Post on 30-Oct-2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber paling utama dalam Islam adalah al-Qur`an,1 yang merupakan
sumber pokok bagi aqidah, ibadah, etika, dan hukum. Dan hadis Nabi menempati
otoritas kedua setelahnya.2 Al-Qur`an berfungsi sebagai petunjuk jalan yang
sebaik-baiknya bagi segenap umat manusia demi tercapainya kebahagian dan
keselamatan dalam hidup mereka. Hal itu berarti misi yang paling terpenting dari
al-Qur`an adalah memberikan tuntunan bagi manusia mengenai apa-apa yang
seharusnya ia perbuat dan ia tinggalkan dalam kehidupan kesehariannya.3
1 Al-Qur`an adalah kalam Allah SWT, yang diturunkan dalam bentuk kata dan makna, dan secara
keseluruhan bersifat autentik dalam otoritas Ilahi. Yang keotentikannya dijamin oleh Allah SWT, dan
ia adalah kitab yang selalu dipelihara sebagaimana firmannya: Innā nah}nu nazzalnā al-dhikra wa
innā lahu lah}āfiz}ūn (sesungguhnya kami menurunkan al-Qur`an dan kamilah pemelihara-
pemeliharanya), QS. (15): 9. Muhammad Abdul Halim, Memahami al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan
Tema, terj. Rofik Suhud (Bandung: Marja`, 2002), 21. Disamping itu, periwayatan ayat-ayat al-Qur'an
berlangsung secara mutawātir. Istilah mutawātir secara bahasa berarti tatābu' (berurutan). Sedangkan
dalam terminologi 'Ulūm al-Hadīth, istilah mutawātir adalah berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak pada setiap tingkatan mulai dari tingkat sahabat hingga mukharrij yang menurut ukuran rasio
serta kebiasaan, mustahil para periwayat yang jumlahnya banyak tersebut, bersepakat untuk berdusta.
Lihat S}ubh}i al-S}ālih}, 'Ulūm al-Hadīth wa Mus}t{alah}uhu (Beirut: Dar al-'Ilm li al-Malayin,
1997), 146. Mah}mūd al-Tah}ān, Taisīr Mus}talah} al-Hadīth, (Surabaya: Shirkah Bungkul Indah,
1985), 18. sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawātir dan sebagian lainnya
diriwayatkan secara āh}ad. Istilah āh}ad dalam 'Ulūm al-Hadīth memiliki pengertian berita yang
disampaikan oleh orang perorang yang tidak sampai pada derajat mutawātir. Oleh karenanya,
al-Qur'an memiliki kedudukan qat'ī al-wurūd sedangkan hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat'ī
al-wurūd dan sebagian lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan zannī al-wurūd. Maksud dari
qat'ī al-wurūd atau qat'ī al-thubūt adalah kebenaran beritanya absolut (mutlak), sedangkan zannī al-
wurūd atau zannī al-thubūt adalah tingkatan kebenaran dari beritanya adalah nisbī (relatif). Lihat
al-Shātibī, al-Muwāfaqāt fī usūl al-Sharī'ah (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, t.t), 3: 15-16. 2 Ibid. 3 Miftahul Huda, al-Qur`an dalam Perspektif Etika dan Hukum (Yogyakarta: TERAS, 2009), 105.
2
Dalam al-Qur`an, Allah SWT memberikan tuntunan bagaimana
seharusnya seseorang dalam kesehariannya untuk memperhatikan busana atau
pakaiannya menurut Islam. Demi menjaga kehormatan, harkat serta martabatnya,
dan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang jauh dari norma-norma agama.
Namun seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mode4 busana
saat ini berkembang dengan pesat, walaupun kadang kala mode tersebut tidak
sesuai dengan tata cara berbusana yang baik, namun mode tetap bergulir dari
waktu ke waktu yang tidak bisa dihindarkan.
Setiap mode yang muncul selalu saja ada yang pro dan kontra, apalagi
Indonesia yang terdiri dari bermacam macam suku dan keyakinan, yang masing-
masing mempunyai busana yang beraneka ragam. Bagi masyarakat yang terlalu
kaku dan fanatik dengan tata cara aturan berbusana, tentu akan sulit mengikuti
perkembangan mode. Hal ini masih dianggap wajar, karena tanpa disadari mode
tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh mode yang datang dari manca negara
yang mungkin akan besar pengaruhnya terhadap kepribadian seseorang.5
Sedangkan dalam Islam, pakaian menempati posisi yang signifikan
terhadap pembentukan kepribadian dan karakter muslim yang taqwa. Urgensi
pakaian nampak, ketika Islam memerintahkan agar setiap laki-laki maupun
perempuan menutupi aurat pada pelaksanaan ibadah, seperti shalat, dan dalam
4 Mode adalah cara, bentuk yang terbaru pada waktu tertentu. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 589. 5 http://jakartagrosir.com/perkembangan-mode-pakaian-blog-56.html. diakses tgl 21 April 2012.
3
pergaulan sehari-hari.6 Selain sebagai penutup aurat, pakaian juga menjadi
simbol karakter atau watak yang memakainya.7 Dalam al-Qur`an, Allah SWT
menyebutkan pakaian dengan kata libās8, dan beberapa kata yang menjadi
sinonimnya.9
Kata libās tersebut, tidaklah semuanya mempunyai arti yang sama, yakni
pakaian yang berfungsi sebagai penutup aurat. Namun lebih dari itu Allah SWT
memberikan arti dan maksud yang berbeda-beda. Sebagaimana ayat:
فث إلى نسآئكم هن يام الر لباس لكم وأنتم لباس لهن أحل لكم ليلة الص
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka”.10
Dari ayat di atas, tentunya tidaklah sesuai bila kata libās diartikan sebagai
pakaian yang biasa dipakai oleh manusia berupa kain atau yang lainnya sebagai
penutup badan. Sehingga bagi kita, membutuhkan beberapa penafsiran ulama`,
guna membantu memahami ayat-ayat al-Qur`an.
6 Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh alā al-Madhāhib al-Arba`ah, vol 2, (Istambul: Waqf al Ikhlās,
1990), 191-192. Di kutip dalam A. Halil Thahir, Jilbab dan Hijab (Kediri: Stain Press, 2009), 1. 7 Abdul Halim Syuqqah, Kebebasan Wanita, vol 4, terj. As`ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press,
1997), 27. Dikutip kembali dalam Ibid. 8 Kata libās diulangi sebanyak 10 kali, yaitu di dalam QS. al-Baqarah (2): 187 (2 kali), QS. al-A`raf
(7): 26 (2 kali) dan 27, QS. al-Nah}l (16): 112, QS. al-Furqān (25): 47, QS. al-H}ajj (22): 23, QS.
Fāt}ir (35): 33, serta QS. al-Nabā` (78): 10. 9 Yaitu kata thaub, sarābīl, dalam istilah khusus bagi orang wanita yaitu hijāb, jilbāb, khimār. 10 QS. al-Baqarah (2): 187. Dan beberapa kata libās yang sesuai dengan ayat ini, yaitu: QS. al-A`raf
(7): 26. QS, al-Nah}l (16): 112, QS. al-Furqān ( 25): 47, QS. al-Nabā`(78): 10. Untuk kata libās yang
menunjukkan pakaian penduduk surga terdapat dalam QS. al-H{ajj (22): 23, dan QS.Fāt{ir (35): 33.
4
Dalam al-Qur`an, Allah SWT juga menegaskan tentang beberapa fungsi
dan macam-macam pakaian. Dan sebagian ulama` menjadikannya, sebagai dasar
istimbāt} tentang aturan berpakaian yang ditetapkan dalam Islam. Terutama bagi
kaum wanita, Sebagaimana ayat:
وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا
يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung kedadanya”.11
Hingga saat ini, para mufassir masih berselisih pendapat mengenai maksud zīnah
(perhiasan) dan pengecualian dalam ayat tersebut.12 Dari sini, kita akan bisa
mengetahui betapa pentingnya memahami al-Qur`an dengan disertai penafsiran-
penafsiran para ulama`, guna membantu kita dalam memahami apa yang tersirat
dan tersurat dalam al-Qur`an.
Sebenarnya kajian terhadap al-Qur`an memang telah lama dilakukan dari
beberapa segi, terutama dalam bidang penafsirannya yang selalu mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut merupakan tanda dari
adanya semangat dan keinginan umat Islam untuk dapat mendialogkan al-Qur`an
11 QS. al-Nūr (24): 31. 12 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan, 2003), 172-178. Bagi Imam al-Qurtubī
perhiasan di atas terbagi atas perhiasan yang berupa asal penciptaan (zīnah khilqiyyah). dan perhiasan
yang berupa hasil dari sebuah upaya (zīnah muktasabah). Lihat Abū `Abdillāh Muh{ammad al-
Qurtubī, Tafsir al-Jāmi` li Ah}kāmi al-Qur`ān ( Beirut: dār al-Fikr, t.th), 12: 229.
5
sebagai teks (nas}) yang memiliki keterbatasan dengan perkembangan problem
sosial yang dihadapi sebuah konteks (waqā`i). Hal itu juga merupakan satu
implikasi dari pandangan theologis umat Islam yang meyakini bahwa al-Quran
itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat.13
Dalam perkembangan tafsir di atas, tafsir diklasifikasikan dalam segi
sumbernya, terbagi menjadi dua, yaitu: tafsir bi al-ma`thūr,14 bi al-ra`y.15 Dalam
segi metodologinya, terdapat empat metode, yaitu: Tah}līlī,16 ijmālī,17 muqārin.18
dan mawd}ū`ī.19 Sedangkan dalam segi corak penafsirannya, muncul corak tafsir
13 Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin, Studi al-Qur`an Kontemporer: wacana baru berbagai
metodologi tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 9. 14 Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd. Hayyi al-farmawi yaitu penafsiran al-Qur`an yang
mendasarkan pada penjelasan al-Qur`an sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat menurut
ijtihadnya, dan pendapat tabi`in. Lihat Rasihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 143. 15 Tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui
bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbā al-
nuzūl, dan nāsikh mansūkh. Lihat Ibid., 151. 16 Menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya,
mulai dari uraian-uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar
pemisah (munāsabah), dengan bantuan asbāb al-nuzūl, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW,
sahabat dan tabi`in. Lihat Ibid., 159. 17 Penafsiran al-Qur`an secara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar, dengan cara mufassir
menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain selain arti yang dikehendaki. Hal ini
dilakukan ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai urutan mushaf, setelah itu mengemukakan inti
dalam kerangka uraian yang mudah. Lihat Said Agil Husin Al Munawwar, al-Qur`an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 71. 18Menafsirkan dengan cara mufassir mengambil beberapa ayat al-Qur`an, kemudian mengemukakan
penafsiran para ulama` tafsir terhadap ayat-ayat tersebut, dan membandingkan segi-segi dan
kecenderungan masing-masing dalam menafsirkan al-Qur`an. Lihat Ibid., 72. 19 Merupakan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode penyusunan ayat-ayat al-Qur’an
dalam sebuah tema atau judul. Atau bisa diartikan dengan menafsirkan al-Qur`an dengan cara
menetapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari
beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya,
sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pendapat
al-Quran. Lebih lanjut lihat Anshari, LAL, Tafsir Bi al-Ra`y, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010),
80-82.
6
sūfī,20 falsafī,21 fiqhī,22 `ilmī,23 lughawī,24 adāb ijtimā`ī25.26 Dengan keberadaan
klasifikasi tersebut, diharapkan bisa memfokuskan bagi pengkaji tafsir untuk
memahami al-Qur`an sesuai dengan kebutuhan.
Dari sekian banyak mufassir ternama, seperti Imam Ibn Jarīr al-Tabarī
dengan tafsir al-Tabarī, Imam Ibn Kathīr dengan tafsir Ibn Kathīr, dan yang lain-
lainnya. dengan tafsir yang bercorak fiqh, Imam al-Qurtubī dalam kitab tafsirnya
al-Jāmi` li Ah}kāmi al-Qur`ān mengambil beberapa pendapat dari fuqaha` untuk
mengantarkan penafsirannya. Dalam mengawali penafsirannya, Imam al-Qurtubī
20 Penafsiran di mana seorang sufi berpegang teguh terhadap apa yang ada di dalam lubuk hatinya
yang paling dalam, dengan latihan jiwa dan menyingkap batin serta hati tanpa berhubungan dengan
dahir ayat. Lihat Ibid., 91. 21 Penafsiran al-Qur`an dengan kecenderungannya terhadap filsafat. penafsiran semacam ini biasanya
digunakan untuk mengjangkau maksud-maksud yang esensial dikandung ayat-ayat al- Qur`an yang
berbicara tentang fenomena wujud alam dan penciptanya. Lihat Ibid., 89-90. 22 Corak tafsir yang mufassirnya memperhatikan istimbāt} hukum shar`ī terhadap ayat-ayat yang
berkaitan dengan hukum shar`ī yang lima. Lihat Ibid., 91. 23 Tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam ajaran-ajaran tertentu al-Qur`an atau
berusaha mendeduksi berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat al- Qur`an.
Tafsir ini dimunculkan atas asumsi bahwa al-Qur`an mengandung berbagai ilmu. Baik yang sudah ada
atau yang belum. Lihat M. Zaenal Arifin, Pemetaan Kajian Tafsir, (Kediri: Stain Press, 2010), 78. 24 Menafsirkan al-Qur`an dengan kecenderungan pendekatan dan analisa kebahasaan, cenderung untuk
menganalisa asal kata, bentuk lafad, asal usul lafad, lalu menggabungkan mulai dari bahasa, nahwu,
saraf, qirā`at, kemudian menjelaskan ayat menggunakan bait-bait shi`r Arab. Dan dilandasi prinsip-
prinsip perkembangan bahasa arab. Lihat Anshari, Tafsir Bi al Ra`y, 88. 25 Corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian
gaya bahasa al-Qur’an (balāghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir
menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan Sunnatullah yang tertuang di alam raya
dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin
secara khusus, dan persoalan umat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan
oleh al-Qur’an. 26 Rasihon, Ilmu Tafsir, 143-173. Namun bagi sebagian peneliti tafsir, pemetaan yang seperti di atas di-
rasa kurang tepat. Sebagaimana yang dilakukan oleh M.F. Zenrif dalam bukunya Sintesis Paradigma
Studi Al-Qur`an . Ia memetakan sebagai berikut: Metode tafsir dilihat dari sumbernya ada tiga yakni,
tafsir bi al-ma`thūr, bi al-ra`y, dan tafsir muqārin. Sedangkan bila dilihat dari pengumpulan datanya
ada dua yakni, tafsir tah{līlī, mawd{ū`ī. dan kalau dilihat dari paradigma penafsirannya ada tafsir shūfī,
fiqhī, falsafī, `ilmī, adābī. Untuk metode analisisnya terbagi atas tafsir ijmālī dan tafsīlī. Lihat M.F.
Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Tafsir (Malang: UIN-Malang press, 2008), 50.
7
terlebih dahulu mengkaji dari segi pemahaman lughāwī-nya. Yang kemudian
beliau menuju pada makna teknis (shar`ī). Bagaimana pengamalannya oleh Nabi
dan para sahabatnya27 terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitkan dengan
kasus yang sedang dihadapi. Karena itulah ketika beliau menafsirkan juga
mengikutkan ayat-ayat lain yang berbicara seputar kasus dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi sebagai latar belakang turunnya sebuah ayat (asbāb al-nuzūl).28
Sebagai contoh, ketika beliau menafsirkan surat al-A`raf (7): 26:
لباسا يواري سوآتكم وريشا ولباس يا بني آدم قد أنزلنا عليكم
لعلهم يذكرون التقوى ذلك خير ذلك من آيات الل
“Hai anak Adam sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan
pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
selalu ingat”.
Imam al-Qurtubī menyatakan, bahwa sebagian ulama` menjadikannya sebagai
ayat atas perintah kewajiban bagi setiap manusia untuk menutupi auratnya.
Namun sebagian yang lain menolaknya. Begitu juga beliau mengambil beberapa
pendapat fuqaha` atas kadar aurat yang wajib ditutupi.29 Karena inilah tidak
berlebihan bila al-Imām al-Ẓahabī mengatakan “sesuatu yang terbaik dari Imam
al-Qurtubī adalah dia tidak fanatik terhadap madhhab Mālikī yang dianutnya,
27 Sehingga dalam menafsirkan sebuah ayat Imam al-Qurtubī juga menyertakan hadis juga athār
sahabat sebagai pendukung penafsirannya. 28 Ibid. 29 al-Qurtubī, Tafsir al-Jāmi` li Ah}kāmi al-Qur`ān ( Beirut: dār al-Fikr, t.th), VII: 163.
8
tapi ia berjalan bersama dalil. Sehingga ia sampai pada suatu pendapat yang ia
anggap benar, siapapun yang mengatakannya, ia tidak peduli.30
Dengan melihat tafsir yang disuguhkan dalam kitab tafsir al-Qurtubī yang
berupa pemikiran (al-ra`y) dengan menggunakan metode analitis (tah}līlī)31,
nampaknya perlu untuk diadakan analisa secara tafsir mawdū`ī dalam memahami
kata libās dalam al-Qur`an, agar menghasilkan pemahaman yang komprehensif.
Sebab metode mawdū`ī mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh
metode lainnya, diantaranya: Mampu memecahkan problem sosial dengan
bimbingan al-Qur`an, dan kesimpulan yang dihasilkan mudah untuk difahami.
Hal ini disebabkan, karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur`an
tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.32
Dari sini dirasa sangat penting pendekatan secara tafsir tematik. Karena dewasa
ini, pakaian dianggap sebuah simbol petunjuk aliran-aliran tertentu dalam Islam,
yang terkadang menimbulkan keresahan dalam masyarakat .
Namun bagi seorang muslim, keimanan yang hanya dibalut dengan
simbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus disempurnakan
dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku terpuji (al-akhlāk al-
30 al-Imām al-Ẓ{ahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (CD-ROM, al-Maktabah al-Shāmilah, Digital), IV:
173-174. 31 Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 418-419. 32 Anshari, LAL, Tafsir bi al-Ra`y, 85.
9
kari>mah).33 Dengan simbol pakaian, tidaklah berhak bagi seseorang untuk
menjustifikasi lainnya dengan vonis bid`ah, menganggap dirinya lebih menjalani
pesan al-Qur`an atau memvonis lainnya dengan tuduhan tidak bisa menangkap
kandungan pesan al-Qur`an. Sebagaimana di indonesia dengan penduduknya
yang sangat kompleks, alangkah bijaksananya kita saling mengahargai satu sama
lainnya. Paling tidak ini-lah yang diharapkan dalam penelitian ini. Dengan judul
“Libās dalam al-Qur`an (Studi Kitab Tafsir al-Jāmi` li Ah}kāmi al-Qur`ān
Karya Imam al-Qurtubī)”.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan pokok yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini,
yakni:
1. Bagaimanakah penafsiran libās dalam al-Qur`an menurut Imam al-Qurtubī
dalam kitab tafsir al-Jāmi` li Ah}kāmi al-Qur`ān ?
2. Bagaimana konsep libās bagi laki-laki dan perempuan menurut Imam al-
Qurtubī ?
3. Sebutkan kontribusi dari pemaknaan Imam al-Qurtubī tentang libās ketika
dihadapkan dengan perkembangan trend mode pakaian masa kini ?
33 Syaikh Idahram, Ulama` Sejagat Menggugat Salafi Wahabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011),
11.
10
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui penafsiran tentang kata libās dalam al-Qur`an menurut
Imam al-Qurtubī yang diaplikasikan dalam kajian tafsir tematik.
2. Untuk mengetahui konsep pakaian bagi laki-laki dan perempuan menurut
Imam al-Qurtubī .
3. Untuk mengetahui kontribusi dari penafsiran Imam al-Qurtubī tentang libās
dalam al-Qur`an ketika dihadapkan pada perkembangan pakaian masa kini.
D. Kegunaan penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat atau
kegunaan sebagai berikut:
1. Dapat memberikan kontribusi pemikiran tentang pemahaman kata libās
dalam al-Qur`an secara komprehensif.
2. Untuk menambahkan wawasan terhadap kajian al-Qur`an dan penafsirannya
dalam menyikapi perkembangan masyarakat dan budayanya terhadap trend
mode pakaian yang semakin jauh dari nilai agama.
3. Secara subtantif untuk memberikan gambaran penafsiran Imam al-Qurtubī
tentang kata libās dalam al-Qur`an dengan kitab tafsirnya yang bercorak
fiqh.
11
E. Telaah Pustaka
Telaah pustaka pada umumnya untuk mendapatkan gambaran tentang
hubungan topik penelitian yang akan diajukan dengan penelitian sejenis yang
pernah dilakukan sebelumnya sehingga tidak terjadi pengulangan yang tidak
diperlukan.34 Telaah pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan
ilmiah yang berguna memberikan kejelasan dan batasan tentang informasi yang
digunakan sebagai khazanah pustaka, terutama yang berkaitan dengan tema yang
sedang dibahas.
Banyak diantara karya-karya penulis saat ini yang sekilas membahas
tentang tema ini, diantaranya:
1. Wawasan al-Qur`an tentang pakaian yang ditulis oleh Quraish Shihab.
Dalam buku ini dipaparkan tentang kata libās dan term-term yang semakna
dengannya. Berikut fungsi pakaian dalam al-Qur`an dan pendapat beberapa
ulama` klasik dan kontemporer mengenai pakaian seorang wanita. Dan
beliau kupas juga dalam kitab tafsir al-misbah. Ketika menafsirkan QS. al-
Nūr (24): ayat 31.
2. Libas Shahrur yang ditulis oleh Udin Safala dan Menggugat Otentitas Jilbab
dan Hijab Konsep Berpakaian ala Syahrur yang ditulis oleh A. Halil Thahir.
Dari dua buku tersebut dijelaskan tentang beberapa konsep serta metodologi
sahrur dalam menafsirkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang pakaian
34 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 125.
12
wanita. Yang nantinya dari pemikiran Shahrur ini, harapan penulis ada nilai
tersendiri dari penafsiran Imam al-Qurtubī dalam menafsirkan tentang libās.
3. Kitab Tafsir Jāmi` al-Bayān fī ta`wīli al-Qur`ān Karya al-Imām Ibn Jarīr al-
T}abari. Dalam kitab ini, beliau menafsirkan kata libās dengan beberapa
riwayat hadīth dan athār, serta menyebutkan perbedaan di antara ulama`
terutama dalam hal Qirā`ah (bacaan). Sesuai kecenderungan kitab ini, yaitu
pada penafsiran bi al-ma`thūr. Sehingga dalam menafsirkan al-Qur`an
mendahulukan pada pemahaman tekstualnya.
Selain buku-buku tersebut, cukup banyak buku yang menjelaskan masalah
libās (pakaian) namun masih secara umum atau terfokus pada pembahasan hijab,
cadar, jilbab, bagi seorang wanita. Sepanjang yang penulis ketahui dari buku-
buku yang ada, belum ada buku yang membahas tentang libās dalam al-Qur`an
menurut penafsiran Imam al-Qurtubī yang dikaji dengan metode tafsir tematik.
F. Landasan Teori
Dalam sebuah penelitian ilmiah, kerangka teori sangat diperlukan antara
lain untuk membantu memecahkan dan mengidentifikasi masalah yang diteliti.
Selain itu, kerangka teori juga dipakai untuk memperlihatkan ukuran-ukuran atau
kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.35 Dari sini penulis
merasa penting sebelum mengadakan penelitian untuk menyebutkan beberapa
35 Teuku Ibrahim Alfian, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1987), 4. Kutipan ini, dikutip kembali dalam Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir
Kontemporer (Yogyakarta: LKiS Group, 2012), cet. II, 20.
13
langkah sebagai pisau analisa. Adapun landasan teori yang digunakan penulis
adalah menggunakan teori pemahaman al-Qur`an dengan metode tafsir mawdū`ī.
Adapun dalam penerapan metode mawd}ū’ī, secara bertahap akan dipaparkan
berdasarkan metode tafsir mawd}ū’ī Abd al-Hayy al-Farmawy (1977)
sebagaimana berikut:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan turunnya disertai dengan
pengetahuan tentang asbab al-nuzul.
4. Memahami muna>sabah ayat-ayat tersebut dalam surat masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok
pembahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau
mengompromikan antara ayat yang ’a m dan yang khas, mutlaq dan
muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga kesemuannya
bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan dan atau pemaksaan.36
Dengan demikian dalam memahami al-Qur`an bisa konsentrasi dan
mendapatkan pengertian secara komprehensif.
36 Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia,tt) 161.
14
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara bagaimana peneliti mencapai tujuan atau
memecahkan masalah. Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting
dalam sebuah penelitian karena berhasil tidaknya suatu penelitian sangat
ditentukan oleh bagaimana peneliti memilih metode yang tepat.37 Adapun
metodologi adalah serangkaian metode yang saling melengkapi yang digunakan
dalam melakukan penelitian.38 Guna mendapatkan hasil penelitian yang
sistematis dan ilmiah maka penelitian ini menggunakan seperangkat metode
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research),
oleh karena itu, sumber data penelitian diperoleh dari kitab-kitab atau buku-
buku karya tokoh yang diteliti maupun referensi lain yang berupa buku,
artikel, thesis, skripsi, atau lainnya yang berkaitan dengan pokok pembahasan.
2. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni data primer dan
data sekunder. Adapun data primer yang menjadi sumber penelitian ini adalah
37 Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 22. 38 Tim Penyusun Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi
Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Suka,
2002), 9.
15
kitab tafsir al-Jāmi` li Ah{kāmi al-Qur`ān Karya Imam al-Qurtubī .
Sedangkan data sekunder meliputi kitab-kitab maupun buku-buku atau
referensi lain yang berkaitan dengan masalah libās ataupun yang berkait
dengan tokoh yang dikaji dalam penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam hal ini penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu
mengumpulkan berbagai karya pustaka, artikel dan bentuk informasi lain yang
bersifat ilmiah dan mempunyai keterkaitan dengan tema karya ini.39
Berdasarkan sumber data di atas maka penulis mengumpulkan beberapa karya
tulis yang membicarakan tentang libās, yang kemudian dari data-data yang
terkumpul baik dari data primer maupun yang sekunder dianalisis dengan
menggunakan metode kualitatif, yaitu jenis penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak bisa dicapai dengan menggunakan prosedur-
prosedur atau cara lain dari kuantitatif (pengukuran).
4. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode content-analisis,
yakni peneliti menggambarkan dan menjelaskan konsepsi tentang penafsiran
Imam al-Qurtubī tentang kata libās dalam kitab tafsir al-Jāmi` li Ah}kāmi al-
Qur`ān yang kemudian penulis mengadakan analisis secara konseptual atas
39 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Ilmiah: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka cipta,
1993), 202.
16
pandangan Imam al-Qurtubī yang cenderung pada corak penafsiran fiqh.
Sehingga dari hasil analisa tersebut bisa memberikan kesimpulan pokok
tentang pemahaman libās dari penafsiran Imam al-Qurtubī dibanding yang
lainnya.
Dari Penafsiran Imam al-Qurtubī tersebut kemudian ditelaah secara
kajian tafsir tematik. Sehingga bisa menghasilkan penafsiran kata libās
dalam al-Qur`an secara mendalam. Sebagaimana telah disebutkan bahwa
metode tafsir tematik mempunyai kelebihan dibandingkan yang lainnya.
H. Sistematika Pembahasan
Guna memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami penelitian
ini, penulis berusaha mengklasifikasikan penyusunan pembahasan dengan
memisahkan antara ide pokok dengan substansi pembahasan, hal ini dilakukan
agar di dalam upaya menyusun kerangka pembahasan lebih teratur namun saling
bertautan antara bab yang pertama sampai bab yang terakhir. Adapun sistem
pemabahasan kali ini akan disajikan dalam enam bab dengan susunan
sebagaimana berikut:
Bab pertama, memuat bab pendahuluan, yang pada prinsipnya mencakup
latar belakang masalah, yang merupakan argumentasi di sekitar pentingnya
penelitian ini beserta perangkat-perangkatnya, kemudian diikuti dengan rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, landasan teori,
17
metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Pada uraian ini merupakan
tonggak untuk dijadikan jembatan dalam menyusun skripsi dan sifatnya hanya
informatif.
Berlanjut kepada bab kedua, berisikan tentang pemahaman secara umum
terhadap libās dalam al-Qur`an . Di dalamnya akan dikupas mengenai pengertian
libās baik secara etimologi atau terminologi begitu juga ragam term yang
semakna dengan libās. Disempurnakan dengan penyebutan ayat-ayat al-Qur`an
tentang libās yang disertai dengan kronologi dan munāsabah ayat-ayat tersebut.
Bab ketiga, akan dibicarakan seputar biografi Imam al-Qurtubī , meliputi:
Nama dan kelahiran, guru-guru, murid-murid serta karya-karyanya, dan seputar
kitab al-Jāmi` li Ah{kām al-Qur`ān, yang meliputi: Metodologi kitab tafsir al-
Jami` li Ah{kām al-Qur`ān, karakteristik, juga sistematikanya.
Bab keempat, akan dibahas mengenai pandangan Imam al-Qurtubī
terhadap kata libās dalam al-Qur`an, yang di dalamnya menyingkap pengertian
aurat dan batasannya bagi laki-laki dan perempuan menurut Imam al-Qurtubī,
juga fungsi pakaian dalam al-Qur`an menurut Imam al-Qurtubī. Dengan
demikian akan diketahui secara detail pandangan Imam al-Qurtubī ketika
menafsirkan libās dan term yang menjadi sinonimnya dalam al-Qur`an.
Bab kelima, sebagai bab analisa dari bab empat. Dalam bab ini akan
diuraikan tentang uraian tentang etika dalam berpakaian bagi laki-laki dan
18
perempuan. Serta posisi dari pandangan Imam al-Qurtubī. Bila dibandingkan
dengan pandangan sebagian ulama`. Kemudian disempurnakan kontribusi
penafsiran libās dalam al-Qur`an menurut Imam al-Qurtubī dalam kitab al-
Jāmi` li Ah{kām al-Qur`ān terhadap perkembangan trend mode pakaian masa
kini.
Selanjutnya, penulis akan memberikan kesimpulan dari pemaparan terkait
dengan berbagai pembahasan yang tersimpul dari bab-bab sebelumnya, ke dalam
pembahasan pada bab keenam sebagai bab penutup dari penelitian ini, dengan
memberikan tulisan yang memuat uraian seputar kesimpulan dan saran.