SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

39
TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH LINGKUNGAN TANAMAN PAKAN DOSEN PENGAMPU : Dr. Ir. KARNO, MAppl.Sc PENGEMBANGAN SILVOPASTURA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN HIJAUAN PAKAN TERNAK SANYOTO WAHONO NIM. 23010112410045 (Kelas A) SEMESTER II MAGISTER ILMU TERNAK

Transcript of SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

Page 1: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

TUGAS INDIVIDUMATA KULIAH

LINGKUNGAN TANAMAN PAKAN

DOSEN PENGAMPU : Dr. Ir. KARNO, MAppl.Sc

PENGEMBANGAN SILVOPASTURA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN HIJAUAN PAKAN TERNAK

SANYOTO WAHONONIM. 23010112410045

(Kelas A)

SEMESTER II

MAGISTER ILMU TERNAKFAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIANUNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2013

Page 2: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

PENDAHULUAN

Pada suatu usaha peternakan terutama ternak ruminansia, permasalahan

utama dalam pengembangan utama yang dihadapi adalah penyediaan pakan

hijauan yang mencukupi sesuai dengan jumlah ternak yang dipelihara. Sebenarnya

ini merupakan masalah klasik, kurangnya ketidaktersediaan hijauan pakan

disebabkan karena tidak adanya lahan untuk penanaman hijauan pakan. Luas

kepemilikan lahan pertanian oleh peternak skala rumah tangga yang banyak

terdapat di Indonesia, hanya mengusahakan pakan seadanya dari lingkungan

sekitar seperti di pinggiran sawah, kebun, pekarangan rumah, maupun rumput-

rumput liar yang tumbuh di pinggir jalan. Kepemilikan lahan yang tidak luas

menjadikan adanya persaingan dengan kebutuhan lain manusia, seperti

pemukiman dan penanaman tanaman pangan, membuat peruntukan lahan bagi

peternakan tidak dipikirkan/diprioritaskan. Keterbatasan lahan merupakan

masalah umum dalam pengembangan ternak ruminansia untuk penanaman hijauan

pakan, padahal lahan merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem

bioindustri peternakan bersama komponen lainnya seperti peternak, ternak, dan

teknologi.

Walaupun begitu, bukan berarti tidak sama sekali tidak tersedia lahan yang

dapat digunakan untuk pengembangan peternakan. Pada dasarnya kegiatan usaha

peternakan dapat menjadi bagian dari program-program pemanfaatan lahan dari

sektor-sektor lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan,

transmigrasi, dan peningkatan desa tertinggal (Soehadji, 1994), sehingga kegiatan

di sektor-sektor tersebut dapat dipadukan dan diintegrasikan dengan kegiatan

peternakan menjadi suatu usaha tani yang terpadu.

Salah satu sistem pengelolaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

produktivitas ternak adalah dengan melakukan sistem pertanaman campuran atau

integrasi ternak dengan tanaman. Penyediaan hijauan pakan untuk ternak

rumnansia banyak berasal dari lahan-lahan yang lain yang terintegrasi dengan

peternakan. Salah satu peluang integrasi yang dapat dikembangkan untuk

pengembangan sapi perah adalah integrasi dengan kehutanan. Hutan-hutan

Page 3: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

produki yang berada di daerah dataran tinggi dapat digunakan sebagai tempat

untuk menanam hijuan pakan. Konsep ini dikenal dengan sistem silvopastoral.

Sistem silvopastoral diharapkan dapat memberikan manfaat secara ekonomi,

sosial, lingkungan, dan dapat memberikan kesejahteran bagi masyarakat terutama

masyarakat sekitar hutan.

Pada tulisan ini akan dibahas konsep silvopastoral dan pemanfaatan dalam

pengembangan usaha peternakan berupa penyediaan hijauan pakan ternak sebagai

suatu sistem integrasi tanaman kehutanan-ternak yang juga dapat menjaga

kelestarian hutan.

Page 4: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

PEMBAHASAN

Pengertian Agroforestri

Agroforestri adalah suatu sistem tata guna lahan berkelanjutan yang

mempertahankan atau meningkatkan hasil total dengan mengkombinasikan

tanaman pangan (annual) dengan tanaman pohon (parennial) atau peternakan

dalam unit lahan yang sama pada waktu yang bergantian atau pada waktu yang

sama dengan melakukan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik sosial,

budaya penduduk setempat dan kondisi ekonomi, serta ekologi area (Vergara,

1982). Young (1989) mengatakan bahwa agroforestri adalah gabungan nama

untuk sistem tata guna lahan yang didalamnya terdapat tanaman perennial

berkayu (pohon, semak) yang tumbuh bersama-sama dengan tanaman herbaceous

(tanaman pangan, padang rumput) atau peternakan dan didalamnya terdapat

interaksi ekologi dan ekonomi antara komponen pohon dengan komponen bukan

pohon. Nair (1991) mendefinisikan agroforestri adalah sistem penggunaan lahan

terpadu yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau

hewan ternak secara bersama-sama atau bergiliran untuk menghasilkan produk

terpadu.

Agroforestri dapat diklasifikasikan berdasarkan pada berbagai aspek sesuai

dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan

untuk menunjukkan kompleksitas agroroforestri dibandingkan budidaya tunggal

(monoculture; baik di sektor kehutanan atau di sektor pertanian).

Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap

bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih

mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau

para pemilik lahan. Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen

kehutanan, pertanian, atau peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri

dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Page 5: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

1) agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems) adalah sistem agroforestri yang

mengkombinasikan komponen kehutanan (tanaman berkayu/ woody plants)

dengan komponen pertanian (tanaman non-kayu);

2) silvopastura (Silvopastural systems) adalah sistem agroforestri yang meliputi

komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan

(binatang ternak/ pasture) disebut sebagai sistem silvopastura;

3) agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems) adalah pengkombinasian

komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus

peternakan (binatang) pada unit manajemen lahan yang sama.

Silvopastura

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.49/Menhut II/2008,

kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh

Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, hutan negara

adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah,

sedangkan hutan desa merupakan hutan negara yang dikelola oleh desa dan

dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani ijin/hak. Pengertian

dari pada desa itu sendiri merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui

dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan pengembangan hutan desa diharapkan desa – desa yang sebagian

besar wilayahnya adalah kawasan hutan dapat menghasilkan pendapatan asli desa

untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Secara umum hutan desa

merupakan hutan negara yang berada di dalam wilayah  suatu desa, dimanfaatkan

oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Tanpa adanya upaya

peningkatan kualitas ataupun bentuk pelestarian dari hutan desa tersebut maka

hutan tersebut tidak memberikan arti yang lebih bagi masyarakat

sekitar.  Pemanfaatan kawasan pada hutan antara lain melalui beberapa kegiatan

salah satunya adalah budidaya hijauan makanan ternak dalam kawasan hutan

(selanjutnya disebut silvopastura)

Page 6: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

Silvopastoral merupakan salah satu kegiatan yang ada dalam agroforestri

yang mengintergrasikan antara tegakan pohon, tanaman pakan, dan ternak dalam

suatu kegiatan yang terstruktur dan menggambarkan berbagai interaksi. Tujuan

silvopastoral adalah bagaimana dapat mengoptimalkan ketiga komponen tersebut.

Pada sistem tersebut tegakan pohon diatur untuk menghasilkan kayu gelondongan

yang bernilai tinggi, dan mengelola vegetasi dibawah tegakan yang berupa

tanaman pakan untuk dapat disajikan atau digembalakan oleh ternak. Suatu design

sistem silvopastoral yang baik akan memberikan kepuasan yang memenuhi tiga

kriteria, yaitu produktivitas, keberlanjutan dan kemampuan beradaptasi

(Ladyman et al., 2003).

Kehadiran silvopastoral di hutan merupakan suatu bentuk pengelolaan

hutan yang menempatkan kehutanan sebagai suatu bagian dalam kerangka

pembangunan wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar

hutan. Masyarakat dilibatkan sebagai bagian dari sistem dalam mengusahakan dan

mengelola lahan kehutanan, sehingga tercipta suatu manfaat yang sinergis baik

secara ekologi, ekonomi dan sosial bagi masyarakat maupun pengelola hutan

(misalnya Perhutani). Silvopasture merupakan manajemen pengelolaan hutan

yang menghasilkan output beragam hasil dari areal yang sama. Tujuan utama dari

sistem silvopasture adalah untuk menghasilkan kayu berkualitas tinggi dalam

jangka panjang bersamaan itu juga dapat dilakukan penggembalaan atau

pemanfaatan hijauan pakan ternak yang pada areal yang sama dalam sebagai

tujuan jangka pendek.

Silvopastoral di Indonesia diarahkan untuk mengoptimalkan produktivitas

tanaman pakan untuk menyediakan hijauan pakan. Tanaman pakan yang ada

dipanen dengan cara dipotong dan disajikan ke ternak yang berada di kandang-

masing-masing peternak yang terletak relatif cukup jauh dari lokasi. Sistem

silvopastoral tersebut sebenamya lebih menyerupai perkebunan rumput (Grass

estate) yang ditumpangsarikan di bawah tegakan hutan (pinus). Silvopastoral ini

lebih dikenal dengan sebutan emulated silvopasture system, yaitu sistem

silvopasture yang tidak ada komponen ternaknya.

Page 7: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

Pengembangan Silvopastura

Ada tiga variasi pilihan pada saat awal pengembangan silvopastoral, antara

lain (i) menanam tanaman pakan pada saat umur tanaman kehutanan masih muda,

(ii) menanam tanaman pakan pada saat umur tanaman kehutanan sudah dewasa,

dan (iii) menanam tanaman pakan secara simultan bersamaan dengan tanaman

kehutanan (White, 2005).

Sistem silvopasture dapat diterapkan di atas lahan apapun yang mampu

secara bersamaan mendukung tumbuhnya pohon dan hijauan. Akan tetapi

memerlukan lahan yang relatif luas untuk mempertahankan produki kayu dan

produki pakan ternak yang kontinyu. Pengembangan silvopastura dapat dilakukan

yang pertama dengan penanaman hijauan pakan di lahan hutan diantara tegakan-

tegakan pohon, kedua menanam satu atau beberapa baris pohon di atas pada

padang rumput yang ada dengan dengan pola tertentu. Pada cara pertama

silvopasture dapat langsung dengan penanaman hijauan disela-sela tegakan pohon

ataupun dengan mengurangi/menebang tegakan pohon yang ada sesuai dengan

pola yang dinginkan sebagai lorong-lorong/gang yang akan ditanami hijauan

pakan (USDA, 2008).

Komponen Peternakan dalam Silvopasura

Sistem Silvopasture memerlukan pengelolaan interaksi tiga-arah antara

ternak, pohon, dan hijauan. Namun, ada empat variabel dalam silvopastoral yang

membutuhkan manajemen khusus yaitu : pemeliharaan ternak, jenis pohon,

kerapatan pohon, dan spesies hijauan. Diperlukan pemahaman yang baik guna

keberhasilan mengelola keempat variabel tersebut.

Peranan Silvopastura terhadap Ternak

Ternak (ruminansia) dalam sistem silvopastura memberikan kontribusi

berupa pendapatan, mengkonsumsi gulma, dan merupakan salah satu faktor utama

dalam pengelolaan antara rumput/legum, dan pohon/hijauan. Ternak yang

merumput (digembalakan dalam silvopastura) juga dapat mengurangi kebutuhan

Page 8: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

akan pupuk karena adanya peningkatan efektivitas hara tanah melalui daur ulang

(dalam kotoran dan urine) dari unsur-unsur seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan

sulfur yang disimpan dalam padang rumput hijauan.

Pohon yang tumbuh dalam sistem silvopastura menyediakan tempat

naungan yang nyaman bagi ternak pada saat cuaca buruk. Hal ini secara signifikan

dapat meningkatkan kinerja ternak selama masa sangat panas atau dingin. Pada

beberapa kasus, pakan hijauan tumbuh di bawah teduhan pohon, tiupan angin di

bawah pohon cenderung lebih lambat dan karenanya, hijauan yang dihasilkan

lebih rendah kandungan seratnya dan lebih mudah dicerna dari pada yang tumbuh

di tempat terbuka.

Pola makan ternak yang digembalakan dalam silvopastura perlu untuk

diperhatikan. Walaupun makanan utamanya adalah hijauan atau legume yang

terdapat di bawah/diantara pohon tapi tidak menutup kemungkinan mereka akan

mencoba memakan daun-daun pohon yang dapat dijangkau. Konsumsi daun

biasanya terjadi pada pohon yang belum begitu tinggi ataupun daun pohon yang

tumbuh di batang bagian bawah. Hal ini apabila dibiarkan berlarut-larut dapat

menjadi masalah serius sehingga tujuan utama sistem silvopastura tidak tercapai.

Kerusakan pohon selain menyebabkan berkurangnya hasil dan kualitas kayu yang

dihasilkan juga menjadikan manajemen penggembalaan/defoliasi hijauan yang

dirancang tidak sesuai harapan. Ternak juga tidak bisa merumput dengan nyaman

oleh panas cuaca/terik matahari karena pohon banyak yang rusak, dan yang utama

pertumbuhan hijauan dan legume kualitasnya akan menurun. Maka sudah

semestinya terutama pada sistem penggembalaan (grazing) perlu ditentukan kapan

ternak dapat mulai digembalakan dengan melihat pertumbuhan pohon yang ada.

Hal ini tentunya tidak begitu perlu diperhatikan apabila dengan sistem cut and

carry.

Sistem Penggembalaan

Sistem pemeliharaan dengan cara penggembalaan perlu dilakukan

manajemen penggembalaan (grazing), tapi apabila dengan sistem cut and carry

yang diperlukan manajemen pemotongan hijauan. Sistem penggembalaan

Page 9: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

dibedakan menjadi dua; (1) Penggembalaan secara terus-menerus pada suatu

lahan tertentu (continuous stocking); dan (2) Penggembalaan secara rotasi

(rotational grazing). Continuous stocking, ternak dipelihara di suatu lahan tunggal

tertentu dalam jangka waktu yang lama. Pakan yang tersedia dapat dimanfaatkan

secara efektif dengan menyesuaikan populasi ternak berdasarkan produki hijauan.

Penggembalaan secara terus-menerus pada lokasi yang sama dapat menciptakan

lahan rumput yang kurus dan rusak (undergrazing) serta dapat menyebabkan erosi

tanah. Namun, keuntungan sistem ini memungkinkan ternak untuk selektif

memilih rumput tanaman kualitas yang paling diinginkan atau tinggi. Praktek ini

umumnya tidak dianjurkan untuk sistem silvopasture.

Cara penggembalaan secara rotasi (rotational grazing) membagi lahan

silvopastura menjadi beberapa bagian/petak dimana setiap bagian akan mendapat

giliran untuk penggembalaan pada waktu tertentu, selanjutnya pada periode waktu

berikutnya pindah ke lahan berikutnya. Periode penggembalaan di setiap petak

umumnya berkisar selama 1 hari sampai dengan 1 minggu menyesuaikan kondisi

lahan. Seterusnya akan berpindah ke lahan berikutnya, dan akhirnya kembali ke

lahan awal yang mana hijauan sudah tumbuh kembali.

Pembagian lahan penggembalaan secara rotational grazing

Page 10: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rotational grazing :

Sesuaikan waktu rotasi dengan pertumbuhan hijauan. Jangan menggunakan

jadwal waktu yang kaku tapi haris fleksibel dengan kondisi lahan.

Menjamin berlangsungnya proses fotosintesis yang cukup.

Pindahkan ternak ke petak yang baru sebelum mereka merumput dari

pertumbuhan hijauan di petak yang telah dimakan.

Kualitas hijauan akan menurun seiring meningkatnya umur hijauan sehingga

penting untuk merencanakan skema pengelolaan grazing guna mendapatkan

kualitas hijauan yang terbaik.

Tambahkan suplemen mineral yang cukup dalam sistem silvopasture.

Peranan Silvopastura terhadap Penyediaan Pakan

Pemanfaatan kawasan pada hutan antara lain melalui beberapa kegiatan

salah satunya adalah budidaya hijauan makanan ternak. Integrasi peternakan dan

kehutanan dalam bentuk budidaya hijauan makanan ternak merupakan salah satu

bentuk dari pemberdayaan masyarakat setempat, dimana menurut Peraturan

Menteri Kehutanan nomor P.49/Menhut II/2008, pemberdayaan masyarakat

setempat merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian

masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara

optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam

rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Kriteria kawasan hutan

yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan

hutan produki yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan

berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Kriteria tersebut

berdasarkan rekomendasi dari Kepala KPH atau kepala dinas kabupaten/kota yang

diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.

Dengan adanya integrasi dengan bidang peternakan dapat membantu

meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani yang tinggal di kawasan hutan

tersebut, karena dengan integrasi hutan desa dikembangkan untuk dapat

memberikan hasil pada peternakan demikian juga sebaliknya peternakan dapat

memberikan kontribusi kepada hutan desa. Budidaya hijauan makanan ternak

Page 11: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

pada hutan desa merupakan salah satu bentuk pemanfaatan kawasan, karena

dengan budidaya hijauan makanan ternak maka telah dilakukan kegiatan untuk

memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat

sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi

utamanya.

Tanaman yang terdapat pada hutan desa tidak selalu murni berupa kayu-

kayuan, tetapi terpadu atau dikombinasikan dengan berbagai jenis tanaman

lainnya, misalnya tanaman pertanian, tanaman perkebunan, tanaman pakan ternak

(silvopastura), dan sebagainya Hijauan pakan ternak merupakan pakan asal

tanaman (rumput, tanaman kacang – kacangan ataupun rambanan) yang dapat

digunakan untuk memberi pakan hewan. Kelompok makanan hijauan ini biasanya

disebut makanan kasar. Hijauan sebagai bahan makanan ternak bisa diberikan

dalam dua macam bentuk, yakni hiajuan segar dan hijauan kering. Sebagai

makanan ternak, hijauan memegang peranan sangat penting, sebab hijauna

mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan, khususnya di Indonesia

bahan makanan hijauan memegang peranan istimewa, karena bahan tersebut

diberikan dalam jumlah yang besar. Budidaya hijauan makanan ternak merupakan

salah satu bentuk pengembangan hutan desa, karena pengembangan hutan desa

(silvopastura) dapat dilakukan dengan (1). Penanaman tanaman – tanaman keras

(tanaman hutan multiguna), tanaman perkebunan yang cocok dan tanaman buah - 

buahan,  (2). Penanaman sela penutup termasuk legum penyubur tanah, rumput

gajah sebagai pakan ternak, (3). Penanaman palawija dan holtikultura.

Kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) masih sulit dipenuhi oleh

masing-masing peternak, karena hanya memiliki lahan sempit dan sangat

tergantung pada musim. Apalagi dengan meningkatnya kepemilikan ternak

misalnya sapi, peternak akan menghabiskan waktu untuk pemeliharaan dan

pengelolaan sapi, tidak memiliki waktu lagi untuk menyediakan pakan hijauan.

Dengan masih banyaknya lahan tidur, tanah-tanah sela di antara pokok tanaman

perkebunan besar maupun hutan milik Perhutani, jerami padi/jagung di daerah

produki yang belum dimanfaatkan, limbah industri, seperti kulit gabah, dedak

padi/ bekatul dari penggilingan padi, dedak atau bungkil jagung dari industri

Page 12: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

minyak jagung, cangkang kernel dari industri minyak sawit, kulit coklat, dan

sebagainya, yang semuanya dapat dimanfaatkan menjadi makanan ternak, tetapi

tentu saja harus diproses lebih lanjut yang memerlukan teknologi dan manajemen

yang handal.

Tujuan dari pengembangan hutan desa ini dimaksudkan untuk

merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas lahan, serta kelestarian sumber

daya alam agar dapat memberi manfaat yang sebesar – besarnya bagi masyarakat,

sehingga kesejahteraan hidup meningkat. Manfaat lain peran peternakan bagi

hutan desa dari pengembangan hutan desa dengan budidaya hijauan makanan

ternak dilihat dari segi sosial ekonomi meliputi mampu meningkatkan pendapatan

masyarakat tani di pedesaan karena dengan hijauan makanan ternak kebutuhan

ternak akan pakan dapat tercukupi secara terus menerus untuk pertumbuhan dan

pertambahan bobot badan yang pada akhirnya ternak tersebut dihargai dengan

harga yang cukup tinggi, dapat memanfaatkan secara optimal dan lestari lahan

yang tidak produktif untuk usaha tanaman pakan, tanaman pakan seperti legum

dan rumput tidak terlalu membutuhkan lahan yang kaya unsur hara seperti

tanaman lain, tetapi dengan kombinasi limbah ternak berupa kotoran dan diolah

menjadi pupuk maka dapat meningkatkan kualitas tanah tersebut. Rumput-

rumputan jenis King Grass dan Setaria digunakan untuk tanaman penguat teras

dan untuk memenuhi kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) pemilik lahan.

Manfaat lain  dapat membantu dalam keanekaragaman hasil pertanian yang

diperlukan masyarakat, karena dengan budidaya tanaman pangan, limbah dari

hasil pertanian tersebut dapat digunakan sebagai pakan ternak, sedangkan limbah

dari peternakan berupa kotoran akan menjadi pupuk dengan kualitas tinggi karena

berupa pupuk organik tanpa merusak struktur tanah dan lingkungan. 

Disamping itu hijauan pakan ternak dapat berfungsi ganda, selain sebagai

pakan, juga sebagai tanaman konservasi tanah dan air. Manfaat lain dari hijauan

makanan ternak adalah sebagai tanaman konservasi lahan baik sebagai tanaman

penguat teras di lahan miring maupun sebagai tanaman reklamasi pada tanah yang

rusak, sebagai tanaman penutup di tanah – tanah perkebunan. Kebutuhan ternak

akan hijauan dalam hal ini ternak sapi adalah 10% dari bobot badan, pada

Page 13: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

umumnya peternak memliki ternak sapi dengan bobot 250 – 300kg, maka

kebutuhan akan hijauan sebesar 25 – 30 kg, dan untuk masyarakat yang tinggal di

desa pada umumnya memiliki ternak sebagai usaha sampingan sehingga hanya

memiliki 2 – 3 ekor tiap kepala keluarga. Sedangkan hijauan makanan ternak yang

dapat dihasilkan dalam 1 ha sebanyak 400 ton untuk rumput gajah.

Peternakan dalam hutan desa akan memiliki nilai yang tinggi apabila

dalam pengelolaan ternak dengan sistem dikandangkan, selain pakan selalu

tersedia melalui budidaya hijauan makanan ternak serta limbah tanaman pertanian

maupun perkebunan, pemberiannya dapat terukur untuk masing – masing ternak,

kotoran dari ternak dengan sistem di kandangkan dapat dengan mudah

dikumpulkan untuk kemudian dijadikan pupuk bagi tanaman pertanian, dapat pula

di olah menjadi produk biogas. Dengan pemanfaatan biogas bagi masyarakat di

sekitar, maka pengeluaran untuk bahan bakar dapat ditekan, selain itu

pemanfaatan kayu bakar untuk keperluan memasak dapat berkurang sehingga

kelestarian hutan dapat terjaga, dengan mengurangi kegiatan penebangan pohon

untuk kayu bakar bagi masyarakat sekitar.

Salah satu model silvopastura yang telah lama ada di Indonesia yaitu

pemeliharaan ternak ruminansia pada lahan budidaya kelapa sawit. Pada dasarnya

pengembangan usaha budidaya ternak potong ruminansia dapat dilakukan pada

daerah-daerah integrasi yang berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan

atau kawasan hutan lindung. Namun dalam hal ketersediaan pakan Hijauan

Makanan Ternak (HMT) sering ditemukan kendala yang sering terjadi berupa bila

musim hujan jumlah ketersedian pakan HMT akan melimpah atau surplus dan

sebaliknya bila musim kemarau panjang maka ketersediaan HMT mengalami

kekurangan. Pada areal perkebunan kelapa sawit banyak terdapat jenis gulma

yang dapat digunakan sebagai hijauan untuk pakan ternak ruminansia seperti

Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, Ottochloa nodosa, Brachiraria

milliformis, Brachiaria mutica, Ischaenum mucunoides, Centrosema pubescens

dan spesies lainnya. Ternak ruminansia memakan hampir semua jenis gulma yang

sering dijumpai di perkebunan kelapa sawit diantaranya yang paling disukai

adalah Ottochloa nodosa, Paspalum spp, Brachiaria mutica, Mikania micrantha,

Page 14: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

dan berbagai jenis kacangan penutup tanah (Purba et al., 1997). Pada umur

tanaman di bawah 3 tahun, rumput alam yang tumbuh di kawasan kelapa sawit

dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah: rumput pahitan (Axonopus

compressus), krakapan, patikan, wedhusan, prenthulan, kenthangan, teki, trinyo

dan sedikit legume Calopo. Sedangkan di area perkebunan kelapa sawit milik

perusahaan besar, pada saat umur tanaman diatas 3 tahun sangat sedikit dijumpai

rumput alam, umumnya ditumbuhi tanaman penutup tanah (cover crop) berupa

legume Calopogonium mucunoides (Wijaya dan Utomo, 2001).

Selama ini gulma dipandang sebagai pesaing terhadap tanaman utama dan

dikendalikan secara kimiawi maupun mekanis dengan biaya sebesar 10% dari

biaya pemeliharaan. Selama 5 tahun pertama setelah kelapa sawit ditanam, bobot

gulma yang diperoleh mencapai 10-15 ton/ha (Purba et al., 1997). Sampai saat ini

pemanfatan gulma sebagai pakan ternak ruminansia umumnya bersifat

konvensional yaitu dengan menggembalakan ternak di areal perkebunan.

Ketersediaan pakan hijauan pada areal kelapa sawit berumur 1 – 5 tahun (sebelum

menghasilkan) diperkirakan mampu mendukung 3 – 5 ekor domba/ha setara lebih

kurang 2 ekor sapi bakalan. Pada saat kelapa sawit berumur diatas 6 tahun (mulai

menghasilkan) kerapatan dan jenis gulma mulai berkurang dan merupakan factor

pembatas.

Di areal perkebunan kelapa sawit keberadaan rumput unggul diharapkan

membantu mencukupi kebutuhan HMT baik dari segi kualitas dan kuantitasnya

yang sulit ditemui jika hanya dari rumput alam saja. Rumput raja (Pennisetum

purpureophoides), adalah sumber hijauan pakan yang sangat baik untuk

kebutuhan ternak. Seperti diketahui bahwa produktivitas ternak sangat

dipengaruhi oleh sumber pakan yang dikonsumsi. Dari jumlah pokok pohon

kelapa sawit yang tertanam sebanyak 130 batang per hektar akan berkurang atau

tidak seluruhnya produktif. Pada umumnya yang tersisa sebanyak 120 batang per

hektar. Penanaman rumput raja dilakukan di lokasi kebun yang tanaman sawitnya

mati atau ditebang akibat tidak produktif juga di sekitar alur-alur yang ada di

lokasi kebun. Kalau kematian pohon kelapa sawit rata-rata 10 pohon/ha, maka

akan tersedia lahan kosong 10 x 760 m2, yang dapat ditanami 760/10.000 x 2.000

Page 15: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

= 1.520 rumput/ha (Sitompul, 2003). Pada musim penghujan produksi rumput

akan meningkat (180 ton/ha/tahun). Dibandingkan dengan rumput unggul lainnya,

rumput Raja mempunyai produksi tertinggi dengan rata-rata berat basah 189,34

ton/ha/tahun.

Pola Tanam pada Silvopastura

Pola penanaman antara pohon dan hijauan dibentuk sedemikian rupa untuk

memberikan ruang bagi masuknya sinar matahari untuk mengoptimalkan

pertumbuhan masing-masing sehingga nantinya dapat diperoleh kayu yang

berkualitas dari pohon yang ditanam dan hijauan pakan ternak. Pada silvopastura

akan menjadikan berkurangnya jumlah pohon guna memberikan ruang bagi

bertunas dan tumbuhnya hijauan, hal ini berbeda dengan budidaya hutan secara

murni dimana pohon dapat ditanam lebih padat. Sedangkan pada silvopastura

yang berasal dari padang rumput, maka setelah penanaman pohon perlu dilakukan

pemeliharaan selama 2 sampai 3 tahun untuk menjaga bibit pohon dapat tumbuh

dengan baik, terutama gangguan dari gulma atau tanaman perdu dan semak yang

mudah tumbuh ataun bahkan dengan hijauan sehingga kontrol kompetisi hijauan

perlu diperhatikan.

Pengaturan jarak dan kepadatan tanam antara pohon dan hijauan

sepenuhnya tergantung pada tujuan silvopastura yang dilaksanakan. Seberapa

banyak hijauan yang ingin diperoleh untuk mencukupi kebutuhan ternak yang

dipelihara dan kayu yang dinginkan. Pada permulaan, pohon dapat ditanam lebih

banyak/lebih rapat kemudian dapat dilakukan penjarangan seiring dengan

bertambahnya umur tanaman dengan menyesuaikan kondisi lahan, kompetisi

tanaman, dan pancaran sinar matahari pada masing-masing tanaman.

Pohon yang ditanam berbaris sering mengalami pertumbuhan yang kurang

baik karena tidak memiliki setidaknya satu sisi yang mendapat sinar matahari

penuh. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pertumbuhan, baris tunggal atau

ganda umumnya lebih disukai dari tiga baris atau beberapa pohon. Pada

silvopastura pohon berdaun jarum seperti pinus atau cemara populasi pohon yang

baik antara antara 200 hingga 400 pohon per hektar. Luas area yang tertutup

Page 16: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

pohon (kanopi) dalam sistem silvopasture bervariasi antara 25 hingga 60 persen,

yang menyediakan ruang terbuka yang lebih besar untuk produki hijauan (USDA,

2008).

Menurut USDA (2008) ada beberapa pola tanam pohon-hijauan yang

direkomendasikan :

1) Penanaman Pohon Satu Baris (Single Row-Planting)

Pola tanam terdiri dari pohon yang berjarak sekitar 8 sampai 12 feet dalam

baris dan 16 sampai 30 feet antara baris (gang). Jarak yang terlalu dekat akan

menyulitkan pemasukan peralatan ke dalam sistem dan dapat berpotensi

mengurangi produki hijauan jika pohon tidak dipangkas supaya lebih tipis

dan pada waktu yang tepat. Semakin lebar jarak baris cenderung mendukung

produki hijauan lebih banyak.

Penanaman Pohon Satu Baris (Single Row-Planting)

2) Penanaman Pohon Dua Baris (Double Row-Planting)

Jarak antar pohon dalam satu baris antara 8 sampai 10 feet. Dalam pola ini,

baik hijauan dan pohon hidup berdampingan dan dapat berkontribusi pada

sistem silvopasture dengan sangat produktif. pengaturan lebar antar baris

dapat dipertimbangkan sesuai kebutuhan maupun peralatan yang akan

digunakan dalam pengelolaannya.

Page 17: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

Penanaman Pohon Dua Baris (Double Row-Planting)3) Penanaman Jarak baris ganda (Multiple Row Spacing)

Jarak baris ganda memiliki dua hingga tiga baris pohon dengan jarak cukup

dekat (8 feet x 10 feet atau 10 feet x 10 feet) dengan sebuah gang selebar 20

sampai 40 feet antara set baris pohon sebagai tempat untuk produki hijauan.

Penanaman Jarak baris ganda (Multiple Row Spacing)

4) Penanaman sistem tiga dan empat pohon dalam baris (Triple and Quadruple)

Sistem ini merupakan pengembangan dari double row-planting dengan

penambahan jumlah pohon dalam satu baris. Dalam prakteknya, sistem ini

menyebabkan ruang untuk tumbuh pohon lebih sempit dan pada pohon yang

Page 18: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

ada di tengah baris, dimana sinar matahari tidak dapat dapat menjangkau

pohon yang ada di tengah karena terhalang pohon yang dipinggir dan

kompetisi yang lebih besar untuk mendapatkan nutrisi dari tanah.

Penanaman sistem tiga dan empat pohon dalam baris (Triple and Quadruple)

5) Penanaman secara Blok (Block Planting)

Penanaman secara blok mempunyai jarak antar pohon yang lebih lebar (pada

12 feet x 12 feet atau 15 feet x 15 feet). Sistem ini dianggap lebih cenderung

untuk poduksi kayu, menyebabkan hijauan lebih sensitif terhadap kerapatan

kanopi sehingga perlu dilakukan pemangkasan secara berkala untuk

mempertahankan produki hijauan.

Page 19: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

Penanaman secara Blok (Block Planting)

Komponen Silvopastura

Penerapan silvopasture memerlukan pengelolaan interaksi tiga-arah antara

ternak, pohon, dan hijauan. Namun, ada empat variabel dalam silvopastoral yang

membutuhkan manajemen independen : pemeliharaan ternak, jenis pohon,

kerapatan pohon, dan spesies hijauan. Keberhasilan dalam mengintegrasikan dan

mengelola komponen dependen dan independen memerlukan pemahaman yang

baik tentang biologi dan dinamika komponen sendirian maupun kombinasi.

Nilai strategis silvopastura

Sistem diakui dapat memberikan manfaat secara ekologis, ekonomi, dan

sosial bagi masyarakat. Kehadiran silvopastoral di hutan merupakan suatu bentuk

pengelolaan hutan yang menempatkan kehutanan sebagai suatu bagian dalam

kerangka pengembangan pembangunan wilayah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Berikut ini adalah beberapa manfaat yang

diperoleh dari sistem silvopastoral.

Page 20: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

Diversifikasi produki hutan dan peningkatan produktivitas lahan

Hijauan yang dihasilkan dari sistem silvopastoral merupakan suatu bentuk

diversifikasi produk yang dihasilkan dari lahan kehutanan. Produk hutan yang

dihasilkan oleh lahan kehutanan tidak hanya produk konvensional hutan, yaitu

kayu pinus dan getah pinus, tetapi ada produk lain yaitu pakan ternak. Hal ini

memperlihatkan bahwa sistem silvopastoral merupakan salah satu bentuk dalam

pengelolaan hutan bersama masyarakat yang baik, dimana salah satu karakterisk

terpenuhi, yaitu memaksimalkan produk non kayu yang dapat digunakan untuk

menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang

tinggal di sekitar hutan dalam hal ini adalah kebutuhan hijauan pakan.

Konservasi tanah dan air

Salah satu penyebab terjadinya banjir dan kekeringan adalah kesalahan dalam

pengelolaan hutan, dimana banyak hutan dibuka digunakan untuk keperluan

pertanian tanaman pangan dan sayuran tanpa didukung oleh pengelolaah yang

baik. Hal ini yang menyebabkan turunnya fungis hidrologis hutan. Lahan

langsung dibuka dan dibiarkan tanpa vegetasi yang lain, sehingga pada saat terjadi

hujan air langsung hanya sedikit yang dapat diserap dan sebagian besar pergi

menjadi air permukaan, selanjutnya tentunya menjadi banjir yang melanda daerah

yang lebih rendah. Selain itu, bersama aliran air tersebut ikut terbawa topsoil

tanah yang kaya akan hara dan bahan organik. Tanah-tanah cepat mengalami

asam, karena banyak kation-kation tanah yang tercuci. Sebaliknya pada musim

kemarau terjadi kekeringan dan kekurangan yang lebih cepat terjadi. Hal ini

disebabkan rendahnya daya tangkap lahan pada saat hujan, sehinga air yang

ditampung dalam jumlah yang lebih kecil.

Keberadaan tanaman pohon dan semak, seperti dalam kombinasi silvopastoral,

tidak diragukan lagi dapat memproteksi terhadap erosi dan melindungi lahan-

lahan peranian. Selain itu, tanaman tersebut dapat meningkatkan serapan air dan

kemampuan retensi (kecepatan infiltrasi dan kapasitas lapang) tanah. Hasilnya

akan lebih besar ketersediaan air bagi tanaman, periode pertumbuhan yang dapat

Page 21: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

diperpanjang, total produki tanaman akan meningkat, dan tentunya tanah akan

terlindungi oleh vegetasi sepanjang tahun. Keberadaan tanaman pakan di tegakan

tanaman kehutanan dapat membantu mempertahankan nutrisi hara dibandingkan

dengan tanpa tanaman pakan, dan selanjutnya akan meminimalkan kehilangan

hara dari lahan kehutanan (Michel et al, 2003)

Peningkatan pendapatan

Sistem silvopastoral secara tidak langsung dapat membantu menggerakan roda

ekonomi pedesaan. Keberadaan kebun rumput pada areal kehutanan, bagi

peternak sapi perah dapat melakukan efisiensi dan efektivitas dalam pengadaan

hijauan pakan. Biaya dan waktu yang diperlukan dalam pengadaan hijauan pakan

besar, dan akan lebih meningkat lagi pada saat musim kemarau. Biaya yang untuk

pengadaan hijauan pakan dapat ditekan waktu yang dicurahkan lebih sedikit,

sehingga mereka dapat mencurahkan waktu lainnya dapat dicurahkan untuk

melakukan usaha yang lain.

Kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati

Kehadiran peternak yang mengelola atau melakukan tumpangsari tanaman

pakan di lahan kehutan berkewajiban membantu mengawasi dan menjaga tanaman

kehutan dari percurian kayu. Perambahan hutan oleh masyarakat biasanya

disebabkan oleh ketidaksejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah sekitar

hutan. Kehadiran usaha ternak sapi perah dapat membantu meningkatkan

pendapatan masyarakat sekitar, sehingga perambahan hutan dapat diminimalkan .

Selain itu, peternak yang menanam rumput memelihara tegakan tanaman hutan,

seperti pengendalian gulma dan pemberian pupuk.

Pengelolaan hutan yang baik adalah pengelolaan hutan yang mempertahankan

peranan hutan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup serta

melindungi sumber keanekaragam hayati. Keanekaragaman hayati lebih

meningkat setelah dilakukan dalam bentuk sistem integrasi bahwa pada sistem

silvopastoral lebih banyak keragaman tanaman dibandingkan dengan padang

rumput yang terbuka.

Page 22: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

Masalah yang Perlu Dipecahkan

Pemanfaatan daerah kehutanan untuk penanaman rumput bukan tidak

mempunyai permasalah, seperti umumnya permasalahan dalam pengembangan

silvopastoral di daerah lain, permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan

silvopastoral meliputi: terjadi persaingan antara tanaman kayu dengan tanaman

pakan, persintensi tanaman pakan terhadap naungan, dan permasalahan kesuburan

tanah. Keterbatasan utama dalam pengembangan sistem silvopastoral adalah

kerusakan tanaman muda oleh pengembalaan ternak, persistensi tanaman pakan

yang disebabkan oleh naungan, mempertahankan kesuburan tanah, dan invasi

gulma.

Kerusakaan tanaman muda oleh ternak dan invasi gulma tidak terjadi

dalam pengembangan silvopastoral. Hal ini dikarenakan pada sistem silvopastoral

tidak menerapkan sistem penggembalaan ternak secara langsung, tetapi

menggunakan pengelolaan sistem potong dan angkut (cut and carry system), dan

ternak tetap dikandangkan di masing-masing peternak. Pengendalian gulma

dilakukan bersamaan pada saatpemanenan rumput, jenis jenis tumbuhan yang

tidak dapat dikonsumsi oleh ternak dan berpotensi akan menggangu pertumbuhan

tanaman pakan dibabat atau dicabut. Gulma yang sering hadir adalah kirinyuh

(Chromolaena odorata), gulma ini apabila dibiarkan akan berpotensi mengurangi

potensi produki hijauan. Bamualim et al. (1990) melaporkan bahwa C. odorata

telah menginvasi padang penggembalaan alam dan sudah mengurangi potensi

ketersediaan pakan di Nusa Tenggara. Pemotongan gulma ini secara rutin

bersamaan dengan waktu panen akan membantu pengendaliannya dan gulma ini

tidak tahan terhadap intensitas pemotongan.

Persaingan antara tanaman kayu dengan tanaman pakan

Penanaman dua atau lebih jenis tanaman sama atau berbeda pada suatu

hamparan yang sama tentunya akan menghasilkan berbagai interaksi diantara jenis

tanaman. Ada enam jenis interaksi, yaitu neutralisme, kompetisi, amensalisme,

dominasi, komensalisme, dan protokooperasi. Interaksi yang berupa kompetisi

Page 23: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

(persaingan) dan dominasi merupakan jenis interaksi yang tidak diharapkan dalam

sistem pertanaman campuran. Pada sistem silvopastoral, persaingan sumberdaya

(cahaya, air, hara, dan ruang hidup) akan terjadi antara tanaman pohon dengan

tanaman pakan. Persiangan ini lebih disebut dengan persaingan interspesies (inter

spesific competition), yaitu persaingan antar tanaman yang berbeda spesies

(Moenandir, 1993) .

Pengaruh naungan dapat diminimalisasi dengan cara mengelola tegakan hutan

dan memilih spesies tanaman pakan yang tahan naungan. Menurut Nasrum (1983)

rumput gajah masih dapat bertahan dengan tingkat naungan 50% dibawah tegakan

hutan jati. Pengelolan tegakan untuk meningkatkan transmisi cahaya dapat

dimodifikasi seperti mengatur kepadatan tanaman maupun dengan penjarangan.

Jarak tegakan tanaman yang lebar akan membantu meningkatkan transmisi cahaya

dan produki hijauan pakan, tetapi kadang kala pada kepadatan tegakan

yangrendah, pohon biasanya cenderung mempunyai banyak percabangan yang

mengurangi kualitas kayu yang dihasilkan.

Persintensi tanaman pakan terhadap naungan

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih tanaman pakan

yang akan dikembangkan dalam sistem silvopastoral, antara lain (i) apakah cocok

untuk sistem penggembalaan atau sistem potong dan angkut, (ii) apakah cocok

dengan kondisi lingkungan dan iklim setempat, (iii) apakah akan berproduki

dengan baik pada kondisi ternaungi dan cekaman kelembaban, (iv) bagaimana

responnya terhadap pengelolaan yang intensif, dan (v) bagaimana persistensi

tanaman pakan dalam jangka waktu yang lama terhadap kondisi lingkungan

tersebut (Nowak et al., 2003).

Kehadiran cahaya matahari akan berpengaruh terhadap produki bahan kering

melalui proses fotosintesisnya, dimana fotosintesis merupakan mekanisme

penggunaan cahaya matahari yang dikonversi oleh tanaman dalam bentuk energi

yang dapat digunakan dalam sistem biologis. Umumnya rerumputan meningkat

produkinya sejalan dengan dilakukan penjarangan pada tanaman utama yang

menaunginya. Produki bahan kering mempunyai hubunngan yang sangat dekat

Page 24: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

dengan intensitas transmisi cahaya matahari. Tetapi walaupun begitu ada beberapa

jenis tanaman pakan yang meningkat dengan meningkatnya tingkat naungan

sampai tingkat intensitas cahaya matahari tertentu dan tingkat transimisi cahaya

matahari 45% merupakan tingkat cahaya minumum yang potensial untuk

memungkinkan tanaman pakan tetap tumbuh pada sistem silvopastoral (Ladyman

et al., 2003)

Kesuburan tanah

Kesuburan tanah menjadi permasalahan yang nampaknya harus cukup

mendapat perhatian karena akan mengganggu terhadap keberlanjutan silvopastoral

ini. Hal ini disebabkan bahwa silvopastoral bukan merupakan suatu sistem dengan

siklus yang tertutup. Pada saat pemanenan dengan sistem potong clang angkut

terjadi pengangkutan nutrient tanah dalam bentuk hijauan pakan dan tidak ada

usaha untuk mengembalikannya kembali lagi, baik berupa pemberian pupuk kimia

maupun organik. Sikap sebagian peternak yang tidak melakukan pemupukan ini

disebabkan oleh dua alasan mendasar, yaitu lahan hutan yang masih sangat subur

dan jarak kandang yang relatif jauh dengan lokasi kebun rumput di hutan. Lahan

yang subur sampai hari ini masih dapat mendukung pertumbuhan dan produki

tanaman pakan sehingga peternak belum mersa perlu melakukan pemupukan,

sedangkan lokasi kebun yang jauh berada di hutan manjadi kendala dalam

pengangkutan kotoran ternak yang bulky. Padahal kotoran ternak sebagai pupuk

organik belum dimanfaatkan secara optimal. Bahkan kotoran ternak tersebut

menjadi sumber pencemaran. Kesadaran peternak untuk memberikan pemupukan

hara perlu dibangun untuk mempertahankan kesuburan tanah.

Page 25: SANYOTO Tugas Makalah Pak Karno LTP

DAFTAR PUSTAKA

Bumualim, A, J Nuluc, dan Rc Gutterdge. 1990. Usaha perbaikan pakan ternak sapi di Nusa Tenggara, Jurnal Litbang Pertanian, 12 (2) : 38-44.

Ladyman, K.P., M.S. Kerley, R.L. Kallenbach, H.E. Garrett, J .W. Van Sambeek, and N .E . Navarrete-Tindall. 2003 . Quality and quantity evaluations of shade grown forages . AFTA 2003 C.on Proceedings. 175 - 181.

Michel, G.A., V.D. Nam, P. K. R. Nair and S. C. Allen. 2003. Silvopasture as an aproach torducing ntrient pllution from psturelands in Florida. In: AFTA 2005 Conference Proceedings. 1-5 .

Moenandir, J. 1993. Persaingan tanaman budidaya dengan gulma: Ilmu Gulma-Buku ketiga. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 101 .

Nair PKR. 1991. State-of-the-art of agroforestry system. J. Forest Ecology Manage. 45:5-29

Nowak, J., A. Blount and S Workman. 2002. Circular 1430, integrating timber, forage and livestock production-benefits of silvopasture . School of Forest R Resources and Conservation, Florida Cooperative Extension Service, University of Florida.

Purba, A., S.P. Ginting, Z. Poeloengan, K. Simanihuruk dan Junjungan. 1997. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan domba. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (3) : 161-177 .

Sitompul, D. 2003. Desain pembangunan kebun dengan sistem usaha terpadu ternak sapi Bali . Prosiding Lokakarya Nasional : Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. P. 81-88.

USDA. 2008. Silvopasture : Establishment & Management for Principles for Pine Forest in The Southeastern United States. National Agroforestry Centre.

Vergara, 1982 New Directions in Agroforestry: The Potential of Tropical Legume Trees. A Working Group on Agroforestry Environment and Policy Institute. Hawai, USA. 36 p.)

White, L. 2005. Silvopasture literature review. Agroforestry Unit of Saskatchewan Foret Centre. Canada. 36

Widjaja, E., dan B.N. Utomo. 2001. Pemanfaatan limbah kelapa sawit solid sebagai pakan tambahan temak ruminansia di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Bogor, 17-18 September 2001. P. 262-268.

Young. 1989. Agroforestry for Soil Conservation. ICRAF Science and Practise of Agroforestry. 276 p