Post on 08-Aug-2019
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoretis
2.1.1 Hakikat Belajar
Belajar pada dasarnya merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk
mencapai perubahan tingkah laku sebagai hasil dari belajar. Terkait dengan
pengertian belajar, beberapa ahli mendefinisikannya sebagai berikut, Hamalik
(2003:36) mengemukakan bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh
kelakuan melalui pengalaman. Hadiat (2006:1) mengemukakan bahwa belajar
adalah suatu proses perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki tingkah laku ke
arah yang baik melalui proses belajar yang dilakukan secara kontinu. Berdasarkan
definisi ini jelas bahwa belajar merupakan suatu proses kegiatan dan bukan suatu
hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari pada
itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan,
melainkan perubahan kelakuan.
Pengertian ini sangat berbeda dengan pengertian lain tentang belajar, yang
menyatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan, belajar adalah
latihan-latihan pembentukan kebiasaan secara otomatis dan sebagainya.
Terkait dengan belajar Thorndike dengan S-R Bond Theorynya (dalam
Hamalik 2003: 44) menyusun hukum-hukum belajar sebagai berikut : a) Hukum
Pengaruh (The law of effect). Hubungan-hubungan diperkuat atau diperlemah
tergantung pada kepuasan atau ketidaksenangan yang berkenaan dengan
penggunaannya. b) Hukum Latihan (The law exercise). Atau prinsip use and 8
disuse. Apabila hubungan ini sering dilatih, maka ia akan jadi kuat (Fixed). c)
hukum kesediaan/kesiapan (The Law of readiness). Apabila suatu ikatan (Bond)
siap untuk berbuat, Perbuatan itu memberikan kepuasan, sebaliknya apabila tidak
siap maka akan menimbulkan ketidakpuasan/ketidaksenangan/terganggu.
Hukum-hukum yang dikemukakan oleh Thorndike itu, lebih dilengkapi
dengan prinsip-prinsip, sebagai berikut : 1) Anak harus mampu membuat
berbagai jawaban terhadap stimulus (mulitiple responses). 2) Belajar
Bimbing/arahkan ke suatu tingkatan yang penting melalui sikap anak itu sendiri.
3) Suatu jawaban yang telah dipelajari dengan baik dapat digunakan juga terhadap
stimulus yang lain (Bukan stimuli yang semula), yang oleh Thorndike disebut
dengan ”Perubahan Asosiatif” (associative shifting). 4) Jawaban-jawaban
terhadap situasi yang baru dapat dibuat apabila anak melihat adanya analogi
dengan situasi-situasi terdahulu. 5) Anak dapat mereaksi secara selektif terhadap
faktor-faktor yang esensial di dalam situasi (prepotent element) itu.
Sementara itu dalam formulasi yang lain belajar Menurut Psikologi
Gestalt. Dalam aliran ini ada istilah yang artinya sama ialah field, pattera,
organisme, closure, integration, wholistic, configuration, dan gestalt. Karena itu
psikologi gestalt sering disebut psikologi organisme atau field theory.
Menurut aliran ini, jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang
berstruktur. Suatu keseluruhan bukan terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur.
Unsur-unsur itu berada dalam keseluruhan menurut struktur yang telah tertentu
dan saling berinteralisi atau satu sama lain.
Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap tafsiran tentang belajar.
Beberapa pokok yang perlu mendapat perhatian antara lain ialah : 1) Timbulnya
kelakukan adalah berkat interaksi antara individu di mana lingkungan di mana
faktor apa yang telah memiliki (natural endowment) lebih menonjol. 2) Bahwa
individu berada dalam keadaan keseimbangan dinamis, adanya gangguan terhadap
keseimbangan itu akan mendorong timbulnya kelakukan. 3) Mengutamakan segi
pemahaman (insight). 4) Menekankan kepada adanya situasi sekarang,
dimana individu menemukan dirinya. 5) yang utama dan pertama ialah
keseluruhan, dan bagian-bagian hanya bermakna dalam keseluruhan itu.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diidentifikasi beberapa unsur
penting yang termuat dalam definisi belajar sebagai berikut : 1) Belajar pada
dasarnya merupakan suatu proses mental dan emosional yang terjadi secara sadar,
2) Belajar adalah mengalami dalam arti belajar terjadi dalam interaksi antara
individu dan lingkungannya baik lingkungan fisik/psikhis maupun lingkungan
sosial, 3) Hasil belajar berupa perubahan tingkah laku seseorang baik dari sisi
pengetahuan, ketrampilan motorik dan penguasaan nilai (sikap). Dengan demikian
maka belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang ditandai dengan
perubahan tingkah laku pada diri seseorang pada aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik, sebagai hasil dari kegiatan yang diperoleh melalui serangkaian
interaksi antara individu dengan lingkungannya.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran IPA
2.1.2.1 Pembelajaran IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. IPA sifatnya alami, sesuai dengan
prinsip pembelajarannya yang berhubungan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta, konsep, atau prinsipsaja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan”. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang bersifat empirik dan
membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam tersebut
menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal ini
menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan
pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai proses
diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses
bagaimana cara produk sains ditemukan.
Asy’ari, Muslichah (2006: 22) menyatakan bahwa ketrampilan proses
yang perlu dilatih dalam pembelajaran IPA meliputi ketrampilan proses dasar
misalnya mengamati, mengukur, mengklasifikasikan, mengkomunikasikan,
mengenal hubungan ruang dan waktu, serta ketrampilan proses terintegrasi
misalnya merancang dan melakukan eksperimen yang meliputi menyusun
hipotesis, menentukan variable, menyusun definisi operasional, menafsirkan data,
menganalisis dan mensintesis data. Poedjiati (2005:78) menyebutkan bahwa
ketrampilan dasar dalam pendekatan proses adalah observasi, menghitung,
mengukur, mengklasifikasi, dan membuat hipotesis. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ketrampilan proses dalam pembelajaran IPA di SD meliputi
ketrampilan dasar dan ketrampilan terintegrasi. Kedua ketrampilan ini dapat
melatih siswa untuk menemukan dan menyelesaikan masalah secara ilmiah untuk
menghasilkan produk-produk IPA yaitu fakta, konsep, generalisasi, hukum dan
teori-teori baru.
Sehingga perlu diciptakan kondisi pembelajaran IPA di SD yang dapat
mendorong siswa untuk aktif dan ingin tahu. Dengan demikian, pembelajaran
merupakan kegiatan investigasi terhadap permasalahan alam di sekitarnya. Setelah
melakukan investigasi akan terungkap fakta atau diperoleh data. Data yang
diperoleh dari kegiatan investigasi tersebut perlu digeneralisir agar siswa memiliki
pemahaman konsep yang baik. Untuk itu siswa perlu di bimbing berpikir secara
induktif. Selain itu, pada beberapa konsep IPA yang dilakukan, siswa perlu
memverifikasi dan menerapkan suatu hukum atau prinsip. Sehingga siswa juga
perlu dibimbing berpikir secara deduktif. Kegiatan belajar IPA seperti ini, dapat
menumbuhkan sikap ilmiah dalam diri siswa. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi beberapa aspek yaitu faktual,
keseimbangan antara proses dan produk, keaktifan dalam proses penemuan,
berfikir induktif dan deduktif, serta pengembangan sikap ilmiah.
Pelaksanaan pembelajaran IPA seperti diatas dipengaruhi oleh tujuan apa
yang ingin dicapai melalui pembelajaran tersebut. Tujuan pembelajaran IPA di SD
telah dirumuskan dalam kurikulum yang sekarang ini berlaku di Indonesia.
Kurikulum yang sekarang berlaku di Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Dalam kurikulum KTSP selain dirumuskan tentang tujuan
pembelajaran IPA juga dirumuskan tentang ruang lingkup pembelajaran IPA,
standar kompetensi, kompetensi dasar, dan arah pengembangan pembelajaran IPA
untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian. Sehingga setiap kegiatan pendidikan
formal di SD harus mengacu pada kurikulum tersebut.
Ruang lingkup bahan kajian IPA di SD secara umum meliputi dua aspek
yaitu kerja ilmiah dan pemahaman konsep. Lingkup kerja ilmiah meliputi kegiatan
penyelidikan, berkomunikasi ilmiah, pengembangan kreativitas, pemecahan
masalah, sikap, dan nilai ilmiah. Lingkup pemahaman konsep dalam Kurikulum
KTSP relatif sama jika dibandingkan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) yang sebelumnya digunakan. Secara terperinci lingkup materi yang
terdapat dalam Kurikulum KTSP adalah: (1) makhluk hidup dan proses
kehidupannya, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan
lingkungan, serta kesehatan. (2) benda atau materi, sifat-sifat dan kegunaannya
meliputi: cair, padat dan gas. (3) energi dan perubahaannya meliputi: gaya, bunyi,
panas, magnet, listrik, cahaya, dan pesawat sederhana. (4) bumi dan alam semesta
meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. Dengan
demikian, dalam pelaksanaan pembelajaran IPA kedua aspek tersebut saling
berhubungan. Aspek kerja ilmiah diperlukan untuk memperoleh pemahaman atau
penemuan konsep IPA.
2.1.2.2 Hakikat Hasil Belajar
Wahyuningsih (2009 : 1) mengemukakan bahwa hasil belajar tidak dapat
dipisahkan dari berbuatan belajar, karena belajar merupakan suatu proses,
sedangkan hasil belajar adalah hasil dari proses pembelajaran tersebut. Dalam
konteks ini belajar merupakan suatu proses perubahan di dalam kepribadian
manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas
dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap,
kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dll. Hal ini berarti bahwa
peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam
bentuk bertambahnya kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam
berbagai bidang. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan
suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut
sebenarnya belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami
kegagalan di dalam proses belajar.
Belajar yang efektif dapat membantu siswa untuk meningkatkan
kemampuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan instruksional yang ingin
dicapai. Untuk meningkatkan hasil belajar yang baik perlu diperhatikan kondisi
internal dan eksternal. Kondisi internal dalah kondisi atau situasi yang ada dalam
diri siswa, seperti kesehatan, keterampilan, kemapuan dan sebaginya. Kondisi
eksternal adalah kondisi yang ada di luar diri pribadi manusia, misalnya ruang
belajar yang bersih, sarana dan prasaran belajar yang memadai.
Terkait dengan hasil belajar. Istilah hasil belajar berasal dari dua kata yaitu
hasil dan belajar. Terkait dengan hasil Sunarto (2009 : 1) mengemukakan bahwa
hasil adalah produk yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan.
Terkait pengertian hasil belajar, Gagne (dalam Sunarto, 2009 : 1)
menyatakan bahwa hasil belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu :
kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan
keterampilan. Bloom (dalam Sunarto, 2009:1) bahwa hasil belajar dibedakan
menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendapat tersebut
menunjukkan bahwa hasil merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat
dicapai pada saat atau periode tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, hasil
dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai siswa dalam proses
pembelajaran.
Winkel (dalam Anneahira, 2009 : 2) mengemukakan bahwa hasil belajar
merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Maka hasil
belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah
melaksanakan usaha-usaha belajar. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa hasil
belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan
usaha-usaha belajar.
Hasil belajar di bidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap
peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah
mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes
atau instrumen yang relevan. Jadi hasil belajar adalah hasil pengukuran dari
penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun
kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode
tertentu. Hasil belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik
yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses
pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes yang relevan.
Surya (dalam Wordpress, 2008 : 3) mengemukakan bahwa hasil belajar
akan tampak dalam (a) kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-
kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru,
sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar,
(b) keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya
motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti
dan kesadaran yang tinggi, (c) pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan,
dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif
sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar, (d) berfikir
asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya
dengan menggunakan daya ingat, (e) berfikir rasional dan kritis yakni
menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab
pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why), (f) sikap yakni
kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk
terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan, (g)
inhibisi (menghindari hal yang mubazir), (h) apresiasi (menghargai
karya-karya bermutu, dan i) perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan
dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was
dan sebagainya.
Hasil belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal dengan tes
evaluasi hasil belajar. Menurut Sutisna (2009 : 1) bahwa evaluasi artinya
penilaian terhadap keberhasilan siswa mencapai tuuan yang telah ditetapkan
dalam sebuah program. Dalam konteks ini evaluasi dilakukan dalam bentuk tes
hasil belajar bila dilihat dari tujuannya yaitu mengungkap keberhasilan sesorang
dalam belajar. Testing pada hakikatnya menggali informasi yang dapat digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan. Tes hasil belajar berupa tes yang disusun
secara terrencana untuk mengungkap performasi maksimal subyek dalam
menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan
pendidikan formal tes hasil belajar dapat berbentuk ulangan harian, tes formatif,
tes sumatif.
2.1.3 Hakikat Pembelajaran Koperatif
Zuh dan Prasetya (2008:1) mengemukakan bahwa pembelajaran koperatif
adalah khas di antara model-model pembelajaran karena menggunakan suatu
struktur tugas dan penghargaan yang berbeda untuk meningkatkan pembelajaran
siswa. Struktur tugas memaksa siswa untuk bekerja sama dalam kelompok kecil.
Sistem penghargaan mengakui usaha bersama, sama baiknya seperti usaha
individual.
Model pembelajaran koperatif berkembang dari kebiasaan pendidikan
yang menekankan pada pemikiran demokratis dan latihan atau praktek,
pembelajaran aktif, lingkungan pembelajaran yang koperatif dan menghormati
adanya perbedaan budaya masyarakat yang bermacam-macam. Model
pembelajaran koperatif bertujuan agar terdapat efek (pengaruh) di luar
pembelajaran akademik, khususnya peningkatan penerimaan antarkelompok serta
keterampilan sosial dan keterampilan kelompok.
Model pembelajaran koperatif bertumpu pada kerja kelompok kecil,
berlawanan dengan pembelajaran klasikal (satu kelas penuh), dan terdiri 6 (enam)
tahapan pokok: menentukan tujuan dan pengaturan, memberi informasi kepada
siswa melalui presentasi atau teks, menyusun siswa dalam kelompok belajar,
menentukan kelompok dan membantu kelompok belajar, menguji atau melakukan
tes untuk mengetahui keberhasilan dari tugas-tugas kelompok, penghargaan baik
terhadap prestasi individu maupun kelompok. Diperlukan lingkungan
pembelajaran yang koperatif dari pada kompetitif dalam hal tugas-tugas dan
penghargaan. Dasar-dasar teoretis dan empiris mendukung penggunaan model
pembelajaran koperatif untuk tujuan pendidikan berikut: mendapatkan tingkah
laku koperatif, hasil kerja teoreitis dan memperbaiki hubungan-hubungan yang
tidak harmonis.
Perencanaan tugas berkaitan dengan pembelajaran koperatif, yang me-
nekankan pada pengorganisasian siswa untuk kelompok kerja kecil, dan
menggunakan materi pembelajaran yang beragam untuk digunakan selama
kelompok-kelompok kerja (kelompok belajar) berlangsung.
Empat variasi dari pendekatan dasar dalam pembelajaran koperatif yang
dapat digunakan adalah: Kelompok belajar siswa (STAD), JIGSAW, GI, dan
Pendekatan Struktural. Tak peduli pendekatannya, pembelajaran koperatif
dicirikan dengan kerja siswa dalam kelompok kecil, dan berorientasi pada adanya
penghargaan kelompok.
Memimpin pembelajaran koperatif mengubah peranan guru dari sebagai
pusat pembicara atau pembicara utama menjadi choreographer dalam aktivitas
kelompok kecil. Kelompok kerja kecil menimbulkan suatu tantangan pengelolaan
bagi guru. Guru harus membantu siswa melakukan transisi di dalam kelompok
kecil mereka, mengatur kelompok kerja mereka, dan mengajarkan keterampilan
penting, yakni keterampilan sosial dan keterampilan kelompok.
Assesmen atau tugas-tugas evaluasi menggantikan pendekatan tradisional
kompetitif dalam model pembelajaran lain dengan penghargaan individual dan
kelompok. Cara-cara lain (seperti surat berita, presentasi kelompok) perlu ada
sebagai penghargaan dan penyelesaian koperatif siswa. Pembelajaran koperatif
merupakan paradigma pembelajaran yang menekankan pada aktivitas anak untuk
saling bekerjasama dengan temannya dalam memahami konsep pembelajaran
yang disajikan guru. Slavin dalam Karuru (2002:3) mengemukakan bahwa
pendekatan konstruktivis dalam pengajaran menerapkan pembelajaran koperatif
secara ekstensif, atas dasar teori bahwa anak akan lebih mudah menemukan dan
memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan
konsep-konsep itu dengan temannya.
Menurut Thomson, et al dalam Karuru (2002:3) bahwa pembelajaran
koperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran. Di
dalam pembelajaran koperatif anak belajar bersama dalam kelompok-kelompok
kecil saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang
terdiri dari 4 atau 5 anak, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok
heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin dan suku
Hal ini bermanfaat untuk melatih anak menerima perbedaan pendapat dan bekerja
dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Pada pembelajaran koperatif
diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerjasama di dalam
kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, memberikan penjelasan
kepada teman sekelompok dengan baik, anak diberi lembar kegiatan yang berisi
pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja
kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995:14)
Menurut Ibrahim (2000 : 6) mengemukakan bahwa unsur – unsur dasar
pembelajaran koperatif adalah sebagai berikut :
1. Anak dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup
sepenanggungan bersama “.
2. Anak bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti
milik mereka sendiri.
3. Anak haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya
memiliki tujuan yang sama.
4. Anak haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara
anggota kelompoknya.
5. Anak akan dievaluasi atau diberikan hadiah / penghargaan yang juga akan
dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6. Anak berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk
belajar bersama selama proses belajarnya.
7. Anak akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok koperatif.
Kebanyakan pembelajaran yang menggunakan model koperatif dapat
memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
a. Anak bekerja dalam kelompok secara koperatif untuk menuntaskan
materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dari anak yang memiliki kemampuan tinggi,
sedang dan rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku,
jenis kelamin berbeda – beda.
d. Penghargaan lebih berorientasi kelompok dari pada penghargaan secara
individu.
Menurut Slavin (Mukarto (2006:1) bahwa pembelajaran koperatif adalah
pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas
dijadikan kelompok -kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk
memahami konsep yang difasilitasi oleh guru. Model pembelajaran koperatif
adalah model pembelajaran dengan setting kelompok-kelompok kecil dengan
memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa
bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan
teman sebayanya, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari
sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi narasumber bagi
teman yang lain. Jadi Pembelajaran koperatif merupakan model pembelajaran
yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Model pembelajaran koperatif memiliki ciri-ciri: 1) untuk
menuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara koperatif,
2) kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang
dan rendah, 3) jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa
ras, suku, budaya jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap
kelompok terdiri dari ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula, dan 4)
penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan.
Dalam pembelajaran koperatif, dua atau lebih individu saling tergantung
satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan bersama. Menurut Ibrahim (2000:3)
mengemukakan bahwa siswa yakin bahwa tujuan mereka akan tercapai jika dan
hanya jika siswa lainnya juga mencapai tujuan tersebut. Untuk itu setiap anggota
berkelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya. Siswa yang
bekerja dalam situasi pembelajaran koperatif didorong untuk bekerjasama pada
suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk
menyelesaikan tugasnya.
Model pembelajaran koperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-
tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting. Menurut Ibrahim (2000:3 tujuan
pertama pembelajaran koperatif, yaitu meningkatkan hasil akademik, dengan
meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademiknya. Siswa yang lebih
mampu akan menjadi nara sumber bagi siswa yang kurang mampu, yang memiliki
orientasi dan bahasa yang sama. Sedangkan tujuan yang kedua, pembelajaran
koperatif memberi peluang agar siswa dapat menerima teman-temannya yang
mempunyai berbagai perbedaan latar belajar. Perbedaan tersebut antara lain
perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial. Tujuan penting
ketiga dari pembelajaran koperatif ialah untuk mengembangkan keterampilan
sosial siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud antara lain, berbagi tugas, aktif
bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya,
mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.
Menurut Ibrahim, (2000 : 7) pembelajaran koperatif memiliki dampak
yang positif untuk siswa yang hasil belajarnya rendah sehingga mampu
memberikan peningkatan kemampuan memahami materi yang signifikan. Cooper
(dalam Ibrahim, 2000 : 6) mengungkapkan keuntungan dari metode pembelajaran
koperatif, antara lain: 1) siswa mempunyai tanggung jawab dan terlibat secara
aktif dalam pembelajaran, 2) siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi, 3) meningkatkan ingatan siswa, dan 4) meningkatkan kepuasan
siswa terhadap materi pembelajaran.
Dalam pembelajaran koperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi
anak juga harus mempelajari keterampilan khusus yang disebut keterampilan
koperatif. Keterampilan koperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan
kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membagi tugas
anggota kelompok selama kegiatan. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa
pembelajaran koperatif merupakan suatu model pembelajaran yang merupakan
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi tertentu.
2.1.4 Penerapan Pembelajaran Koperatif Tipe STAD dalam Meningkatkan
Hasil belajar Dalam Bumi dan alam semesta pada Pembelajaran IPA
Model pembelajaran koperatif dapat meningkatkan hasil belajar dalam
bumi dan alam semesta pada pembelajaran IPA didasarkan pada asumsi bahwa
belajar akan bermakna apabila siswa dapat menyatu dengan lingkungan
belajarnya. Kegiatan belajar demikian disebut belajar aktif dan kreatif. Melalui
konteks ini siswa belajar dari pengalamannya dengan lingkungan belajarnya dan
mengintegrasikan apa yang dipelajarinya dengan apa yang sudah ada pada dirinya.
Pembelajaran koperatif menurut Tatiek (2002: 131) sangat cocok dipakai
untuk memotivasi siswa untuk belajar, terutama bahan pelajaran yang dipelajari
kurang menarik. Pada pembelajaran IPA banyak hal atau konsep yang perlu
diketahui misalnya peraturan daerah, sistem pemerintahan untuk sistem
pemerintahan, siswa perlu mengenal tugas kepala daerah, sumber pendapatan
belanja daerah. Aspek ini perlu menjadi masukan mereka sejak awal, sehingga
kemungkinan besar di antara mereka akan ada yang berpikir secara inovatif untuk
menaikkan taraf kesejahteraan hidup rakyat di masa mendatang.
Pembelajaran koperatif dalam IPA dapat dilakukan dengan menggunakan
model koperatif tipe STAD. Pembelajaran koperatif dengan tipe Student Team
Achievement Divisions (STAD) adalah salah satu tipe pembelajaran koperatif
yang paling sederhana. Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan
empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerjanya, jenis kelamin
dan suku. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk
memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.
Akhirnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis
mereka tidak boleh saling membantu. Tipe pembelajaran inilah yang akan
diterapkan dalam pembelajaran IPA.
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran tipe STAD, dilakukan beberapa hal
sebagai berikut:
a) Persiapan materi dan penerapan siswa dalam kelompok.
Sebelum menyajikan guru harus mempersiapkan lembar kegiatan dan lembar
jawaban yang akan dipelajarai siswa dalam kelompok-kelomok koperatif.
Kemudian menetapkan siswa dalam kelompok heterogen dengan jumlah
maksimal 4-6 orang, aturan heterogenitas dapat berdasarkan pada:
(1). Kemampuan akademik (pandai, sedang dan rendah)
Yang didapat dari hasil akademik (skor awal) sebelumnya. Perlu diingat
pembagian itu harus diseimbangkan sehingga setiap kelompok terdiri dari
siswa dengan siswa dengan tingkat prestasi seimbang. (2). Jenis kelamin, latar
belakang sosial, kesenangan bawaan/sifat (pendiam dan aktif), dll.
b) Penyajian materi pelajaran, ditekankan pada ha-hal berikut : (1) Pendahuluan,
di sini perlu ditekankan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok dan
menginformasikan hal yang penting untuk memotivasi rasa ingin tahu siswa
tentang konsep-konsep yang akan mereka pelajari. (2) Pengembangan,
Dilakukan pengembangan materi yang sesuai yang akan dipelajari siswa
dalam kelompok. Di sini siswa belajar untuk memahami makna bukan
hafalan. Pertanyaan-peranyaan diberikan penjelasan tentang benar atau salah.
Jika siswa telah memahami konsep maka dapat beralih kekonsep lain. (3)
Praktek terkendali Praktek terkendali dilakukan dalam menyajikan materi
dengan cara menyuruh siswa mengerjakan soal, memanggil siswa secara acak
untuk menjawab atau menyelesaikan masalah agar siswa selalu siap dan dalam
memberikan tugas jangan menyita waktu lama.
c) Kegiatan kelompok, Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok sebagai
bahan yang akan dipelajari siswa. Isi dari LKS selain materi pelajaran juga
digunakan untuk melatih koperatif. Guru memberi bantuan dengan
memperjelas perintah, mengulang konsep dan menjawab pertanyaan.
d) Evaluasi, Dilakukan selama 45 menit secara mandiri untuk menunjukkan apa
yang telah siswa pelajari selama bekerja dalam kelompok. Hasil evaluasi
digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan sebagai
nilai perkembangan kelompok.
e) Penghargaan kelompok, Dari hasil nilai perkembangan, maka penghargaan
pada prestasi kelompok diberikan dalam tingkatan penghargaan seperti
kelompok baik, hebat dan super.
f) Perhitungan ulang skor awal dan pengubahan kelompok. Satu periode
penilaian (3 – 4 minggu) dilakukan perhitungan ulang skor evaluasi sebagai
skor awal siswa yang baru. Kemudian dilakukan perubahan kelompok agar
siswa dapat bekerja dengan teman yang lain.
Pembelajaran koperatif tipe STAD yang digunakan dalam pembelajaran
IPA akan mampu meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran ini karena siswa
belajar secara kelompok dan masing-masing anggota kelompok memiliki
kewajiban untuk bekerja dan memahami materi dengan baik agar dapat
memberikan kontribusi bagi nilai kelompok. Dengan demikian maka siswa akan
memiliki kemampuan individu yang baik dan akan member kontribusi yang
positif bagi kelompoknya.
2.2 Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang peningkatan Hasil belajar Siswa dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD telah dilakukan oleh beberapa peneliti
terdahulu diantaranya:
1. Sudrajat tahun 2007 dalam tesisnya yang berjudul penerapan model
kooperative STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran IPA pada siswa kelas VI SD Cikarang Jababeka Bekasi
menyimpulkan bahwa model pembelajaran Kooperative tipe STAD mampu
meningkatkan hasil belajar siswa yang ditunjukkan dengan peningkatan hasil
belajar siswa secara signifikan melalui 2 siklus penelitian.
2. Rahmat Miolo tahun 2008 dalam skripsinya yang berjudul, meningkatkan
kemampuan siswa dalam memahami materi IPA dengan menggunakan tipe
STAD pada siswa kelas VI SDN 2 Modelidu menyimpulkan bahwa
kemampuan siswa dalam mata pelajaran IPA dapat ditingkatkan dengan
menggunakan tipe STAD.
2.3 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan hal-hal dalam kajian teoritis tersebut, maka hipotesis tindakan
penelitian ini adalah sebagai berikut: “Jika digunakan pembelajaran koperatif tipe
STAD maka hasil belajar pada materi bumi dan alam semesta di kelas IV MIM
Molowahu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo akan meningkat”.
2.4 Indikator Kinerja
Yang menjadi indikator kinerja dalam penelitian ini adalah: “Apabila 85%
dari jumlah siswa sudah memiliki hasil belajar yang baik pada materi bumi dan
alam semesta, atau meningkat dari 47.62% menjadi 85,71% atau dari 10 orang
siswa menjadi 18 orang siswa dari jumlah 21 orang siswa.