Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805 ...
Transcript of Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805 ...
Rohayati
789
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
SIMULASI KELAINAN HIPERMETROPIA YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KINERJA AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH DASAR SWASTA
JEMBAR BANDUNG TAHUN 2018
Rohayati
SDIT Nur Al Rahman Kota Cimahi Jawa Barat
INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK
URL : http://e-jurnalmitrapendidikan.com
JMP Online
Vol 2, No. 8, 789-805.
© 2018 Kresna BIP.
e-ISSN 2550-0481
p-ISSN 2614-7254
Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online)
Dikirim : 16 Agustus 2018 Revisi pertama : 20 Agustus 2018 Diterima : 21 Agustus 2018 Tersedia online : 31 Agustus 2018
Kelainan pada penglihatan akan menjadi suatu
hambatan bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari dan mewujudkan cita-citanya. Diantara
kelainan-kelainan pada mata, hipermetropia merupakan
kelainan refraksi terbanyak urutan ke-2 setelah kelainan
refraksi myopia (rabun jauh) yang dating berobat ke
Poliklinik Mata. Pada anak-anak yang memiliki kelainan
refraksi ditemukan 25% mereka tidak mampu menunjukan
performa yang maksimal dalam bidang akademik
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami
kelainan refraksi. Tujun dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hasil dari Simulasi Kelainan Hipermetropia
yang berhubungan dengan Kinerja Akademik siswa di
Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018. Desain
penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional, jenis
penelitian yang digunakan adalah deskriftif analitik
dengan sampel sebanyak 30 siswa Sekolah Dasar Swasta
Jembar Bandung. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
ada hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja
Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) dengan
nilai ρ = 0.000 < 0,05. Hipermetropia berat yang
dinyatakan tidak bisa dalam kinerja akademik sebanyak 28
responden (93,3%).
Kata Kunci : Simulasi Hipermetropia, Kinerja Akademik, Siswa SD
Email : [email protected]
Rohayati
790
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk
tepat diretina, melainkan dibagian atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada
satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia,
hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas, 2017).
Kelainan refraksi memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia, yaitu sebesar
24,7 dan pada anak-anak usia sekolah dasar sebesar 10% dari 66 juta anak Indonesia,
kelainan refraksi merupakan kelainan kondisi mata yang paling sering terjadi (Saboe,
2009).
Orang-orang yang mengalami kelainan refraksi tidak saja harus menanggung
beban fisik, melainkan mereka juga memiliki konsekuensi sosial dan finansial.
Penglihatan merupakan sesuatu yang secara signifikan memberikan pengaruh dalam
pilihan karir dan aktivitas seseorang. Contohnya saja pada anak-anak yang memiliki
kelainan refraksi di temukan 25% mereka tidak mampu menunjukan performa yang
maksimal dalam bidang akademik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak
mengalami kelainan refraksi, selain itu, 60% anak-anak dengan masalah belajar di
laporkan juga mengalami kelainan pada penglihatan nya (Hedge, et al, 2015).
Kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan
kekuatan pembiasan mata saat sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di
belakang makula lutea (Ilyas, 2017).
Masalah penglihatan dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada
komprehensi dan kinerja dalam membaca dan menulis, yang menyusun hampir tiga
perempat kegiatan belajar di sekolah. Terdapat banyak studi yang menemukan
hubungan antara gangguan penglihatan dan buruknya kinerja siswa di sekolah.
Penglihatan merupakan bagian besar dari proses belajar, 80% dari apa yang anak-anak
pelajari di dapatkan melalui pemprosesan informasi secara visual. Untuk memastikan
kemampuan anak-anak untuk belajar, penglihatan yang jelas dan nyaman adalah hal
yang penting (Charenton, 2012).
Berdasarkan hasil observasi di SD Jembar Bandung pada hari Senin 26 Maret
2018. Peneliti mengambil 3 sampel untuk mensimulasikan kelainan hipermetropia
dengan ketentuan siswa dan siswi tersebut dalam kondisi tidak ada kelainan refraksi
(Emmetropia) dan harus mencapai visus 6/6. Pada sempel pertama dan kedua ketika di
beri lensa minus dengan skalaringan dan sedang, objek menyatakan bahwa masih bisa
membaca, menulis dan menggambar atau mengenali gambar. Saat diberikan lensa
minus dengan skala ukuran berat siswa menyatakan kesulitan dalam membaca,
menulis dan menggambar. Sedangkan pada sempel ketiga saat diberi lensa dengan
skala ringan objek menyatakan masih bisa membaca, menulis dan menggambar.Ketika
di berikan lensa minus dengan skala ringan dan berat objek menyatakan tidak bisa
membaca, menulis dan menggambar.
Berdasarkan ketiga sampel tersebut 100% terganggu ketika disimulasikan
kelainan hipermetropia berat dan 33% terganggu kegiatan kinerja akademiknya ketika
disimulasikan hipermetropia sedang. Berdasarkan uraian dan data diatas, peneliti
Rohayati
791
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
menarik untuk mensimulasikan kelainan hipermetropia yang berhubungan dengan
kinerja akademik siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan masalah penelitian,
sebagai berikut “Bagaimana hasil hubungan simulasi kelainan hipermetropia yang
berhubungan dengan kinerja akademik pada siswa Sekolah Dasar Swasta Jembar
Bandung tahun 2018?”.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah
untuk untuk mengetahui hubungan simulasi kelainan hipermetropia yang berhubungan
dengan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar) pada siswa Sekolah
Dasar Jembar Bandung tahun 2018.
KAJIAN PUSTAKA
Hipermetropia
Pada simulasi hipermetropia bayangan jatuh tepat di belakang retina. Objek
yangakan diteliti adalah siswa dan siswi Sekolah Dasar Jembar Bandung jl. Jatinegara
kelas 3, 4 dan 5. Yang akan menjadi objek peneliti siswa dan siswi tersebut dalam
kondisi tidak ada kelainan refraksi (Emmetropia) dan harus mencapai visus 6/6.
Anak dengan usia 5 tahun telah memiliki penglihatan yang berkembang
sempurna. Dengan visus normal bisa mencapai 6/6. Dengan demikian pada siswa yang
memiliki visus 6/6 sehingga dapat diberikan lensa minus dengan ukuran ringan, sedang
dan beratuntuk simulasi hipermetropia. Dimana penglihatan siswa tesebut seolah-
olahmengalami gangguan padakeja dekat yang terganggu.
Sebelum dilakukan simulasi, peneliti melakukan probling lens antara lensa plus
dan minus untuk mengetahui kondisi penglihatan siswa tersebut apakah normal
(Emmetropia) atau tidak. Saat peneliti memberikan lensa minus dengan ukuran ringan,
sedang, dan berat siswadihimbau untuk membaca, menulis dan menggambar apakah
jelas atau buram.
Selanjutnya akan ditinjau oleh peneliti untuk mengidentifikasi apakah tajam
penglihatannya menurun dan berpengaruh terhadap kinerja akademiknya. Jika
mengalami penurunan tajam penglihatan saat dilakukan tes tersebut tentunya akan
mempengaruhi hasil kinerja akademiknya.
Gambar 1. Kondisi Mata Saat Mengalami Kelainan Hipermetropia
Menurut Ilyas (2017), Kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan
keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup
Rohayati
792
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar
sejajar difokuskan di belakang makula lutea.
Penyebab Hipermetropia
Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek. Penyebab hipermetropia yang
pertama adalah sumbu utama bola mata yang terlalu pendek biasanya terjadi karena
mikropthalmia, retinitis sentralis, atau ablasio retina (lapiran retina lepas lari ke depan
titik fokus cahaya tidak tepat dibiaskan) ini salah satu penyebab hipermetropia.
Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah. Penyebab hipermetropia yang
kedua adalah terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa
dan vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia adalah
perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksi menurun dan
perubahan pada komposisi aqueus humor dan vitreus humor. Misal pada penderita
Diabetes Militus terjadi hipermetropiajika kadar gula darah dibawah normal. Ini
menjadi salah satu penyebab hipermetropia.
Kelengkungan kornea dan lensa tidak kuat.penyebab hipermetropia yang ketiga
adalah kelengkungan kornea dan lensa tidak kuat. Kelengkungan kornea ataupun lensa
berkurang sehingga bayangan difokuskan dibelakang retina. Ini menjadi salah satu
penyebab hipermetropia.
Perubahan posisi lensa penyebab hipermetropia yang berikutnya adalah
perubahan posisi lensa. Dalam hal ini, posisi lensa menjadi lebih posterior. Ini salah
satu penyebab hipermetropia. (https://oprasi-mata.com/penyebab-hipermetropia-apa-
saja/kbbi).
Terdapat 3 bentuk hipermetropia:
1. Hipermetropia kongenital, diakibatkan bola mata pendek atau kecil.
2. Hipermetropia simple, biasanya merupakan lanjutan hipermetropia anak yang tidak
berkurang pada perkembangan nya jarang melebihi >5 dioptri.
3. Hipermetropia didapat, umum didapat setelah bedah pengeluaran lensa pada katarak
(afakia) (Ilyas, 2017).
Pengelompokan hipermetropia secara klinis:
a. Simple atau developmental hypemetropia, merupakan hipermetropia yang paling
sering, yang berhubungan dengan variasi proses pertumbuhan normal dari bola
mata.
b. Pathological hypemetropia, dihasilkan dari kondisi tidak normal dari mata, bisa
kongenital atau didapat (Khurana AK et al, 2007; Lang GK, 2000).
Pengelompokan hipermetropia berdasarkan penyebabnya:
1. Hipermetropia aksial, merupakan bentuk hipermetropia yang paling sering
dijumpai. Pada hipermetropia ini diameter anteroposterior bola mata lebih pendek
dari normal sedangkan total kekuatan refraksi mata normal
2. Hipermetropia refraktif, merupakan hipermetropia yang di sebabkan oleh
penurunan kekuatan refraksi mata.
Jenis hipermetropia ini dibedakan lagi atas:
a. Curvatural hypemetropia, hipermetropia yang disebabkan oleh penurunan kekuatan
refraksi mata akibat kelengkungan kornea, lensa atau keduanya yang lebih tipis dari
normal.
Rohayati
793
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
b. Index hypemetropia, disebabkan penurunan indeks refraksi lensa mata pada usia
tua.
c. Positional hypemetropia, disebabkan pergerakan lensa mata ke posterior (Khurana
AK et al,2007).
Menurut Ilyas, 2017 Pengelompokan hipermetropia berdasarkan kekuatan lensa
koreksi yang dibedakan (derajat) :
1. Hipermetropia ringan: Spheris +0.25 D s/d Spheris +3.00 D
2. Hipermetropia sedang: Spheris +3.25 D s/d Spheris +6.00 D
3. Hipermetropia berat : > +6.00 D
Hipermetropia dikenal dalam bentuk:
a. Hipermetropia manifes: Hipermetropia manifes di dapatkan tanpa siklopegik, yang
dapat dikoresi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam
penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut di tambah
dengan hipermetropia fakultatif .
b. Hipermetropia manifes absolut: Kelainan refraksi tidak di imbangi dengan
akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.
c. Hipermetropia manifes fakultatif: Kelainan hipermetropia dapat di imbangi dengan
akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai
hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata, bila di berikan
kacamata positif memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan
istirahat.
d. Hipermetropia laten: Dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan
obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus.
Hipermetropia hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin muda makin
besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi
kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia
fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolut.
e. Hipermetropia total: Hipermetropia laten dan manifes yang ukurannya di dapatkan
sesudah di berikan sikloplegia (Ilyas, 2017).
Gejala Hipermetropia
Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh
kabur, sakit kepala, silau dan kadang rasa juling atau lihat ganda. Pasien hipermetropia
sering disebut sebagai pasien rabun dekat. Pasien dengan hipermetropia apapun
penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karna terus-menerus harus
berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak dibelakang
makula agar terletak didaerah macula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif.
Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan
konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling
kedalam (Ilyas, 2015).
Rohayati
794
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
Faktor Resiko
Resiko mengembangkan klinis yang signifikan hipermetropia fisiologis
ditentukan oleh kombinasi faktor herediter (keturunan) dan perbedaan biologis. Faktor
resiko meliputi :
1. Panjang aksial mata terlalu pendek
2. Kelengkungan kornea terlalu datar
3. Ada atau tidak adanya gejala (hyperopic signifikan). (American Optometric
Assosiation, 2017).
Pengobatan
Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk
mematahkan sinar lebih kuat kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah diberikan
koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata lensa positif terbesar yang masih
memberikan tajam penglihatan maksimal (Ilyas, 2017).
Diberikan koreksi hipermetropia manifest dimana tanpa sikloplegia didapatkan
ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6). Bila
terdapat juling kedalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia
total.Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksotopia) maka diberikan kacamata
positif kurang.
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif
terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan
maksimal. Bila pasien dengan S+3.00 ataupun dengan S+3.25 memberikan ketajaman
penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata S+3.25. Hal ini untuk memberikan istirahat
pada mata.Pada pasien dimana akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak,
maka sebainya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau
melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien
akan mendapatkan koreksi kacamatanya dengan mata yang istirahat.
Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena
matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas.
Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia
yang telah lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan
tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan
kacamata sferis positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.
Jenis derajat Hipermetropia dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut Irvin
m.borish: 1998
1. Hipermetropia rendah, berukuran S+3.00. Tajam penglihatan biasanya baru
terganggu sesudah usia menjelang presbyopia dimana aplitude akomodasi sudah
menurun.
2. Hipermetropia sedang, berukuran antara S+3.12 sampai 5.00 kelainan tajam
penglihatan biasanya sudah terganggu sejak muda karena amplitude akomodasinya
tidak mampu mengatasi hipermetropia.
3. Hipermetropia tinggi, berukuran diatas S+5.00, pada kelainan ini biasanya tajam
penglihatan sudah terganggu sejak kecil biasanya kelainan astenopia tidak timbul
karena hipermetropia terlalu tinggi untuk diatasi dengan akomodasi. Pada kelainan
Rohayati
795
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
ini bagi penderita yang sangat muda penting perhatikan masalah amblyopia dan
strabismus terutama pada strabismus konvergensi, karena memerlukan koreksi
sendiri mungkin koreksi penuh sebagai pencegah dan rehabilitasi penglihatan nya
pada penderita ini sudah dewasa kelainan ini perlu diperhatikan kesulitan koreksi
oleh efek lensa berukuran tinggi.
Teknik pemeriksaan hipermetropia menurut Irvin m.borish: 1998
1. Pasien duduk menghadap ke kartu Snellen pada jarak 6 meter.
2. Mata dipasang dengan lensa coba.
3. Tutup satu mata, biasanya mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa mata
kanan.
4. Pasien diminta menyebutkan kartu Snellen mulai dari hurup teratas dan diteruskan
pada baris dibawah hingga hurup yang masih dilihat atau disebutkan.
5. Lensa positif (+) terkecil ditambah pada mata yang sedang diperiksa bila lebih jelas
lensa positif di mata pasien tersebut ditambah kekuatannya perlahan-lahan dan
pasien diminta menyebutkan huruf-huruf pada baris lebih bawah.
6. Kemudian kekuatan lensa ditambah sampai terlihat huruf-huruf pada baris 6/6.
7. Tambah lensa positif S+0,25 lagi dan tanyakan kembali pada pasien masih dapat
melihat huruf-huruf diatas.
Alat pemeriksaan menurut Irvin m.borish 1998
a. Snillen
b. Lensa coba
c. Satu set lensa coba
Kinerja Akademik
Mulyasa, 2005, menyatakan bahwa kineja adalah “output drive from processes,
human otherwise”. Kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses. Dikatakan
lebih lanjut oleh Mulyasa bahwa kinerja atau performance dapat diartikan sebagai
prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian hasil kerja, hasil-hasil kerja atau unjuk
kerja.
Pengertian tentang kinerja tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja
adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh seseorang.Kinerja atau prestasi kerja
merupakan hasil akhir dari suatu aktivitas yang telah dilakukan seseorang untuk
meraih suatu tujuan.Pencapaian hasil kerja ini juga sebagai bentuk perbandingan hasil
kerja seseorang dengan standar yang telah di tetapkan.Apabila hasil kerja yang
dilakukan oleh seseorang sesuai dengan standar kerja atau bahkan melebihi standar
maka dapat dikatakan kinerja itu mencapai prestasi yang baik.
Akademik adalah keadaan orang-orang bisa menyampaikan dan menerima
gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur,
terbuka dan leluasa (Fadjar,2002).
Menurut Krisnawati dan Suryani (2010) Kemampuan akademik merupakan
sebagian dari kemapuan intelektualyang umumnya tercermin dalam prestasi akademik
(nilai hasil belajar). Konsep kemampuan akademik adalah keyakinan individu dan
evaluasi diri mengenai sifat akademik yang berhubungan dengan keterampilan dan
kemampuan individu tersebut (McGrew, 2008).
Rohayati
796
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
Kemampuan akademik siswa dapat tergambar dari pencapaian akademiknya.
Pencapaian akademik merupakan fungsi akumulatif dari keluarga, masyarakat dan
pengalaman sekolah baik masa lalu maupun saat ini (Rivkin, dkk., 2005). Hal tersebut
didukung oleh pernyataan Dahar (2011) yang menyatakan bahwa prestasi atau
pencapaian akademik siswa sebelumnya menunjukkan kemampuan dan kinerja
akademik siswa di kelas sebelumnya.
Macam-Macam Kinerja Akademik
Kinerja akademik yang dilihat oleh peneliti dalam simulai kelainan
hipermetropia antara lain sebagai berikut.
1. Membaca
Samsu Somadayo (2011), mengungkapkan bahwa membaca adalah suatu
kegiatan interaktif untuk memetik serta memahami arti yang terkandung di dalam
bahan tulis. Pendapat tersebut didukung Henry Guntur Taringan (2009), yang
menjelaskan bahwa membaca adalah memahami pola-pola bahasa dari gambaran
tulisannya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa membaca
adalah proses pengasosiaan huruf, penerjemahan dan pemahaman makna isi bacaan.
Menurut Farida Rahim (2008), ada beberapa tujuan membaca yang
mencakup kesenangan, menyempurnakan membaca nyaring, memperbaharui
pengetahuannya tentang suatu topik, mengaitkan informasi baru dengan informasi
yang telah diketahuinya, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, dan lain-
lain, sedangkan menurut Henry Guntur Taringan (2009), tujuan membaca adalah
memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta, memperoleh ide-ide utama,
membaca untuk menyimpulkan, mengelompokkan atau mengklarifikasi, serta
menilai dan mengevaluasi.
Dari uraian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tujuan membaca yang
paling utama adalah memperoleh informasi. Setelah informasi diperoleh pembaca
akan melakukan tindak lanjut yang dapat berupa kegiatan menyimpulkan, menilai
dan membandingkan isi bacaan.
Anderson (Sabarti Akhadiah, dkk., 1992), menjelaskan bahwa ada lima ciri
membaca yaitu membaca adalah proses kontruktif, membaca harus lancar,
membaca harus dilakukan dengan strategi yang tepat, membaca memerlukan
motivasi, serta membaca merupakan keterampilan yang harus dikembangkan secara
berkesinambungan.
2. Menulis
Menurut Suparno (2005), menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan
penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat
atau medianya. Sehingga menulis merupakan keterampilan produktif dengan
menggunakan tulisan.
Menurut Semi (2007), mengemukakan bahwa menulis merupakan suatu
kreatif memindahkan gagasan dalam lambang-lambang tulisan. Dalam pengertian
ini menulis mempunyai tiga aspek utama, yaitu adanya tujuan atau maksud tertentu
yang hendak dicapai, adanya gagasan atau maksud tertentu yang hendak dicapai dan
sistem pemindahan gagasan itu yaitu berupa sistem bahasa atau penyajian.
Rohayati
797
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
Langkah-langkah kegiatan menulis permulaan terbagi ke dalam dua
kelompok, yakni mengenal huruf dan latihan. Pengenalan huruf kegiatan ini
dilaksanakan bersama dengan kegiatan pembelajaran membaca permulaan.
Penekanan pembelajaran diarahkan pada pengenalan bentuk tulisan serta
pelafalannya dengan benar. Fungsi pengenalan ini dimaksudkan untuk melatih indra
siswa dalam mengenal dan membedakan bentuk dan lambang-lambang tulisan.
3. Menggambar
Menggambar adalah kegiatan-kegiatan membentuk imaji, dengan
menggunakan banyak pilihan tekhnik dan alat. Bisa pula berarti membuat tanda-
tanda tertentu diatas permukaan dengan mengolah goresan dari alat gambar.
Definisi Simulasi
Simulasi berasal dari kata Simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat
seakan-akan. Simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan
menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip atau
keterampilan tertentu (Sanjaya, 2008). Menurut Sa’ud (2005) Simulasi dalam
perspektif model pembelajaran adalah sebuah reflikasi atau visualisasi dari perilaku
sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun
waktu yang tertentu.
Jadi, dapat dikatakana bahwa simulasi itu adalah sebuah model yang berisi
seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari sistem kehidupan yang
sebenarnya. Simulasi kemungkinan keputusan-keputusan yang menentukan bagian
ciri-ciri utama itu bisa dimodifikasi secara langsung.
Metode pembelajaran simulasi merupakan metode pembelajaran yang membuat
suatu peniruan terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan sekelilingnya (state of
affaris) atau proses (Sudjana, 2009).
METODE PENELITIAN
Waktu, Tempat dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Swasta yaitu Sekolah Dasar Jembar
Bandung, sekolah ini didirikan pada tahun 1971 yang berlokasi di Propinsi Jawa Barat
Kabupaten Kota Bandung Kecamatan Batununggal Desa Kebon Waru terletak di jalan
Jatinegara No.1 yang merupakan salah satu SD dengan luas wilayah 150 m². SD
Jembar Bandung ini mepunyai 6 ruang kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 81
siswa, selain itu Guru yang mengajar di SD Jembar ini berjumlah 7 orang Guru.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2018.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik. Peneliti
akan melakukan pengukuran variabel independen dan dependen, kemudian akan
menganalisa data yang terkumpul untuk mencari hubungan antara variabel.
Teknik Pengumpulan Data
Populasi penelitian ini dibatasi yaitu pada siswa kelas 3, 4 dan 5 yang
berjumlah 42 orang. Penelitian dengan cross-sectional dengan 3 kelompok penelitian
Rohayati
798
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
ini dilakukan di Sekolah Dasar Jembar Bandung dalam rentang waktu bulan Februari
sampai bulan Mei 2018. Sampel penelitian ini menggunakan metode total samping.
Dalam penelitian ini sampel yang diteliti adalah siswa dan siswi kelas3, 4 dan 5
sebanyak 42 orang. Sampel diambil berdasarkan kriteria yang telah ditentukan peneliti
yaitu responden dengan mata normal (emmetropia) dan visus mencapai 6/6.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitin ini menggunakan teknik analisis univariate
dan bivariate.
Responden disimulasikan seolah-olah mengalami kelainan hipermetropia
dengan klasifikasi hipermetropia ringan, sedang, dan berat peneliti melihat apakah
akan mempengaruhi kinerja akademik. Penelitian ini membahas tentang hubungan
derajat kelainan hipermetropia dengan kinerja akademik menggunakan metode
simulasi pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.
Secara skematis penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka konsep
sebagai berikut.
Peneliti akan melakukan pengukuran variabel independen dan dependen,
kemudian akan menganalisa data yang terkumpul untuk mencari hubungan antara
variabel. Dalam penelitian ini bertujuan melihat adanya gambaran fungsi penglihatan
hipermetropia pada orang simulasi hipermetropia ringan, sedang dan berat. Hal ini
dilakukan untuk melihat gambaran antara gelaja satu dengan gejala yang lain, atau
variabel satu dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2012).
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi
eksperimental, dalam observasi ini responden dicoba atau dimasukan ke dalam suatu
kondisi atau situasi tertentu. Kondisi dan situasi tertentu diciptakan sedemikian rupa
sehingga gejala atau perilaku yang akan dicari atau diamati akan timbul. Dengan
mengkondisikan kedua bola mata pada orang emmetropia (mata normal) seolah-olah
menyerupai keadaan hipermetropia dengan diberikan lensa koreksi ringan, sedang, dan
berat. Setelah itu peneliti melihat kinerja akademik pasien dengan tes membaca,
menulis, dan menggambar lalu menuliskan hasilnya dilembar observasi. Observasi
dibantu oleh numerator yang memiliki kompetensi yang sama dengan peneliti.
Kemudian peneliti melakukan penjelasan kepada numerator untuk menyamakan
pemahaman (Notoatmodjo, 2012).
.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian mengenai Simulasi Kelainan
Hipermetropia yang berhubungan dengan Kinerja Akademik pada siswa Sekolah Dasar
Jembar Bandung tahun 2018. Pengambilan data dengan menggunakan metode
penelitian cross sectional data yang menyangkut variabel bebas atau resiko dan
variabel terikat atau variabel akibat, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.
Selanjutnya data disajikan secara univariat dan bivariat, inklusi adalah kriteria atau
Simulasi
Hipermetropia
Kinerja Akademik
Post
Rohayati
799
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
ciri-ciri yang dapat digunakan setiap orang akan dijadikan sampel (Notoatmodjo
2010). Sampel yang diambil atau didapatkan dalam penelitian ini yaitu anak yang tidak
memiliki kelainan refraksi yaitu mata normal (emmetropia) sebanyak 30 sampel.
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, dan Jenis Kelamin
Karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin di Sekolah Dasar
Jembar Bandung dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Simulsi Kelainan Hipermetropia yang
Berhubungan dengan Kinerja Akademik Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Usia Distribusi
Frekuensi Persentase
9 7 23,3%
10 13 43,3%
11 9 30,0%
12 1 3,3%
Total 30 100,0%
Jenis Kelamin Distribusi
Frekuensi Persentase
Laki-laki 16 53,3%
Perempuan 14 46,7%
Total 30 100,0%
Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 responden, dengan kelompok usia
antara 9 tahun sampai 12 tahun dengan kelompok usia terbanyak yaitu 10 tahun
dengan jumlah 13 siswa (43,3%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin responden
laki-lakisebanyak 16 siswa (53,3%) dan perempuan sebanyak 14 siswa (46,7%).
Merupakan analisa yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi
frekuensi dari variabel independen dan depeden tentang hubungan derajat kelainan
hipermetropia dengan kinerja akademik (membaca) menggunakan metode simulasi
pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung Tahun 2018. Dalam penyajian data analisa
univariat berbentuk tabel distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel. Pada penelitian ini
Simulasi Hipermetropia dilakukan pada 30 siswa masing-masing dengan 3 kategori
hipermetropia yaitu : hipermetropia ringan, hipermetropia sedang dan hipermetropia
berat, sehingga peneliti mendapatkan 90 data peneltian. Distribusi frekuensi simulasi
hipermetropia dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Tabel Distribusi Frekuensi Simulasi Hipermetropia
No. Derajat Hipermetropia Frekuensi Persentase
1 Hipermetropia Berat 30 33,3%
2 Hipermetropia Sedang 30 33,3%
3 Hipermetropia Ringan 30 33,3%
Total 90 100.,0%
Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)
Setelah disimulasikan dengan hipermetropia dengan klasifikasi ringan, sedang
dan berat siswa di ukur Kinerja Akademiknya dengan cara siswa diperintahkan untuk
membaca, menulis dan menggambar. Distribusi frekuesnsi Kinerja Akademik dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Rohayati
800
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
Tabel 3. Tabel Distribusi Frekuensi Kinerja Akademik
No. Kategori Frekuensi Persentase
1 Terganggu 32 35.6
2 Tidak Terganggu 58 64.4
Total 90 100.0
Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 3 diatas menunjukan
bahwa kinerja akademik yang terganggu sebanyak 32 responden (35,6%), dan
kategori tidak terganggu sebanyak 58 responden (64,4%).
Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi Aktivitas Akademik
No Kinerja Akademik Terganggu Tidak Terganggu Total
F % F % F %
1 Membaca 32 35,6 58 64,4 90 100,0
2 Menulis 31 34,4 59 65,6 90 100,0
3 Menggambar 30 33,3 60 66,7 90 100,0
Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 4 diatas menunjukan
bahwa kinerja akademik membaca yang terganggu sebanyak 32 responden (35,6%),
dan kategori tidak terganggu sebanyak 58 responden (64,4%). Pada kinerja akademik
menulis yang terganggu sebanyak 31 responden (34,4%) dan kategori tidak terganggu
sebanyak 59 responden (65,6%). Pada kinerja akademik menggambar yang terganggu
sebanyak 30 responden (33,3%) dan kategori tidak terganggu sebanyak 60 responden
(66,7%).
Hasil analisa bivariat hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja
Akademik sepeti membaca, menulis, dan menggambar dapat dilihat pada tabel 4
dibawah ini.
Tabel 5. Hubungan Simulasi Hipermetropia
dengan Kinerja Akademik (Membaca)
Simulasi Hipermetropia Membaca
Total P Value Tidak Bisa Bisa
Hipermetropia Berat 28 2 30
P=0.000 <
0,05
93,3% 6,7% 100,0%
Hipermetropia Sedang 4 26 30
13,3% 86,7% 100,0%
Hipermetropia Ringan 0 30 30
.0% 100,0% 100,0%
Total 32 58 90
35,6% 64,4% 100,0%
Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 5 diatas menunjukan
bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (membaca) pada hipermetropia ringan yang
dinyatakan bisa membaca sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang
dinyatakan tidak bisa membaca sebanyak 28 siswa (93,3%) dan dinyatakan bisa
membaca sebanyak 2 siswa (6,7%).
Rohayati
801
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
Tabel 6. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (Menulis)
Simulasi Hipermetropia Menulis
Total P Value Tidak Bisa Bisa
Hipermetropia Berat 28 2 30
P=0.000 <
0,05
93,3% 6,7% 100,0%
Hipermetropia Sedang 3 27 30
10,0% 90,0% 100,0%
Hipermetropia Ringan 0 30 30
.0% 100,0% 100,0%
Total 31 59 90
34,4% 65,6% 100,0%
Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 6 diatas menunjukan
bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (menulis) pada hipermetropia ringan yang
dinyatakan bisa menulis sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang
dinyatakan tidak bisa menulis sebanyak 28 siswa (93,3%) dan dinyatakan bisa menulis
sebanyak 2 siswa (6,7%).
Tabel 7. Hubungan Simulasi Hipermetropia
dengan Kinerja Akademik (Menggambar)
Simulasi Hipermetropia Menggambar
Total P Tidak Bisa Bisa
Hipermetropia Berat 27 3 30
P=0.000 <
0,05
90,0% 10,0% 100,0%
Hipermetropia Sedang 3 27 30
10,0% 90,0% 100,0%
Hipermetropia Ringan 0 30 30
.0% 100,0% 100,0%
Total 30 60 90
33,3% 66,7% 100,0%
Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 7 diatas menunjukan
bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (menggambar) pada hipermetropia ringan
yang dinyatakan bisa menggambar sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia
berat yang dinyatakan tidak bisa menggambar sebanyak 27 siswa (90,0%) dan
dinyatakan bisa menggambar sebanyak 3 siswa (10,0%).
Tabel 8. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik
Simulasi
Hipermetropia
Kinerja Akademik
(Membaca, menulis dan
menggambar) Total P Value
Tidak Bisa Bisa
Hipermetropia Berat 28 2 30
P=0.000 <
0,05
93,3% 6,7% 100,0%
Hipermetropia Sedang 4 26 30
13,3% 86,7% 100,0%
Rohayati
802
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
Lanjutan Tabel 8. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik
Simulasi
Hipermetropia
Kinerja Akademik
(Membaca, menulis dan
menggambar) Total P Value
Tidak Bisa Bisa
Hipermetropia Ringan 0 30 30
.0% 100,0% 100,0%
Total 32 58 90
35,6% 64,4% 100,0%
Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 8 diatas menunjukan
bahwa Simulasi dengan Kinerja Akademik dalam membaca, menulis dan menggambar
pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa sebanyak 28 responden (93,3%),
dan dinyatakan bisa sebanyak 2 responden (6,7%). Pada hipermetropia sedang yang
dinyatakan tidak bisa sebanyak 4 responden (13,3%), dan dinyatakan bisa sebanyak 26
responden (86,7%). Pada hipermetropia ringan semua responden (100%) tidak
mengalami gangguan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar).
Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada bulan 25 Mei tahun 2018 bertempat di SD Jembar
Bandung. Pada penelitian ini Simulasi Hipermetropia dilakukan pada 30 siswa masing-
masing dengan 3 kategori hipermetropia yaitu : hipermetropia ringan, hipermetropia
sedang dan hipermetropia berat,sehingga peneliti mendapatkan 90 data peneltian.
Simulasi hipermetropia pada penelitian ini dilihat dari kinerja akademik dalam
membaca, menulis dan menggambar. Apabila penglihatan siswa tidak terkoreksi sejak
dini maka akan terganggu atau berpengaruh pada kinerja akademiknya. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Charenton (2012), bahwa masalah penglihatan
dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada komprehensi dan kinerja dalam
membaca dan menulis, yang menyusun hampir tiga perempat kegiatan belajar di
sekolah. Terdapat banyak studi yang menemukan hubungan antara gangguan
penglihatan dan buruknya kinerja siswa di sekolah. Penglihatan merupakan bagian
besar dari proses belajar, 80% dari apa yang anak-anak pelajari didapatkan melalui
pemprosesan informasi secara visual. Untuk memastikan kemampuan anak-anak untuk
belajar, penglihatan yang jelas dan nyaman adalah hal yang penting.
Hasil ini menunjukan bahwa simulasi hipermetropia berhubungan dengan
kinerja akademik siswa. Kemampuan akademik yang meliputi menulis, membaca dan
menggambar siswa akan menurun apabila semakin besar hipermetropia yang dialami
siswa. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ilyas (2017), yaitu kelainan
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan
mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak
di belakang retina yang mengakibatkan terganggunya penglihatan dekat penderitanya.
Hal ini sesuai dengan Grosvenor (1971), mengamati bahwa hipermetropia telah
mendapat perhatian yang jauh lebih sedikit dari pada myopia, mungkin karena etiologi
tes umum nya diyakini hampir seluruhnya karena faktor genetik atau keturunan. Hal
Rohayati
803
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
ini dapat menghasilkan pengurangan ketajaman visual jauh dan dekat nya tergantung
pada kemampuan akomodatif pasien.
Menurut Jobke, 2008 salah satu gangguan tajam penglihatan pada anak adalah
hipermetropia. Pada anak yang mengalami hipermetropia lebih mudah terkena
ambliopia dibandingkan dengan miopia. Dari hasil penelitian di Jerman, menunjukan
prevalensi kelainan refraksi hipermetropia berdasarkan klasifikasi usia 2-6 tahun, 7-11
tahun, dan 12-17 tahun dibedakan antara laki-laki dengan perempuan sebagai berikut;
pada usia 2-6 tahun untuk laki-laki 8,3% dan perempuan 10,9%. Pada usia 7-11 tahun
untuk laki-laki 5,6% dan untuk perempuan 7,2%. Pada usia 12-17 tahun untuk laki-laki
8,2% dan untuk perempuan 0,9%.
Aktivitas kerja dekat seperti membaca dan menulis dianggap sebagai tugas
pendidikan terpenting yang di lakukan oleh anak-anak. Anak-anak menghabiskan
waktu sekitar 4 sampai 5 jam setiap hari untuk kegiatan akademik selama jam sekolah,
tugas dengan menggunakan jarak dekat sebanyak 54% dari kegiatan ini. Studi ini
menunjukan bahwa, rata-rata siswa tetap terjaga konstan mendekati fiksasi selama 16
menit setiap kalinya. Menurut Walton HN (1978) kurangnya konsesus mengenai
tingkat minimum hipermetropia yang tidak terkoreksi secara negatif akan
mempengaruhi kemampuan membaca atau prestasi Akademik umum pada anak-anak
(Ritty JM,1993).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Simulasi Kelainan Hipermetropia yang
Berhubungan dengan Kinerja Akademik pada Siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung
Tahun 2018, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan simulasi
hipermetropia dengan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar) pada
siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung 2018.
Saran
1. Bagi Sekolah Dasar Jembar Bandung
Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi pihak sekolah yaitu kelinan refraksi sehingga dapat dijadikan dasar
dalam meningkatkan status kesehatan untuk siswa yang mengalami kelaianan
hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja Akademik dilihat dari membaca,
menulis, dan menggambar.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang Simulasi
Kelainan Hipermetropia Yang Berhubungan Dengan Kinerja Akademik dalam
waktu yang lebih lama agar hasilnya lebih efektif. Untuk penelitian selanjutnya
menggunakan teknik mix method, yaitu dengan pengumpulan data secara kualitatif
dan kuantitatif.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan bagi institusi pendidikan untuk menambah referensi terkait
dengan fenomena Simulasi Kelainan Hipermetropia yang Berhubungan dengan
Rohayati
804
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
Kinerja Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) pada Siswa Sekolah
Dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson. (Sabarti Akhadiah, dkk). 1992. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4. (Online)
https://media.neliti.com/media/publications/121403-ID-penggunaan-metode-
latihan-untuk-katkan.pdf. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.
Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Charenton. 2012. The Social and Economic Impact of Poor Vision, The Boston
Consulting Group and Essilor. (Online)
http://wisuda.unud.ac.id/pdf/1002006154-2-JURNAL%20TANTRA.pdf.
Diakses pada tanggal 09 Febuari 2018.
Dahar, M.A. 2011. Relationship Between The School Resuorce Inputs and Academic
Achievement of Student at Secondary Level in Pakistan. Thesis. Islamabad:
Higher Education Commision Pakistan.
Fadjar. 2002. Sistem Informasi Akademik. Yogyakarta: Andi Offset.
Farida Rahim. 2008. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi
Askara.
Henry Guntur Taringan. 2009. Pengkajian Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Hedge, et al. 2015. Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh. (Online)
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17660/6.BAB%20II.pdf.
Diakses pada tanggal 14 Februari 2018.
Ilyas,S. 2017. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Kelima. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Khurana AK et al. 2007; Lang GK,2000. Comprehensive Opthalmology (Ebook) . 4th
Ed. New Dellhi: New Age International.
Krisnawati, N dan Suryani,Y. 2010. Bahan Dasar untuk Pelayanan Konseling pada
Satuan Pendidikan Mencegah Jilid III. Jakarta: Grasindo, (Online)
http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_PE
NGARUH_KEMAMPUAN_AKADEKIK. Diakses pada tanggal 16 Februari
2018.
McGrew, K.S. 2008. Beyond IQ: A Model of Academic Competence & Motivation
(MACM). (Online)
http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_pe
ngaruh-kemampuan-akadekik. Diakses pada tanggal 16 Februari 2018.
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. (Online) http://emprints.uny.ac.id/7965/3/bab%202%20-
10504247012.pdf. Diakses pada tanggal 12 Febuari 20118.
Notoatmodjo,S. 2012. MetodologiPenelitianKesehatan. Jakarta: RinekaCipta.
Ritty JM. 1993. Impact of Simulated Hyperopia On Academic-Related Performance in
Childern. (Online)
http://jurnals.lww.com/optvissci/fulltext/2015/02000/Impact_of_Simulated_Hyp
eropia_on_Academic_Related.17.aspx. Diakses pada tanggal 09 Febuari 2018.
Rivkin, S.G., Hanushek,E.A., danKrain, J.F.2005. Teacher, Scool and Academic
Achievement. Economical. Vol: 73(2): 417-458. (Online),
Rohayati
805
Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805
http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_PE
NGARUH_KEMAMPUAN_AKADEKIK. Diakses pada tanggal 16 Februari
2018.
Saboe. 2009. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prevalensi Kelainan
Refraksi Pada Anak. (Online)
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17660/6.BAB%20II.pdf.
Diakses pada tanggal 14 Februari 2018.
Samsu Somadayo. 2011. Strategi dan Tekhnik Pembelajaran Membaca. Yoyakarta:
Graha Ilmu.
Semi. 2007. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4 No.8 ISSN 2354-614X (Online)
https://media.neliti.com/media/publications/121403-ID-penggunaan-metode-
latihan-untuk-katkan.pdf. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.
Suparno. 2005. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4 (Online)
https://media.neliti.com/media/publications/121403-ID-penggunaan-metode-
latihan-untuk-katkan.pdf. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.