BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME
Transcript of BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME
BAB II
LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME
Pada bab terdahulu, telah dijelaskan latar belakang, rumusan masalah,
tujuan, metode dan sistematika penulisan. Dalam bab tersebut, penulis
menjelaskan bahwa Islamisme yang lahir dari ketidakpuasan kalangan Islam
tertentu terhadap modernitas dan krisis yang menyertainya dapat menjadi
tantangan bagi aktualisasi nilai-nilai Pancasila di Indonesia. Ideologi Islamisme
yang mengklaim kebenaran mutlak dan menolak pluralitas dan pluralisme sangat
bertolak belakang dengan cita-cita masyarakat Indonesia dan nilai-nilai Pancasila
yang luhur. Dengan demikian, Islamisme memiliki dampak yang besar bagi
aktualisasi nilai-nilai Pancasila di Indonesia.
Sebelum masuk pada pembahasan lebih lanjut tentang dampak Islamisme
terhadap aktualisasi nilai-nilai Pancasila, akan dijelaskan landasan teoretis seputar
Islamisme-salah satu variabel penting dalam skripsi ini- yang kemudian akan
menjadi basis argumentasi penulis dalam keseluruhan skripsi ini.
2.1 HAKIKAT ISLAMISME
2.1.1 Definisi Islam
Pembahasan yang komprehensif tentang Islamisme tidak dapat dipisahkan
dari pemahaman tentang Islam. Oleh karena itu, sebelum memasuki cakrawala
pemikiran seputar Islamisme, akan diuraikan definisi tentang Islam yang
dipresentasikan dalam beberapa perspektif berikut.
Pertama, definisi etimologis. Secara etimologis, Islam berasal dari kata al-
masdar (kata benda asal) dari kata kerja bentuk ke-4 aslama yang berarti tunduk,
menyerah, mengikat diri dan menyerahkan diri. Lalu, Islam berarti ketundukan,
kepatuhan, penyerahan diri.10
Kedua, definisi menurut para ahli. Tentang Islam-sebagaimana dikutip
Philipus Tule- Syeik Mahmud Shaltut dari Universitas Al-Azhar (Kairo) menulis:
10
Philipus Tule, Mencintai Muslim dan Muslimat Cet. II (Maumere: Penerbit Ledalero, 2008), hlm.
22.
8
Islam adalah agama Allah yang diperintahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, untuk mengajar tentang pokok-pokok
serta peraturan-peraturan dan menugaskannya untuk
menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia
serta mengajak mereka untuk memeluknya.11
Sementara itu Ahmad Abdullah Al-Masdoosi, cendikiawan dari Urdu College,
Karachi (Pakistan) menulis:
Agama (Islam) adalah kaidah hidup yang diturunkan
kepada manusia dari masa ke masa sejak manusia
menghuni bumi ini dan terwujud dalam bentuknya yang
terakhir dan sempurna dalam Qur’an yang diwahyukan
Tuhan kepada nabi-Nya yang terakhir Muhammad SAW,
suatu kaidah hidup yang memuat tuntutan yang jelas dan
lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual
maupun material.12
Ketiga, definisi ensiklopedis. Menurut Ensiklopedi Islam, Islam adalah
agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah SWT yang ajarannya terdapat
dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan sunah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-
larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun
di akhirat.13
Menurut Encyclopedia of Time, para muslimin dan muslimat percaya
bahwa Muhammad adalah nabi terakhir yang dikirim Allah untuk mengembalikan
umat kepada ajaran abrahamistik yang asli,14
karena situasi masyarakat pra-Islam
tidak terlepas dari kebodohan religius yang memutarbalikkan penyembahan
kepada Allah yang telah diletakkan dasarnya oleh Ibrahim dan Ismail.15
Dari beberapa pengertian di atas, ada beberapa poin penting yang hendak
dipertegas demi pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam. Pertama, Islam
sebagai agama samawi. Agama samawi merupakan agama yang bersumber pada
wahyu Tuhan. Konsep ketuhanannya bersifat monoteis, disampaikan oleh
Rasulullah (utusan Tuhan), dan mempunyai Kitab Suci sebagai wahyu Tuhan
11
Ibid. 12
Ibid., hlm. 23. 13
“Islam”, Ensiklopedi Islam Vol. 2 (Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), hlm.
246. 14
Helen Theresa Salmon, “Islam”, Encyclopedia of Time (London: SAGE Publications, 2009),
hlm. 719. 15
Philipus Tule, op. cit., hlm. 36.
9
yang dibawa oleh Rasul.16
Sebagai agama samawi, Islam lahir dari wahyu yang
turun langsung dari Allah melalui Muhammad utusan-Nya. Umat Islam juga
percaya bahwa hanya satu Allah yang mereka sembah-tiada tuhan selain Allah-
dan umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan Kitab Suci yang benar-
benar berasal dari Allah dan berisikan sabda Allah. Kedua, Islam sebagai sistem
kepercayaan. Sebagai sebuah sistem kepercayaan agama memuat pengalaman dan
tanggapan manusia atas rahmat yang diterima manusia dari Allah. Kepercayaan
yang lahir dari respons manusia terhadap Allah kemudian diatur sedemikian rupa
mulai dari tata cara pengkultusan, ajaran-ajaran yang bertujuan agar kepercayaan
kepada Allah tidak jatuh pada praktik yang salah. Ketiga, Islam berisikan panduan
etis-moral dalam bertingkah laku. Islam berisikan juga kaidah-kaidah, perintah-
perintah, larangan-larangan yang berfungsi sebagai pembatas terhadap perilaku
manusia, pembatas antara apa yang baik dan yang buruk dan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Islam pada tataran ini bekenaan dengan perilaku hidup baik
sebab mengarahkan manusia pada tatanan dunia yang lebih baik. Keempat, umat
Islam meyakini bahwa Muhammad adalah nabi-pembawa pesan Allah-yang
terakhir. Islam dalam ajaran mengakui dan mempercayai bahwa ada banyak nabi
yang pernah diutus Allah, tetapi Muhammadlah orang terakhir yang menerima
wahyu Allah untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang diwahyukan secara langsung oleh
Allah SWT melalui Muhammad, nabi-Nya yang terakhir, yang berisikan ajaran-
ajaran, kaidah hidup, larangan, perintah-perintah sebagaimana yang termaktub
dalam AL-Qur’an dan Sunah sebagai tuntutan yang jelas dan lengkap mengenai
aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.
2.1.2 Definisi Islamisme
Dalam upaya mendefinisikan Islamisme, terminologi Islamisme dan
fundamentalisme Islam digunakan dalam pengertian yang sama. Harus diakui
bahwa penggunaan istilah fundamentalisme Islam memicu perdebatan di kalangan
intelektual Islam. Bassam Tibi lebih condong pada penggunaan term Islamisme
karena mengisyaratkan konversi Islam menjadi sebuah ideologi. Sedangkan Sad
16
“Agama Samawi”, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999),
hlm. 106.
10
Eddin lebih condong pada penggunaan istilah fundamentalisme Islam karena
menunjukkan imperatif untuk kembali pada Al-Qur’an dan sunah sebagai
fundamen yang mengarahkan tingkah laku individu dalam masyarakat.17
Namun,
terlepas dari perdebatan tersebut, kedua istilah ini merujuk pada substansi yang
sama, yaitu menafsir Islam sebagai sebuah sistem politik yang berasal dari Allah
dan memaksakan pemberlakuan hukum Allah sebagai hukum yang mengatur
seluruh tatanan dunia.
Bassam Tibi dalam bukunya Islamism and Islam menyebut Islamisme
sebagai “religionized politics.” Ungkapan ini hendak mengafirmasi esensi dan
intensi Islamisme sebagai sebuah ideologi yang mengusung sistem politik yang
diyakini berasal dari kehendak Allah.18
Kelompok Islamisme meyakini bahwa
Allah telah menggariskan sebuah sistem politik, sistem pemerintahan yang
otentik, baku yang harus diterapkan dalam masyarakat Islam. Sistem politik ini
didasarkan pada hukum Islam yang harus diyakini sebagai tonggak pedoman arah
dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semua
permasalahan dan krisis dalam kehidupan masyarakat modern hanya dapat diatasi
jika hukum Islam menjadi dasar dan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.19
Menurut Tibi, Islamisme pada hakikatnya merupakan sebuah ideologi.
Istilah Islamisme menggambarkan penambahan sufiks “isme” sebagai pendekatan
umum untuk mengkonversi ide original menjadi sebuah ideologi. Misalnya
penambahan sufiks “isme” pada nama Marx menggambarkan upaya untuk
mentransformasi pemikiran humanisme Eropa menjadi sebuah ideologi yang tidak
selalu sejalan dengan pemikiran original Marx. Marxisme selanjutnya
dikembangkan oleh Lenin menjadi komunisme totalitarian yang tidak pernah
dikehendaki Marx sebelumnya.20
Begitupun dengan Islamisme. Penambahan
sufiks “isme” pada term Islam menunjukkan sebuah upaya untuk mentransformasi
Islam sebagai sebuah kepercayaan menjadi sebuah ideologi politik. Islamisme
17
Mathias Daven, op. cit., hlm. 98. 18
Bassam Tibi, loc. cit. 19
Mathias Daven, op. cit., hlm. 112. 20
Bassam Tibi, op., cit., hlm. 7.
11
menampilkan sebuah proses di mana Islam diartikulasikan sebagai sistem politik,
sebuah sistem yang tidak sejalan dengan Islam. Islamisme bertumbuh dari
penafsiran yang keliru, eksklusif dan semena-mena terhadap ajaran Islam.
Kelompok Islamisme memahami Islam tanpa mengerti substansi ajaran Islam.
Pemahaman mereka tentang Islam yang telah dibingkai oleh batasan-batasan
ideologis dan platform politiknya tidak mampu melihat, apalagi memahami,
kebenaran-kebenaran yang tidak sesuai dengan batasan-batasan ideologis, tafsir
harafiah, atau platform politik mereka.21
Selain Tibi, definisi Islamisme juga dirumuskan oleh Asef Bayat. Bayat
mendefinisikan Islamisme sebagai ideologi nativistik22
yang dikonstruksi oleh
cendikiawan Islam sebagai upaya untuk memobilisasi masyarakat (kebanyakan
kelas menengah) yang merasa termarginalkan oleh proses-proses politik, sosial,
ekonomi dan budaya. Bayat melihat Islamisme sebagai sebuah upaya untuk
merespons defisit politik, ekonomi, sosial dan budaya. Respons ini tampak dalam
upaya kelompok Islamisme mengartikulasikan Islam sebagai sebuah sistem
ketuhanan dengan model politik, simbol-simbol kebudayaan, tatanan hukum dan
perencanaan ekonomi yang dipercayai mampu mengatasi berbagai persoalan yang
dihadapi manusia. 23
Islamisme (Fundamentalisme Islam) memiliki ciri derivasi seperti radikal,
ekstrem, menolak kontekstualisasi penafsiran, intoleran, dan beberapa fase yang
berkaitan dengan puritanisme. Istilah ini juga dipolarisasi ke dalam dua mediasi.
Pertama semata-mata bersifat konsepsi penafsiran terhadap teks-teks dan dogma
agama. Kedua, berkaitan dengan praksis tindakan yang semata-mata mengklaim
21
KH. Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam (Jakarta: Penerbit PT. Desantara Utama
Media, 2009), hlm. 21. 22
Nativistik merupakan kata sifat dari nativisme. Nativisme dalam kamus besar ilmu pengetahuan
memiliki beberapa arti. Namun, dalam konteks tulisan ini, nativisme yang dimaksudkan adalah
sikap sosial yang terlalu menonjolkan keaslian, kepribumian dan kebudayaan sendiri sehingga
melahirkan penolakan ekstrim terhadap pengaruh, gagasan dan kehadiran orang luar. Dengan
demikian, ideologi nativistik adalah sistem pemikiran yang mengagungkan kebudayaan, gagasan,
sendiri dan menolak dengan ekstrim pengaruh dari luar karena dianggap dapat menodai
kebudayaan mereka. Save M. Dagun, Kamus Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Penerbit Lembaga
Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2013), hlm. 1126. 23
Asef Bayat, Pos-Islamisme, penerj. Faiz Tajul Milah (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2011), hlm.
12.
12
pietisme (kesalehan) atau kesucian bagi dirinya. 24
Sebagai konsepsi, Islamisme
merupakan interpretasi yang literer terhadap teks-teks suci Islam. Interpretasi
yang literer membuat teks-teks suci menjadi corpus tertutup terhadap cara
pembacaan selain cara pembacaan harafiah. Hal ini membuat teks-teks suci jauh
dari konteks pembaca (umat Islam) dan tidak komunikatif dengan konteks
penganutnya.25
Sebagai praksis tindakan, kelompok Islamisme menganggap diri
sebagai yang paling suci. Kesombongan religius ini kemudian membangkitkan
kecendrungan mereka untuk mengkafirkan yang lain. Kekafiran bagi mereka
merupakan musuh Allah yang harus disingkirkan. Hal ini yang kemudian menjadi
alasan penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok Islamisme tertentu.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Islamisme adalah
sistem pemikiran yang menafsir Islam sebagai sebuah sistem politik yang berasal
dari Allah untuk memobilisasi masyarakat Islam yang termarginalisasi akibat
proses-proses politik, sosial-ekonomi, budaya dengan memberlakukan hukum
Islam sebagai hukum yang mengatur tatanan hidup manusia. Sebagai sebuah
ideologi, Islamisme memiliki ciri derivasi seperti radikal, ekstrem, menolak
kontekstualisasi penafsiran, intoleran, dan beberapa fase yang berkaitan dengan
puritanisme.
2.1.3 Islam dan Islamisme
Serangan terhadap gedung World Trade Center di New York pada 11
September 2001 oleh kelompok militan al-Qaeda telah membentuk persepsi yang
buruk tentang agama Islam. Islam dipandang sebagai akar terorisme yang
mengancam peradaban dunia. Oleh karena itu Islam harus diperangi. Stigma
negatif terhadap Islam ini kemudian diikuti oleh rentetan upaya memerangi
terorisme yang kental dengan Islam.
Stigma negatif di atas lahir dari pemahaman yang minim tentang Islam.
Berbagai aksi terorisme selalu dikaitkan dengan Islam. Islam dipandang sebagai
agama yang produktif melahirkan para teroris dan berbagai aksi terorisme.
Pengetahuan teoretis dan faktual yang tidak komprehensif seperti ini kemudian
24
Ismatillah A. Nu’ad, Fundamentalisme progresif (Jakarta: Penerbit Panta Rei, 2005), hlm. 2. 25
KH. Abdurrahman Wahid (ed.), op. cit., hlm. 63.
13
dijadikan basis legitimasi untuk menilai dan menyikapi Islam. Maka, dalam pokok
bahasan ini akan diketengahkan demarkasi antara Islam dan Islamisme demi
pemahaman yang lebih komprehensif tentang Islamisme dan penilaian yang lebih
objektif terhadap Islam sebagai sebuah keyakinan.
Pada galibnya, Islamisme merupakan sebuah ideologi dan Islam
merupakan sebuah sistem kepercayaan. Sebagai ideologi, Islamisme mempunyai
semua ciri ideologi sekuler lainnya, seperti keyakinan memiliki dan menawarkan
satu-satunya kebenaran, hanya kaum elite yang bisa memahami ajaran tersebut
dan dipanggil untuk menjaga kemurniannya, adanya klaim berhak untuk
menentukan hukum yang harus ditaati oleh masyarakat.26
Kelompok Islamisme
meyakini bahwa Islam merupakan sistem politik yang dijalankan berdasarkan
otoritas ilahi yang absolut benar. Islamisme menuntut ketaatan mutlak setiap
orang. Masyarakat dituntut untuk taat tanpa terlebih dahulu memahami kemudian
menerima, tanpa kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik. Sedangkan
sebagai kepercayaan, Islam berhubungan dengan pengalaman personal akan
Allah-bukan pengalaman orang, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar-dan
tanggapan manusia yang bebas terhadap pengalaman akan Allah. Jelaslah, Islam
sebagai sistem kepercayaan menjunjung tinggi kebebasan manusia.
Menurut Bassam Tibi, Islamisme merupakan religionized of politics yang
berarti promosi sebuah sistem politik yang diyakini berasal dan berdasarkan
kehendak Allah. Namun, Islam pada hakikatnya bukan merupakan sebuah sistem
politik. Sebagai sebuah keyakinan, kultus dan pedoman etis bertingkah laku,
Islam menyiratkan nilai-nilai politis, tetapi tidak mengisyaratkan sebuah sistem
politik, sistem pemerintahan yang jelas, konkret. Islamisme bertumbuh dari
interpretasi yang keliru atas Islam, tetapi Islamisme bukanlah Islam: Ia adalah
ideologi politik yang tidak sejalan dengan ajaran agama Islam.27
Islamisme juga
kerap kali dipandang sebagai kebangkitan agama Islam. Islamisme bukanlah
kebangkitan Islam, tetapi konstruksi pemahaman atas Islam yang tidak sesuai
dengan warisan Islam. Utopia kelompok Islamisme, sebuah sistem pemerintahan
26
Mathias Daven, op. cit., hlm. 104. 27
Bassam Tibi, loc. cit.
14
ilahi, yakni hakimiyyat Allah (kehendak Allah), tidak pernah ada dalam sejarah
Islam.28
Sebagai sebuah keyakinan, seseorang dikatakan sebagai penganut Islam
jika ia menaati dan mengamalkan al-arkan al-khamsah (lima rukun Islam). Lima
rukun itu adalah melafalkan syahadat (ke-Esa-an Allah dan pengakuan
Muhammad sebagai utusan Allah), melakukan salat (doa harian), berpuasa selama
bulan suci Ramadan, zakat (bersedekah), dan jika kondisi finansial
memungkinkan, berziarah ke Mekkah sebagai kewajiban menunaikan ibadah Haji
untuk menjadi hajji (laki-laki) atau hajja (perempuan). Lalu, apakah kelompok
Islamisme juga mengamalkan lima rukun Islam ini? Keyakinan utama kelompok
penganut Islamisme ialah din wa dawla (kesatuan antara negara dan agama) di
bawah sistem konstitusional berdasarkan hukum Islam. Hal ini menegaskan
bahwa Islamisme bukanlah Islam, melainkan sistem politik yang
mengatasnamakan agama Islam.29
Bagi kelompok Islamisme, pengamalan lima
rukun Islam bukanlah yang utama, melainkan pendirian negara Islamlah yang
utama.
Akhirnya, dapat dipahami bahwa sebagai sebuah keyakinan Islam
diwahyukan langsung oleh Allah melalui nabi-Nya yang terakhir Muhammad
untuk disebarluaskan kepada semua orang. Sedangkan sebagai sebuah ideologi
politik, Islamisme bukanlah hasil pewahyuan ilahi melainkan sistem pemikiran
manusia yang dikonstruksi melalui penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama
Islam yang samawi itu.
2.2 LATAR BELAKANG KEMUNCULAN ISLAMISME
Kelahiran Islamisme dalam peradaban global ditandai dengan apa yang
disebut Daniel Bell sebagai “a returned of the sacred” (kembalinya yang kudus).
Ungkapapan ini hendak mengafirmasi sebuah upaya gerak balik, kembali kepada
agama, setelah sebelumnya peran agama dalam ruang publik kian tergerus akibat
arus sekularisasi. Penguatan kembali peran agama-a returned of the sacred-
dilatarbelakangi oleh dua krisis yaitu krisis normatif yang berhubungan dengan
28
Ibid. 29
Ibid., hlm.3.
15
modernitas dan krisis struktural yang berhubungan dengan pembangunan. Namun,
a return of the sacred bukanlah sebuah kebangkitan kembali agama dan perannya
di ruang publik, melainkan sebuah agama dalam balutan politik, agama yang
ditafsir secara politis.30
Sebagai sebuah ideologi, Islamisme lahir dari krisis yang melanda
masyarakat Islam akibat modernitas.31
Islamisme menolak modernitas karena
dampak yang dibawa modernitas terhadap peradaban dunia tidak sesuai dengan
cita-cita Islamisme. Modernitas yang tidak dapat dilepas-pisahkan dari
kebudayaan Barat dinilai sebagai awal dari merosotnya nilai-nilai keislaman.
Islamisme yang berpegang teguh pada hukum Allah melihat modernitas sebagai
tendensi manusia untuk menyaingi Allah. Modernitas beserta dampak yang
mengiringinya menjauhkan manusia dari Allah. Manusia dinilai memiliki
kebebasan yang penuh dalam menentukan kehidupannya dan melupakan hukum
Allah yang dipandang Islamisme sebagai hukum yang harus menjadi dasar bagi
semua manusia dalam bertindak. Demokrasi sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari modernitas dilihat sebagai sistem pemerintahan kaum kafir. Maka, Islamisme
menolak paham demokrasi.
Arus modernitas yang mengglobal melalui proses globalisasi dilihat
sebagai pencemaran terhadap dunia sehingga harus dilawan sebagai upaya
purifikasi terhadap tatanan dunia. Oleh karena itu, kelompok Islamisme kemudian
menyusun kekuatan politis untuk melawan modernitas dengan berbagai cara.32
Perlawanan golongan Islamisme terhadap arus modernitas dapat dilihat dari
perjuangan kedua tokoh yang sangat berperan dalam sejarah Islamisme; Hassan
al-Bana dan Sayyid Qutb.
Hassan al-Bana mendirikan organisasi radikal Ikhwanul Muslimin pada
tahun 1928 dengan agenda mengakhiri hegemoni tatanan sekuler di Mesir dan di
seluruh wilayah peradaban Islam. Dominasi nilai-nilai peradaban Barat akibat
modernitas tidak saja menyangkut sistem politik pemerintahan, melainkan juga
menyangkut bidang ekonomi dan pendidikan. Menurutnya, sistem pendidikan di
30
Bassam Tibi, op. cit., hlm. 2. 31
Ibid., hlm. 102. 32
KH. Abdurrahman Wahid (ed.), op. cit., hlm. 8.
16
Mesir telah menjauhkan generasi muda Islam dari identitas keislaman dan
menggiring generasi muda untuk mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai modern
versi Barat. 33
Langkah solutif untuk memulihkan moralitas keislaman yang merosot
akibat arus modernitas adalah pendidikan moral. Pendidikan moral ini
dikhususkan bagi para perempuan muslim agar terhindar dari pengaruh gaya
hidup Barat yang sangat bertolak belakang dengan kaidah moralitas Islam. Demi
menjaga moralitas Islam tersebut, maka ruang gerak wanita dibatasi. Perempuan
kemudian dilarang untuk tampil di depan umum. Kehadiran perempuan di depan
umum hanya akan menjerumuskan laki-laki pada praktik seksual yang illegal-
tidak sesuai dengan moralitas Islam-yang dapat merusak institusi perkawinan.
Oleh karena itu ruang publik hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan
perempuan hanya berkutat seputar urusan rumah tangga dan pantang untuk tampil
di ruang publik. Selain pemisahan dan pembatasan ruang gerak ini, aktivis
Ikhwanul Muslimin juga melakukan pengawasan dan pengontrolan yang ketat
terhadap praktek prostitusi, perjudian, alkohol serta tempat-tempat hiburan seperti
diskotek.34
Dalam sejarahnya, organisasi Ikhwanul Muslimin di bawah pimpinan
Hassan al-Bana sangat dipengaruhi oleh ideologi fasisme Italia dan komunisme
Soviet. Pengaruh ideologi-ideologi ini membuat organisasi ini sering kali terlibat
konflik dengan rezim Mesir. Konflik ini kemudian berdampak pada kematian
Hassan al-Bana pada tahun 1948. Selanjutnya pemikiran ideologis Ikhwanul
Muslimin dirumuskan secara sistematis oleh Sayyid Qutb.35
Sayyid Qutb berkeyakinan bahwa Islam terlibat dalam pertikaian dengan
imperialisme Barat, dan bahwa pada akhirnya tujuan dari modernisasi atau
pembangunan, baik yang dinyatakan sebagai kapitalisme adalah untuk
memperkuat kolonialisasi material di dunia Islam dengan melakukan penjajahan
33
Matias Daven, op. cit., hlm. 99-100. 34
Ibid., hlm. 100. 35
Ibid., hlm. 100-101.
17
moral dan kultural.36
Modernitas dilihat Qutb sebagai bentuk penjajahan terhadap
tatanan dunia Islam yang pada akhirnya akan menggiring peradaban Islam kepada
kemerosotan moral dan budaya.
Modernitas sebagai produk Barat oleh Sayyid Qutb dilihat sebagai
tendensi manusia untuk menyaingi kedaulatan Allah. Kekuasaan yang selain
daripada Tuhan dinamakan taghut, yakti tidak sah, kafir dan tiran. Oleh karena
itu, tujuan Islam adalah menghilangkan taghut dan menggantikannya dengan
kekuasaan Islamiah atau ilahiah. Tentang hal ini, sebagaimana dikutip Leonard
Binder, Qutb menulis:
… Dalam setiap rezim non-Islam, sekelompok manusia tunduk
kepada kekuasaan manusia lain. Dan untuk bisa terbebaskan dari
penghambaan terhadap sesama, manusia hanya dapat menempuh
“cara” (minhaj) yang Islami: yakni dengan menghambakan diri
kepada Tuhan semata, dengan hanya menerima perintah dari
Tuhan, dan dengan bertunduk diri hanya pada Tuhan.37
Bagi Qutb, hanya kedaulatan Allah yang boleh bertakhta di dunia ini.
Tatanan dunia universal tidak memberi tempat bagi kedaulatan manusia untuk
bertakhta. Qutb menulis:
Sesungguhnya hanya kepada Allahlah manusia menghambakan
diri. Namun mereka tidak akan dapat menghambakan diri hanya
kepada Allah jika tidak diserukan kepada mereka bahwa “tiada
tuhan selain Allah”-Kalimat “tiada tuhan selain Allah”,
sebagaimana dipahami oleh (setiap) orang Arab yang paham
akan tata-bahasa Arab, bermakna “Tidak ada kedaulatan selain
dari pada Allah, dan tidak ada syariat [hukum agama] selain
yang berasal dari Allah, dan tidak ada kekuasaan politik (sultan)
bagi siapa pun di atas siapa pun, karena kekuasaan politik hanya
milik Allah semata.38
Sayyid Qutb menyebut modernitas yang baginya menomor-satukan
kedaulatan manusia sebagai jahilliyah. Kata jahilliyah, yang kerap diartikan
sebagai “kebodohan”, merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menamai
kondisi budaya dan intelektual masyarakat Arab pra-Islam. Istilah ini kemudian
mengalami perluasan makna, yaitu untuk menyebut segala sesuatu yang tidak
36
Leonard Binder, Islam Liberal, penerj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 257. 37
Ibid., hlm. 259. 38
Ibid.
18
Islami atau berlawanan dengan Islam, termasuk pengaruh modern yang
menjauhkan Islam dari mereka.39
Tentang hal ini, Qutb menulis:
Masyarakat jahilliyah memberikan kedaulatan kepada manusia,
dan menentukan siapa yang menjadi tuan dan siapa yang
menjadi budak. Kedaulatan ini bukan dalam bentuk sederhana
yang dikenal dalam kejahiliyahan awal, namun dalam bentuk
yang mengklaim hak untuk menentukan gagasan dan nilai-nilai,
hukum dan peraturan, rezim dan institusi.40
Selanjutnya, dalam melawan arus modernitas beserta krisis yang
menyertainya, Qutb meyakini bahwa hanya kedaulatan Allah, hukum Islamlah
solusi yang paling adekuat. Tidak ada solusi lain selain kedaulatan Allah. Qutb
menulis:
Bila kedaulatan tertinggi dalam masyarakat adalah Tuhan
semata, maka itulah satu-satunya cara agar umat manusia dapat
meraih kebebasan sejati dari penghambaan terhadap sesama…
Tidak ada kebebasan sejati dan tidak ada martabat pada tiap
individu dalam suatu masyarakat yang sebagian anggotanya
adalah para tuan yang membuat peraturan dan sebagian lain
adalah budak yang wajib mentaati peraturan itu.41
Sebagai sebuah resistensi terhadap modernitas, Islamisme tidak
sepenuhnya antimodern. Walaupun mereka mempropagandakan ide-ide anti
modern, kaum Islamisme tetap mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi
modern sebagai instrumen untuk mewujudkan cita-cita mereka.42
Selain itu,
walaupun selalu mempropagandakan ide-ide anti modern, tanpa modernitas, kritik
kaum fundamentalis terhadap budaya modern menjadi tak mungkin.
Fundamentalisme lebih tepat disebut antimodernisme yang modern, karena hanya
dalam hubungan timbal balik antara Islamisme dan modernitas pola pikir dan
tindakan kaum muslim fundamentalis atas problem yang dihadapi masyarakat
modern dan solusi yang ditawarkan dapat dipahami.43
Islamisme juga lahir sebagai respons atas krisis yang melanda masyarakat
Islam akibat proses-proses politik, ekonomi, dan sosial. Sistem politik, ekonomi
39
Ibid., hlm 260-261. 40
Ibid., hlm. 260. 41
Ibid. 42
Bassam Tibi, op. cit., hlm. 37. 43
Matias Daven, “Fundamentalisme Agama Sebagai Tantangan Bagi Negara”, Jurnal Ledalero,
15:2 (Maumere: Desember 2016), hlm. 277-278.
19
dan sosial yang sekular dipandang sebagai sumber dari segala ketimpangan dalam
pembangunan dan korupsi. Oleh karena itu, kelompok Islamisme mengusung
slogan Islam sebagai solusi. Ketika mengudarakan slogan al- hall al- Islami
(Islam sebagai solusi) kelompok Islamisme hendak mengganti sistem politik
sekular dengan sistem politik yang diyakini berasal dari Allah.44
Sistem politik
yang berasal dari Allah ini meniscayakan implementasi hukum Allah sebagi
fundamen yang menyokong kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hanya
dengan implementasi hukum Allah dalam segala aspek kehidupan, krisis yang
melanda masyarakat modern baik krisis normatif maupun struktural dapat
diatasi.45
2.3 KARAKTERISTIK ISLAMISME
Sebagai sebuah ideologi politik Islam, Islamisme memiliki beberapa
karakteristik. Karakteristik-karakteristik Islamisme akan dijabarkan dalam poin-
poin berikut.
2.3.1 Islamisme Sebagai Invensi terhadap Tradisi Islam
Dalam sejarahnya, kemunculan Islamisme sering kali dikaitkan dengan
kebangkitan Islam. Sekularisasi yang berdampak pada peminggiran peran agama
dalam ruang publik membuat Islam kehilangan gemanya. Peran agama (Islam)
yang sebelumnya amat krusial dalam penyelenggaraan ruang publik diganti
dengan tatanan sekular yang mengedepankan rasionalitas. Sekularisasi mendorong
lahirnya konsep negara sekuler, yaitu pemisahan peran agama dan negara. Agama
berurusan dengan hal-hal privat, konsep good life, sedangkan negara berususan
dengan hal-hal publik dan pertanyaan seputar the concept of justice.46
Jadi,
Islamisme oleh kebanyakan orang dilihat sebagai upaya untuk menggaungkan
kembali peran agama dalam ruang publik. Islamisme dilihat sebagai kebangkitan
agama Islam untuk kembali memantapkan posisinya sebagai rujukan dalam segala
aspek kehidupan manusia. Namun, paradigma berpikir di atas dikritisi oleh Tibi.
Menurut Tibi, Islamisme bukanlah fenomena kebangkitan agama Islam,
44
Bassam Tibi, op. cit., hlm. 31. 45
Mathias Daven, op. cit., hlm. 112. 46
Otto Gusti, Post-sekularisme, Toleransi dan Demokrasi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017),
hlm. 27.
20
melainkan invensi tradisi Islam yang berkiblat pada ideologisasi Islam menjadi
ideologi politik.47
Invensi terhadap tradisi Islam ini merupakan upaya untuk menafsir tradisi
Islam seturut kemauan penganut ideologi Islamisme. Tradisi ditafsir sedemikian
rupa-seturut kebutuhan agar dapat dijadikan basis justifikasi dan legalisasi
perbuatan dalam rangka mewujudkan agenda ideologis. Tradisi, ajaran, Al-
Qur’an tidak lagi ditafsir dalam kerangka iman, budaya dan kemanusiaan, tetapi
ditafsir dalam kerangka kepentingan ideologis.
Invensi terhadap tradisi Islam dapat kita lihat dalam beberapa pokok
pikiran berikut. Pertama, interpretasi Islam sebagai nizam Islami (sistem politk
islamiah).48
Penganut ideologi Islamisme menafsir Islam bukan hanya sebagai
agama melainkan juga sebagai sistem politik yang berasal dari kehendak Allah.
Oleh karena itu sistem politik ini harus dipromosikan dan diimplementasikan
dalam masyarakat. Kelompok ini juga yakin bahwa Islam adalah totalitas
integratif dari “tiga d”: din (agama), dawlah (negara) dan dunya (dunia).49
Konsekuensinya adalah eksistensi Islam sebagai agama dan negara di tengah
dunia tidak dapat dilepas-pisahkan. Islam menurut kelompok ini merupakan
sintesis antara negara dan agama. Islam tidak boleh dipahami sebagai
pengkultusan, tata cara hidup baik, atau budaya semata, melainkan sisitem politik
yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan politis, ekonomi, sosial, moral
dalam kehidupan masyarakat. Islam eksis bukan hanya sebagai sebuah agama,
melainkan juga sebagai sebuah negara. Konsep yang integratif antara Islam,
negara dan dunia meniscayakan pembentukan negara Islam yang dijalankan
berdasarkan syariat Islam. Namun, tak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an yang
menunjukkan Islam sebagai sistem politik atau penekanan bahwa umat Islam
harus mendirikan negara Islam. Memang Al-Qur’an memuat kandungan etika dan
paduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk untuk menegakkan
keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Namun, Al-Qur’an tidak pernah
47
Bassam Tibi, loc. cit. 48
Ibid., hlm. 6. 49
M. syafi’I Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Potret Pemikiran Politik
Gusdur” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Penerbit The
Wahid Instititute, 2006), hlm. xix.
21
menggariskan sebuah sistem politik yang jelas, baku tentang pendirian dan
penyelenggaraan negara Islam. Misi Nabi Muhammmad bukan untuk membangun
kerajaan atau negara, melainkan untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam dan
kebajikan.50
Kedua, konsep tentang jihad. Dalam ajaran dan tradisi Islam, jihad
memiliki dua pengertian. Pertama, jihad sebagai jihad al-nafs51
yang merupakan
perang melawan diri sendiri dalam ketaatan kepada Allah. Perang ini merujuk
pada usaha sungguh-sungguh untuk mengendalikan diri, mengendalikan hawa
nafsu sebab Islam memandang hawa nafsu sebagai kekuatan yang selalu
menyimpan potensi destruktif, membuat jiwa selalu resah, gelisah dan
membahayakan orang lain.52
Kedua, qitάl yang berarti perang fisik. Perang fisik
ini dimaknai sebagai tanggung jawab religius untuk menghancurkan halangan-
halangan dalam penyebaran agama Islam.53
Dalam pengamalannya, qitάl harus
didahului oleh kemenangan terhadap diri sendiri agar aktivitas apapun yang
dilakukan tidak dikuasai oleh hawa nafsu.54
Namun, makna jihad ini kemudian
mengalami perubahan substantaif. Hassan al-Bana dan Qutb kemudian mengubah
jihad menjadi sebuah ideologi, yaitu jihadisme. Jihadisme bertumbuh dalam
bingkai-seperti yang dibahasakan oleh Mark Juergensmeyer- “teror atas nama
Allah”. Ungkapan ini hendak mengafirmasi keyakinan mereka bahwa Allah atau
agama melegitimasi kekerasan-teror sebagai upaya untuk mencapai tujuan
mereka. Kekerasan hanyalah sebuah sarana, tujuannya ialah mendirikan negara,
membangun tatanan dunia baru di bawah panji-panji Islam. Jihadisme dalam
praksisnya sering kali muncul dalam berbagai bentuk terorisme dan dengan
demikian mengabaikan etika dalam jihad klasik (jihad dalam pengertian
sesungguhnya).55
50
Ibid., hlm. xvii. 51
Bassam Tibi, op. cit., hlm. 135. 52
KH Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, op. cit., hlm 12. 53
Bassam Tbi, op. cit., hlm. 141. 54
KH Abdurrahman Wahid (ed.), loc, cit. 55
Bassam Tibi, op. cit., hlm. 155-156.
22
2.3.2 Islamisme Sebagai Totalitarianisme Baru
Hannah Arend dalam The Origins of Totalitarianism mengetengahkan
bahwa rezim yang lahir sebagai reaksi atas kegagalan demokrasi dan
pembangunan dapat dipandang sebagai totalitarianisme. Dasar yang fundamen
dari ideologi totalitarian adalah meregulasi seluruh aspek kehidupan masyarakat
tanpa meninggalkan ruang untuk kebebasan individu.56
Nilai manusia sebagai
makhluk bermartabat, sadar, bebas, berhati nurani, bertanggung jawab diabaikan
demi sebuah ambisi untuk menjadi tuhan atas seluruh manusia. Manusia tidak lagi
mempunyai wewenang untuk menentukan mana yang baik atau buruk untuk
dirinya sebab tatanan moral-etis, sosial-politis, legal-ilegal telah ditentukan oleh
nilai-nilai ideologis yang eksklusif, yang tidak terbuka terhadap diskusi,
perdebatan dan konsensus. Manusia dituntut untuk secara mutlak taat terhadap
nilai-nilai ideologi totalitarianisme tanpa harus terlebih dahulu mengetahui
memahami, menyukai, menyetujui tatanan nilai-nilai itu.
Bassam Tibi menggolongkan Islamisme sebagai sebuah ideologi
totalitarianisme dan menyejajarkannya dengan ideologi totaliter lainnnya seperti
fasisme dan komunisme. Namun, berbeda dengan fasisme dan komunisme yang
sekular, Islamisme mengambil bentuk yang lain, yakni bentuk religius. Hal inilah
yang kemudian membuat Tibi menyematkannya sebagai totalitarianisme baru,
yakni karena dia mengambil bentuk religius, bentuk yang berbeda dengan fasisme
dan komunisme yang sekular.57
Sebagai ideologi totaliter, Islamisme memberlakukan hukum Islam
sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan pada semua bidang dan menolak
prinsip otonomi politik. Watak totaliter dan cita-cita menciptakan suatu
masyarakat homogen merupakan hal yang konstitutif bagi Islamisme.58
Dalam
bidang politik kelompok Islamisme mempropagandakan sistem politik Islam yang
dalam keyakinan mereka diwahyukan langsung oleh Allah. Sistem politik seperti
ini harus menjadi satu-satunya sistem politik yang bertakhta di dunia ini dan
diyakini sebagai satu-satunya sistem politik yang dapat menjawabi krisis
56
Ibid., hlm. 210. 57
Ibid., hlm. 3. 58
Mathias Daven, op. cit., hlm. 111.
23
pembangunan yang dialami umat Islam. Dalam bidang moral, kelompok
Islamisme mengusung hukum Islam sebagai sumber hukum yang dapat
merespons defisit moral. Segala persoalan moral, kemerosotan moral hanya dapat
diatasi dengan mengimplementasikan hukum Islam. Oleh karena itu, seluruh
manusia dituntun untuk taat secara mutlak.
2.3.3 Pembentukan Negara Islam Sebagai Tujuan Islamisme
Poin utama dari segala perjuangan kelompok Islamisme adalah mendirikan
negara Islam. Kelompok Islamisme meyakini bahwa misi yang diamanatkan Allah
kepada Muhammad adalah misi untuk mendirikan negara Islam. Umat Islam
harus selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya
(khulafa ar rasyidun) sebagai teladan dalam mengatur tatanan kemasyarakatan,
dijadikan referensi utama dan modal untuk mewujudkan “negara Islam yang
ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsep-konsep politik
Barat.59
Kelompok Islamisme mengusung jargon “Islam sebagai solusi” atas segala
masalah yang ditimbulkan oleh dominasi kekuatan Barat. Mereka mengalami
sebuah "kebiadaban moral" yang dahsyat, keterpinggiran akibat proses-proses
politik, sosial, ekonomi, budaya akibat sistem pemerintahan sekuler yang selalu
dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan Barat, khususnya Amerika. Misalnya di
dunia Arab, kelompok Islamisme menganggap pendudukan Israel atas tanah
Palestina yang didukung oleh Amerika sebagai bukti penaklukan di tingkat global
yang berujung pada marginalisasi umat Islam.60
Oleh karena itu, untuk merespons
masalah ini, kelompok ideologis ini meniscayakan pembangunan kembali tatanan
dunia yang telah rusak dengan mendirikan dan meyatukan seluruh masyarakat
dunia di bawah pemerintahah Islam.
Negara Islam yang diidealkan ini harus dibangun di atas syariat Islam.
Syariat yang diinterpretasikan sebagai hukum Tuhan harus dijadikan sebagai
dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh
59
M. Syafi’i Anwar, op., cit. hlm. xix. 60
Asef Bayat, op. cit., hlm. 13-14.
24
proses pemerintahan, dan menjadi pedoman perilaku politik penguasa.61
Dengan
demikian model pemerintahan seperti ini tidak memberi ruang kepada rakyat
untuk terlibat secara demokratis dalam segala aspek pemerintahan. Rakyat tidak
memiliki kedaulatan dalam seluruh proses pemerintahan. Syariat yang adalah
representasi dari kedaulatan Allah mengambil posisi sentral dalam segala proses
pemerintahan dan menjadi tonggak bagi penyelenggaraan kehidupan masyarakat.
Mengingat sentralnya syariat Islam sebagai dasar konstitutif negara dan
pedoman moral dalam kehidupan bermasyarakat, maka syariat bersifat
ekpansional dan transnasional. Islamisme memuat usaha untuk memberlakukan
syariat Islam tidak saja bagi masyarakat Timur Tengah, melainkan seluruh umat
manusia.62
Dengan demikian, secara geografis, ekspansi gerakan Islamisme tidak
terikat pada batas-batas geografis tertentu, melainkan bersifat transnasional, yakni
melampaui batas-batas negara tertentu. Cita-cita Islamisme untuk menyatukan
masyarakat dunia dalam sebuah negara Islam meniscayakan pemberlakuan syariat
Islam di seluruh belahan dunia.
2.4 VARIAN KELOMPOK ISLAMISME
Ambisi untuk menyatukan semua bangsa di bawah payung negara Islam
membuat Islamisme menolak ide pluralitas dan pluralisme karena sejatinya
keberagaman dan pengakuan atas keberagaman serta kesediaan untuk
berkoeksistensi dengan yang lain sangat bertolak belakang dengan cita-cita
Islamisme. Namun, tidak dapat dibantah, eksistensi Islamisme amat ditandai
dengan pluralitas internal. Mathias Daven, dalam tulisannya yang bertajuk
“Politik atas Nama Allah” menggolongkan Islamisme ke dalam beberapa varian
berdasarkan sarana atau cara yang digunakan dalam mencapai tujuan itu.63
Kelompok-kelompok itu adalah sebagai berikut.
2.4.1 Kelompok Jihadis-Wahabi
Kelompok jihadis-wahabi adalah varian Islamisme yang mengadopsi
pemikiran ideologis wahabisme yang tidak segan-segan menggunakan sarana
61
M. Syafi’i Anwar, loc. cit. 62
Matias Daven, op. cit., hlm 113. 63
Ibid., hlm. 116.
25
kekerasan, penindasan, teror atau pembunuhan untuk mencapai tujuan
perjuangan.64
Selain itu, corak pemikiran wahabisme cendrung mengkafir-
kafirkan orang yang memiliki keyakinan dan pemikiran yang berbeda dengan
mereka.65
Dengan demikian kelompok jihadis-wahabi memiliki tendensi untuk
membagi manusia ke dalam dua kelas, yakni kelompok suci yang meliputi orang-
orang yang sepemikiran dengan mereka dan kelompok kafir, yang meliputi
mereka yang berbeda keyakinan dan pemikiran dengan mereka. Bagi kelompok
ini, dunia hanya diperuntukan bagi orang suci. Oleh karena itu, pembunuhan
merupakan jalan yang sangat adekuat untuk menyingkirkan orang-orang kafir dari
dunia ini.
Kelompok jihadis-wahabi-sejalan dengan pemikiran wahabisme-meyakini
bahwa kembali kepada makna asli Al-Qur’an dan sunah merupakan sebuah
kemendesakan. Mereka menolak rasionalisme dan ilmu pengetahuan. Kelompok
ini bahkan menyebut ilmu pengetahuan humaniora, khususnya filsafat sebagai
ilmu setan. Eksklusivitas terhadap ilmu pengetahuan membuat kelompok ini
menolak penafsiran yang terbuka terhadap ajaran Islam. Mereka menolak segala
upaya untuk menginterpretasi hukum Allah secara historis dan kontekstual.66
Literalisme jihadis-wahabi ini telah memutuskan teks Islam dari konteks
masa risalah dan konteks masa pembacaan. Teks Islam dan Islam sendiri menjadi
tidak komunikatif dengan kondisi dan kebutuhan pembaca atau penganutnya.
Pembacaan yang harafiah terhadap ajaran Islam ini mungkin bertujuan untuk
menghindari kompleksitas pemahaman terhadap ajaran Islam. Namun, membatasi
interpretasi teks sesuai konteks zaman dan waktu membuat teks itu tidak aktual
dan kehilangan daya transformatifnya. Interpretasi teks yang tidak adaptif dengan
situasi sosial, budaya, politik dan moral membuat teks itu tidak lagi relevan dan
hanya akan menimbulkan masalah ketika teks itu tetap dipaksakan kepada
kelompok dengan konteks dan latar belakang yang berbeda.
64
Christoph Schuck, “Die Entgrenzung des Islamismus: Indonesische Erfahrungen im globalen
Kontext” dalam Ibid., hlm. 116. 65
KH. Abdurrahman Wahid (ed.), op. cit., hlm. 61. 66
Omid Safi (ed.), Progressive Muslims (Oxford: Oneworld Publication, 2003), hlm. 50.
26
Di Indonesia, semangat kelompok jihadis-wahabi ini terpatri dalam
organisasi Jamaah Islamiah yang berjuang untuk mendirikan negara Islam dan
mengembangkan pengaruhnya di Asia Tenggara. Organisasi ini terlibat dalam
pelbagai aksi pemboman atas kedutaan Filipina di Jakarta pada tanggal 1 Agustus
2000, aksi pemboman di Bali 11 Oktober 2002 dan 5 Oktober 2005, aksi
pemboman hotel Marriot di Jakarta 5 Agustus 2003 serta aksi pemboman atas
kedutaan Australia pada tanggal 9 September 2004.67
2.4.2 Kelompok Militan-Situatif
Kelompok militant-situatif adalah kelompok yang pada saat tertentu
menggunakan sarana kekerasan, sambil berkomitmen untuk mengkonstruksi
identitas keislaman yang tertutup dan eksklusif. Kelompok ini sangat reaktif
tatkala ada pernyataan provokatif dari pihak non-Islam bernada penistaan atau
memusuhi Islam dan reaksi kelompok ini diwujudkan dalam aksi demonstrasi
yang tak jarang diramu dengan aksi kekerasan terhadap pelbagai kedutaan negara-
negara Barat.68
Di Indonesia, kelompok ini direpresentasikan oleh FPI (Front Pembela
Islam), ormas yang didirikan di zaman reformasi oleh figur militan keturunan
Arab bernama Habib Rizieg Shihab. Organisasi ini mengusung agenda
pemberlakuan NKRI bersyariat menurut semangat Piagam Jakarta. Tak jarang
ormas ini melakukan kekerasan dengan dalil memerangi “penyakit masyarakat”
seperti minuman alkohol atau prostitusi. Hal yang menarik dalam perjuangan
kelompok ini adalah struktur argumentasi Habib Rizieg Shihab terkait dengan
demokrasi. Di satu pihak ia mendukung ide perwujudan NKRI bersyariat seturut
semangat Piagam Jakarta, yang berarti bertentangan dengan UUD 1945 (anti
demokrasi Pancasila). Di pihak lain, ia menandaskan pemberlakuan piagam
Jakarta justru memperkuat prinsip-prinsip demokrasi. Alasannya adalah karena
piagam Jakarta hanya menyangkut kewajiban bagi umat Islam, tidak menyangkut
umat beragama lain.69
67
Christoph Schuck, op. cit., hlm. 117. 68
Ibid. 69
Ibid., hlm. 188.
27
2.4.3 Kelompok Indoktriner
Kelompok Indoktriner adalah varian Islamisme yang aktif menyebarkan
paham radikal melalui indoktrinasi atau khotbah-khotbah di rumah ibadat.
Kelompok ini dicirikan sebagai kelompok yang menolak cara-cara kekerasan
dalam mencapai tujuan mereka.70
Indoktrinasi yang dilakukan kelompok ini akan
berdampak pada glorifikasi ideologi Islamisme dalam pikiran setiap orang yang
diindoktrinasi. Mereka akan menutup diri terhadap realitas sosial, budaya dan
pluralitas cara pandang. Glorifikasi corak pemikiran Islamisme membuat para
indoktriner dan pengikutnya percaya bahwa Islamisme merupakan satu-satunya
ideologi yang benar. Oleh karena itu, mengartikulasikan dan menjadikan corak
berpikir Islamisme sebagai landasan dalam bertindak amatlah krusial dan
mendesak.
Hal yang menarik dari kelompok ini adalah penolakan cara-cara
kekerasan, teror, atau pembunuhan dalam mengejawantahkan tujuan mereka.
Namun, tidak dapat disangkal bahwa proses indoktrinasi dapat melahirkan
generasi muda yang mudah untuk direkrut sebagai teroris atau pasukan yang siap
berjihad membela Allah. Namun, harus dipertegas bahwa tujuan utama kelompok
ini melakukan indoktrinasi bukan untuk melakukan aksi terorisme, melainkan
untuk menanamkan pengetahuan tentang Allah bagi yang belum mengenal Allah
dan paham-paham radikal lain seperti eksistensi hukum Islam sebagai satu-
satunya hukum yang mutlak bagi krisis moral yang melanda dunia. Dengan kata
lain, kelompok indoktriner hanya berkutat pada tataran teoretis-doktrinal, bukan
pada tataran praksis. Praksis atas doktrin yang ditanamkan merupakan
konsekuensi tidak langsung dari proses indoktrinasi itu.
Kelompok indoktriner ini mencakup kaum salafis neotradisional dan
oponen institusional. Kaum salafis neotradisional secara metodis hampir identik
dengan wahabisme, tetapi wahabisme lebih tidak toleran terhadap pluralitas,
termasuk pluralitas pandangan dan dalam memperjuangkan tujuannya, kelompok
salafis neotradisional menolak penggunaan cara-cara kekerasan. Kelompok ini
menegaskan bahwa umat Islam harus kembali kepada makna yang original dari
70
Ibid.
28
Al-Qur’an dan sunah dan menekankan perlunya reinterpretasi ajaran Islam itu
seturut kebutuhan dunia modern.71
Keterbukaannya terhadap reinterpretasi ajaran Islam dan menolak
kepatuhan buta terhadap interpretasi generasi muslim sebelumnya menjadikan
salafisme neotradisional sebagai varian Islamisme yang tidak anti-intelektual.
Berbeda dengan wahabisme, kelompok ini tidak memusuhi tradisi hukum dan
mendukung pengembangan sekolah-sekolah untuk meletakkan dasar pemahaman
mereka tentang Islam dan kehendak ilahi.72
Kelompok ini aktif untuk melakukan
pengajaran untuk mendidik manusia yang belum mengenal Allah menjadi
manusia yang mengimani Allah.73
Pengajaran yang dilakukan oleh kelompok ini
tidak pernah bebas dari bingkai kehendak ilahi, artinya kehendak ilahi seperti
pemberlakuan sistem politik Allah, slogan “Islam sebagai solusi” selalu mendapat
tempat sentral dalam setiap proses pengajaran. Ormas Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI) merupakan representasi varian salafis neotradisional di
Indonesia.
Kedua, oponen institusional. Kelompok ini selalu mendefinisikan diri
sebagai oposis ektra-parlementer dan berjuang melawan sistem politik yang ada.
Walaupun kelompok ini dicirikan oleh prinsip non-kekerasan, toh tetap
mengambil jarak dan tidak melibatkan diri dalam proses politik karena menurut
kelompok ini sistem politik yang ada sudah tidak islamiah. Varian ini diwakili
oleh ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
2.4.4 Kelompok Pseudemokrat
Kelompok pseudemokrat adalah varian Islamisme yang berjuang dengan
cara berpartisipasi aktif dalam sistem politik yang ada dan mengambil bagian
secara aktif dalam pemilihan umum. Namun demikian partisipasi dalam proses
demokrasi tidak serta merta membuat kelompok ini diklasifikasikan sebagai
pendukung ide demokrasi. Dalam pandangan kelompok ini demokrasi tetap
merupakan merupakan ide yang lahir dari jahilliyah. Namun, partisipasi aktif
71
Omid Safi (ed.), op. cit., hlm. 55. 72
Ibid. 73
Christop Schuck, op. cit., hlm. 119.
29
dalam sistem politik demokrasi dipandang sebagai langkah strategis pragmatis
dengan tujuan memenangkan mayoritas kursi parlemen dan dengan itu terbuka
jalan bagi perubahan sistem demokrasi menjadi sistem politik Islamiah. Di
Indonesia kelompok pseudemokrat ini dikaitkan dengan sepak terjang Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan jargon “Islam adalah solusi” PKS dapat
diklasifikasikan ke dalam kategori kelompok pseudemokrat, karena loyalitasnya
lebih mengabdi kepada umma ketimbang mekanisme demokrasi yang pada intinya
memuat penghormatan hak asasi manusia.74
Kelompok Pseudemokrat melihat demokrasi hanya sebagai sarana untuk
menggapai tujuan yang tidak demokratis, yaitu usaha menjadikan hukum Islam
sebagai dasar penyelenggaraan politik kenegaraan. Demokrasi dipahami dalam
bingkai sarana-tujuan: setelah tujuan tercapai, demokrasi sebagai sarana tidak lagi
dipandang sebagai relevan karena secara ideologis kelompok Islamisme
sebenarnya menolak prinsip pemilihan umum karena kebenaran absolut sama
sekali tidak bergantung pada konsensus yang bisa dibuktikan melalui proses
pemilihan umum. Hukum Islam adalah satu-satunya hukum yang berasal dari
Allah dan karena itu wajib dijadikan sebagai tonggak pedoman arah dalam
kehidupan bermasyarakat dan dalam politik kenegaraan. Hal itu tidak
membutuhkan prinsip suara terbanyak.75
74
Ibid., hlm. 120. 75
Ibid.