Post on 02-Aug-2020
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN
Secara umum, bagian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama adalah
kajian pustaka, yang di dalamnya mengulas beberapa hasil pemikiran ilmiah yang
pernah ditulis dan penelitian yang sudah pernah dilakukan mengenai terjemahan
dan penerjemahan serta kajian yang berkaitan dengan kalimat bermarkah serta
struktur tematisasi. Bagian kedua menguraikan konsep dasar yang meliputi
pengertian tentang penerjemahan, pergeseran penerjemahan, penyimpangan
penerjemahan, kalimat bermarkah, maupun struktur tematisasi. Bagian ketiga
membahas landasan teori yang digunakan yaitu, pergeseran penerjemahan,
penyimpangan penerjemahan, dan teori sistemik fungsional linguistik.
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini memiliki beberapa kontribusi untuk penelitian yang akan
dilakukan, seperti memperkaya kerangka pemikiran penelitian, peningkatan
metodologi penelitian dan juga yang memiliki relevansi terhadap kemajuan
penelitian-penelitian alih bahasa sebelumnya.
Davidson (1984) dalam tulisannya yang berjudul “Syntactic Markedness
and the Definition of Sentence Topic”menjelaskan dua hal yang relevan, yakni
pemarkahan sintaksis dan topik kalimat. Berkenaan dengan pemarkahan sintaksis,
dikemukakan gagasan bahwa kalimat pasif adalah kalimat yang bermarkah
17
dan mempunyai padanan makna pada struktur aktif yang tidak bermarkah, seperti pada kalimat
berikut.
A tiger chased a tourist (aktif).
‘Seekor harimau mengejar seorang wisatawan’
A tourist was chased by a tiger (pasif).
‘Seorang wisatawan dikejar oleh seekor harimau’
Davidson menganalisis kalimat bermarkah dan memfokuskan pada kalimat pasif sebagai
bentuk kebermarkahan struktur. Dalam tulisannya juga dijelaskan bahwa topik kalimat adalah
suatu konstituen linguistik pada property sintaksis dan semantik untuk menghubungkan fungsi
dalam proses menghubungkan suatu kalimat dengan konteks wacana. Sebaiknya, dalam kajian ini
kalimat pasif merupakan salah satu tipe dan struktur kalimat bermarkah yang dianalisis.
Jacobs (1993) dalam pemaparannya pada “English Syntax” menyampaikan satu topik yang
relevan dengan penelitian ini yakni struktur informasi. Dalam struktur informasi ini ada dua
subtopik yang sangat relevan dan bisa membantu penelitian kalimat bermarkah dalam bahasa
Inggris ini, yakni topic comment dan initial position and passive clause. Dari kedua kalimat ini,
sebenarnya kajiannya adalah tentang bagian dari kalimat bermarkah hanya Jacob menyebutkannya
dengan istilah yang lain.
1) Topic comment
Contoh:
Drunk drivers, we ought to rid the state of them.
‘Pengemudi-pengemudi mabuk, kita seharusnya mengisarkan mereka’
Pada dua klausa di atas adanya topik sebagai pemarkah dalam dua klausa itu karena
keberadaannya mendahului klausa inti. Di sini topik merupakan informasi lama dari suatu tuturan.
18
2) Initial position and passive clause
Contoh:
The crown was stolen (by the twelve years old girl).
‘Mahkota itu dicuri (oleh gadis yang berumur dua belas tahun)
Kalimat pasif adalah suatu kalimat yang mempunyai struktur initial position, yakni pemindahan
objek dalam struktur aktif menjadi subjek dalam struktur pasif. Dalam struktur pasif juga
ditemukan suatu pemarkahan kalimat yaitu verbanya sebagai pemarkah seperti klausa di atas.
Jacob mengamati kalimat pasif sebagai bentuk yang bermarkah dan menjelaskan topic-comment.
Namun, dalam penelitian ini peneliti mengamati seluruh tipe dan struktur konstituen serta
informasi yang ditonjolkan oleh kalimat bermarkah dalam bahasa Inggris serta bagaimana kalimat
tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Noverti (2008) dalam tesisnya Skewing between Direct and Indirect Sentences in Pan
Angklung Gadang and Its Translation into English juga berfokus pada penelitian tentang
skewing/penyimpangan. Penyimpangan yang didiskusikan dalam tesis ini adalah penyimpangan
antara kalimat langsung dan kalimat tak langsung yang terdapat dalam cerita tradisional rakyat
Bali yang berjudul Pan Angklung Gadang dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Tujuan tesis
ini adalah untuk mengetahui terjemahan kalimat langsung diterjemahkan sedemikian rupa. Selain
itu, tesis ini juga bertujuan untuk menganalisis sejauh mana perubahan bentuk tersebut
memengaruhi penghilangan dan penambahan informasi yang terdapat dalam terjemahan.
Setelah menganalisis data ditemukan bahwa terdapat tiga jenis penyimpangan antara
kalimat langsung dan kalimat tidak langsung yang ditemukan dalam cerita rakyat Bali Pan
Angklung Gadang dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, yaitu kalimat langsung deklaratif
diterjemahkan ke dalam kalimat tidak langsung deklaratif, kalimat langsung imperatif
19
diterjemahkan ke dalam kalimat tidak langsung deklaratif, dan kalimat langsung interogatif
diterjemahkan ke dalam kalimat tidak langsung deklaratif. Pada kalimat langsung deklaratif
diterjemahkan ke dalam kalimat tidak langsung deklaratif, ditemukan bahwa terdapat makna kedua
dalam kalimat deklaratif, yaitu untuk menyatakan permintaan, perintah dan saran. Sementara itu,
pada kalimat langsung imperatif diterjemahkan ke dalam kalimat tidak langsung deklaratif,
ditemukan bahwa terdapat penyimpangan pada terjemahannya, yakni kalimat deklaratif digunakan
untuk meminta sesuatu. Pada kalimat langsung interogatif diterjemahkan ke dalam kalimat tidak
langsung deklaratif, ditemukan bahwa terdapat penyimpangan pada terjemahannya, yakni kalimat
deklaratif digunakan untuk menanyakan informasi.
Kalimat langsung yang terdapat pada teks bahasa sumber diterjemahkan menjadi kalimat
tidak langsung pada teks bahasa sasaran dengan tujuan untuk menghindari keharusan
menerjemahkan penggunaan bahasa yang bertingkat-tingkat, karena konteks dan makna yang
terkandung pada ujaran harus diterjemahkan jika ujaran yang terdapat pada teks bahasa sasaran.
Namun, jika ujaran pada teks bahasa sumber diterjemahkan ke dalam kalimat tidak langsung pada
teks bahasa sasaran, konteks yang terkandung pada ujaran tidak terlalu diperhatikan dan hanya
makna yang diterjemahkan ke bahasa sasaran, karena bentuk kalimat tidak langsung tidak
tergantung pada konteks. Oleh karena penggunaan bahasa yang bertingkat-tingkat tidak terlalu
diperhatikan pada terjemahan bahasa Inggris, terjadi penghilangan informasi konteks sosial ketika
menerjemahkan ujaran dalam bahasa sumber ke dalam kalimat tidak langsung dalam bahasa
sasaran, seperti penghilangan informasi status sosial dan hubungan keakraban pada teks bahasa
sasaran.
Penelitian di atas berfokus pada bagaimana kalimat langsung diterjemahkan ke dalam teks
bahasa sasaran dan mengapa diterjemahkan seperti itu, dan seberapa jauh perubahan bentuk
20
memengaruhi penambahan dan pengurangan informasi. Penelitian di atas juga menjadi pijakan
dalam penelitian ini, tetapi yang membedakan penelitian ini dengan penelitian di atas adalah
cakupannya yang lebih mendalam. Dalam hal ini penelitian melibatkan berbagai unsur linguistik,
tidak hanya semantik, tetapi juga sintaksis.
Swandana (2011) dalam tesisnya berjudul Kalimat Bermarkah dalam Bahasa Inggris pada
Novel Desecration membahas kalimat bermarkah dalam bahasa Inggris yang merupakan suatu
kajian yang berada di bawah struktur informasi suatu kalimat. Pada hakikatnya, struktur informasi
suatu kalimat menyangkut dua hal, yakni struktur informasi kalimat bermarkah dan struktur
informasi kalimat yang tidak bermarkah. Kalimat bermarkah dan tidak bermarkah biasanya
membawakan informasi yang sama. Namun, kedua kalimat ini mempunyai struktur sintaksis yang
berbeda. Kalimat tidak bermarkah merupakan bentuk asal atau kanonik yang mempunyai struktur
yang lebih sederhana. Sebaliknya, kalimat bermarkah merupakan bentuk turunan atau nonkanonik
yang mempunyai struktur sintaksis yang lebih rumit dan kompleks. Tesis ini mendeskripsikan dan
menganalisis tipe dan struktur konstituen kalimat bermarkah dalam bahasa Inggris pada novel
Descration. Di samping itu, tesis ini juga mendeskripsikan dan menganalisis informasi yang
ditonjolkan oleh kalimat bermarkah bahasa Inggris pada novel tersebut.
Penelitian ini mempunyai kemiripan dengan penelitian di atas dalam hal orientasi pada
topik penelitian di bidang struktur kalimat, khususnya kalimat bermarkah, namun, yang
membedakan adalah adanya pemadanan struktur kalimat bermarkah bahasa Inggris ke dalam
bahasa Indonesia.
Damayanti (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Theme Equivalence and Theme Shift
Found in Indonesian-English Translation of Thesis Abstracts dalam Jurnal Language Circle
Journal of Language and Literature, melakukan kajian tentang tema-rema dan terjemahan.
21
Penelitian ini mengkaji tipe-tipe tema-rema, kesepadanan tema, dan pergeseran tema dalam
penerjemahan abstrak tesis dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Sumber data dari
penelitian ini berupa sepuluh abstrak tesis program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
tahun 2010-2011 dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif. Unit analisis penelitian ini berupa klausa, setiap klausa yang ditemukan
diamati dan dianalisis berdasarkan kesepadanan tema dan pergeseran tema. Aplikasi teori
Linguistik Fungsional Sistemik digunakan dalam kajian tematisasi. Berdasarkan hasil analisis,
tema topikal merupakan tema yang dominan ditemukan pada sepuluh teks abstrak, yaitu 198 tema
topikal (80,16%) pada teks sumber dan 222 (79,56%) dalam teks sasaran. Tema topikal didominasi
oleh partisipan. Tema yang ditemukan didominasi oleh tema yang tidak mengalami pergeseran
dan mencapai kesepadanan (70,2%). Namun, tetap ditemukan pergeseran tema, pergeseran tema
tersebut terjadi melalui tiga proses yang berbeda, yaitu (1) perubahan fungsi gramatikal melalui
tematisasi (11,7%), (2) penambahan tema (14,7%) dan (3) penghapusan tema (3,4%). Penelitian
ini menunjukkan pentingnya pemahaman mendalam mengenai struktur gramatikal bahasa sumber
dan bahasa sasaran serta pemahaman tentang pergeseran dan kesepadanan terjemahan.
Penelitian Damayanti (2012) memiliki persamaan dengan penelitian ini, yaitu penelitian
tentang tema-rema dalam terjemahan, yang membedakannya, penelitian ini adalah sumber data
yang digunakan, dan penelitian ini berfokus pada kajian terjemahan kalimat bermarkah.
Dewi Yulianti (2016) dalam disertasi yang berjudul Aspek Stilistika dalam Teks Srimad
Bhagavatam: Kajian Terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia juga memberikan
kontribusi pada penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian terjemahan deskriptif yang
berfokus pada tipe-tipe majas sebagai aspek stilistika pada Srimad Bhagavatam dan terjemahannya
dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini bertolak dari paradigma penerjemahan Srimad Bhagavatam
22
sebagai produk terjemahan dan menggunakan tema teks dalam menganalisis majas yang terdapat
dalam bahasa sumber dan terjemahannya dalam bahasa sasaran. Memahami tema yang terdapat di
dalam teks akan membantu pemahaman majas yang digunakan dalam teks karena penggunaan
majas dipengaruhi oleh tema teks tersebut. Penelitian ini juga berfokus pada kemasan gramatikal
dari kalimat-kalimat yang mengandung majas melalui analisis metafungsi bahasa, yaitu
metafungsi tekstual, ideasional dan metafungsi interpersonal. Dalam hal metafungsi tekstual,
kalimat bermajas dianalisis berdasarkan tema-rema, metafungsi ideasional menganalisis kalimat
bermajas berdasarkan proses, partisipan dan sirkumstansi, dan metafungsi interpersonal
menganalisis kalimat dari modus kalimat tersebut. Hasil analisis menunjukkan tiga belas jenis
majas, dan majas sinisme yang paling banyak digunakan dalam teks. Kemasan gramatikal kalimat
yang mengandung majas dianalisis berdasarkan teori metafungsi bahasa, khususnya transitivitas
yang digagas oleh Halliday menunjukkan bahwa proses relasional mendominasi teks yang dikaji.
Penelitian ini menunjukkan bahwa strategi penerjemahan majas yang paling banyak diterapkan
adalah mengganti majas BS dengan majas BT. Ideology yang dianut penerjemah adalah
domestikasi dengan menerapkan metode literal translation, adaption, free translation, dan
communicative translation. Dalam hal transitivitas terdapat 48 proses relasional, 41 proses
material, 11 proses mental, 2 proses eksistensial dan 1 proses verbal.
Disertasi Dewi Yulianti (2016) memberikan kontribusi pada penelitian ini khususnya pada
kajian terjemahan dan metafungsi tekstual mengenai keterkaitan antara kajian terjemahan dan
tematisasi. Hal yang membedakan adalah penelitian ini hanya berfokus pada metafungsi tekstual
dan yang menjadi fokus analisis adalah kemasan gramatikal kalimat bermarkah.
23
2.2 Konsep
Konsep pada penelitian ini mencakup terminologi teknis yang merupakan komponen-
komponen dari landasan teori pada penelitian penerjemahan kalimat bermarkah bahasa Inggris ini.
Terminologi-terminologi teknis yang dimaksud terdiri atas penerjemahan, skewing, dan
pergeseran dalam penerjemahan, kalimat bermarkah, dan struktur informasi akan diuraikan
sebagai berikut:
2.2.1 Penerjemahan
Nida (1994) menyatakan bahwa proses penerjemahan terdiri atas (1) perencanaan, (2)
pengujian, dan (3) pendistribusian ditambah dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
langsung oleh penerjemah, yaitu (1) tahap analisis makna teks Bahasa Sumber, (2) tahap
pengalihan makna/ pesan Bahasa Sumber – Bahasa Target, dan (3) tahap restrukturisasi dalam
Bahasa Target, sehingga tercapainya kesepadanan alamiah yang paling mendekati.
Ditinjau dari tahapannya proses penerjemahan tampak sederhana. Jika dikaji dengan
saksama, proses penerjemahan sangat rumit dan panjang. Penerjemah memahami teks Bahasa
Sumber, kemudian melakukan analisis sintaksis untuk menginvestigasi bagian-bagian klausa.
Setelah dilakukan analisis struktur sintaksis, kemudian dilanjutkan dengan analisis leksikal untuk
menentukan makna dan pesan yang terkandung pada klausa tersebut. Pesan tersebut tidak bisa
dipisahkan dari teks dan konteksnya sehingga dilakukan penyesuaian struktur gramatikal dan
stilistika Bahasa Target sebelum dituangkan dalam produk penerjemahannya.
Machali (2000:5) menyarikan apa yang disampaikan Catford (1965:20) tentang
penerjemahan, yaitu the replacement of textual material in one language dan pernyataan yang
disampaikan oleh Newmark (1988) rendering the meaning of a text menjadi penerjemahan adalah
upaya “mengganti” teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa target yang
24
diterjemahkan adalah makna yang terkandung dalam pesan sebagaimana yang dimaksudkan
penulis. Kenyataannya tidak mudah mengganti struktur Bahasa Sumber ke dalam Bahasa Target,
sehingga pergeseran ataupun skewing dalam penerjemahan tidak dapat dihindari untuk mencapai
kesepadanan.
Berdasarkan uraian di atas penerjemahan dilihat dari segi linguistik dapat disimpulkan
secara sederhana sebagai pengalihbahasaan pesan, naskah, buah pikiran, ide, baik yang berbentuk
lisan maupun tulisan, dengan ekuivalensi yang semirip mungkin dan seoptimal mungkin. Jika tidak
ada penyimpangan antara struktur semantik dan bentuk gramatikal, daya ilokusi akan sama seperti
modus gramatikal kalimat itu. Pertanyaan diungkapkan dengan kalimat tanya, pernyataan dengan
kalimat pernyataan, dan perintah dengan kalimat perintah.
2.2.2 Kalimat
Alwi, (2003:311) menyatakan bahwa kalimat adalah satuan bahasa terkecil dalam wujud
lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud tulisan kalimat dimulai
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca, seperti tanda titik, tanda baca, tanda seru,
sesuai dengan jenis kalimatnya. Kalimat merupakan satuan dasar wacana. Artinya, wacana baru
akan terbentuk jika ada dua kalimat atau lebih, letaknya berurutan sesuai dengan kaidah
kewacanaan. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Alwi, Downing dan Locke (2006)
menyatakan bahwa kalimat secara gramatikal merupakan unit tertinggi yang terdiri atas satu klausa
independen atau dua klausa atau lebih, klausa yang saling terkait. Unit ini dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya atau tanda seru. Definisi kalimat selanjutnya
disampaikan oleh Kroeger (2004:5), menurut Kroeger, kalimat tidak sesederhana seperti rangkaian
kata yang satu dengan kata-kata lainnya. Dalam sebuah kalimat dibutuhkan pemikiran lebih lanjut
tentang makna-makna yang terkandung di dalam kalimat tersebut.
25
2.2.3 Kalimat Tidak Bermarkah
Kalimat tidak bermarkah dikenal dengan istilah kalimat kanonik. Kalimat tidak bermarkah
ini adalah suatu kalimat deklaratif yang positif. Kalimat deklaratif secara sintaksis adalah suatu
kalimat yang subjeknya selalu hadir dan biasanya posisinya mendahului verba (Quirk, 1985:803).
Perlu ditegaskan bahwa tidak semua kalimat deklaratif positif dapat dianggap sebagai
kalimat kanonik atau tidak bermarkah. Hal ini terjadi karena di dalam kalimat deklaratif positif itu
masih dimungkinkan adanya pola urutan fungsi atau konstituen yang bermarkah. Kalimat tidak
bermarkah adalah suatu kalimat deklaratif positif dengan pola unsur inti (1) S-V, (2) S-V-C, (3)
S-V-A, (4) S-V-O, (5) S-V-O-C, (6) S-V-O-A, dan (7) S-V-Od-Oi.
2.2.4 Kalimat Bermarkah
Pengemasan informasi dapat dilihat dari tipe atau pola kalimat yang digunakan. Pola urutan
konstituen dalam kalimat dapat dibedakan menjadi dua tipe struktur, yaitu struktur tidak
bermarkah dan struktur bermarkah. Kebermarkahan merupakan konsep yang bermanfaat dalam
mempelajari bahasa secara utuh (Bloor dan Bloor (1995). Kebermarkahan sintaksis berfokus pada
pola urutan kata yang merupakan hal yang sangat penting dalam penerjemahan karena memiliki
peranan penting dalam mempertahankan koherensi dan orientasi pesan pada level wacana (Baker,
1992). Pengguna bahasa secara intuitif mengetahui pola urutan kata yang umumnya digunakan
dalam membentuk klausa. Pola urutan kata ini dikenal sebagai pola urutan kata yang tidak
bermarkah. Sedangkan pola urutan kata yang bermarkah dihasilkan dengan menempatkan elemen
klausa pada posisi yang berbeda dari pola urutan yang lazim atau umum digunakan (tidak
bermarkah) dengan tujuan mencapai kohesi, menekankan informasi, dan lain-lain. Fitur-fitur
gramatikal dengan pola urutan tertentu dapat menghasilkan kebermarkahan. Struktur ini dapat
26
dibandingkan secara lintas bahasa melalui analisis hasil terjemahan kalimat bermarkah ke dalam
bahasa Indonesia.
Kalimat bermarkah adalah kalimat yang mengandung pemarkah yang berupa penyisipan,
pelesapan, atau perubahan pola urutan frasa atau klausa. Kalimat bermarkah dikenal dengan istilah
kalimat nonkanonik. Pertama, yang termasuk di dalam kalimat bermarkah itu adalah kalimat
deklaratif dengan pola di luar pola kalimat tidak bermarkah. Menurut Huddleston dan Pullum
(2005), kalimat bermarkah bahasa Inggris pada kalimat deklaratif positif terdiri atas kalimat pasif,
kalimat ekstraposisi, kalimat eksistensial, kalimat it-cleft, kalimat pseudo-cleft, kalimat preposing,
kalimat postposing, kalimat inversi dan kalimat reduksi. Kalimat-kalimat lain yang digolongkan
ke dalam kalimat bermarkah adalah Kalimat deklaratif negatif, kalimat introgatif, kalimat
imperatif, dan kalimat esklamatori.
2.3 Landasan Teori
Yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah penerjemahan. Objek yang dikaji adalah
kalimat bermarkah bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan
sudah tentu melibatkan pemadanan dua bahasa oleh karena itu teori yang digunakan adalah Teori
Kesepadanan oleh Baker 91992), Teori Pergeseran Penerjemahan oleh (Catford, 1965), serta Teori
Skewing (penyimpangan penerjemahan) oleh Larson (1998). Kalimat dari sudut pandang
kebermarkahan dibedakan menjadi dua, yaitu kalimat bermarkah dan tidak bermarkah. Kalimat
bermarkah memiliki hubungan yang erat dengan kandungan informasi yang ada di dalam kalimat,
perbedaan struktur kalimat bermarkah bahasa Inggris dengan struktur kalimat di dalam bahasa
Indonesia menimbulkan terjadinya pergeseran dalam upaya pemadanan kalimat tersebut, oleh
karena itu pemadanan kalimat bermarkah ini akan dibahas dengan menggunakan teori Pergeseran
menurut Catford (1965). Struktur tematisasi yang terdapat di dalam kalimat bermarkah dan
27
terjemahannya dianalisis dengan menggunakan Teori Functional Grammar menurut Halliday
(1985).
2.3.1 Hakikat Penerjemahan
Komunikasi antarbahasa memiliki keterkaitan dengan penerjemahan, khususnya dalam hal
penerjemahan (translation), menerjemahkan (translating), dan terjemahan (a translation).
Penerjemahan merupakan aktivitas yang berkaitan dengan proses kognitif, suatu proses yang
terjadi dalam otak penerjemah. Menerjemahkan juga merupakan proses yang dapat diamati oleh
individu lain. Proses seperti ini ditunjukkan melalui perilaku penerjemahan seperti membuka
kamus, menulis, membaca, dan lain sebagainya.
Terjemahan merupakan hasil dari suatu proses menerjemahkan. Oleh karena itu, dalam
melakukan penelitian penerjemahan dapat dipandang dari dua sisi, yaitu penerjemahan sebagai
sebuah produk ketika seorang peneliti dihadapkan pada karya terjemahan yang dihasilkan oleh
penerjemah dan penerjemahan sebagai proses jika peneliti dihadapkan pada proses bagaimana
suatu teks diterjemahkan (Nababan, 1999). Sejalan dengan yang disampaikan oleh Nababan
(Hatim dan Mason, 1990) juga menyampaikan bahwa penerjemahan dipandang sebagai sebuah
produk. Sebagai sebuah produk, terjemahan dapat dikaji sebagai sebuah hasil dari praktik
menerjemahkan teks dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). Oleh karena itu, dalam
penelitiannya peneliti telah memperoleh data berupa karya terjemahan untuk diteliti dari berbagai
aspek. Selain sebagai produk, penelitian penerjemahan juga memandang penerjemahan sebagai
suatu proses. Ketika penerjemahan dipandang sebagai sebuah proses, maka peneliti akan
melakukan penelitian yang berkaitan dengan alur menerjemahkan yang dilakukan seorang
penerjemah sampai akhirnya menghasilkan produk terjemahan.
28
Penelitian disertasi ini termasuk dalam kategori penelitian penerjemahan sebagai sebuah
produk karena yang menjadi objek penelitian adalah buku The Intelligent Investor dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia khususnya kalimat bermarkah deklaratif positif bahasa
Inggris dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Data yang sudah tersaji dalam buku inilah yang
menjadi data primer penelitian ini.
Dalam kegiatan penerjemahan, penerjemah dihadapkan pada dua teks yang secara
linguistik dan kultural berbeda satu sama lain. Karena perbedaan ini, maka penerjemah
memerlukan pendekatan penerjemahan dan strategi penerjemahan yang tepat agar dapat mengatasi
persoalan yang timbul dalam mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Pendekatan penerjemahan dan strategi penerjemahan sebagai bagian dari proses penerjemahan
akan berpengaruh pada kualitas terjemahan yang dihasilkan.
Penerjemahan merupakan usaha mengalihkan amanat dari bahasa sumber dengan cara
menemukan padanan pada bahasa sasaran dengan menggunakan bentuk gramatikal tertentu,
seperti kata, frasa, kalimat maupun klausa. Padanan menurut Machali (2000) adalah suatu bentuk
dalam bahasa sasaran yang secara semantik sepadan dengan struktur dalam bahasa sumbernya.
Kesepadanan dapat terjadi karena bahasa dan budaya bersifat universal. Kesepadanan merupakan
isu penting dalam penerjemahan karena berkaitan dengan perbandingan antara teks dalam bahasa
yang berbeda.
2.3.2 Pemadanan Penerjemahan
Padanan dalam terjemahan merupakan kesejajaran pesan antara bahasa sasaran dan bahasa
sumbernya. Padanan merupakan masalah utama yang harus dicapai pada seluruh teks yang
diterjemahkan, namun karena teks terdiri atas satuan-satuan lingual dan konteks sosial budaya
maka penerjemah harus benar-benar memerhatikan padanan semua unsur tersebut. Oleh karena
29
itu, ukuran kesepadanan terjemahan haruslah menyeluruh, yaitu dari sisi linguistik, pragmatik dan
fungsi teks yang diterjemahkan (Machali, 2000). Terkait dengan padanan pesan Bsu dan Bsa
tersebut, Nababan (2004) menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan tidak dapat dicapainya padanan
yang sebenarnya, yaitu (1) tidak mungkin suatu pesan teks yang ditulis seseorang dapat ditangkap
secara menyeluruh oleh orang lain dan diungkapkan dalam Bsa, (2) karya terjemahan merupakan
interpretasi subjektif penerjemah terhadap teks sumber, dan (3) penerjemah tidak dapat
mengetahui respons pembaca dalam bahasa sumber ketika teks tersebut pertama kali
dipublikasikan. Karya terjemahan harus diusahakan oleh penerjemah mendekati pesan bahasa
aslinya. Baker (1992) mengelompokkan padanan pada setiap tingkat satuan lingual. Padanan yang
dimaksud adalah padanan tingkat kata, di atas kata, gramatikal, tekstual dan pragmatik. Pendapat
tentang padanan tersebut dipilih dalam penelitian ini karena pembahasannya lebih menyeluruh,
yaitu dari satuan lingual terkecil sampai dengan yang paling tinggi, khususnya padanan tekstual
yang memiliki keterkaitan dengan kandungan informasi yang terdapat dalam tema-rema pada
masing-masing kalimat.
Padanan Tataran Kata
Kata merupakan satuan lingual terkecil yang mempunyai makna. Baker (1992)
menyatakan unit terkecil yang mengandung makna. Kelas kata atau kategori kata dibagi menjadi
kelas kata utama dan kelas kata tugas/fungsional. Kategori kata utama dalam bahasa Inggris terdiri
atas nomina, verba, adjektiva, dan adverbia. Adapun kelas kata tugas terdiri atas pronominal,
konjungtor, preposisi, dan artikel. Kata dalam bahasa Inggris atau bahasa lain memiliki banyak
makna berdasarkan konteksnya, misalnya kata bahasa Inggris pick, memiliki makna ‘memetik,
membuka, memihak, mencungkil, menusuk, membuka maupun membului’. Terkait dengan
penetapan satuan lingual, berdasarkan pada apa yang disampaikan oleh Baker (1992) maka
30
terdapat strategi penerjemahan yang dapat dilakukan, yaitu (1) menggunakan kata yang umum, (2)
menggunakan kata yang netral, (3) menggantikan kata yang mempunyai pengaruh sama terhadap
pembaca BSu dan BSa, (4) cara meminjam kata tersebut dan menambahkan penjelas dalam bahasa
sasaran, (5) memparafrase dengan menggunakan kata yang masih berkaitan, (6) memparafrase
dengan kata yang tidak berkaitan, (7) menghilangkan kata asli tanpa mengubah pesan secara
keseluruhan, dan (8) memberikan ilustrasi dan penjelasan yang mendalam.
Padanan di atas Tataran Kata
Padanan di atas kata terkait dengan kegiatan penerjemahan yang menekankan pada tipe
pola leksikal, bentuk kolokasi, idiom dan pernyatan tertentu. Kolokasi adalah seluruh deret kata
dalam lingkungan yang sama, misalnya bank, cheque, account, interest dan pay. Dalam
menghadapi bentuk bahasa semacam itu penerjemah sering mendapat kesulitan menemukan
padanan yang sesuai dalam bahasa sasaran namun collocation range dapat dirunut dari kata yang
membentuknya. Idiom merupakan ungkapan beku yang tidak mempunyai variasi bentuk dan
maknanya tidak dapat dirunut dari unsur pembentuknya, misalnya killing the two birds with one
stone yang dipadankan dengan idiom bahasa Indonesia; ‘sambil menyelam minum air’.
Padanan Gramatikal
Padanan gramatikal menyangkut satuan lingual di atas kata yang berbentuk frasa, klausa,
dan kalimat. Struktur frasa, klausa dan kalimat BSu berbeda dengan Bsa sehingga penerjemah
perlu menetapkan padanan gramatikal bahasa-bahasa tersebut agar teks yang dihasilkannya dapat
diterima pembaca dalam bahasa sasaran. Perbedaan kaidah gramatikal antara Bsu dan Bsa terfokus
pada berbedanya waktu, angka, jenis kelamin, individu, tenses, aspek, bentuk dan voice (Baker
1992). Misalnya kala dikenal dalam bahasa Inggris berkaitan dengan berubahnya bentuk verba
ketika kata tersebut berfungsi sebagai predikat dalam suatu kalimat dengan waktu yang berbeda-
31
beda. Sedangkan, bahasa Indonesia tidak mengenal kala, sehingga tidak terjadi perubahan bentuk
verba sama sekali. Oleh karena itu, padanan gramatikal harus dicapai dengan menyesuaikan
struktur yang ada dalam bahasa tersebut. Penerjemah harus dicapai dengan menyesuaikan struktur
yang ada dalam bahasa tersebut. Penerjemah tidak boleh terikat dengan struktur yang terdapat
dalam Bsu tetapi harus menyusun kalimat Bsa yang wajar sehinga mudah dipahami oleh pembaca
target. Sebagai contoh, kalimat bahasa Inggris I broke my leg diterjemahkan menjadi kalimat ‘Kaki
saya patah’ bukan ‘Saya mematahkan kaki saya’. Baker (1992) juga menegaskan bahwa tata
bahasa merupakan seperangkat kaidah yang digunakan sebagai acuan untuk menyusun satuan
lingual kata menjadi frasa, frasa menjadi klausa, dan klausa menjadi kalimat dalam bahasa. Satuan
lingual frasa, klausa dan kalimat tersebut termasuk dalam sistem gramatikal pada bidang sintaksis
dan mempunyai pesan khusus sesuai dengan kaidah yang berlaku dan konteks sosial budaya
bahasa penggunanya.
Frasa merupakan kelompok kata yang tidak bersifat predikatif. Urutan letak kata (word
order) dalam frasa bahasa Inggris berbeda dengan bahasa Indonesia sehingga penerjemah
seharusnya memahami perbedaan tersebut sehingga saat menerjemahkan satuan lingual frasa tidak
mengalami kesulitan. Dalam menerjemahkan frasa, penerjemah harus mengetahui dan
memulainya dari kata inti baru kemudian dilanjutkan pada pewatas kecuali terdapat pewatas yang
mengandung keterangan kuantitas. Adanya perbedaan struktur frasa bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia menuntut penerjemah memahami keduanya agar kesulitan dalam menerjemahkan dapat
diatasi. Di samping frasa, struktur gramatikal juga melibatkan klausa dan kalimat. Struktur klausa
dan kalimat bahasa sumber dan bahasa sasaran tidak selalu sama sehingga penerjemah diharapkan
banyak berlatih atau praktik penerjemahan teks yang terdiri atas klausa dan kalimat. Klausa
merupakan satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih yang mengandung unsur predikasi.
32
Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia mempunyai dua jenis klausa, yaitu main clause dan
subordinate clause. Main clause merupakan klausa yang dapat berdiri sendiri sebagai kalimat
sempurna, sedangkan subordinate clause merupakan klausa yang tidak dapat berdiri sendiri.
Pembagian jenis kalimat dalam bahasa Inggris memiliki perbedaan dengan jenis kalimat
yang terdapat di dalam bahasa Indonesia, perbedaan istilah dan struktur antara bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia juga membedakan pengertian, konsep dan jenis setiap kalimat pada masing-
masing bahasa sehingga dalam terjemahan kalimat dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia
dapat terjadi perubahan pesan. Selain perubahan pesan, kandungan informasi yang terdapat di
dalam kalimat bahasa sumber seringkali tidak tersampaikan dengan baik karena perbedaan struktur
gramatikal kedua bahasa.
Padanan Paragraf
Paragraf merupakan salah satu unsur yang terdapat di dalam teks atau wacana. Sebuah
paragraf biasanya dikembangkan sesuai dengan topik, tujuan dan pembaca atau pendengar yang
ditujunya. Oleh karena itu dalam menerjemahkan teks atau wacana penerjemah harus mampu
menangkap dan memahami pesan yang terdapat dalam setiap paragrafnya.
Padanan Tekstual
Baker (2001) menyatakan kesepadanan tekstual merupakan kesepadanan yang tidak
mengubah tema suatu teks karena tema merupakan hal penting dalam suatu teks. Kesepadanan
tekstual juga berkaitan erat pada kesepadanan teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran dalam
hal informasi bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Teks merupakan satuan lingual tertinggi di
atas kalimat. Satuan lingual tertinggi yang dimaksud mempunyai fungsi, dilihat dari bentuk
rangkaian kata, frasa, klausa, kalimat dan paragraf serta harus dimengerti bahwa rangkaian tersebut
merupakan suatu kesatuan makna yang tertulis atau diucapkan berdasarkan konteks tertentu.
33
Rangkaian satuan bahasa yang dinamakan teks dapat dikatakan baik apabila mudah dipahami,
bertekstur, berkohesi, dan berkoherensi (Halliday, 1985:7). Sejalan dengan hal ini, penerjemah
diharapkan dapat memahami teks dan pesan teks Bsu secara baik sehingga dapat menyusun
kembali kalimat serta informasi dalam teks Bsa dengan tetap berpedoman pada padanan pesan,
yaitu padanan tekstual.
Kesepadanan tekstual memiliki hubungan dengan informasi dan kohesi yang disampaikan
dalam Bsa. Penerjemah harus menyadari bahwa padanan tekstual merupakan sesuatu yang penting
karena pesan teks Bsu akan disampaikan kembali ke dalam Bsa. Semua satuan lingual yang berada
dalam teks harus dipahami penerjemah sehingga ketika ia menerjemahkan satu kalimat harus
memerhatikan kalimat sebelumnya dan kalimat yang mengikuti setelahnya. Selain itu, penerjemah
harus memahami konteks yang terdapat dalam teks atau wacana, seperti situasi, penutur,
pendengar/pembaca, waktu, tempat, topik, tujuan, sarana, serta tekstur teks.
Baker (1992) menjelaskan bahwa makna tekstual mempresentasikan klausa sebagai suatu
pesan yang dapat dianalisis dengan menggunakan dua jenis struktur, yaitu struktur tematik dan
struktur informasi. Hal ini sejalan dengan teori Systemic Functional Linguistics yang disampaikan
oleh Halliday (1985) sebagaimana yang disampaikan oleh Baker (1992) pada bukunya. Tema
adalah satu unsur di dalam konfigurasi struktural tertentu yang secara keseluruhan mengorganisir
klausa sebagai pesan; yang disebut sebagai konfigurasi Tema + Rema. Sebuah pesan terdiri atas
sebuah tema yang dikombinasikan dengan rema. Di dalam konfigurasi ini, tema merupakan titik
awal suatu pesan. Kajian tematisasi ini muncul dari adanya pemahaman bahwa bahasa berfungsi
untuk menyampaikan pesan. Pesan ini disampaikan secara sistematis. Hal ini menunjukkan bahwa
bahasa mempunyai aturan agar dapat menyampaikan pesan dengan susunan yang baik dan teratur.
34
Fungsi bahasa ini disebut fungsi tekstual dimana tema merupakan titik awal dari satu pesan yang
terealisasi dalam klausa.
Di dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, tema ditandai pada posisi awal klausa atau
unsur yang terletak di awal klausa. tema dinyatakan dengan unsur pertama klausa sedangkan unsur
klausa sesudah tema disebut rema (Saragih, 2007:8). Tema dari segi bentuknya dapat berupa
partisipan, proses atau pun keadaan berbentuk kata, frasa, maupun kalimat.
Selanjutnya Saragih (2007) menjelaskan sebagai titik awal pesan, Tema direalisasikan
berdasarkan posisi dan penanda. Dengan kata lain, tema dapat dilokalisasi berdasarkan dua
kriteria, yakni urutan dan pemarkah di dalam klausa. Sejumlah bahasa menentukan tema
berdasarkan urutan dan yang lainnya berdasarkan pemarkah. Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
termasuk pada kategori urutan, tema ditandai dengan urutan atau posisi, yaitu posisi awal klausa
atau unsur yang paling terdepan pada klausa. Berdasarkan kriteria urutan tersebut, unsur
fungsional klausa yang berada pada awal klausa menjadi tema atau dengan kata lain tema adalah
unsur pertama atau inisial klausa.
2.3.3 Pergeseran Terjemahan (Translation Shift)
Teori Translation Shift yang diperkenalkan oleht J.C. Catford (1965) masih sering
digunakan terutama yang berkaitan dengan pergeseran terjemahan. Meskipun banyak dikritik oleh
ilmuwan penerjemahan modern, teori yang diperkenalkan oleh Catford masih tetap bertahan dan
dipergunakan hingga saat ini karena translation shift memang tidak dapat dihindari dalam kegiatan
penerjemahan.
Dalam konteks penerjemahan, makna pergeseran (shift) mengindikasikan adanya titik-titik
perbedaan antara teks sumber dan teks target. Struktur kalimat bahasa Inggris, khususnya kalimat
bermarkah, seperti kalimat pasif, kalimat eksistensial, kalimat it-cleft maupun kalimat pseudo-cleft
35
merupakan struktur kalimat yang terbentuk dengan tujuan memfokuskan informasi. Pergeseran
merupakan salah satu konsekuensi dari usaha penerjemah dalam mencari padanan terjemahan
antara dua sistem bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, Al-Zoubi dan Al-Hassnawi (2001)
mendefinisikan pergeseran sebagai tindakan wajib yang ditentukan oleh adanya perbedaan
struktural antara dua sistem bahasa yang terlibat dalam proses penerjemahan dan tindakan opsional
yang ditentukan oleh preferensi personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk
menghasilkan terjemahan yang alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa
target.
Catford (1965) menyatakan bahwa korespondensi formal merujuk pada kesamaan kategori
linguistik dari dalam dua bahasa yang berbeda (unit, kelas, struktur, elemen struktur, dan lain-
lain), bisa saling bertukar tempat pada “posisi yang sama”. Setiap kata dalam bahasa sumber
memiliki padanan yang berkorespondensi secara formal dengan kata yang sama pada bahasa
sasaran. Namun, yang lebih sering terjadi adalah adanya perubahan atau pergeseran dalam
penerjemahan karena tiak terdapatnya formal correspondence dalam kedua bahasa yang terlibat.
Perubahan atau pergeseran inilah yang sering disebut translation shift.
1. Pergeseran Bentuk
3) Menurut Catford (1965:73-80), pergeseran bentuk dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni
level shifts (pergeseran tataran) dan category shifts (pergeseran kategori).
a) Level Shifts (pergeseran tataran)
4) Level shift atau pergeseran tataran yang dimaksud di sini adalah suatu struktur yang
berada dalam satu tataran dalam Bsu padanannya memiliki tataran yang berbeda dalam
Bsa. Pergeseran tataran dapat terjadi dari bentuk gramatikal ke leksikal atau sebaliknya.
36
Kita dapat memahami bahwa Catford memandang bahasa dalam dua tingkatan yaitu
leksikon dan tata bahasa, seperti pada contoh berikut ini:
5) BSu: John swims on Saturday
6) BSa: John berenang pada hari Sabtu
7) Kalimat BSa adalah kalimat Simple Present yang ditandai dengan ‘s’ pada verba
swims namun pemarkah ‘s’ ini tidak dijelaskan dalam leksem ‘berenang’.
8) Selanjutnya Halliday dan Matthiessen (2004) dalam bukunya tentang
Functional Grammar menyatakan bahwa bahasa memiliki banyak dimensi atau bentuk
urutan. Di antaranya terdapat dimensi struktur dengan pola urutan yang terdiri atas klausa,
frasa, kata dan morfem. Dimensi yang juga ditemukan dalam teori yang disampaikan
Halliday dan Matthiessen adalah dimensi metafungsi dengan pola pengurutannya yang
terdiri atas metafungsi ideasional, metafungsi interpersonal dan metafungsi tekstual.
Terdapat hubungan antara Functional Grammar yang disampaikan oleh Halliday dan
Matthiessen (2004) dengan teori pergeseran yang disampaikan oleh Catford (1965), level
shift dapat terjadi dalam bentuk pergeseran dari tingkatan grammar ke leksis atau
sebaliknya di mana suatu tatanan gramatikal dalam suatu bahasa (misalnya pada kala
perfektif dalam bahasa Inggris dengan pola have + Verba III) karena perbedaan tata bahasa
diterjemahkan ke dalam leksis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kata “sudah”
atau “telah” (Machali, 1998).
9)
b) Category shift (pergeseran kategori)
37
10) Selain pergeseran pada tataran, pergeseran pada kategori juga dapat terjadi pada
proses penerjemahan. Catford lebih jauh menguraikan empat jenis pergeseran bentuk
sebagai bagian dari Category shift yaitu:
1) Structure shift (pergeseran struktur) adalah pergeseran pada tataran struktur dalam frasa
atau klausa pada proses penerjemahan. Pergeseran struktur, misalnya dari frasa
berstruktur DM (Diterangkan-Menerangkan) menjadi frasa berstruktur MD
(Menerangkan-Diterangkan). Contoh: Bsu: she stayed in a five-star hotel, Bsa; Dia
menginap di hotel bintang lima.
2) Class Shifts (pergeseran kelas) terjadi ketika jenis kata tertentu pada bahasa sumber
bergeser menjadi jenis kata lainnya pada bahasa sasaran. Pergeseran kelas kata dapat
terjadi misalnya dari nomina menjadi verba atau adjektiva, dan sebaliknya.
3) Unit Shifts (pergeseran unit) adalah pergeseran yang terjadi di mana hasil terjemahan
ekivalen pada bahasa sasaran berbeda tingkatan dengan bahasa sumber. Misalnya pada
kata playfully diterjemahkan menjadi “cekikikan geli” dalam kalimat the two young
lovers are playfully.
4) Intra-system shifts (pergeseran intra-sistem) adalah pergeseran yang terjadi ketika
bahasa sumber dan bahasa sasaran berada dalam satu sistem yang hampir sama namun
hasil terjemahan tidak menunjukkan kaitan yang terlihat dalam terms pada bahasa
sasaran. Misalnya artikel ‘a’ bahasa inggris yang berarti ‘sebuah’ dalam bahasa
Indonesia. Dalam kalimat he has a broken leg, tidak diterjemahkan menjadi ‘dia
memiliki sebuah kaki yang patah’ namun diterjemahkan menjadi ‘Dia mengalami patah
kaki’.
38
2.3.4 Skewing
Larson (1998) menyatakan bahwa Skewing (penyimpangan) digunakan untuk
menjelaskan situasi minimnya kolerasi antara bentuk gramatikal dan makna yang terkandung
dalam suatu bentuk tertentu. Suatu bentuk gramatikal tunggal dapat memiliki lebih dari satu makna
ataupun fungsi. Salah satunya adalah fungsi utama. Sisanya mengalami penyimpangan dari fungsi
utamanya; sehingga ada suatu ketidaksepadanan antara bentuk gramatikal dan makna yang
dikandung.
Menurut Larson (1998), struktur gramatikal yang dimaksud di sini mengacu pada bentuk
luar dari suatu bahasa, yaitu bentuk yang sebenarnya dari kata, frasa, klausa dan lain sebagainya,
yang dapat ditulis dan diucapkan. Struktur makna, di sisi lain, digunakan untuk mengacu pada
struktur dasar atau struktur dalam. Makna yang disampaikan melalui struktur gramatikal yang
digunakan. Bentuk gramatikal sering memiliki makna atau fungsi sekunder. Skewing terjadi ketika
bentuk gramatikal menggunakan makna atau fungsi sekundernya. Penerjemah ditantang dengan
penyesuaian yang dibutuhkan ketika skewing / penyimpangan itu terjadi.
1) Skewing/Penyimpangan dalam Bentuk Gramatikal
Menurut Larson (1984:9-10) fakta yang banyak diketahui bahwa bentuk leksikal memiliki
makna sekunder. Suatu kata dapat memiliki berbagai pengertian, beberapa bahkan memiliki
lusinan makna berdasarkan konteks penggunaan dari kata tersebut. Sebagai contoh, dalam bahasa
Inggris, pengguna bahasa Inggris tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami makna dari
kata running pada setiap kalimat, seperti ‘the dog is running’, ‘the motor is running’, dan ‘His
nose is running’. Dalam kalimat ‘the dog is running’ kata running memiliki makna primer dari
kata running tersebut, sedangkan pada kalimat yang lain kata running digunakan dengan
menggunakan makna sekundernya. Terjadi skewing antara bentuk leksikal dan makna.
39
Bentuk gramatikal juga memiliki fungsi sekunder. Bentuk gramatikal tidak selalu
digunakan berdasarkan makna primer yang dimilikinya. Contohnya, pertanyaan dalam bahasa
Inggris ‘when are you going to clean your room?’ secara gramatikal merupakan kalimat tanya.
Jika pembicara memang menanyakan informasi kapan kegiatan cleaning the room akan dilakukan,
skewing tidak terjadi di dalam kalimat tersebut. Namun, jika yang berbicara adalah seorang ibu
yang marah kepada anaknya karena tidak melakukan kewajibannya membersihkan rumah, makna
dari kalimat tersebut bukanlah menanyakan informasi melainkan sebuah perintah dengan
kemarahan. Bentuk kalimat tanya digunakan, tetapi dengan kandungan perintah. Hal ini
merupakan contoh dari skewing bentuk gramatikal.
Skewing jenis ini dapat terjadi dalam semua level struktur gramatikal dari suatu bahasa,
mulai dari imbuhan tunggal, kata, frasa, klausa, paragraf, dan teks. Skewing merupakan suatu
karakteristik yang dimiliki bahasa yang memiliki implikasi penting bagi penerjemah karena
skewing yang ditemukan di dalam suatu bahasa mungkin saja tidak cocok dengan skewing yang
terjadi di dalam bahasa lain.
Penerjemahan adalah suatu proses menggantikan bentuk teks dalam bahasa sumber ke
bentuk lain pada bahasa sasaran. Skewing terjadi ketika bentuk gramatikal memiliki makna yang
berbeda dengan makna primer bentuk gramatikal tersebut. Ketika skewing tidak terjadi, bentuk
gramatikal dari bahasa sumber dapat diterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa sasaran.
Biasanya tidak sulit bagi penerjemah untuk menerjemahkan makna primer yang terkandung dalam
suatu bentuk leksikal maupun struktur gramatikal. (Wilss 1982; Larson, 1984:3-6)
2) Skewing / Penyimpangan dalam Berbagai Level Gramatikal
Untuk dapat memberikan ilustrasi bagaimana skewing/penyimpangan gramatikal
memengaruhi proses penerjemahan, pembahasan dapat dimulai dari membandingkan hierarki
40
gramatikal dengan hierarki semantik. Secara hierarki gramatikal, unit-unit gramatikal
dikelompokkan dari unit yang terkecil hingga unit yang terbesar; kelompok kata dapat membentuk
frasa, kumpulan frasa dapat membentuk klausa, klausa dapat membentuk kalimat, kalimat
membentuk paragraf, paragraf membentuk bagian-bagian dari teks, sampai akhirnya teks yang
utuh dapat terbentuk (Larson, 1984:30-31).
2.3.1 Tingkat Morfem dan Kata
Bentuk terkecil dari unit gramatikal adalah morfem (bentuk dasar atau imbuhan). Suatu
morfem terkadang dapat menunjukkan sebuah komponen makna tunggal seperti yang dapat
ditemukan dalam sufiks jamak bahasa Inggris –s atau dalam kata eat. Bahasa yang berbeda
memiliki kelompok komponen makna yang berbeda. Seringkali seorang penerjemah harus
menggunakan beberapa kata untuk menyampaikan makna dari sebuah kata pada bahasa sumber.
Semua bahasa memiliki kelas-kelas nomina dan pronomina. Jika tidak terjadi penyimpangan,
nomina dan kata ganti tersebut digunakan untuk mengacu pada benda (baik itu benda hidup
maupun benda mati); verba digunakan untuk mengacu pada kegiatan ataupun aktivitas; kata sifat
dan kata keterangan digunakan untuk menghubungkan benda dengan aktivitas yang berkaitan.
(Nida 1964:57-69; Larson 1984:55-62).
2.3.2 Tingkat Frasa
Dalam suatu bahasa terdapat berbagai bentuk frasa, seperti frasa nomina, frasa preposisi,
dan lain sebagainya. Penyimpangan/ skewing merupakan karakteristik dari berbagai bentuk frasa
gramatikal karena suatu bentuk gramatikal dapat menyampaikan pesan melebihi makna
sebenarnya dari suatu frasa. Skewing sering ditemukan pada frasa nomina, bentuk umum dari frasa
nomina adalah modifier dan nomina. Ketika modifier dari nomina tersebut adalah adjektiva,
penyimpangan tidak terjadi dalam frasa tersebut karena fungsi dari kata sifat adalah menjelaskan
41
kondisi dari suatu benda, seperti pada frasa a red barn. Namun penyimpangan dapat terjadi jika
nomina digunakan untuk menjelaskan suatu adjektiva seperti pada frasa barn red. (Nida 1964:64-
65; Larson, 1984:228-31)
2.3.3 Tingkat Klausa
Klausa dapat ditemukan pada semua bahasa sebagai unit dasar dari struktur semantik dan
mengandung konsep yang berkaitan satu sama lain. Jika tidak terjadi penyimpangan, suatu klausa
biasanya berfungsi untuk menyampaikan suatu hal. Sebagai contoh, dalam suatu hal mengandung
konsep bahwa ‘Mary’ adalah agen/pelaku , konsep utama ‘ate’ sebagai peristiwa, dan konsep
‘chocolate’ sebagai benda yang dipengaruhi dalam klausa Mary ate the chocolates, menunjukkan
bahwa tidak terjadi penyimpangan dalam klausa ini. Hal yang ingin disampaikan sesuai dengan
struktur klausa yang digunakan.
Gagasan yang disampaikan dalam suatu klausa dapat bersifat afirmatif maupun negatif.
Kesalahpahaman dapat terjadi jika dalam proses penerjemahan penanda negatif diletakkan di
dalam suatu klausa dalam bentuk yang sama dengan apa yang terdapat dalam bahasa sumber.
Sebagai contoh ‘he did not buy the car in order to go to work, but so his wife would have a car to
use’, jika diterjemahkan secara harafiah ke dalam bahasa lain dapat berarti ‘dia tidak membeli
sebuah mobil, tetapi dia membelinya’. Untuk mengatasi hal ini bentuk yang berbeda harus
digunakan, seperti ‘ketika dia membeli sebuah mobil dia melakukannya agar istrinya memiliki
mobil yang dapat digunakan, bukan untuk digunakannya pergi ke kantor’. (Larson, 1984: 199-
208).
2.3.4 Tingkat Kalimat
Setiap bentuk kalimat memiliki fungsi primernya masing-masing, seperti kalimat tanya
berfungsi untuk bertanya untuk mendapatkan informasi. Misalnya kita menanyakan “dimana
42
rumahmu?” atau “jam berapa kamu pulang ke rumah?” bentuk pertanyaan ini digunakan untuk
meminta informasi, jadi tidak ada penyimpangan. Pertanyaan sejati biasanya tidak menimbulkan
masalah bagi penerjemah, karena penerjemah dapat menemukan bentuk yang sesuai untuk
mendapatkan informasi yang sama dalam bahasa sasaran. Dalam situasi pengajaran, pertanyaan
sejati juga digunakan untuk mengetahui apakah pelajar mengingat informasi yang telah diajarkan
kepada mereka.
Sebaliknya, pertanyaan retoris bukanlah pertanyaan sejati. Pertanyaan retoris merupakan
bentuk pertanyaan yang tidak digunakan untuk mendapatkan informasi. Bentuk ini memang
kelihatannya seperti pertanyaan sejati, karena bentuknya sama, tetapi maknanya bukanlah makna
dari sebuah pertanyaan. Misalnya, pertanyaan Mary, kenapa tidak kamu cuci piring itu?
Mempunyai bentuk pertanyaan, dan mungkin dalam beberapa konteks meminta informasi; artinya,
mungkin pertanyaan itu digunakan dalam fungsi primernya. Akan tetapi, pertanyaan ini sering
digunakan untuk membuat usul atau saran secara halus. Bentuk ini tidak sekeras bentuk perintah,
Mary, cuci piring itu, tetapi juga merupakan pertanyaan. Kalimat itu merupakan saran. Jawaban
yang pantas bagi pertanyaan di atas ialah Baik atau Ya, jika kalimat itu merupakan pertanyaan
sejati dengan kenapa untuk meminta informasi, jawabannya yaitu berupa alasan, misalnya Saya
lelah sekali.
Suatu terjemahan berkualitas adalah terjemahan yang menyampaikan makna dari bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran secara wajar. Seorang penerjemah yang menerjemahkan bentuk
gramatikal dari bahasa sumber ke bahasa sasaran secara harafiah tidak akan mampu menghasilkan
karya terjemahan yang akurat menyampaikan makna yang sebenarnya ingin disampaikan dalam
bahasa sumber. Untuk dapat mencapai hal ini seorang penerjemah harus melakukan penyesuaian
bentuk-bentuk gramatikal dan semantis dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran.
43
Identifikasi penyimpangan bentuk semantik dan gramatikal merupakan bagian dari
menciptakan suatu terjemahan yang berkualitas. Gaya bahasa dan pragmatik juga harus
dipertimbangkan. Jika penerjemah menyadari penyimpangan yang terjadi dalam bahasa sumber,
menemukan makna sebenarnya yang terkandung dalam suatu bentuk gramatikal, memberikan
uraian baru secara semantis, dan memperhatikan bagaimana makna tersebut dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa sasaran, kualitas hasil terjemahan dapat ditingkatkan (Larson, 1984:69).
2.3.5 Tipe kalimat bermarkah
11) Menurut teori struktur informasi yang dikemukakan oleh Huddleston dan Pullum
(2008) di atas, tipe kalimat deklaratif positif yang bermarkah dalam bahasa Inggris dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
1) Kalimat pasif
Kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya mengalami suatu perbuatan atau aktivitas.
Kalimat pasif merupakan hasil transformasi dari bentuk kalimat aktif. Kalimat aktif yang
dapat ditransformasi menjadi kalimat pasif adalah kalimat aktif yang mengandung verba
transitif dan dapat dipasifkan. Kalimat pasif merupakan kalimat yang memiliki sistem
voice yang menunjukkan keterkaitan antara struktur sintaksis dan struktur semantik.
2) Kalimat ekstraposisi merupakan jenis kalimat nonkanonik yang memindahkan
konstituennya ke posisi akhir kalimat. Kalimat ekstraposisi ini dimarkahi oleh adanya
dummy it. It dalam kalimat ini mengacu pada suatu klausa.
3) Kalimat eksistensial
Kalimat eksistensial merupakan kalimat yang mengandung informasi keberadaaan suatu
entitas dengan menggunakan kata there yang menduduki posisi subjek. Secara sintaksis
There dalam konteks ini memiliki fungsi sebagai subjek semu. Kalimat eksistensial berpola
44
there + be + FN. Berdasarkan strukturnya kalimat eksistensial dapat dibagi menjadi dua
yaitu bare existential dan extended existential.
4) Kalimat it-cleft
Kalimat it-cleft merupakan struktur kalimat yang berkaitan erat dengan struktur informasi
karena kalimat ini dapat digunakan untuk menyampaikan informasi yang menjadi fokus
pada masing-masing kalimat. Kalimat ini hampir sama dengan kalimat ekstraposisi, yakni
dimarkahi oleh dummy it. Kalimat ini memiliki pola It + kopula be + konstituen cleft +
klausa cleft.
5) Kalimat pseudo cleft
Kalimat pseudo-cleft merupakan struktur kalimat yang juga berfungsi untuk memfokuskan
informasi seperti halnya kalimat it-cleft. Pseudo-cleft memberikan pemisahan eksplisit
antara informasi baru dan informasi lama yang ditemukan dalam kalimat. Elemen kalimat
yang menjadi fokus dapat ditemukan di bagian akhir kalimat. Kalimat ini dimarkahi oleh
perluasan klausa yang disebabkan oleh penambahan kata what ‘apa’ sehingga kalimat di
atas menjadi dua klausa.
6) Kalimat dislokasi
Kalimat dislokasi merupakan kalimat yang dibentuk melalui proses pendislokasian.
Dislokasi adalah pemindahan konstituen ke posisi awal atau akhir klausa atau kalimat.
Pemindahan dalam proses dislokasi ini meninggalkan jejak pronominal pada posisinya
semula. Kalimat dislokasi dimarkahi oleh adanya frasa nomina yang terletak di kiri atau
kanan dari sebuah klausa atau kalimat. Kalimat bermarkah lainnya adalah Kalimat
preposing, postposing, dan inversi Kalimat preposing dimarkahi oleh pergeseran frasa ke
depan dari subjek. Kalimat postposing dimarkahi oleh pergeseran unsur setelah subjek
45
kalimat. Kalimat inversi dimarkahi oleh pergeseran antarfrasa di dalam kalimat.
Kalimat reduksi Kalimat ini dimarkahi oleh pelesapan unsur di dalam kalimat. Unsur yang
lesap itu merupakan informasi lama.
2.3.6 Kajian Tematisasi
Halliday mencetuskan istilah struktur informasi. Secara umum struktur informasi
mendeskripsikan suatu kalimat yang bergantung pada jumlah konstituen dalam sintaksis dan juga
berhubungan dengan penekanan informasi pada frasa di dalam sebuah kalimat. Selain
menggunakan penekanan pada informasi yang dipentingkan, konsep ini juga menempatkan unsur
kalimat yang menjadi fokus pada awal kalimat. dengan mengacu pada model struktural selain
subjek, predikat atau objek atau bahkan keterangan dapat diletakkan pada posisi awal kalimat.
Halliday tidak menggunakan konsep subjek dan predikat dalam menyusun struktur informasi,
tetapi menggunakan konsep organisasi tematik. Struktur informasi dalam sebuah kalimat atau
klausa dibedakan atas bagian yang menjadi fokus informasi dan sisanya merupakan bagian yang
melengkapi unsur kalimat tersebut. Walaupun tidak menggunakan konsep subjek dan predikat,
penempatan informasi yang berbeda dapat dilakukan dengan menempatkan susunan yang berbeda
dalam sebuah kalimat guna memberikan penekanan fokus pada informasi tertentu. Dalam proses
penyusunannya bagian yang lebih informatif selalu mengikuti bagian yang kurang informatif, yang
ditunjukkan dengan pembagian struktur berupa tema dan rema.
Untuk mengulas pengemasan informasi suatu struktur bahasa diterapkan teori Systemic
Functional Grammar dari Halliday, khususnya untuk melihat fenomena kebahasaan teks ekonomi
berupa kalimat bermarkah yang ditemukan dalam data tersebut. Menurut Halliday (1985, 2014),
Tata bahasa Fungsional adalah tata bahasa yang melihat suatu bahasa sebagai sumber yang
memberikan makna dan mendeskripsikan bahasa dalam penggunaan yang nyata dan lebih berfokus
46
pada teks dan konteks. Fokus kajian tata bahasa ini adalah struktur bahasa termasuk cara struktur
tersebut menyusun dan merealisasikan makna. Kajian tematisasi muncul dari adanya pemahaman
bahwa bahasa berfungsi untuk menyampaikan pesan. Pesan ini disampaikan menggunakan suatu
sistem yang menunjukkan bahwa bahasa memiliki aturan agar dapat menyampaikan pesan dengan
susunan yang baik dan teratur.
Penerjemahan dalam kaitannya dengan Tema dan Rema merupakan sumber untuk
menentukan adanya keterkaitan antara pemikiran, ide maupun makna. Tema merupakan subjek
wacana yang biasanya dirujuk atau ide yang ditekankan pada sebuah pesan dan selalu ditempatkan
pada awal klausa oleh sang penutur atau penulis. Terkait dengan hal ini Brown (1983)
menyampaikan bahwa tema merupakan komponen yang terletak pada posisi paling kiri pada suatu
kalimat. Sejalan dengan hal itu, Halliday (1985) juga menyampaikan bahwa tema adalah salah satu
unsur di dalam konfigurasi struktural tertentu yang secara keseluruhan mengorganisir klausa
sebagai pesan yang dikenal sebagai konfigurasi tema + rema. Tema juga merupakan elemen yang
berfungsi sebagai titik tolak pesan tersebut. Dengan menggunakan tema, klausa dapat saling
berkaitan. Sedangkan rema merupakan unsur yang baru, yakni predikat yang memberikan
informasi tentang tema. Rema merupakan bagian yang tersisa dari klausa, bagian di mana tema
dikembangkan. Rema mengandung informasi yang dibicarakan si pembicara atau hal yang
berhubungan dengan titik awal pernyataan tersebut. Pembahasan mengenai konstruksi tema-rema
tidak lepas dari tindakan topikalisasi, yaitu pementingan topik dengan penekanan atau pemusatan.
Hal ini dapat ditemukan dalam bahasa Indonesia yang merupakan pemadanan masing-masing
kalimat bermarkah. Mengacu pada Samsuri (1985) kajian transformasi fokus yang mencakup hasil
kajian topikalisasi, sebuah konstituen dijadikan fokus dengan mempergunakan empat piranti, yaitu
(a) intonasi, (b) pemindahan, (c) penggunaan penanda fokus dan (e) penggunaan posesif-nya.
47
Tema mengandung informasi yang lebih penting daripada rema. Oleh karena itu, tema berada di
sebelah kiri rema. Tema dicirikan sebagai konstituen yang berada pada posisi paling kiri dari
kalimat, sedangkan rema merupakan konstituen di sebelah kanan rema yang merupakan konstituen
yang bersifat klausal, yaitu konstituen yang berupa klausa.
Dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, tema ditandai dengan struktur gramatikal yang
diletakkan di posisi awal klausa/kalimat atau unsur paling depan dari klausa. Tema dinyatakan
dengan unsur pertama klausa sedangkan unsur sesudah tema disebut dengan rema (Saragih 2007).
Kedudukan tema dan rema dapat dijabarkan dalam tabel berikut ini:
TEMA REMA
Titik awal atau titik tolak informasi
suatu klausa, membawa pesan, sesuai
dengan konteks dalam klausa sebagai
satu kesatuan wacana.
Struktur non-tema, hadir setelah tema
sebagai tempat suatu pesan dibangun.
Posisi di awal klausa Hadir setelah tema
Tema menurut Halliday (1985) merupakan unsur yang menjadi titik awal pesan dalam
suatu klausa. Dengan kata lain, tema adalah unsur awal klausa yang hadir pada awal klausa. Tema
menyediakan konteks lokal untuk pengembangan pesan dalam klausa. Tema dalam bahasa Inggris
selalu berada di awal klausa yang diikuti oleh rema. Semua kalimat memiliki tema dan rema. Tema
kalimat mengandung informasi lama/ informasi yang telah diketahui berdasarkan konteks kalimat
dalam suatu teks, sedangkan rema mengandung informasi baru yang mendorong pengembangan
informasi dalam suatu teks. Tema terdiri atas tiga tipe yang berbeda, yaitu tema tekstual, tema
interpersonal dan tema topikal.
48
Halliday memperkenalkan teori linguistik fungsional sistemik dan menulisnya dalam An
Introduction to Functional Grammar (1985) yang merupakan teori penggunaan bahasa yang
menitikberatkan analisis bahasa pada penyampaian informasi, baik dalam bentuk lisan maupun
tulisan. Berdasarkan teori diketahui bahwa teori ini merupakan sistem yang menafsirkan semua
unit bahasa, yang dapat berupa klausa, frasa maupun unit bahasa lainnya. Teori ini menyebut tiga
fungsi utama yakni sebagai metafungsi ideasional, interpersonal dan tekstual. Halliday
menyatakan bahwa teori ini melihat suatu bahasa sebagai sumber yang memberikan makna dan
mendeskripsikan bahasa dalam penggunaan yang nyata dan lebih berfokus pada teks dan konteks.
Fokus kajian tata bahasa ini adalah struktur bahasa termasuk cara suatu struktur menyusun dan
merealisasikan makna. Untuk mencari makna di balik struktur bahasa, Halliday merealisasikannya
melalui tiga sistem metafungsi, yaitu metafungsi ideasional, interpersonal dan tekstual. Ketiga
sistem metafungsi bahasa tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a. Metafungsi ideasional
Metafungsi ideasional berkaitan dengan bagaimana bahasa digunakan untuk
merepresentasikan pengalaman atau untuk mengorganisasikan, memahami dan
mengekspresikan persepsi tentang dunia dan kesadaran kita. Fungsi ideasional ini bersumber
dari pemahaman atas pengalaman. Fungsi ini dapat diungkap dengan pertanyaan: apa yang
telah terjadi, termasuk apa yang dilakukan seseorang dan terhadap siapa, di mana, kapan,
mengapa dan bagaimana hubungan logikal terjadi antara yang satu dengan yang lain. Fungsi
ideasional ini dapat dilihat dari fungsi eksperensial dan fungsi logika. Fungsi eksperiensial
adalah fungsi bahasa yang digunakan untuk menggambarkan pengalaman manusia. Realita
yang terjadi di alam semesta dan sosial dialami oleh manusia secara individu, sedangkan
fungsi logika menghubungkan satu unit pengalaman dengan unit yang lain. Identifikasi dan
49
analisis proses dan partisipan diklasifikasi menjadi beberapa bagian. Proses dalam fungsi
eksperensial dipilah atas proses material, proses mental, proses relasional, proses tingkah
laku, proses verbal dan proses wujud. Sedangkan partisipan dipilah atas partisipan I dan
partisipan II. Klasifikasi tersebut tertera pada tabel berikut ini.
Tabel 2. 1 Klasifikasi Fungsi Ideasional Menurut Jenis Proses dan Jenis Partisipan
No Jenis Proses Jenis Partisipan
Partisipan I Partisipan II
1 Material Pelaku Gol
2 Mental Pengindra Fenomenon
3 Relasional 1) Indentifikasi
Bentuk
2) Atribut:
Penyandang
3) Kepemilikan:
Pemilik
Nilai
Atribut
Milik
4 Tingkah Laku Petingkah laku -
5 Verbal Pembicara Perkataan
6 Wujud Maujud -
Sumber: M.A.K. Halliday dan Christian M.I.M. Matthiessen, Construing Experience Through
Meaning: A Language-based Approach to Cognition, (London-New York: Continuum, 2006),
p.102
Selain proses dan partisipan, fungsi ideasional juga memiliki satu jenis lagi yaitu
sirkumstan. Pengidentifikasian sirkumstan dalam klausa didasarkan pada jenis sirkumstan yang
50
dipilah lagi atas subkategorinya. Tabel berikut ini memperlihatkan jenis, subkategori dan cara
mengidentifikasi sirkumstan dalam klausa.
Tabel 2. 2 Klasifikasi Fungsi Ideasional Menurut Jenis, Subkategori dan Cara
mengidentifikasi Sirkumstan
No Jenis Sirkumstan Subkategori Cara
Mengidentifikasi
1 Rentang Waktu
Tempat
Berapa lamanya?
Berapa jauhnya?
2 Lokasi Waktu
Tempat
Kapan?
Dimana?
3 Cara - Bagaimana?
4 Sebab - Mengapa?
5 Lingkungan - Dalam situasi apa?
6 Penyerta - Dengan siapa?
7 Peran - Sebagai apa?
8 Masalah - Tentang apa?
9 12) Pandangan - Menurut siapa?
Sumber: M.A.K. Halliday dan Chritian M.I.M. Mathiessen, Construing
Experience Through Meaning: A Language-based Approach to Cognition,
(London-New York: Continuum, 2006), h.102
b. Metafungsi interpersonal
Metafungsi interpersonal memaparkan pengalaman. Fungsi antarpersona adalah
fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi ini
51
merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik.
Dengan kemampuan berinteraksi sosial, maka manusia dapat memenuhi kebutuhannya.
Dalam melakukan suatu aksi maka dari segi semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar
yang disebut dengan protoaksi, yaitu pernyataan (memberi informasi), pertanyaan (meminta
informasi), tawaran (memberi barang dan jasa), dan perintah (meminta barang dan jasa).
Di dalam analisis Linguistik Fungsional Sistemik, fungsi antarpersona ditandai oleh
identifikasi moda (subjek dan finit) serta residu (predikator dan adjung). Hal ini didasarkan
pada pendapat Halliday (1994) dan Sinar (2008) yang menyatakan bahwa unsur moda dalam
bahasa Inggris terdiri atas subjek dan finit sedangkan unsur residu terdiri atas predikator,
komplemen serta adjung.
c. Metafungsi tekstual
Metafungsi tekstual berkaitan dengan bagaimana bahasa beroperasi untuk
menciptakan wacana yang utuh, berkesinambungan, kohesif, dan koheren. Klausa yang
ditemukan pada semua bahasa memiliki karakter sebagai pesan; klausa tersebut memiliki
beberapa bentuk susunan yang memberi status sebagai communicative event. Pada beberapa
bahasa, seperti bahasa Inggris, klausa disusun sebagai pesan dengan memberikan status
khusus pada satu bagian dari klausa tersebut. Satu bagian tersebut disebut theme (tema) yang
kemudian dikombinasikan dengan bagian sisanya, yang disebut rheme (rema) sehingga kedua
bagian tersebut membentuk sebuah pesan. Tema adalah bagian klausa yang merupakan titik
tolak suatu pesan, sedangkan rema adalah tempat pesan itu dibangun. Sebagai sebuah struktur
pesan, sebuah klausa terdiri atas sebuah tema diikuti dengan rema. Struktur tema-rema
digambarkan dengan tema yang diletakkan pada posisi awal klausa dan bagian kalimat yang
mengikuti di belakangnya disebut dengan rema. Sebagai titik awal pesan, tema direalisasikan
52
berdasarkan posisi dan penanda. Dengan kata lain tema dapat dilokalisasi berdasarkan dua
kriteria, yaitu (1) urutan dan (2) pemarkah di dalam klausa. Sejumlah bahasa mementukan
tema berdasarkan urutan dan yang lainnya berdasarkan pemarkah.
Kajian tentang tema-rema mendapat perhatian dari ahli penerjemahan seperti Bell (1991),
Baker (1988) dan Halliday (1994). Kalimat terdiri atas tema yang menyajikan informasi yang telah
diketahui, dan informasi tersebut bergantung pada konteks kalimat, sedangkan rema memyajikan
informasi baru yang merupakan informasi yang bersifat konteks-independen. Rema sebagai
pembawa informasi baru mendorong pengembangan teks. Tematisasi merupakan proses
pengalihan elemen kalimat ke posisi awal diikuti dengan perubahan struktur gramatikal suatu
kalimat, yang disebabkan oleh perpindahan elemen kalimat. Struktur pasif merupakan contoh dari
perpindahan ini, tidak hanya objek langsung yang dapat dipindahkan ke depan dan menduduki
posisi subjek, tetapi juga objek tak langsung. Halliday juga menyebutkan verba dapat berfungsi
sebagai tema melalui proses pengedepanan dan nominalisasi. Sejalan dengan hal di atas, Bell
(1991) menyampaikan bahwa tema yang bermarkah dalam bahasa Inggris dibentuk melalui
perubahan posisi elemen kalimat menjadi predikat, preposing, clefting maupun pengedepanan
unsur yang akan dijadikan tema dan kombinasi dari opsi-opsi tersebut.
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kualitatif yang menjelaskan dan menguraikan
data dalam bentuk kata-kata, baik dalam bentuk frasa maupun kalimat secara utuh. Data dari
penelitian ini berasal dari buku The Intelligent Investor (2006). Dalam penelitian ini peneliti akan
mengamati kalimat-kalimat bermarkah dalam bahasa Inggris dan bentuk terjemahannya ke dalam
bahasa Indonesia serta struktur informasi masing-masing kalimat bermarkah Bsu dan hasil
terjemahannya dalam Bsa.
53
Di dalam model penelitian ini akan dideskripsikan fokus penelitian yaitu penerjemahan
kalimat bermarkah bahasa Inggris yang terdiri atas kalimat pasif, kalimat eksistensial, kalimat it-
cleft serta kalimat pseudo-cleft. Metode analisis penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif dengan pendekatan deskriptif yakni mendeskripsikan hasil analisis korpus pararel yang
ditemukan berupa kalimat bermarkah Bsu dan terjemahannya. Korpus pararel ini dikumpulkan
dengan metode pengumpulan simak dan catat. Korpus data yang telah ditemukan kemudian
diidentifikasi, diklasifikasi, dan diverifikasi. Setelah semua proses tersebut dilewati data kemudian
dianalisis dengan menggunakan teori terjemahan berupa teori pergeseran penerjemahan, dan
skewing, sambil memperhatikan kemasan gramatikal masing-masing kalimat dan terjemahannya
pada bahasa sasaran serta struktur tematisasi yang terkandung pada masing-masing kalimat
tersebut. Setelah semua proses dilaksanakan diharapkan hasil analisis dapat memberikan temuan
penelitian.
54
Bagan 2. 1 Model Penelitian