Post on 20-Jul-2021
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
Menurut penelitian Mohammad, dkk (2012) dengan judul “Analisis gas
pelindung dan variasi arus pengelasan dengan metode plug welding pada side sill
kereta api ditinjau dari struktur mikro, kekerasan, dan laju korosi” .Gas pelindung
pada proses pengelasan GMAW digunakan sebagai penstabil busur dan pelindung
logam las pada saat pengelasan agar tidak terkontaminasi. Pada penelitian ini jenis
sambungan yang digunakan yaitu tipe sambungan plug weld, yang mana pada AWS
D1.6 disebutkan bahwa Plug welding ini bisa menggunakan proses las
SMAW,GMAW,GTAW, maupun FCAW. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan 2 jenis gas pelindung yaitu, Argon 82% + CO2 18% dan Argon
97,5% + CO2 2,5% dengan proses pengelasan GMAW yang dikombinasikan
dengan 3 arus pengelasan. Prosedur pengelasan menggunakan dokumen WPS
sebagai acuan. Setelah proses pengelasan dilakukan, kemudian dilakukan
pengujian. Pengujian yang dilakukan ialah, uji kekerasan, uji makro dan mikro,dan
laju korosi. Struktur mikro pada kedua variabel yaitu sama, yaitu pada baja karbon
memiliki struktur ferrite dan Pearlite. Laju korosi memiliki nilai terendah sebesar
0.12425 mmpy, semua variabel masih dinyatakan aman dalam laju korosi.
Menurut penelitian Arenas-Martínez L.F, (2012) dengan judul “Korosi
oleh hidrogen sulfida di daerah las pada baja API grade X52”. Perilaku korosi dari
pengelasan busur logam gas (GMAW) daerah telah dipelajari dengan menggunakan
potensio dinamik polarisasi dan polarisasi resistensi (LPR) teknik. Eksperimen
dilakukan pada hidrogen sulfida (H2S) yang mengandung air garam dan air garam
bebas H2S. Welds dibuat pada baja API 5L grade X52 baja. Karena perbedaan
dalam struktur mikro mereka, komposisi kimia dan tingkat stres residu, mengelas
daerah dipamerkan respon yang berbeda di bawah H2S korosi. Logam dasar
menunjukkan laju korosi tertinggi (CR) dan potensi korosi yang paling katodik.
Menurut penelitian Indra Priyanto, (2017) dengan judul “Pengaruh
temperature media pendinginan (air, collant, oli) pada pengelasan GMAW terhadap
6
struktur mikro, kekuatan tarik dan kekerasan pada baja ST 37”. Pendinginan
pengelasan banyak digunakan untuk mendapatkan kekuatan sambungan lah yang
baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari akibat proses
pendinginan pengelasan dengan menggunakan temperatur media pendingin air,
collant, dan oli pada pengelasan GMAW terhadap struktur mikro, kekuatan tarik
dan kekerasan pada baja ST37. Metode penelitian yang digunakan yaitu eksperimen
dengan menggunakan analisis data berupa analisis deskriptif. Pendinginan
pengelasan menggunakan media pendingin air, collant dan oli yang divariasikan
dengan temperatur 15⁰C, 25⁰C, 50⁰C, 75⁰C, 100⁰C. Proses pendinginan pengelasan
merubah fasa baja menjadi perlit dan ferit halus sehingga kekerasan bahan
meningkat karena laju pendinginan cepat. Hasil penelitian struktur mikro pada
pengelasan dengan pendinginan pengelasan menyebabkan perubahan struktur
mikro sangat terlihat pada daerah HAZ dan logam lasan, semakin besar input panas
yang terjadi semakin membuat butir dari perlit dan ferit semakin kasar dan merata.
Menurut penilitian Roymons Jimmy Dimu dan Oktovianus Dharma Rerung
(2019) dengan judul “Analisa Pengaruh Variasi Arus Listrik Terhadap Kekerasan
Material Baja Karbon Rendah Pada Daerah Lasan TIG Dan MIG“. Banyak faktor
yang mempengaruhi hasil pengelasan sehingga cacat pengelasan dapat timbul pada
hasil las adalah adanya pengaruh magnetic arc blow, ini disebabkan karena kondisi
medan magnet yang tidak seimbang di sekeliling busur listrik. Kondisi medan
magnet yang tak seimbang ini disebabkan karena arus mengalir melalui beberapa
mediumyang berbeda, yaitu elektroda, udara, dan benda kerja. Mengingat efek
magnetic arc blow terhadap kualitas hasil las cukup penting, mendorong
dilakukannya penelitian ini dengan menggunakan variasi pengelasan dengan variasi
arus 150 A, 175 A dan 200 A pada pengelasan Tig dan Mig. Proses pengujian ini
bertujuan untuk Mempelajari pengaruh Daerah Lasanterhadaphasil las (kekerasan).
Dari hasil pengujian yang dilakukan Daerah Lasan untuk pengelasan TIG dan
MIG yang memiliki kekerasan tertinggi yaitu pada daerah las dibandingkan
dengan daerah logam induk dan HAZ. Pada daerah las pengelasan TIG
dengan kuat arus 150 A memiliki nilai kekerasan tertinggi yaitu 88 HRB,
7
dan pada daerah las pengelasan MIG dengan kuat arus 200 A memiliki nilai
kekerasan tertinggi yaitu 92,7 HRB
Menurut penelitian Mulyadi, dkk (2018) dengan judul “Analisa uji
kekerasan las jenis GMAW dan las electroda jenis LB pada circle gear unit grader
705A-4”. Dari beberapa masalah yang dialami unit di suatu perusahaan
pertambangan salah satunya seperti Sering terjadi patah pada komponen Pinion
Circle Gear pada Unit Grader 705A-4 akibat dari bersinggungan dengan Gear
lainnya, maka dari itu dilakukan perbaikan dengan menambahkan pengelasan jenis
GMAW dan las jenis LB. Untuk mengetahui tingkat kekerasan dari hasil
pengelasan maka dilakukan pengujian kekerasan. Pengujian menggunakan Metode
Hardening Brinell dipanaskan pada suhu 700⁰C dan 900⁰C dan menggunakan tiga
media pendingin yaitu Air, Oli, Udara. Dari pengujian kekerasan, hasil tertinggi
terjadi pada hasil pengelasan jenis LB setelah dilakukan perlakuan panas 900⁰C dan
menggunakan media pendingin Oli dengan hasil yang didapat adalah 271 HB
dengan nilai persentasi kenaikan sebesar 1.917%.
Dari uraian diatas belum banyak yang meneliti tentang ”Pengaruh Heat
Input Terhadap Korosi Dan Kekerasan Brinell Sambungan Butt Joint Las MIG Pada
Baja Karbon Rendah” maka penulis mengangkat topik penelitian tersebut.
2.2 Dasar Teori
2.2.1 Baja Karbon
Baja karbon merupakan salah satu jenis baja paduan yang terdiri atas unsur
besi (Fe) dan karbon (C). Dimana besi merupakan unsur dasar dan karbon sebagai
unsur paduan utamanya. Dalam proses pembuatan baja akan ditemukan pula
penambahan kandungan unsur kimia lain seperti sulfur (S), fosfor (P), slikon (Si),
mangan (Mn) dan unsur kimia lainnya sesuai dengan sifat baja yang diinginkan.
Baja karbon memiliki kandungan unsur karbon dalam besi sebesar 0,2% hingga
2,14%, dimana kandungan karbon tersebut berfungsi sebagai unsur pengeras dalam
struktur baja. Sebenarnya yang mempengarui sifat-sifat baja bukanlah kadar karbon
atau paduan lain, tetapi lebih penting adalah struktur mikronya. Baja dengan
8
komposisi kimia yang sama dapat mempunyai sifat yang sangat berbeda bila
struktur mikronya berbeda. Perbedaan struktur mikro dapat terjadi karena
perbedaan komposisi kimia, perbedaan pembentukan atau pengerjaan mekanik dan
perlakuan panas.
2.2.2 Klasifikasi Tentang Baja Karbon
Dalam pengaplikasiannya baja karbon sering digunakan sebagai bahan
baku untuk pembuatan alat-alat perkakas, komponen mesin, struktur bangunan, dan
lain sebagainya. Menurut pendefenisian ASM handbook vol.1:148 (1993), baja
karbon dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah persentase komposisi kimia
karbon dalam baja yakni sebagai berikut :
a) Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)
Baja karbon rendah merupakan baja dengan kandungan unsur karbon dalam
sturktur baja kurang dari 0,3% C. Baja karbon rendah ini memiliki ketangguhan
dan keuletan tinggi akan tetapi memiliki sifat kekerasan dan ketahanan aus yang
rendah. Pada umumnya baja jenis ini digunakan sebagai bahan baku untuk
pembuatan komponen struktur bangunan, pipa gedung, jembatan, bodi mobil,
dan lain-lainya.
b) Baja Karbon Sedang (Medium Carbon Steel)
Baja karbon sedang merupakan baja karbon dengan persentase kandungan
karbon pada besi sebesar 0,30% C–0,50% C. Baja karbon ini memiliki kelebihan
bila dibandingkan dengan baja karbon rendah, baja karbon sedang memiliki sifat
mekanis yang lebih kuat dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari pada
baja karbon rendah. Baja karbon sedang biasanya digunakan untuk pembuatan
poros, rel kereta api, roda gigi, baut, pegas, dan komponen mesin lainnya.
c) Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)
Baja karbon tinggi adalah baja karbon yang memiliki kandungan karbon
sebesar 0,6% C-1,4% C. Baja karbon tinggi memiliki sifat tahan panas,
kekerasan serta kekuatan tarik yang sangat tinggi akan tetapi memiliki keuletan
9
yang lebih rendah sehingga baja karbon ini menjadi lebih getas. Baja karbon
tinggi ini sulit diberi perlakuan panas untuk meningkatkan sifat kekerasannya,
hal ini dikarenakan baja karbon tinggi memiliki jumlah martensit yang cukup
tinggi sehingga tidak akan memberikan hasil yang optimal pada saat dilakukan
proses pengerasan permukaan. Dalam pengaplikasiannya baja karbon tinggi
banyak digunakan dalam pembuatan alat-alat perkakas seperti palu, gergaji,
pembuatan kikir, pisau cukur, dan sebagainya.
Tabel 2.1. Klasifikasi Baja Karbon
Baja lunak
khusus
Jenis dan Kelas
Baja Karbon
Baja sangat
lunak
Baja lunak
Baja setengah
lunak
Baja Karbon
sedang
Baja setengah
keras
Baja Karbon
tinggi
Baja keras
Baja sangat
keras
Kadar
Karbon
(%)
0.08
0.08 - 0.12
0.12 - 0.20
0.20 - 0.30
0.30 - 0.40
0.40 - 0.50
0.50 - 0.80
Kekuatan
luluh
(kg/mm2)
18 - 28
20 - 29
22 - 30
24 - 36
30 - 40
34 - 46
36 - 47
Kekuatan
tarik
(kg/mm2)
32 - 36
36 - 42
38 - 48
44 - 55
50 - 60
58 - 70
65 - 100
Perpan-
jangan
(%)
40 - 30
40 - 30
36 - 24
32 - 22
30 - 17
26 - 14
20 - 11
Kekerasan
Brinell
112 - 145
140 - 170
180 - 235
160 - 200
95 - 100
80 - 120
100 - 130
Penggunaan
Pelat tipis
Batang,
kawat
konstruksi
umum
Alat-alat
mesin
Perkakas
Rel, pegas
dan kawat
piano
Sumber : Wiryosumarto (2004), Teknologi Pengelasan Logam
2.2.3. Pengaruh Unsur Paduan Dalam Baja Karbon
Penambahan unsur-unsur paduan di dalam baja karbon akan
mempengaruhi sifat-sifat dari baja karbon sehingga membuat baja karbon menjadi
berkualitas tinggi. Unsur-unsur paduan balam baja karbon antara lain :
a) Carbon (C)
Kehadiran karbon dalam besi diperlukan untuk membuat baja. Karbon
penting untuk pembentukan sementit serta karbida lainnya dan pembentukan
perlit, speroidit, bainit, martensit dan besi-karbon.
10
b) Nickel (Ni)
Baja dengan paduan nikel dapat dikerjakan dengan baik, baik dibentuk dalam
keadaan dingin maupun panas, dapat dipoles, dimagnetisasikan, tahan panas,
meningkatkan keuletan, kekuatan, ketahanan korosi, tidak rusak oleh air kali/air
laut dan alkohol tetapi dapat rusak oleh asam nitrat dan sedikit tahanan korosi
terhadap asam sulfur.
c) Silicon (Si)
Silisium terkandung dalam jumlah kecil di dalam semua bahan besi dan
dibubuhkan dalam jumlah yang lebih besar pada jenis-jenis istimewa. Silisium
yang terkandung pada baja dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, mampu
diperkakas secara keseluruhan, kekenyalan, ketahanan aus, ketahanan panas dan
karat, ketahanan terhadap keras serta dapat menurunkan regangan, mampu tempa
dan las (Schonmets, 1977).
d) Chromium (Cr)
Krom merupakan unsur terpenting untuk baja konstruksi dan perkakas, baja
tahan karat dan asam. Krom yang terkandung pada baja dapat meningkatkan
kekerasan, kekuatan, batas rentang, ketahanan aus, mampu diperkeras, kesudian
temper menyeluruh, ketahanan panas, ketahanan retak, ketahanan karat, ketahanan
asam dan kemudahan pemolesan serta dapat menurunkan regangan (dalam
tingkatan kecil) (Schonmets, 1977).
e) Vanadium (V)
Vanadium mempunyai dampak mirip molibdenum (Mo) dalam baja, namun
tanpa mengurangi regangan. Vanadium yang terkandung pada baja dapat
meningkatkan kekuatan, batas rentang, keuletan, kekuatan panas dan ketahanan
lelah pada suhu pijar perlakuan panas serta dapat menurunkan kepekaan terhadap
sengatan panas yang melewati batas pada perlakuan panas (Schonmets, 1977).
f) Mangan (Mn)
Mangan seperti silisium (Si) terkandung dalam semua bahan besi dan
dibubuhkan dalam jumlah besar pada jenis-jenis istimewa. Contohya pada baja
11
keras dengan 13% kandungan Mn. Mangan yang terkandung pada baja dapat
meningkatkan kekuatan, kekerasan, kemampuan temper yang menyeluruh,
ketahanan aus, penguatan pada pembentukan dingin serta dapat menurunkan
kesudian serpih (Schonmets, 1977).
g) Molybdenum (Mo)
Molybdenum kebanyakan dipadu dengan baja dalam ikatan dengan Cr, V, dan
Ni. Molybdenum yang terkandung pada baja dapat meningkatkan kekuatan tarik,
batas rentang, kemampuan temper menyeluruh, batas rentang panas, ketahanan
panas dan batas kelelahan, suhu pijar pada perlakuan panas serta dapat menurunkan
regangan dan kerapuhan pelunakan (Schonmets, 1977).
h) Wolfram (W)
Merupakan unsur paduan terpenting bagi baja olah cepat dan logam keras.
Berkat titik leburnya yang tinggi, maka logam ini digunakan untuk kawat pijar dan
baja keras. Wolfram yang terkandung pada baja dapat meningkatkan kekerasan,
kekuatan, batas rentang, kekuatan panas, ketahanan terhadap normalisasi dan daya
sayat serta dapat menurunkan regangan (sedikit) (Schonmets, 1977).
i) Titanium (Ti)
Titanium memiliki kekuatan yang sama seperti baja, mempertahankan sifatnya
sampai suhu 4000C, oleh karena itu titanium merupakan paduan kawat las. Titanium
memiliki kekerasan yang tinggi dan titik lebur yang tinggi. Titanium juga
merupakan unsur logam keras (Schonmets, 1977).
j) Tantalum (Ta)
Tantalum sangat tahan karat (hanya diserang oleh asam fluor zat air). Baja krom
anti karat menjadi dapat dilas baik dengan Ta. Titik lebur 3150°C. Unsur campuran
dari logam keras (Schonmets, 1977).
k) Cobalt (Co)
Kobalt digunakan sebagai bubuhan terhadap baja olah cepat dan baja terkeras.
Magnet permanen pula mengandung kobalt. Kobalt yang terkandung pada baja
12
dapat meningkatkan kekerasan, ketahanan aus, ketahanan karat dan panas, daya
hantar listrik dan kejenuhan magnetis (Schonmets, 1977).
2.2.4. Pengelasan Baja Karbon Rendah
Baja karbon rendah (Low Carbon Steel) yang juga disebut baja lunak
sekali digunakan untuk konstruksi umum. Baja karbon ini di bagi lagi dalam baja
kil, baja semi-kil dan baja rim, dimana penamaannya didasarkan atau persyaratan
deoksidasi, cara pembekuan dan distribusi rongga atau lubang halus didalam ingot.
Klasifikasi baja menurut tingkat deoksidasinya dapat dilihat dalam tabel.
Tabel 2.2 Klasifikasi Baja Menurut Tingkat Deoksidasi
Sumber : Wiryosumarto (2004), Teknologi Pengelasan Logam
2.2.5. Weldability Baja Karbon Rendah
Weldability adalah kesanggupan bahan untuk dilas tanpa meninggalkan
cacat atau retak (ASM handbook vol.6, 1993). Weldability atau mampu las menurut
Sonawan (2006) kemampuan suatu logam atau kombinasi logam yang dilas
menjadi suatu konstruksi tertentu yang memiliki karakteristik dan sifat tertentu dan
sanggup memenuhi persyaratan yang diinginkan. Jadi dapat disimpulkan
weldability atau mampu las merupakan kemampuan logam untuk dapat dilas tanpa
memerlukan perlakuan khusus dan mengalami penurunan sifat secara berlebih.
13
Baja karbon rendah dapat dilas dengan semua cara pengelasan yang ada
didalam praktek dan hasilnya akan baik bila persiapannya sempurna dan
persyaratannya dipenuhi. Pada kenyataannya baja karbon rendah adalah baja yang
mudah dilas. Retak las yang mungkin terjadi pada pengelasan plat tebal dapat
dihindari dengan pemanasan mula atau dengan menggunakan elektroda hidrogen
rendah.
2.3. Pengertian Pengelasan
Teknik pengelasan secara sederhana telah diketemukan dalam kurun
waktu antara 4000 sampai 3000 SM. Setelah energi listrik dipergunakan dengan
mudah, teknologi pengelasan maju dengan pesat sehingga menjadi suatu teknik
penyambungan yang mutakhir. Dampak dari perkembangan itu, maka
pengembangan dibidang konstruksi industri logam semakin pesat. Pada awal-awal
revolusi, teknik penyambungan logam masih menggunakan paku keling.
Definisi pengelasan menurut Deutsche Industrie Norman (DIN) adalah
ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan
dalam keadaan lumer atau cair. Las merupakan sambungan setempat dari beberapa
batang logam dengan menggunakan energi panas. Dengan kata lain, mengelas
adalah suatu aktifitas menyambung dua bagian benda atau lebih dengan cara
memanaskan atau menekan atau gabungan dari keduanya sedemikian rupa sehingga
menyatu seperti benda utuh. Penyambungan bisa dengan atau tanpa bahan tambah
(filler metal) yang sama atau berbeda titik cair maupun strukturnya.
Pengelasan dapat diartikan dengan proses penyambungan dua buah logam
sampai titik rekristalisasi logam, dengan atau tanpa menggunakan bahan tambah
dan menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas. Pengelasan juga
dapat diartikan sebagai ikatan tetap dari benda atau logam yang dipanaskan.
Mengelas bukan hanya memanaskan dua bagian benda sampai mencair dan
membiarkan membeku kembali, tetapi membuat lasan yang utuh dengan cara
memberikan bahan tambah atau elektroda pada waktu dipanaskan sehingga
mempunyai kekuatan seperti yang dikehendaki. Kekuatan sambungan las
14
dipengaruhi beberapa faktor antara lain : prosedur pengelasan, bahan, elektroda,
kuat arus dan jenis kampuh yang digunakan.
Pengelasan juga dapat diartikan sebagai teknik penyambungan logam
dengan logam melalui proses pemanasan dan penekanan tertentu. Penyambungan
ini memungkinkan menyebabkan mencairnya dua logam secara bersama-sama
sehingga dapat menyatu. Lingkup penggunaan teknik pengelasan dalam konstruksi
sangat luas, meliputi perkapalan, jembatan, rangka baja, bejana tekan, pipa pesat,
pipa saluran dan sebagainya. Disamping untuk pembuatan, proses las dapat juga
dipergunakan untuk reparasi logam, misalnya untuk mengisi lubang pada coran,
membuat lapisan las pada perkakas, dan mempertebal bagian-bagian yang sudah
aus.
2.3.1 Klasifikasi Pengelasan
Banyak sekali cara pengklasifikasian yang digunakan dalam bidang las, ini
disebabkan karena adanya kesepakatan dalam hal tersebut. Secara konvensional
cara-cara pengklasifikasian tersebut terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan cara
kerja dan berdasarkan energi yang digunakan.
Klasifikasi pertama, membagi pengelasan dalam tiga golongan, yaitu
pengelasan cair, pengelasan tekan, dan pematrian. Sedangkan klasifikasi kedua
membagi pengelasan antara las kimia, las mekanik dan lainnya. Diantara dua
klasifikasi tersebut, maka klasifikasi pertama yang paling banyak dan sering
digunakan. Berdasarkan klasifikasi ini, pengelasan dapat dibagi dalam tiga
kelompok yaitu :
1. Pengelasan cair adalah cara pengelasan sambungan dengan dipanaskan sampai
mencair dengan sumber panas dari busur listrik maupun dari sumber api gas
yang terbakar.
2. Pengelasan tekan adalah cara pengelasan sambungan dengan dipanaskan
kemudian ditekan hingga menjadi satu.
3. Pematrian adalah cara pengelasan sambungan dengan diikat dan disatukan
dengan paduan logam yang mempunyai titik cair rendah. Dalam hal ini logam
induk tidak turut mencair.
15
Klasifikasi yang lebih lanjut akan ditampilkan dalam gambar di bawah ini :
Gambar 2.1. Klasifikasi Cara Pengelasan (Wiryosumarto, 2004).
2.3.2 Las MIG (Metal Inert Gas)
Las MIG (Metal Inert Gas) merupakan sebuah pengembangan dari
pengelasan GMAW (Gas Metal Arc Welding). Las GMAW mempunyai dua tipe
gas pelindung yaitu inert gas dan actif gas yang kemudian sering dikenal dengan
sebutan las MIG (Metal Inert Gas) dan las MAG (Metal Actif Gas). Las MIG mulai
dikenalkan di dunia industri pada tahun 1940-an. Di awal tahun 1950 yang
diprakarsai oleh Lyubavshkii dan Novoshilov, melakukan pengembangan MIG
dengan menggunakan diameter elektroda yang lebih besar dan gas pelindung yang
digunakan adalah karbon dioksida (CO2). Pengembangan ini menghasilkan
percikan elektroda yang tinggi, dan panas pada benda kerja yang sedang. Di akhir
tahun 1950 terjadi perkembangan dibidang teknologi power source, dan
perkembangan diameter elektroda yang digunakan semakin kecil 0.035" - 0.062"
(0.9 - 1.6 mm).
16
Gambar 2.2. Proses pengelasan MIG
(Sumber : Wiryosumarto, 2000).
• Kelebihan Las MIG
a. Sangat efisien dan proses pengerjaan yang cepat.
b. Dapat digunakan untuk semua posisi pengelasan (welding positif ).
c. Tidak menghasilkan slag atau terak, layaknya terjadi pada las SMAW.
d. Memiliki angka deposisi (deposition rates) yang lebih tinggi
dibandingkan SMAW.
e. Membutuhkan kemampuan operator yang baik.
f. Proses pengelasan MIG sangat cocok untuk pekerjaan konstruksi.
g. Karenanya las MIG sesuai untuk fabrikasi yang banyak menggunakan
pengelasan dengan produktifitas tinggi apalagi jika dilaksanakan oleh
robot.
• Kelemahan Las MIG
a. Wire-feeder yang memerlukan pengontrolan yang kontinou.
b. Sewaktu waktu dapat terjadi Burn back.
c. Unitnya lebih mahal, lebih rumit penanganannya, dan kurang
portabel. Lebih sulit digunakan dilokasi sempit/terbatas dan susah
dicapai dibanding SMAW.
d. Pada awalnya set-up pengelasan merupakan permulaan yang sulit.
e. Karena Las MIG menggunakan arus tetap dan kecepatan pasok kawat
yang tetap pula, maka manakala posisi obor bergerak menjauh
17
elektroda akan memanjang keluar (stick out) bergerak naik pula
ampernya, sehingga panjang busur nyala akan selalu tetap.
2.3.3. Standar Parameter Pengelasan Metal Inert Gas (MIG)
Penggunaan masukan panas dalam las Metal Inert Gas (MIG) sangat luas
sehingga diperlukan pengaturan parameter yang tepat dan sesuai dengan
penggunaan. Parameter-parameter yang berpengaruh dalam pengelasan Metal Inert
Gas (MIG) diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Arus listrik
Gambar 2.3. Tang Ampere
Arus berpengaruh dalam proses pengelasan busur listrik, besar kecil arus
yang digunakan dapat menentukan ukuran dan bentuk hasil penetrasi dan deposit
las. Arus yang semakin besar cenderung menghasilkan penetrasi yang lebih dalam
dan luas daerah lasan semakin sempit.
Gambar 2.4. Prinsip Kerja Tang Ampere
18
Mengukur arus listrik pada mesin las dapat diukur dengan alat ukur yaitu
multimeter dan tang meter, jika pada mesin las tidak dilengkapi dengan indicator
yang bagus. Berikut cara untuk mengukur arus listrik pada mesin las :
1) Putar atau setting Saklar Clamp Meter ke posisi Ampere Meter (biasanya
tertulis huruf A dengan gelombang sinus diatasnya).
2) Tekan Trigger untuk membuka rahang Penjepit Clamp Meter atau Tang
Ampere.
3) Jepitkan Rahang penjepit ke kabel Konduktor yang dialiri arus listrik AC
(Kabel Listrik berada di tengah-tengah rahang penjepit) kemudian lepaskan
Trigger Clamp Meter.
Catatan : Jika kabel listrik tersebut belum dialiri listrik, hubungkan kabel
tersebut atau ON-kan perangkat yang ingin diukur arus listriknya.
4) Baca Nilai Ampere yang tertera di layar Clamp Meter (Tang Ampere).
b. Kecepatan las
Kecepatan pengelasan tergantung pada jenis elektroda. Diameter inti
elektroda. Bahan yang dilas, geometri sambungan, ketelitian sambungan.
Kecepatan las tidak ada hubungannya dengan tegangan tetapi berbanding lurus
dengan kuat arus, sehingga pengelasan yang cepat membutuhkan arus las yang
tinggi untuk mencapai hasil las yang baik. Jika kecepatan las dinaikkan maka
masukan panas per satuan panjang akan menjadi kecil sehingga pendinginan akan
berjalan cepat. Kecepatan pada pengelasan dapat dihitung dengan cara memakai
rumus dibawah ini :
ν = S
t
Keterangan:
ν = Kecepatan pengelasan (mm/s)
S = Panjang pengelasan (mm)
t = Waktu pengelasan (s)
19
Gambar 2.5. Bahan Pengelasan
c. Gas pelindung
Gas yang digunakan pada pengelasan Metal Inert Gas (MIG) yaitu gas
mulia karena sifatnya stabil dan tidak mudah bereaksi dengan unsur lainnya. Gas
argon memberikan perlindungan yang lebih baik tetapi penembusannya dangkal,
sehingga untuk memperdalam penembusannya dapat dilakukan dengan
peningkatan kecepatan volume alir gas sehingga tekanan yang didapat meningkat.
Tingginya penekanan pada manik las dapat memperbaiki penguatan manik dan
memperkecil terjadinya rongga-rongga halus pada lasan.
d. Elektroda
Elektroda yang digunakan pada pengelasan MIG yaitu elektroda terumpan
yang berfungsi sebagai pencipta busur nyala dan juga sebagai logam pengisi. Besar
kecilnya ukuran elektroda tergantung pada bahan yang digunakan dan ukuran tebal
bahan.
Menurut Wiryosumarto, et. al (2015: 124) standar parameter arus
pengelasan GMAW diantaranya dijelaskan dalam tabel berikut. Tabel tersebut
nantinya yang akan digunakan sebagai acuan dasar dalam menentukan besar
parameter yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 2.3 Standar Parameter Arus pada Pengelasan GMAW
Diameter kawat logam pengisi (mm) Arus Pengelasan (Ampere)
0,8 10 - 100
1,0 70 - 180
20
1,2 110 - 230
1,6 150 - 330
2,4 250 - 500
Sumber: Wiryosumarto, et. al (2000: 124)
e. Polaritas listrik
Sumber listrik yang digunakan berupa listrik AC atau listrik DC dengan
rangkaian listriknya dengan polaritas lurus dimana katup positif dihubungkan
dengan logam induk dan katup negatif dihubungkan dengan batang elektroda.
Rangkaian listrik polaritas lurus cocok untuk arus listrik yang besar. Pengaruh dari
rangkaian ini adalah penetrasi yang dalam dan sempit, sedangkan polaritas terbalik
penetrasi yang terjadi dangkal dan lebar karena elektron bergerak dari logam induk
menumbuk elektroda sehingga elektroda menjadi panas.
f. Tegangan
Gambar 2.6. Multimeter Digital
Pengaruh dari tegangan, setiap peningkatan tegangan yang dipergunakan
pada proses pengelasan akan semakin memperbesar jarak antara tip elektroda
dengan material yang akan dilas, sehingga busur api yang terbentuk akan menyebar
dan mengurangi penetrasi pada material las. Polaritas terbalik penetrasi yang terjadi
dangkal dan lebar karena elektron bergerak dari logam induk menumbuk elektroda
sehingga elektroda menjadi panas.
21
Gambar 2.7. Prinsip Kerja Multimeter
Mengukur tegangan listrik pada mesin las dapat diukur dengan alat ukur
yaitu multimeter, jika pada mesin las tidak dilengkapi dengan indicator yang
bagus. Berikut cara untuk mengukur tegangan listrik pada mesin las :
1) Atur Posisi Saklar Selektor ke DCV
2) Pilih skala sesuai dengan perkiraan tegangan yang akan diukur. Jika ingin
mengukur 220 Volt, putar saklar selector ke 300 Volt (khusus Analog
Multimeter) **Jika tidak mengetahui tingginya tegangan yang diukur, maka
disarankan untuk memilih skala tegangan yang tertinggi untuk menghindari
terjadi kerusakan pada multimeter.
3) Hubungkan probe ke terminal tegangan yang akan diukur. Probe Merah
pada terminal Positif (+) dan Probe Hitam ke terminal Negatif (-). Hati-hati
agar jangan sampai terbalik.
4) Baca hasil pengukuran di Display Multimeter.
Berdasarkan penjelasan parameter pengelasan diatas, pengaruh masukan
panas paling utama selain arus las dan kecepatan yaitu tegangan las. Wiryosumarto,
dkk (2000: 225) menyatakan bahwa tegangan atau voltage yang semakin besar
maka semakin panjang busur yang terjadi dan semakin tidak terpusat, sehingga
panasnya melebar dan menghasilkan penetrasi yang lebar dan dangkal. Berdasarkan
teori tersebut dapat disimpulkan bahwa arus las berbanding lurus dengan kecepatan
22
dan berbanding terbalik dengan tegangan las. Apabila arus las dan kecepatannya
dinaikkan, tegangan las tidak diturunkan untuk mencapai hasil yang baik.
2.3.4. Peralatan Utama Las Metal Inert Gas (MIG)
Peralatan utama adalah peralatan yang berhubungan langsung dengan
proses pengelasan, yakni terdiri dari :
a) Mesin Las
Sistem pembangkit tenaga pada mesin MIG pada prinsipnya adalah sama
dengan mesin las Shielded Metal Arc Welding (SMAW) yang dibagi dalam 2
golongan, yaitu : Mesin las arus bolak balik (Alternating Current (AC) Welding
Machine) dan Mesin las arus searah (Direct Current (DC) Welding Machine),
namun sesuai dengan tuntutan pekerjaan dan jenis bahan yang di las yang
kebanyakan adalah jenis baja, maka secara luas proses pengelasan dengan MIG
adalah menggunakan mesin las arus searah (Direct Current (DC) Welding
Machine).
Mesin las MIG merupakan mesin las arus searah, umumnya berkemampuan
sampai 250 ampere. Dilengkapi dengan sistem kontrol, penggulung kawat gas
pelindung, system pendingin dan rangkaian lain. Sumber tenaga untuk las MIG
merupakan mesin las bertegangan konstan. Tenaga yang dikeluarkan dapat
berubah-ubah sendiri sesuai dengan panjang busur. Panjang busur adalah jarak
antara ujung elektroda ke benda kerja. Panjang busur ini bisa distel. Bila busur
berubah menjadi lebih pendek dari setelan semula, maka arus bertambah dan
kecepatan kawat berkurang, Sehingga panjang busur kembali semula. Sebaliknya
bila busur berubah menjadi lebih panjang, maka arus berkurang dan kecepatan
kawat elektroda bertambah. Dengan sistem otomatis seperti ini, yaitu mesin yang
mengatur sendiri, maka panjang busur akan konstan dan hasil pengelasan akan tetap
baik.
Umumnya mesin las arus searah (Direct Current) mendapatkan sumber
tenaga listrik dari trafo las arus (Alternating Current) yang kemudian diubah
menjadi arus searah dengan voltage yang konstan (constant-voltage). Pemasangan
23
kabel-kabel las (pengkutuban) pada mesin las arus searah dapat diatur atau dibolak-
balik sesuai dengan keperluan pengelasan, dengan cara sebagai berikut :
• Pengkutuban Langsung Direct Current Straigh Polarity (DCSP)
Dengan pengkutuban langsung berarti kutub positif (+) mesin las
dihubungkan dengan benda kerja dan kutub negatif (-) dihubungkan dengan kabel
elektroda. Dengan hubungan seperti ini panas pengelasan yang terjadi 1/3 bagian
panas memanaskan elektroda sedangkan 2/3 bagian memanaskan benda kerja.
• Pengkutuban Terbalik Direct Current Reverce Polarity (DCRP)
Pada pengkutuban terbalik, kutub negatif (-) mesin las dihubungkan dengan
benda kerja, dan kutub positif (+) dihubungkan dengan elektroda. Pada hubungan
semacam ini panas pengelasan yang terjadi 1/3 bagian panas memanaskan benda
kerja dan 2/3 bagian memanaskan elektroda.
b) Unit Pengontrol Kawat Elektroda ( Wire Feeder )
Alat pengontrol kawat elektroda (wire feeder unit) adalah alat/ perlengkapan
utama pada pengelasan dengan Metal Inert Gas (MIG). Alat ini biasanya tidak
menyatu dengan mesin las, tapi merupakan bagian yang terpisah dan ditempatkan
berdekatan dengan pengelasan.
Fungsinya adalah sebagai berikut :
➢ Menempatkan rol kawat elektroda.
➢ Menempatkan kabel las (termasuk welding gun dan nozzle) dan sistem
saluran gas pelindung.
➢ Mengatur pemakaian kawat elektroda (sebagian tipe mesin, unit
pengontrolnya terpisah dengan wire feeder unit).
➢ Mempermudah proses/penanganan pengelasan dimana wire feeder tersebut
dapat dipindah-pindah sesuai kebutuhan.
24
Gambar 2.8. Wire Feeder
Pada dasarnya terdapat tiga jenis wire feeder, yaitu jenis dorong, jenis tarik
dan jenis dorong-tarik. Perbedaannya adalah dari cara menggerakan elektroda dari
spook ke tourch. Kecepatan dari wire feeder dapat diatur mulai dari 1 mm/menit
hingga 22 m/menit dari las Metal Inert Gas (MIG), untuk performa tinggi dapat
mencapai kecepatan 30 m/menit. Untuk jenis rolnya wire feeder dibagi dalam dua
jenis yaitu 2 (dua) rol dan sistem 4 (empat) rol. Sedangkan menurut bidang
kontaknya rol dari wire feeder dapat dibagi menjadi jenis trapesium, jenis setengah
lingkaran halus, dan jenis setengah lingkaran kasar.
c) Welding Gun
Kabel dan torch yang digunakan untuk mengirim gas pelindung dan
elektroda ke benda kerja.
Gambar 2.9. Welding Gun Las Metal Inert Gas (MIG)
d) Kabel Las dan Kabel Control
Pada mesin las terdapat kabel primer (primary powercable) dan kabel
sekunder atau kabel las (welding cable). Kabel primer ialah kabel yang
25
menghubungkan antara sumber tenaga dengan mesin las. Jumlah kawat inti pada
kabel primer disesuaikan dengan jumlah phasa mesin las d itambah satu kawat
sebagai hubungan pentanahan dari mesin las. Kabel sekunder ialah kabel-kabel
yang dipakai untuk keperluan mengelas, terdiri dari kabel yang dihubungkan
dengan tang las dan benda kerja serta kabel-kabel control.
Inti Penggunaan kabel pada mesin las hendaknya disesuaikan dengan
kapasitas arus maksimum dari pada mesin las. Makin kecil diameter kabel atau
semakin panjang ukuran kabel, maka tahanan/hambatan kabel akan naik,
sebaliknya semakin besar diameter kabel dan semakin pendek maka hambatan akan
rendah. Pada ujung kabel las biasanya dipasang sepatu kabel untuk pengikatan
kabel pada terminal mesin las dan pada penjepit elektroda maupun pada penjepit
masa.
e) Regulator Gas Pelindung
Fungsi utama dari regulator adalah untuk mengatur pemakaian gas. Untuk
pemakaian gas pelindung dalam waktu yang relatif lama, terutama gas CO2
diperlukan pemanas (heater-vaporizer) yang dipasang antara silinder gas dan
regulator. Hal ini diperlukan agar gas pelindung tersebut tidak membeku yang
berakibat terganggunya aliran gas.
Gambar 2.10. Silinder dan Regulator Gas Pelindung
f) Pipa Kontak
Pipa pengarah elektroda biasa juga disebut pipa kontak. Pipa kontak terbuat
dari tembaga dan berfungsi untuk membawa arus listrik ke elektroda yang bergerak
26
dan mengarahkan elektroda tersebut ke daerah kerja pengelasan. Torch
dihubungkan dengan sumber listrik pada mesin las dengan menggunakan kabel.
Karena elektroda harus dapat bergerak dengan bebas dan melakukan kontak listrik
dengan baik, maka besarnya diameter lubang dari pipa kontak sangat berpengaruh.
Gambar 2.11. Bentuk-bentuk Pipa Kontak.
g) Nozzel Gas Pelindung
Nozzel gas pelindung akan mengarahkan jaket gas pelindung kepada
daerah las. Nozzel yang besar digunakan untuk proses pengelasan dengan arus
listrik yang tinggi. Nozzel yang lebih kecil digunakan untuk pengelasan arus
listrik yang lebih kecil.
Gambar 2.12. Nozzel Gas Pelindung
h) Elektroda
Elektroda adalah bagian ujung (yang berhubungan dengan benda kerja)
rangkaian penghantar arus listrik sebagai sumber panas. Pengelasan dengan
27
menggunakan las listrik memerlukan kawat las (elektroda) yang terdiri dari satu inti
terbuat dari logam yang dilapisi lapisan dari campuran kimia. Fungsi dari elektroda
sebagai pembangkit dan sebagai bahan tambah. Bentuk elektroda ada dua yaitu
yang berselaput (fluks) dan tidak berselaput yang merupakan pangkal.
Bentuk kawat elektroda yang digunakan pada proses las Metal Inert Gas
(MIG) secara umum adalah solid wire dan fixed cored wire, dimana penggunaan
kedua tipe tersebut sangat tergantung pada jenis pekerjaan. Pada dasarnya terdapat
lima faktor yang mempengaruhi pemilihan elektroda diantaranya komposisi kimia
benda kerja, properti mekanik benda kerja, jenis gas pelindung, jenis servis dan
jenis sambungan.
Kodefikasi elektroda seperti : E XXXX
• E : Menyatakan elektroda busur listrik XX : (dua angka) sesudah E
menyatakan kekuatan tarik deposit las dalam ribuan lb/in.
• X : (angka ketiga) menyatakan posisi pengelasan. Angka 1 untuk pengelasan
semua posisi. Angka 2 untuk pengelasan posisi datar di bawah tangan.
• X : (angka keempat) menyatakan jenis selaput dan jenis arus yang cocok
dipakai untuk pengelasan.
Untuk kegunaan pengelasan baja karbon, elektroda mengandung 0,05
hingga 0,12 % karbon. Persentase ini cukup untuk menghasilkan kekuatan logam
las yang diinginkan tanpa mempengaruhi ketangguhan dan porositi. Adapun
macam-macam elektroda baja karbon antara lain :
1) ER70S-3 (SPOOLARC 29S dan SPOOLARC 82)
Elektroda dengan klasifikasi ini paling banyak dipakai. Elektroda ini dapat
menggunakan gas pelindung campuran argon-oksigen atau CO2. Kekuatan tarik
pada pengelasan single-pass pada baja karbon rendah dan medium akan melebihi
dari logam dasarnya (benda kerja). Pada pengelasan multi-pass kekuatan tarik
antara 65.000 hingga 85.000 psi tergantung dilusi logam dasar dan jenis gas
pelindung.
28
2) ER70S-4 (SPOOLARC 85)
Elektroda ini mengandung lebih banyak mangan (1,50 %) dan silikon (0,85
%) dibandingkan elektroda sebelumnya. Gas pelindung yang dapat digunakan
adalah Ar-O2, Ar-CO2 dan CO2. Elektroda ini biasanya digunakan pasa proses
pengelasan dengan transfer logam spray atau arus pendek.
3) ER70S-5 (SPOOLARC 86)
Elektroda ini mengandung tambahan mangan dan silikon, selain itu juga
mengandung alumunium (0,5 % hingga 0,9%) yang berfungsi sebagai elemen
deoksidasi. Elektroda ini dapat digunakan untuk pengelasan untuk permukaan yang
telah berkarat. Gas pelindung yang dapat digunakan adalah CO2 (Karbondioksida),
jenis pengelasan ini terbatas hanya pada posisi datar (flat).
4) ER70S-6 (SPOOLARC 86)
Gambar 2.13. Elektroda Baja Karbon ER70S-6 (solid wire)
Elektroda pada kelas ini memiliki kandungan silikon terbesar (1,15 %) dan
mangan yang besar (1,85 %) sebagai elemen doksidasi. Pada umumnya untuk baja
karbon rendah menggunakan gas pelindung CO2 dan arus listrik yang tinggi.
5) ER70S-7 (SPOOLARC 87HP)
Elektroda ini multi fungsi dan memiliki performa yang tinggi, digunakan
untuk mendapatkan hasil yang berkualitas. Elektroda ini mengandung sekitar 2 %
atau lebih mangan. Dapat menggunakan berbagai jenis gas pelindung.
6) ER80S-D2 (SPOOLARC 83)
Elektroda ini mengandung silikon dan mangan sebagai deoksidasi dan
molybdnum (0,4 hingga 0,6 %) untuk meningkatkan kekuatan. Dapat digunakan
29
untuk berbagai jenis posisi pengelasan, menggunakan gas pelindung Ar-CO2 dan
CO2. dapat menghasilkan logam las yang memiliki kekuatan tarik hingga lebih dari
80.000 psi (552 MPa).
2.4. Heat Input
Masukan panas (Heat Input) merupakan energi panas yang terjadi saat
proses pengelasan berlangsung. Saat proses pengelasan berlangsung elektroda akan
mencair bersamaan dengan logam induk akibat energi panas, energi panas tersebut
akan terus bertambah sesuai dengan lamanya proses pengelasan yaitu dari
kecepatan pengelasan dan Panjang bahan yang dilas. Sehingga masukan panas
terjadi akibat proses pengelasan setiap satuan Panjang pengelasan dan kecepatan
pengelasan. Persamaan untuk menetukan besarnya Heat Input yaitu :
Heat Input = ηE . I
V
Dimana :
• Q = Heat Input (Joule/mm)
• 𝜂 = Transfer Efisisensi
• E = Tegangan listrik (volt)
• I = Arus listrik (Ampere)
• V = Kecepatan pengelasan (mm/s)
Tabel 2.4. Effisiensi beberapa mesin las
Process Transfer Effeciency
Oxyfuel Gas
▪ Low combussion intensity fuel
▪ High combussion intensity fuel
0,25 – 0,50
0,50 – 0,80
Gas tungsten arc
▪ Low current DCSP mode
▪ High current DCSP mode
▪ DCRP mode
▪ AC mode
0,40 – 0,60
0,60 – 0,80
0,20 – 0,40
0,20 – 0,50
Plasma arc 0,70 – 0,85
30
(Sumber: welding metalurgi, 1987)
2.5 Metalurgi Las
Pengelasan adalah proses penyambungan antara dua atau lebih logam
menggunakan energi panas (Wiryosumarto, 1996). Karena proses ini maka logam
disekitar lasan mengalami siklus thermal secara cepat yang menyebabkan
terjadinya perubahan metalurgi, deformasi, dan tegangan-tegangan termal yang
cukup rumit. Hal ini berhubungan dengan ketangguhan, cacat las, retak dan lain
sebagainya yang secara umum memiliki pengaruh terhadap keamanan dari
konstruksi yang dilas.
Gambar 2.14. Daerah HAZ
▪ Melt -in mode
▪ Keyhole mode
0,85 – 0,95
Gas metal arc
▪ Globular or short are transfer mode
▪ Spray transfer mode
0,60 – 0,75
0,65 – 0,85
▪ Shielded metal or flux corted arc
▪ Submerged arc
▪ Elektroasing
0,65 – 0,85
0,85 – 0,99
0,55 – 0,85
Electron
▪ Melt in mode
▪ Keyhole mode
0,70 – 0,86
0,85 – 0,95
Laser beam
▪ Reflective surfaces or vapors
▪ Keyhole mode
0,005 – 0,50
0,50 – 0,75
31
Keterangan :
1. Logam Las (Weld Metal) adalah daerah dimana terjadi pencairan logam
dan dengan cepat kemudian membeku. Disebut juga daerah lasan (fusion
zone). merupakan daerah yabng mengalami pencairan, mengalami
pemanasan yang paling tinggi hingga melebihi temperatur cair.
2. PMZ (Partially Melted Zone) adalah daerah dekat diluar logam lasan
dimana pencairan dapat terjadi selama pengelasan berlangsung. Daerah ini
merupakan daerah sempit antara weld metal dan HAZ, dan merupakan
daerah temperatur tertinggi yang memiliki dua fasa cair dan padat
sehingga sering kali terjadi retakan.
3. HAZ (Heat Affected Zone) adalah merupakan daerah paling kritis pada
daerah las karena terjadi perubahan sifat dan struktur terjadi di daerah ini.
Dimana sifat struktur daerah pengelasan dipengaruhi dari lamanya
pendinginan dan komposisi dari logam induk. Oleh karena itu daerah ini
merupakan daerah sensitasi dimana presipitasi karbida krom terbentuk.
4. Logam Induk (Parent Metal) merupakan base metal dimana panas dan
suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
struktur dan sifat.
Dalam setiap pengelasan pasti ada zona terpengaruh panas (HAZ) adalah
sesuatu yang terjadi ketika logam terkena suhu tinggi. Ini memiliki dampak negatif
pada desain dan struktur logam. HAZ dapat diidentifikasi oleh serangkaian pita
berwarna cerah antara permukaan pengelasan dan logam dasar yang tidak
terpengaruh. Warna berkisar dari kuning muda ke ungu. Untuk mengetehaui pasti
lebar HAZ harus dengan proses pengetsaan, untuk melihat dengan mata langsung
sangat tidak mungkin karena warna dan kondisi sama antara lasan, logam induk,
dan HAZ. Berikut cara mengukur lebar HAZ:
1) Potong bahan yang akan dilihat lebar HAZ.
2) Poles permukaan yang akan dilihat lebar HAZ sampai mengkilap seperti
kaca, karena jika tidak halus akan susah untuk mengukur lebar HAZ.
3) Menuangkan bahan etsa yaitu HNO3 kedalam sebuah wadah.
4) Mencelupkan permukaan bahan lasan kedalm cairan etsa selama 3 detik.
32
5) Membersihkan permukaan specimen yang telah dicelup kedalam cairan etsa
dengan alcohol dan keringkan permukaan bahan lasan dengan kain.
6) Jika sudah lebar HAZ akan terlihat dengan cahaya yang terfokus pada
permukaan.
2.5.1. Struktur Mikro Las
Selama proses pendinginan logam las dari cair sampai ke suhu kamar, akan
mengalami serangkain perubahan (transformasi) fasa. Proses pendingan pada las
berlangsung secara kontinyu, sehingga untuk mempelajari struktur mikro yang
terjadi pada pengelasan maka dibutuhkan diagram CCT (Continous Cooling
Transformation). Dari diagram ini dapat diketahui perubahan fasa yang terjadi pada
logam las tergantung dari kecepatan pendinginannya. Struktur mikro yang
terbentuk akibar proses pengelasan sebagai berikut :
a. Ferrite proeutectoid/Ferite Polygonal/Blocky Ferite : Struktur ini terdiri dari
ferite batas butir (grain boundary ferrite) dan intranular polygonal ferrite yang
terbentuk pada suhu 1000˚C - 650˚C.
b. Ferite Widmanstatten (widmanstatten ferrite) : Struktur ini berbentuk plat-plat
sejajar dengan lapisan karbida diantara plat tersebut. Struktur ini terbentuk pada
suhu 750˚C - 500˚C.
c. Ferit acicular (Acicular ferrite) : Struktur ini berbentuk plat-plat kecil yang
saling menyilang seolah-olah berbentuk anyaman. Bentuk ini akhirnya disebut
sebagai interlocking structure. Struktur ini terbentuk pada suhu 650˚C.
d. Bainit (bainite): Berbentuk seperti widmanstatten ferrite, tetapi proses
pembentukan struktur ini disebabkan oleh laju pendinginan yang relatif lebih
cepat dibanding dengan logam las sehingga mengakibatkan pengkasaran
butiran pada daerah ini. Struktur ini terbentuk pada suhu 400˚C - 500˚C.
e. Martensit (martensite): Struktur ini terbentuk jika laju pendinginannya
berlangsung sangat cepat. Berbentuk plat-plat besar yang sejajar dan memiliki
kekerasan yang sangat tinggi sehingga cenderung bersifat getas.
33
2.5.2. Diagram Fasa dan Diagram CCT
Pada saat logam mengalami pengelasan, logam tersebut terkena panas
hingga titik leburnya dan didinginkan dengan cepat dalam kondisi menerima beban
thermal akibat sambungan. Sebagai akibat dari siklus thermal, struktur mikro awal,
dan sifat dari logam pada daerah las maka terjadi perubahan.
Gambar 2.15. Diagram fasa baja karbon
Pada proses pendinginan las ini secara kontinyu dan proses penurunan suhu
berlangsung secara gradual tanpa adanya sesuaian untuk menurunkan fasa-fasa
yang terjadi menurut diagram CCT (Continous Cooling Tranformation) seperti
terlihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.16. Diagram CCT (Continous Cooling Tranformation)
34
2.6. Pengujian Bahan
Pengujian bahan (Tata Sudira, 1975) dilakukan untuk mengetahui
karakteristik dari suatu bahan pengujian. Pengujian bahan dapat di bagi menjadi 2
macam, yaitu :
1. Pengujian yang merusak benda uji (destructive test)
Benda uji akan rusak setelah mengalami pengujian, misalnya pada pengujian
tarik, tekan, lengkung, geser, puntir, fatik (kelelahan) dan impak.
2. Pengujian yang tidak merusak benda uji (non destructive test)
Benda uji tidak mengalami kerusakan yang berarti setelah mengalami pengujian,
misalnya pada pengujian struktur mikro, ultrasonic, metallografi, magnetografi
dan lain-lain.
2.6.1. Pengujian Komposisi
Pengujian komposisi kimia dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
kandungan unsur-unsur yang terdapat pada spesimen atau bahan yang akan di uji,
dengan pengujian komposisi ini unsur paduan akan diketahui dengan pasti beserta
persentasenya kemudian dapat diketahui sifat-sifat dari suatu bahan. Pengujian
komposisi kimia dilaksanakan dua tahap yaitu sebelum proses pengelasan dan
sesudah proses pengelasan, untuk pengujian komposisi tahap pertama pada logam
induk (base metal) sebelum mengalami perlakuan panas (heat treatment) dan tahap
kedua pengujian komposisi dilakukan pada logam las.
Spectometer Metal Scan adalah suatu tipe mikroskop elektron yang
menggambarkan permukaan sampel melalui proses scan dengan menggunakan
pancaran energi yang tinggi dari 19 elektron dalam suatu pola scan raster, maka
scanner akan menunjukkan kadar semua unsur yang terkandung di dalam spesimen
(%).
35
Gambar 2.17. Alat uji komposisi spectometer metal scan
2.6.2. Pengujian Struktur Mikro
Menurut Van Vlack (1991), bahan untuk keperluan optik umumnya
berfungsi untuk meneruskan cahaya secara selektif atau bertindak sebagai filter.
Persyaratan dari sebuah optik yang harus dipenuhi adalah kemampuan transmisi
tanpa distorsi. Pengujian struktur mikro dapat dipenuhi bila permukaan datar dan
sejajar serta tanpa cacat. Untuk pemanfaatan khusus, bahan harus dapat menyaring
(filter) radiasi infra merah atau ultraviolet.
Sifat-sifat logam sangat dipengaruhi oleh struktur mikro, tujuan dari
pengujian ini adalah untuk memperoleh gambaran suatu benda uji tentang sifat-
sifatnya, bentuk struktur atau karakteristik tertentu guna penganalisaan terhadap
sifat-sifat lain yang dimiliki benda uji, misalnya dengan variasi struktur mikro
seperti jumlah, ukuran, bentuk, warna dan distribusi fase. Untuk mengetahui bentuk
struktur mikro dari suatu logam (spesimen uji) dilakukan pengujian dengan
mempergunakan alat khusus yaitu mikroskop logam.
36
Gambar 2.18. Pengamatan batas butir permukaan logam dipoles dan dietsa.
(Van Vlack 1991)
Lensa optik harus dapat membiaskan cahaya sepanjang jalur optik. Pada
lensa kaca mata, pembiasan diatur dengan menggosok permukaan sesuai
lengkungan tertentu. Indeks refraksi (bias), yang merupakan sifat bahan adalah
faktor kedua yang harus diperhatikan pada spesifikasi lensa dan diperhitungkan
dalam semua sistem optik. Pada (gambar 2.12) merupakan contoh optik laser yang
dilakukan pada teknologi tinggi dari cahaya yang mendorong perkembangan bahan
mutakhir.
Struktur dan sifat paduan dapat diamati dengan berbagai cara bergantung
pada sifat informasi yang dibutuhkan. Salah satu cara dalam mengamati struktur
suatu bahan yaitu dengan teknik metalografi. Pada semua cabang metalurgi fisik
kegunaan mikroskop amat besar. Berikut adalah gambar skema mikroskop optik
yang digunakan :
37
Keterangan :
1. Lensa Okuler 11. Penjepit spesimen
2. Pemutar lensa objektif 12. Sumber cahaya
3. Tabung pengamatan 13. Sekrup pengatur vertikal
4. Meja benda 14. Sekrup pengatur horizontal
5. Kondensor 15. Sekrup fokus kasar
6. Lensa objektif 16. Sekrup fokus halus
7. Pengatur kekuatan lampu 17. Sekrup pengencang tabung
8. Tombol on-off
9. Cincin pengatur diopter
10. Pengatur jarak interpupillar
Gambar 2.19. Skema Mikroskop Optik
Dalam pengujian struktur mikro, kualitas dan mutu bahan ditentukan
dengan mengamati struktur di bawah mikroskop, di samping itu pula dapat
mengamati cacat dan bagian yang tidak teratur. Mikroskop yang digunakan adalah
mikroskop cahaya, tetapi apabila perlu dipergunakan mikroskop elektron untuk
mendapatkan pembesaran yang tinggi. Dalam hal tertentu dipakai alat khusus yaitu
mikroskop pirometri untuk bisa mengamati perubahan-perubahan yang disebabkan
oleh perubahan temperatur atau juga dapat dipakai penganalisa mikro untuk
menganalisa kotoran kecil dalam struktur.
38
Mikroskop dapat meneliti permukaan logam yang telah dipolis, selain
deformasi permukaan dapat diperiksa juga susunan dari logam tersebut. Bila
cahaya-cahaya yang dipantulkan masuk kedalam lensa mikroskop, permukaan
tampak dengan jelas (terang).
Batas butir tampak seperti alur yang mengelilingi setiap butir dan cahaya
tidak dipantulkan dalam lensa, jadi batas butir tampak seperti garis-garis hitam.
➢ Mikroskop cahaya yang sederhana terdiri dari tiga bagian pokok yaitu :
a. Lensa pemantul (illuminator), yaitu untuk memantulkan pada bagian
permukaan logam.
b. Lensa obyektif, yaitu lensa yang mempunyai daya pisah.
c. Lensa mata (eyepiece), untuk memperbesar bayangan yang terbentuk oleh
lensa obyektif.
Pengujian mikroskopik dari suatu benda uji adalah dengan melakukan
proses poles dan kemudian dietsa dengan bantuan larutan kimia, hal tersebut dapat
memberikan banyak gambaran seperti keteraturan dan ukuran butir, distribusi fase,
hasil deformasi plastis dan eksistensi dari pengotor dan cacat-cacat. Proses kimia
atau etsa pada permukaan ini mula-mula memperlihatkan batas butir, tetapi dengan
proses etsa akan memperlihatkan bayangan yang berbeda antara satu butir dengan
butir yang lain, menunjukkan bahwa larutan etsa tidak mengikis permukaan logam
seluruhnya melainkan sepanjang bidang kristalografi tertentu. Bagian yang
memiliki orientasi yang sama kemudian terdapat dalam satu butir, setiap butir
memiliki orientasi yang berbeda dari butir sekitar. Setiap butir akan memantulkan
sinar ke lensa obyektif pada mikroskop dan hasilnya akan timbul sinar, sementara
butir-butir disekitarnya memantulkan semua sinar kelain arah dan tampak lebih
gelap.
2.6.3. Pengujian kekerasan
Kekerasan adalah sifat yang dapat diandalkan sebagai pengganti kekuatan
bahan. Pengukuran kekerasan mudah, sehingga banyak dilakukan dalam pemilihan
bahan. Ada beberapa macam alat pengujian kekerasan yang digunakan sesuai
dengan : bahan, kekerasan, ukuran dan lainnya dari suatu produk (Surdia,1975).
39
Pengujian kekerasan adalah satu dari sekian banyak pengujian yang di
pakai, karena dapat dilaksanakan pada benda uji yang kecil tanpa kesukaran
mengenai spesifikasi. Pengujian yang paling banyak adalah dengan menekankan
penekanan, selanjutnya cara yang lain dengan menjatuhkan bola dengan ukuran
tertentu dari ketinggian tertentu diatas benda uji dan diperoleh tinggi pantulannya.
Pengujian Brinell merupakan pengujian standar secara industri, tetapi karena
penekanannya dibuat dari bola baja yang berukuran besar dengan beban besar,
maka bahan keras atau lunak sekali tidak dapat diukur kekerasannya. Pengujiaan
kekerasan dilakukan untuk mengetahui kemampuan benda uji untuk menerima atau
menahan desakan atau tekanan. Kekerasan didefinisikan sebagai ketahanan suatu
bahan terhadap desakan atau tekanan ke dalam yang disebutkan oleh suatu alat
penekan dibawah pengaruh gaya tertentu. Secara umum pengujian kekerasan dapat
dilakukan dengan 4 cara :
1) Metode kekerasan brinell
Penetrator (Schonmetz, 1977) digunakan bola baja yang telah dikeraskan dan
ditekan ke dalam benda uji dengan pembebanan tertentu dalam waktu tertentu pula.
Kekerasan bahan di tentukan oleh kedalaman injakkan penetrator (diameter bekas
injakkan), rumus yang digunakan untuk mendapatkan kekerasan Brinell adalah :
)dD(D D π
P 2
D π
PBHN
22 −−== ...................................................... (2.1)
Keterangan :
BHN = Angka kekerasan Brinell
P = Beban yang ditetapkan (kg)
D = Diameter bola (mm)
d = Diameter lekukan (mm)
Cara pengukuran kekerasan Brinell ditunjukkan pada gambar 2.14. dibawah.
Bola baja keras dengan diameter, ditekankan kepermukaan bagian yang diukur
dengan P (kg). Kekerasan Brinell adalah beban P dibagi luas bidang A mm2,
penekanan sebagai deformasi tetap merupakan akibat dari penekanan.
40
Gambar 2.20. Pengujian kekerasan Brinell (Schonmetz, 1977).
2) Metode kekerasan Vickers
Kekerasan (Schonmetz, 1977) ditunjukan oleh bekas penetrator yang terbuat
dari piramida intan. Besarnya diagonal bekas injakkan (permukaan) diukur dengan
mikroskopis. Sudut antara dua bidang sisi dari piramida 136º. Rumus yang
digunakan untuk mendapatkan kekerasan Vickers adalah : (Schonmetz, 1977)
28544,1
D
PVHN =
.......................................................................... (2.2)
D = ( 𝑑1+ 𝑑2 )
2 ............................................................................(2.3)
Keterangan:
VHN = Angka Kekerasan Vickers (kg/mm2)
P = Beban yang ditetapkan (kg)
D = Panjang diagonal rata-rata (mm)
d1 = Diagonal injakan satu rata-rata (mm)
d2 = Diagonal injakan dua rata-rata (mm)
Cara pengukuran kekerasan Vickers ditunjukkan pada gambar 2.15. di bawah.
Mata penekananya adalah sebuah piramid intan yang ditekan tanpa kejutan pada
segenap benda uji yang benar-benar rata dan polos.
41
Gambar 2.21. Pengujian kekerasan Vickers (Schonmetz, 1977)
3) Metode kekerasan Rockwell
Pengujian ini lebih cepat karena nilai kekerasannya langsung dapat dilihat
dari meteran alat uji. Penetrator yang bisa digunakan adalah kerucut intan dengan
sudut puncak 1200C, bola baja berdiameter 0,0625 inchi dan 0,125 inchi. Pengujian
kekerasan Rockwell cocok untuk semua material yang keras dan lunak,
penggunaannya sederhana dan penekanannya dapat dengan leluasa. Pengujian
kekerasan Rockwell cocok untuk semua material yang keras dan lunak,
penggunaannya sederhana dan penekanannya dapat dengan leluasa.
42
Gambar 2.22. Pengujian kekerasan Rockwell (Schonmetz, 1985).
4) Metode skeleroskop shore pengukuran kekerasan dinamik
Kekerasan ini diukur dengan alat pengukur kekerasan shore, yaitu dengan
jalan menjatuhkan bola pada permukaan bahan yang diukur, kemudian tinggi
pantulannya diukur, tinggi pantulan tersebut merupakan ukuran kekerasan shore.
Hasil pengukaran shore lebih tidak teratur, sehingga pengukuran harus dilakukan 5
sampai 10 kali yang kemudian diambil harga rata-ratanya.
2.6.4. Pengujian Korosi
Tujuan uji korosi adalah untuk mengetahui karakteristik tertentu dari suatu
zat yang dapat mempengaruhi ketahanan logam dari adanya indikasi korosi. Seperti
kita ketahui bahwa korosi adalah proses kerusakan atau degradasi logam akibat
reaksi redoks (reaksi reduksi/oksidasi) antara logam dengan berbagai zat
dilingkunganya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki.
Laju korosi adalah kecepatan rambat atau penurunan kualitas bahan terhadap
waktu. laju korosi dapat di hitung dengan dua cara yaitu:
1. Metode kehilangan berat
Metode ini adalah mengukur kembali berat awal dari benda uji (objek
yang ingin diketahui laju korosi yang terjadi padanya) kekurangan berat dari
43
pada berat awal merupakan nilai kehilangan berat. kekurangan berat
dikembalikan kedalam rumus untuk mendapatkan laju kehilangan beratnya.
Metode ini bila dijalankan dengan waktu yang lama dan suistinable dapat
dijadikan acuan terhadap kondisi tempat objek diletakkan (dapat diketahui
seberapa korosi" daerah tersebut) juga dapat dijadikan referensi untuk
treatment yang harus diterapkan pada daerah dan kondisi tempat objek
tersebut.
𝑀𝑃𝑌 =𝑊 𝑥 𝐾
ρ 𝑥 𝑎 𝑥 𝑇
Dimana:
MPY : Mils Per Year
W : Massa Yang Hilang Akibat Korosi (mg)
ρ : Massa Jenis Benda Uji (gr/cm3)
a : Luas Permukaan Benda Uji (cm2)
T : Lama Perendaman (jam)
Mils : 0,0254 mm
2. Metode elektrokimia
Metode elektrokimia adalah metode mengukur laju korosi dengan
mengukur beda potensial objek hingga didapat laju korosi yang terjadi,
metode ini mengukur laju korosi pada saat diukur saja dimana
memperkirakan laju tersebut dengan waktu yang panjang (memperkirakan
walaupun hasil yang terjadi antara satu waktu dengan eaktu lainnya berbeda).
Kelemahan metode ini adalah tidak dapat menggambarkan secara pasti laju
korosi yang terjadi secara akurat karena hanya dapat mengukur laju korosi
hanya pada waktu tertentu saja, hingga secara umur pemakaian maupun
kondisi untuk dapat ditreatmen tidak dapat diketahui. Kelebihan metode ini
adalah kita langsung dapat mengetahui laju korosi pada saat di ukur, hingga
waktu pengukuran tidak memakan waktu yang lama.
44
𝐶𝑅(𝑚𝑝𝑦) = 𝐾𝑎𝑖
𝑛𝐷
Dimana :
CR = Corrosion Rate (mpy)
K = Konstanta, mpy = 0,129
a = atomic wight of metal
i = current density
n = number of electron lost
D = Density (g/𝑐𝑚2 )
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan dasar teori yang telah dibuat, maka dapat
disusun hipotesis sebagai berikut :
• Ada pengaruh besar heat input pengelasan terhadap struktur mikro
pada bagian Weld Metal.
• Ada pengaruh besar heat input pengelasan terhadap sifat mekanis pada
bagian Weld Metal.
• Ada pengaruh besar heat input pengelasan terhadap laju korosi pada
bagian Weld Metal.