Post on 29-Apr-2017
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Perlindungan Konsumen serta Dasar Hukumnya
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk
melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual
diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada
konsumen. Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam Hubungan dan masalahnya dengan para penyedia
barang dan/ atau jasa konsumen”. Bahwa Hukum perlindungan Konsumen
dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan
Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 : “segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”.
Menurut GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV,
huruf F butir 4a: “ … pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar
arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya
saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…”
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya
adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan
barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen :
5
Pasal 1 butir 2 :
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Menurut Hornby :
“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau
menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli
barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang
yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap
orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Sedangkan yang dimaksud Konsumen Akhir menurut aturan hukunm yang
berlaku di Indonesia adalah :
Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) : “Pemakai akhir
dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan
tidak diperjualbelikan”
Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia): “Pemakai
Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri
sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali”.
Menurut KUH Perdata Baru Belanda : “orang alamiah yang
mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan
profesi atau perusahaan”.
Hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak
seimbang. Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan Konsumen :
“Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Sedangkan Pasal
3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat
mengajukan perlindungan adalah:
6
1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21
ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif
Penyelesian Sengketa
5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan
dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.
235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang
ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan
Konsumen. Perlindungan Konsumen bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
7
f. meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan , kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
2.2 Manfaat Hukum Perlindungan Konsumen
Secara eksplisit hak-hak konsumen belum diatur konstitusi, namun
terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakomodir hak-hak
konsumen, yaitu
1) pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperolah pelayanan kesehatan;
2) pasal 31 ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan ; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
3) pasal 34 ayat (3): negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak;
UU Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detil dari
hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak ekonomi yang tercantum dalam
Kovenan Internasional Hak Ekosob. Kehadiran UU Perlindungan Konsumen
adalah wujud tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan sistem
perlindungan konsumen, sehingga ada kepastian hukum baik bagi pelaku usaha
agar tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab, maupun bagi konsumen, yang
merupakan pengakuan harkat dan martabatnya.
2.3 Isi Undang – Undang Perlindungan Konsumen
Isi dari UUPK selain asas dan tujuan serta hak dan kewajiban konsumen
dan pelaku usaha, dari segi materi hukum, secara umum UUPK mengatur
sekaligus hukum acara/formil dan hukum materiil. Kemusdian UUPK juga
mengatur kelembagaan perlindungan konsumen tingkat pusat dalam bentuk Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), maupun di daerah dalam bentuk
8
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), juga tentang penyelesaian
sengketa konsumen dan ketentuan pidananya.
Definisi Konsumen dalam UUPK: Konsumen adalah setiap orang yang
memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Definsi Pelaku Usaha dalam UUPK: Pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi. Ada dua jenis pelaku usaha, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dalam
konteks advokasi konsumen, yang relevan untuk dijadikan ?sasaran? advokasi
adalah pelaku usaha dalam bentuk badan usaha. Sedangkan pelaku usaha
perseorangan, dalam praktik muncul dalam bentuk pengusaha kecil/lemah, justru
masuk kelompok yang juga harus mendapat pembelaan/ advokasi.
Definisi Barang dalam UUPK: Barang adalah setiap benda baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Definisi Jasa dalam UUPK : Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan
konsumen. Dalam praktik di lapangan, keberadaan jasa dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu: 1) Jasa komersial: seperti bank, asuransi, telekomunikasi,
transportasi, dll; 2) Jasa non-komersial: seperti jasa pendidikan, jasa pelayanan
kesehatan; 3) Jasa professional: seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan,
arsitek, dll; 4) Jasa layanan public: seperti pembuatan SIM, KTP, Pasport,
sertifikat tanah, dll. Sedangkan dari aspek penyedia dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu: 1) badan hukum privat, baik yang bersifat komersial (Perseroan Terbatas)
maupun non-komersial (Yayasan); dan 2) badan hukum publik. UU Perlindungan
9
Konsumen terbatas hanya mencakup jasa yang disediakan oleh badan hukum
komersial.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM):
LPKSM adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh
pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Ruang
lingkup kegiatan LPKSM meliputi: penanganan pengaduan konsumen, pendidikan
konsumen, penerbitan majalah/buku konsumen, penelitian dan pengujian, dan
advokasi kebijakan.
2.4 Hak-Hak Konsumen
Berikut ini adalah hak-hak konsumen yang dapat diperoleh:
1) Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan: Bagi konsumen hak ini
harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif
keyakinan/ajaran agama tertentu.
2) Hak Untuk Memilih : Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang
dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah
terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih.
3) Hak Atas Informasi : Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi
barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya
terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek
untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara
satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis.
4) Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya : Ada dua instrumen dalam
mengakomodir hak untuk didengar: Pertama, Pemerintah melalui aturan hukum
tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen; Kedua, melalui
pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan
pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang
mewakili konsumen.
5) Hak Untuk Mendapatkan Advokasi: Dengan hak ini, konsumen mendapat
perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi
ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial.
10
Hak ini dapat dipenuhi dengan cara :
1. Konsultasi hukum, diberikan pada konsumen menengah ke bawah.
Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan atau
instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen;
2. Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class
action);
3. Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya
lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh
pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di
setiap pemerintah kota / kabupaten.
6) Hak Untuk Mendapat Pendidikan : Definisi dasar hak ini adalah konsumen
harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam
pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh
lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung
jawab pelaku usaha.
7) Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara Diskriminatif : Tindakan diskriminatif
secara sederhana adalah adanya disparitas, adanya perlakukan yang berbeda untuk
pengguna jasa/produk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama.
Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub kategori
pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar
konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif.
8) Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi : Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi
oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku
usaha tersebut.
Bentuk ganti rugi dapat berupa :
1) pengembalian uang;
2) penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;
3) perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2)
UUPK).
11
9) Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan Lainnya : Selain
hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen,
seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu dimungkinkan adanya hak konsumen
tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.
2.5 Bentuk Pelanggaran Hak-hak Konsumen dalam Dunia Usaha dan
Penyelesaiannya.
Pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia merupakan hal yang jamak,
masih kita jumpai sehari-hari kasus keracunan makanan dan kecelakaan yang
menempatkan konsumen sebagai korban. Beberapa sebab terjadinya pelanggaran
hak konsumen adalah rendahnya tanggung jawab pelaku usaha, tidak
maksimalnya regulasi pemerintah, dan mandulnya penegakkan hukum.
Pelanggaran hak-hak konsumen dapat berupa pelanggaran bersifat substantif
maupun prosedural sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen atau
berbagai UU sektoral.
Konsumen Perumahan
Ada dua kelompok pengaduan konsumen perumahan, yaitu:
1. sebagai akibat telah terjadinya pelanggaran hak-hak individu
konsumen perumahan. Seperti, mutu bangunan di bawah standar, ukuran
luas tanah tidak sesuai, dll;
2. sebagai akibat pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan.
Seperti, tidak dibangunnya fasilitas sosial / umum, sertifikasi, rumah
fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim / informasi dalam iklan / brosur
dan pameran perumahan.
Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum)
Fasilitas sosial dan fasilitas umum yang diiklankan dalam sumber
informasi bagi konsumen, yaitu iklan, brosur perumahan dan pameran perumahan
terkadang tidak didapat sebagaimana mestinya, banyak fasilitas yang
diperjanjikan dalam brosur pada akhirnya hanya menjadi promosi semata dari
pengembang. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap konsumen perumahan
yang dilakukan oleh pengembang (jika menjadi penangggung jawab membangun
12
fasilitas umum) maupun oleh Pemda setempat (jika informasi tersebut bersumber
pada dokumen resmi yang dikeluarkan Pemda).
Menghadapi persoalan diatas dibutuhkan dua kebijakan pemerintah dalam rangka
melindungi kepentingan konsumen perumahan.
1. kebijakan yang bersifat komplementer. Artinya, kebijakan yang berisi
ketentuan hukum yang memungkinkan konsumen mendapatkan informasi tentang
fasilitas umum yang harus disediakan pengembang;
2. kebijakan yang bersifat kompensatoris. Artinya, terhadap praktik-praktik
pemasaran dan pembangunan perumahan yang menimbulkan kerugian bagi pihak
konsumen dapat menuntut ganti rugi kepada pengembang.
Penjualan Rumah Fiktif
Korban kasus penjualan rumah fiktif biasanya adalah golongan masyarakat
yang benar-benar membutuhkan rumah yang umumnya kelompok masyarakat
menengah ke bawah. Ada dua instrumen hukum yang dapat dilakukan calon
konsumen yang menjadi korban kasus perumahan fiktif untuk menuntut
pengembalian uang yang telah disetorkan kepada pengembang :
a) seperti diatur dalam Pasal 98 KUHP :
Jika seuatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam pemeriksaan perkara
pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang
atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Artinya, kerugian bagi orang
lain yang dimaksud pasal itu termasuk pula kerugian pihak korban. Dan
penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana yang dimaksud adalah agar
perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa sekaligus;
b) berdasarkan putusan dalam perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, para korban secara terpisah dapat mengajukan gugatan perdata ke
pengadilan untuk menuntut ganti rugi dengan tuntutan pengembang diduga telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Namun untuk proses yang lebih efektif
beracara dalam advokasi konsumen kasus rumah fiktif adalah dengan
menggunakan mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action).
Konsumen jasa ketenagalistrikan
13
Dua ketidakadilan dalam penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia:
1. dalam bentuk, baru ada sekitar 54 persen masyarakat Indonesia yang
dapat mengakses listrik;
2. masyarakat yang sudah mendapatkan aliran listrik, sebagai
konsumen hak-hanya masih sering terabaikan karena seringnya
pemadaman, voltase turun-naik, dan akurasi pencatatan meter.
Pencatatan Meter
Permasalahan pencatatan meter mendominasi kasus yang dialami
konsumen. Biasanya kesalahan petugas dari PLN ternyata dibebankan kepada
konsumen, dalam bentuk :
1. konsumen membayar tidak sesuai dengan pamakaian;
2. beban tagihan menjadi menumpuk, sehingga memberatkan
konsumen.
Pemadaman tanpa pemberitahuan
Kerugian konsumen akibat pemadaman, dalam bentuk :
1. biaya, karena akibat pemadaman konsumen harus mengeluarkan
biaya ekstra, seperti beli lilin, dll;
2. hilangya potensi pendapatan, seperti usaha photo kopy misalnya,
karena pemadaman, usahanya terhambat;
3. kerusakan alat-alat elektronik, atau usia alat-alat elektronik menjadi
tidak tahan lama.
Pemadaman yang terjadi karena sebab yang masih dalam kendali PLN, mestinya
ada kompensasi financial bagi konsumen.
Voltase tidak stabil
Voltase tidak stabil adalah bentuk pelanggaran hak-hak konsumen, khususnya
hak atas keamanan dan keselamatan dan hak konsumen untuk mendapatkan
barang dan atau jasa yang sesui dengan standar sebagaimana yang telah dijanjikan
oleh pelaku usaha. Contoh: masyarakat mendapatkan tenaga listrik jauh di bawah
atau di atas yang sudah diumumkan PLN.
Penerangan Jalan Umum
14
Pajak Penerangan Jalan Umum dibebani pada konsumen PLN, namun dalam
kenyataannya tidak semua konsumen PLN menikmati dari pajak yang telah
mereka bayar. Keluarnya Keppres No. 89 tahun 2002 tentang Harga Jual Tenaga
Listrik tahun 2003, ada keharusan dari PT PLN untuk mendeklare Tingkat Mutu
Pelayanan (TMP) di masing masing cabang untuk penerangan jalan, meliputi :
1) frekuensi pemadaman per 3 bulan;
2) lama pemadaman per 3 bulan; dan
3) akurasi pencatatan meter. Jika dalam realisasi, PLN tidak dapat
memenuhi TMP yang dideklare, PT PLN harus membayar denda/penalty
kepada konsumen sebesar 10 persen dari biaya beban. Namun, dalam
praktik tidak banyak cabang PLN yang mensosialisasikan TMP kepada
konsumen.
Konsumen jasa Perbankan
Dalam praktik merebut nasabah cara yang dilakukan bank tidak diimbangi
dengan memberikan informasi yang utuh tentang produk jasa perbankan tersebut,
sehingga muncul berbagai keluhan konsumen jasa perbankan.
Produk ATM
Ada empat persoalan dari Produk ATM (Automated Teller Machine),
yaitu:
1. Keberanan iklan ATM, ketika mau menggunakan ATM dalam
keadaan tidak berfungsi dan tidak ada penjelasan dari bank;
2. Kerjanjian standar dalam aplikasi permohonan ATM yang berat
sebelah;
3. Informasi tentang produk ATM sangat minim. Beberapa pemegang
ATM mengeluh, uang yang ditelan boks ATM, namun saldo rekening
konsumen tetap di-debet;
4. Soal mekanisme penyelesian komplain pemegang ATM. Konsumen
tidak merasa menarik tunai melalui ATM, tetapi didapati saldo rekening
konsumen berkurang. Dalam kasus seperti ini, posisi konsumen sangat
lemah, karena secara teknis konsumen tidak mungkin meng-counter
pembuktian yang disodorkan pihak bank penerbit ATM.
15
Produk Kartu kredit
Persoalan yang sering dikeluhkan konsumen kartu kredit antara lain : 1)
Iklan. Ikaln yang gencar dilakukan umumnya berkesan menyenagkan konsumen.
Padahal, tersembunyi maksud untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari
kantung konsumen; Kedua, perjanjian standar yang isinya berat sebelah. Setiap
pemohon kartu kredit, terlebih dahulu harus mengisi aplikasi permohonan kartu
kredit yang dibuat dalam bentuk standar, pemohon tidak ada alternatif lain, selain
setuju dengan persyaratan yang ditentukan secara sepihak oleh bank; 3) besaran
dan cara menghitung bunga/penalty. Tidak banyak konsumen kartu kredit yang
tahu atau peduli, bagaimana bank mengenakan biaya terhadap konsumen,
sehingga sangat sulit untuk konsumen ikut mengoreksi jika terjadi kekeliruan
dalam penagihan.
Konsumen produk Obat-obatan
Beragam persoalan yang dihadapi konsumen produk obat-obatan di
Indonesia: Dari persoalan makro menyangkut peran pemerintah dalam pengadaan
obat murah, persoalan hak kekayaan intelektual obat-obat paten yang membuat
harga obat melambung, soal tata niaga produk obat yang syarat dengan kartel,
keberadaan obat palsu, penggunaan obat yang tidak rasional, sampai soal belum
optimalnya apoteker, khususnya dalam pelayanan kefarmasian kepada
masyarakat.
Konsumsi obat yang tidak rasional
Temuan Purnawati S. Pujiarto (konsultan kesehatan WHO Indonesia),
terbukti bahwa 69,6 % anak-anak yang sakit di Indonesia, diberikan lebih dari 4
macam jenis obat, sementara 35,3 % anak-anak yang sakit mendapat lima macam
obat. Padahal rata-rata penyakit anak tersebut, bisa sembuh tanpa harus ke dokter.
Ini menjadi bukti tidak rasionalnya konsumsi obat yang diberikan oleh dokter.
Ada dua potensi pelanggaran hak-hak konsumen dari konsumsi obat yang tidak
rasional, yaitu pelanggaran hak atas informasi dan hak atas keamanan.
Maraknya obat palsu
Data WHO menyebutkan, peredaran obat palsu di negara berkembang,
termasuk Indonesia, mencapai 20 % – 40 %. Praktik peredaran obat palsu terjadi
16
karena lemahnya pengawasan pemerintah dan juga karena rendahnya daya beli
masyarakat.
Tidak optimalnya peran apoteker
Apotik berbeda dengan toko obat, jika pasien menebus obat di apotik,
pasien mendapatkan dua bentuk produk, yaitu obat tersebut dan informasinya.
Namun selama ini, tidak banyak konsumen yang memperolah informasi obat
ketika menebus obat di apotek, karena tidak ada apoteker ketika menebus obat.
Hal ini merugikan konsumen, karena selain tidak mendapat informasi obat dari
personil yang kompeten, juga tidak dapat berkonsultasi menyangkut obat yang
akan dikonsumsi, baik manfaat obat maupun resikonya.
Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan
Ada dua kategori pelayanan kesehatan :
1) pelayanan kesehatan tingkat dasar, hal ini menjadi tanggung jawab
Pemerintah;
2) pelayanan kesehatan lanjutan, disedikan pemerintah juga disediakan
rumah sakit swasta.
Beberapa kategori pengaduan pelayanan kesehatan: Pertama, persoalan non-
medik (mahalnya biaya rawat inap, soal keamanan di rumah sakit); Kedua,
persoalan medik (baik yang dilakukan oleh dokter, maupun oleh profesi
penunjang, seperti perawat, bidan).
Malpraktik profesi dokter
Malparktik profesi dokter, yaitu penyimpangan yang dilakukan dokter
dalam menjalankan profesinya, dari standar profesi yang ada yang menimbulkan
kerugian di pihak pasien. Hak-Hak Konsumen – Konsumen Jasa Pelayanan
Kesehatan Penggunaan alat canggih yang tidak proporsional dan rasional
Penggunaan alat canggih dalam praktek kedokteran terkadang berlebihan karena
sebenarnya hal itu bukan kebutuhan pasien, melainkan usaha rumah sakit untuk
menutupi beban biaya investasi pengadaan barang tersebut, jadi pasien menjadi
obyek pendapatan semata. Selain itu juga minimnya info yang diberikan tentang
alat ersebut kepada pasien makin merugikan pasien. Dokter yang merangkap
sebagai ”pedagang”. Dokter yang menjadi pedagang obat berpotensi
17
menimbulkan konflik kepentingan dan pada akhirnya pasien yang dirugikan,
karena harus mengkonsumsi obat lebih banyak sehingga biaya kesehatan menjadi
membengkak.
Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen
Ada berbagai macam usaha yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa konsumen, namun sebelum mengambil keputusan untuk melakukan
tindakan/aksi terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, terlebih dahulu
harus jelas hasil (outcame) apa yang diharpakan konsumen dari tindakan tersebut.
a) Mengajukan pengaduan kepada Asosiasi Industri
Lembaga yang juga dapat menjadi alternatif konsumen menyampaikan
pengaduan adalah Assosiasi Industri. Ada dua pendekatan: 1) fungsi penanganan
pengaduan konsumen langsung ditangani pengurus assosiasi; atau 2) assosiasi
yang membentuk lembaga khusus yang berfungsi menangani sengketa konsumen,
seperti assosiasi industri asuransi membentuk Badan Mediasi Asuransi Indonesia.
b) Membuat pengaduan ke Pelaku Usaha
Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu,
karena dalam banyak kasus antara konsumen dengan pelaku usaha berawal dari
burukya komunikasi, termasuk minimnya pemahaman konsumen tentang produk
yang dikonsumsi, dengan mengadu langsung ke pelaku usaha, pada umunya dapat
diselesaikan tanpa perlu ada bantuan / intervensi pihak ketiga.
c) Menulis surat pembaca di media cetak
Dengan menulis pengalaman buruk di media cetak tentang suatu produk
tingkat penyelesaian sangat rendah karena tergantung kepedulian dari pelaku
usaha aka nama baiknya. Namun cara ini baik untuk pendidikan konsumen lain
agar mengetahui info barang tersebut.
d) Membuat pengaduan ke LPKSM
Membuat pengaduan ke LPKSM dapat dengan berbagai akses, seperti:
surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar ditindak lanjuti, pengaduan
konsumen harus dilakukan tertulis atau datang langsung ke LPKSM dengan
mengisi form pengaduan konsumen. Mekanisme LPKSM dalam menyelesaikan
18
sengketa konsumen adalah dengan mengupayakan tercapainya kesepakatan antara
konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi.
e) Membuat Pengaduan / laporan tindak pidana ke Kepolisian
Dalam beberapa kasus pelanggaran terhadap hak konsumen ada yang
berdimensi pidana, oleh karena itu dapat diadukan ke Kepolisian. Laporan /
pengaduan ke kepolisian dapat menjadi dasar bagi kepolisian untuk mengambil
langkah hukum / polisional sehingga korban tidak berjatuhan lagi.
f) Mengirimkan somasi ke Pelaku Usaha
Somasi selain berisi teguran, juga memberi kesempatan terakhir kepada
tergugat untuk berbuat sesuatu dan atau untuk menghentikan suatu perbuatan
sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini lebih efektif, terlebih ketika
menyangkut kepentingan publik, akan sangat bagus somasi dilakukan kolektif dan
terbuka.
g) Mengajukan gugatan secara perorangan
Mengajukan gugatan perorangan untuk masalah sengketa konsumen
sangat tidak efektif, karena biaya akan sangat mahal dan lamanya waktu
penyelesaian.
h) Mengajukan Gugatan Perdata secara Perwakilan Kelompok (Class
Action)
Gugatan Perwakilan kelompok merupakan cara yang praktis, dimana
gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas.
Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung menuntut
ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Selain dalam UU
Perlindungan konsumen, gugatan class action juga diatur dalam UU Jasa
Konstruksi. Gugatan ini baik dipakai untuk kasus-kasus pelanggaran hak
konsumen secara massal
i) Meminta LPKSM mengajukan Gugatan Legal Standing
Menurut pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UU PK menyebutkan bahwa Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat mengajukan
gugatan legal standing dengan memenuhi syarat, yaitu :
19
1) Berbentuk badan hukum atau yayasan; yang
2) Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan
konsumen; dan
3) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
j) Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan Penyelaian Sengketa
Konsumen. Lembaga ini pendiriannya menjadi tanggungjawab pemerintah,
didirikan ditiap pemerintahan Kota/Daerah tingkat II. Tujuan BPSK untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 Ayat (1) UUPK)
melalui cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi yang anggotanya terdiri dari
unsur :
1) Pemerintah;
2) Lembaga konsumen; dan
3) Pelaku usaha (Pasal 49 Ayat (3) UUPK).
Tugas dan wewenang BPSK, meliputi:
1) penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui
mediasi/arbitrase/konsiliasi;
2) konsultasi perlindungan konsumen;
3) pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam UUPK;
5) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen;
6) meneliti dan memeriksa sengketa perlindungan konsumen;
7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran;
8) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK;
9) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli
atau setiap orang sebagaimana
k) Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional
Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat dilakukan jika seorang
mendapat pelayanan buruk dari lembaga pemerintah. Namun KON memiliki
20
kelemahan, yaitu kewenangannya terbatas meminta klarifikasi dan memberikan
rekomendasi, tanpa memiliki kewenangan eksekusi. Masalahnya adalah ketika
rekomendasi Komisi tidak ditindaklanjuti oleh lembaga yang diadukan
masyarakat, komisi juga tidak dapat berbuat apa-apa.
l) Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Periklanan Indonesia
Terkait iklan di bidang perumahan, seperti klaim iklan berlebihan, penggunaan
figur anak-anak dalam iklan perumahan, konsumen atau lembaga konsumen dapat
mengutarakan keluhannya ke Komisi Periklanan Indonesia, yaitu lembaga
“independen” yang dibentuk komunitas pengusaha periklanan yang tergabung
dalam PPPI yang secara fungsional menampung keluhan atau pengaduan
masyarakat terhadap visualisasi tayangan iklan. Namun, lembaga ini belum efektif
disebabkan: 1) Independensi komisi ini diragukan; 2) Tidak semua pengusaha
periklanan tergabung dalam PPPI;
m) Mengajukan Pengaduan kepada Organisasi Profesi
Dalam kasus sengketa konsumen jasa profesional, apabila jenis pelanggaran
masih dalam koridor kode etik, konsumen dapat mengadukan kepada Majelis
Kehormatan Etik masing-masing profesi. Sebagai contoh, jika ada indikasi notaris
melakukan malpraktik profesi yang potensial merugikan kepentingan masyarakat,
sebagai pengguna jasa, masyarakat dapat mengutarakan keberatan/pengaduan
Dewan Etik Ikatan Notaris Indonesia.
2.6 Peranan Lembaga Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Perlindungan Konsumen bukan lagi merupakan istilah atau kata baru
dalam kehidupan kita sehari-hari. Undang-Undang Perlindungan Konsumen pun
telah diundangkan sejak tahun 1999 di bawah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang tersebut pun telah
diberlakukan sejak tanggal diundangkannya. Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia telah berdiri jauh sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dibidani dan dilahirkan. Namun demikian perlindungan konsumen di Indonesia
masih jauh dari pengharapan. Tulisan ini dibuat untuk memberikan pemahaman
lagi bagi konsumen dan pelaku usaha di Indonesia mengenai pentingnya
21
perlindungan konsumen bagi semua, tidak hanya konsumen tetapi juga pelaku
usaha, karena eksistensi atau keberadaan perlindungan konsumen yang baik akan
menciptakan sustainability bagi pelaku usaha untuk jangka waktu yang panjang.Ja
adi perlindungan konsumen ini adalah suatu upaya (dalam lapangan hukum) yang
diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses
pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan
selanjutnya memutuskan untuk menggunakan barang dan jasa dengan spesifikasi
tertentu dan merek tertentu, hingga akibat yang terjadi setelah barang dan jasa
tersebut dipergunakan oleh konsumen. Yang disebut terdahulu, yaitu upaya
perlindungan pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses pemilihan
serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa disebut upaya preventif;
sedangkan upaya selanjutnya disebut dengan upaya kuratif.
Konsumen dilindungi dari setiap tindakan atau perbuatan dari produsen
barang dan atau jasa, importer, distributor penjual dan setiap pihak yang berada
dalam jalur perdagangan barang dan jasa ini, yang pada umumnya disebut dengan
nama pelaku usaha.Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen,
yaitu perlindungan priventlf dan perlindungan kuratif Perlindungan preventif
adalah perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen
tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan
atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah
barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli, atau
menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan
merek tertentu tersebut.
Perlindungan kuratif adalah perlindungan yang diberikan kepada
konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa
tertentu oleh konsumen.Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum
tentu dan tidak perlu serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan
atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu
barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang
tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau
jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.
22
Pembangunan perlindungan konsumen harus dilaksanakan bersama oleh
stakeholder-nya, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Gerakan
pemberdayaan konsumen perlu dikembangkan untuk melindungi kepentingan
konsumen secara integratif, menyeluruh, dan merata serta dapat diterapkan secara
efektif dan berkelanjutan didalam kehidupan seluruh masyarakat Indonesia.
Esensi Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada
hakekatnya memberikan aturan main kepada pelaku usaha agar melakukan
aktivitas usahanya secara profesional, jujur, beretika bisnis, tertib mutu, tertib
ukur dalam konteks pemenuhan persyaratan perlindungan konsumen dimana
barang dan jasa yang diperdagangkannya aman untuk dikonsumsi konsumen. Bila
aktivitas usaha dapat memenuhi itu semua, ditambah dengan pemenuhan
preferensi konsumen maka di pasar dalam negeri diharapkan tidak ada lagi
produk-produk sub standar yang beredar.
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menetapkan asas dan tujuan, hak dan kewajiban konsumen, perbuatan yang tidak
diperbolehkan dalam memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa,
tanggung jawab pelaku usaha, pembinaan dan pengawasan yang harus dilakukan
oleh pemerintah, peran kelembagaan perlindungan konsumen serta sanksi.
Pemerintah berkewajiban melakukan upaya pendidikan serta pembinaan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat atas hak-haknya sebagai konsumen. Melalui
instrumen yang sama juga diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha dalam
aktivitasnya, yang menerapkan prinsip ekonomi sekaligus tetap menjunjung hal-
hal yang patut menjadi hak konsumen.
Pemerintah bersama masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat (LPKSM) adalah pihak-pihak yang diberi tugas untuk
melakukan pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, selain
dilakukan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangannya, juga dilakukan atas barang/jasa
yang beredar di pasar.
Pasal 29 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan Peran Pemerintah dalam Pembinaan dan Penyelenggaraan
23
Perlindungan Konsumen, sedangkan Pasal 30 Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan mengenai peranan pemerintah
sebagai pengawas dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pasal 29 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen : Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku
usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri
teknis terkait. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi upaya untuk :
1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konsumen
2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
3. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan
4. Pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
24