BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

32
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Perlindungan Konsumen serta Dasar Hukumnya Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen. Keseluruhan asas-asas dan kaidah- kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam Hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”. Bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 : “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Menurut GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a: “ … pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…” UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia 5

Transcript of BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Page 1: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perlindungan Konsumen serta Dasar Hukumnya

Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk

melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual

diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada

konsumen. Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan

melindungi konsumen dalam Hubungan dan masalahnya dengan para penyedia

barang dan/ atau jasa konsumen”. Bahwa Hukum perlindungan Konsumen

dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan

Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 : “segala upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen”.

Menurut GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV,

huruf F butir 4a: “ … pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar

arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya

saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…”

UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya

adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan

barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau

penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.

Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen :

5

Page 2: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Pasal 1 butir 2 :

“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”.

Menurut Hornby :

“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau

menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli

barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang

yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap

orang yang menggunakan barang atau jasa”.

Sedangkan yang dimaksud Konsumen Akhir menurut aturan hukunm yang

berlaku di Indonesia adalah :

Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) : “Pemakai akhir

dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan

tidak diperjualbelikan”

Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia): “Pemakai

Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri

sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk

diperdagangkan kembali”.

Menurut KUH Perdata Baru Belanda : “orang alamiah yang

mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan

profesi atau perusahaan”.

Hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak

seimbang. Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan Konsumen :

“Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Sedangkan Pasal

3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen.

Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat

mengajukan perlindungan adalah:

6

Page 3: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21

ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.

2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan

lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821

3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.

4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif

Penyelesian Sengketa

5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan

dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.

235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang

ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota

7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795

/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan

Konsumen. Perlindungan Konsumen bertujuan :

a.       meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

b.      mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;

c.       meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d.      menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi;

e.       menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

7

Page 4: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

f.        meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan , kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan konsumen.

2.2 Manfaat Hukum Perlindungan Konsumen

Secara eksplisit hak-hak konsumen belum diatur konstitusi, namun

terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakomodir hak-hak

konsumen, yaitu

1) pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir

dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup

yang baik dan sehat serta berhak memperolah pelayanan kesehatan;

2) pasal 31 ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan ; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan

dasar dan pemerintah wajib membiayainya;

3) pasal 34 ayat (3): negara bertanggung jawab atas penyediaan

fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang

layak;

UU Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detil dari

hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak ekonomi yang tercantum dalam

Kovenan Internasional Hak Ekosob. Kehadiran UU Perlindungan Konsumen

adalah wujud tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan sistem

perlindungan konsumen, sehingga ada kepastian hukum baik bagi pelaku usaha

agar tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab, maupun bagi konsumen, yang

merupakan pengakuan harkat dan martabatnya.

     

2.3 Isi Undang – Undang Perlindungan Konsumen

Isi dari UUPK selain asas dan tujuan serta hak dan kewajiban konsumen

dan pelaku usaha, dari segi materi hukum, secara umum UUPK mengatur

sekaligus hukum acara/formil dan hukum materiil. Kemusdian UUPK juga

mengatur kelembagaan perlindungan konsumen tingkat pusat dalam bentuk Badan

Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), maupun di daerah dalam bentuk

8

Page 5: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), juga tentang penyelesaian

sengketa konsumen dan ketentuan pidananya.

      Definisi Konsumen dalam UUPK: Konsumen adalah setiap orang yang

memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.

      Definsi Pelaku Usaha dalam UUPK: Pelaku usaha adalah setiap orang

perseorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-

sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi. Ada dua jenis pelaku usaha, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dalam

konteks advokasi konsumen, yang relevan untuk dijadikan ?sasaran? advokasi

adalah pelaku usaha dalam bentuk badan usaha. Sedangkan pelaku usaha

perseorangan, dalam praktik muncul dalam bentuk pengusaha kecil/lemah, justru

masuk kelompok yang juga harus mendapat pembelaan/ advokasi.

Definisi Barang dalam UUPK: Barang adalah setiap benda baik berwujud

maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan

maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,

dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

      Definisi Jasa dalam UUPK : Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk

pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan

konsumen. Dalam praktik di lapangan, keberadaan jasa dapat dibedakan menjadi

empat, yaitu: 1) Jasa komersial: seperti bank, asuransi, telekomunikasi,

transportasi, dll; 2) Jasa non-komersial: seperti jasa pendidikan, jasa pelayanan

kesehatan; 3) Jasa professional: seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan,

arsitek, dll; 4) Jasa layanan public: seperti pembuatan SIM, KTP, Pasport,

sertifikat tanah, dll. Sedangkan dari aspek penyedia dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu: 1) badan hukum privat, baik yang bersifat komersial (Perseroan Terbatas)

maupun non-komersial (Yayasan); dan 2) badan hukum publik. UU Perlindungan

9

Page 6: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Konsumen terbatas hanya mencakup jasa yang disediakan oleh badan hukum

komersial.

      Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM):

LPKSM adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh

pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Ruang

lingkup kegiatan LPKSM meliputi: penanganan pengaduan konsumen, pendidikan

konsumen, penerbitan majalah/buku konsumen, penelitian dan pengujian, dan

advokasi kebijakan.

2.4 Hak-Hak Konsumen

Berikut ini adalah hak-hak konsumen yang dapat diperoleh:

1) Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan: Bagi konsumen hak ini

harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif

keyakinan/ajaran agama tertentu.

2) Hak Untuk Memilih : Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang

dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah

terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih.

3) Hak Atas Informasi : Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi

barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya

terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek

untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara

satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis.

4) Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya : Ada dua instrumen dalam

mengakomodir hak untuk didengar: Pertama, Pemerintah melalui aturan hukum

tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen; Kedua, melalui

pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan

pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang

mewakili konsumen.

5) Hak Untuk Mendapatkan Advokasi: Dengan hak ini, konsumen mendapat

perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi

ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial.

10

Page 7: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Hak ini dapat dipenuhi dengan cara :

1.    Konsultasi hukum, diberikan pada konsumen menengah ke bawah.

Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan atau

instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen;

2.     Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class

action);

3.    Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya

lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh

pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di

setiap pemerintah kota / kabupaten.

6) Hak Untuk Mendapat Pendidikan : Definisi dasar hak ini adalah konsumen

harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam

pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh

lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen.

Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung

jawab pelaku usaha.

7) Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara Diskriminatif : Tindakan diskriminatif

secara sederhana adalah adanya disparitas, adanya perlakukan yang berbeda untuk

pengguna jasa/produk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama.

Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub kategori

pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar

konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif.

8) Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi : Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi

oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku

usaha tersebut.

Bentuk ganti rugi dapat berupa :

1)    pengembalian uang;

2)    penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;

3) perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2)

UUPK).

11

Page 8: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

9)    Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan Lainnya : Selain

hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen,

seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu dimungkinkan adanya hak konsumen

tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.

2.5 Bentuk Pelanggaran Hak-hak Konsumen dalam Dunia Usaha dan

Penyelesaiannya.

Pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia merupakan hal yang jamak,

masih kita jumpai sehari-hari kasus keracunan makanan dan kecelakaan yang

menempatkan konsumen sebagai korban. Beberapa sebab terjadinya pelanggaran

hak konsumen adalah rendahnya tanggung jawab pelaku usaha, tidak

maksimalnya regulasi pemerintah, dan mandulnya penegakkan hukum.

Pelanggaran hak-hak konsumen dapat berupa pelanggaran bersifat substantif

maupun prosedural sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen atau

berbagai UU sektoral.

Konsumen Perumahan

Ada dua kelompok pengaduan konsumen perumahan, yaitu:

1.    sebagai akibat telah terjadinya pelanggaran hak-hak individu

konsumen perumahan. Seperti, mutu bangunan di bawah standar, ukuran

luas tanah tidak sesuai, dll;

2.    sebagai akibat pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan.

Seperti, tidak dibangunnya fasilitas sosial / umum, sertifikasi, rumah

fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim / informasi dalam iklan / brosur

dan pameran perumahan.

Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum)

Fasilitas sosial dan fasilitas umum yang diiklankan dalam sumber

informasi bagi konsumen, yaitu iklan, brosur perumahan dan pameran perumahan

terkadang tidak didapat sebagaimana mestinya, banyak fasilitas yang

diperjanjikan dalam brosur pada akhirnya hanya menjadi promosi semata dari

pengembang. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap konsumen perumahan

yang dilakukan oleh pengembang (jika menjadi penangggung jawab membangun

12

Page 9: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

fasilitas umum) maupun oleh Pemda setempat (jika informasi tersebut bersumber

pada dokumen resmi yang dikeluarkan Pemda).

Menghadapi persoalan diatas dibutuhkan dua kebijakan pemerintah dalam rangka

melindungi kepentingan konsumen perumahan.

1.    kebijakan yang bersifat komplementer. Artinya, kebijakan yang berisi

ketentuan hukum yang memungkinkan konsumen mendapatkan informasi tentang

fasilitas umum yang harus disediakan pengembang;

2.    kebijakan yang bersifat kompensatoris. Artinya, terhadap praktik-praktik

pemasaran dan pembangunan perumahan yang menimbulkan kerugian bagi pihak

konsumen dapat menuntut ganti rugi kepada pengembang.

Penjualan Rumah Fiktif

Korban kasus penjualan rumah fiktif biasanya adalah golongan masyarakat

yang benar-benar membutuhkan rumah yang umumnya kelompok masyarakat

menengah ke bawah. Ada dua instrumen hukum yang dapat dilakukan calon

konsumen yang menjadi korban kasus perumahan fiktif untuk menuntut

pengembalian uang yang telah disetorkan kepada pengembang :

a)    seperti diatur dalam Pasal 98 KUHP :

Jika seuatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam pemeriksaan perkara

pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang

atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara

gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Artinya, kerugian bagi orang

lain yang dimaksud pasal itu termasuk pula kerugian pihak korban. Dan

penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana yang dimaksud adalah agar

perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa sekaligus;

b)    berdasarkan putusan dalam perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, para korban secara terpisah dapat mengajukan gugatan perdata ke

pengadilan untuk menuntut ganti rugi dengan tuntutan pengembang diduga telah

melakukan perbuatan melawan hukum. Namun untuk proses yang lebih efektif

beracara dalam advokasi konsumen kasus rumah fiktif adalah dengan

menggunakan mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action).

Konsumen jasa ketenagalistrikan

13

Page 10: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Dua ketidakadilan dalam penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia:

1.    dalam bentuk, baru ada sekitar 54 persen masyarakat Indonesia yang

dapat mengakses listrik;

2.    masyarakat yang sudah mendapatkan aliran listrik, sebagai

konsumen hak-hanya masih sering terabaikan karena seringnya

pemadaman, voltase turun-naik, dan akurasi pencatatan meter.

Pencatatan Meter

Permasalahan pencatatan meter mendominasi kasus yang dialami

konsumen. Biasanya kesalahan petugas dari PLN ternyata dibebankan kepada

konsumen, dalam bentuk :

1.   konsumen membayar tidak sesuai dengan pamakaian;

2.   beban tagihan menjadi menumpuk, sehingga memberatkan

konsumen.

Pemadaman tanpa pemberitahuan

Kerugian konsumen akibat pemadaman, dalam bentuk :

1.    biaya, karena akibat pemadaman konsumen harus mengeluarkan

biaya ekstra, seperti beli lilin, dll;

2.    hilangya potensi pendapatan, seperti usaha photo kopy misalnya,

karena pemadaman, usahanya terhambat;

3.    kerusakan alat-alat elektronik, atau usia alat-alat elektronik menjadi

tidak tahan lama.

Pemadaman yang terjadi karena sebab yang masih dalam kendali PLN, mestinya

ada kompensasi financial bagi konsumen.

Voltase tidak stabil

Voltase tidak stabil adalah bentuk pelanggaran hak-hak konsumen, khususnya

hak atas keamanan dan keselamatan dan hak konsumen untuk mendapatkan

barang dan atau jasa yang sesui dengan standar sebagaimana yang telah dijanjikan

oleh pelaku usaha. Contoh: masyarakat mendapatkan tenaga listrik jauh di bawah

atau di atas yang sudah diumumkan PLN.

Penerangan Jalan Umum

14

Page 11: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Pajak Penerangan Jalan Umum dibebani pada konsumen PLN, namun dalam

kenyataannya tidak semua konsumen PLN menikmati dari pajak yang telah

mereka bayar. Keluarnya Keppres No. 89 tahun 2002 tentang Harga Jual Tenaga

Listrik tahun 2003, ada keharusan dari PT PLN untuk mendeklare Tingkat Mutu

Pelayanan (TMP) di masing masing cabang untuk penerangan jalan, meliputi :

1)    frekuensi pemadaman per 3 bulan;

2)    lama pemadaman per 3 bulan; dan

3)    akurasi pencatatan meter. Jika dalam realisasi, PLN tidak dapat

memenuhi TMP yang dideklare, PT PLN harus membayar denda/penalty

kepada konsumen sebesar 10 persen dari biaya beban. Namun, dalam

praktik tidak banyak cabang PLN yang mensosialisasikan TMP kepada

konsumen.

Konsumen jasa Perbankan

Dalam praktik merebut nasabah cara yang dilakukan bank tidak diimbangi

dengan memberikan informasi yang utuh tentang produk jasa perbankan tersebut,

sehingga muncul berbagai keluhan konsumen jasa perbankan.

Produk ATM

Ada empat persoalan dari Produk ATM (Automated Teller Machine),

yaitu:

1. Keberanan iklan ATM, ketika mau menggunakan ATM dalam

keadaan tidak berfungsi dan tidak ada penjelasan dari bank;

2. Kerjanjian standar dalam aplikasi permohonan ATM yang berat

sebelah;

3. Informasi tentang produk ATM sangat minim. Beberapa pemegang

ATM mengeluh, uang yang ditelan boks ATM, namun saldo rekening

konsumen tetap di-debet;

4. Soal mekanisme penyelesian komplain pemegang ATM. Konsumen

tidak merasa menarik tunai melalui ATM, tetapi didapati saldo rekening

konsumen berkurang. Dalam kasus seperti ini, posisi konsumen sangat

lemah, karena secara teknis konsumen tidak mungkin meng-counter

pembuktian yang disodorkan pihak bank penerbit ATM.

15

Page 12: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Produk Kartu kredit

Persoalan yang sering dikeluhkan konsumen kartu kredit antara lain : 1)

Iklan. Ikaln yang gencar dilakukan umumnya berkesan menyenagkan konsumen.

Padahal, tersembunyi maksud untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari

kantung konsumen; Kedua, perjanjian standar yang isinya berat sebelah. Setiap

pemohon kartu kredit, terlebih dahulu harus mengisi aplikasi permohonan kartu

kredit yang dibuat dalam bentuk standar, pemohon tidak ada alternatif lain, selain

setuju dengan persyaratan yang ditentukan secara sepihak oleh bank; 3) besaran

dan cara menghitung bunga/penalty. Tidak banyak konsumen kartu kredit yang

tahu atau peduli, bagaimana bank mengenakan biaya terhadap konsumen,

sehingga sangat sulit untuk konsumen ikut mengoreksi jika terjadi kekeliruan

dalam penagihan.

Konsumen produk Obat-obatan

Beragam persoalan yang dihadapi konsumen produk obat-obatan di

Indonesia: Dari persoalan makro menyangkut peran pemerintah dalam pengadaan

obat murah, persoalan hak kekayaan intelektual obat-obat paten yang membuat

harga obat melambung, soal tata niaga produk obat yang syarat dengan kartel,

keberadaan obat palsu, penggunaan obat yang tidak rasional, sampai soal belum

optimalnya apoteker, khususnya dalam pelayanan kefarmasian kepada

masyarakat.

Konsumsi obat yang tidak rasional

Temuan Purnawati S. Pujiarto (konsultan kesehatan WHO Indonesia),

terbukti bahwa 69,6 % anak-anak yang sakit di Indonesia, diberikan lebih dari 4

macam jenis obat, sementara 35,3 % anak-anak yang sakit mendapat lima macam

obat. Padahal rata-rata penyakit anak tersebut, bisa sembuh tanpa harus ke dokter.

Ini menjadi bukti tidak rasionalnya konsumsi obat yang diberikan oleh dokter.

Ada dua potensi pelanggaran hak-hak konsumen dari konsumsi obat yang tidak

rasional, yaitu pelanggaran hak atas informasi dan hak atas keamanan.

Maraknya obat palsu

Data WHO menyebutkan, peredaran obat palsu di negara berkembang,

termasuk Indonesia, mencapai 20 % – 40 %. Praktik peredaran obat palsu terjadi

16

Page 13: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

karena lemahnya pengawasan pemerintah dan juga karena rendahnya daya beli

masyarakat.

Tidak optimalnya peran apoteker

Apotik berbeda dengan toko obat, jika pasien menebus obat di apotik,

pasien mendapatkan dua bentuk produk, yaitu obat tersebut dan informasinya.

Namun selama ini, tidak banyak konsumen yang memperolah informasi obat

ketika menebus obat di apotek, karena tidak ada apoteker ketika menebus obat.

Hal ini merugikan konsumen, karena selain tidak mendapat informasi obat dari

personil yang kompeten, juga tidak dapat berkonsultasi menyangkut obat yang

akan dikonsumsi, baik manfaat obat maupun resikonya.

Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan

Ada dua kategori pelayanan kesehatan :

1) pelayanan kesehatan tingkat dasar, hal ini menjadi tanggung jawab

Pemerintah;

2) pelayanan kesehatan lanjutan, disedikan pemerintah juga disediakan

rumah sakit swasta.

Beberapa kategori pengaduan pelayanan kesehatan: Pertama, persoalan non-

medik (mahalnya biaya rawat inap, soal keamanan di rumah sakit); Kedua,

persoalan medik (baik yang dilakukan oleh dokter, maupun oleh profesi

penunjang, seperti perawat, bidan).

Malpraktik profesi dokter

Malparktik profesi dokter, yaitu penyimpangan yang dilakukan dokter

dalam menjalankan profesinya, dari standar profesi yang ada yang menimbulkan

kerugian di pihak pasien. Hak-Hak Konsumen – Konsumen Jasa Pelayanan

Kesehatan Penggunaan alat canggih yang tidak proporsional dan rasional

Penggunaan alat canggih dalam praktek kedokteran terkadang berlebihan karena

sebenarnya hal itu bukan kebutuhan pasien, melainkan usaha rumah sakit untuk

menutupi beban biaya investasi pengadaan barang tersebut, jadi pasien menjadi

obyek pendapatan semata. Selain itu juga minimnya info yang diberikan tentang

alat ersebut kepada pasien makin merugikan pasien. Dokter yang merangkap

sebagai ”pedagang”. Dokter yang menjadi pedagang obat berpotensi

17

Page 14: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

menimbulkan konflik kepentingan dan pada akhirnya pasien yang dirugikan,

karena harus mengkonsumsi obat lebih banyak sehingga biaya kesehatan menjadi

membengkak.

Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen

Ada berbagai macam usaha yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan

sengketa konsumen, namun sebelum mengambil keputusan untuk melakukan

tindakan/aksi terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, terlebih dahulu

harus jelas hasil (outcame) apa yang diharpakan konsumen dari tindakan tersebut.

a)     Mengajukan pengaduan kepada Asosiasi Industri

Lembaga yang juga dapat menjadi alternatif konsumen menyampaikan

pengaduan adalah Assosiasi Industri. Ada dua pendekatan: 1) fungsi penanganan

pengaduan konsumen langsung ditangani pengurus assosiasi; atau 2) assosiasi

yang membentuk lembaga khusus yang berfungsi menangani sengketa konsumen,

seperti assosiasi industri asuransi membentuk Badan Mediasi Asuransi Indonesia.

b)    Membuat pengaduan ke Pelaku Usaha

Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu,

karena dalam banyak kasus antara konsumen dengan pelaku usaha berawal dari

burukya komunikasi, termasuk minimnya pemahaman konsumen tentang produk

yang dikonsumsi, dengan mengadu langsung ke pelaku usaha, pada umunya dapat

diselesaikan tanpa perlu ada bantuan / intervensi pihak ketiga.

c)  Menulis surat pembaca di media cetak

Dengan menulis pengalaman buruk di media cetak tentang suatu produk

tingkat penyelesaian sangat rendah karena tergantung kepedulian dari pelaku

usaha aka nama baiknya. Namun cara ini baik untuk pendidikan konsumen lain

agar mengetahui info barang tersebut.

d)  Membuat pengaduan ke LPKSM

Membuat pengaduan ke LPKSM dapat dengan berbagai akses, seperti:

surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar ditindak lanjuti, pengaduan

konsumen harus dilakukan tertulis atau datang langsung ke LPKSM dengan

mengisi form pengaduan konsumen. Mekanisme LPKSM dalam menyelesaikan

18

Page 15: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

sengketa konsumen adalah dengan mengupayakan tercapainya kesepakatan antara

konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi.

e)  Membuat Pengaduan / laporan tindak pidana ke Kepolisian

Dalam beberapa kasus pelanggaran terhadap hak konsumen ada yang

berdimensi pidana, oleh karena itu dapat diadukan ke Kepolisian. Laporan /

pengaduan ke kepolisian dapat menjadi dasar bagi kepolisian untuk mengambil

langkah hukum / polisional sehingga korban tidak berjatuhan lagi.

f)   Mengirimkan somasi ke Pelaku Usaha

Somasi selain berisi teguran, juga memberi kesempatan terakhir kepada

tergugat untuk berbuat sesuatu dan atau untuk menghentikan suatu perbuatan

sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini lebih efektif, terlebih ketika

menyangkut kepentingan publik, akan sangat bagus somasi dilakukan kolektif dan

terbuka.

g)  Mengajukan gugatan secara perorangan

Mengajukan gugatan perorangan untuk masalah sengketa konsumen

sangat tidak efektif, karena biaya akan sangat mahal dan lamanya waktu

penyelesaian.

h)  Mengajukan Gugatan Perdata secara Perwakilan Kelompok (Class

Action)

Gugatan Perwakilan kelompok merupakan cara yang praktis, dimana

gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas.

Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung menuntut

ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Selain dalam UU

Perlindungan konsumen, gugatan class action juga diatur dalam UU Jasa

Konstruksi. Gugatan ini baik dipakai untuk kasus-kasus pelanggaran hak

konsumen secara massal

i)   Meminta LPKSM mengajukan Gugatan Legal Standing

Menurut pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UU PK menyebutkan bahwa Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat mengajukan

gugatan legal standing dengan memenuhi syarat, yaitu :

19

Page 16: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

1) Berbentuk badan hukum atau yayasan; yang

2) Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan

konsumen; dan

3) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

j)    Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan Penyelaian Sengketa

Konsumen. Lembaga ini pendiriannya menjadi tanggungjawab pemerintah,

didirikan ditiap pemerintahan Kota/Daerah tingkat II. Tujuan BPSK untuk

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 Ayat (1) UUPK)

melalui cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi yang anggotanya terdiri dari

unsur :

1) Pemerintah;

2) Lembaga konsumen; dan

3) Pelaku usaha (Pasal 49 Ayat (3) UUPK).

Tugas dan wewenang BPSK, meliputi:

1) penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui

mediasi/arbitrase/konsiliasi;

2) konsultasi perlindungan konsumen;

3) pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

4) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan

dalam UUPK;

5) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen;

6) meneliti dan memeriksa sengketa perlindungan konsumen;

7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran; 

8) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK;

9) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli

atau setiap orang sebagaimana

k)  Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional

Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat dilakukan jika seorang

mendapat pelayanan buruk dari lembaga pemerintah. Namun KON memiliki

20

Page 17: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

kelemahan, yaitu kewenangannya terbatas meminta klarifikasi dan memberikan

rekomendasi, tanpa memiliki kewenangan eksekusi. Masalahnya adalah ketika

rekomendasi Komisi tidak ditindaklanjuti oleh lembaga yang diadukan

masyarakat, komisi juga tidak dapat berbuat apa-apa.

l)       Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Periklanan Indonesia

Terkait iklan di bidang perumahan, seperti klaim iklan berlebihan, penggunaan

figur anak-anak dalam iklan perumahan, konsumen atau lembaga konsumen dapat

mengutarakan keluhannya ke Komisi Periklanan Indonesia, yaitu lembaga

“independen” yang dibentuk komunitas pengusaha periklanan yang tergabung

dalam PPPI yang secara fungsional menampung keluhan atau pengaduan

masyarakat terhadap visualisasi tayangan iklan. Namun, lembaga ini belum efektif

disebabkan: 1) Independensi komisi ini diragukan; 2) Tidak semua pengusaha

periklanan tergabung dalam PPPI;

m)    Mengajukan Pengaduan kepada Organisasi Profesi

Dalam kasus sengketa konsumen jasa profesional, apabila jenis pelanggaran

masih dalam koridor kode etik, konsumen dapat mengadukan kepada Majelis

Kehormatan Etik masing-masing profesi. Sebagai contoh, jika ada indikasi notaris

melakukan malpraktik profesi yang potensial merugikan kepentingan masyarakat,

sebagai pengguna jasa, masyarakat dapat mengutarakan keberatan/pengaduan

Dewan Etik Ikatan Notaris Indonesia.

2.6 Peranan Lembaga Perlindungan Konsumen di Indonesia.

Perlindungan Konsumen bukan lagi merupakan istilah atau kata baru

dalam kehidupan kita sehari-hari. Undang-Undang Perlindungan Konsumen pun

telah diundangkan sejak tahun 1999 di bawah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang tersebut pun telah

diberlakukan sejak tanggal diundangkannya. Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia telah berdiri jauh sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen

dibidani dan dilahirkan. Namun demikian perlindungan konsumen di Indonesia

masih jauh dari pengharapan. Tulisan ini dibuat untuk memberikan pemahaman

lagi bagi konsumen dan pelaku usaha di Indonesia mengenai pentingnya

21

Page 18: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

perlindungan konsumen bagi semua, tidak hanya konsumen tetapi juga pelaku

usaha, karena eksistensi atau keberadaan perlindungan konsumen yang baik akan

menciptakan sustainability bagi pelaku usaha untuk jangka waktu yang panjang.Ja

adi perlindungan konsumen ini adalah suatu upaya (dalam lapangan hukum) yang

diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses

pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan

selanjutnya memutuskan untuk menggunakan barang dan jasa dengan spesifikasi

tertentu dan merek tertentu, hingga akibat yang terjadi setelah barang dan jasa

tersebut dipergunakan oleh konsumen. Yang disebut terdahulu, yaitu upaya

perlindungan pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses pemilihan

serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa disebut upaya preventif;

sedangkan upaya selanjutnya disebut dengan upaya kuratif.

Konsumen dilindungi dari setiap tindakan atau perbuatan dari produsen

barang dan atau jasa, importer, distributor penjual dan setiap pihak yang berada

dalam jalur perdagangan barang dan jasa ini, yang pada umumnya disebut dengan

nama pelaku usaha.Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen,

yaitu perlindungan priventlf dan perlindungan kuratif Perlindungan preventif

adalah perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen

tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan

atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah

barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli, atau

menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan

merek tertentu tersebut.

Perlindungan kuratif adalah perlindungan yang diberikan kepada

konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa

tertentu oleh konsumen.Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum

tentu dan tidak perlu serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan

atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu

barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang

tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau

jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.

22

Page 19: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Pembangunan perlindungan konsumen harus dilaksanakan bersama oleh

stakeholder-nya, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Gerakan

pemberdayaan konsumen perlu dikembangkan untuk melindungi kepentingan

konsumen secara integratif, menyeluruh, dan merata serta dapat diterapkan secara

efektif dan berkelanjutan didalam kehidupan seluruh masyarakat Indonesia.

Esensi Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada

hakekatnya memberikan aturan main kepada pelaku usaha agar melakukan

aktivitas usahanya secara profesional, jujur, beretika bisnis, tertib mutu, tertib

ukur dalam konteks pemenuhan persyaratan perlindungan konsumen dimana

barang dan jasa yang diperdagangkannya aman untuk dikonsumsi konsumen. Bila

aktivitas usaha dapat memenuhi itu semua, ditambah dengan pemenuhan

preferensi konsumen maka di pasar dalam negeri diharapkan tidak ada lagi

produk-produk sub standar yang beredar.

Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menetapkan asas dan tujuan, hak dan kewajiban konsumen, perbuatan yang tidak

diperbolehkan dalam memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa,

tanggung jawab pelaku usaha, pembinaan dan pengawasan yang harus dilakukan

oleh pemerintah, peran kelembagaan perlindungan konsumen serta sanksi.

Pemerintah berkewajiban melakukan upaya pendidikan serta pembinaan untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat atas hak-haknya sebagai konsumen. Melalui

instrumen yang sama juga diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha dalam

aktivitasnya, yang menerapkan prinsip ekonomi sekaligus tetap menjunjung hal-

hal yang patut menjadi hak konsumen.

Pemerintah bersama masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat (LPKSM) adalah pihak-pihak yang diberi tugas untuk

melakukan pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, selain

dilakukan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan

ketentuan peraturan perundang-undangannya, juga dilakukan atas barang/jasa

yang beredar di pasar.

Pasal 29 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan Peran Pemerintah dalam Pembinaan dan Penyelenggaraan

23

Page 20: BAB II Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen, sedangkan Pasal 30 Undang-undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan mengenai peranan pemerintah

sebagai pengawas dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Pasal 29 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen : Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku

usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri

teknis terkait. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi

atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) meliputi upaya untuk :

1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara

pelaku usaha dan konsumen

2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

3. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan

penelitian dan

4. Pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

24