SKRIPSI Oleh Nanang Adita Permana E1A008232...

121
PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.) SKRIPSI Oleh Nanang Adita Permana E1A008232 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Transcript of SKRIPSI Oleh Nanang Adita Permana E1A008232...

PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK

DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)

SKRIPSI

Oleh

Nanang Adita Permana

E1A008232

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK

DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh

Nanang Adita Permana

E1A008232

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

SURAT PERNYATAAN

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : NANANG ADITA PERMANA

NIM : E1A008232

Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK

DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)

Yang saya buat ini adalah benar merupakan hasil karya sendiri, tidak menjiplak

hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain.

Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran

sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari

Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.

Purwokerto, Agustus 2013

NANANG ADITA PERMANA

NIM. E1A008232

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan Rahmat dan Hidayahnya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul : PROSES PEMERIKSAAN SIDANG

TERHADAP ANAK DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA Tinjauan

Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Jendral Soedirman.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai

kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi, namun berkat usaha, bimbingan, dan

doa serta dukungan yang tidak ternilai harganya dari berbagai pihak , maka skripsi

ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini

penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Angkasa S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto;

2. Sanyoto, S.H., M.H., selaku Kepala Bagian Hukum acara

3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah

memberikan nasehat-nasehat, ilmu-ilmu, pengalaman yang berharga, serta

telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi

penulis;

4. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis;

5. Bapak Weda Kupita, S.H.,M.H., selaku dosen penguji skripsi, yang telah

memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam menyempurnakan

skripsi penulis;

6. Bapak Mukhsinun, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik, yang telah

membimbing, memberikan nasehat-nasehat, ilmu-ilmu, serta motivasi

untuk berproses menuntut ilmu;

7. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

8. Kedua orang tua penulis, yang telah memberikan dukungan, semangat,

do‟a, nasehat dan kasih sayangnya kepada penulis selama menuntut ilmu

sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini;

9. Kakak-kakak dari penulis, yang telah memberikan do‟a dan motivasi

selama penyusunan skripsi ini, serta seluruh keluarga besar dari penulis;

10. Sahabat-sahabat dekat Rizal, Sigit, Wisnu, Anung, Adi, Fajar, Faisal,

Fandi, Catur, Ian dan yang telah hadir dalam seminar saya.

11. Teman-teman KKN POSDAYA Desa muntang Kecamatan Bantarkawung

Kabupaten Purbalingga yang telah menjadi keluarga baru bagi penulis.

12. Semua teman-teman angkatan 2008 dan semua pihak yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu.

Semoga apa yang telah diberikan pada penulis akan mendapatkan balasan

dari Alloh SWT sebagai amal ibadah.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam karya

penulisan (skripsi) ini, namun dangan segala kerendahan hati penulis mohon maaf

sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun

sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat

bagi kita semua.

Purwokerto, Agustus 2013

Penulis,

NANANG ADITA PERMANA

NIM. E1A008232

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iv

DAFTAR ISI ................................................................................................. vii

ABSTRAK ..................................................................................................... ix

ABSTRACT ................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Perumusan Masalah ................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7

D. Keguanaan Penelitian ................................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Acara Pidana ................................................ 9

B. Tujuan Hukum Acara Pidana ..................................................... 13

C. Asas-asas Hukum Acara Pidana ................................................. 17

D. Anak di Bawah Umur ................................................................. 27

1. Pengertian Anak ............................................................... 27

2. Pengertian Anak Nakal .................................................... 33

3. Perlindungan Anak ........................................................... 34

E. Terdakwa .................................................................................... 38

1. Pengertian Terdakwa ........................................................ 38

2. Hak Terdakwa Menurut KUHAP..................................... 39

3. Hak Terdakwa Anak ........................................................ 40

F. Pengadilan ................................................................................... 45

1. Pengertian Pengadilan Anak ............................................ 45

2. Kompetensi Pengadilan Anak .......................................... 51

3. Asas-asas Pengadilan Anak ............................................. 54

4. Sanksi Terhadap Anak Nakal ........................................... 56

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan ................................................................... 58

B. Spesifikasi Penelitian ................................................................ 58

C. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 59

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ....................................... 60

E. Metode Penyajian Data ............................................................. 60

F. Metode Analisis ......................................................................... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .......................................................................... 62

B. Pembahasan ................................................................................ 75

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................... 105

B. Saran .......................................................................................... 107

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

PROSES PEMERIKSAAN SIDANG TERHADAP ANAK

DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)

Oleh:

NANANG ADITA PERMANA

E1A008232

Tindak pidana narkotika dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan oleh orang

yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak. Penjatuhan pidana

terhadap anak hendaknya berbeda dengan penjatuhan pidana terhadap terdakwa

yang sudah dewasa oleh karena itu pelaksanaan penegakan hukum kepada anak

hendaknya dilakukan secara khusus dari mulai penyidikan hingga pelaksanaan

putusan. Proses pemeriksaan terhadap terdakwa anak menggunakan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai dasar hukumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemeriksaan terdakwa anak

dalam putusan nomor: 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini

menggunakan data primer berupa putusan nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. dan

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan data sekunder

peraturan perundangan dan literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan

yang diteliti data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan metode

normatif kualitatif.

Kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut Proses pemeriksaan terdakwa anak

dalam putusan nomor: 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. belum sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Kata Kunci : 1. Proses pemeriksaan sidang anak

ABSTRACT

EXAMINATION PROCESS HEARING CRIMINAL ACTS AGAINST

CHILDREN IN NARCOTICS

(Judicial Review Court Decision Against Purwokerto

Number 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)

By :

NANANG ADITA PERMANA

E1A008232

Criminal acts of narcotics, in fact, not only done by people who are already

adults, but also by the children. Imposition of criminal proocedings against

defendants who have adults. Therefore the implementation of law enforcement to

the childs should be made specifically from the start the investigation until the

execution of the verdicht. The process of examining the accused child use

provisions of law number 3 Year 1997 about juvenile court. Study purpose to

determine the defendant dropped the child in decision number

18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

The research method used a normative juridical approach. This study used

primary data from decision number: 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. and provisions of

law number 3 Year 1997 about juvenile court and secondary data from legislation

and literature relevant to the issues under study. The data obtained than analyzed

used qualitative normative methods

Conclusion the results of the study as follows the process of examining the

accused child in decision number: 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. not accordance with

the provisions of law number 3 year 1997 about juvenile court.

Key Word : 1. Inspection process hearing children

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan salah satu potensi bagi perkembangan dan

pertumbuhan suatu bangsa dimasa depan oleh sebab itu anak patut diberikan

pembinaan dan perlindungan secara khusus oleh negara dan undang-undang

untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial.

Untuk melaksanakan pembinaan dan pemberian perlindungan tersebut

diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat

hukum yang memadai,1 oleh karena itu anak yang melakukan kenakalan

(tindak pidana) diperlukan pengadilan anak yang secara khusus menangani

kasus anak guna menanggulangi kenakalan anak.

Kenakalan anak di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan baik

secara kuantitas maupun kualitas. Peningkatan secara kuantitas jumlah anak

yang menjadi tahanan, narapidana dan anak didik kemasyarakatan dapat

dilihat pada data di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) yaitu pada

tahun 2007 berjumlah 2.149 anak, kemudian mengalami peningkatan menjadi

2726 di tahun 2008.2

Peningkatan secara kualitas dapat dilihat bahwa kenakalan anak bukan

lagi kenakalan biasa tetapi cenderung kenakalan yang dilakukan, sudah

menjurus kepada tindak kriminal yang melanggar hukum. Berdasarkan data

1Darwan Prins. 2003. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm. 2.

2Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan

Pidana Anak Di Indonesia.Genta Publishing: Yogyakarta, hlm. 1.

dari Ditjenpas terdapat lima jenis tindak pidana yang sering dilakukan oleh

anak, yaitu pencurian, narkotika, susila, penganiayaan dan pengeroyokan.3

Proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan oleh hakim

yang menangani berbagai macam kasus tindak pidana dengan terdakwa

seorang anak biasa dilakukan dengan sewenang-wenang tanpa melihat

mekanisme beracara berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak dan tanpa melihat kondisi kejiwaan atau psikis

terdakwa anak. Notabenya seorang anak dilindungi oleh negara dalam bentuk

peraturan perundangan dan juga seorang terdakwa anak memiliki mekanisme

beracara tersendiri terhadap proses pemeriksaan sidang pengadilan dan hakim

mempunyai kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak dalam pemeriksaan sidang anak.

Beberapa proses pemeriksaan sidang pengadilan anak yang pernah

mendapat sorotan tajam dari masyarakat dan pemerhati anak yaitu proses

pemeriksaan sidang pengadilan AAL (15 tahun) yang dituduh melakukan

pencurian sandal milik petugas kepolisian di Palu yang terjadi pada akhir

bulan Mei 2011, kasus AAL diproses secara hukum di Pengadilan Negeri Palu

dan Hakim Tunggal Rommel F. Tampubolon dengan tegas menyatakan AAL

bersalah. Kasus AAL yang beberapa waktu ini menjadi fokus perhatian

masyarakat luas dan telah menjadi isu nasional telah mendorong lahirnya

gerakan dan solidaritas masyarakat sipil termasuk penggalangan sandal jepit

yang berlangsung di beberapa kota dan mengundang pernyataan-pernyataan

3

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/kanwil/all/year/2012/month/12,

diakses pada tanggal 29 September 2012.

dari para tokoh masyarakat dan pejabat di tingkat nasional. Vonis yang

diberikan kepada AAL dinilai terasa sebagai pisau hukum hanya tajam bagi

rakyat kecil tapi tumpul bagi aparat negara. Banyak pihak menyayangkan

kasus yang menimpa AAL tersebut dan sorotan tajam dialamatkan kepada

pihak kepolisian, hal mana korban pencurian adalah petugas kepolisian. Ini

dinilai tidak sebanding dengan berbagai persoalan besar yang melanda negeri

ini tapi tidak mendapatkan penanganan secara memadai.

Menurut teori ilmu hukum putusan yang dijatuhkan kepada AAL

tersebut mungkin baik, argumentatif ilmiah. Tetapi sebenarnya, belum

menyentuh perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat sehingga benar

sekali kalau Radbruch mengatakan summum ius sums inuiria. Bahwa keadilan

tertinggi itu adalah hati nurani. Orang yang terlalu mematuhi hukum sering

kali merugikan keadilan.4

Terkait dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, pada proses pemeriksaan sidang pengadilan

terhadap terdakwa anak YNS bin AK di Pengadilan Negeri Purwokerto

dengan perkara tindak pidana narkotika, YNS bin AK didakwa secara

alternatif yaitu telah melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, atau kedua melanggar Pasal 111 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan

ancaman pidana penjara 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun,

4Jeremias Lemek. 2007. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakan

Hukum di Indonesia. Galangpress: Jakarta, hlm. 25.

dalam amar putusan hakim menyatakan bahwa Terdakwa YNS bin AK telah

terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam proses

pemeriksaan sidang pengadilan terhadap terdakwa YNS bin AK dilakukan

dengan sidang tertutup dimana hanya keluarga yang boleh menyaksikan

proses persidangan dan hakim, jaksa serta pengacara tidak mengunakan toga

untuk menjamin jalannya sidang dilakukan dengan cara kekeluargaan agar

kejiwaan terdakwa YNS bin AK tidak tertekan akan tetapi dalam proses

pemeriksaan sidang pengadilan, terdakwa YNS bin AK belum sepenuhnya

menerapkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak.

Hakekatnya anak tidak dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa,

dalam ukuran kecil kita yakin bahwa ada perbedaan antara pelanggar-

pelanggar anak dengan orang yang sudah dewasa, sudah seharusnya anak

mendapat perlakuan khusus dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.

Agar dapat terwujudnya suatu tata cara pemeriksaan anak di depan sidang

pengadilan maka diperlukan beberapa lembaga dan perangkat hukum yang

mengatur tentang anak serta dapat menjamin pelaksanaanya dengan

berasaskan keadilan, salah satunya adalah perangkat undang-undang tentang

tata cara pemeriksaan anak. Ada beberapa peraturan yang mendasarinya antara

lain:

1. KUHP Pasal 45, 46, dan 47 yang mengatur sebatas pada bentuk

pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana

2. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1959

tentang Saran Untuk Memeriksa Perkara Pidana Dengan Pintu Tertutup

Terhadap Anak-Anak Yang Menjadi Terdakwa

3. Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M. 06-UM 01

Tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan Anak

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak (akan berlaku 2014)

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak yang di dalamnya diatur mengenai tata cara pemeriksaan

anak di pengadilan, diharapkan mampu menjamin perlindungan anak dalam

keseluruhan proses pemeriksaan pidana. Sehingga tumbuh kembang anak

tetap dapat berjalan dengan baik.

Beberapa tata cara pemeriksaan anak dalam Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak perlu diberi perhatian khusus, demi

peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang

bersangkutan. Sehubungan dengan itu maka ada beberapa tata cara

pemeriksaan anak yang perlu di perhatikan dan diperjuangkan pelaksanaanya.

Tata cara tersebut dilaksanakan selama proses pemeriksaan sidang pengadilan,

yang terdapat pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak, seperti:

1. Sidang tertutup untuk umum kecuali pembacaan putusan; (Pasal 8 (1),(6))

2. Di setiap persidangan anak diwajibkan memiliki pendamping baik orang

tua, advokat dan pembimbing kemasyarakatan; (Pasal 55)

3. Dalam pengadilan anak jaksa, hakim, penasehat hukum dilarang

mengenakan pakaian seragam, toga serta atribut/tanda kepangkatan

masing-masing; dan (Pasal 6)

4. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama 1/2

(satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

(Pasal 26 ayat (1))

Perlakuan khusus terhadap anak nakal atau anak yang berkonflik

dengan hukum, yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Hal

itu bukan berarti penyimpangan dari prinsip equality before the law.

Ketentuan demikian dalam kerangka menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan

seimbang bagi anak.5

Aspek perlindungan anak dalam peradilan anak ditinjau dari segi

psikologi bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan, ketelantaran,

penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan dan sebagainya.6

Sehingga kondisi psikis anak tetap baik walaupun berada dalam proses

pemeriksaan perkara pidana.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis ingin

melakukan penelitian yang menitikberatkan pada aspek normatif pemeriksaan

terdakwa anak dalam sidang pengadilan dengan judul:

5Bambang Waluyo. 2004. Pidana dan pemidanaa. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 4.

6Agung Wahyono dan Siti Rahayu. 2000. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di

Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 10.

"Proses Pemeriksaan Sidang Terhadap Anak Dalam Tindak

Pidana Narkotika (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)"

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

ditarik suatu permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak dalam Proses pemeriksaan sidang pengadilan

YNS bin AK?

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim yang mengadili “menyerahkan

terdakwa kepada orang tuanya di bawah pengawasan BAPAS” dalam

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas sehingga dapat

memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Tujuan diadakanya

penelitian ini adalah:

1. Mengetahui, mengkaji dan menggali penerapan Pasal 55 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Proses

pemeriksaan sidang pengadilan YNS bin AK.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim yang mengembalikan

terdakwa kepada orang tuanya di bawah pengawasan BAPAS dalam

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan penulis, serta wacana bagi perlindungan anak di Indonesia yang

berhadapan dengan hukum khususnya dalam proses pemeriksaan perkara

pidana di sidang pengadilan.

2. Kegunaan Praktis

Untuk mengembangkan pola pikir dan mengetahui kemampuan

penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh serta hasil penelitian ini dapat

memberi informasi kepada masyarakat pada umumnya dan semua pihak yang

berkepentingan pada khususnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Acara Pidana

Sebagaimana diketahui penegakan hukum merupakan salah satu usaha

untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat,

baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau

penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Apabila undang-undang

yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para

penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah dan pandangan hidup

bangsa kita, sudah barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai

sasarannya.

Istilah hukum acara pidana jarang sekali diperkenalkan secara umum.

hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit dan

menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu

pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana

lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap

terhadap hukum pidana materiil. Hukum acara pidana memiliki ruang lingkup

yang sempit yaitu hanya mulai dari mencari kebenaran, penyelidikan

penyidikan, penuntutan, pengadilan dan berakhir pada pelaksanaan pidana

(eksekusi). Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana.

Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.

Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,

maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat

cara-cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara

dengan mengadakan hukum pidana.7

Istilah pidana sendiri adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu

nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik ini.

Dengan demikian, pemidanaan adalah pemberian nestapa yang dengan sengaja

dilakukan oleh negara kepada pembuat delik.8

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak

menjelaskan pengertian hukum acara pidana, melainkan hanya memberikan

beberapa definisi yang merupakan bagian hukum acara pidana seperti

penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya

hukum, penyitaan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain yang semuanya

merupakan satu kesatuan dalam proses berlakunya hukum acara pidana.

Hukum acara pidana menurut Van Bemmelen9 sebagaimana dikutip dalam

bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:

“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang

diciptakan oleh negara karena adanya pelanggaran undang-undang

pidana, yaitu sebagai berikut.

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran

2. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengungkap si

pembuat dan kalau perlu menahannya

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran dan dilimpahkan kepada

hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut

7Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 7.

8A. Hamzah dan Siti Rahayu. 2000. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di

Indonesia. Akademika Pressindo: Jakarta, hlm. 24.

9Andi Hamzah, op.cit. hlm. 6.

5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan

yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan

pidana atau tindakan tata tertib

6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut

7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan

tata tertib.

Pengertian diatas lebih mengedepankan adanya tahapan tahapan dalam

beracara pidana poin satu sampai empat menunjukkan tahap

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga batas antara

penyidikan dan penuntutan menjadi kabur. Kelima menunjukkan

adanya pemeriksaan dan putusan hakim dilanjutkan dengan upaya

hukum yang dapat ditempuh pada poin enam dan ke tujuh merupakan

eksekusi dari putusan hakim yang dilaksanakan oleh jaksa”.

Polisi, jaksa, hakim tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana,

tetapi harus berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu KUHAP dan

perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

yang mengandung ketentuan acara pidana yang menyimpang. Menyangkut

dengan kaitan antara KUHAP sebagai lex generalis dan acara pidana dalam

perundang-undangan diluar KUHP itu sebagai lex specialis. Maka KUHAP

juga terdapat pasal khusus mengenai ketentuan yang berbunyi: “KUHAP

berlaku juga sebagai hukum acara bagi perundang-undangan pidana di luar

KUHP kecuali bagi perundang-undangan pidana di luar KUHP kecuali

undang-undang yang bersangkutan menyimpang.10

Menurut D. Simons11

sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi

Hamzah menyebutkan mengenai hukum acara pidana adalah sebagai berikut:

“Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang

bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk

memidanakan dan menjatuhkan pidana”.

10

Ibid., hlm. 2. 11

Ibid., hlm. 4.

Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap

dan tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena

merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya

saja. Dan Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut

dapat ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai dengan poin 4

adalah tahap penyelidikan, dan penuntutan. Oleh karena itu, batas penyidikan

dan penuntutan menjadi kabur, karena memang kita dapat menggolongkan

Van Bammelen pada golongan pakar yang memandang penyidikan sebagai

bagian penuntutan dalam arti luas. Terlihat yang jelas terpisah adalah

pemeriksaan dan putusan hakim yang disebutkan pada poin 5. Begitu pula

upaya hukum yang disebutkan pada poin 6 dan eksekusi pada poin 7. Adapun

peninjauan kembali (herzeining) adalah hal khusus yang merupakan upaya

hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan pidana yang

normal.

Perlu dilihat lagi juga pengertian tentang hukum acara pidana yang

diberikan oleh pakar Indonesia, diambil dari sarjana senior yaitu Wirjono

Prodjodikoro, yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Agung.

Sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara

pidana menurut Wirjono Prodjodikoro12

adalah sebagai berikut:

“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,

maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara

bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan

negara dengan mengadakan hukum pidana”.

12

Ibid., hlm. 7.

Pengertian tersebut jelas sangat menggantungkan fungsi hukum acara pidana

pada menjalankan hukum pidana materiil. Dapat dijabarkan bahwa tujuan

negara dalam menciptakan hukum pidana materiil yaitu tata tertib, aman,

sejahtera, dan damai dalam masyarakat.

B. Tujuan Hukum Acara Pidana

Setiap apa yang dibuat manusia pasti mempunyai suatu tujuan tertentu

dan maksud dibuatnya. Begitupun adanya hukum acara pidana Indonesia yang

dituangkan dalam KUHAP. Tujuan dari hukum acara pidana dapat dilihat

dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri

Kehakiman13

yang dikutip oleh Ziad dalam diktatnya adalah sebagai berikut.

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,

ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana

dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan

apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah

orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”.

Tujuan tersebut diperoleh manakala penegak hukum mencari

kebenaran materiil yang dapat diperoleh dengan berbagai macam alat bukti

yang dihadirkan dipersidangan baik dari jaksa penuntut umum ataupun dari

penasehat hukum terdakwa. Pemeriksaan di pengadilan yang ditekankan pada

pembuktian yang dinilai oleh hakim mana yang lebih kuat sehingga

menimbulkan keyakinan hakim akan siapa yang benar dan siapa yang bersalah

dengan alat bukti tersebut.

13Ziad. 2005. Diktat Hukum Acara Pidana. Fakultas Hukum Unsoed: Purwokerto, hlm. 1.

Tujuan hukum pidana dan fungsi hukum acara pidana hampir sama

dan cenderung dicampuradukan karena pada prinsipnya sama untuk mencari

kebenaran dan timbulnya perdamaian. Akan tetapi hakim dalam mencari

kebenaran materiil dibatasi oleh surat dakwaan jaksa, dan hakim tidak dapat

menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah

perbuatan yang didakwakan. Hakim hanya mengadili sejauh surat dakwaan

yang dikeluarkan oleh jaksa dan memutusnya dengan kebijakan hakim itu

sendiri dengan prinsip keadilan.

Tujuan acara pidana secara yuridis juga tercantum dalam KUHAP

yang merupakan kodifikasi undang-undang beracara pidana sehingga dapat

pula dimasukkan dalam tujuan acara pidana. Tujuan yang hendak dicapai

KUHAP dapat ditelaah dalam huruf c konsiderans, yang merumuskan:

“Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang

hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan

kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para

pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang msing-masing

ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat

dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.

Landasan tujuan KUHAP menurut Yahya Harahap14

tersebut dapat

dijabarkan menjadi bebarapa hal mengenai tujuan KUHAP yaitu :

1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat

Menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang

diberikan hukum atau undang-undang kepadanya serta apa kewajiban yang

dibebankan hukum kepada dirinya. Masyarakat yang tinggi kesadaran hak

14

Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan

dan Penuntutan Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 58-80.

dan kewajiban hukumnya tidak mudah dipermainkan dengan sewenang-

wenang oleh aparat penegak hukum.

2. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum

Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan :

a. Meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai

dengan fungsi dan wewenang masing-masing;

b. Peningkatan pembinaan profesionalisme; dan

c. Pembinaan peningkatan sikap mental.

3. Tegaknya hukum dan keadilan

Hukum dan keadilan ini bersifat relatif sehingga harus dilihat dari

aspek peraturan yang ada di Indonesia yaitu hukum dan keadilan yang

berlandaskan falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala

perundang-undangan yang ada, cara penegakan hukum dan keadilan

tersebut selengkapnya telah ditentukan pedoman tata cara prosedur dan

prinsip-prinsip hukum yang ditentukan KUHAP.

4. Melindungi harkat martabat manusia

Semua manusia adalah sama satu dengan yang lainnya mempunyai

harkat dan martabat kemanusiaan, sesuai dengan hak-hak asasi yang

melekat pada tiap diri manusia.

5. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum

Kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat yang

dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu

lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan tertib dan lancar.

Untuk mewujudkan hukum acara pidana yang diinginkan diperlukan

suatu fungsi agar tujuan itu dapat terealisasi, karena tujuan itu masih belum

jelas dan abstrak maka dibutuhkan fungsi hukum acara pidana agar

pelaksanaannya punya kegunaan yang mendukung untuk mendapatkan tujuan

yang dinginkan.

Menurut Mardjono Reksodiputro15

, tujuan sistem peradilan pidana

dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas, bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

dan

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan

tidak mengulagi lagi kejahatannya.

Dalam rangka mencapai tujuannya, maka sistem peradilan pidana memiliki

desain prosedur (procedural design) yang ditata melalui KUHAP. Menurut

Mardjono Reksodiputro secara garis besar sistem peradilan pidana dibagi

menjadi tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap

prajudikasi (pre-judication), tahap sidang pengadilan atau tahap ajudikasi

(adjudication), dan tahap setelah pengadilan atau purnaajudikasi (post

adjudication).16

Menurut J. M. Van Bemmelen17

dalam bukunya (Leerboek van her

Nederlandse Straf Frocesrecht), menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok

acara pidana adalah:

1. Mencari dan menemukan kebenaran;

15

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/261081527.pdf, diakses tanggal 3 November

2011.

16

ibid

17

Andi Hamzah, op. cit, hlm 8-9.

2. Pengambilan putusan oleh hakim; dan

3. Pelaksanaan dari putusan.

Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran

karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah

menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti

itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat)

yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara

pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan awal, dan tujuan akhir

sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian,

keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Menurut Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan keputusan tersebut harus

berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan. Tujuan akhir hukum acara pidana

yang sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian,

keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.

C. Asas-asas Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana terdapat asas-asas hukum acara pidana yang

digunakan sebagai pedoman dalam penegakan hukum acara pidana, yaitu:

1. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Sebenarnya hal ini bukan merupakan barang baru dengan lahirnya

KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-kata

yang lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP. Untuk

menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP

yang memakai istilah “segera”.18

Pasal 71 HIR menyatakan bahwa jika (hulp

magistraat) melakukan penahanan, maka dalam waktu satu kali dua puluh

empat jam memberitahukan kepada jaksa.

Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada

istilah segera. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu

diwujudkan dalam praktik oleh penegak hukum.

Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam

KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu. Asas

peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP

sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama

sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak salah satu pihak

yang di tunjuk dalam KUHAP.

2. Praduga Tidak Bersalah

Inti dari asas ini adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah

dalam suatu proses hukum selama belum ada putusan yang berkekuatan

hukum tetap yang menyatakan bahwa dirinya bersalah. Asas ini disebut dalam

Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP yang

merumuskan:

18

Ibid., hlm. 12.

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,

dan/dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak

bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Sehingga terdakwa yang dihadirkan di muka persidangan tidak boleh dalam

kondisi diborgol.

Menurut M. Yahya Harahap19

yang dikutip dalam bukunya

Mohammad taufik Makarao dan Suhasril menyebutkan:

“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan

dinamakan prinsip akusator”

Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap

tingkat pemeriksaan, adalah:

a. Adalah subyek; bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka

atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan

manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.

b. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan

(tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Kearah

itulah pemeriksaan ditujukan.

3. Asas Oportunitas

Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi

wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut

penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa.

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai

monopoli, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan. Hal

19Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam teori

Dan Praktik. Ghalia Indonesia: Jakarta, hlm. 3.

ini disebut (dominus litis) di tangan penuntut umum atau jaksa. (Dominus)

berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta

supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja

penuntutan dari penuntut umum.

Pengertian asas oportunitas menurut A.Z. Abidin Farid20

sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah adalah sebagai berikut:

“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum

untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat

seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi

kepentingan umum”.

Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu

dianut di Indonesia. Pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:

“Jaksa agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan

umum”.

Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan

umum” dalam sebuah perkara. Pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan

penjelasan sebagai berikut:

“…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam

penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk

kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan

masyarakat”.

Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo21

yang dikutip dalam

bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:

“Baik di Negara Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang

disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya badan

20

Andi Hamzah, op.cit. hlm. 17. 21

Ibid.,hlm. 20.

penuntut umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau

adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna

kepentingan masyarakat”.

Sehingga dalam jaksa melakukan penuntutan harus berdasarkan atas

kepentingan negara dan masyarakat.

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Asas ini dapat diperhatikan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4)

KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang

dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai

kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” ayat (3).

“Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)

mengakibatkan batalnya putusan demi hukum” ayat (4).

Pada penjelasan ayat (3) dikatakan cukup jelas, sedangkan untuk ayat (4) lebih

dipertegas lagi, yaitu sebagai berikut:

“Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya,

terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan tersebut

tidak terpenuhi”.

Berkaitan dengan hal tersebut kemudian ada masalah adalah karena masih ada

pengecualian yang lain dari pada yang disebut di atas, yaitu delik yang

berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban umum

(openbare orde). Jika hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum untuk

menjaga rahasia, menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur hal tersebut, dalam pasal

tersebut tidak menyebutkan secara limitatif pengecualian seperti KUHAP.

Akan tetapi, dengan KUHAP, hal seperti itu menjadikan putusan batal demi

hukum.

Pengecualian terhadap Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut juga dikecualikan terhadap

tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak

alasannya karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali, tidak

patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka umum.

Begitu juga dengan anak-anak dengan pertimbangan terhadap akibat psikis

anak.22

Sebenarnya hakim dapat menyatakan suatu sidang dinyatakan

seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan

dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya

diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan hal itu berdasarkan jabatannya

atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat

mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan

demi nama baik keluarganya.23

Sebagaimana menurut D. Simons24

yang dikutip Andi Hamzah dalam

bukunya, menyebutkan sebagai berikut:

“HR dengan arrestnya tanggal 30 Agustus 1909 W. 8903 memutuskan

bahwa hakim berdasarkan keadaan persidangan dapat menentukan

suatu persidangan tertutup untuk umum”.

Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak

dapat dibanding. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun

dalam putusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

22Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, op. cit. hlm. 9.

23Andi Hamzah, op. cit. hlm. 21.

24ibid.

Bahkan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP tegas menyatakan:

“Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum”.

Sehingga mengucapkan sidang terbuka untuk umum menjadi suatu keharusan

bagi hakim dimana hakim akan memulai sidang, terkecuali pada kasus-kasus

kesusilaan dan terdakwanya seorang anak di bawah umur.

5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini

tegas tercantum pula dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam penjelasan umum butir 3

huruf a KUHAP. Dalam penjelasan umum butir 3 huruf a KUHAP

merumuskan sebagai berikut:

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan

tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman merumuskan sebagai berikut:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang”.

Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga

menyinggung tentang asas perlakuan yang sama di muka hukum terhadap

setiap orang. Pasal tersebut merumuskannya sebagai berikut:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.”

Sehingga dalam mengadili suatu perkara hakim tidak boleh membeda-bedakan

terdakwa, baik terdakwa itu orang biasa atau rakyat kecil atau terdakwa itu

pejabat negara yang memiliki kekuasaan yang luas.

6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap

Asas ini berarti pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa

dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini

diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara. Hal tersebut sesuai

dengan ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri

yang menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili

golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam

tentang ilmu hukum.

Menurut D. Simons25

sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi

Hamzah, menyatakan sebagai berikut:

“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara

Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun

1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu

dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut

maka Jerman juga tidak menganutnya.”

7. Tersangka/terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP

yang mengatur tentang bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat

kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:

25

Ibid. hlm. 22.

a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau

ditahan;

b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;

c. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua

tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;

d. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik

atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan

negara;

e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum

guna kepentingan pembelaan; dan

f. Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari

tersangka/terdakwa.

Menurut Andi Hamzah26

yang dikutip dalam bukunya berpendapat

sebagai berikut:

“Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan

hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-

kelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi

politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang disebut terakhir ini juga

menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum secara merata.”

Sebagaimana menurut Adnan Buyung Nasution27

, sebagaimana

dikutip dalam buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:

“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah

banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya

bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan

oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi

dan keadaan kesehatan yang buruk”.

26

Ibid. hlm. 24. 27

ibid.

8. Asas Akusator dan Inkisitor

Asas inkisitoir adalah suatu sistem pemeriksaan yang memandang

seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan

para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan

yang dilakukan secara tertutup. Sedangkan asas akusator adalah kebalikan dari

prinsip inkisitor. Prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan

terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan

pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang tidak memihak.

Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan

bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator. Ini berarti perbedaa antara

pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya

telah dihilangkan.

Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan

pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin dituntut

untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu pembantu untuk acara

pidana. Hal ini sejalan dengan pendapat Andi Hamzah28

dalam bukunya

sebagai berikut:

“Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan

pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin

dituntut untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu

pembantu untuk acara pidana, seperti kriminalistik, kriminologi,

kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dan lain-lain.”

28

Ibid. hlm. 25.

9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara

langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda

dengan acara perdata dimana tergugat ataupun penggugat dapat diwakili

kuasanya. Pemeriksaan hakim secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim

dengan terdakwa.29

Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim secara langsung dan lisan

diatur dalam Pasal 154, 155, dan seterusnya. Pengecualian dari asas langsung

ialah kemungkinan tidak hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau (in

absentia). Pasal 213 KUHAP merumuskan sebagai berikut:

“Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya

di sidang”.

Begitu pula ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang mengatur acara

pemeriksaan verstek dalam hukum acara pidana.

D. Anak di Bawah Umur

1. Pengertian Anak

Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia. Anak

merupakan suatu titipan kepada orang yang telah menikah dan berkeluarga.

Sehingga anak harus dijaga dan dilindungi oleh orang tuannya hingga anak

dapat melindungi dirinya sendiri dari bahaya yang ada dan juga dapat berpikir

secara sehat untuk menentukan pilihan hidupnya kelak. Untuk melaksanakan

pembinaan dan pemberian perlindungan tersebut diperlukan dukungan baik

yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang memadai.

29

ibid

Dalam sistem perundangan-undangan kita belum ada unifikasi tentang hukum

anak akan tetapi terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan

saat ini, seperti pada: Hukum Perburuhan, Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Undang-Undang Pengadilan Anak, Undang-Undang Sistem Peradilan

Pidana Anak.

Hukum anak sendiri adalah sekumpulan peraturan hukum yang

mengatur tentang anak.30

Adapun hal-hal yang diatur hukum anak itu,

meliputi: sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku tindak pidana, anak

sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak, hak-hak anak,

pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian, anak nakal

dan lain sebagainya.31

Pentingnya memahami hukum anak, dapat disimpulkan dari

konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

yang merumuskan sebagai berikut:

“Anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber

daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan

bangsa. Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis

dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu, anak

memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan

seimbang”.

Dalam kehidupan bernegara, anak merupakan generasi penerus bangsa dan

merupakan generasi muda yang nantinya sebagai penerus cita-cita bangsa.

Pengertian anak sendiri dimata hukum positif Indonesia diartikan sebagai

orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di

30

Darwan Prins, op. cit. hlm. 1.

31

ibid

bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau

kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige

ondervoordij).32

Maka berdasarkan dari pengertian anak ternyata dalam

hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku

dan berlaku universal. Dimana pengertian anak tersebut terdapat dalam

beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan yang

mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14

(empat belas) tahun ke bawah.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal

47 ayat (1), merumuskan;

“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau

belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.

Dalam Pasal 50 ayat (1), merumuskan;

“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau

belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di

bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.

Dalam undang-undang ini pengertian anak tidak diartikan secara lebih

jelas, namun pengertian dari Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang

berisi mengenai pembatasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau

di bawah perwalian sebelum mencapai 18 (delapan belas) tahun dapat

diartikan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai

usia 18 (delapan belas) tahun.

32

Lilik Mulyadi. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan

Permasalahannya. Mandar Maju: Bandung, hlm. 4.

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam Pasal 1 butir 2, merumuskan;

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh

satu) tahun dan belum pernah kawin”.

Dalam undang-undang ini anak didefinisikan sebagai seseorang yang

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam

Pasal 1 butir 1, merumuskan;

“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan

belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini merumuskan sebagai

berikut;

“Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah

sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur

18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut menyebutkan bahwa batasan umur anak

nakal (anak yang melakukan tindak pidana) yang dapat diajukan ke

pengadilan anak adalah anak yang sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

kawin.

e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam Pasal 1 butir 1, merumuskan;

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dalam undang-undang ini pengertian anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam

kandungan ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu

perlindungan hukum. Selain terdapat pengertian anak, dalam undang-

undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak yang

menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat, dan

anak asuh.

f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak. Dalam Pasal 1 butir 3, merumuskan;

“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut

anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan

tindak pidana”.

Dalam undang-undang ini definisi anak adalah anak yang telah berumur

12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

diduga melakukan tindak pidana.

g. Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Dalam Konvensi PBB yang

ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia tahun 1990

menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah umur 18 (delapan belas)

tahun.

h. Menurut KUHP. Seperti halnya dalam Undang-Undang tentang

Perkawinan, dalam KUHP pengertian dari anak tidak diartikan secara

lebih lanjut, namun berdasarkan Pasal 45 KUHP dapat disimpulkan

mengenai pengertian anak yaitu seseorang yang belum cukup umur,

dimana batasan umurnya adalah 16 (enam belas) tahun.33

Namun seiring

perkembangan zaman, maka ketentuan dari Pasal 45 KUHP ini sudah tidak

berlaku lagi dan sebagai gantinya digunakan ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan berlaku

tahun 2014.

Apabila diperbandingkan ketentuan batasan umur seorang anak di

Indonesia dengan di negara lain maka batasan umur maksimal 18 (delapan

belas) tahun (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) sama dengan batasan

umur dari 27 (dua puluh tujuh) negara bagian di Amerika Serikat, Kamboja,

Taiwan, dan Iran. Sedangkan untuk umur maksimal 17 (tujuh belas) tahun

(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana) sama dengan 6 (enam) negara bagian di Amerika

Serikat, Australia, Philipina, Malaysia dan Singapura. Begitu pula batas usia

minimal 8 (delapan) tahun di Indonesia (Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak) identik dengan rata-rata usia minimal anak di

Negara Amerika Serikat dan Australia, sedangkan untuk Negara Inggris dan

Belanda batas minimal 12 (dua belas) tahun.34

33

Endang Sumiarni. 2003. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Hukum Pidana.

Universitas Atma Jaya: Yogyakarta, hlm. 2.

34

Ibid., hlm. 8.

2. Pengertian Anak Nakal

Masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan yang

aktual, hampir di semua negara di dunia termasuk Indonesia. Adapun proses

pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga yang damai

dan sejahtera lahir dan batin. Pada dasar kesejahteraan anak tidak sama,

tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka. Kita dapat melihat di

negara kita masih banyak anak yang tinggal di daerah kumuh dan diantaranya

harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan,

pendidikan yang rendah, keluarga yang berantakan dan lingkungan pergaulan

akan mempengaruhi kehidupan atau pertumbuhan seorang anak. Dan hal

tersebut merupakan dasar yang melatarbelakangi seorang anak untuk

melakukan tindak pidana atau kejahatan.

Istilah kenakalan anak sendiri diambil dari istilah asing Juvenile

Delinquency. Pengertian Juvenile Delinquency secara etimologis

penjabarannya dapat diketahui dari arti kata Juvenile dan arti kata

Delinquency. Juvenile sinonim dengan istilah young person (orang yang

muda). Adapun Delinquency adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan

oleh anak, dimana jika tindakan atau perbuatan itu dilakukan oleh orang

dewasa merupakan suatu kejahatan.35

Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :

35

Setya Wahyudi, op. cit. hlm. 29.

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi

anak

Baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain

yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Romly Atmasasmita36

yang dikutip dalam bukunya Setya

Wahyudi memberikan rumusan kenakalan anak sebagai berikut:

“Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18

tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap

norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan

perkembangan pribadi si anak bersangkutan”.

Sedangkan menurut Kartini Kartono37

yang dikutip dalam bukunya Setya

Wahyudi memberikan rumusan kenakalan anak sebagai berikut:

“Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan anak muda, merupakan gejala

sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang

disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka

mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang”.

Dari pengertian-pengertian kenakalan anak maka dapat disimpulkan bahwa

kenakalan anak adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik

norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia

muda.

3. Perlindungan Anak

Perlindungan anak merupakan upaya, usaha atau cara untuk

menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya dengan baik yang dilaksanakan secara rasional,

36Ibid., hlm. 30.

37

ibid

bertanggungjawab dan bermanfaat bagi perkembangan pribadi anak yang

bersangkutan. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya

inisiatif, kreativitas dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan

kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga anak menjadi tidak

memiliki kemampuan dan kemauan dalam menggunakan hak-haknya dan

melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Perlindungan anak dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.

Hal tersebut didukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal

3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang

mengatur tentang tujuan perlindungan anak yaitu:

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak

anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi

terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan

sejahtera”.

Sedangkan kewajiban untuk menyelenggarakan perlindungan anak terdapat

pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, yang merumuskan sebagai berikut:

“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan

perlindungan anak”.

Kaitannya dengan anak nakal atau anak yang melakukan tindak

pidana. Anak nakal memiliki hak dalam setiap tingkat pemeriksaan baik

pemeriksaan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, yaitu

dilindungi baik dari kekerasan fisik ataupun psikis anak.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang diamanatkan dengan Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 66

ayat (1), yang merumuskan sebagai berikut:

“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran

penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak

manusiawi”.

Hal tersebut bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 16 ayat (1) yang merumuskan hal

serupa.

Pemidanaan terhadap terdakwa anak, hakim dalam menjatuhkan

pidana harus menghindari pidana berupa perampasan kemerdekaan, karena

akan mengganggu tumbuh kembang anak dalam proses menuju kedewasaan.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dalam Pasal 66 ayat (4), yang merumuskan sebagai berikut:

“Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh

dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilaksanakan sebagai upaya terakhir”.

Hal tersebut bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 16 ayat (3) yang merumuskan hal

serupa.

Apabila dilakukan perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir,

maka perlindungan anak dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 66 ayat (6), merumuskan sebagai

berikut:

“Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh

bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap

tahapan upaya hukum yang berlaku”.

Hal ini juga senada dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b yang merumuskan hal

serupa.

Setiap pemeriksaan sidang pengadilan, maka hakim wajib

menyatakan bahwa sidang tertutup untuk umum sesuai dengan apa yang

diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dalam Pasal 66 ayat (7), yang merumuskan sebagai berikut:

“Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri

dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif

dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum”.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dalam Pasal 8 ayat (1) yang merumuskan sebagai berikut:

“Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup”.

Perlindungan anak khususnya anak nakal sudah termuat dalam

peraturan perundang-undangan yaitu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak yang tidak terlepas dari Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai konsekuensi dari

diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia yang merupakan cerminan dari Universal Declaration of Human

Rights tahun 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights tahun 1966 dan International Covenant on Civil and Political Rights

tahun 1966, yang telah diratifikasi di Indonesia.

E. Terdakwa

1. Pengertian Terdakwa

Berperkara di pengadilan terdapat beberapa pihak, diantarnya hakim

sebagai juri, jaksa sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan

pengadilan, dan terdakwa.38

Sistem yang saling berhadapan antara penuntut

umum dengan terdakwa disebut sistem pemeriksaan akusatur yang telah

digunakan di Indonesia saat ini, sebelumnya di Indonesia menggunakan sistem

inkisitor dimana hakim dan penuntut umum berada di pihak yang sama.39

Hal terpenting diantara para pihak dalam pemeriksaan sidang

pengadilan adalah terdakwa karena terdakwa merupakan pihak yang menjadi

fokus dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Sebelum ada keputusan hakim

yang tetap, maka seorang terdakwa harus dianggap sebagai orang yang tidak

bersalah, sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (Presumption of

Innocence) dalam hukum acara pidana.40

Sedangkan pengertian mengenai

terdakwa sendiri berdasarkan Pasal 1 ayat (15) KUHAP merumuskan bahwa:

“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan

diadili di sidang pengadilan”.

38

Al Wisnubroto. 2009. Teknis Persidangan Pidana. Universitas Atma Jaya: Yogyakarta,

hlm. 7.

39

Andi Hamzah, op. cit. hlm. 64.

40

Ibid., hlm. 14.

Namun dalam (Wetboek van Strafvordering) pengertian tersangka

dengan terdakwa hanya dikenal dengan satu istilah yaitu (Verdachte) tanpa

dibedakan lebih khusus seperti halnya dalam KUHAP yang membedakan

pengertiannya. Dalam (Wetboek van Strafvordering) pengertian (Verdachte)

hanya dibagi dalam (Verdachte) sebelum penuntutan dan sesudah penuntutan,

sehingga (Verdachte) sesudah penuntutan inilah dalam KUHAP kita diartikan

sebagai terdakwa.41

Pengertian terdakwa menurut R. Soesilo sebagaimana dikutip dalam

literature, menyebutkan pengertian terdakwa sebagai berikut:

“Orang yang karena kesalahan dan kejahatan telah adanya petunjuk-

petunjuk yang konkrit telah adanya bukti-bukti kejahatan untuk

mengadakan tuduhan oleh jaksa di depan pengadilan”.

2. Hak Terdakwa Menurut KUHAP

Terdakwa mempunyai hak sejak ia mulai diperiksa oleh penyidik,

meskipun seorang terdakwa diduga telah melakukan suatu perbuatan yang

cenderung sebagai perbuatan negatif dan bahkan suatu tindak pidana yang

melanggar hukum, bukan berarti seorang terdakwa dapat dilakukan semena-

mena dan dilanggar hak-haknya baik itu hak hukumnya, sehingga hak-hak

tersebut harus dipenuhi oleh hakim. Tersangka atau terdakwa diberikan

seperangkat hak oleh KUHAP dari mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 68,42

yang dikutip dalam bukunya Yahya Harahap, hak-hak tersebut antara lain

meliputi:

41Ibid., hlm. 65.

42

Yahya Harahap, op. cit, hlm. 332-338.

a. Hak untuk segera diperiksa , diajukan ke pengadilan, dan diadili. (Pasal 50

ayat (1), (2), (3))

b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya

tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan. (Pasal 51 butir a

dan b)

c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan

hakim. (Pasal 52)

d. Hak untuk dapat mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat

pemeriksaan. (Pasal 54)

e. Hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum yang ditunjuk

oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi

tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-

cuma.

f. Hak tersangka atau terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang memiliki

keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi

dirinya. (Pasal 65)

3. Hak Terdakwa Anak

Anak nakal atau anak yang berkonflik dengan hukum dari proses

penyidikan hingga pemeriksaan sidang pengadilan dan berakhir dengan sanksi

hukum mempunyai hak sejak ia mulai diperiksa oleh penyidik, meskipun

seorang anak diduga telah melakukan suatu perbuatan yang cenderung sebagai

perbuatan negatif dan bahkan suatu tindak pidana yang melanggar hukum,

bukan berarti seorang anak dapat dilakukan semena-mena dan dilanggar hak-

haknya baik itu hak hukumnya, sehingga hak-hak tersebut harus dipenuhi oleh

penyidik, jaksa, dan hakim.

Selain hak terdakwa yang terdapat dalam KUHAP, seorang anak

memiliki hak di dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak yaitu terdapat dalam Pasal 51 ayat (1), (2), dan (3)

a. Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan

bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam

waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang

ditentukan dalam Undang-undang ini. (Pasal 51 ayat (1))

b. Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib

memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua

asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud

dalam ((Pasal 51 ayat (2))

c. Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan

langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh

pejabat yang berwenang. (Pasal 51 ayat (3))

Selain hak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak. Hak anak dalam proses pemeriksaan sidang

pengadilan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, yaitu:

a. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan

dan kepatutan. (Pasal 10)

b. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16

ayat (1))

c. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(Pasal 16 ayat (2))

d. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir. (Pasal 16 ayat (3))

e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : (Pasal 17 ayat

(1))

a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya

dipisahkan dari orang dewasa;

b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif

dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak

yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk

umum.

f. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. (Pasal 17 ayat (2))

g. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. (Pasal 18)

Selain hak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

2002 tentang Pengadilan Anak. Hak anak dalam proses pemeriksaan sidang

pengadilan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:

a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 66

ayat (1))

b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk

pelaku tindak pidana yang masih anak. (Pasal 66 ayat (2))

c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan

hukum. (Pasal 66 ayat (3))

d. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan

sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai

upaya terakhir . (Pasal 66 ayat (4))

e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan

secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan

pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,

kecuali demi kepentingannya. (Pasal 66 ayat (5))

f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh baittuan

hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya

hukum yang berlaku. (Pasal 66 ayat (6))

g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan

memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak

memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. (Pasal 66 ayat (7))

Hak-hak anak menurut Arif Gosita43

yang dikutip oleh Meli Linda

Juliana dalam skripsinya menyebutkan hak-hak anak selama pemeriksaan

sidang pengadilan, yaitu:

a. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan

b. Hak mendapatkan penasehat hukum selama persidangan

c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar

persidangan mengenai dirinya, misalkan transportasi, perawatan,

kesehatan

d. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan

yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik sosial,

misalkan berbagai ancaman penganiayaan, cara dan tempat

penahanan.

e. Hak untuk menyatakan pendapat

f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang

menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut atas

karena kekeliruan mengenai orangnya atau hokum yang

diterapkan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1 angka 22

KUHAP

43Meli Linda Juliana. 2004. Hak Terdakwa Anak Dalam Memperoleh Bantuan Hukum

(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri No. 15/Pid.B.AN/2001/PN.Tsm). Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto, hlm. 75.

g. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan penghukuman

yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai

manusia seutuhnya.

F. Pengadilan

1. Pengadilan Anak

Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia

peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya dua pengadilan khusus pernah berdiri

sebelum masuknya era reformasi, yaitu Pengadilan Ekonomi (Undang-Undang

Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan

Tindak Pidana Ekonomi) dan Pengadilan Anak (Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Setelah masuknya era reformasi yang

diawali dengan krisis moneter, pengadilan khusus mulai banyak didirikan.

Pengadilan khusus yang pertama di era ini adalah Pengadilan Niaga,

Pengadilan Pajak, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi, Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan yang

terakhir yaitu Pengadilan Perikanan.

Definisi pengadilan khusus sendiri berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum dalam Pasal

1 ayat (5) merumuskan bahwa :

“Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa,

mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk

dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang”.

Dalam definisi berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1986 Tentang Peradilan Umum dalam Pasal 1 ayat (5) tersebut di atas

memberikan pandangan kepada kita bahwa pengadilan khusus merupakan

pengadilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yaitu pengadilan negeri

dan pengadilan tinggi yang diatur khusus berdasarkan undang-undang.

Salah satu pengadilan khusus yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan

Anak. Sesuai dengan kriteria yang terdapat dalam pengadilan khusus juga

melekat pada kriteria Pengadilan Anak, yaitu;

a. Diatur didalam undang-undang secara khusus;

b. Merupakan tingkatan pengadilan di bawah Mahkamah Agung; dan

c. Adanya hakim khusus atau hakim ad hoc yang memeriksa sengketa khusus

Pengadilan Anak diatur secara khusus dengan peraturan undang-

undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, dalam sejarah peradilan anak telah mengalami

pergantian peraturan. Peraturan yang pertama kali mengatur Pengadilan Anak

adalah KUHP Pasal 45, 46, dan 47 yang mengatur sebatas pada bentuk

pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, kemudian

Mahkamah Agung membuat Surat Edaran Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 3 tahun 1959 tentang Saran Untuk Memeriksa Perkara

Pidana Dengan Pintu Tertutup Terhadap Anak-Anak Yang Menjadi Terdakwa,

lalu Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M. 06-UM 01

Tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan Anak, dan yang terakhir Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang akan diganti

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak yang akan berlaku 2014.

Pengertian Pengadilan Anak pada Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat pada Pasal 2 yang

merumuskan sebagai berikut;

“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada

di lingkungan Peradilan Umum”.

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, pengertian Pengadilan Anak tidak disebutkan, sehingga

pengertian Pengadilan Anak menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak.

Dari Encyclopedia Americana44

yang di kutip dalam bukunya Agung

Wahyono dan Siti Rahayu menyebutkan bahwa:

“Peradilan anak adalah pusat dari mekanisme perlakuan bagi penjahat-

penjahat muda, anak-anak nakal dan anak-anak terlantar”.

Sedangkan Soedarto45

dalam ceramahnya yang dikutip dalam bukunya Agung

Wahyono dan Siti Rahayu menyebutkan bahwa:

“Peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan

perkara yang menyangkut kepentingan anak”.

44Agung Wahyono dan Siti Rahayu, op. cit hlm. 6.

45

Ibid., hlm. 7.

Pemeriksaan Pengadilan Anak tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan

pengadilan dengan terdakwa orang dewasa. Berdasarkan Pasal 40 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa:

“Hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan

anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Berdasarkan Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

merumuskan bahwa:

“Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini”.

Pasal 3 KUHAP ini ingin mengatakan bahwa peradilan yang dilakukan dalam

lingkungan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung serta

pengadilan lain yang merupakan pengkhususan dari peradilan umum harus

dilakukan menurut cara yang telah diatur dalam Bab XX KUHAP atau dalam

Pasal 145 sampai dengan Pasal 283 KUHAP.46

Penanganan terhadap anak-anak yang berperilaku menyimpang di

Negara Belanda diatur dalam Kinder Wetten 1901, sementara di Amerika

Serikat pembentukan Pengadilan Anak (juvenile court) telah ada sejak tahun

1899. Dimana asas yang dianut dalam Pengadilan Anak adalah parens

patriae, yaitu bahwa penguasa harus bertindak apabila anak-anak

membutuhkan pertolongan, sedangkan anak yang melakukan kejahatan

bukannya dipidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan. Di Inggris

46P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. 2010. Pembaharuan Kuhap Menurut Ilmu

Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 45.

juvenile Court telah dibentuk dengan undang-undang tanggal 25 Juli 1921 dan

mulai berlaku tanggal 1 November 1922.47

Menurut analisis sejarah di Eropa dan Amerika bahwa ikut campurnya

pengadilan dalam kehidupan anak serta keluarga, senantiasa ditujukan kepada

penanggulangan keadaan buruk anak seperti kriminalitas anak, terlantarnya

anak dan penyalahgunaan terhadap anak.48

Sebagai salah satu lembaga hukum, maka peradilan anak merupakan

lembaga yang menjamin kepentingan anak nakal. Karena misi hukum

mempertahankan kedamaian di antara manusia dan sekaligus melindungi

kepentingan manusia,49

dalam hal ini anak nakal atau anak yang berkonflik

dengan hukum.

Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (juvenile justice)

sendiri tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi

anak pelaku tindak pidana. Tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran

bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan

kesejahteraan anak pelaku tindak pidana.50

Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam.

Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman.

Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar

menjadi insaf dan dapat kembali ke masyarakat.51

47Darwan Prins, op. cit. hlm. 10.

48

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, op. cit. hlm. 7.

49

Muderis Zaini. 2006. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika:

Jakarta, hlm. 20.

50

Setya Wahyudi, op. cit. hlm. 1.

51Bambang Waluyo, op. cit. hlm. 3.

Kita juga tidak dapat kesampingkan mengenai alasan hapusnya pidana

bahwa salah satunya adalah anak-anak. Karena anak bukan termasuk orang

yang mampu untuk bertanggung jawab. Jika anak-anak melakukan suatu

perbuatan pidana, maka perbuatannya dapat dimaafkan.52

Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak secara nasional, tidak

melepaskan pada tujuan perlindungan individu anak yang bersangkutan.

Penggunaan sistem peradilan pidana anak saat ini di Indonesia, bertumpu

berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak. Di dalam

konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

merumuskan mengenai tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak, yaitu:

“Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia,

untuk pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu

agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,

dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang”.

Perlindungan hukum terhadap anak dalam hukum adat berdasarkan

ketentuan-ketentuan di luar peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam

hukum adat terdapat ketentuan perlindungan hukum terhadap anak erat

kaitannya dengan bidang kekerabatan atau kekeluargaan adat dan bidang

hukum waris adat, terutama yang masih menganut struktur tradisional

masyarakat hukum adat setempat.53

52Asadulloh Al Faruk. 2009. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Ghalia

Inonesia: Bogor, hlm. 85.

53

Endang Sumiarni dan Chandra Halim. 2000. Perlindungan hukum terhadap anak dalam

hukum keluarga. Universita Atma Jaya: Yogyakarta, hlm. 1.

4. Kompetensi Pengadilan Anak

Pertama-tama dalam hal pemeriksaan pengadilan maka yang utama

membahas tentang kompetensi pengadilan pidana atau sering disebut juga

wewenang pengadilan untuk mengadili perkara pidana yang diajukan

kepadanya. Kompetensi pengadilan dalam teori dibagi dalam dua bagian yakni

kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

a. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili

perkara berdasarkan atas tingkatan pengadilan lain. tingkatan pengadilan

sebagaimana yang dikenal selama ini adalah pengadilan tingkat pertama

pengadilan negeri (PN), pengadilan tingkat kedua pengadilan tinggi (PT), dan

Mahkamah Agung (MA) sementara jenis-jenis peradilan adalah peradilan

umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama,

atas dasar tingkatan dan jenis pengadilan inilah maka kewenangan masing-

masing pengadilan itu berbeda satu dengan yang lain, terdapat beberapa

prinsip yang memperlihatkan kewenangan masing-masing. prinsip pertama:

pengadilan negeri (PN) berwenang mengadili semua perkara pidana yang

belum pernah diadili dan belum memperoleh putusan. Prinsip kedua:

pengadilan tinggi (PT) berwenang mengadili perkara yang sudah diputus oleh

pengadilan negeri. Prinsip ketiga: Mahkamah Agung (MA) berwenang

mengadili perkara pidana yang dimintakan kasasi kepadanya.54

54Darwan Prins, op. cit. hlm. 13.

b. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan mengadili perkara

berdasarkan wilayah kekuasaanya hukum. wilayah hukum dari satu

pengadilan negeri adalah satu wilayah kabupaten/kota.55

Di dalam kompetensi

relatif terdapat prinsip-prinsip untuk menentukan adanya kewenangan

mengadili. prinsip-prinsip tersebut dapat diketemukan dalam Pasal 84, 85 dan

86 KUHAP yakni sebagai berikut:

1) Pasal 84 KUHAP yaitu

a) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai

tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya;

b) Pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat

tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan,

hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila

tempat kediaman sebagaian besar saksi yang dipanggil lebih dekat

pada pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan

negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;

c) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam

daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan

negeri itu masing-msing berwenang mengadili perkara pidana itu; dan

d) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada

sangkutpautnya dan dilakukan oleh orang yang sama dalam derah

hukum berbgi pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing

55Yahya Harahap. 2007. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Sinar

Grafika: Jakarta, hlm. 96.

pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan

penggabungan perkara tersebut.

2) Pasal 85 KUHAP pasal ini menentukan bahwa didalam hal keadaan daerah

tidak mengijinkan suatu pengadilan untuk mengadili suatu perkara, maka

atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang

bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri

Kehakiman (menteri yang berwenang kalau tidak ada Menteri Kehakiman

misalnya Menteri Hukum dan HAM) untuk menetapkan atau menunjuk

pengadilan negeri lain.

3) Prinsip ketiga ini menentukan bahwa pengadilan yang berwenang

mengadili perkara pidana yang dilakukan diluar negeri adalah Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat. hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 86

KUHAP yang bunyinya: apabila seseorang melakukan tindak pidana

diluar negeri yang diadili menurut hukum Republik Indonesia maka

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.

Mengenai pengadilan anak, tindak pidana yang pelakunya anak

tersebut berstatus sipil maka sesuai penjelasan Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, bahwa pengadilan anak itu berada di bawah peradilan umum.

Dengan demikian kompetensi absolut pengadilan anak berada di bawah

peradilan umum. Hal ini sesuai dengan apa yang dirumuskan Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang merumuskan bahwa:

“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang

berada di lingkungan Peradilan Umum”.

Menyangkut kompetensi relatif pengadilan anak adalah mengenai

anak nakal yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang

dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun

menurut peraturan perundang-undangan yang lain yang hidup dan berlaku

dalam masyarakat dimana tindak pidana anak tersebut dilakukan (locus

delicti).56

5. Asas-Asas Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas, yang membedakan dengan

yang diatur dalam KUHAP. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:

a. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 4 ayat (1))

Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak

ditentukan secara limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan

maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin.

b. Ruang lingkup masalah dibatasi (Pasal 1 ayat (2))

Masalah yang dapat diperiksa dalam sidang Pengadilan Anak hanyalah

terbatas menyangkut perkara anak nakal.

c. Ditangani pejabat khusus (Pasal 1 ayat (5),(6), dan (7))

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan perkara anak nakal

harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti:

1) di tingkat penyidikan oleh penyidik anak

2) di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak

56Darwan Prins, op. cit. hlm. 14.

3) di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak , dan hakim kasasi

anak.

d. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1 ayat (11))

Undang-undang pengadilan anak mengakui peranan dari:

1) Pembimbing kemasyarakatan

2) Pekerja sosial, dan

3) Pekerja sosial sukarela

e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42 ayat (1))

Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana

kekeluargaan. Oleh karena itu hakim, penuntut umum, dan penasehat

hukum tidak memakai toga.

f. Keharusan Splitsing (Pasal 7)

Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang

berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana

bersama dengan orang dewasa, maka si anak diadili dalam sidang

Pengadilan Anak. Sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa,

atau apabila berstatus militer di Pengadilan Militer.

g. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat (1))

Acara pemeriksaan di sidang Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup.

Ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan

dalam sidang yang terbuka untuk umum.

h. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14, dan 18)

Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan negeri,

banding, dan atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.

i. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampai dengan Pasal 49)

Masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa penahanan

menurut KUHAP.

j. Hukuman lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan Pasal 32)

Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dari

ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal

adalah 10 (sepuluh) tahun.

6. Sanksi Terhadap Anak Nakal

Istilah yang digunakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana

di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

yaitu anak nakal sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggunakan istilah anak yang

berkonflik dengan hukum. Anak nakal sebelum proses persidangan disebut

“tersangka” yaitu anak yang berkonflik dengan hukum dalam tingkatan

pemeriksaan penyidikan. Sedangkan dalam proses pemeriksaan sidang

pengadilan disebut “terdakwa”.57

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan

pidana tambahan. Dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun

57

Lilik Mulyadi, op. cit. hlm. 27.

1997 tentang Pengadilan Anak, pidana pokok yang dapat dijatuhkan anak

nakal adalah:

a. Pidana penjara

b. Pidana kurungan

c. Pidana denda

d. Pidana pengawasan

Sedangkan pidana tambahan dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor

3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, merumuskan bahwa:

“Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap

anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan

barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi”.

Terhadap Anak Nakal yang melakukan tindak pidana, selain pidana

pokok dan pidana tambahan seperti yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (2)

dan (3) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

hakim juga dapat memberikan tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak

nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 tahun

1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu berupa tindakan:

a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja; atau

c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.

BAB III

METODE PENELITIAN

E. Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan

pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus

(Case Approach). Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)

digunakan karena yang akan diteliti adalah aturan hukum yaitu Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pendekatan kasus

(Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah

diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum (doctrinal),

hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-

undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau

norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.58

F. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi

penelitian deskriptif normatif. Penelitian deskriptif normatif adalah penelitian

yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan

manusia, keadaan atau gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek

masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang bersifat umum.

58 H. Zainal Amirudin Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Radja

Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 1.

G. Sumber Bahan Hukum

Usaha pengumpulan bahan hukum untuk keperluan penyusunan

penelitian ini penulis menggunakan cara studi pustaka untuk mengumpulkan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Yaitu dengan cara membaca

dan mempelajari buku yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan

hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

2. Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor

18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka

dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang dapat menunjang

bahan hukum primer, yaitu dokumen resmi dan literature yang berkaitan

dengan pokok masalah yang diteliti.

1. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan

Pidana Anak Di Indonesia

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam hukum Pidana

3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam hukum Keluarga

4. Hukum Anak Indonesia

5. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan Permasalahannya

6. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di Indonesia

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum

primer dan sekunder.

1. Kamus Hukum

2. Artikel Ilmiah

H. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian pada umumnya

dibedakan antara metode pengumpulan bahan hukum yang diperoleh secara

langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh

langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar, sedangkan

yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data

sekunder.59

Usaha pengumpulan data untuk keperluan penyusunan penelitian ini

penulis menggunakan cara studi pustaka untuk mengumpulkan bahan hukum

sekunder. Yaitu dengan cara membaca dan mempelajari buku yang ada

hubungannya dengan pokok permasalahan.

I. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun

secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang

diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya, disesuaikan dengan

59 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT. Raja

Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 1.

pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang

utuh.

J. Metode Analisis

Menganalisis data yang diperoleh, akan digunakan metode analisis

normatif. Metode analisis normatif merupakan cara menginterpretasikan dan

mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum,

norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok

permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian

dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai

sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan

(conclution) terhadap permasalahannya. Data yang ada dianalisis untuk

mengetahui pemeriksaan terdakwa anak di bawah umur dalam proses

pemeriksaan sidang pegadilan dengan aturan hukum yang berlaku.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Mengenai proses pemeriksaan sidang terhadap YNS bin AK dalam

tindak pidana narkotika dapat dilakukan penelitian, pembahasan dan

penelaahan sebagai berikut:

1. Duduk Perkara

Terdakwa YNS bin AK yang bertempat tinggal di Desa Kedungjati RT

03 / 08 Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga. Pada hari Senin tanggal

02 Januari 2012 sekitar pukul 23.30, di Jalan Raya Arcawinangun, dengan

tanpa hak atau melawan hukum membawa GANJA.

Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dari Laboratorium Forensik

Bareskim Polri, Laboratorium Forensik Cabang Semarang dan berdasarkan

Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Forensik Cabang Semarang No. LAB :

31 / NNF / 2012, tanggal 11 April 2011, yang dilakukan oleh Yayuk Murti

Rahayu, B, Sc. bahwa GANJA seberat 6,103 gram dalam plastik Nomor

Barang Bukti BB- 0047/2012/NN mengandung FOSITIF DERIFAT

CANNABINOID dan terdaftar dalam golongan 1 (satu) nomor urut 08

Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

Setelah ditanya oleh petugas kepolisian lalu terdakwa mengakui bahwa

barang berupa GANJA tersebut didapat dengan cara membeli kepada UGI di

Taman Kota Purbalingga seharga Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah)

menggunakan uang AGUNG, selanjutnya GANJA dimasukan kedalam tas dan

dicangklongkan di badan terdakwa lalu kembali pulang ke Purwokerto

berboncengan dengan AGUNG, tetapi pada saat petugas kepolisian melakukan

penangkapan terhadap terdakwa ternyata AGUNG berhasil melarikan diri

menggunakan sepeda motor yang dibawanya bersamaan dengan trek-trekan

yang terjadi di Jalan Raya Arcawinangun tersebut.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Terdakwa didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan yang disusun

secara alternatif, yaitu sebagai berikut:

1) Dakwaan Pertama

Terdakwa pada hari Senin tanggal 02 Januari 2012 sekitar pukul 23.30

atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam bulan Januari tahun 2001,

bertempat di Jalan Raya Arcawinangun, Kelurahan Arcawinangun, Kecamatan

Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, atau setidak-tidaknya pada tempat-

tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

Purwokerto, tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan Narkotika Golongan I.

Atas perbuatan tersebut, terdakwa YNS bin AK didakwa telah

melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

ATAU

2) Dakwaan Kedua

Terdakwa pada hari Senin tanggal 02 Januari 2012 sekitar pukul 23.30

atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam bulan Januari tahun 2001,

bertempat di Jalan Raya Arcawinangun, Kelurahan Arcawinangun, Kecamatan

Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, atau setidak-tidaknya pada tempat-

tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

Purwokerto, tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam

bentuk tanaman.

Atas perbuatan tersebut, terdakwa YNS bin AK didakwa telah

melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Tuntutan Penuntut Umum

Penuntut Umum dalam perkara pada Putusan Nomor

18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara dengan memperhatikan

ketentuan undang-undang.

Menyatakan terdakwa YNS bin AK terbukti secara sah dan

menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika yaitu tanpa hak atau

melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,

atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam dakwaan kedua yaitu Pasal 111 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa YNS bin AK, dengan

menyerahkan terdakwa kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja dalam LP Anak Kutoarjo Kabupaten Purworejo

dan memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan.

Menyatakan barang bukti:

- 1 (satu) bungkus kertas Koran berisi GANJA seberat 6,103 gram,

- 1 (satu) buah plastik kecil transparan,

- 1 (satu) buah tas kulit warna hitam merk Heaner

Dirampas untuk dimusnahkan.

Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

2.500,00 (dua ribu lima ratus).

4. Putusan Pengadilan

a. Dasar Pertimbangan

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan keterangan

terdakwa yang saling bersesuaian, dihubungkan dengan alat bukti surat berupa

Berita Acara Laboratoris Kriminalistik dan barang bukti yang diajukan dalam

perkara ini, yang kemudian memunculkan fakta-fakta hukum dalam

persidangan;

Menimbang, bahwa dalam rumusan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengandung tiga unsur, yaitu:

1) Setiap Orang;

Menimbang, bahwa unsur “setiap orang” dalam perkara ini ditujukan

kepada orang perorangan atau siapa saja yang dapat menjadi subyek hukum

(Dader) dari tindak pidana, hal ini sesuai sebagaimana dari fakta-fakta

dipersidangan bahwa yang diajukan oleh penuntut umum sebagai terdakwa

dalam perkara ini adalah YNS bin AK, dan terdakwa tersebut

mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri

(pertanggungjawaban pribadi);

Menimbang, bahwa dipersidangan terdakwa tersebut telah

membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan penuntut

umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini benar ditujukan

kepada terdakwa tersebut di atas, sehingga tidak salah orang (error in

persona);

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut yang dimaksud

setiap orang adalah terdakwa YNS bin AK, dengan demikian unsur setiap

orang terpenuhi;

2) Secara Tanpa Hak Atau Melawan Hukum

Menimbang, bahwa secara tanpa hak atau melawan hukum ini oleh

beberapa penulis disebut dengan “Wederrechtelijk”. Suatu kajian dari

Lamintang yang ditulisnya pada buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia

(197:354) mengatakan kata-kata pengganti dalam bahasa Indonesia untuk

“Wederrechtelijk” adalah “tidak sah”, Perkataan “secara tidak sah” sudah

mencakup pengertian “bertentangan dengan hukum obyektif”. Sebagaimana

dikatakan Simons, Zevenbergen, Pompe, dan Van Hattum, juga mencakup

dengan pengertian “bertentangan dengan hak orang lain” (Noyon), serta

mencakup pengertian “tanpa hak yang ada pada diri seseorang” (Hoge Raad),

dan mencakup juga pengertian “tanpa kewenangan” (Hazewinkel Suringa);

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Akan tetapi penggunaannya dibatasi dimana menurut Pasal 8

ayat (2) bahwa dalam jumlah terbatas Narkotika Golongan I dapat digunakan

untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk regensia

diagnostik, serta regensia laboratorium setelah mendapat persetujuan Menteri

Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Adapun yang dimaksud dengan „untuk kepentingan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi‟ menurut penjelasan Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah penggunaan narkotika

terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk pendidikan,

pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan

oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan,

penyelidikan, penyidikan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Bambang Subroto,

SH. saksi Arif Hidayat, dan terdakwa serta Berita Acara Pemeriksaan

Laboratoris Kriminalistik, serta dikuatkan dengan adanya barang bukti

diperoleh fakta:

- Bahwa terdakwa saat sedang berboncengan sepeda motor dengan Agung

(DPO) pada hari Senin tanggal 2 Januari 2012 sekitar pukul 23.30 wib

bertempat di Jalan Raya Arcawinangun, Kelurahan Arcawinangun,

Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, ditangkap oleh

petugas dari kepolisian.

- Bahwa kemudian petugas kepolisian memerintahkan terdakwa untuk

membuka dan mengeluarkan isi tas kulit warna hitam merk Haener yang

dicangklongkan terdakwa tersebut yang ternyata terdakwa mengeluarkan

1(satu) bungkus kertas koran berisi ganja yang dibungkus lagi dengan

plastik transparan dan selanjutnya dilakukan penyitaan. Selanjutnya

berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Labotatoris Forensik Cabang

Semarang No. LAB : 31 / NNF / 2012, tanggal 11 April 2011, yang

dilakukan oleh Yayuk Murti Rahayu, B, Sc. GANJA seberat 6,103 gram

dalam plastik Nomor Barang Bukti BB- 0047/2012/NN mengandung

FOSITIF DERIFAT CANNABINOID dan terdaftar dalam golongan 1

(satu) nomor urut 08 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

- Bahwa terdakwa tidak memiliki ijin dalam menguasai narkotika/ganja

tersebut, terdakwa juga bukan seorang peneliti narkotika untuk

kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan juga tidak menjalani

rehabilitasi karena kecanduan;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut terdakwa dalam

menguasai narkotika golongan satu tersebut adalah tanpa hak atau melawan

hukum, dengan demikian unsur ini telah terpenuhi;

3) Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan narkotika golongan I

Menimbang, bahwa dalam unsur ini terdapat beberapa alternatif

perbuatan, oleh karena itu apabila salah satu perbuatan terpenuhi maka unsur

ke-3 tersebut harus dinyatakan terpenuhi;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan menurut

keterangan saksi Bambang Subroto, SH. saksi Arif Hidayat, Berita Acara

Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik, serta keterangan terdakwa yang

dikuatkan dengan adanya barang bukti, terungkap bahwa:

- Bahwa pada hari Senin tanggal 2 Januari 2012 Agung (DPO) datang ke

rumah terdakwa di Bukateja Purbalingga dan sekitar jam 20.30 wib

terdakwa diajak jalan-jalan oleh Agung (DPO) untuk menonton

pertunjukan wayang di Tidu, tetapi oleh Agung terdakwa dibawa ke

Purwokerto dan sekitar pukul 23.30 wib bertempat di Jalan Raya

Arcawinangun, Kelurahan Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto Timur,

Kabupaten Banyumas, terdakwa ditangkap oleh petugas dari kepolisian.

- Bahwa kemudian petugas kepolisian memerintahkan terdakwa untuk

membuka dan mengeluarkan isi tas kulit warna hitam merk Haener yang

dicangklongkan terdakwa tersebut yang ternyata terdakwa mengeluarkan

1(satu) bungkus kertas koran berisi ganja yang dibungkus lagi dengan

plastik transparan dan selanjutnya dilakukan penyitaan.

- Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Forensik

Cabang Semarang No. LAB : 31 / NNF / 2012, tanggal 11 April 2011,

yang dilakukan oleh Yayuk Murti Rahayu, B, Sc. GANJA seberat 6,103

gram dalam plastik Nomor Barang Bukti BB- 0047/2012/NN mengandung

FOSITIF DERIFAT CANNABINOID dan terdaftar dalam golongan 1

(satu) nomor urut 08 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut terdakwa telah

menguasai Narkotika Golongan I dengan demikian unsur ini telah terpenuhi;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut

semua unsur Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

dakwaan kedua penuntut umum telah terpenuhi dan berdasarkan alat bukti

yang ada berupa keterangan saksi-saksi dan terdakwa yang didukung dengan

barang bukti majelis hakim berkesimpulan kesalahan terdakwa telah terbukti

secara sah dan meyakinkan yaitu terdakwa telah melakukan tindak pidana

sebagaimana yang didakwakan kepadanya;

Menimbang, bahwa selanjutnya majelis hakim akan

mempertimbangkan apakah terhadap pribadi dan perbuatan terdakwa ada

alasan penghapus atau peniadaan pidana baik alasan pemaaf atau alasan

pembenar, sehingga berakibat dapat atau tidaknya terdakwa

mempertanggungjawabkan perbuatannya;

Menimbang, bahwa alasan pemaaf (schuld uitsluitings gronden) adalah

bersifat subyektif dan melekat pada diri terdakwa/pelaku, khususnya mengenai

sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat, dan telah diatur dalam Pasal

44 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49 ayat (2), dan Pasal 51 ayat (2) KUHP. Selama

proses persidangan majelis hakim tidak menemukan keadaan-keadaan

sebagaimana ketentuan pasal-pasal di atas, sehingga terdakwa dikategorikan

dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya;

Menimbang, bahwa tentang alasan pembenar (rechtvaardingungs

gronden) adalah bersifat obyektif dan melekat pada perbuatan atau hal-hal lain

diluar batin pembuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal 50,

dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak

menemukan fakta-fakta yang membuktikan adanya keadaan-keadaan yang

dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas, sehingga tidak

menghilangkan/menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa;

Menimbang, bahwa karena dipersidangan tidak ditemukan alasan -

alasan penghapus pidana terhadap terdakwa, maka terdakwa harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan telah terpenuhi syarat-syarat

penjatuhan pidana terhadap terdakwa;

Menimbang, bahwa dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika Pasal 111 ayat (1) mengenal ancaman pidana minimal khusus,

tetapi dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan apakah aturan tersebut

hanya dikenakan terhadap terdakwa orang dewasa atau juga untuk terdakwa

anak-anak;

Menimbang, bahwa dalam perkara a quo terdakwanya adalah anak-

anak dan untuk terdakwa anak-anak diatur dengan aturan khusus yaitu

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka

pengadilan dalam dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa akan

menggunakan aturan khusus tersebut.

Menimbang, bahwa berdasarkan hasil penelitian pemeriksaan

Pembimbing Kemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Kantor Wilayah Jawa Tengah Balai Pemasyarakatan Purwokerto dan

pembimbing kemasyarakatan berpendapat dan menyarankan agar terdakwa

YNS bin AK “Diputus dengan tindakan dikembalikan kepada orang tua atau

diputus dengan pidana bersyarat”;

Menimbang, bahwa selain sebagaimana diamanatkan Pasal 16 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pidana

penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir, dihubungkan pula dengan himbauan Mantan

Ketua Mahkamah RI, Prof Dr. Bagir Manan SH. MCL, pada tanggal 16 Juli

2007 pada pokoknya menghimbau para hakim untuk menghindari penahanan

pada anak dan mengutamakan putusan berupa tindakan dari pada penjara;

Menimbang, bahwa disamping itu anak sebagai pelaku tindak pidana

bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi anak sebagai pelaku juga sebagai

korban, dalam hal ini anak sebagai korban factor ekonomi (kemiskinan orang

tua), faktor lingkungan dan korban perhatian dari orang tua sehingga dapat

dikatakan anak melakukan perbuatan pidana bukanlah sebagai miniatur orang

dewasa, yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya. Namun

sekalipun anak sebagai pelaku tindak pidana harus dilindungi hak-haknya,

agar menjadi anak bangsa yang memiliki masa depan sebagai harapan bangsa;

Menimbang, bahwa sebelum pengadilan menjatuhkan hukuman kepada

terdakwa perlu Majelis mempertimbangkan hal yang memberatkan dan hal

yang meringankan hukuman bagi terdakwa tersebut:

Hal-hal yang memberatkan:

- Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam

pemberantasan dan penggunaan narkotika;

Hal-hal yang meringankan:

- Terdakwa bersikap sopan di persidangan;

- Terdakwa belum pernah dihukum dan masih berusia muda;

- Orang tua terdakwa masih sanggup mendidik terdakwa;

- Terdakwa akan melanjutkan pendidikan di pesantren.

Menimbang, bahwa dengan memperhatikan perbuatan terdakwa yang

terbukti di persidangan hanya menguasai bukan sebagai pemilik narkotika

tersebut, Laporan Pembimbing Kemasyarakatan, keterangan orang tua, saksi-

saksi yang meringankan terdakwa dan ihwal yang bermanfaat bagi terdakwa

serta hal-hal yang meringankan terdakwa, maka telah cukup adil apabila

putusan yang akan dijatuhkan adalah berupa tindakan sesuai dengan ketentuan

Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, yaitu terdakwa dikembalikan ke orang tua atas pengawasan

BAPAS demi kepentingan terbaik bagi terdakwa untuk tumbuh kembang di

bawah bimbingan langsung orang tua karena terdakwa masih membutuhkan

kasih sayang orang tuanya serta untuk mengantar terdakwa untuk tumbuh

kembang menuju masa depan yang baik;

b. Amar Putusan

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut akhirnya hakim

memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:

MENGADILI

a. Menyatakan terdakwa YNS bin AK telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak menguasai

Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”

b. Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa YNS bin AK tersebut dengan

menyerahkan terdakwa kepada orang tuanya di bawah pengawasan

BAPAS;

c. Menyatakan barang bukti berupa:

- 1 (satu) bungkus kertas koran berisi GANJA seberat 6,103 gram,

- 1 (satu) buah plastik kecil transparan,

- 1 (satu) buah tas kulit warna hitam merk Heaner

Dirampas untuk dimusnahkan.

d. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

2.500,00 (dua ribu lima ratus).

Demikianlah diputuskan dalam rapat pemusyawaratan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Purwokerto pada hari Senin tanggal 23 April 2012 terdiri

dari Abdulatip, S.H.,M.H., selaku Hakim Ketua Sidang Agus Tjahjo

Mahendra, S,H.,M.H., dan Budi Setyawan, S.H., masing-masing selaku

Hakim Anggota putusan mana diucapkan pada hari Kamis tanggal 26 April

2012 dalam sidang yang terbuka untuk umum, oleh Hakim Ketua Sidang

didampingi Hakim Anggota tersebut, dibantu Hariyanto, S.H., Panitera

Pengganti dan dihadiri Suprihartini, S.H., Penuntut Umum Kejaksaan Negeri

Purwokerto serta dihadiri oleh terdakwa didampingi orang tuanya dan

penasehat hukum.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Nomor

18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt., dihubungkan dengan data pustaka yang berkaitan

dengan permasalahan tersebut di atas, maka dapat dianalisis sebagai berikut:

1. Penerapan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan YNS bin AK.

Setiap apa yang dibuat manusia pasti mempunyai suatu tujuan tertentu

dan maksud dibuatnya. Begitupun adanya hukum acara pidana Indonesia yang

dituangkan dalam KUHAP. Tujuan dari hukum acara pidana dapat dilihat

dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri

Kehakiman60

yang dikutip oleh Ziad dalam diktatnya adalah sebagai berikut.

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,

ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana

dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan

60Ziad. 2005. Diktat Hukum Acara Pidana. Fakultas Hukum Unsoed: Purwokerto, hlm. 1.

apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah

orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”.

Tujuan tersebut diperoleh manakala penegak hukum mencari

kebenaran materiil yang dapat diperoleh dengan berbagai macam alat bukti

yang dihadirkan dipersidangan baik dari jaksa penuntut umum ataupun dari

penasehat hukum terdakwa. Pemeriksaan di pengadilan yang ditekankan pada

pembuktian yang dinilai oleh hakim mana yang lebih kuat sehingga

menimbulkan keyakinan hakim akan siapa yang benar dan siapa yang bersalah

dengan alat bukti tersebut.

Pendapat lain dari Van Bemmelen61

yang dikutip oleh Ziad dalam

diktatnya juga mengemukakan bahwa ia melukiskan hukum acara pidana

sebagai berikut:

“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang

diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang

pidana, yaitu sebagai berikut.

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran

2. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu.

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si

pembuat dan kalau perlu menahannya.

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran duna dilimpahkan kepada

hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.

5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan

yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan

pidana atau tindakan tata tertib.

6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.

7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan

tata tertib”.

Tujuan hukum pidana dan fungsi hukum acara pidana hampir sama

dan cenderung dicampuradukan karena pada prinsipnya sama untuk mencari

61ibid

kebenaran dan timbulnya perdamaian. Akan tetapi hakim dalam mencari

kebenaran materiil dibatasi oleh surat dakwaan jaksa, dan hakim tidak dapat

menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah

perbuatan yang didakwakan. Hakim hanya mengadili sejauh surat dakwaan

yang dikeluarkan oleh jaksa dan memutusnya dengan kebijakan hakim itu

sendiri dengan prinsip keadilan.

Tujuan acara pidana secara yuridis juga tercantum dalam KUHAP

yang merupakan kodifikasi undang-undang beracara pidana sehingga dapat

pula dimasukkan dalam tujuan acara pidana. Tujuan yang hendak dicapai

KUHAP dapat ditelaah dalam huruf c konsiderans, yang merumuskan:

“Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang

hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan

kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para

pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-

masing ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap

harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.

Landasan tujuan KUHAP menurut Yahya Harahap62

tersebut dapat

dijabarkan menjadi bebarapa hal mengenai tujuan KUHAP yaitu :

6. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat

Menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang

diberikan hukum atau undang-undang kepadanya serta apa kewajiban yang

dibebankan hukum kepada dirinya. Masyarakat yang tinggi kesadaran hak

dan kewajiban hukumnya tidak mudah dipermainkan dengan sewenang-

wenang oleh aparat penegak hukum.

62

Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan

dan Penuntutan Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 58-80.

7. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum

Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan :

d. Meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai

dengan fungsi dan wewenang masing-masing;

e. Peningkatan pembinaan profesionalisme; dan

f. Pembinaan peningkatan sikap mental.

8. Tegaknya hukum dan keadilan

Hukum dan keadilan ini bersifat relatif sehingga harus dilihat dari

aspek peraturan yang ada di Indonesia yaitu hukum dan keadilan yang

berlandaskan falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala

perundang-undangan yang ada, cara penegakan hukum dan keadilan

tersebut selengkapnya telah ditentukan pedoman tata cara prosedur dan

prinsip-prinsip hukum yang ditentukan KUHAP.

9. Melindungi harkat martabat manusia

Semua manusia adalah sama satu dengan yang lainnya mempunyai

harkat dan martabat kemanusiaan, sesuai dengan hak-hak asasi yang

melekat pada tiap diri manusia.

10. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum

Kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat yang

dituntun dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu

lintas pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan tertib dan lancar.

Untuk mewujudkan hukum acara pidana yang diinginkan diperlukan

suatu fungsi agar tujuan itu dapat terealisasi, karena tujuan itu masih belum

jelas dan abstrak maka dibutuhkan fungsi hukum acara pidana agar

pelaksanaannya punya kegunaan yang mendukung untuk mendapatkan tujuan

yang dinginkan.

Menurut Mardjono Reksodiputro63

, tujuan sistem peradilan pidana

dapat dirumuskan sebagai berikut :

d. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

e. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas, bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

dan

f. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan

tidak mengulagi lagi kejahatannya.

Untuk mencapai tujuannya, maka sistem peradilan pidana memiliki

desain prosedur (procedural design) yang ditata melalui KUHAP. Menurut

Mardjono Reksodiputro secara garis besar sistem peradilan pidana dibagi

menjadi tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap

prajudikasi (pre-judication), tahap sidang pengadilan atau tahap ajudikasi

(adjudication), dan tahap setelah pengadilan atau purnaajudikasi (post

adjudication).64

Menurut J. M. Van Bemmelen65

dalam bukunya (Leerboek van her

Nederlandse Straf Frocesrecht), menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok

acara pidana adalah:

4. Mencari dan menemukan kebenaran;

5. Pengambilan putusan oleh hakim; dan

6. Pelaksanaan dari putusan.

63

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/261081527.pdf, diakses tanggal 3 November

2011.

64

ibid

65

Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 8-9.

Ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran

karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah

menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti

itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat)

yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara

pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan awal, dan tujuan akhir

sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian,

keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Menurut Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan keputusan tersebut harus

berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan. Tujuan akhir hukum acara pidana

yang sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian,

keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Selaras dengan tujuan hukum acara pidana, Perlindungan anak

merupakan upaya, usaha atau cara untuk menciptakan kondisi agar setiap anak

dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik yang dilaksanakan

secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat bagi perkembangan pribadi

anak yang bersangkutan. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan

matinya inisiatif, kreativitas dan hal-hal lain yang menyebabkan

ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga

anak menjadi tidak memiliki kemampuan dan kemauan dalam menggunakan

hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Perlindungan anak dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.

Hal tersebut didukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal

3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang

mengatur tentang tujuan perlindungan anak yaitu:

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak

anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi

terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan

sejahtera”.

Kewajiban untuk menyelenggarakan perlindungan anak terdapat pada

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

yang merumuskan sebagai berikut:

“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan

perlindungan anak”.

Anak pada hakekatnya adalah potensi tumbuh kembang suatu bangsa

dimasa depan. Oleh sebab itu anak patut diberikan pembinaan dan

perlindungan secara khusus oleh negara dan undang-undang untuk menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk melaksanakan

pembinaan dan pemberian perlindungan tersebut diperlukan dukungan baik

yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang memadai,66

oleh karena itu anak yang melakukan kenakalan (tindak pidana) diperlukan

pengadilan anak yang secara khusus menangani kasus anak guna

menanggulangi kenakalan anak.

Untuk menanggulangi kenakalan anak, Pengadilan Anak memiliki

kriteria yang berbeda dibandingkan pengadilan biasa lainnya, yaitu;

d. Diatur didalam undang-undang secara khusus;

e. Merupakan tingkatan pengadilan di bawah Mahkamah Agung; dan

f. Adanya hakim khusus atau hakim ad hoc yang memeriksa sengketa

khusus.

Pengadilan Anak diatur secara khusus dengan peraturan undang-

undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak yang merupakan lex spesialis dirogat lex generalis

dari KUHAP, KUHP, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Dalam sejarah peradilan anak telah mengalami pergantian

peraturan. Peraturan yang pertama kali mengatur Pengadilan Anak adalah

KUHP Pasal 45, 46, dan 47 yang mengatur sebatas pada bentuk pemidanaan

terhadap anak yang melakukan tindak pidana, kemudian Mahkamah Agung

membuat Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 1959 tentang Saran Untuk Memeriksa Perkara Pidana Dengan Pintu

Tertutup Terhadap Anak-Anak Yang Menjadi Terdakwa, lalu Peraturan

Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M. 06-UM 01 Tahun 1983

66Darwan Prins. 2003. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm. 2.

tentang Tata Tertib Persidangan Anak, dan yang terakhir Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang akan diganti dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak yang akan berlaku 2014.

Bahwa dalam beracara di Pengadilan Anak, tata cara persidangan sama

dengan yang diatur dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 3 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, merumuskan bahwa:

“Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini”.

Sedangkan pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, merumuskan bahwa:

“Hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan

anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Dalam hal “ditentukan lain”, pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak yang membedakan dengan KUHAP yaitu

terdapat pada beberapa pasal pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak dan biasa disebut sebagai asas-asas dalam

Pengadilan Anak, yaitu:

a. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 4 ayat (1))

Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak

ditentukan secara limitatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan

maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin.

b. Ruang lingkup masalah dibatasi (Pasal 1 ayat (2))

Masalah yang dapat diperiksa dalam sidang Pengadilan Anak hanyalah

terbatas menyangkut perkara anak nakal.

c. Ditangani pejabat khusus (Pasal 1 ayat (5),(6), dan (7))

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan perkara anak nakal

harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti:

1) di tingkat penyidikan oleh penyidik anak

2) di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak

3) di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak , dan hakim kasasi

anak.

d. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1 ayat (11))

Undang-undang pengadilan anak mengakui peranan dari:

1) Pembimbing kemasyarakatan

2) Pekerja sosial, dan

3) Pekerja sosial sukarela

e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42 ayat (1))

Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana

kekeluargaan. Oleh karena itu hakim, penuntut umum, dan penasehat

hukum tidak memakai toga.

f. Keharusan Splitsing (Pasal 7)

Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang

berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana

bersama dengan orang dewasa, maka si anak diadili dalam sidang

Pengadilan Anak. Sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa,

atau apabila berstatus militer di Pengadilan Militer.

g. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat (1))

Acara pemeriksaan di sidang Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup.

Ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan

dalam sidang yang terbuka untuk umum.

h. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14, dan 18)

Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan negeri,

banding, dan atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.

i. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampai dengan Pasal 49)

Masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa penahanan

menurut KUHAP.

j. Hukuman lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan Pasal 32)

Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dari

ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal

adalah 10 (sepuluh) tahun.

Perlakuan khusus terhadap anak nakal atau anak yang berkonflik

dengan hukum, yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Hal

itu bukan berarti penyimpangan dari prinsip equality before the law.

Ketentuan demikian dalam kerangka menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan

seimbang bagi anak.67

67Bambang Waluyo. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 4.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, merumuskan bahwa:

“Dalam perkara anak nakal penuntut umum, penasihat hukum,

pembimbing kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh dan

saksi, wajib hadir dalam sidang anak.”

Dilihat dari Pasal 55 tersebut di atas, persidangan terhadap anak wajib dihadiri

a. penuntut umum

Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi

wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang

disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga

jaksa.

Undang-undang kita membedakan pengertian antara jaksa dengan

penuntut umum yaitu pada ketentuan umum Pasal 1 angka 6 KUHAP yang

menegaskan bahwa:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk bertindak sebagai penuntut umum……

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk melakukan penuntutan…….”

Penuntutan itu sendiri adalah kegiatan melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan. Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut

umum sebagai monopoli, artinya tidak ada badan lain yang boleh

melakukan penuntutan. Hal ini disebut (dominus litis) di tangan penuntut

umum atau jaksa. (Dominus) berasal dari bahasa latin yang artinya

pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya.

Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.

Penuntut umum anak ditetapkan berdasarkan surat keputusan Jaksa

Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung terhadap

penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana

orang dewasa yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami

masalah anak.

b. penasihat hukum

Di dalam hukum acara pidana terdapat asas-asas hukum acara

pidana yang digunakan sebagai pedoman dalam penegakan hukum acara

pidana, salah satunya yaitu Tersangka/terdakwa Berhak Mendapat

Bantuan Hukum Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan

Pasal 74 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum, dimana

tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu

antara lain sebagai berikut:

g. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau

ditahan;

h. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;

i. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua

tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;

j. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh

penyidik atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut

keamanan negara;

k. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum

guna kepentingan pembelaan; dan

l. Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari

tersangka/terdakwa.

Menurut Andi Hamzah68

yang dikutip dalam bukunya

berpendapat sebagai berikut:

“Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum

menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan

kelonggaran-kelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata,

bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang

disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan

hukum secara merata.”

Sebagaimana menurut Adnan Buyung Nasution69

, sebagaimana

dikutip dalam buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:

“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah

banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya

bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi,

disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna

huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang buruk”.

c. pembimbing kemasyarakatan

Pengertian pembimbing kemasyarakatan dalam Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, disebutkan dalam Pasal 1

angka 11 yang merumuskan sebagai berikut:

“Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan

pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga

Binaan Pemasyarakatan”.

Tugas dari pembimbing kemasyarakatan diatur dalam Pasal 34 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang

merumuskan sebagai berikut:

68

Andi Hamzah, op. cit, hlm. 24. 69

ibid.

a. membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum, dan

Hakim dalam perkara Anak Nakal, baik di dalam maupun di

luar Sidang Anak dengan membuat laporan hasil penelitian

kemasyarakatan;

b. membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang

berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat,

pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara

dan harus mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh

pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.

Ditinjau dari aspek yuridis dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak maka pembimbing kemasyarakatan

tersebut adalah petugas kemasyarakatan pada balai kemasyarakatan yang

melakukan bimbingan warga binaan pemasyarakatan. Sedangkan

pengertian “balai pemasyarakatan” merupakan pranata untuk

melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan yakni seorang yang berada

dalam Balai Pemasyarakatan/BAPAS sedangkan makna “warga binaan

pemasyarakatan” adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien

pemasyarakatan.70

Bahwa kewajiban pembimbing kemasyarakatan berkaitan dengan

Pasal 34 ayat (1) huruf a, yakni membuat laporan hasil penelitian

kemasyarakatan yang secara teoritik berdasarkan Pasal 56 ayat (2) huruf a

dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

bahwa laporan penelitian kemasyarakatan ini berisikan tentang hal-hal

sebagai berikut:

1) Data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial

2) Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan

70Pasal 1 angka 4, 5, 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

d. orang tua, wali atau orang tua asuh

Orangtua adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui

hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, orangtua memiliki peranan

yang sangat penting dalam membesarkan anak dan panggilan ibu/ayah

dapat diberikan untuk perempuan/pria yang bukan orangtua kandung

(biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya adalah

pada orangtua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis anak)

dan ayah tiri (suami ibu biologis anak).

Menurut Thamrin Nasution71

“Orang tua merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam

suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan

sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu”.

Jika menurut Hurlock72

“Orangtua sendiri merupakan orang dewasa yang membawa anak

ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan”.

Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke

kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat

membantu anak dalam menjalani kehidupan. Dalam memberikan

bimbingan dan pengarahan pada anak akan berbeda pada masing-masing

orangtua kerena setiap keluarga memiliki kondisi-kondisi tertentu yang

berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang satu dengan keluarga

yang lain.

Bahwa keempat unsur tersebut merupakan keharusan dalam proses

pemeriksaan sidang anak nakal atau anak yang berkonflik dengan hukum.

71http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua. diakses tanggal 6 Juli 2013.

72

ibid

Meskipun pada prinsipnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah

tanggung jawab anak itu sendiri. Tetapi karena terdakwa adalah anak, maka

tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh,

pembimbing kemasyarakatan, penasehat hukum dan penuntut umum.

Kehadiran penuntut umum, pembimbing kemasyarakatan, orang tua,

wali atau orang tua asuh dan penasehat hukum bertujuan agar dalam setiap

tingkatan pemeriksaan anak tercipta suasana kekeluargaan dan tanpa adanya

suatu paksaan terhadap terdakwa anak. Hal tersebut merupakan perintah yang

diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

dalam Pasal 42 ayat (1) yang merumuskan sebagai berikut:

“Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan”.

Bahwa dalam setiap pengambilan putusan terhadap anak nakal, hakim

wajib mempertimbangkan mengenai anjuran dari pembimbing

kemasyarakatan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam

penjelasan Pasal 25, yang merumuskan sebagai berikut:

“Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan

kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau

kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping

itu hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah

tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota

keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, hakim wajib

memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan”.

Setiap pemeriksaan sidang pengadilan, YNS bin AK hanya didampingi

oleh penuntut umum, pembimbing kemasyarakatan, penasehat hukum dan

saksi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan berita acara sidang dalam Putusan

Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. Sehingga

proses pemeriksaan sidang pengadilan anak terhadap terdakwa YNS bin AK

belum memenuhi ketentuan yang diatur Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dimana orang tua terdakwa tidak ikut

mendampingi terdakwa YNS bin AK.

2. Pertimbangan hukum hakim yang mengembalikan terdakwa kepada orang

tuanya di bawah pengawasan BAPAS dalam Putusan Pengadilan Negeri

Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

Sebagaimana diketahui penegakan hukum merupakan salah satu usaha

untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat,

baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau

penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Apabila undang-undang

yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para

penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah dan pandangan hidup

bangsa kita, sudah barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai

sasarannya.

Istilah hukum acara pidana jarang sekali diperkenalkan secara umum.

hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit dan

menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu

pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana

lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap

terhadap hukum pidana materiil. Hukum acara pidana memiliki ruang lingkup

yang sempit yaitu hanya mulai dari mencari kebenaran, penyelidikan

penyidikan, penuntutan, pengadilan dan berakhir pada pelaksanaan pidana

(eksekusi). Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana.

Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.

Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,

maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat

cara-cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara

dengan mengadakan hukum pidana.73

Istilah pidana sendiri adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu

nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik ini.

Dengan demikian, pemidanaan adalah pemberian nestapa yang dengan sengaja

dilakukan oleh negara kepada pembuat delik.74

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak

menjelaskan pengertian hukum acara pidana, melainkan hanya memberikan

beberapa definisi yang merupakan bagian hukum acara pidana seperti

penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya

hukum, penyitaan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain yang semuanya

merupakan satu kesatuan dalam proses berlakunya hukum acara pidana.

Hukum acara pidana menurut Van Bemmelen75

sebagaimana dikutip dalam

bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:

“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang

diciptakan oleh negara karena adanya pelanggaran undang-undang

pidana, yaitu sebagai berikut.

8. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran

73

Andi Hamzah, op. cit, hlm. 7. 74

A. Hamzah dan Siti Rahayu. 2000. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di

Indonesia. Akademika Pressindo: Jakarta, hlm. 24.

75

Andi Hamzah, op.cit. hlm. 6.

9. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu

10. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengungkap si

pembuat dan kalau perlu menahannya

11. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran dan dilimpahkan kepada

hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut

12. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan

yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan

pidana atau tindakan tata tertib

13. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut

14. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan

tata tertib.

Pengertian diatas lebih mengedepankan adanya tahapan tahapan dalam

beracara pidana poin satu sampai empat menunjukkan tahap

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga batas antara

penyidikan dan penuntutan menjadi kabur. Kelima menunjukkan

adanya pemeriksaan dan putusan hakim dilanjutkan dengan upaya

hukum yang dapat ditempuh pada poin enam dan ke tujuh merupakan

eksekusi dari putusan hakim yang dilaksanakan oleh jaksa”.

Polisi, jaksa, hakim tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana,

tetapi harus berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu KUHAP dan

perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

yang mengandung ketentuan acara pidana yang menyimpang. Menyangkut

dengan kaitan antara KUHAP sebagai lex generalis dan acara pidana dalam

perundang-undangan diluar KUHP itu sebagai lex specialis. Maka KUHAP

juga terdapat pasal khusus mengenai ketentuan yang berbunyi: “KUHAP

berlaku juga sebagai hukum acara bagi perundang-undangan pidana diluar

KUHP kecuali bagi perundang-undangan pidana diluar KUHP kecuali

undang-undang yang bersangkutan menyimpang.76

Menurut D. Simons77

sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi

Hamzah menyebutkan mengenai hukum acara pidana adalah sebagai berikut:

76

Ibid., hlm. 2. 77

Ibid., hlm. 4.

“Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang

bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk

memidanakan dan menjatuhkan pidana”.

Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap

dan tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena

merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya

saja. Dan Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut

dapat ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai dengan poin 4

adalah tahap penyelidikan, dan penuntutan. Oleh karena itu, batas penyidikan

dan penuntutan menjadi kabur, karena memang kita dapat menggolongkan

Van Bammelen pada golongan pakar yang memandang penyidikan sebagai

bagian penuntutan dalam arti luas. Terlihat yang jelas terpisah adalah

pemeriksaan dan putusan hakim yang disebutkan pada poin 5. Begitu pula

upaya hukum yang disebutkan pada poin 6 dan eksekusi pada poin 7. Adapun

peninjauan kembali (herzeining) adalah hal khusus yang merupakan upaya

hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan pidana yang

normal.

Perlu dilihat lagi juga pengertian tentang hukum acara pidana yang

diberikan oleh pakar Indonesia, diambil dari sarjana senior yaitu Wirjono

Prodjodikoro, yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Agung.

Sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara

pidana menurut Wirjono Prodjodikoro78

adalah sebagai berikut:

“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,

maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara

bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,

78

Ibid., hlm. 7.

kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan

negara dengan mengadakan hukum pidana”.

Pengertian tersebut jelas sangat menggantungkan fungsi hukum acara

pidana pada menjalankan hukum pidana materiil. Dapat dijabarkan bahwa

tujuan negara dalam menciptakan hukum pidana materiil yaitu tata tertib,

aman, sejahtera, dan damai dalam masyarakat.

Proses beracara di pengadilan khususnya acara pidana terdapat

beberapa pihak, diantaranya hakim sebagai juri, jaksa sebagai penuntut umum

sekaligus melaksanakan putusan pengadilan dan terdakwa.79

Sistem yang

saling berhadapan antara penuntut umum dengan terdakwa disebut sistem

pemeriksaan akusatur yang saat ini sedang diterapkan di Indonesia,

sebelumnya di Indonesia menggunakan sistem pemeriksaan inkuisitor dimana

hakim dan penuntut umum berada di pihak yang sama.80

Sistem akusatur ini pihak yang saling berhadapan yaitu terdakwa

dengan penuntut umum. Terdakwa didampingi penasehat hukum, sedangkan

di pihak lain terdapat penuntut umum atas nama negara melaksanakan

tuntutan pidana. Di belakang penuntut umum ini terdapat polisi yang memberi

data tentang hasil penyidikan.81

Dianutnya sistem akusatur ini diharapkan proses pemeriksaan sidang

pengadilan terhadap terdakwa menjadi seimbang dimana hakim berposisi

netral dalam menilai argument dan alat bukti masing-masing pihak. Dalam

pemeriksaan dengan sistem akusatur ini hakim memposisikan dirinya sebagai

79

Al Wisnubroto. 2009. Teknis Persidangan Pidana. Universitas Atma Jaya: Yogyakarta,

hlm. 7.

80

Andi Hamzah, op.cit. hlm.64.

81

ibid

juri atau penilai, sehingga dalam proses persidangan hakim tidak boleh

bertanya kepada terdakwa. Dengan demikian sistem pemeriksaan akusatur

akan lebih menjamin perlindungan terdakwa dalam proses pemeriksaan sidang

pengadilan.

Pengertian mengenai terdakwa sendiri berdasarkan Pasal 1 ayat (15)

KUHAP merumuskan bahwa:

“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan

diadili di sidang pengadilan”.

Namun dalam (Wetboek van Strafvordering) pengertian tersangka

dengan terdakwa hanya dikenal dengan satu istilah yaitu (Verdachte) tanpa

dibedakan lebih khusus seperti halnya dalam KUHAP yang membedakan

pengertiannya. Dalam (Wetboek van Strafvordering) pengertian (Verdachte)

hanya dibagi dalam (Verdachte) sebelum penuntutan dan sesudah penuntutan,

sehingga (Verdachte) sesudah penuntutan inilah dalam KUHAP kita diartikan

sebagai terdakwa.82

Istilah yang digunakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana

di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

yaitu anak nakal sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggunakan istilah anak yang

berkonflik dengan hukum. Anak nakal sebelum proses persidangan disebut

“tersangka” yaitu anak yang berkonflik dengan hukum dalam tingkatan

pemeriksaan penyidikan. Sedangkan dalam proses pemeriksaan sidang

82Ibid., hlm. 65.

pengadilan disebut “terdakwa”.83

Dalam pemeriksaan sidang pengadilan bagi

anak dibedakan dengan pemeriksaan sidang pengadilan dengan terdakwa

orang dewasa, yaitu terhadap perkara anak nakal dilakukan didalam

pengadilan khusus yaitu Pengadilan Anak.

Pengadilan Anak diatur secara khusus dengan peraturan undang-

undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak. Sebagai salah satu lembaga hukum, maka peradilan

anak merupakan lembaga yang menjamin kepentingan anak nakal. Karena

misi hukum mempertahankan kedamaian di antara manusia dan sekaligus

melindungi kepentingan manusia,84

dalam hal ini anak nakal atau anak yang

berkonflik dengan hukum.

Pengertian Pengadilan Anak pada Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat pada Pasal 2 yang

merumuskan sebagai berikut;

“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada

di lingkungan Peradilan Umum”.

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, pengertian Pengadilan Anak tidak disebutkan, sehingga

pengertian Pengadilan Anak menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak.

83

Lilik Mulyadi. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan

Permasalahannya. Mandar Maju: Bandung, hlm. 27.

84

Muderis Zaini. 2006. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika:

Jakarta, hlm. 20.

Encyclopedia Americana85

yang di kutip dalam bukunya Agung

Wahyono dan Siti Rahayu menyebutkan bahwa:

“Peradilan anak adalah pusat dari mekanisme perlakuan bagi penjahat-

penjahat muda, anak-anak nakal dan anak-anak terlantar”.

Sedangkan Soedarto86

dalam ceramahnya yang dikutip dalam bukunya Agung

Wahyono dan Siti Rahayu menyebutkan bahwa:

“Peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan

perkara yang menyangkut kepentingan anak”.

Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (juvenile justice)

sendiri tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi

anak pelaku tindak pidana. Tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran

bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan

kesejahteraan anak pelaku tindak pidana.87

Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak secara nasional, tidak

melepaskan pada tujuan perlindungan individu anak yang bersangkutan.

Penggunaan sistem peradilan pidana anak saat ini di Indonesia, bertumpu

berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak. Di dalam

konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

merumuskan mengenai tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak, yaitu:

“Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia,

untuk pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu

agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,

dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang”.

85Agung Wahyono dan Siti Rahayu. 2000. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di

Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, hlm. 6.

86

Ibid., hlm. 7.

87

Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan

Pidana Anak Di Indonesia. Genta Publishing: Yogyakarta, hlm. 1.

Perlindungan hukum terhadap anak dalam hukum adat berdasarkan

ketentuan-ketentuan di luar peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam

hukum adat terdapat ketentuan perlindungan hukum terhadap anak erat

kaitannya dengan bidang kekerabatan atau kekeluargaan adat dan bidang

hukum waris adat, terutama yang masih menganut struktur tradisional

masyarakat hukum adat setempat.88

Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ialah pidana pokok

dan pidana tambahan. Dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pidana pokok yang dapat dijatuhkan

anak nakal adalah:

e. Pidana penjara

f. Pidana kurungan

g.Pidana denda

h.Pidana pengawasan

Sedangkan pidana tambahan dalam Pasal 23 ayat (3) berupa perampasan

barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

Terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana, selain pidana

pokok seperti yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hakim juga dapat

memberikan tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sebagaimana

88Endang Sumiarni dan Chandra Halim. 2000. Perlindungan hukum terhadap anak dalam

hukum keluarga. Universita Atma Jaya: Yogyakarta, hlm. 1.

dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, yaitu berupa tindakan:

d. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

e. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja; atau

f. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.

Penjatuhan pidana terhadap anak nakal bukan semata-mata sebagai

pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan

pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana

sendiri agar menjadi insaf dan dapat kembali ke masyarakat.89

Hal tersebut sejalan dengan apa yang diamanatkan dengan Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 66

ayat (1), yang merumuskan sebagai berikut:

“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran

penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak

manusiawi”.

Hal tersebut bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 16 ayat (1) yang merumuskan hal

serupa.

Pemidanaan terhadap terdakwa anak, hakim dalam menjatuhkan

pidana harus menghindari pidana berupa perampasan kemerdekaan, karena

akan mengganggu tumbuh kembang anak dalam proses menuju kedewasaan.

89Bambang Waluyo, op. cit, hlm. 3.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dalam Pasal 66 ayat (4), yang merumuskan sebagai berikut:

“Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh

dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilaksanakan sebagai upaya terakhir”.

Hal tersebut bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 16 ayat (3) yang merumuskan hal

serupa.

Serta dalam menjatuhkan putusan, hakim haruslah berpedoman pada

anjuran dari pembimbing kemasyarakatan. Hal ini didasarkan pada dasar

hukum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

dalam Pasal 59 ayat (2), yang merumuskan sebagai berikut:

“Sebelum mengucapkan putusannya, hakim wajib mempertimbangkan

laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan”.

Ketika Terdakwa YNS bin AK melakukan tindak Pidana dan ketika

pemeriksaan sidang pengadilan, status terdakwa masih berumur 16 (enam

belas) tahun. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa:

“Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah

sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Sehingga dalam hal ini kewenangan pengadilan yang berhak mengadili YNS

bin AK adalah Pengadilan Anak, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4

ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

YNS bin AK didakwa secara alternatif melanggar Pasal 114 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, yaitu tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan Narkotika Golongan I atau melanggar Pasal 111 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, yaitu tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,

memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I

dalam bentuk tanaman.

Majelis Hakim yang diketuai oleh Abdullatif, S.H., M.H., dalam

proses pemeriksaan sidang pengadilan mengadili dalam amar putusan yang

pertama menyatakan terdakwa YNS bin AK telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika Pasal 111 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:

a. setiap orang

b. secara tanpa hak atau melawan hukum

c. unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan narkotika golongan I

Amar putusannya yang kedua hakim menjatuhkan pidana kepada

terdakwa YNS bin AK berupa tindakan menyerahkan terdakwa kepada orang

tuanya di bawah pengawasan BAPAS, dengan dasar pertimbangan:

a. Amanat Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak bahwa pidana penjara hanya dapat

dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan

sebagai upaya terakhir.

b. Himbauan Mantan Ketua Mahkamah Agung RI, Prof Dr. Bagir Manan

SH. MCL, pada tanggal 16 Juli 2007 pada pokoknya menghimbau para

hakim untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan

putusan berupa tindakan dari pada penjara.

c. Fakta nyata dilapangan mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana

merupakan korban faktor ekonomi (kemiskinan orang tua), faktor

lingkungan dan kurangnya perhatian dari orang tua sehingga dapat

dikatakan anak melakukan perbuatan pidana bukanlah sebagai miniatur

orang dewasa, yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas

perbuatannya. Namun sekalipun anak sebagai pelaku tindak pidana

harus dilindungi hak-haknya, agar menjadi anak bangsa yang memiliki

masa depan sebagai harapan bangsa.

d. Kesanggupan orang tua terdakwa YNS bin AK untuk dapat mendidik

anaknya dengan lebih baik.

e. Perbuatan terdakwa yang terbukti di persidangan hanya menguasai

bukan sebagai pemilik narkotika tersebut.

f. Dan pertimbangkan hal yang memberatkan dan hal yang meringankan

hukuman bagi terdakwa tersebut.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt,

maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:

1. Penerapan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan YNS bin

AK.

Proses pemeriksaan sidang pengadilan dengan terdakwa YNS bin

AK belum memenuhi penerapan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dimana orang tua terdakwa tidak

ikut mendampingi terdakwa YNS bin AK. Bahwa dalam setiap

pemeriksaan sidang pengadilan terdakwa YNS bin AK hanya didampingi

oleh:

a. penuntut umum;

b. penasehat hukum;

c. pembimbing kemasyarakatan; dan

d. saksi.

2. Pertimbangan hukum hakim yang mengembalikan terdakwa kepada orang

tuanya di bawah pengawasan BAPAS dalam Putusan Pengadilan Negeri

Purwokerto Nomor 18/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.

a. Amanat Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak bahwa pidana penjara hanya dapat

dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan

sebagai upaya terakhir.

b. Himbauan Mantan Ketua Mahkamah Agung RI, Prof Dr. Bagir Manan

SH. MCL, pada tanggal 16 Juli 2007 pada pokoknya menghimbau para

hakim untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan

putusan berupa tindakan dari pada penjara.

c. Fakta nyata dilapangan mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana

merupakan korban faktor ekonomi (kemiskinan orang tua), faktor

lingkungan dan kurangnya perhatian dari orang tua sehingga dapat

dikatakan anak melakukan perbuatan pidana bukanlah sebagai miniatur

orang dewasa, yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas

perbuatannya. Namun sekalipun anak sebagai pelaku tindak pidana

harus dilindungi hak-haknya, agar menjadi anak bangsa yang memiliki

masa depan sebagai harapan bangsa.

d. Kesanggupan orang tua terdakwa YNS bin AK untuk dapat mendidik

anaknya dengan lebih baik.

e. Perbuatan terdakwa yang terbukti di persidangan hanya menguasai

bukan sebagai pemilik narkotika tersebut.

f. Dan pertimbangkan hal yang memberatkan dan hal yang meringankan

hukuman bagi terdakwa tersebut.

B. Saran

1. Dalam pemeriksaan perkara anak nakal atau anak pelaku tindak pidana;

a. penuntut umum;

b. pembimbing kemasyarakatan;

c. orang tua, wali atau orang tua asuh;

d. penasehat hukum; dan

e. saksi.

Wajib hadir dalam pemeriksaan sidang pengadilan.

2. Bahwa hakim dalam memutus suatu perkara anak nakal atau anak pelaku

tindak pidana, haruslah benar-benar melihat dari berbagai sisi atau sudut

pandang yang menyeluruh dalam diri terdakwa anak tersebut, seperti motif

anak melakukan tindak pidana, tingkat pendidikan, ekonomi keluarga,

kondisi lingkungan dan juga hakim haruslah dapat melihat kondisi yang

terbaik bagi si anak, keluarga si anak dan lingkungan si anak dalam

mengambil tindakan hukum bagi anak pelaku tindak pidana. Jangan

sampai dalam tindakan atau putusan hakim mengakibatkan hilangnya

masa depan anak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Al Faruk, Asadulloh. 2009. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Ghalia

Indonesia: Bogor.

Amirudin, Asikin, H. Zainal. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT

Radja Grafindo Persada: Jakarta.

Hamzah, Andi. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Sinar

Grafika: Jakarta.

Hamzah, A dan Siti Rahayu. 2000. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di

Indonesia. Akademika Pressindo: Jakarta.

Harahap, Yahya. 2007. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali

Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta.

______________. 2008. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta.

Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang. 2010. Pembaharuan Kuhap Menurut Ilmu

Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Sinar Grafika: Jakarta.

Lemek, Jeremias. 2007. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap

Penegakan Hukum di Indonesia. Galangpress: Jakarta.

Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril, 2004. Hukum Acara Pidana Dalam

Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia: Jakarta.

Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan

Permasalahannya. Mandar Maju: Denpasar.

Prins, Darwan. 2003. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya bakti: Medan.

Soerjono, Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. PT.

RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Sumiarni, Endang dan Chandra Halim. 2000. Perlindungan Hukum Terhadap

Anak dalam Hukum Keluarga. Universitas Atma Jaya: Yogyakarta.

Sumiarni, Endang. 2003. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam hukum

Pidana. Universitas Atma Jaya: Yogyakarta.

Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem

Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Genta Publishing: Yogyakarta.

Wahyono, Agung dan Siti Rahayu. 2000. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di

Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.

Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika: Jakarta.

Wisnubroto, Al. 2009. Teknis Persidangan Pidana. Universitas Atma Jaya:

Yogyakarta.

Zaini, Muderis. 2006. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar

Grafika: Jakarta.

Ziad. 2005. Diktat Hukum Acara Pidana. Fakultas Hukum Unsoed: Purwokerto.

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum

Pidana

________,Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan

________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

________,Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

________,Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

________,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

________,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

________,Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia

________,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

________,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

C. Jurnal, Majalah, dan Risalah

Meli Linda Juliana. 2004. Hak Terdakwa Anak Dalam Memperoleh Bantuan

Hukum (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri No.

15/Pid.B.AN/2001/PN.Tsm). Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman: Purwokerto.

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/261081527.pdf, diakses tanggal 3

November 2011.

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/kanwil/all/year/2012/mont

h/12, diakses pada tanggal 29 September 2012.

http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua, diakses tanggal 6 Juli 2013.

D. Sumber Lain

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 18/Pid,Sus/2012/PN.Pwt.