Post on 21-Mar-2022
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan konsep dasar yang melandasi penelitian yang dilakukan
tentang efektifitas relaksasi Benson terhadap penurunan skala nyeri dada pada pasien
sindrom koroner akut di ruang Intermediate Medikal Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta tahun 2018.
2.1. Konsep Sindrom Koroner Akut
2.1.1. Pengertian sindrom koroner akut.
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan penyakit yang menyerang
pembuluh darah koroner, dimana terbentuk oklusi pada pembuluh darah koroner
sehingga membuat otot jantung kekurangan suplai oksigen (iskemia) dan dapat
mengakibatkan nekrosis jaringan pada otot jantung (AHA, 2015).
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi patologis arteri koroner yang
ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan
fibrosa di dinding pembuluh darah (Brunner dan Suddarth, 2010).
SKA adalah spektrum kondisi klinis yang menyebabkan ketidaknyamanan atau
gejala lain yang disebabkan ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen
dengan kebutuhannya ( Black& Hawks,2008 ).
11
Berdasarkan ketiga pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa SKA merupakan
kondisi patologis pada arteri koroner yang disebabkan penimbunan lipid dan jaringan
fibrosa yang abnormal yang dapat menganggu proses transportasi bahan - bahan energi
tubuh sehingga mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan suplai oksigen dan nutrisi ke
jaringan otot jantung.
2.1.2. Patofisiologi sindrom koroner akut.
Sindrom koroner akut terjadi dengan diawali munculnya penyakit arteri koroner yang
didefinisikan sebagai penyakit yang menyerang dinding pembuluh darah arteri sehingga
terjadi kerusakan.Terdapat dua jenis kerusakan dinding arteri, yaitu arteriosklerosis dan
aterosklerosis (Woods, 2008). Arteriosklerosis didefinisikan sebagai “pengerasan
arteri”, yang terdiri dari 2 penyebab yaitu:
1. Kalsifikasi medical sklerosis ditandai dengan adanya penumpukan kalsium pada
lapisan media arteri yang berukuran sedang.
2. Arteriolar sklerosis, kondisi dimana adanya penebalan dinding hingga mendekati
lumen atau arteri kecil/arteriol, dan sering kali dihubungkan dengan hipertensi.
Aterosklerosis adalah penyakit degeneratif progresif pada arteri yang menyebabkan
oklusi atau sumbatan secara bertahap pembuluh sehingga mengurangi aliran darah yang
melaluinya (Sherwood, 2012). Aterosklerosis terbentuk karena adanya ateroma (
pembengkakan sel-sel otot polos/tumor jinak sel otot polos ) dan sklerosis (
pertumbuhan berlebihan jaringan ikat fibrosa ). Aterosklerosis ditandai oleh plak-plak
yang terbentuk di bawah lapisan dalam ( media ) pembuluh darah arteri. Plak
arterosklerosis bersifat tidak stabil dan dapat terjadi ruptur. Kejadian ruptur ini
dianggap penyebab terpenting terjadinya sindrom koroner akut, sehingga tiba-tiba
12
terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai
penyempitan yang minimal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan
agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus
menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark pada jaringan otot jantung,
sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang
berat akan terjadi nyeri dada atau serangan jantung (Trisnohadi, 2009).
Terjadinya vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah juga mempunyai peran
penting pada SKA.Vasokonstriksi disebabkan oleh disfungsi endotel dan bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh platelet yang berperan dalam perubahan tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak
stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus (Trisnohadi, 2006).
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel, adanya perubahan
bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan nyeri dada akibat iskemia (Trisnohadi, 2009).
2.1.3. Manifestasi klinik Sindrom koroner akut.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal ( angina
tipikal ) atau atipikal ( angina ekuivalen ). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan
berat pada daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau
persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop (PERKI,2015).
13
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau
usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini
patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama
pada pasien dengan riwayat serangan jantung.
2.1.4. Faktor-faktor resiko sindrom koroner akut.
Faktor resiko pada sindrom koroner akut terbagi dua yaitu faktor yang tidak dapat
diubah (irreversible) dan faktor yang dapat diubah (reversible). Faktor resiko yang
tidak dapat diubah terdiri dari usia, jenis kelaminn, suku bangsa, riwayat penyakit
jantung keluarga. Faktor resiko yang dapat diubah meliputi hipertensi, dislipidemia,
diabetes mellitus, merokok, dan usia (Little & Merryl, 2010).
1. Hipertensi
Hipertens sistemik menyebabkan meningkatnya after load yang secara tidak
langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu
hipertrofi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after load yang pada
akhirnya meningkatan kebutuhan oksigen jantung.
2. Dislipidemia
Tahap awal aterosklerosis ditandai dengan akumulasi lipoprotein berdensitas rendah
(low-density lipoprotein/LDL).Kolesterol ini berikatan dengan suatu protein
pembawa di bawah endotel. Seiring dengan menumpuknya endotel ini di dalam
dinding pembuluh darah, maka kolesterol ini kemudian akan teroksidasi, terutama
oleh zat-zat sisa oksidatif yang dihasilkan oleh zat pembuluh darah. Respon tubuh
terhadap keberadaan LDL yang teroksidasi ini, sel-sel endotel menghasilkan bahan-
14
bahan kimia yang menarik monosit ke lokasi peradangan. Sel-sel imun inilah yang
kemudian menimbulkan respon peradangan lokal pada vaskular.
3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus merupakan faktor resiko mayor untuk penyakit jantung iskemik
pada pria maupun wanita. Kelainan metabolisme seperti hiperglikemia dan resistensi
menyebabkan kerusakan pada endotel pembuluh darah. Tingginya radikal bebas
yang terbentuk dari asam lemak bebas, peningkatan AGE (Advance Glycation End
products), aktivasi protein kinase C, menurunnya ketersediaan NO serta
meningkatnya aktivasi berbagai faktor inflamasi akan menimbulkan kerusakan
endotel lebih jauh. Pada penderita DM, terjadi peningkatan kadar fibrinogen,
menurunnya aktivitas fibrinolisis, serta peningkatan tissue faktor dan
thrombogenicity, terutama pada individu dengan DM yang tidak terkontrol.
4. Merokok
Komponen yang terdapat dalam sebatang rokok seperti nikotin dapat menghambat
atau menurunkan ketersediaan nitric oxide (NO) sebagai vasilator fisiologis pada
pembuluh darah sehingga meningkatkan resiko terjadi aterosklerosis pada vaskuler.
Selain itu, respon inflamasi vaskuler terhadap kandungan asap rokok menjadi
pemicu terbentuknya plak aterosklerosis. Rokok juga dihubungkan dengan
peningkatan serum kolesterol, trigliserida, dan level LDL, akan tetapi menurunkan
HDL. Selain itu, asap rokok juga mencetuskan efek protrombotik, yang
mengakibatkan kerusakan fungsi platelet, antitrombotik/faktor protrombotik, dan
faktor fibrinolisis.
15
5. Usia
Seiring pertambahan usia, terjadi perubahan yang pada pembuluh darah manusia.
Terjadinya fenotipe sel endotel dan sel otot polos, endapan kolagen, dan penebalan
dinding vaskuler mengakibatkan perubahan struktural dinding pembuluh darah
menjadi kaku sehingga membuat resistensi vaskuler meningkat. Hal ini menjadi
pemicu meningkatnya tekanan darah pada lansia, sehigga akan berdampak kepada
resiko terjadinya sindrom koroner akut.
2.1.5. Klasifikasi sindrom koroner akut.
SKA dapat diklasifikasikan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung. Klasifikasi sindrom
koroner akut dapat dibagi menjadi sebagai berikut (PERKI,2015):
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury
vascular.Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.
Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak
stabil. Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
16
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua
sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark
miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang
lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan
biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi
Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna.
2.1.6. Penatalaksanaan sindrom koroner akut.
Pengobatan pada sindrom koroner akut tergantung dari jangkauan penyakit dan gejala
yang dialami oleh pasien, diantaranya adalah sebagai berikut (PERKI, 2015):
1. Terapi Farmakologi
Berdasarkan Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut oleh Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015), penanganan awal atau gawat
darurat pada pasien dengan keluhan angina, sebelum didapatkan hasil pemeriksaan
EKG dan/atau marka jantung, yaitu MONA (Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin).
Adapun tahapan tatalaksana pasien dengan SKA antara lain tirah baring dan
pemberian oksigenasi bagi semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa
17
mempertimbangkan saturasi O2. Setelah itu, memberikan aspirin 160-320 mg
segera pada semua pasien yang tidak diketahui toleransinya terhadap aspirin, dapat
dilanjutkan dosis maintanance 80mg/hari. Pasien juga diberi penghambat reseptor
ADP (adenosinediphosphate) dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan
dengan dosis maintenance 75 mg/hari, pada pasien yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik. Selain itu, nitrogliserin (NTG) spray/tablet
sublingual juga diberikan sesaat setelah serangan nyeri muncul jika setelah
pemberian pertama nyeri tidak berkurang, maka dapat diulang setiap lima menit
selama maksimal tiga kali pemberian. Pertimbangan pemberian nitrogliserin melalui
intravena juga dapat dipertimbangkan, jika pasien tidak responsif terhadap
pemberian NTG sublingual sebanyak tiga kali. Tahap akhir yaitu morfin sulfat 1-5
mg intravena, dapat diulang 10-30 menit,bagi pasien yang tidak responsif dengan
terapi tiga dosis NTG sublingual.
Penatalaksanaan SKA dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk
mengurangi kebutuhan oksigen pada otot jantung (misalnya: nitrogliserin, beta
blocker, digitalis, diuretik, vasodilator, sedatif, kalsium antagonis) dan
meningkatkan suplai oksigen ke otot-otot jantung (pemberian oksigen, nitrogliserin,
obat-obatan fibrinolitik dan vasopresor) (PERKI, 2015)
2. Reperfusi Koroner
Penatalaksaan ini dilakukan dengan tindakan yang bertujuan untuk membuka atau
melebarkan arteri koroner yang mengalami penyempitan dengan atau tanpa
pemasangan stent agar aliran darah dapat kembali menuju otot jantung (Hamm,
2011).
18
a. PCI (Percutaneous Coronary Intervention)
PCI adalah prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan kateter untuk
melebarkan atau membuka pembuluh koroner yang menyempit dengan balon atau
stent.Stent arteri koroner berupa perangkat berbentuk kawat tabung jala kecil yang
digunakan untuk melebarkan arteri yang sempit atau lemah.Sebuah stent
ditempatkan di arteri koroner yang mensuplai darah ke jantung, untuk menjaga
arteri terbuka dalam pengobatan SKA.Tanpa stent sekitar 30-40% pasien
mengalami kekambuhan kembali akibat restenosis (Sudoyo, 2010).
Tindakan PCI diindikasikan pada STEMI akut onset <12 jam disebut PCI primer
(Primary PCI). PPCI menghasilkan patensi arteri dan aliran yang lebih tinggi,
menurunkan angka iskemia dan infark berulang, menurunkan prosedur
revaskulerisasi berulang, serta menurunkan perdarahan intra kranial dan
menurunkan angka kematian (Hamm, 2011).
b. Terapi fibrinolitik atau trombolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama untuk kondisi
dimana PPCI tidak dapat dilakukan pada pasien STEMI sesuai kondisi yang
direkomendasikan.Tujuan terapi fibrinolitik adalah untuk mendapatkan patensi
awal, memperluas area penyelamatan miokardium, mempertahankan fungsi
ventrikel kiri dan menurunkan mortalitas.Penurunan mortalitas dapat dicapai
secara dramatis jika terapi dicapai dalam jam pertama (golden first hour) (Hamm,
2011).
Berbagai agen trombolitik mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membentuk
plasmin yang melisiskan bekuan. Salah satu jenis trombolitik yang tersedia adalah
19
aktivator plasminogen yang bekerja dengan menghidrolisis plasminogen inaktif
menjadi plasmin aktif. Plasmin ini bekerja dalam degradasi fibrin. Generasi
pertama agen trombolitik yang tidak bersifat selektif terhadap fibrin antara lain
streptokinase (SK), urokinase (UK), dan APSAC (Anisoylated Plasminogen
Streptokinase Activator Complex). Generasi kedua dan berikutnya bersifat selektif
terhadap fibrin antara lain t-PA (tissue Plasminogen Activator), scu-PA,
staphylokinase, dan TNK t-PA (AHA, 2015).
3. Intervensi Bedah
Tindakan bedah yang dilakukan pada pasien Coronary Artery Disease (CAD)
adalah dengan melakukan Coronary Artery Bypass Graft (CABG). CABG adalah
teknik yang menggunakan pembuluh darah bagian tubuh yang lain untuk
memintas arteri yang menghalangi pemasokkan darah ke jantung. CABG
bertujuan untuk membuat rute dan saluran baru pada arteri yang terbendung
sehingga oksigen dan nutrisi dapat mencapai otot jantung (Huon Gray et all,
2011).
2.2. Konsep Nyeri
2.2.1. Pengertian nyeri.
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat.
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman
20
perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Sedangkan
menurut Engel (2010) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan
yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang
diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa
yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya
mengatakan bahwa rasa itu ada.
Berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah keadaan
yang tidak menyenangkan dan dapat menyebabkan perubahan terhadap fungsi tubuh.
2.2.2. Faktor yang mempengaruhi nyeri.
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman
seseorang terhadap nyeri. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi nyeri, yaitu :
a. Usia
Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani.
b. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Bagi beberapa
orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri
berkepanjangan atau kronis dan persisten.
21
Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit
ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan
baik (Smeltzer & Bare, 2013).
c. Keluarga dan suport sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari
orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung
pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran
keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah.
Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam
menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2013).
d. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah
hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus pasienkehilangan kontrol dan
tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Seorang pasien
mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman.
Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian. Kepercayaan
pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdoa, memberikan banyak
kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 2010).
2.2.3. Klasifikasi nyeri.
Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang
tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera spesifik, jika kerusakan tidak lama terjadi
dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan proses
22
penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik
hingga enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan (Brunner & Suddarth,
2006).Berger (2012) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan
yang berlangsung kurang dari enam bulan.Secara fisiologis terjadi perubahan denyut
jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat
pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil.
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu
periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering
sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan
sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer 2011).
Menurut Taylor (2013) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam
gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah
detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini
berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus-menerus atau intermitten.
2.2.4. Fisiologi nyeri.
Menurut Torrance & Serginson (2007), ada tiga jenis sel saraf dalam proses
penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau
interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai
reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum
tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls
yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon
23
terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang
nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin,
bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan
mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak.
Menurut Smeltzer & Bare (2013) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap
sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus
sensori asenden berawal disini. Disinilah terjadi interkoneksi antara sistem neural
desenden dan traktus sensori asenden.Traktus asenden berakhir pada otak bagian
bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar
nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan.
Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan
organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalisyang ketika
diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan
atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden.
2.2.5. Patofisiologi nyeri.
Nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus
noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Rangsangan berbahaya seperti adanya ischemia, infark miokard akan mengaktifkan
saraf parasimpatis sehingga menimbulkan nyeri. Stimulus nyeri dada akan diubah
menjadi impuls listrik. Perubahan energy ini dinamakan transduksi. Transduksi
dimulai ketika stimulus terjadinya nyeri dada mengirimkan impuls yang melewati
nosiseptor (saraf panca indera yang menghantarkan stimulus nyeri dada ke otak), maka
24
akan menimbulkan potensial aksi. Setelah proses transduksi selesai transmisi impuls
dimulai. Proses transmisi merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris
setelah terjadi proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A Delta
dan serabut C dari perifer ke system saraf spinotalamik. Ketika stimulus nyeri dada
sampai ke korteks serebral maka otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dada
dan memproses dari pengalaman yang telah lalu, pengetahuan serta budaya kemudian
diterjemahkan sebagai persepsi nyeri dada dimana seseorang sadar akan timbulnya
nyeri dada (MC Cafferi & Pasero, 1999 dalam Potter & Perry, 2010).
2.2.6. Pengukuran skala nyeri.
Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran
dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu
sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) Skala intensitas nyeri deskriptif
2) Skala identitas nyeri numerik
25
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Atau bisa juga mmenggunakan sketsa wajah sebagai berikut :
Perawat dapat menanyakan kepada pasien tentang nilai nyerinya dengan menggunakan
skala 0 sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang membantu menerangkan
bagaimana intensitas nyerinya.Nyeri yang ditanyakan pada skala tersebut adalah sebelum
dan sesudah dilakukan intervensi nyeri untuk mengevaluasi keefektifannya (Mc Kinney,
2010).
26
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapatmengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang
dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagiberkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri
tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,
sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien.
Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan
27
jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa
nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan pasien skala
tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.
Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa
jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik
(Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi
kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala
paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik, apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan
patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah suatu garis lurus, yang
mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri.VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada
dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Keuntungan menggunakan VASyaitu : merupakan metode pengukuran intensitas nyeri
yang sensitif, murah dan mudah dibuat, VAS lebih sensitif dan lebih akurat dalam
mengukur nyeri dibandingkan dengan pengukuran deskriptif, mempunyai korelasi
yang baik dengan pengukuran yang lain, dapat diaplikasikan pada semua pasien, tidak
tergantung bahasa bahkan dapat digunakan pada anak-anak di atas usia 5 tahun dan
VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri. Adapun kekurangannya
28
adalah :VAS memerlukan pengukuran yang teliti untuk memberikan penilaian, pasien
harus hadir saat dilakukan pengukuran, serta secara visual dan kognitif mampu
melakukan pengukuran.
VAS sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut. Sehingga
edukasi / penjelasan terapis / pengukur tentang VAS terhadap pasien sangat
dibutuhkan. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila pasien dapat
membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif
bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga,
mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau
saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan
atau peningkatan (Potter, 2005).
2.3. Manajemen nyeri.
2.3.1. Farmakologi.
Beberapa agen farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Jenis terapi
farmakologi yang biasa diberikan diantaranya : non-narkotik, obat anti inflamasi
nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiat, obat tambahan (adjuvan). Obat
analgetik non narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang. Obat
analgesik narkotik atau opiat umumnya diresepkan untuk nyeri sedang sampai berat.
Morfin sulfat merupakan derivat opium yang memiliki karakteristik efek analgetik
seperti meningkatkan ambang nyeri sehingga menurunkan persepsi nyeri, mengurangi
kecemasan dan ketakutan yang merupakan komponen reaksi terhadap nyeri,
29
menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami nyeri berat. Bahaya
analgetik narkotik adalah berpotensi mendepresi fungsi sistem saraf dan vital juga bisa
menyebabkan depresi pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di batang otak.
Adjuvan atau obat tambahan seperti sedatif, anti cemas dan relaksan otot,
meningkatkan kontrol nyeri atau gejala lain yang menyangkut nyeri seperti depresi.
Obat - obatan ini seringkali menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi,
keputusasaan dan kewaspadaan mental.
2.3.2. Non farmakologi.
Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada
pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan
penanganan berdasarkan :
a. Stimulasi fisik, seperti :
1) Stimulasi kulit
Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot.
Rangsangan massage otot ini dipercaya akanmerangsang serabut berdiameter
besar, sehingga mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri.
2) Stimulasi electric (TENS)
TENS atau disebuttranscutaneus electrical nerve stimulation merupakan
stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan
melalui elektroda luar.
30
3) Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk
mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan
menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat
memblok transmisi nyeri ke otak.
b. Intervensi perilaku kognitif, seperti :
1) Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi
mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan
relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.
2) Gate kontrol dan massage kutaneus
Teori gate control nyeri bertujuan menstimulasi serabut-serabut yang
menstransmisikan sensasi tidak nyeri, memblok atau menurunkan transmisi,
impuls nyeri. Massage adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Massage tidak secara spesifik
menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai
dampak melalui sistem control desenden. Massage dapat membuat pasien lebih
nyaman karena membuat relaksasi otot.
31
3) Distraksi
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain
pada nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan
mekanisme yang bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya.
Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit
perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi
terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit
stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.
4) Imaginasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu
cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Banyak
pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing saat pertama kali
meraka mencobanya.Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jam setelah
imajinasi digunakan.
2.4. Konsep Relaksasi Benson
Relaksasi adalah terapi atau latihan untuk membawa seseorang pada keadaan relaks pada
otot-otot. Jika seseorang berada pada keadaan santai akan terjadi pengurangan timbulnya
reaksi emosi yang menggelora, baik pada susunan syaraf pusat maupun susunan syaraf
otonom yang lebih lanjut dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat, baik secara
jasmani maupun rohani. Selanjutnya pasien tidak lagi tergantung pada terapisnya, tetapi
32
melalui tehnik sugesti diri (Auto Suggestion Tehnique) seorang dapat perubahan untuk
mengatur emosi yang dikehendaki.
Relaksasi adalah salah satu teknik dalam perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan
Wolpe untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan yang dikutip Goldfried dan
Davidson, (1976). Relaksasi dapat menghasilkan efek fisiologis yang berlawanan dengan
kecemasan yaitu, kecepatan denyut jantung yang lambat, peningkatan darah perifer dan
stabilitas neuro muskular.
Menurut pandangan ilmiah, relaksasi merupakan perpanjangan otot skeletol sedangkan
ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut otot. Dasar terapi
relaksasi otot adalah didalam sistem syaraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem
saraf otonom. Sistem saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang
dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher dan jari-jari. Sistem saraf otonom
berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif,
proses kardio vaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom terdiri dari subsistem
yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Sistem saraf simpatis memacu
kerja-kerja organ tubuh seperti memacu meningkatnya denyut jantung, pernafasan dan
menimbulkan penyempitan pembulu darah tepi (Peripheral) serta pembesaran darah
pusat, maka sebaliknya sistem saraf parasimpatis.
Manfaat relaksasi, menurut Burn dalam buku Konseling dan Psikoterapi (2007) beberapa
keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi antara lain :
a) Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan
karena adanya stress.
33
b) Masalah-masalah yang berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit kepala,
insomnia, dapat dikurangi dan diobati dengan relaksasi.
c) Mengurangi tingkat kecemasan. Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa individu
dengan tingkat kecemasanyang tinggi dapat menunjukkan efek fisiologis positif
melalui latihan relaksasi.
d) Mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stress dan
mengontrol anticipatory anxiety sebelum situasi yang menimbulkan kecemasan
seperti pertemuan penting, wawancara dan sebagainya.
e) Mengurangi perilaku tertentu yang sering terjadi selama periode stress seperti
mengurangi jumlah rokok yang dihisap, konsumsi alkohol, pemakaian obat-obatan
dan makan yang berlebihan.
f) Meningkatkan penampilan kerja sosial dan ketrampilan fisik. Hal ini mungkin terjadi
sebagai hasil pengurangan tingkat ketegangan.
g) Kelelahan aktifitas mental dan atau latihan fisik yang tertunda dapat diatasi lebih
cepat dengan menggunakan latihan relaksasi.
h) Kesadaran diri tentang keadaan fisiologis seseorang dapat meningkat sebagai hasil
latihan relaksasi sehingga kemungkinan individu untuk menggunakan keterampilan
relaksasi untuk timbulnya rangsangan fisiologis.
i) Relaksasi merupakan bantuan untuk menyembuhkan penyakit tetentu dan operasi.
j) Konsekwensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri
dan keyakinan diri individu meningkat sebagai hasil control meningkat terhadap
reaksi stress.
k) Meningkatkan hubungan interpersonal.
34
Berbagai metode relaksasi telah banyak dikembangkan seperti relaksasi progresif,
relaksasi otot, relaksasi meditasi. Namun pengembangan teknik relaksasi yang berkaitan
dengan keyakinan seseorang (faith factor) belum dikaji secara mendalam apalagi yang
mengarah pada keyakinan religi tertentu. Relaksasi dengan memasukkan unsur keyakinan
dapat dilakukan oleh siapa saja yang yakin terhadap sesuatu dan dapat dipraktekkan oleh
agama apa saja (Benson,2000).
Relaksasi benson merupakan teknik relaksasi pasif dengan tidak menggunakan tegangan
otot yang digabungkan dengan keyakinan yang dianut oleh pasien sehingga sangat tepat
untuk mengurangi nyeri dada pada kasus sindroma koroner akut. Kata atau kalimat
tertentu yang dibaca berulang-ulang dengan melibatkan unsur keimanan dan keyakinan.
Ungkapan yang dipakai dapat berupa nama tuhan atau kata-kata lain yang memiliki
makna yang dapat menenangkan sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi
kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi (Benson & Proctor, 2000 dalam Purwanto,
2006).
Relaksasi Benson merupakan konsep relaksasi sebagai bagian dari pengembangan “self
care theory” yang dikemukakan oleh Orem, dimana perawat dapat membantu kebutuhan
self care pasien dan berperan sebagai supportive – educative, sehingga pasien dapat
menggunakan relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri (Tommey & All Good, 2006).
Relaksasi Benson juga termasuk terapi alternative dan komplementer yang dikembangkan
oleh national center for complimentary and alternative medicine (NCCAM) (Cushman &
Hoffman, 2004).
35
Relaksasi Benson efektif juga untuk mengatasi kekhawatiran atau kecemasan atau stress
melalui pengenduran otot-otot dan saraf. Dalam keadaan relaksasi seluruh tubuh dalam
keadaan homeostatis atau seimbang, dalam keadaan tenang tapi tidak tertidur, dan seluruh
otot-otot dalam keadaan rileks dengan posisi tubuh yang nyaman (Benson & Proctor,
2000 dalam Roykulcharoen, 2003).
Dalam relaksasi Benson mekanisme gerbang yang berlokasi disepanjang system saraf
pusat dapat mengatur atau bahkan menghambat impuls-impuls nyeri. Penutupan gerbang
merupakan dasar terhadap intervensi non farmakologis dalam penanganan nyeri (Benson,
2010).
Respon relaksasi yang melibatkan keyakinan yang dianut akan mempercepat terjadinya
keadaan relaks, dengan kata lain kombinasi respon relaksasi dengan melibatkan
keyakinan akan melipatgandakan manfaat yang didapat dari respon relaksasi (Benson,
2000). Penggunaan frase yang bermakna dapat digunakan sebagai fokus keyakinan,
sehingga dipilih kata yang memiliki kedalaman keyakinan. Dengan menggunakan kata
atau frase dengan makna khusus akan mendorong efek plasebo yang menyehatkan.
Semakin kuat keyakinan seseorang berpadu dengan respon relaksasi maka semakin besar
pula efek relaksasi yang didapat. Pilihan frase yang dipilih sebaiknya singkat untuk
diucapkan dalam hati saat mengambil dan menghembuskan napas secara normal. Kedua
kata tersebut mudah diucapkan dan mudah diingat. Fokus dari relaksasi ini tidak pada
pengendoran otot namun pada frase tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme
yang teratur disertai sikap pasrah kepada objek transendensi yaitu Tuhan. Frase yang
digunakan dapat berupa nama-nama Tuhan, atau kata yang memiliki makna
menenangkan.
36
Sangkan (2002) menyebutkan pengulangan kata atau frase secara ritmis dapat
menimbulkan tubuh menjadi rileks. Pengulangan tersebut harus disertai dengan sikap
pasif terhadap rangsang baik dari luar maupun dari dalam.Sikap pasif dalam konsep
religius dapat diidentikan dengan sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap pasrah inilah yang
dapat melipatgandakan respon relaksasi yang muncul. Keuntungan dari relaksasi religius
ini selain mendapatkan manfaat dari relaksasi juga mendapatkan kemanfaatan dari
penggunaan keyakinan seperti menambah keimanan, dan kemungkinan akan
mendapatkan pengalaman-pengalaman transendensi. Dzikir sebagai salah satu bentuk
ibadah dalam agama Islam merupakan relaksasi religius, dengan mengucapkan lafadz
Allah atau Ahad secara terus menerus dengan pelan dan ritmis akan dapat menimbulkan
respon relaksasi (Benson, 2000. Sangkan 2002).
Pengulangan lafadz tersebut disertai dengan keyakinan terhadap kasih sayang-Nya,
perlindungan-Nya dan sifat-sifat baikNya yang lain akan menimbulkan rasa tenang dan
rasa aman. Hubungan antara komitmen religius atau keimanan dengan penyembuhan
telah dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh David B. Larson dan Mr.
Constance P.B. menemukan bukti bahwa faktor keimanan memiliki pengaruh yang luas
dan kuat terhadap kesehatan. Di dalam sintesisnya, The Faith Factor : An annotated
Bioliography of Chemical Research on Spiritual Subject, mereka menemukan bahwa
faktor religius terlibat dalam peningkatan kemungkinan tambahnya usia harapan hidup,
penurunan pemakaian alkohol, rokok, dan obat, penurunan kecemasan, depresi, dan
kemarahan, penurunan tekanan darah, dan perbaikan kualitas hidup bagi pasien kanker
dan penyakit jantung (sholeh, 2002).
37
Pasien dengan keimanan yang kuat mampu untuk berjalan lebih jauh secara bermakna
dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami depresi. Kemudian ia menyimpulkan
bahwa komitmen religius yang konsisten akan memperkecil gangguan psikologis,
semakin baik kesehatannya, semakin normal tekanan darahnya, dan semakin panjang
harapan hidupnya. Dua hal yang dilakukan untuk menimbulkan respon relakasi adalah:
(1) mengulang kata, frase atau mengulang aktivitas otot-otot. (2) bersikap pasif ketika
berbagai gangguan menyerang seperti rasa penat, rasa capek, dan gangguan pikiran
(Benson, 2000).
Sangkan (2002) menggambarkan bahwa sikap pasrah dalam bahasan yang lebih luas
bukan malas dan tidak melakukan apa, sikap pasrah sempurna seperti sebuah pohon yang
bergoyang ke kanan dan ke kiri karena mengikuti tiupan angin, jika pohon ini menentang
angin yang menerpa (tidak pasrah) maka pohon akan tumbang. Bergeraknya pohon ke
kanan dan ke kiri itulah sikap pasrah yang sebenarnya. Dalam pelaksanaan relaksasi
ketika pengendoran secara fisik sudah dilakukan langkah selanjutnya adalah
mengucapkan frase yaa Allah yang diikuti dengan sikap penyerahan diri secara total baik
tubuh, pikiran, perasaan dan jiwa. Penyerahan dengan mengulang frase dipertahankan
hingga sesi latihan berakhir. Tidak ada batasan waktu dalam melatih relaksasi ini, namun
menurut Benson (2000) latihan relaksasi sebaiknya dilakukan sebelum makan sehingga
proses relaksasi tidak terganggu oleh kerja pencernaan. Dari pendapat tersebut bila
digabungkan dengan ritual keislaman sebaiknya dilakukan setelah sholat subuh dan
magrib. Diharapkan dengan latihan yang rutin sehari 2 kali ini respon relaksasi dapat
dimunculkan setiap saat sesuai kebutuhan.
38
Langkah-langkah relaksasi dzikir ini merupakan modifikasi dari teknik relaksasi dengan
melibatkan faktor keyakinan dari Benson (2000), yaitu:
1) Memilih frase yang sesuai dengan keyakinan Frase atau kata ini digunakan sebagai
fokus atau pengantar meditasi, dan pemilihan kata sebaiknya memiliki arti khusus
terutama frase yang dapat menimbulkan munculnya kondisi transen-densi, sehingga
diharapkan dengan frase sebagai fokus yang digunakan akan meningkatkan kekuatan
respon relaksasi dengan memberi kesempatan faktor keyakinan untuk memberi
pengaruh. Pemilihan frase sebaiknya cukup singkat agar dapat diucapkan dalam hati
ketika menghembuskan nafas secara normal. Dalam metode ini yang akan digunakan
adalah frase “yaa Allah” karena frase ini singkat dan langsung menuju kepada objek
transendensi.
2) Atur posisi tubuh yang nyaman Sebelum memulai relaksasi carilah posisi duduk yang
nyaman sehingga posisi tidak mengganggu pikiran. Posisi dapat dilakukan misalnya
dengan bersila atau duduk di sofa. Lingkungan diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu proses relaksasi misalnya suhu, kebisingan, pakaian yang terlalu ketat
dan bau-bauan yang tidak enak.
3) Memejamkan mata. Pejamkan mata secara perlahan dan pejamkan dengan wajar tidak
perlu memicingkan mata kuat-kuat. Karena pemaksaan untuk memejamkan akan
membuat otot-otot mata tidak rileks.
4) Lemaskan otot-otot Mulailah melemaskan otot dari kaki, kemudian betis, paha, dan
perut seterusnya hingga kepala. Caranyadengan merasakan otot yang akan dirilekskan
kemudian otot tersebut diperintahkan untuk rileks misalnya akan melemaskan otot
39
kaki; dengan memerintahkan pada kaki “lemas..lemas..” sambil merasakan dan
membiarkan otot-otot kaki untuk lemas.
5) Perhatikan napas dan mulailah menggunakan kata fokus yang berakar dari keyakinan.
Bernapaslah perlahan-lahan dan wajar, tanpa memaksakan iramanya. Pada tahap ini
mulailah mengulang-ulang dalam hati kata atau frase yang dipilih sambil mengambil
dan mengeluarkan napas. Karena teknik ini menggunakan frase yaa Allah maka
ketika mengambil napas disertai dengan membaca dalam hati kata yaa…kemudian
ketika mengeluarkan napas diikuti pula membaca dalam hati kata Allah….
6) Pertahankan sikap pasif Selain pengulangan kata atau frase, sikap pasif adalah aspek
penting untuk membangkitkan respon relaksasi. Saat mulai duduk dan mengulang-
ulang frase berbagai macam pikiran akan bermunculan yang akan mengalihkan
perhatian frase yang diulang-ulang.
Contoh kata atau frase yang memfokuskan sesuai dengan keyakinan :
1. Islam
Allah atau nama-nama-Nya dalam Asmaul Husna, kalimat – kalimat untuk berdzikir
seperti Alhamdulillah, Subhanallah, Allahu Akbar dan lain – lain.
2. Katholik
“ Tuhan Yesus Kristus, Kasihanilah aku, Bapa Kami yang di surga : Salam Maria
yang penuh rahmat, Aku percaya akan Roh Kudus”.
40
3. Protestan
“ Tuhan datanglah ya Roh Kudus : Tuhan adalah gembalaku, Damai Sejahtera Allah,
yang melampaui Aku”.
4. Hindu
“ Kebahagiaan ada di dalam Hati, Engkau ada dimana – mana, Engkau adalah tanpa
bentuk”.
5. Budha
“ Aku Pasrahkan diri sepenuhnya, hidup adalah sebuah perjalanan”.
2.5. Penelitian Yang Terkait
Adapun penelitian – penelitian yang terkait :
1. Menurut Ramdhani (2015) penelitian dengan judul perbedaan skala nyeri dada
sebelum dan sesudah pemberian relaksasi benson pada pasien sindroma koroner akut
di RSUD KRT Setjonegoro dan RS PKU Muhammadiyah Wonosobo dengan
menggunakan metode penelitian pre experiment dengan one group pre-test dan post
testdesign pada 15 pasien SKA yang diambil dengan metode purposive sampling
menggunakan instrumen numeric pain scale untuk mengukur skala nyeri sebelum dan
sesudah relaksasi benson yang dilakukan selama 10 menit, 1 kali sebelum sarapan
pagi dengan uji statistic wilcoxon test menunjukan bahwa relaksasi benson dapat
membuktikan adanya perbedaan bermakna skala nyeri sebelum dan sesudah relaksasi
benson. (p value = 0,000 dan α = 0,05).
2. Menurut hasil penelitian Sunaryo & Lestari (2014) tentang pengaruh relaksasi benson
41
terhadap penurunan skala nyeri dada kiri pada pasien acute miocard infark di Rumah
Sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014 menunjukkan bahwa Terapi kombinasi
Analgetik dan Relaksasi Benson berpengaruh terhadap penurunan skala nyeri pada
pasien Acute Myocardial Infarc (P value = 0,000), sehingga bila dibandingkan dengan
kelompok responden yang hanya mendapatkan terapi analgetik (P value=0,004) maka
dapat disimpulkan bahwa relaksasi Benson berpengaruh terhadap penurunan skala
nyeri pada pasien Acute Myocardial Infarc.
3. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Datak Gad (2008) tentang penurunan
nyeri pasca bedah pasien TUR Prostat melalui relaksasi Benson menunjukkan bahwa
kombinasi Relaksasi Benson dan terapi analgetik efektif menurunkan rasa nyeri pasca
bedah pada pasien TUR Prostat (p = 0,019 dan α = 0,05).
4. Menurut Jumaiyah (2014), penelitian dengan judul relaksasi benson terhadap nyeri
paska bedah pasien CABG (coronary artery bypass grafting) di Rumah Sakit Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta didapatkan hasil bahwa relaksasi benson
efektif terhadap penurunan nyeri paska bedah pada pasien CABG. Metode penelitian
ini menggunakan quasi-experimental dengan pre-test dan post-test design with
control group dengan jumlah sampel 20 responden. Hasil penelitian terdapat
penurunan skor nyeri pada kelompok intervensi (p=0,001;α = 0,05) lebih bermakna
dibandingkan dengan skor nyeri pada kelompok control (p=0,019;α = 0,05).
5. Menurut Rasubala,dkk(2017), penelitian dengan judul Pengaruh tekhnik relaksasi
benson terhadap skala nyeri pada pasien post operasi Appendicitis di
RSUP.Prof.DR.R.D. Kandaou dan RS TK.III R.W.Mongisidi Teling Manado
didapatkan tingkat kepercayaan 95%(α = 0,05) dan diperoleh p value 0,000 < 0,05.
42
Metode penelitian ini menggunakan quasi-experimental dengan pre-test dan post-test
design with control group dengan jumlah sampel 16 responden. Tekhnik relaksasi
benson dilakukan setelah pemberian analgesic dengan durasi 30 menit setiap hari
selama tiga hari. Sebelum dan sesudah diberikan tekhnik relaksasi benson dilakukan
pengukuran skala nyeri dengan Numeric Rating Scale ( NRS ).
Table 2.1
Kerangka Konsep Teori
SINDROM KORONER AKUT
Penyempitan lumen arteri,ruptur plak, trombosis, dan spasme arteri
Aterosklerosis
Ketidakseimbangan kebutuhan ooOooksigen
Nyeri
Metabolisme anaerob: pH sel
Penurunan aliran darah arteri koronaria
Iskemia miokardium
Gangguan suplai oksigen ke miokard
STEMI, NSTEMI, UAP
Iskemik >30 menit
Infark miokardium Infark transmural
Infark subendokardial
Sindrom koroner akut
EKG : T terbalik dan ST segmen
Kerusakan otot miokardium
Produksi asam laktat
Pelepasan enzim
CKMB dan LDH