Post on 23-Mar-2019
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sumber Pustaka
1. Rujukan
Buaya merupakan binatang yang hidup di air. Keberadaan buaya sudah
tidak asing lagi oleh manusia, bahkan sudah banyak tempat penangkaran buaya.
Buaya juga banyak menghuni kebun binatang diberbagai wilayah. Sejauh ini
banyak pihak yang telah melakukan berbagai cara untuk memperkenalkan buaya
kepada masyarakat umum. Melalui karya seni, diharapkan pesan dari seniman
dapat tersampaikan kepada masyarakat luas yaitu untuk lebih mengenal keunikan
bentuk fisik buaya. Oleh karena itu, dalam proses implementasi tersebut
memerlukan peninjauan terkait visualisasi bentuk buaya dalam karya seni yang
pernah tercipta sebelumnya.
Gambar 2.1 “ Go To Hell Crocodile ”
Sumber : http://www.brikolase.com/2016/02/23/buaya-dan-keegoisan-manusia-dalam-seni-lukis/
Salah satu karya terdahulu yang memvisualisasikan bentuk buaya dibuat
oleh Djoko Pekik dalam karya berjudul Go To Hell Crocodile melalui media cat
minyak di atas kanvas. Pada karya Djoko pekik, buaya digunakan sebagai
5
metafora yang mengancam manusia dan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat
melalui perwujudan buaya yang digambarkan seutuhnya. Bentuk buaya yang
digambarkan bermata garang, mulut berapi yang menyerang manusia yang
melawannya, dan ekor panjang bersisik yang berusaha menyentuh ujung lukisan.
Buaya dipilih sebagai metafora untuk mewakili ketamakan manusia dalam
menguasai alam dan seisinya.
Gambar 2.2 “ ABG ( Ayam Baru Gede ) ”
Sumber : http://www.brikolase.com/2016/02/23/buaya-dan-keegoisan-manusia-dalam-seni-lukis/
Konsep serupa mengenai visualisasi buaya ke dalam karya seni juga
diciptakan oleh Yuga Hermawan. Ia menciptakan karya berjudul ABG (Ayam
Baru Gede) dengan media cat minyak di atas kanvas. Penggunaan buaya sebagai
metafora juga dilakukan oleh Yuga Hermawan. Bentuk buaya yang dihadirkan
merupakan perwakilan dari peran laki-laki buaya darat atau laki-laki hidung
belang. Laki-laki hidung belang tidak ditampilkan dengan wujud “manusia seperti
buaya”, namun sudah benar-benar berbentuk buaya dengan tatapan nakal, gejak
jari, dan mulut terbuka yang sedang menanti mangsa untuk masuk dalam
jebakannya. Laki-laki hidung belang dinilai berbahaya dan patut dijauhi.
Pemilihan warna hijau yang lembut dengan nuansa ungu yang polos semakin
memperjelas ajakan seniman untuk berhati-hati dengan “buaya darat”. Meskipun
sama-sama menggunakan buaya sebagai metafor, gestur buaya milik Yuga ini
6
terlihat berbeda dengan bentuk buaya milik Djoko Pekik yang ditampilkan garang,
kuat, dan berusaha menyerang.
Kedua rujukan karya tersebut masing-masing mengunakan cat minyak di
atas kanvas sebagai medianya. Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu
menampilkan bentuk buaya, masing-masing mempunyai cara sendiri dalam
memvisualisasikan tema tersebut. Sedangkan bila dibandingkan dengan karya di
atas konsep tugas akhir yang disajikan jelas berbeda. Sumber rujukan
memvisualisasikan bentuk buaya dengan bentuk yang realis dan dengan media cat
minyak di atas kanvas. Sementara itu, konsep tugas akhir ini memvisualisasikan
bentuk buaya sesuai dengan imajinasi penulis dalam suatu karya seni grafis.
Perwujudan konsep buaya sebagai tema dalam karya seni grafis ini
merupakan hal yang baru baik secara visual maupun tulisan sebagai konsep
pengantarnya. Selain itu hasil yang disajikan bersifat baru dan berbeda dari karya
sebelumnya. Dapat dikatakan baru dan berbeda dikarenakan perwujudan karya
merupakan ide asli dari penulis. Sementara itu, karya serupa hanyalah bersifat
sebagai sumber inspirasi. Sumber yang telah dipaparkan di atas hanya bersifat
rujukan dan sebagai pembanding.
2. Referensi
Karya seni rupa dua dimensi akan menjadi sebuah karya yang baik jika
memenuhi kajian teoritis seni rupa, yang beberapa diantaranya sebagai berikut:
a. Garis
Garis merupakan unsur dasar di dalam suatu komunikasi visual dan
juga fundamental sebagai media untuk berekspresi. Garis hadir sebagai
hasil dari buatan atau penemuan manusia sebagai abstraksi,
pengembangan, penyimpulan dan simbol dari suatu pernyataan fakta
visual dan dari suatu ide. Garis dimulai dari sebuah titik, merupakan jejak
yang ditimbulkan oleh sederetan titik-titik yang berhimpit. Garis berupa
goresan atau sapuan yang sempit dan panjang sehingga membentuk seperti
benang atau pita (Arfial Arsad Hakim, 1987: 42).
Fisik suatu garis mempunyai karakter tertentu, misalnya panjang
7
atau pendeknya garis, tebal atau tipisnya garis, dan lainnya. Garis
aktual/formal terdiri dari garis geometris dan garis ekspresif. Sedangkan
garis semu terjadi karena pengulangan unsur atau merupakan batas warna,
bidang dan lainnya. Garis-garis tersebut dapat diolah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan suatu “bentuk ciptaan” (Arfial Arsad Hakim, 1987:
53).
Gambar 2.3 “ Raut Garis ” Sumber : Sadjiman Ebdi Sanyoto, “Nirmana”. 2010: 90
Dalam bidang seni dan desain garis merupakan unsur yang
memiliki peranan paling besar dan terpenting. Garis memiliki peranan
ganda, yaitu sebagai goresan nyata yang dapat menghasilkan nilai
tersendiri, dan sebagai garis semu yang dapat membantu membentuk
keindahan suatu karya seni. Garis nyata dapat mempunyai kemampuan
untuk membentuk tekstur kasar yang bersifat semu maupun nyata,
memberikan sugesti dalam menggaris batas atau membuat kontur, serta
mempunyai kemampuan untuk membuat gelap terang (value) untuk arsir
gambar (Sadjiman Ebdi Sanyoto, 2010: 90-93).
8
b. Bidang
Bidang adalah sebuah area yang dibatasi oleh garis, baik oleh garis
formal maupun garis yang bersifat ilusif, ekspresif atau sugestif (Mikke
Susanto, 2011:55). Bidang merupakan unsur visual yang berdimensi
panjang dan lebar. Ditinjau dari bentuknya, bidang bisa dikelompokkan
menjadi dua, yaitu bidang geometri/beraturan dan bidang non-geometri
alias tidak beraturan.Bidang geometri adalah bidang yang relatif mudah
diukur keluasannya, sedangkan bidang non-geometri merupakan bidang
yang relatif sukar diukur keluasannya. Bidang bisa dihadirkan dengan
menyusun titik maupun garis dalam kepadatan tertentu, dan dapat pula
dihadirkan dengan mempertemukan potongan hasil goresan satu garis atau
lebih (Adi Kusrianto, 2009: 30).
Gambar 2.4 “ Macam-macam Raut Bidang ”
Sumber : Sadjiman Ebdi Sanyoto, “Nirmana”. 2010: 105
9
c. Warna
Dalam buku “Kritik Seni: Wacana, Apresiasi dan Kreasi”, Nooryan
Bahari menjelaskan bahwa warna adalah sebagai berikut:
….gelombang cahaya dengan frekuensi yang dapat memengaruhi
penglihatan kita. Warna memiliki tiga dimensi dasar yaitu hue, nilai
(value), dan intensitas (intensity). Hue adalah gelombang khusus dalam
spektrum dan warna tertentu. Misalnya spektrum warna merah disebut hue
merah. Nilai (value) adalah nuansa yang terdapat pada warna, seperti
nuansa cerah atau gelap, sedangkan intensitas adalah kemurnian dari hue
warna… (Nooryan Bahari, 2008:100).
Gambar 2.5 “ Lingkaran Warna ”
Sumber : Sadjiman Ebdi Sanyoto, “Nirmana”. 2010: 31
Pembahasan jenis-jenis warna mendasarkan pada teori tiga warna
primer, tiga warna sekunder, dan enam warna intermediate. Kedua belas
warna ini kemudian disusun dalam satu lingkaran. Lingkaran berisi 12
warna ini jika dibelah menjadi dua bagian akan memperlihatkan setengah
bagian yang tergolong daerah warna panas, dan setengah bagian daerah
warna dingin. Warna merah, jingga, dan kuning digolongkan sebagai
warna panas, kesannya panas dan efeknya pun panas. Warna panas
10
memberikan kesan semangat, kuat, dan aktif. Warna biru, ungu, dan hijau,
digolongkan sebagai warna dingin, kesannya dingin dan efeknya pun juga
dingin. Untuk menyusun warna dapat digunakan interval tangga warna.
Interval tangga warna adalah tingkatan atau gradasi warna yang digunakan
sebagai jembatan penghubung dua warna kontras. Melalui pedoman pada
interval tangga tersebut dapat dihasilkan susunan warna seperti susunan
warna-warna dengan satu interval tangga (satu warna), dua atau tiga
interval tangga berdekatan (warna-warna transisi), dan interval tangga
saling berjauhan (warna-warna beroposisi) yang disebut laras kontras.
Adapun jenis-jenis warna laras kontras seperti kontras komplementer (dua
warna), kontras split komplemen (kontras dua warna kmplemen bias),
kontras triad komplemen (kontras segitiga atau kontras tiga warna), serta
kontras tetrad komplemen (kontras dobel komplemen atau kontras empat
warna) (Sadjiman Ebdi Sanyoto, 2010: 32-37).
d. Tekstur
Tekstur adalah kesan halus dan kasar atau perbedaan tinggi
rendahnya permukaan dari suatu gambar. Tekstur juga merupakan rona
visual yang menegaskan karakter suatu benda yang dilukis atau digambar.
Terdapat dua macam jenis tekstur, yakni tekstur nyata dan tekstur semu.
Tekstur nyata yaitu nilai permukaannya nyata atau dapat dikatakan antara
apa yang tampak akan sama dengan nilai rabanya. Sebaliknya, kesan kasar
yang ditimbulkan dari tekstur semu adalah karena penguasaan teknik gelap
terang pada gambar, jika diraba maka rasa kasarnya tidak kelihatan, atau
justru sangat halus (Nooryan Bahari, 2008:101-102).
e. Kesatuan (Unity)
Kesatuan atau unity merupakan salah satu prinsip yang
menekankan pada keselarasan dari unsur-unsur yang disusun, baik dalam
wujudnya maupun kaitannya dengan ide yang melandasinya. Kesatuan
diperlukan dalam suatu karya grafis yang mungkin terdiri dari beberapa
elemen di dalamnya. Melalui kesatuan itulah elemen-elemen yang ada
11
saling mendukung sehingga diperleh fokus yang dituju (Adi Kusrianto,
2009: 35).
Ruang sela atau white space merupakan salah satu prinsip tata seni
rupa yang pada dasarnya untuk membantu memperoleh kesatuan (unity).
Prinsip ruang kosong adalah salah satu cara untuk mendukung kesatuan
dengan pendekatan kerapatan. Susunan bentuk-bentuk dikelompokkan
pada suatu titik untuk memberikan efek lega/longgar. Tentunya dalam
merapatkan objek-objek tersebut harus mempertimbangkan prinsip
keseimbangan juga (Sadjiman Ebdi Sanyoto, 2010:221).
f. Keseimbangan (Balance)
Keseimbangan merupakan suatu kondisi atau kesan berat, tekanan,
tegangan, sehingga memberikan kesan stabil. Beberapa faktor yang
mendukung keseimbangan antara lain adalah posisi atau penempatan,
proporsi, kualitas, dan arah dari unsur-unsur pendukungnya. Berdasarkan
faktor tersebut terdapat berbagai macam keseimbangan atau balance antara
lain balance simetris dan asimetris; horizontal balance, vertikal balance,
dan radial balance; serta formal balans dan informal balans (Arfial Arsad
Hakim, 1997:6-9).
Keseimbangan simetris yaitu keseimbangan antara ruang sebelah
kiri dan ruang sebelah kanan sama persis, baik dalam bentuk, rautnya,
besaran ukurannya, arahnya, warnanya, maupun teksturnya. Dapat
dikatakan komposisi dengan keseimbangan simetris ini adalah setangkup.
Keseimbangan memancar sesungguhnya sama dengan keseimbangan
simetri, tetapi kesamaan polanya bukan hanya di antara ruang sebelah kiri
dan ruang sebelah kanan saja, melainkan juga antara ruang sebelah kanan
dan ruang sebelah bawah. Keseimbangan sederajat yaitu keseimbangan
komposisi antara ruang sebelah kiri dan ruang sebelah kanan tanpa
memedulikan bentuk yang ada di masing-masing ruang. Jadi meskipun
memiliki bentuk raut yang berbeda, tetapi besarannya sederajat.
Sedangkan keseimbangan tersembunyi yaitu keseimbangan antara ruang
sebelah kiri dan ruang sebelah kanan meskipun keduanya tidak memiliki
12
besaran sama maupun bentuk raut yang sama. Jika keseimbangan ini bisa
dicapai maka akan menghasilkan komposisi yang dinamis, hidup,
bergairah (Sadjiman Ebdi Sanyoto, 2010:238-240).
g. Keselarasan (Ritme)
Ritme atau irama di dalam seni rupa menyangkut persoalan warna,
komposisi, garis, maupun lainnya (Mikke Susanto, 2011: 334). Ritme
berarti suatu susunan teratur yang ditimbulkan dari pengulangan sebuah
atau beberapa unsur sehingga memberikan kesan keterhubungan yang ajeg
dan bergerak Arfial Arsad Hakim, 1997:18).
Tangga rupa dapat digunakan sebagai alat untuk menata rupa/seni
(membuat komposisi) dari sisi irama untuk mencapai susunan/komposisi
yang memiliki nilai irama yang baik, dalam arti memiliki nilai seni yang tinggi.
Misalnya di dalam membuat keselarasan pada warna, interval tangga
warna dapat digunakan sebagai alat untuk menata warna. Menata irama
atas dasar tangga rupa kemudian dapat dilakukan dengan cara pengulangan
unsur-unsur seni rupa yang dapat membentuk atau melahirkan jenis-jenis
irama tertentu. (Sadjiman Ebdi Sanyoto, 2010:162-175).
h. Dominasi
Dominasi merupakan salah satu prinsip dasar tata rupa yang harus
ada pada karya seni/desain, agar diperoleh karya seni/desain yang
atristik/memiliki nilai seni. Dominasi digunakan sebagai daya tarik.
Karena unggul, istimewa, unik, ganjil, maka akan menarik dan menjadi
pusat perhatian. Jadi dominasi bertugas sebagai pusat perhatian dan daya
tarik. Sesuai prinsip irama/ritme, bahwa untuk memperoleh keindahan,
suatu susunan harus memiliki irama, yang berarti harus ada keteraturan.
Namun susunan yang teratur dapat berakibat membosankan. Oleh karena
itu, diperlukan dominasi agar susunan dapat menarik, dan dapat
memecahkan rutinitas. Beberapa cara dapat digunakan untuk memperoleh
dominasi, salah satunya dengan keunggulan/keistimewaan/kekuatan.
(Sadjiman Ebdi Sanyoto, 2010:225-226).
13
Setiap bagian dari suatu bentuk karya seni hendaknya memiliki
tingkat kekuatan (dominan) yang layak. Bagian tertentu yang
mendominasi di dalam suatu bentuk karya seni, akan menjadi titik
perhatian yang menonjol. Kelayakan tingkat dominan dari unsur-unsur
pendukung akan menimbulkan harmoni yang akhirnya mencapai suatu
kesatuan (Arfial Arsad Hakim,1987:19).
i. Kesederhanaan
Kesederhanaan (simplicity), barangkali menjadi tuntutan pada
semua seni maupun desain. Definisi sederhana adalah tidak lebih dan tidak
kurang, jika ditambah terasa menjadi rumit dan jika dikurangi terasa ada
yang hilang. Sederhana bukan berarti harus sedikit, tetapi yang tepat
adalah “pas”, artinya tidak lebih dan tidak kurang (Sadjiman Ebdi
Sanyoto, 2010:263).
j. Komposisi
Pada dasarnya komposisi merupakan suatu realisasi dari suatu
aktivitas penciptaan dalam mewujudkan ide. Dalam buku “Diksi Rupa”,
Mikke Susanto menjelaskan bahwa komposisi adalah kombinasi dari
berbagai elemen seni rupa untuk mencapai integrasi antara warna, garis,
bidang, dan unsur-unsur karya seni yang lain untuk mencapai susunan
yang dinamis, termasuk tercapainya proporsi yang menarik serta artistik
(Mikke Susanto, 2011: 226).
Komposisi terbagi menjadi beberapa macam, antara lain komposisi
terbuka dan tertutup, serta komposisi piramida dan piramida terbalik.
Komposisi terbuka adalah suatu komposisi dalam suatu bidang atau ruang
komposisi dimana objek-objek pada gambar terkesan menerus, tersebar,
dan meluas dari pusat bidang tersebut. Selanjutnya jika objek-objek
tersebut seakan-akan terpusat di dalam suatu ikatan, mengumpul,
menyempit, sehingga terlihat adanya pengelompokan objek gambar ke
dalam pusat bidang atau ruang komposisi, maka komposisi yang demikian
itu dikatakan komposisi tertutup (Arfial Arsad Hakim, 1997: 36-37).
14
B. SUMBER IDE
1. Crocodile Holiday
Gambar 2.6 “ Crocodile Holiday ” Sumber : http://drud-studio.deviantart.com/art/crocodile-holidays-367665507
Karya ilustrasi ini saya dapatkan dari sebuah situs art gallery
international bernama deviantart.com yang diunggah oleh akun bernama drud-
studio. Akun tersebut dimiliki oleh orang bernama asli Wendra Kisdamawan.
Yang menarik dari karya tersebut ialah penggambaran seekor buaya yang sedang
liburan. Hal tersebut terlihat dari bentuk buaya yang sedang mengenakan topi
pantai, dan membawa segelas minuman. Latar belakang bertuliskan new orleans
juga mendukung kesan liburan dari penggambaran karya tersebut. Seperti yang
15
kita ketahui, bahwa manusia kerap bosan dengan rutinitasnya sehari-hari. Untuk
mengatasi kebosanan tersebut, liburan dijadikan salah satu cara untuk
menyegarkan pikiran dari kegiatan sehari-harinya. Hal tersebut diwujudkan
dengan menggunakan objek buaya yang pada akhirnya dijadikan referensi untuk
membuat karya-karya yang memvisualisasikan hewan menjadi layaknya manusia.
2. Crocodile
Gambar 2.7 “ Crocodile ” Sumber : http://drud-studio.deviantart.com/art/crocodile-373090164
Karya ilustrasi ini saya dapatkan dari sebuah situs art gallery
international bernama deviantart.com yang diunggah oleh akun bernama drud-
studio. Akun tersebut dimiliki oleh orang bernama asli Wendra Kisdamawan.
Yang menarik dari karya tersebut ialah penggambaran seekor buaya yang tengah
16
memakan manusia yang gemar bermain kamera. Hal tersebut bisa didapat dari
penggambaran tangan manusia yang tengah memegang kamera berada di mulut
buaya tersebut. Kesan manusia yang tengah dimakan buaya juga hadir dari bentuk
darah yang disajikan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai kritik sosial terhadap
manusia yang terlalu gemar bermain kamera sampai melupakan kepedulian dari
sekitarnya. Dari gagasan tersebut tercipta pemikiran untuk memvisualisasikan
bentuk buaya menjadi sebuah karya seni yang dapat menyampaikan kritik sosial.
3. a Crocodile, a Scooter, and Bromo
Gambar 2.8 “ a Crocodile, a Scooter, and Bromo ”
Sumber : http://www.papangkingdom.com/2011/05/crocodile-scooter-and-bromo-wip.html
Karya ilustrasi ini saya dapatkan dari sebuah situs website
17
www.papangkingdom.com yang tidak diketahui siapa pemilik website tersebut.
Akun tersebut tidak mendiskripsikan tentang dirinya dan tidak menyajikan
satupun identitas dari pemilik. Yang menarik dari karya tersebut ialah
penggambaran seekor buaya yang tengah mengendarai scooter dan juga memakai
helm. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa buaya bahkan tidak bisa berdiri
apalagi mengendarai sebuah motor. Karya tersebut menghadirkan tingkah laku
buaya yang seperti manusia, karena dengan mengendarai motor juga mematuhi
peraturan yang ada yaitu memakai helm. Melihat karya tersebut dapat
menghadirkan gelitik tawa yang pada akhirnya dijadikan referensi untuk membuat
karya yang bersifat humor dan menghibur.