Post on 14-Mar-2019
11
BAB II
Landasan Teori
2.1. Teori-teori Dasar
2.1.1 Komunikasi dan Komunikasi Massa
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat,
atau perilaku baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media
(Effendy, 2004:5).
Komunikasi merupakan unsur utama dalam segala kegiatan kehidupan
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Komunikasi sangat erat
kaitannya dengan segala aspek kehidupan, sehingga setiap perubahan penting
yang terjadi pada komunikasi akan memiliki pengaruh, dampak dan implikasi
pada keseluruhan kehidupan manusia dan masyarakat, tidak terkecuali pada
pranata dan lembaganya. Proses komunikasi dapat dilakukan secara bertatap
muka atau dilakukan dengan menggunakan bantuan media. Dengan bantuan dari
media-media tersebut, setiap individu dapat dengan mudah menyampaikan
pesan-pesan komunikasinya tanpa mengenal ruang dan waktu (Rohim,
2009:21).
Konsep komunikasi massa pada satu sisi mengandung pengertian suatu
proses di mana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada
publik secara luas dan pada sisi lain merupakan proses di mana pesan tersebut
dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audien. Pusat dari studi mengenai
komunikasi massa adalah media. Media merupakan organisasi yang
12
menyebarkan informasi yang merupakan produk budaya atau pesan yang
mempengaruhi dan mencerminkan budaya dalam masyarakat.
Komunikasi massa didefenisiskan sebagai penggunaan teknologi yang
dapat mendesiminasikan pesan secara luas, sangat beragam, tersebar luas kepada
para penerima. Pesan-pesan media, secara khusus dapat disampaikan lewat
teknologi, dimana pengaruh tampilan dan gambar pesan dapat dimodifikasi
lewat kecanggihan teknologi (Rohim, 2009:22).
2.1.2 Komunikator
Komunikator adalah pihak yang mengirim pesan kepada khalayak. Oleh
karena itu, komunikator biasa disebut pengirim, sumber, source atau encoder
(Cangara,2007:85) Dalam komunikasi peranan komunikator sangat penting.
Komunikasi haruslah luwes sehingga komunikator sebagai pelaksana dapat
segera mengadakan perubahan apabila ada suatu faktor yang mempengaruhi.
Suatu pengaruh yang menghambat komunikasi bisa datang sewaktu-waktu,
lebih-lebih jika komunikasi dilangsungkan melalui media massa. Faktor-faktor
yang berpengaruh bisa terdapat pada komponen media atau komponen
komunikan sehingga efek yang diharapkan tak kunjung tercapai.
Dalam proses komunikasi seorang komunikator akan sukses apabila ia
berhasil menunjukkan source credibility, artinya menjadi sumber kepercayaan
bagi komunikan. Kepercayaan komunikan kepada komunikator ditentukan oleh
keahlian komunikator dalam bidang tugas pekerjaannya dan dapat tidaknya ia
dipercaya.
Seorang ahli hukum akan mendapat kepercayaan apabila ia berbicara
mengenai masalah hukum. Demikian pula seorang dokter akan memperoleh
13
kepercayaan kalau ia membahas masalah kesehatan. Kepercayaan kepada
komunikator mencerminkan bahwa pesan yang disampaikan kepada komunikan
dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan empiris. Jadi seorang komunikator
menjadi source of credibility disebabkan adanya ethos pada dirinya yaitu apa
yang dikatakan oleh Aristoteles, dan yang hingga kini tetap dijadikan pedoman
yaitu good sense, good moral character dan good will, yang oleh para
cendikiawan modern diterjemahkan menjadi itikad baik (good intentions), dan
dapat dipercaya (thrustworthiness) dan kecakapan atau kemampuan
(competence or expertness). Berdasarkan hal itu komunikator yang ber-ethos
menunjukkan bahwa dirinya mempunyai itikad baik, dapat dipercaya dan
mempunyai kecakapan dan keahlian (Effendy, 2007:306).
2.1.3 Teori S-O-R
Dari uraian-uraian di atas maka teori yang menedekati permasalahan
penelitian ini adalah Teori S-O-R (Stimulus-Organism-Response). Teori ini
mengemukakan bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti mengenai suatu
analisis dari stimulus yang diberikan dan dapat mempengaruhi reaksi yang
spesifik dan didukung oleh hukuman maupun penghargaan sesuai dengan reaksi
yang terjadi. Dengan kata lain, menurut Effendy efek yang ditimbulkan sesuai
dengan teori S-O-R yang merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap
stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan kesesuaian antara
pesan dan reaksi komunikan (Effendy,2007:254).
Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang
sederhana, dimana efek merupakan reaksi terhadap stimuli tertentu. Dengan
demikian seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatau ikatan
14
yang erat antar pesan-pesan media dan reaksi audien. Berdasarkan uraian di atas,
maka proses komunikasi dalam teori S-O-R ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Model S-O-R
Bagan tersebut menunjukkan bahwa perubahan sikap bergantung pada proses
yang terjadi pada individu. Stimulus ataupun pesan yang disampaikan kepada
komunikan mungkin diterima atau ditolak. Komunikasi akan terus berlangsung
jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya adalah pengertian.
Kemampuan komunikasi inilah yang melanjutkan ke proses berikutnya. Setelah
komunikan mengolahnya dan menerimanya maka terjadilah kesediaan untuk
mengubah sikap.
Dikaitkan dengan Program Top KPop terhadap minat musik remaja di
Perumahan Kencana Loka Blok F1 Gambar di atas menunjukkan bahwa:
a. Pesan (Stimulus), stimulus atau pesan yang dimaksud disini adalah program
acara Top KPop.
b. Komunikan (Organism), yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah
Remaja di Perumahan Kencana Loka Blok F1.
c. Efek (Response), berupa perubahan sikap yang melalui tahap-tahap:
STIMULUS
RESPONSE(Perubahan Sikap)
ORGANISM • Perhatian • Pengertian • Penerimaan
15
• Pengetahuan bermusik komunikan bertambah setelah menonton Program
Top KPop.
• Timbulnya perasaan suka ataupun minat yang mendorong komunikan
untuk menonton Program Top KPop.
• Tindakan komunikan yang diwujudkan dengan menonton Program Top
KPop.
Yang dimaksud dengan perubahan sikap yang berhubungan pada
penelitian ini adalah perubahan sikap/ response komunikan yang diwujudkan
dengan tindakan menonton Program Top KPop di televisi.
2.1.4 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa
Televisi merupakan media yang mendominasi komunikasi massa, karena
sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Televisi
mempunyai kelebihan dari media massa lainnya yaitu bersifat audiovisual
(didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan langsung dapat
menyajikan peristiwa yang sering terjadi ke setiap rumah para pemirsa
dimanapun mereka berada.
Dengan ini dapat dikatakan bahwa televisi sebagai media massa dapat
berfungsi sangat efektif, karena selain dapat menjangkau ruang yang sangat luas
juga dapat mencapai massa atau pemirsa yang sangat banyak dalam waktu yang
relatif singkat. Jadi suatu pesan yang ditayangkan di televisi selalu bisa di tonton
oleh khalayak tertentu (Morissan, 2008:35).
16
2.1.5 Efek Komunikasi Massa
Setiap aktifitas komunikasi akan menimbulkan pengaruh atau efek baik
terhadap individu maupun masyarakat, dan bertalian dengan pengetahuan, sikap
dan perilaku. Efek adalah unsur penting dalam keseluruhan proses komunikasi.
Efek bukan hanya sekedar reaksi penerima terhadap pesan yang
dilontarkan oleh komunikator, melainkan merupakan panduan sejumlah kekuatan
yang bekerja dalam masyarakat. Dimana komunikator hanya dapat menguasai
satu kekuatan saja yaitu pesan-pesan yang dilontarkan. Bentuk konkrit efek
dalam komunikasi adalah terjadinya perubahan pendapat atau sikap atau perilaku
khalayak akibat pesan yang menyentuhnya.
Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa
timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu efek
melekat pada khalayak sebagai akibat dari perubahan psikologis. Efek dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Effendy, 2007:318-319) yaitu:
1. Efek kognitif yaitu berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga
khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti yang tadinya
bingung menjadi merasa jelas.
2. Efek afektif yaitu berkaitan dengan perasaan. Akibat dari membaca surat
kabar atau majalah, mendengarkan radio, menonton acara televisi atau film
bioskop dapat menimbulkan perasaan tertentu pada khalayak.
3. Efek konatif yaitu bersangkutan dengan niat, tekad, upaya, usaha yang
cenderung menjadi suatu tindakan atau kegiatan. Efek konatif tidak langsung
timbul sebagai akibat terpaan media massa, melainkan didahului oleh efek
kognitif dan afektif. Dengan kata lain timbulnya efek konatif setelah muncul
efek kognitif dan efek afektif.
17
2.1.6 Perilaku
Menurut Effendy (2004:19) perilaku adalah suatu kesiapan kegiatan
(preparatory activity), suatu kecenderungan pada diri seseorang untuk melakukan
suatu kegiatan menuju atau menjauhi nilai-nilai sosial.
Menurut J. Paul Peter dan Jerry C. Olson (1999), perilaku dapat
didefenisikan sebagai evaluasi konsep secara menyeluruh yang dilakukan oleh
seseorang. Dapat dikatakan bahwa perilaku merupakan suatu respon evaluatif.
Respon evaluatif merupakan bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap yang
muncul yang didasari proses evaluasi dalam diri individu yang memberi
kesimpulan terhadap rangsangan dalam bentuk nilai baik dan buruk,
menyenangkan atau tidak menyenangkan, positif atau negatif, yang kemudian
mengkristal menjadi potensi dan reaksi terhadap suatu objek (Mar’at, 1993:15).
Diantara sumber informasi yang paling penting dalam kehidupan modern
adalah media massa. Media massa tidak mengubah sikap secara langsung. Media
massa mengubah dulu citra dan citra mendasari sikap (Rivers, 2003:44).
Kemampuan acara musik dalam menciptakan perilaku yang mendukung
terhadap apa yang ditampilkan sering tergantung pada sikap audien.
2.1.7 Globalisasi Budaya
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang
bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses
manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi
mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh
aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan
18
permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan
globalisasi untuk kepentingan kehidupan.
Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orang-
orang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi,
komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan
budaya. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah
dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah
menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
(http://.en.wikipedia/org/wiki/Globalization)
Marshall McLuhan pelopor jargon desa global dalam bukunya
Understanding Media, 1964 mengatakan:
“Today, after more than a century of electric technology, we have
extended our central nervous system itself in a global embrace,
abolishing both space and time as far as our planet is concerned.”
Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi
di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Konsep ini
berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat
terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Desa Global menjelaskan bahwa
tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari
satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan
teknologi media massa.
McLuhan menyatakan bahwa desa global terjadi sebagai akibat dari
penyebaran informasi yang sangat cepat dan massive di masyarakat. Penyebaran
19
yang cepat dan massive ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi
(media massa). Hal ini juga diamini oleh Galperin. Menurut Galperin, globalisasi
budaya meningkat di berbagai negara seiring perkembangan di bidang teknologi
komunikasi dan informasi, globalisasi ekonomi, juga globalisasi di bidang
tayangan televisi dan film. Bahkan, gencarnya perdagangan internasional
program-program televisi dan film membuat globalisasi budaya semakin tak
terbendung (Muharromaningsih, 2006:50)
Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya
teknologi komunikasi melalui media massa. Kontak budaya tidak perlu melalui
kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan sehingga tidak
mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal.
Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat. Hal ini
tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh
akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan
menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu
kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh negara-negara
maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki
dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju.
Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan
tertinggal dalam arus globalisasi dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi,
sosial, budaya, termasuk kesenian kita.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan
menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh.
Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk
yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam
20
proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka
dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan
menghindari kehancuran. Tetapi menurut Simon Kemoni, dalam proses ini
negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan
memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing.
Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi
ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.
Globalisasi budaya yang terus berkembang dan menelusup ke segala
lingkup kehidupan kemudian memunculkan istilah baru yaitu global pop culture
dimana budaya trend dalam suatu wilayah dipopulerkan dengan bantuan teknologi
hingga ke taraf dunia atau lingkup global (Hutagalung,2007:4). Global pop
culture (film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-nilai ideologi dari
negara asalnya yang mungkin saja jauh berbeda dari negara yang terkena imbas
budaya pop. Budaya pop membuat mereka terlena akan hiburan yang ditawarkan.
Transfer nilai budaya melalui hiburan ini mampu menciptakan kesamaan selera
terhadap budaya pop tertentu yang dapat mengancam eksistensi budaya dan
identitas masyarakat lokal. Semakin sering kita ditawarkan produk budaya pop
tersebut, kita semakin tidak sadar bahwa hal tersebut bukanlah budaya dan
identitas kita, sebaliknya, kita menganggap ini sebagai bagian dari keseharian
kita. Norma, nilai dan gaya hidup kemudian diadaptasi dari hasil mengonsumsi
budaya pop tersebut dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita sehingga
menyebabkan kita kehilangan karakteristik.
Melihat begitu besarnya peran gobalisasi memporak-porandakan batas-batas
geografis, bahkan mampu menghilangkan identitas, tetap saja kita tidak boleh
semena-mena men-judge negatif kehadiran globalisasi di tengah arus modernitas.
21
Menurut para penganut globalis positif, globalisasi hanya sebagai pemicu yang
mampu memperkecil budaya lintas teritorial agar lebih mudah untuk dipahami
dan diakses. Walaupun globalisasi dianggap sebagai ancaman oleh sebagian besar
orang, lantas tidak menjadikannya sebagai alasan utama ketika kehadirannya
menimbulkan bermacam-macam kesempatan yang baik bagi individu dan
masyarakat luas seperti: kesempatan ekonomi, wawasan lebih luas, kesempatan
untuk keluar dari feodalisme, dan membuka diri terhadap nilai-nilai modernitas.
Selain itu, globalisasi mampu menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan
bertanggung jawab.
Dalam pandangan kaum hiperglobalis, globalisasi budaya adalah,
.....homogenization of the world under the auspices of American Popular Culture
or Western consumerism in general”. Ini berarti bahwa globalisasi budaya adalah
proses hegemonisasi di dunia di bawah bantuan budaya popular Amerika. Di era
globalisasi kebanyakan media tidak hanya ditujukan pada pasar dalam negeri,
melainkan mengalir ke konsumen atau pengguna yang secara geografis hidup
berjauhan. Atau sebaliknya, media itu ditemukan dan digunakan oleh orang yang
pada awalnya tidak diperkirakan sebagai pengguna. Namun saat ini, globalisasi
yang sering diidentikkan dengan Amerikanisasi atau Westernisasi sepertinya
hanya merupakan wacana perdebatan lama.
Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular
Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga
munculah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular
Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia. Munculnya budaya global
alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya
seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu.
22
Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur
makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya
mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari
Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat
counter flow eksporter program televisi dari berbagai belahan dunia
(Badruddin,2006:77).
2.1.8 Memahami Budaya Populer
Secara umum, budaya populer atau sering disingkat budaya pop merupakan
budaya yang ringan, menyenangkan, trendi, banyak disukai dan cepat berganti.
Menilik dari sejarahnya, kehadiran budaya populer tidak dapat terlepaskan dari
perkembangan pembangunan pada abad ke-19 dan abad ke -20. Pada abad ke-19,
pembangunan aspek media massa, khususnya surat kabar dan novel menjadikan
jarak yang terpisah antara suatu masyarakat di belahan dunia yang berbeda dapat
mengakses trend kultur, tidak terhambat oleh jarak. Memasuki abad ke-20,
penemuan radio, televisi dan komputer semakin mempercepat penyebaran trend
kultur dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia lain.
Budaya populer sebelum masa industri disebut juga sebagai budaya yang
berasal dari budaya rakyat (folk culture). Ia mengangkat masalah ini melalui
pendekatan yang beranggapan bahwa budaya pop adalah sessuatu yang diterapkan
pada ”rakyat” dari atas. Budaya pop adalah budaya otentik ”rakyat” yang
kemudian berkembang menjadi sebuah budaya yang populer di tengah
masyarakat. Namun, seiring perkembangan kajian mengenai budaya pop dan
terciptanya masyarakat industri, terjadi pergeseran makna terhadap budaya pop.
Budaya pop kini dipandang sebagai budaya massa. Budaya massa acapkali
23
diartikan sebagai budaya populer yang diproduksi oleh teknik industri dengan
produksi massal dan dipasarkan kepada masyarakat massa demi keuntungan
kapitalis.
Budaya massa mulai banyak menarik perhatian teoritikus sejak tahun 1920
dimana pada tahun tersebut mulai bermunculan sinema dan radio, produksi massal
dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal
di sejumlah negara Barat.
Signifikansi sosial budaya populer di zaman modern ini dapat dipetakan
berdasarkan bagaimana budaya populer itu diidentifikasikan melalui gagasan
budaya massa. Tidak bisa dipungkiri, industrialisasi dan urbanisasi merupakan
elemen yang paling berpengaruh terhadap lahirnya khalayak budaya massa yang
disebut masyarakat massa. Industrialisasi memicu konsumerisme yang berlebihan
sementara urbanisasi menjadi perantara budaya secara geografis. Industrialisasi
dan urbanisasi meruntuhkan perantara sosial yang sebelumnya menjadi petanda
identitas sosial.
Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan dan dipentaskan
kemudian disebarluaskan ke berbagai wilayah di belahan dunia, pada umumnya
menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Budaya itu kemudian
memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai by pass
penyebaran pengaruh di masyarakat.
Konteks sosial semacam ini lebih cenderung membawa manusia dalam
dunia yang serba tipuan. Maksudnya, kadang kefanaan menjadi suatu tujuan yang
lebih konkret dari apa yang diperjuangkan oleh manusia itu sendiri. Dan disaat
dunia tipuan ini dapat dimanipulasi oleh industri media, maka tipuan itu menjadi
abadi dalam dunia fana. Kemajuan teknologi telekomunikasi telah membentuk
24
dunia ini sekecil telur burung merpati. Batas-batas budaya dan negara menjadi
musnah. Kekuasaan tertinggi di dunia ini tidak lagi terletak pada pemilikan, akan
tetapi pada penguasaan ( Bungin, 2008:51)
Pada awalnya kajian tentang budaya populer tidak bisa dilepaskan dari
peran Amerika Serikat dalam memproduksi dan menyebarkan budaya populer.
Negara itu telah menanamkan akar yang sangat kuat dalam industri budaya
populer, antara lain melalui Music Television (MTV), McDonald, Hollywood, dan
industri animasi mereka (Walt Disney, Looney Toones, dll). Namun,
perkembangan selanjutnya memunculkan negara-negara lain yang juga berhasil
menjadi pusat budaya populer seperti Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan
Taiwan.
Menurut Nissim Kadosh Otmazgin, peneliti dari Center for Southeast Asian
Studies (CSEAS) Kyoto University, Jepang sangat sukses dalam menyebarkan
budaya populernya. Ia mengemukakan bahwa, “Selama dua dekade terakhir,
produk-produk budaya populer Jepang telah diekspor, diperdagangkan, dan
dikonsumsi secara besar-besaran di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara”.
Manga (komik Jepang), anime (film animasi), games, fashion, musik, dan drama
Jepang (dorama) merupakan contoh-contoh budaya populer Jepang yang sukses
di berbagai negara.
Setelah kedigdayaan Jepang, menyusul Korea Selatan yang kini semakin
menunjukkan kemampuannya menyaingi serbuan budaya Jepang yang terlebih
dulu melakukan ekspansi melalui budaya populer dalam bentuk hiburan. Tidak
ketinggalan, film, drama dan musik k-pop Korea semakin mendunia. Amerika
Serikat sebagai negara asal budaya pop juga tidak luput terkena imbas Korean
Wave (istilah penyebaran budaya pop Korea ke berbagai belahan dunia). Amerika
25
kini menjadi basis para ikon budaya pop Korea memperluas pengaruhnya.
Beberapa artis kenamaan Korea kini telah berhasil masuk ke dunia hiburan
terbesar di dunia yaitu Hollywood. Selain itu, film-film Korea juga menjadi
semacam magnet yang mengundang sutradara Hollywood untuk melakukan re-
make film Korea, salah satunya Il Mare yang ceritanya diadopsi Hollywood
menjadi Lake House. Kasus di Amerika Serikat tersebut menjadi contoh
keberhasilan ekspansi budaya populer Korea dan kekhawatiran yang
menyertainya. Istilah “Koreanisasi” sering digunakan untuk menggambarkan
penyebaran budaya populer Korea.
Budaya populer sifatnya lebih banyak mempertontonkan sisi hiburan, yang
kemudian mengesankan lebih konsumtif. Hiburan merupakan kebutuhan pribadi
masyarakat yang telah dipengaruhi oleh struktur kapitalis. Prinsip –prinsip yang
menonjol dalam hiburan adalah kesenangan yang tertanam dan menjelma dalam
kehidupan manusia, sehingga pada saat lain akan menjelma membentuk budaya
manusia. Akhirnya, kesenangan itu menjadi larut dalam kebutuhan manusia yang
lebih besar, bahkan kadang menjadi eksistensi kehidupan manusia. Kesenangan
juga membuat manusia manja dan terbiasa dengan kehidupan yang aduhai dan
serba mengagumkan.
Budaya pop sengaja dimunculkan untuk menjaga jarak keterlibatan ‘orang-
orang’ dari budaya ‘riil’. Kita juga dapat melihat bagaimana budaya pop sengaja
dibangkitkan untuk menegaskan posisi orang-orang yang memusuhi mode
manipulasi komersial yang disokong oleh ideologi industri budaya kapitalis. Dari
kedua hal tersebut, nyata-nyata budaya pop digunakan sebagai agen penghancur
budaya yang lain; sebuah bayang-bayang berbahaya yang mengancam dan
menjegal kemajuan hal-hal yang riil.(Storey;2003:276)
26
Dalam dunia kapitalisme, hiburan dan bahkan budaya telah menjelma
menjadi industri. Pada konteks ini, Theodor Adorno dan Max Horkheimer
mengatakan budaya industri adalah media tipuan. Budaya telah berubah menjadi
alat industri serta menjadi produk standar ekonomi kapitalis. Dunia hiburan telah
menjadi sebuah proses reproduksi kepuasan manusia dalam media tipuan. Hampir
tidak ada perbedaan lagi antara kehidupan nyata dan dunia yang digambarkan
dalam film yang dirancang menggunakan efek suara dengan tingkat ilusi yang
sempurna sehingga tak terkesan imaginator.
Karl Marx dan pengikutnya selalu menganggap keberadaan media menjadi
penunjang bertahannya budaya populer hingga saat ini dan mengakibatkan
penurunan selera khalayak terhadap berbagai hal. Namun hal ini ditentang kaum
populis yang melihat keberadaan budaya pop sebagai suatu hal yang positif. Kubu
populis memandang bahwa tidak ada salahnya media massa melayani selera
massa dalam masyarakat kapitalistik dan demokratis.
Susan Sontag sebagai pelopor revisionisme budaya populer dalam bukunya
“On Culture and The New Sensibility” menganggap bahwa budaya populer tidak
sekedar budaya rendahan yang tidak memiliki nilai. Sontag menunjukkan bahwa
budaya pop bisa mengangkat isu-isu serius seperti yang dilakukan seni tinggi
dengan membandingkan kesan yang ditimbulkan lukisan Rauschenberg dengan
lagu-lagu Supreme. Selain itu, Sontag juga memandang keberadaan budaya pop
mampu menjadi perekat sosial.
Hingga saat ini, kaum konservatif dan neokonservatif terus menyerang
kebudayaan populer, namun anehnya kekuatan budaya populer semakin kuat dan
mengakar pengaruhnya kepada miliaran manusia. Dan anehnya pula, kebudayaan
populer lebih banyak berpengaruh pada kelompok orang muda dan menjadi pusat
27
ideologi masyarakat dan kebudayaan, padahal budaya populer terus menjadi
kontradiksi dan perdebatan ( Bungin, 2008:50)
Mazhab Frankfurt dan Marxisme menjadi gagasan yang paling mengemuka
banyak digunakan sebagai landasan dalam mengkaji budaya populer. Mazhab
Frankfurt meyakini bahwa kapitalisme mampu bertahan lama karena kemakmuran
dan konsumerisme. Kapitalisme mampu menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu,
menciptakan semacam ikon yang dipuja dan menjadikan kita sebagai korban
fetisisme yang mengatasnamakan uang, lebih memuja harga, berupaya menaikkan
status dalam pandangan orang lain dengan mengonsumsi barang-barang bermerek
dan memaksakan diri memenuhi gaya hidup berlebihan.
Konsep kapitalisme menyebabkan kita memiliki kebutuhan palsu. Pada
dasarnya, manusia memiliki kebutuhan sejati untuk bersikap kreatif, lepas dan
mandiri, menentukan nasibnya sendiri, berpartisipasi penuh sebagai anggota
kelompok kolektif yang bermakna dan demokratis serta sanggup menjalani hidup
bebas dan tanpa kekangan serta berpikir untuk diri sendiri. Oleh karena itu,
konsep ini didasarkan pada pernyataan bahwa kebutuhan sejati tidak dapat
direalisasikan dalam kapitalisme modern karena adanya kebutuhan-kebutuhan
palsu yang baru dilahirkan sistem ini supaya dapat bertahan
Mazhab Frankfurt menyatakan bahwa kapitalisme berhasil mengatasi
banyak kontradiksi maupun krisis yang dihadapinya, sehingga memperoleh
kekuatan stabilitas dan kesinambungan baru sekaligus yang belum pernah ada.
Kapitalisme menyebabkan pertumbuhan ekonomi, kemakmuran dan
konsumerisme serta berbagai persoalannya seperti ketidakmerataan secara terus-
menerus, kemiskinan dan rasisme.
28
Adorno merupakan salah satu teoretikus penganut Mazhab Frankfurt yang
pendapat-pendapatnya paling banyak dijadikan landasan dalam mempelajari
budaya populer. Ia lebih merujuk budaya populer sebagai budaya massa yang
diembel-embeli kapitalisme. Adorno beranggapan bahwa budaya populer selera
(yang lebih) rendah masyarakat secara keseluruhan, sehingga mengurangi
kualitasnya sebagai masyarakat. Hal itu dianjurkan karena media massa dapat
“menakortikakan” dan “mengatomkan” orang-orang, turut menyebabkan mereka
dicurigai terhadap teknik persuasi massa dengan keterampilan demagogues yang
mencabut demokrasi. Bernard Rosenberg merangkumnya sebagai berikut: “Pada
tempatnya yang terburuk, budaya massa diperlakukan tidak hanya untuk
mengkerdilkan selera tetapi untuk membuat brutal sembari memberi jalan kepada
totaliterianisme. Namun di balik semua keburukan itu, budaya populer mampu
menciptakan sebuah kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik dan
mensejahterakan.
Teori ini juga menunjukkan adanya jarak intelektual dan politis antara
Mazhab Frankfurt dan analisis Marx. Frankfurt melihat sifat tahan lama dari
kapitalisme. Frankfurt jelas tidak menyangkal bahwa kapitalisme mengalami
berbagai kontradiksi internal. Akan tetapi, selama masyarakat kapitalis mampu
melahirkan tingkat kesejahteraan ekonomi yang semakin tinggi bagi sebagian
besar populasi, termasuk kelas pekerjanya, peruntuhan akhir dan bangkitnya
sosialisme menurut Marx agaknya nyaris tak mungkin terjadi. Marx yang
menganggap bahwa suatu saat orang-orang akan menjadi jenuh dengan budaya
pop yang disuguhkan akan meruntuhkan keberadaan dan kejayaan budaya pop
dan melahirkan suatu kehidupan yang dinamai sosialisme.
29
2.1.9 Menggagas Sub-Kultur
Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang
memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk
mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas,
kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik,
religi, politik, dan seksual; atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut
(http://.en.wikipedia/org/wiki/Subkultur)
Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka
dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu. Karenanya, studi subkultur
seringkali memasukkan studi tentang simbolisme (pakaian, musik dan perilaku
anggota sub kebudayaan) dan bagaimana simbol tersebut diinterpretasikan oleh
kebudayaan induknya. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu
tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling
kait mengkait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya.
Thornton dalam usaha pendefinisian subkultur menjelaskan bahwa atribut
subkultur diberikan berdasarkan pembedaan antara suatu kelompok sosial atau
budaya tertentu dengan masyarakat atau kebudayaan yang lebih luas. Penggunaan
kata “sub” sendiri berkonotasi dengan perbedaannya dengan masyarakat dominan
atau mainstream (Sosang,2009:26)
Subkultur seringkali diidentikkan dengan budaya kaum muda. Menurut
Johanna and Rob White, sebagai subjek dalam masyarakat, kaum muda seringkali
didefinisikan dalam bingkai usia sebagai sebuah fase dalam kehidupan manusia.
Saat dimana mereka mulai tertarik memperbincangkan hal-hal mengenai
seksualitas, dan menemukan cara-cara mengekspresikan kemandirian mereka.
Tindakan dan perhatian dalam hal ini dilihat sebagai kesadaran generasi. Namun
30
pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat banyak jenis subkultur
dan mengapa orang-orang memilih jenis subkultur tertentu (Sosang,2009:29)
Tidak dipungkiri, kebanyakan dari kita menganggap dan mengidentikkan
subkultur dengan suatu kegiatan yang sifatnya negatif. Geng motor, musik
underground, anak jalanan dan perilaku amoral lainnya. Padahal, kalaulah kita
tahu dan sadar akan arti dan tujuan kata tersebut dialamatkan, maka kita akan
sadar dengan sendirinya bahwa subkultur tidak selalu ditujukan untuk hal yang
negatif. Pesantren barangkali salah satu subkultur yang nyata dan jelas juga
berkesan positif. Pesantren yang dimaksud adalah pesantren yang kiai dan sistem
pendidikannya tidak mengacu pada sistem pendidikan nasional. Contoh lain selain
pesantren adalah klub/komunitas pecinta sepeda motor yang mewadahi para
pecinta atau pengendara sepeda motor ke arah yang lebih positif, subkultur anime
yang mewadahi para pecinta komik atau korea lovers yang merupakan subkultur
penggemar hiburan Korea.
Konsep subkultur merupakan hal yang berdaya mobilitas mengkonstitusi
obyeknya dari studi. Hal ini merupakan suatu istilah klasifikatori yang mencoba
memetakan dunia sosial didalam suatu tindakan terhadap representasi. Keakuratan
sub kultur bukan pada sejauh mana mampu berfungsi dalam pemakaiannya. Kata
Sub bermakna sebagai istilah dan menunjukkan pembedaan dengan jelas arus
utama budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, sub kultur
dimaksudkan agar bagian masyarakat tertentu mampu memaknai hidup secara
baru sehingga dapat menikmati kesadaran menjadi yang lain dalam perbedaan
terhadap budaya dominan masyarakat.
Dalam suatu subkultur, identitas kultural menjadi suatu cerminan dari suatu
kelompok walaupun kita tidak bisa memungkiri dalam suatu kelompok itu
31
terdapat karakter individual yang berbeda satu sama lain diantara para
anggotanya. Identitas kultural sendiri adalah suatu karakter tertentu dari sebuah
sistem komunikasi kelompok yang timbul ketika orang menyatakan dirinya
sebagai anggota sebuah kelompok di dalam situasi, kegiatan, atau konteks
komunikasi tertentu. Dalam perspektif komunikasi, identitas diletakkan dalam
proses komunikasi dimana pesan-pesan dibentuk, diperkuat, dipertandingkan, dan
ditantang. Sebuah perspektif komunikasi juga mencakup perhatian terhadap
penciptaan identitas kultural melalui produk, kata-kata, dan gambar-gambar yang
dikirimkan melalui media atau kanal-kanal teknologi.
Pada level kelompok, subkultur Korea Lovers dijadikan sebagai basis politik
identitas. Aktivitas khalayak media dan penggemar adalah bagian aktivitas
subkultur yang paling cepat pertumbuhannya. Yang menjadi perekat pada
kelompok subkultur penggemar budaya pop Korea adalah media, dalam hal ini
film, drama dan musik Korea itu sendiri meskipun anggota kelompok ini mungkin
memiliki identitas lain di luar kelompok ini. Konsumsi budaya pop Korea secara
kolektif, kesenangan yang mereka dapatkan, dan kekritisan mereka terhadap
budaya dominan yaitu Barat juga membentuk identitas pada level transnasional
dan membentuk komunitas bervisi sama yang beroperasi di luar batasan negara.
Ini dapat dilihat dari partisipasi penggemar dalam forum-forum internasional dan
persamaan nilai dan praktik budaya pada penggemar budaya pop Korea di negara
lain.
Terbentuknya identitas dalam sebuah subkultur tentu saja menyeret
anggotanya pada kegiatan konsumsi tanda atau simbol yang menunjukkan
identitas mereka sebagai bagian dari sebuah subkultur. Konsumsi subkultural
adalah konsumsi pada tahapnya yang paling diskriminatif. Melalui suatu proses
32
‘perakitan’, subkultur-subkultur mengambil berbagai komoditas yang secara
komersial tersedia untuk tujuan dan makna subkultur itu sendiri. Produk-produk
dipadukan atau diubah dengan cara yang tidak diniatkan oleh produsennya;
komoditas diartikulasikan kembali untuk menghasilkan makna-makna
oposisional. Contoh-contoh seperti komunitas Teddy Boys yang mengenakan
Jaket Savile Row Edwardian, komunitas mod yang mengenakan setelan Italia.
(Storey,2007:152). Seperti halnya komunitas di atas, Korea Lovers juga
merupakan sebuah komunitas yang memiliki ciri khas tersendiri dengan
menunjukkan identitas ke-Korea-an mereka, baik melalui pakaian, cara mereka
bicara maupun pernak-pernik yang dapat memperkuat identitas mereka sebagai
penggemar budaya pop Korea.
Judith K. Martin dan Thomas K. Nakayama mengatakan terdapat tiga
perspektif tentang identitas yaitu: perspektif psikologi sosial, perspektif
komunikasi dan persfektif kritis. Dalam kasus pembentukan identitas dari para
penggemar budaya pop Korea, untuk menganalisis pada skala mikro yaitu pada
tataran individu, peneliti menggunakan perspektif komunikasi dimana proses
avowal dan ascription merupakan hal yang penting. Seorang penggemar budaya
pop Korea bisa saja melakukan avowal tentang identitas dirinya, namun jika
proses ascription dari orang lain di lingkungannya itu bertentangan dengan apa
yang digambarkan oleh dirinya, seorang penggemar budaya pop Korea yang
termasuk dalam dominant reader akan menarik diri dari lingkungan sosialnya dan
lebih memilih mencari teman bermain atau masuk dalam kelompok yang akan
melakukan ascription yang sesuai dengan avowalnya. Sementara penggemar
budaya pop Korea yang termasuk negotiated reader mungkin akan
menegosiasikannya dan akan menyesuaikan identitas kulturalnya ke dalam
33
identitas kultural yang dominan di lingkungannya, atau dengan kata lain ia akan
menyesuaikan proses avowalnya dengan proses ascription orang-orang di
lingkungannya (Setiowati,2008:544).
Sementara itu dalam analisis skala meso, peneliti akan menggunakan
perspektif kritis karena identitas para penggemar Korea ini tercipta karena latar
belakang sejarah, ekonomi, politik dan wacana yang beredar saat ini. Maraknya
serbuan hiburan budaya pop Korea saat ini akan menciptakan suatu identitas
kultural bagi penggemar budaya pop Korea. Berdasarkan pengamatan, identitas
para penggemar budaya pop Korea akan “Ke-Korea-an” tiap individu dalam
kelompok memang berbeda-beda baik dari segi jenis maupun tingkatannya. Cara
pembacaan teks yang berbeda ini terjadi akibat proses sosialisasi yang berbeda
dari tiap-tiap individu. Latar belakang keluarga, pendidikan, agama, dan aspek
sosial lainnya pada tiap individu, amat berpengaruh pada cara pembacaan
khalayak terhadap teks media. Cara pembacaan yang berbeda juga berpengaruh
pada pembentukan identitas dari khalayak.
Sesuai dengan teori perbedaan individual yang berpendapat bahwa karena
karakter psikologis pada setiap orang sangat beragam dan karena mereka memiliki
persepsi yang berbeda-beda terhadap sesuatu, pengaruh media berbeda-beda
antara satu orang ke orang lain. Lebih spesifik, pesan media mengandung ciri
stimulus tertentu yang memiliki interaksi yang berbeda dengan karakteristik
pribadi masing-masing khalayak. Walaupun pada akhirnya individu tersebut
membentuk suatu kelompok sosial atas dasar kesamaan, perbedaan individu
dalam kelompok tetap ada. Kelompok sosial hanya menjadi penguat apa yang
diyakini oleh individu, namun tingkat hegemoni di dalam kelompok tidak akan
34
utuh. Mereka memang memiliki kesamaan namun tidak dalam segala hal karena
ada faktor lain yang turut andil dalam membentuk individu.
Melvin D. Defleur dalam teorinya “Individual Differences Theory of Mass
Communication Effect” menelaah perbedaan-perbedaan diantara individu-
individu sebagai sasaran media massa ketika mereka diterpa sehingga
menimbulkan efek tertentu. Anggapan dasar dari teori ini ialah bahwa manusia
amat bervariasi dalam organisasi psikologisnya secara pribadi. Variasi ini
sebagian dimulai dari dukungan perbedaan secara biologis. Tetapi ini dikarenakan
pengetahuan secara individual yang berbeda. Manusia yang dibesarkan dalam
lingkungan yang secara tajam berbeda, menghadapi titik-titik pandangan yang
berbeda secara tajam pula. Dari lingkungan yang dipelajarinya itu, mereka
menghendaki seperangkat sikap, nilai, dan kepercayaan yang merupakan tatanan
psikologisnya masing-masing pribadi yang membedakannya dari yang lain. Teori
perbedaan individual ini mengandung rangsangan-rangsangan khusus yang
menimbulkan interaksi yang berbeda dengan watak-watak perorangan anggota
khalayak. Oleh karena terdapat perbedaan individual pada setiap pribadi anggota
khalayak itu, maka secara alamiah dapat diduga akan muncul efek yang bervariasi
sesuai dengan perbedaan individual itu. Tetapi dengan berpegang tetap pada
pengaruh variabel-variabel kepribadian (yakni menganggap khalayak memiliki
ciri-ciri kepribadian yang sama) teori tersebut tetap akan memprediksi
keseragaman tanggapan terhadap pesan tertentu (jika variabel antara bersifat
seragam).
Mary Jane Collier pun mempertegas dengan mengatakan, ketika kita
menggunakan budaya sebagai pendekatan untuk melihat karakter atau identitas
kelompok, kita harus menyadari bahwa tiap kelompok itu dibangun atas dasar
35
pendapat-pendapat sekelompok individual. Selain itu, seseorang bisa mempunyai
identitas yang beragam, tergantung peran apa yang sedang dijalankannya,
sehingga kita harus menyadari bahwa identitas kultural itu kompleks dan
diciptakan, dipelihara, dipertentangkan dan dipertandingkan pada saat kita
melakukan hubungan dengan orang lain (Setiowati,2008:543).
2.1.10 Budaya Penggemar
Para penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan
dan praktik budaya pop. Penggemar selalu dicirikan sebagai suatu kefanatikan
yang potensial. Hal ini berarti bahwa kelompok penggemar dilihat sebagai
perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan. Jenson
menunjukkan dua tipe khas patologi penggemar; individu yang terobsesi dan
kerumunan histeris. Ia berpendapat bahwa kedua figur itu lahir dari pembacaan
tertentu dan kritik atas modernitas yang tak diakui dimana para penggemar
dipandang sebagai simptom psikologis dari dugaan disfungsi sosial. Para
penggemar ditampilkan sebagai salah satu dari ‘liyan’ yang berbahaya dalam
kehidupan modern. ‘Kita’ ini waras dan terhormat, ‘mereka’ itu terobsesi dan
histeris. (Storey,2003:157-158)
Penggemar dipahami sebagai korban-korban pasif dan patologis dari
media massa. Media massa mengkonstruksikan wacana kepada penggemar dan
membentuk theatre of mind mereka. Hal ini menyebabkan penggemar tidak
bisa mendiskriminasikan dan menciptakan jarak antara diri mereka dan objek-
objek kesenangan. Stereotip yang paling umum misalnya adalah kelompok-
kelompok gadis dan perempuan histeris yang meneriaki para selebritis idola
mereka, kelompok penggemar yang saling bersaing mengadopsi gaya idolanya
36
atau kelompok penggemar yang rela melakukan apa saja demi bertemu
idolanya.
Kelompok penggemar (fandom) dipandang sebagai simptom (patologis)
yang tampak dari kemungkinan runtuhnya budaya, moral dan sosial yang tak
terelakkan lagi mengikuti transisi dari masyarakat pedesaan dan agrikultural
menuju masyarakat industrial dan urban. Pada tahapnya yang paling lunak,
kelompok penggemar merepresentasikan satu upaya yang putus asa untuk
mengompensasikan kelemahan kehidupan modern. Fandom cenderung selalu
mengejar kepentingan-kepentingan, memamerkan selera dan preferensi
sehingga sangat pas untuk berbagai teks dan praktik budaya pop. Para khalayak
ini dapat dikatakan memamerkan kesenangan mereka hingga menimbulkan
rasa emosional, sementara khalayak dominan senantiasa mampu menjaga jarak
dan kontrol estetik yang terhormat.
Hal ini memperlihatkan bagaimana pasifnya khalayak penggemar
budaya pop dalam menerima isi media, sehingga mereka mau ‘menggilai’
sesuatu yang dianggap tidak mempunyai nilai estetika seperti halnya budaya
dominan. Namun Jenson tidak sependapat dengan istilah khalayak yang pasif
sebab menurutnya, pandangan ini terbentuk karena adanya dominasi pemikiran
sosial dari kelompok masyarakat yang lebih dominan. Menurut Jenson,
terdapat tiga ciri utama dalam menandai moda pemberian makna budaya
penggemar dalam teks-teks media, yaitu: (1) cara penggemar menarik teks
mendekati ranah pengalaman hidup mereka; (2) peran yang dimainkan melalui
pembacaan kembali dalam budaya penggemar; (3) proses yang memasukkan
informasi program ke dalam interaksi sosial secara terus menerus (Storey,
2003: 157-158)
37
Paul Wills mengatakan bahwa dalam kehidupan remaja yang notabene
adalah penggemar budaya pop, para individu dan kelompok berusaha untuk
secara kreatif membuktikan kehadiran, identitas dan makna dari ungkapan
perasaan, tanda dan simbol dalam kehidupan mereka, melalui suatu upaya yang
disebut kreativitas simbolik. Mereka menciptakan suatu kreativitas simbolik
dari apa yang mereka konsumsi dari media. Kreativitas simbolik sendiri
merupakan bertumpuk cara dimana remaja menggunakan, memanusiakan,
menghiasi, dan menobatkan makna-makna dalam ruang-ruang kehidupan dan
praktek-praktek sosial yang umum. Mereka menciptakan gaya-gaya dan
pilihan-pilihan pakaian, penggunaan musik, TV, majalah yang selektif dan
aktif, hiasan kamar-kamar mereka, ritual-ritual percintaan dan gaya-gaya
subkultural seperti gaya bicara dan senda gurau, serta penciptaan musik dan
tarian (Setiowati, 2008:541).
Untuk memuaskan hasrat sebagai bagian dari kelompok penggemar,
individu dalam kelompok tersebut merasa dituntut untuk mengikuti gaya hidup
kelompok penggemar tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi, praktik konsumsi
tidak bisa lepas dari mereka demi pemenuhan kebutuhan demi mendapat
pengakuan dan menjadi bagian dari kelompok penggemar. Berbelanja menjadi
sebuah solusi untuk memenuhi segala kebutuhan berupa atribut-atribut yang
mencerminkan mereka sebagai bagian dari kelompok penggemar.
Praktik konsumsi yang dilakukan kelompok penggemar sepertinya
sejalan dengan pernyataan Bre Renada “Aku membeli, maka aku ada...”
Menurut Bre Renada, dalam konteks kehidupan masyarakat modern sekarang
ini, faktor konsumsilah yang menjadi dasar untuk menjelaskan realitas
sekaligus meletakkan eksistensi manusia dalam kehidupan sosialnya.
38
Konsumsi di era yang disebut Bre sebagai kapitalisme mutakhir ini telah
mengalami pergeseran nilai dari tingkat konsumsi barang-barang kebutuhan
atau benda-benda yang mempunyai kegunaan langsung dan mendesak, menjadi
konsumsi “simbol-simbol” atau “tanda-tanda”.
Meaghan Morris menegaskan bahwa pusat perbelanjaan digunakan oleh
kelompok-kelompok berbeda secara berbeda.
“Terdapat praktik-praktik yang berbeda dalam menggunakan suatu pusat perbelanjaan pada suatu hari; sejumlah orang bisa ada di sana sekali seumur hidup mereka; terdapat pengguna-pengguna yang sesekali memilih pusat perbelanjaan itu dan bukan yang ini pada hari itu untuk alasan-alasan khusus atau cukup manasuka saja; orang mungkin belanja di satu pusat perbelanjaan dan pergi ke pusat perbelanjaan lainnya untuk bersosialisasi atau berkeliling-keliling. Penggunaan pusat-pusat perbelanjaan sebagai tempat pertemuan (dan kadang kala untuk berteduh dan bernaung gratis) oleh orang-orang muda, para pensiunan, pengangguran dan tunawisma adalah bagian familiar dari fungsi sosialnya yang kerap kali direncanakan, kini, oleh manajemen pusat perbelanjaan”
Ada sebuah perumpamaan yang mengatakan bahwa pusat-pusat
perbelanjaan tidak lain merupakan ‘katedral-katedral konsumsi’. Konsumsi
tidak hanya dipandang sebagai aktivitas ekonomi belaka untuk memuaskan
kebutuhan-kebutuhan material. Lebih dari itu, konsumsi juga berhubungan
dengan mimpi dan hasrat, identitas dan komunikasi. Paul Willis dalam Storey
(2003:171) berpendapat bahwa orang-orang membawa identitas hidup ke
perdagangan dan konsumsi komoditas-komoditas kultural dan juga terbentuk di
sana. Mereka membawa pengalaman, perasaan, posisi sosial, dan keanggotaan
sosial ke pertemuan mereka dengan perdagangan. Karenanya, mereka
membawa tekanan simbolik kreatif yang dibutuhkan, tidak hanya untuk
memahami komoditas kultural, tetapi sebagian melalui komoditas kultural itu
mereka memahami kontradiksi dan struktur sebagaimana mereka
mengalaminya di sekolah, college, produksi, pertetanggaan, dan sebagai
39
anggota-anggota gender, ras, kelas, dan usia tertentu. Akibat dari kerja
simbolik yang diperlukan ini boleh jadi cukup berbeda dengan apa pun yang
pada awalnya terkode di dalam komoditas kultural. Willis berpendapat bahwa
dorongan kapitalis akan keuntungan menghasilkan kontradiksi-kontradiksi
yang bisa dimanfaatkan oleh kreativitas simbolik dalam ranah budaya bersama.
Tetapi, lebih dari ini semua, dan lebih penting dari ini, dorongan kapitalis akan
keuntungan menghasilkan kondisi-kondisi bagi produksi ranah budaya bersama
itu sendiri.
Barangkali catatan mutakhir paling menarik mengenai budaya
penggemar dalam Cultural Studies adalah Textual Poachers karya Henry
Jenkins. Dalam sebuah penelitian etnografis mengenai sebuah komunitas
penggemar (yang sebagian besar, tetapi tidak semata-mata, perempuan kelas
menengah kulit putih), Jenkins mendekati kelompok penggemar sebagai
seorang akademikus (yang mengakses teori-teori budaya pop tertentu,
seperangkat literatur kritis dan etnografis) maupun sebagai penggemar (yang
memiliki akses terhadap pengetahuan tertentu dan tradisi-tradisi dalam
komunitas tersebut). Sebagaimana Jenkins ingin tegaskan, kajian itu
dituangkan dalam bentuk dialog aktif dengan komunitas penggemar:
“Praktik saya dari permulaan adalah berbagi pengalaman dengan semua
penggemar yang saya kutip pendapatnya di tiap-tiap bab serta mendorong
kritisme mereka terhadap isinya. Saya telah menerima banyak surat dari para
penggemar, yang menawarkan wawasan mereka mengenai isu-isu yang
diangkat di sini dan saya sudah banyak belajar banyak dari reaksi mereka. Saya
telah bertemu dengan kelompok-kelompok penggemar dalam diskusi-diskusi
terbuka mengenai suatu teks dan menyertakan pendapat mereka dalam revisi
40
teks tersebut. Pada sejumlah kasus, saya memasukkan reaksi-reaksi mereka ke
dalam teks, tetapi ketika ini tidak terjadi secara langsung dan eksplisit, haruslah
dipahami bahwa teks ini ada dalam dialog aktif dengan komunitas penggemar
tersebut”.(Storey,2003:159-160)
Penelitian Jenkins ini bertujuan untuk menentang stereotip negatif
mengenai penggemar sebagai sosok-sosok yang menggelikan atau
memprihatinkan serta mendorong satu kesadaran yang lebih besar akan
kekayaan budaya penggemar. Kajian ini dapat dijadikan rujukan untuk
meningkatkan pengetahuan akademis mengenai budaya penggemar serta
menjadi sebuah penegasan bahwa kaum akademisi bisa belajar dari budaya
penggemar.
Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini oleh
Jenkins, ia menyimpulkan tiga ciri utama yang menandai pemberian makna
budaya penggemar dalam teks-teks media: pertama, cara penggemar menarik
teks mendekati ranah pengalaman hidup mereka. Pembacaan penggemar
dicirikan oleh sebuah intensitas keterlibatan intelektual dan emosional.
Pembaca tidak ditarik ke dalam dunia fiksi yang belum ditetapkan, tetapi
sebaliknya ditarik ke dalam suatu dunia yang telah dia ciptakan dari materi-
materi tekstual. Hanya dengan mengintegritasikan isi media kembali dalam
kehidupan sehari-hari mereka, hanya dengan keterlibatan yang karib dengan
makna dan materinya, para penggemar bisa mengonsumsi fiksi dan
menjadikannya sebagai sumber daya yang aktif.
Kedua, peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali dalam
budaya penggemar. Penggemar tidak sekedar membaca teks, mereka senantiasa
membaca kembali teks-teks itu. Pembacaan kembali atas teks-teks dapat
41
mengubah pengalaman pembaca mengenai suatu teks. Pembacaan kembali
dapat meruntuhkan operasi ‘kode hermeneutik’ (cara di mana suatu teks
mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendorong hasrat untuk terus
membaca). Pembacaan kembali dengan begitu menggeser perhatian pembaca
dari apa yang akan terjadi menuju bagaimana sesuatu itu terjadi,
mempertanyakan hubungan antartokoh, tema, narasi, produksi pengetahuan
dan wacana sosial.
Terakhir, proses yang dengannya informasi program dimasukkan ke
dalam interaksi sosial yang terus-menerus. Sementara kebanyakaan pembacaan
adalah suatu proses soliter, yang dilakukan secara pribadi, para penggemar
mengonsumsi teks-teks sebagai bagian dari suatu komunitas. Budaya
penggemar berkenaan dengan penampilan publik dan sirkulasi produksi makna
dan praktik-praktik pembacaan. Para penggemar mencipta makna-makna untuk
berkomunikasi dengan para penggemar lain. Tanpa penampilan publik dan
sirkulasi makna-makna ini, kelompok penggemar tidak akan menjadi
kelompok penggemar. Seperti yang kita ketahui bersama, kelompok
penggemar sifatnya terorganisir, barangkali pertama dan terutama, adalah suatu
institusi teori dan kritik, suatu ruang semi-terstruktur dimana interpretasi-
interpretasi yang bertanding dan evaluasi-evaluasi terhadap teks-teks bersama
dikedepankan, diperdebatkan, dan dinegosiasikan serta ruang dimana pembaca
berspekulasi mengenai hakikat media massa dan hubungan mereka sendiri
dengan media massa.
Sumber teoretis utama Jenkins adalah teoretikus budaya Perancis,
Michel de Certeau yang membongkar istilah konsumen untuk menguak
aktivitas yang terletak di dalam tindak konsumsi: apa yang dia sebut produksi
42
sekunder. Konsumsi itu berliku-liku, ia tersebar, tetapi ia memperkenalkan
dirinya di mana-mana, secara diam-diam dan hampir tidak kelihatan, sebab ia
tidak memanifestasikan dirinya lewat produk-produknya sendiri, tetapi
sebaliknya lewat caranya menggunakan produk-produk yang ditimpakan oleh
tatanan ekonomi dominan. De Certeau mencirikan konsumsi aktif atas teks-
teks itu sebagai ‘berburu’: para pembaca adalah orang yang bepergian, mereka
bergerak melintasi tanah milik orang lain, seperti orang-orang nomaden yang
meretas jalan mereka melintasi medan-medan yang tidak mereka tulis. Gagasan
de Certeau mengenai ‘berburu’ merupakan sebuah penolakan atas model
tradisional pembacaan ini, dimana tujuan pembacaan adalah penerimaan pasif
terhadap maksud tekstual. Ia adalah model dimana pembacaan disederhanakan
menjadi sebuah pertanyaan tentang salah atau benar. Menurut Jenkins:
“ Apa yang signifikan dalam hubungannya dengan model de Certeau adalah
bahwa mereka merupakan komunitas konsumen yang sangat aktif dan vokal
yang aktivitas-aktivitasnya mengarahkan perhatian pada proses pemberian
(makna) kultural ini...... Para penggemar tidaklah unik dalam status mereka
sebagai pemburu tekstual, kendati demikian, mereka telah mengembangkan
tindakan berburu menjadi sebentuk seni”. (Storey,2003:161)
Michel de Certeau berpendapat bahwa di dalam kelompok penggemar
tidak terdapat pembedaan yang kaku antara pembaca dan penulis. Budaya
penggemar adalah sebuah budaya konsumsi dan produksi. Kelompok
penggemar tidak hanya soal konsumsi, ia juga berkenaan dengan produksi teks,
lagu, puisi, novel, fanzine (majalah yang dikelola secara amatir dan ditujukan
bagi subkultur yang antusias pada minat tertentu), video dan lain-lain yang
43
dibuat secara respons atas teks media profesional mengenai kelompok
penggemar (Storey,2003:162).
Berbicara mengenai kelompok penggemar, bukan hanya mengenai
komunitas-komunitas kumpulan pembaca teks yang antusias, lebih daripada
itu, budaya penggemar juga berkenaan dengan produksi budaya. Mereka me
re-cycle teks yang dikonsumsinya dengan berbagai cara. Misalnya saja melalui
karya fiksi yang terinspirasi dari berbagai teks yang telah mereka konsumsi,
membuat video-video musik di mana citra dari program favorit menjadi
semacam panduan, atau bahkan membuat fanzine.
Menurut Jenkins, kelompok penggemar merupakan suatu ruang yang
didefinisikan berdasarkan penolakannya atas nilai dan praktik biasa,
perayaannya atas emosi yang digeluti secara mendalam dan kesenangan yang
direngkuh dengan penuh gairah. Eksistensi kelompok penggemar itu sendiri
merepresentasikan kritik terhadap bentuk-bentuk konvensional budaya
konsumen (Storey,2003:166). Jenkins menemukan cara kelompok penggemar
memberdayakan diri mereka yaitu dengan jalan perjuangan untuk menciptakan
sebuah budaya partisipatoris dari kekuatan-kekuatan yang mengubah banyak
orang menjadi penonton. Komunitas kelompok penggemar menurut Jenkins
berjuang untuk menentang tuntutan terhadap yang biasa dan sehari-hari.
Sementara berbagai subkultur kaum muda mendefinisikan diri mereka
bertentangan dengan orang tua dan budaya-budaya dominan, komunitas
kelompok penggemar menempatkan diri sebagai beroposisi dengan pasivitas
budaya sehari-hari dari praktik biasa.
44
2.1.11 Gaya Hidup
Gaya hidup dapat dipahami sebagai adaptasi aktif individu terhadap
kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan
bersosialisasi dengan orang lain. Kepribadian dianggap sebagai penentu gaya
hidup, dan oleh karena kepribadian setiap manusia unik, gaya hidup pun unik.
Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan sikap-sikap
dan nilai dari seseorang. Namun, ketika satu gaya hidup menyebar kepada
banyak orang dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup
sebagai suatu keunikan tidak memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi
semata-mata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu, tetapi
menjadi suatu identitas yang diadopsi oleh sekelompok orang. Sebuah gaya
hidup bisa menjadi populer dan diikuti oleh banyak orang. Mereka tak segan-
segan mengikutinya jika dianggap baik oleh banyak orang
(Hujatnikajennong,2006:37).
Dalam pola kehidupan sosial, masalah gaya hidup tak bisa dilepaskan
dari terminologi budaya. Seperti yang diungkapkan Kephart, budaya biasa
didefinisikan sebagai “Keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat –
kebiasaan/adat istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka, serta pemahaman yang
sama yang menyatukan mereka sebagai suatu masyarakat”. Namun definisi ini
menurut Chaney merupakan penyalahgunaan gagasan tentang gaya hidup.
Sementara gaya hidup tergantung pada bentuk-bentuk kultural, masing-masing
merupakan gaya, tata krama, cara menggunakan barang-barang, tempat dan
waktu tertentu yang merupakan karakteristik suatu kelompok, tetapi bukanlah
keseluruhan pengalaman sosial mereka. (Putra,2006:48)
45
Dalam arus kultur kontemporer, gaya hidup memegang peranan penting
dalam membangun eksistensi manusia yang hidup dalam kultur tersebut. Gaya
hidup dianggap sebagai cerminan identitas diri seseorang atau sekelompok
orang. Gaya hidup dalam arus kultur kontemporer ini kemudian memunculkan
dua hal yang sama dan sekaligus berbeda, yaitu alternatif dan diferensiasi.
Alternatif lebih bermakna resistensi atau perlawanan terhadap arus budaya
mainstream sedangkan diferensiasi mengikuti arus mainstream. Alternatif
adalah sebuah bentuk resistensi untuk tidak mengikuti arus kapitalisme
sedangkan Diferensiasi adalah suatu pilihan untuk membuat diri berbeda
dengan mengonsumsi barang-barang yang ditawarkan pemegang
modal/kapitalis.
Penggunaan waktu luang dan konsumsi atas barang dan jasa dapat
dikatakan sebagai sebuah parameter untuk melihat gaya hidup. Pola konsumsi
tersebut jelas lahir dari suatu ekspansi besar dari ideologi kapitalisme.
Kapitalisme menaruh cengkeramannya di berbagai aspek kehidupan, seakan
menemukan bentuk manifestasi yang sangat mantap pada budaya
mengonsumsi. Masyarakat seolah-olah dibuat butuh oleh kapitalisme untuk
mengikuti pola konsumsi suatu benda atau jasa. Kesadaran masyarakat sengaja
diracuni demi mencetak dollar bagi kelompok tertentu (Putra,2006:53).
Menurut Marxis, sifat produksi dalam sistem kapitalisme tidak semata
komoditi dianggap sebagai benda guna (use value), akan tetapi sebagai objek
yang mengandung kekuatan daya pesona tertentu dan membentuk pencitraan
diri melalui penciptaan icon, yang memberikan status tertentu pada orang yang
memakainya. Itulah yang terjadi pada pengaruh budaya Korea, menjadikan
produk massal yang menyihir berbagai pihak untuk menjadikan pesona budaya
46
Korea begitu memikat dan memesona. Menurut Karl Marx, produk budaya
adalah komoditas, fetisisme terhadap suatu icon terletak dalam nilai dan
kualitas yang dikenakan terhadap produk-produk tersebut.
Di era modern seperti sekarang ini, masyarakat sepertinya digiring
menuju dunia gaya hidup konsumeristis: “Aku adalah apa yang aku konsumsi”.
Piramida kebutuhan Maslow pun jungkir balik. Aktualisasi diri adalah
kebutuhan pertama manusia seperti halnya Korea Lovers yang rela merogoh
kocek dalam-dalam demi pemenuhan akan kebutuhan yang semu. Alasan
utama mereka membeli berbagai produk berbau Korea bukan untuk memenuhi
kebutuhan utama yaitu bertahan hidup tapi demi sekedar pemenuhan hasrat
untuk ‘menjadi’.
Dalam pandangan Giddens yang menyatakan gagasan gaya hidup telah
dikorupsi oleh konsumerisme, menunjukkan kebutuhan tentang gaya ini
menjadi tidak wajar dan dibuat-buat. Istilah konsumerisme berasal dari kata
consumption yang berarti konsumsi dan pemakaian. Konsumerisme pada
Bahasa Latin: consumere atau consumo, sumpsi, sumptum, yang berarti
menghabiskan, memakai sampai habis, memboroskan, menghambur-
hamburkan, menggerogoti sampai habis. Menurut James F. Engel, bahwa
konsumerisme memiliki dua pemaknaan, pertama, dilihat sebagai gerakan atau
kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar
kerja produsen, penjual dan pengiklan; kedua, paham atau gaya hidup yang
menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan,
dan sebagainya. Pada opsi ini, konsumerisme termaknai sebagai gaya hidup
yang boros dan bergaya hidup pada peningkatan pembelian barang-barang
yang secara teori bukan kebutuhan pokok. Ia adalah mentalitas yang terbentuk
47
oleh kondisi dan kebijakan sosial yang menyenangkan, sekaligus juga
menyengsarakan.
Iklan TV terus mencekoki kita dengan segala kebutuhan, keinginan dan
naluri yang wajib untuk dipenuhi. Kebutuhan tersier bahkan berubah posisi
menjadi kebutuhan primer. Akibatnya, orang-orang bersandar pada siklus
keinginan yang tiada putusnya. Orang-orang diarahkan untuk selalu
mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang baru, tanpa peduli apakah ia
benar-benar membutuhkannya. Orang-orang berusaha mengikuti lingkaran
setan konsumerisme secara terus menerus. Mereka bekerja ekstra keras untuk
membeli segala sesuatu yang terbaru dan terbaik yang sebetulnya tidak mereka
butuhkan agar menurut mereka bisa menjadi manusia “yang terbaik”. Agar
aliran “pengabdian diri kepada segala sesuatu yang paling baru” ini bisa
diterima oleh umat manusia, maka para tokoh aliran yang mendewakan
konsumerisme ini harus bekerja keras dalam mengajarkan agamanya. Mereka
tidak sekedar menjajakan berbagai produk tetapi juga mengajarkan sebuah
ideologi. Mereka mengembangkan suatu sistem nilai yang terus menerus
membombardir masyarakat dengan pesan-pesan untuk “memanjakan diri
sendiri” dan “mendapat kepuasan secara instan” . Untuk dapat memahami
sistem nilai yang mereka kembangkan, seseorang hanya perlu melihat pada
ungkapan-ungkapan seperti “aku harus menjadi yang pertama” atau “aku
harus memilikinya” atau “berikan itu kepadaku”. Dewa konsumerisme inilah
yang menciptakan dan menopang sistem kapitalis (Fredericks,100:2004).
Gaya hidup dalam masyarakat konsumsi dalam kacamata Baudrillard
tak lebih dari pengaturan dan penampakan contoh diskriminasi sosial
berdasarkan mode yang menciptakan ketakjuban sesaat (ephemeral
48
mystifications). Sebagai contoh, selain bermaksud memberikan makna dan
tujuan hidup, fashion semata-mata merupakan kekacauan dan kedahsyatan
yang tidak menandakan apapun sehingga dalam permainan struktural dari
penandaan referensi diri (self-referential signification) terdapat anarki tanda
yang mengancam karena tidak adanya tata tertib (Ferica,2006:3). Dalam
pandangan ini, sebagian besar kegiatan konsumsi adalah konsumsi tanda
(signs). Kumpulan tanda tertanam dalam pertumbuhan kebudayaan komoditas
dan penciptaan gaya hidup.
Pernyataan yang kemudian muncul adalah seberapa pentingkah gaya
hidup menurut kacamata penikmatnya? Tentu pertanyaan ini akan dekat sekali
dengan, seberapa penting nilai-nilai trend dalam kehidupan dan urat nadi
seorang penikmat gaya hidup. Menurut Giddens, perkembangan gaya hidup
dan perubahan struktural modernitas saling terhubung melalui reflektifitas
institusional; karena keterbukaan kehidupan sosial masa kini, pluralisasi
konteks tindakan dan aneka ragam otoritas, pilihan gaya hidup semakin penting
dalam penelusuran identitas diri dan aktifitas keseharian.
Identitas diri tidak diwariskan atau statis, melainkan menjadi suatu
proyek refleksif, yang menjadi sebuah nilai dari kehidupan seseorang.
Dipertegas juga, bahwa identitas seseorang tidak dapat ditemukan dalam
perilaku, maupun dalam reaksi orang lain, tetapi pada kemampuan untuk
menjaga akan narasi tertentu. Pada wilayah ini, berbicara identitas diri semakin
masuk pada wilayah ideologis tertentu, yang melandasi kenapa seseorang harus
bergaya. Gaya hidup yang muncul pada masa kini merupakan cerminan dan
wajah kultural dari elemen kultural yang ada, sehingga identitas diri tersebut
49
sudah masuk pada identitas kelompok, bahkan menjadi identitas kultural dalam
wacana nasional.
Bagi Hebdige, gaya bukanlah ekspresi lokasi kelas, ia adalah sistem
yang menandai, yang mengomunikasikan identitas kultural dan perbedaan
kultural. Subkultur-subkultur kaum muda mengkomunikasikan identitas khas
mereka dan perbedaan mereka dari dan dalam oposisi terhadap kelompok
sebaya, orang tua serta budaya-budaya dominan melalui suatu politik gaya.
Makna dari subkultur kaum muda senantiasa dimainkan melalui gaya dan
bukannya sebagai suatu perjuangan yang sungguh-sungguh berlangsung di
tempat lain. (Storey,2007:153)
Melalui teori hegemoni Gramsci, Cohen berpendapat bahwa perjuangan
subkultur kaum muda kini bisa diposisikan pada perjuangan kelas yang lebih
luas. Hebdige menggeser penekanan dari politik kelas ke politik gaya. Seperti
dijelaskan bahwa tentangan terhadap hegemoni yang direpresentasikan
subkultur tidak dikemukakan secara langsung oleh mereka. Sebaliknya,
tentangan itu diungkapkan secara tak langsung dalam gaya. (Storey,2007:151)
Konsumsi subkultural adalah konsumsi yang pada tahapnya bersifat
diskriminatif. Melalui suatu proses perakitan, subkultur-subkultur mengambil
berbagai komoditas yang secara komersial tersedia untuk tujuan dan makna
subkultur itu sendiri. Produk-produk dipadukan atau diubah dengan cara yang
tidak diniatkan oleh produsennya; komoditas diartikulasikan kembali untuk
menghasilkan makna-makna oposisional. (Storey,2007:152)
Melalui ritual konsumsilah subkultur membentuk identitas yang
bermakna. Pemberian makna selektif dan penggunaan kelompok atas apa yang
disediakan oleh pasar bekerja serentak untuk mendefinisikan,
50
mengekspresikan, merefleksikan serta memperjelas perbedaan dan pembedaan
kelompok (Storey,2007:128)
Setiap kelompok memiliki tanda-tanda yang membedakannya dengan
kelompok lain. Tanda tersebut biasanya mereka ekspresikan melalui aktivitas
konsumsi yang meliputi barang-barang atau gaya hidup tertentu. Beberapa
waktu lalu masyarakat Indonesia sangat menggandrungi gaya ala Jepang yaitu
Harajuku. Berbagai lapisan masyarakat terkena imbasnya termasuk beberapa
musisi, salah satunya Maia Estianty yang bergaya Harajuku saat manggung.
Seiring waktu, selera masyarakat berubah sejak munculnya tayangan hiburan
Korea. Mereka mulai melirik Korea sebagai kiblat, bahkan adaptasi gaya hidup
ala Korea ini masih bertahan sampai sekarang sejak kemunculannya di tahun
2002.
Munculnya trend baru dalam mengkonsumsi tayangan hiburan ala
Korea di berbagai penjuru negara, cukup banyak berpengaruh terhadap gaya
hidup dan fashion yang diusung para penikmatnya. Ini tampak dari berbagai
komoditas berbau Korea yang difetisasi untuk membebani konsumen demi
kepentingan produsen semata.
Sama halnya dengan sistem industri lain, kekuatan arbitrer industri
hiburan Korea dan sosialisasi media massa berperan membentuk kebutuhan
akan tayangan hiburan Korea beserta embel-embelnya serta mengendalikan
perilaku konsumen dan menyediakan model gaya hidup mengkonsumsi segala
hal berbau Korea. Media massa menjadi semacam sarana konsumsi hiburan
Korea yang memungkinkan terciptanya konsumsi. Sarana konsumsi yaitu
media, tidak hanya tempat orang mengonsumsi tanda, tapi juga penting bagi
dirinya sendiri sebagai struktur yang menggiring orang mengonsumsi hal-hal
51
lain yang lebih banyak dan berbeda. Dalam konteks penelitian ini, media massa
menjadi sarana konsumsi yang memfasilitasi gaya hidup Korea Lovers di
Makassar. Perannya tak hanya sebagai latar tempat bagi konsumen untuk
mengonsumsi tayangan hiburan Korea tetapi juga sebagai sebuah struktur yang
mendorong konsumen terpengaruh untuk mengadopsi dan menerapkannya
sebagai gaya hidup.
2.1 Teori Khusus
2.2.1 Teori Uses and Gratification
Teori ini pertama kalinya diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan
Elihu Katz pada tahun 1947 dalam buku The Uses Of Mass Communications:
Current Perspectives On Gratifications Research. Penelitiannya diarahkan
kepada jawaban terhadap pertanyaan “apa yang dilakukan media untuk
khalayak (what do media do to people?)”. Teori ini mengatakan bahwa
pengguna media memainkan peran aktif dalam memilih dan menggunakan
media. Dengan kata lain, pengguna media memainkan peran aktif dalam
memilih dan menggunakan media, dimana pengguna media berusaha untuk
mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi
kebutuhannya (Nurudin, 2007: 191-192).
Uses and Gratifications merupakan salah satu teori yang paling
terkenal pada bidang komunikasi massa. Teori ini menunjukkan bahwa
permasalahan utamanya bukan pada bagaimana cara media mengubah sikap
dan perilaku khalayak, tetapi lebih kepada bagaimana media memenuhi
kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Sehingga pada khalayak yang aktif,
yang menang menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus.
52
Blumer dan Katz mengatakan bahwa pengguna media memainkan
peran aktif untuk memilih dan menggunakan media. Artinya, audiens
(pengguna media) adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi, dan
berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik dalam usaha
memenuhi kebutuhannya. Walaupun ada juga yang mengatakan bahwa
selektifitas media berdasarkan suasana hati seseorang.
John Fiske (2005) menyatakan bahwa teori uses and gratifications
secara tak langsung menyatakan bahwa pesan adalah apa yang dibutuhkan
oleh khalayak, bukan yang dimaksudkan oleh pengirim. Menurutnya
pendekatan atau teori uses and gratifications adalah suatu teori yang
menyatakan bahwa para anggota khalayak memiliki kebutuhan atau dorongan
tertentu yang bisa dipenuhi dengan menggunakan sumber-sumber media dan
nonmedia; atau suatu studi tentang motif-motif penggunaan dan ganjaran
yang dicari.
Dalam melihat media, teori uses and gratifications lebih menekankan
pada pendekatan manusiawi. Artinya, manusia itu punya otonomi dan
wewenang dalam memperlakukan media. Karena khalayak mempunyai
banyak alasan untuk menggunakan media. Selain itu, konsumen mempunyai
kebebasan untuk memutuskan bagaimana mereka menggunakan media (lewat
media mana) dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. Karena
menurut teori ini mungkin saja media itu akan berdampak pada dirinya.
Karena menurut teori ini mungkin saja media dapat mempunyai pengaruh
jahat dalam kehidupan mereka. Sebagai contoh penulis akan
menggunakannya dalam aplikasi teori uses and gratifications yang akan
penulis jabarkan di bawah.
53
Seperti diulas Nurudin (2004), teori uses and gratifications beroperasi
dalam beberapa cara, seperti yang akan dilihat pada bagan dibawah ini:
Gambar 2.2 Teori Uses and Gratification
Bagan tersebut menjelaskan bahwa:
Kebutuhan kognitif adalah kebutuhan yang berkaitan dengan
peneguhan informasi, pengetahuan, dan pemahaman mengenai lingkungan.
Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai
lingkungan, juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk
Lingkungan Sosial
1. Ciri‐ciri demografis
2. Afiliasi kelompok
Kebutuhan Khalayak
1. Kognitif 2. Afektif 3. Integratif
personal 4. Integratif
sosial 5. Pelepasan
Sumber pemuasan kebutuhan yang berhubungan dengan non media:
1. Keluarga, teman‐teman
2. Komunikasi interpersonal
Penggunaan media massa:
1. Jenis‐jenis media SK, majalah, radio, TV dan film
2. Isi media 3. Terpaan
media 4. Konteks
sosial dan terpaan
Pemuasan media (fungsi):
1. Pengamatan lingkungan
2. Diversi/hiburan
3. Identitas personal
54
penyelidikan kita. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berkaitan
dengan peneguhan pengalaman-pengalaman yang estetis, menyenangkan, dan
emosional. Kebutuhan pribadi secara integratif adalah kebutuhan yang
berkaitan dengan peneguhan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status
individual. Kebutuhan sosial secara integratif adalah kebutuhan yang
berkaitan dengan peneguhan kontak dengan keluarga , teman , dan dunia. Hal
tersebut didasarkan pada hasrat untuk berafiliasi. Sementara itu, kebutuhan
pelepasan adalah kebutuhan yang berkaitan dengan upaya menghindarkan
tekanan, ketegangan, dan hasrat akan keanekaragaman. (Nurudin, 2007: 194-
195).
Berbicara tentang kebutuhan, biasanya orang akan menrujuk kepada
hirarki kebutuhan ( need Hierarchi) Abraham Meshlow (1954), yaitu sebagai
berikut:
1. Phsycological needs ( kebutuhan fisiologis),
2. Safety Needs (kebutuhan keamanan),
3. Love needs (kebutuhan cinta),
4. Esteem needs (kebutuhan penghargaan),
5. Self-actualization needs (kebutuhan aktualisasi diri).
Dari lima kebutuhan tersebut para peneliti uses and gratifications
lebih banyak tertarik kepada kebutuhan cinta, kebutuhan penghargaan, dan
kebutuhan aktualisasi diri.
Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan komunikasi massa ini,
berlandaskan keyakinan bahwa khalayak memiliki sekumpulan kebutuhan
yang dicari pemuasannya melalui media massa. Sehingga pengguna
mempunyai pemilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
55
Fiske (2005) meringkas asumsi-asumsi teori uses and gratifications
sebagai berikut:
1. Khalayak itu aktif, bukanlah penerima yang pasif atas apapun yang media
siarkan, khalayak memilih menggunakan isi program.
2. Para anggota khalayak secara bebas menyeleksi media dan program-
programnya yang terbaik yang bisa mereka gunakan untuk memuaskan
keburuhannya. Produser media mungkin tak menyadari penggunaanoleh
khalayak yang menjadi sasaran program, dan anggota khalayak yang
berbeda mungkin memanfaatkan program yang sama untuk memuaskan
kebutuhan yang berbeda.
3. Media bukan satu-satunya sumber pemuasan.
4. Orang bisa, tahu dibuat bisa, menyadari kepentingan dan motifnya dalam
kasus-kasus tertentu. (bagi pengkritik metode ini, ini adalah asumsi yang
terlemah. Kritik seperti menyatakan bahwa motif yang bisa
diartikulasikan seringkali kurang penting, dan bahwa menghubungkan
khalayak dengan isi program hanya lewat mata rantai kebutuhan-
kebutuhan yang rasional dan pemuasan adalah “pemaknaan” terbatas
yang tak bisa diterima).
5. Petimbangan nilai tentang signifikasi kultural dari media massa harus
dicegah.
2.2 Kerangka Konsep
Dalam menyusun kerangka konsep diperlukan hasil pemikiran rasional
yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang
akan dicapai (Nawawi, 2001:40).
56
Konsep yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak: kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat
perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 2006:33).
Jadi kerangka konsep adalah landasan berfikir yang menjelaskan makna
dan maksud dari teori yang dipakai atau menjelaskan kata-kata yang mungkin
masih abstrak pengertiannya di dalam teori tersebut. Agar konsep-konsep dapat
diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya
menjadi variabel.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut:
1. Variabel Bebas (X)
Adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang menentukan atau
mempengaruhi munculnya gejala, faktor, atau unsur yang lain (Nawawi,
2001:56). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah acara Top KPop di
stasiun televisi O Channel.
2. Variabel Terikat (Y)
Adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang ada atau muncul
dipengaruhi atau ditentukan adanya variabel bebas (Nawawi, 2001:57).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Perilaku remaja di Perumahan
Kencana Loka Blok F1.
2.3 Model Teoritis
Varibel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep akan
dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut:
57
Gambar 2.3
Model Teoritis
Variabel Bebas (X) Acara Top KPop di O Channel
Variabel Terikat (Y) Perilaku Remaja di Perumahan
Kencana Loka Blok F1
Karakteristik Responden