampilan tenaga kerja, misal pekerja (P),
tukang (Tx), mandor (M), atau kepala tukang (KaT).
b) Kumpulkan data upah yang sesuai dengan peraturan daerah
(Gubernur, Walikota, Bupati) setempat, data upah hasil survai di
lokasi yang berdekatan dan berlaku untuk daerah tempat lokasi
pekerjaan akan dilakukan.
c) Perhitungkan tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah
dengan memperhtiungkan biaya makan, menginap dan transport.
d) Tentukan jumlah hari efektif bekerja selama satu bulan (24 - 26
hari), dan jumlah jam efektif dalam satu hari (7 jam).
e) Hitung biaya upah masing-masing per jam per orang.
f) Rata-ratakan seluruh biaya upah per jam sebagai upah rata-rata
per jam.
g) Nilai rata-rata biaya upah minimum harus setara dengan Upah
Minimum Regional (UMR) daerah setempat (Kementrian
Pekerjaan Umum).
2) Harga Satuan Alat
Analisis HSD alat memerlukan data upah operator atau sopir,
spesifikasi alat meliputi tenaga mesin, kapasitas kerja alat (m3), umur
ekonomis alat, jam kerja dalam satu tahun dan harga alat. Faktor lainnya
adalah komponen investasi alat meliputi suku bunga bank, asuransi alat,
36
faktor alat yang spesifik seperti bucket untuk excavator, harga perolehan
alat, dan loader dan lain-lain (Kementrian Pekerjaan Umum).
Penggunaan peralatan pada proyek-proyek konstruksi disamping
adanya tuntutan spesifikasi proyek dan teknologi konstruksi, juga dapat
memberikan nilai tambah pada pelaksanaan proyek yang menyangkut
mutu pelaksanaan.
Biaya alat dapat dibedakan atas beberapa bagian, yaitu:
Biaya alat : segala macam biaya yang dibutuhkan untuk
pengoprasian alat.
Biaya tetap : biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan
status kepemilikan alat, biaya ini tetap ada walaupun alat ini tidak
beroperasi dan besarnya tetapi tidak mengalami perubahan jika
alat tersebut beroperasi.
Biaya operasi (biaya variabel) : biaya yang dikeluarkan
sehubungan dengan beroperasinya alat tersebut.
Biaya produksi : biaya penggunaan alat untuk memindahkan
material atau melakukan pekerjaan sebanyak satu satuan.
3) Harga Satuan Bahan
Analisis HSD bahan memerlukan data harga bahan baku, serta biaya
transportasi dan biaya produksi bahan baku menjadi bahan olahan atau
bahan jadi. Produksi bahan memerlukan alat yang mungkin lebih dari satu
alat. Setiap alat dihitung kapasitas produksinya dalam satuan pengukuran
per jam, dengan cara memasukkan data kapasitas alat, faktor efisiensi alat,
faktor lain dan waktu siklus masing-masing. Perhitungan HSD bahan yang
diambil dari quarry dapat menjadi dua macam, yaitu berupa bahan baku
(batu kali/gunung, pasir sungai/gunung dll), dan berupa bahan olahan
(misalnya agregat kasar dab halus hasil produksi mesin pemecah batu dan
lain sebagainya) (Kementrian Pekerjaan Umum).