Post on 30-Jun-2018
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korea Selatan merupakan salah satu negara berkembang yang mampu
mencapai kemajuan yang membanggakan dalam proses pembangunan ekonomi.
Negara ini berhasil melakukan tranformasi dengan cara membangun industri
manufaktur. Seiring dengan perkembangan yang telah diraih, Korea Selatan
kemudian disebut telah melewati tahapan sebagai negara industri baru atau Newly
Industrialising Country (NIC). Bahkan saat ini, tidak sedikit anggapan yang
menyatakan bahwa Korea Selatan telah berhasil mencapai tahapan negara industri
maju. Menurut data Bank Dunia, sejak tahun 2010 Korea Selatan telah menjadi
negara ekonomi terbesar kelima belas di dunia dengan GNI atau Gross National
Income per kapita sebesar US$ 22,670 (World Bank, 2014).
Atas prestasi dan keberhasilannya yang dikenal juga sebagai “the miracle
on the han river”, topik-topik mengenai proses pembangunan ekonomi khususnya
proses industrialisasi di Korea Selatan mendapat perhatian dari banyak kalangan.
Berbagai pandangan dari para peneliti dan akademisi telah mencoba untuk
menjawab faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan proses tersebut.
Hal ini menandakan bahwa pembangunan dan industrialisasi di Korea Selatan
yang mengiringi berjalannya transformasi negara tersebut dari negara berkembang
menjadi negara maju merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas.
Dimulai pada tahun 1962, pembangunan ekonomi berkesinambungan
dilakukan oleh Korea Selatan. Melalui program pembangunan lima tahun yang
1
merupakan katalisator transformasi perekonomiannya, pada tahun 1970an negara
ini telah mampu meraih status sebagai NIC. Dengan capaian tersebut, Korea
Selatan berhasil melewati Malaysia dan negara-negara Amerika Latin seperti
Brasil, Argentina, dan Meksiko yang sebelumnya diyakini akan muncul sebagai
negara industri baru (Song, 1980: 12) Dalam proses pembangunan tersebut lahir
kebijakan-kebijakan strategis seperti Export Oriented Industrialization atau EOI
dan Heavy and Chemical Industries atau HCI, serta lembaga atau institusi
penunjang pembangunan seperti Economic Planning Board atau EPB dan Korean
Central Intelligence Agency atau KCIA yang merupakan beberapa faktor penting
di dalam proses transformasi ekonomi di Korea Selatan.
Kebijakan HCI sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama
yang membentuk karakteristik perekonomian Korea Selatan seperti sekarang. Dari
kebijakan tersebut, Korea Selatan yang pada awalnya merupakan negara agraris
berubah bentuk menjadi negara industri manufaktur. Kebijakan yang
mengarahkan pembangunan pada sektor industri berat ini akhirnya melahirkan
industri-industri unggulan seperti baja, kapal, semi konduktor, dan salah satunya
yang akan menjadi fokus utama di dalam tulisan ini adalah industri otomobil.
Industri otomobil merupakan salah satu industri strategis yang
memberikan kontribusi cukup besar bagi proses perkembangan ekonomi global.
Industri ini terkait dengan berbagai industri lainnya, sehingga Peter Dicken (2011)
menyebutnya sebagai “the key manufacturing industry”. Industri ini mampu
menyerap sekitar 8 juta orang pekerja dalam proses produksi kendaraan. Jika
ditambahkan dengan pekerja yang terlibat dalam pemasaran, penjualan, dan
2
servis, secara keseluruhan jumlah individu yang dipekerjakan tidak kurang dari 20
juta orang (Dicken, 2011: 278).
Tidak hanya itu, industri otomobil mampu memproduksi sekitar 60 juta
kendaraan dalam setahun, menyumbang hampir separuh dari keseluruhan
konsumsi minyak dunia. Kemudian pembuatannya menggunakan sekitar setengah
dari hasil karet, 25 persen kaca, dan 15 persen produksi baja dunia setiap
tahunnya (The Economist, 2004). Sedangkan dalam lingkup domestik, menurut
Korean Automobile Manufacturers Association pada laporan tahunannya, industri
otomobil berada pada peringkat pertama dari segi penyerapan tenaga kerja,
produksi, dan nilai tambah, jika dibandingkan dengan industri manufaktur lain di
Korea Selatan (KAMA, 2011: 6). Dikarenakan skalanya yang besar dan memiliki
keterkaitan dengan banyak industri lainnya industri otomobil menjadi salah satu
industri prioritas bagi banyak negara di dunia, termasuk bagi Korea Selatan.
Dibawah kepemimpinan Park Chung-hee yang memiliki visi untuk
menjadikan Korea Selatan sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia,
industri otomobil mulai dibangun. Saat mulai memimpin pemerintahan pada
tahun 1963, Park memutuskan bahwa negaranya akan menjadi salah satu
produsen otomobil dunia (Kim dan Jaffe, 2010: 101). Park beranggapan bahwa
kontribusi industri ini dalam proses pembangunan, akan mampu menjadi
katalisator bagi peningkatan status ekonomi Korea Selatan dari negara
berkembang menjadi negara industri maju.
Industri otomobil Korea Selatan berawal dari industri reparasi kendaraan
selama dan setelah perang Korea, ditandai dengan berdirinya pabrik perakitan
3
kendaraan pertama pada tahun 1955. Rencana Pembangunan Ekonomi Lima
Tahun dan kebijakan EOI yang ditetapkan oleh pemerintah pasca kepemimpinan
Park Chung-hee, mendorong industri ini untuk terus berkembang. Melalui
kerjasama teknik atau joint venture dengan perusahaan asing khususnya dari
Jepang, beberapa perusahaan perakitan mobil dalam negeri lahir. Beberapa
diantaranya, Saenara Motor Company yang bekerjasama dengan Nissan, Shinjin
Motor Company dengan Toyota, Kia Motor, Asia Motor, Hadonghwan Motor dan
Hyundai Motor, yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi konglomerasi
bisnis yang disebut sebagai chaebol1.
Seiring dengan perkembangannya, pada tahun 1974 industri otomobil
Korea Selatan telah mampu menciptakan mobil sendiri. Kia Motor memproduksi
mobil pertama produk nasional negara tersebut yang diberi nama the Brisa.
Kemudian setahun setelahnya, Hyundai memperkenalkan mobil dengan sebutan
Pony yang kemudian lebih terkenal dan merupakan mobil domestik pertama yang
diekspor oleh Korea Selatan ke luar negeri (Kai-Sun, et al, 2001: 188). Dalam
rentang waktu 5 tahun, industri otomobil Korea Selatan mengalami peningkatan
produksi sebanyak 10 kali lipat dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1979. Hal
ini menandakan bahwa industri otomobil mengalami perkembangan pesat dalam
waktu yang relatif singkat.
Perkembangan tersebut mendorong industri otomobil Korea Selatan untuk
melakukan ekspansi. Pada pertengahan tahun 1980an, Korea Selatan mulai
memasuki tahapan globalisasi industri. Hal ini dilakukan untuk memperbesar
1 Raksasa bisnis atau konglomerasi yang dibina oleh pemerintah yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian disana seperti Daewoo, Kia, dan Hyundai. Pola ini meniru struktur yang sudah ada di Jepang, yaitu zaibatsu yang terdiri dari Toyota, Mitsubishi, Honda dan lainnya.
4
pangsa pasar industri otomobil domestik ke pasar internasional. Pada tahun 1985,
Hyundai mendirikan pabrik pertamanya di luar negeri. Pabrik yang dibangun di
Canada ini, memiliki kapasitas produksi sebanyak 100 ribu unit per tahun.
Beberapa tahun kemudian Industri otomobil Korea Selatan berhasil
menembus pasar Amerika. Ekspor Hyundai ke negara tersebut pada tahun 1987
mencapai sekitar 350 ribu unit. Dengan capaian tersebut, Hyundai berhasil
memecahkan rekor penjualan mobil impor terbanyak di pasar Amerika dalam
setahun (Green, 1992: 411). Kesuksesan Hyundai ini, menjadikan industri
otomobil Korea Selatan sebagai eksportir mobil terbesar di antara negara-negara
berkembang yang sebelumnya sekitar tahun 1970an didominasi oleh negara-
negara Amerika Latin seperti Brazil, Meksiko dan Argentina.
Pasca keberhasilan melakukan ekspansi ke pasar Amerika, industri
otomobil Korea Selatan terus mengalami kemajuan dengan membangun pusat
produksi dan melakukan perluasan pasar ke negara-negara di Eropa seperti
Jerman, Polandia, dan Rumania. Pada tahun 1995, Korea Selatan telah berhasil
menjadi pelaku industri otomobil dengan kapasitas produksi terbesar kelima di
dunia, berada dibawah negara-negara industri maju seperti Amerika, Jepang,
Jerman dan Prancis. Produksi Industri otomobil Korea Selatan saat itu mencapai
sekitar 2,5 juta unit (McDermott, 1996: 37).
Ditengah perkembangan industri otomobil yang terjadi secara signifikan,
krisis Asia pada tahun 1997 membawa perubahan mendasar bagi konstruksi
ekonomi Korea Selatan. Industri otomobil Korea Selatan menyisakan Hyundai
sebagai pemain utama yang pada tahun 1998 melakukan akusisi terhadap Kia.
5
Selepas krisis tersebut, industri otomobil Korea Selatan terus mengalami
perkembangan dan kemajuan dengan mengandalkan keberhasilan Hyundai yang
pada tahun 2003 berhasil masuk ke dalam jajaran lima besar produsen otomobil
dunia berdasarkan tingkat produksi (Lihat Gambar 1).
Gambar 1. Perusahaan Otomobil Dunia Berdasarkan Produksi
Sumber: Dicken (2011).
Prestasi ini menunjukan bahwa industri otomobil Korea Selatan khususnya
Hyundai, telah mampu memiliki kapasitas produksi yang kurang lebih sama
dengan pelaku industri otomobil yang lebih maju dari Jepang dan Amerika,
seperti General Motor, Ford, dan Toyota. Menegaskan prestasi tersebut, Hyundai
terus mengalami peningkatan produksi dari tahun 2009 sampai dengan 2011.
Tercatat produksi mobil Hyundai pada tahun 2009 mencapai sekitar 1,6 juta unit,
pada tahun 2010 berada di angka sekitar 1,75 juta unit, dan tahun 2012 produksi
Hyundai menembus angka 1,9 juta unit kendaraan.
6
Selain terus meningkatkan kuantitas produksi, industri otomobil Korea
Selatan juga melakukan peningkatan kualitas. Hyundai yang pada awalnya masuk
pasar Amerika sebagai mobil murah dengan kualitas rendah, melakukan
transformasi dan upgrading2 dengan masuk ke pasar mobil premium. Dimana
pada tahun 2008, salah satu produk Hyundai yaitu Genesis meraih penghargaan
paling bergengsi yang dianugerahkan kepada produsen otomobil di pasar Amerika
yaitu, North American Car of The Year. Kemudian bentuk keberhasilan
upgrading Hyundai lainnya adalah, kemampuan pelaku industri otomobil terbesar
di Korea Selatan ini membangun kendaraan berkonsep green car dengan
memproduksi kendaraan elektrik dan hibrida yang merupakan “masa depan”
industri otomobil dunia.
Selama beberapa dekade terakhir industri otomobil Korea Selatan telah
mengalami perkembangan pesat, dari yang tadinya hanya merupakan industri
kecil dibawah kontrol pemerintah menjadi pemain penting di dalam pasar global
(Lee, 2011: 428). Negara ini mampu menjadi yang paling berhasil dalam
pembangunan industri otomobil domestik di antara negara-negara berkembang
lainnya yang memulai proses industrialisasi dalam waktu relatif hampir
bersamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa Korea Selatan telah jauh melewati
Brazil yang lebih dulu memulai proses pembangunan industri ini (Mukherjee dan
Sastry, 1996: 75).
2 Usaha untuk melakukan optimalisasi pembelajaran dan penciptaan nilai guna meningkatkan kapabilitas pelaku industri dengan tujuan agar dapat menghasilkan produk yang lebih baik, lebih efisien, dan mampu melakukan aktifitas produksi yang lebih tinggi dalam rantai produksi (Gerefi dan Fernandez-Stark, 2011:12).
7
B. Rumusan Permasalahan
Keberhasilan Korea Selatan dalam proses pembangunan dan
pengembangan industri otomobil dalam negeri yang telah dijelaskan pada bagian
latar belakang, memunculkan pertanyaan sebagai berikut: Mengapa industri
otomobil Korea Selatan berhasil mencapai kemajuan sehingga mampu melakukan
transformasi, dari yang tadinya merupakan industri kecil dibawah kontrol
pemerintah, menjadi salah satu pelaku industri otomobil terbesar di dunia?
C. Tinjauan Pustaka
Berbagai pandangan mengenai keberhasilan Korea Selatan dalam proses
pembangunan dan industrialisasi, telah memberikan kontribusi bagi pemahaman
mengenai kemajuan yang telah dicapai oleh negara tersebut. Pandangan tersebut
antara lain datang dari Alice H. Amsden yang pada salah satu bagian dalam
tulisannya Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization, membahas
tentang industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, keberhasilan proses
pembangunan dan industrialisasi di Korean Selatan disebabkan oleh peran
pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan aturan yang terintegrasi untuk
mendukung kemajuan proses industrialisasi.
Hal tersebut dilakukan dalam bentuk dukungan dana yang besar kepada
industri, mengarahkan fokus kegiatan industri, serta melakukan intervensi
terhadap mekanisme pasar (Amsden, 1989). Pemerintah dengan kapasitas
keuangan yang dimiliki dapat mengalokasikan dana yang besar untuk kemajuan
industri dan mendukung pelaku usaha lokal dalam hal permodalan sehingga dapat
8
mengembangkan usahanya. Dalam mendukung perkembangan industri, Korea
Selatan membentuk lembaga finansial dibawah kendali pemerintah untuk
menjamin akses terhadap modal bagi para pengusaha.
Selain itu, pemerintah juga dapat mengarahkan kebijakan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Sehingga, pelaku industri dapat melaksanakan program
dengan fokus, sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah agar target yang ingin dicapai, dapat terealisasi dengan baik.
Lembaga-lembaga seperti EPB dan KCIA dibentuk oleh pemerintah untuk
melakukan koordinasi dan kooperasi dalam menjalankan program pembangunan
ekonomi dan industri di Korea Selatan.
Pemerintah juga dapat melakukan intervensi terhadap mekanisme pasar
dalam konteks melindungi industri lokal dari persaingan langsung dengan
kompetitor luar yang lebih maju. Pada awal kemunculan industri otomobil di
Korea Selatan, Pemerintah menerapkan kebijakan larangan impor mobil dalam
bentuk jadi dari luar negeri. Akan tetapi pemerintah kemudian memperbolehkan
impor suku cadang kendaraan yang bertujuan untuk meningkatkan minat pelaku
industri otomobil yang merupakan industri perakitan untuk dapat terus tumbuh
dan berkembang dalam proses industrialisasi dalam negeri.
Sejalan Dengan pandangan Amsden, Nae-Young Lee (2011) di dalam
tulisannya The Automobile Industry yang merupakan bagian dari buku The Park
Chung Hee Era: The Transformation of Korea, berpandangan bahwa peran
pemerintah terutama pada masa rezim Park Chung-hee menentukan kemajuan
industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, pemerintah memberikan segala
9
sesuatu yang dibutuhkan oleh industri otomobil untuk terus dapat meningkatkan
produktifitas, sehingga mempermudah para pelaku industri dalam negeri untuk
terus berkembang. Selain itu, pemerimtah memberikan kemudahan modal dan
subsidi untuk memasuki lini produksi yang baru, menghadapi situasi krisis, dan
mencegah pelaku usaha mendapatkan kerugian.
Andrew E. Green (1992) dalam tulisannya, South Korea’s Automobile
Industry: Development and Prospect juga menekankan peran negara dalam
pembangunan industri otomobil Korea Selatan. Menurutnya, negara dapat
membantu pengembangan industri untuk mencapai kemajuan teknologi dan
efisiensi sehingga mampu menghasilkan produk yang lebih kompetitif daripada
hanya dengan mengandalkan kemampuan sektor privat saja (Green, 1992: 412).
Green juga menambahkan bahwa industri otomobil Korea Selatan tidak akan
dapat mencapai kemajuan teknologi dan daya saing tanpa intervensi atau peran
aktif dari pemerintah.
Selain tulisan-tulisan yang memandang bahwa peran negara merupakan
faktor penentu keberhasilan proses pembangunan dan industrialisasi di Korea
Selatan, terdapat pandangan lainnya yang lebih melihat kekuatan pasar sebagai
faktor penentu dibalik kesuksesan negara tersebut. Menurut Bella Balassa dalam
tulisannya Outward versus Inward Orientation Once dan Korea’s Development
Strategy, keberhasilan Korea Selatan dihasilkan dari strategi kebijakan outward
looking. Balassa beranggapan bahwa strategi ini menjadi faktor penentu yang
membawa Korea Selatan keluar menjadi negara dengan capaian industri dan
perekonomian yang jauh lebih baik, dibandingkan negara-negara di Amerika
10
Selatan dan negara lainnya yang pada saat bersamaan menempuh kebijakan
Import Substitution Industry. Strategi outward looking yang dijalankan di Korea
selatan menjadikan perekonomian dan industri disana lebih terintegrasi dengan
pasar yang merupakan kunci keberhasilan ekonomi menurut pandangan liberal
(Balassa, 1983; Balassa, 1990).
Kebijakan outward looking yang diterapkan melalui kebijakan industri
berorientasi ekspor membuka peluang bagi Korea Selatan untuk memanfaatkan
pasar yang tersedia diluar sehingga dapat memperbesar skala ekonomi,
mengembangkan atau membangun teknologi baru, dan menambah kapabilitas
industri nasional. Selain itu, kebijakan EOI juga berkontribusi meningkatkan
jumlah ekspor dengan memaksimalkan potensi sumber daya dan teknologi
berdasarkan comparative advantage yang dimiliki oleh Korea Selatan.
Selain itu, strategi outward looking dengan menekankan industri
berorientasi ekspor menghasilkan industri-industri yang efisien dan pada akhirnya
mampu bersaing secara internasional dan global, sehingga industri (otomobil) di
Korea Selatan dapat memberikan kontribusi cukup besar terhadap pembangunan
ekonomi. Selain itu, Balassa juga melihat bahwa dalam menjamin keberhasilan
perekonomian, peran terbesar harus dialamatkan kepada swasta atau privat,
sehingga Industri yang dijalankan oleh Chaebol di Korea Selatan memberikan
dukungan terhadap argumen neoklasik atau liberal mengenai penjelasan tentang
keberhasilan industri dan pembangunan ekonomi di Korea Selatan.
Mendukung argumen yang telah disampaikan oleh Bella Balassa, Siem
Pichnorak (2013) dalam tulisannya The Roles of Export-led Policies in
11
Developing Automobile Industry in South Korea, memiliki pandangan bahwa
kemajuan industri otomobil Korea Selatan disebabkan oleh kebijakan industri
berorientasi ekspor. Kebijakan ini memberikan ruang kepada pelaku industri
otomobil Korea Selatan untuk memperbesar skala ekonomi yang tidak mungkin
diraih apabila hanya mengandalkan pasar domestik. Lebih jauh lagi menurut
Pichnorak, persaingan internasional akibat kebijakan industrialisasi berorientasi
ekspor, memberikan pengalaman bagi pelaku industri otomobil Korea Selatan,
sekaligus mendorong mereka untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi
teknologi agar dapat bertahan dalam persaingan tersebut (Pichnorak 2013: 18).
Dengan demikian industri otomobil Korea Selatan pada akhirnya dapat berada
sejajar dengan pelaku-pelaku industri otomobil dari negara maju dikarenakan
daya saing dan pangsa pasar yang tinggi.
Pandangan lainnya yang melihat tentang keberhasilan industri dan
pembangunan ekonomi di Korea Selatan datang dari perspektif dependensi.
Pandangan ini berangkat dari konsep strukturalis yang melihat keberhasilan Korea
Selatan dalam kemajuan industri dan pembangunan ekonomi disebabkan oleh
faktor ketergantungan Korea Selatan terhadap teknologi dan kapital serta
perdagangan luar negeri yang didukung oleh Jepang. Robert Castley dalam
tulisannya Korea’s Economic Miracle: The Crucial Role of Japan, melihat bahwa
Jepang memegang peranan penting dalam proses pembangunan dan industrialisasi
di Korea Selatan. Transfer teknologi dari Jepang sangat berperan dalam
membantu kemajuan industri negara tersebut. Bentuk-bentuk transfer teknologi
12
dilakukan melalui berbagai program kerjasama antara lain seperti joint venture
dan lisensi teknologi (Castley, 1997).
Struktur internasional yang terbentuk dari interaksi sosial dan ekonomi
membentuk suatu pengelompokan yang terdiri dari negara maju dan negara
berkembang yang biasa disebut sebagai negara core dan periphery. Negara maju
digambarkan sebagai negara yang mengusai modal, faktor-faktor produksi, dan
penghasil barang-barang industri, sedangkan negara berkembang merupakan
penghasil kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan-bahan mentah untuk
kepentingan industri.
Pada masa awal berdirinya industri otomobil Korea Selatan, struktur
internasional menempatkan Jepang sebagai negara maju dan tentu saja Korea
Selatan sebagai negara berkembang di dalam kawasan regional Asia (Timur).
Sebagai negara berkembang yang baru saja memulai proses industrialisasi, Korea
Selatan memiliki banyak keterbatasan dalam hal modal dan teknologi. Untuk
mengembangkan industri dalam negeri, Korea Selatan bergantung kepada modal
dan teknologi yang dimiliki oleh negara maju, dalam hal ini Jepang. Sehingga
kemudian dilakukan kerjasama ekonomi antara kedua negara dalam proses
industrialisasi. Ketergantungan dan proses kerjasama tersebut menggambarkan
peran Jepang dalam perkembangan dan kemajuan industri di Korea Selatan.
Ketika pertama kali membangun pabrik baja, Korea Selatan sama sekali
tidak memiliki kemampuan dan pengalaman, sehingga hal ini dianggap oleh
banyak kalangan sebagai proyek ambisius pemerintahan saat itu. Pembangunan
pabrik baja yang diberi nama POSCO ini dilakukan dengan cara belajar dari
13
Jepang dan mendatangkan tenaga ahli dari sana, yang pada saat itu diakui sebagai
salah satu penghasil baja terbaik di dunia. Sedangkan dalam membangun industri
otomobil, pada awalnya perusahaan otomobil Korea Selatan melakukan pekerjaan
perakitan dari pabrikan utama Jepang dan Amerika. Kerjasama yang dilakukan
pada saat itu melibatkan Hyundai yang merupakan subkontrak dari Ford dan
Daewoo yang merupakan subkontrak dari Mitsubishi.
Dari literatur-literatur sebelumnya yang telah dijabarkan diatas, dapat
dilihat bahwa mekanisme pasar, peran negara, dan ketergantungan terhadap modal
dan teknologi yang menghasilkan kerjasama internasional, merupakan faktor-
faktor yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dan
perkembangan industri di Korea Selatan. Konsep-konsep yang menjelaskan
tentang keberhasilan pembangunan ekonomi dan perkembangan industri di Korea
Selatan dalam literatur tersebut akan menjadi pijakan bagi tulisan ini untuk
melihat dan menjelaskan kemajuan industri otomobil Korea Selatan, terlebih lagi
dalam melihat peran pemerintah dan Jepang dalam membangun dan
meningkatkan daya saing serta kapabilitas domestik.
Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai kemajuan industri
otomobil Korea Selatan dengan menggunakan konsep Economic Backwardness,
intervensi selektif, upgrading dan sinergi, serta menjadikan literatur-literatur
terdahulu yang telah dipaparkan diatas sebagai acuan. Lalu kemudian, melihat
relevansi konsep-konsep yang ada di dalam literatur tersebut untuk digunakan
dalam membantu menjelaskan permasalahan yang akan dibahas di bagian-bagian
berikutnya pada tulisan ini.
14
D. Kerangka Pemikiran
Secara umum seperti yang ditunjukan pada bagian tinjauan pustaka,
berbagai pandangan yang telah berusaha menjelaskan tentang kemajuan Korea
Selatan dalam proses pembangunan dan industrialisasi digambarkan sebagai
pertarungan antara peran negara (Amsden, 1989; Lee, 2011; Green 1992) dengan
peran pasar (Balassa, 1983; Pichnorak, 2013). Penelitian ini tidak bertujuan untuk
melanjutkan atau turut mengambil bagian dalam perdebatan tersebut. Menurut
berbagai studi dan literatur, baik negara maupun pasar sama-sama memilki
kontribusi terhadap kemajuan ekonomi suatu negara 3 . Terlebih lagi
perkembangan globalisasi dewasa ini membawa keterbukaan ekonomi yang
sangat luas, sehingga dibutuhkan kombinasi keduanya untuk dapat menghasilkan
lebih banyak dari integrasi ekonomi global.
Tulisan ini melihat bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh industri
otomobil Korea Selatan, disebabkan oleh keberhasilan negara tersebut dalam
membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri dalam negeri.
Dengan daya saing dan kapabilitas domestik yang dimiliki, Korea Selatan dapat
memanfaatkan peluang yang disediakan oleh pasar bagi kemajuan industri
otomobil dalam negeri. Sehingga, negara yang termasuk ke dalam kategori
latecomer ini, mampu berada sejajar dengan negara maju dan jauh meninggalkan
negara berkembang lainnya yang masuk ke dalam proses industrialisasi dalam
rentang waktu relatif bersamaan.
3 Lihat Castley (1997), Hobday (1995) dan tulisan tokoh-tokoh pendukung ide strukturalis (reformis) seperti Mahbul ul Haq, Gunnar Myrdal, serta Raul Prebisch.
15
Status Korea Selatan sebagai latecomer dalam proses industrialisasi
(otomobil), berimplikasi pada seberapa besar peran negara dalam membangun
daya saing. Menurut pandangan Alexander Gerschenkron (1962) dalam konsep
economic backwardness, semakin belakangan suatu negara melakukan proses
industrialisasi maka semakin besar intervensi pemerintah yang diperlukan untuk
dapat bersaing. Peran pemerintah diperlukan karena negara yang datang
belakangan dalam proses industrialisasi akan menghadapi persaingan yang
semakin ketat. Sehingga, modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk dapat
bersaing dengan kompetitor-kompetitor dari luar juga semakin tinggi.
Dalam “mengejar ketertinggalan”, pemerintah merupakan institusi yang
dapat memenuhi kebutuhan industri akan kapital dengan jumlah besar dan
menyediakan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun industri. Penyediaan
dan pengembangan teknologi guna menghasilkan inovasi yang dibutuhkan untuk
menopang proses kegiatan industrialisasi membutuhkan investasi R&D yang juga
memerlukan alokasi dana dalam jumlah besar.
Dengan didasari oleh argumen Gerschenkron tersebut, tulisan ini
berpandangan bahwa peran pemerintah merupakan suatu keniscayaan dalam
membangun dan meningkatkan daya saing, terutama dengan semakin ketatnya
persaingan industri ditengah-tengah meluasnya globalisasi atau keterbukaan
ekonomi belakangan ini. Menurut Peter Dicken (2011) dan Sanjaya Lall (2003),
proses globalisasi atau liberalisasi ekonomi tidak serta merta mengeliminasi peran
negara dalam perekonomian seperti pandangan pemikiran neoklasik. Justru
16
sebaliknya, peran pemerintah diperlukan untuk menstimulasi potensi keuntungan
yang bisa diperoleh dari proses integrasi ke dalam pasar internasional.
Peran pemerintah dalam pembangunan industri otomobil Korea Selatan
telah terlihat sejak industri ini dibangun. Hal ini ditunjukan oleh kebijakan the
Automotive Industry Promotion Law yang diterapkan oleh pemerintah untuk
mendorong lahirnya pelaku-pelaku industri otomobil dalam negeri. Melalui
kebijakan ini, pemerintah melakukan promosi industri otomobil dengan
memberikan berbagai kemudahan dan menentukan pelaku industri yang memiliki
kapabilitas untuk menjadi pemain dalam proses pembangunan industri ini yang
diatur oleh Ministry of Commerce and Industry atau MCI.
Berbagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk mendukung
pelaku industri otomobil, antara lain berupa proteksi pasar domestik dengan
melarang impor kendaraan dalam bentuk jadi, menyediakan pinjaman modal
bersubsidi dan insentif pajak investasi. Dengan berbagai kemudahan tersebut
industri otomobil Korea Selatan tumbuh dan berkembang. Lahir pelaku-pelaku
indutri otomobil dalam negeri seperti Saenara Motor, Shinjin Motor, Daewoo, Kia
dan Hyundai.
Sebagai industri yang masih baru, industri otomobil Korea Selatan
memiliki berbagai keterbatasan dan kekurangan, terutama terkait dengan kualitas
kendaraan yang dihasilkan. Sehingga, untuk masuk ke pasar internasional sebagai
upaya untuk merespon kebijakan industri berorientasi ekspor atau EOI, para
pelaku industri otomobil Korea Selatan mengandalkan harga murah sebagai faktor
17
utama untuk dapat bersaing. Kendaraan asal negara inipun dikenal sebagai
kendaraan murah dengan kualitas rendah.
Seiring dengan perkembangannya, para pelaku industri otomobil Korea
Selatan melakukan diversifikasi produk. Industri ini memproduksi kendaraan
dengan spesifikasi dan kualitas yang lebih baik, untuk dapat bersaing pada
segmentasi pasar yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hyundai misalnya, pada
tahun 1970an hanya memproduksi Pony dengan kapasitas 1400cc, namun
kemudian pada tahun 1980an Hyundai mulai memproduksi varian lainnya dengan
spesifikasi lebih tinggi, seperti Elantra 1800cc dan Sonata 2000cc.
Memasuki segementasi pasar yang lebih tinggi, daya saing industri
otomobil Korea Selatan bergerak dari yang tadinya hanya mengandalkan faktor
harga, kemudian mulai bersaing dengan mengedepankan kualitas. Keberhasilan
Industri otomobil Korea Selatan meningkatkan daya saing di pasar internasional
ditandai dengan penghargaan yang diraih oleh beberapa varian kendaraan yang
dipasarkan di luar negeri, seperti Kia Cee’d di Inggris tahun 2008 dan Hyundai
Genesis di Amerika Serikat pada tahun tahun yang sama.
Untuk meningkatkan daya saing yang menekankan pada faktor kualitas,
Korea Selatan melakukannya dengan cara membangun kapabilitas industri dalam
negeri. Menurut Sanjaya Lall (2000), kapabilitas industri berkaitan dengan
penguasaan teknologi yang dimiliki oleh suatu negara dalam menjalankan proses
industrialisasi. Lall berargumen bahwa pengembangan kapabilitas industri yang
dilakukan oleh suatu industri khususnya yang datang dari negara berkembang,
membutuhkan intervensi selektif dari pemerintah (Lall, 2000; Lall 2003).
18
Intervensi pemerintah dibutuhkan agar proses penyerapan teknologi yang
dilakukan pelaku industri dalam negeri dapat berlangsung efektif dan efisien.
Intervensi selektif yang dimaksud oleh Lall adalah kebijakan pemerintah
ditujukan langsung pada kegiatan industri yang bersifat spesifik (Lall, 2000: 3).
Pandangan ini didasari atas pemikiran bahwa setiap industri memiliki kebutuhan
yang berbeda-beda untuk membangun dan meningkatkan kapabilitasnya sehingga
dibutuhkan intervensi yang sesuai dan tepat untuk menyasar kebutuhan tersebut.
Berbeda dengan proteksi pemerintah dalam pemahaman developmental state yang
bersifat statis seperti kebijakan Import Substitution Industry atau ISI, intervensi
selektif lebih bersifat fleksibel dan dinamis. Misalnya, proteksi dilakukan hanya
pada industri-industri tertentu yang memerlukan perlindungan dalam persaingan
internasional, kemudian secara bersamaan juga membuka diri terhadap investasi
asing untuk menyediakan teknologi yang dibutuhkan bagi industri tertentu.
Dalam pembangunan industri otomobil, pemerintah Korea Selatan
menerapkan kebijakan selektif dengan cara melakukan proteksi sebelum para
pelaku industri domestik mencapai tahapan yang sudah matang atau mampu
bersaing. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan pelaku industri otomobil lokal
akan teknologi, pemerintah memberikan berbagai kemudahan untuk melakukan
proses kerjasama dengan pelaku industri otomobil dari luar terutama Jepang
melalui joint venture, lisensi teknologi, pengurangan pajak impor barang produksi
dan lain sebagainya. Pemerintah Korea Selatan menerapkan kebijakan yang
sangat ketat dalam membatasi investasi asing atau FDI untuk menjaga
kepemilikan mayoritas dan monopoli pelaku industri otomobil lokal terhadap
19
pasar domestik. Dengan kebijakan ini, industri otomobil Korea Selatan dapat
melahirkan pelaku industri besar seperti Kia dan Hyundai.
Kemudian, yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan pemerintah
terkait dengan pengembangan R&D. Selain melakukan kerjasama dengan pelaku
industri otomobil domestik dalam bentuk koalisi public-private R&D, pemerintah
juga menerapkan kebijakan yang mendukung pengembangan R&D nasional,
seperti melakukan investasi melalui institusi riset publik maupun lembaga
pendidikan tinggi atau universitas. Melalui institusi riset publik seperti KAIST
atau Korea Advanced Institute of Science and Technology yang didirikan pada
tahun 1981, pemerintah membantu pelaku industri otomobil domestik untuk
memperoleh teknologi dari luar negeri, melakukan difusi teknologi melalui
reverse engineering, dan menyediakan peneliti-peneliti berkompeten serta
berpengalaman. Melalui lembaga pendidikan tinggi atau universitas, pemerintah
membangun Graduate School of Automotive Technology di wilayah pusat industri
Ulsan yang bertujuan untuk mendukung pengembangan teknologi industri
otomobil dalam negeri.
Pengembangan R&D yang berkontribusi terhadap peningkatan kapabilitas
teknologi industri domestik, memungkinkan pelaku industri otomobil domestik
untuk dapat bersaing dalam merespon kebutuhan atau keinginan pasar
internasional yang dinamis dan terus bergerak maju. Hal ini ditunjukan dengan
pengembangan kendaraan hibrida oleh Hyundai yang menggunakan konsumsi
bahan bakar fosil konvensional dan energi listrik. Pengembangan kendaraan
dengan teknologi tinggi dan terbaru ini menunjukan bahwa Korea Selatan berhasil
20
membangun dan meningkatkan kapabilitas (teknologi) industri otomobil domestik
melalui intervensi kebijakan selektif dari pemerintah.
Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa, salah satu bentuk kebijakan
selektif pemerintah untuk memenuhi kebutuhan teknologi industri otomobil
domestik adalah dengan mendorong terciptanya kerjasama dengan pelaku industri
dari luar khususnya dari negara maju seperti Jepang. Negara maju khususnya
Jepang, memiliki kontribusi terhadap pengembangan industri otomobil domestik
di Korea Selatan dalam menyediakan kebutuhan industri seperti teknologi (awal),
bahan produksi atau modal, dan lain sebagainya.
Mengenai peran negara maju dalam pembangunan industri domestik
negara berkembang, Sanjaya Lall (2000) berpandangan bahwa pengetahuan dan
informasi dari luar merupakan sumber utama bagi pengembangan kapabilitas
domestik. Sumber pengetahuan dan informasi ini, tersedia dalam berbagai macam
bentuk (Lall, 2000: 8). Mundukung argumentasi Lall, Mike Hobday (1995)
berpandangan bahwa sebagai negara berkembang dalam menjalankan proses
industrialisasi, Korea Selatan sangat bergantung dari sumber pengetahuan dan
teknologi dari luar khususnya dari negara maju seperti Jepang.
Sekilas kedua pandangan ini sejalan dengan pemikiran tradisional
neoklasik yang berpandangan bahwa dengan cara membuka diri, pasar akan
memberikan keuntungan komparatif kepada ekonomi suatu negara yang minim
campur tangan pemerintah. Dengan kata lain pemerintah bersifat pasif dalam
keterbukaan ekonomi yang dijalankan dimana Sanjaya Lall berbeda pandangan
mengenai hal ini. Menurut Lall (2003), peran pemerintah sangat dibutuhkan
21
dalam membantu pelaku industri domestik untuk dapat menyerap informasi yang
disediakan oleh pasar. Sebagai contoh, kerjasama antara pelaku industri domestik
Korea Selatan dengan Jepang akan sulit terlaksana apabila pemerintah tidak
memberikan berbagai insentif seperti pembukaan free export processing zone,
kemudahan pemberian izin lisensi kerjasama, dan lain sebagainya. Argumentasi
Lall ini juga didukung oleh pandangan Dieter Ernst (2000) yang melihat bahwa
dalam memastikan keberhasilan proses industrialisasi, pemerintah berperan dalam
menyediakan kebutuhan penting bagi proses penyerapan pengetahuan dan modal
seperti informasi, pelatihan, biaya serta dukungan lainnya (Ernst, 2000: 5).
Melalui berbagai kerjasama yang didorong oleh pemerintah, kemajuan
industri otomobil Korea Selatan tidak lepas dari pengaruh Jepang. Dengan kata
lain, Jepang berperan dalam upaya Korea Selatan membangun dan meningkatkan
daya saing serta kapabilitas industri otomobil domestik. Peran Jepang antara lain,
sebagai rekan kerjasama sebagian besar pelaku industri otomobil Korea Selatan
pada saat pertama kali masuk ke dalam industri otomobil seperti kerjasama Nissan
dengan Saenara Motor dan Toyota dengan Shinjin Motor. Kemudian Mitsubishi
yang melakukan kerjasama dengan Hyundai Motor Company dalam rentang
waktu yang cukup panjang untuk membangun mobil pertama produksi pelaku
industri otomobil terbesar di Korea Selatan tersebut, Hyundai Pony.
Selain melalui kerjasama teknik, Jepang juga berperan menyediakan
barang produksi atau barang modal yang dibutuhkan oleh industri otomobil Korea
Selatan, untuk mempertahankan eksistensinya dalam persaingan global. Industri
otomobil Korea Selatan juga mengadopsi sistem kerja yang digunakan Jepang
22
dalam proses produksi kendaraan. Sistem produksi JIT atau Just In Time yang
diprakarsai oleh Toyota ini, digunakan oleh para pelaku industri otomobil Korea
Selatan seperti Hyundai agar dapat mencapai tingkat efisiensi produksi yang lebih
tinggi, setelah sebelumnya menerapkan sistem produksi masal. Bersamaan dengan
meningkatnya daya saing, efisiensi produksi juga memberikan tambahan
keuntungan bagi para pelaku industri otomobil Korea Selatan yang mengadopsi
sistem JIT tersebut.
Peran pemerintah melalui intervensi kebijakan selektif dan Jepang dalam
membangun dan meningkatkan daya saing serta kapabilitas industri juga
memberikan insentif bagi para pelaku industri otomobil Korea Selatan untuk
dapat melakukan upgrading. Hyundai misalnya, telah berhasil melakukan
upgrading dari yang tadinya merupakan bagian dari rantai produksi Ford, sebagai
perakit mobil asal Amerika, bertransformasi menjadi salah satu pelaku industri
otomobil terbesar dunia dan mampu memproduksi kendaraan-kendaraan dengan
spesifikasi dan teknologi tinggi. Keberhasilan upgrading ini juga didukung oleh
sinergi antara pemerintah dengan pelaku industri.
E. Argumen Utama
Berdasarkan pada uraian yang telah dijelaskan dalam bagian kerangka
pemikiran, tulisan ini berargumen bahwa kemajuan industri otomobil Korea
Selatan disebabkan oleh peran pemerintah melalui penerapan intervensi berbentuk
kebijakan selektif dan peran Jepang menyediakan berbagai input yang dibutuhkan
23
oleh Korea Selatan dalam upaya membangun dan meningkatkan daya saing serta
kapabilitas industri dalam negeri.
Intervensi selektif yang dilakukan oleh pemerintah dapat melahirkan
kebijakan-kebijakan yang berorientasi langsung pada pengembangan industri
otomobil Korea Selatan. Sehingga intervesi pemerintah menjadi lebih fokus dan
memberikan hasil yang lebih efektif bagi kemajuan industri. Selain itu intervensi
selektif juga langsung menyasar pada kebutuhan utama pengembangan industri
otomobil di Korea Selatan, seperti pembangunan Graduate School of Automotive
Technology di Ulsan.
Selain intervensi selektif dari pemerintah, kemajuan industri otomobil
Korea Selatan juga didukung oleh peran Jepang yang menyediakan berbagai
kebutuhan untuk membangun basis dan kapabilitas industri serta meningkatkan
daya saing. Tanpa input dari Jepang berupa barang produksi, sumber informasi
dan pengetahuan serta teknologi, Korea Selatan akan membutuhkan waktu yang
lebih panjang untuk dapat bersaing dengan industri otomobil dari negara maju.
Dengan mengandalkan input dari Jepang, Korea Selatan dapat mencapai tahapan
lebih tinggi dalam proses pengembangan industri otomobil dalam waktu yang
lebih singkat.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada
pendekatan saintifik, dimana menurut Dickinson Mcgaw dan George Watson
(1976), merupakan metode analisa yang objektif, logis, dan sistematis untuk
24
mendeskripsikan, menjelaskan dan meramalkan fenomena yang akan diamati.
Berdasarkan pandangan Mohtar Mas’oed (1990), mendeskripsikan fenomena
yang diamati adalah upaya untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan
menjelaskan fenomena yang terkait dengan pertanyaan “mengapa” di dalam
sebuah penelitan.
Oleh sebab itu, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian
yang diajukan melalui proses mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang
diamati dengan mengacu kepada fakta atau data empiris, disertai argumentasi
secara logis berdasarkan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini.
Dengan demikian didapatkan proposisi atas konsep-konsep yang digunakan untuk
menguji posisi argumen utama yang telah diajukan.
Penelitian ini ditunjang dengan pengumpulan data melalui studi pustaka,
data-data yang digunakan bersumber dari berbagai literatur, buku-buku yang
membahas tentang perkembangan ekonomi dan industri di Korea Selatan, jurnal-
jurnal yang berhubungan dengan industri otomobil, data statistik dari Korean
Trade-Investment Promotion Agency atau KOTRA dan Korea Automobile
Manufacturers Association atau KAMA, serta data-data lainnya termasuk data
dari internet, yang memiliki relevansi dengan objek yang diteliti.
G. Sistematika Penulisan
Bab pertama merupakan pendahuluan dari tulisan ini, terdiri dari latar
belakang masalah yang menunjukan mengapa isu yang diangkat ini merupakan
permasalahan yang penting dan menarik untuk diteliti, lalu kemudian perumusan
25
masalah, kerangka pemikiran, argumen utama, tinjauan pustaka, metode peneltian
dan sistematika penulisan.
Bab kedua menggambarkan tentang perkembangan industri otomobil di
Korea Selatan dari awal terbentuk hingga mencapai keberhasilan yang signifikan
dengan melihat dinamika dalam pembangunan industri tersebut yang pada
akhirnya melahirkan Hyundai sebagai ”national champion”.
Bab ketiga menjelaskan tentang peran pemerintah dan Jepang dalam
kemajuan industri otomobil Korea Seleatan. Peran pemerintah dimanifestasikan
melalui kebijakan selektif yang bersifat spesifik dan kontribusi dalam
pengembangan R&D. Sedangkan Jepang berkontribusi dalam membantu industri
otomobil Korea Selatan membangun dan meningkatkan daya saing serta
kapabilitas industri.
Bab keempat membahas tentang studi kasus upgrading yang dilakukan
oleh Hyundai Motor Company, yang berhasil membangun kendaraan dengan
konsep green car. Keberhasilan Hyundai ini tidak lepas dari peran pemerintah
melakukan sinergi dalam proses pengembangan industri.
Bab kelima berisi pokok-pokok kesimpulan dari penelitian ini dan refleksi
teoritis terhadap konsep-konsep yang digunakan di dalam tulisan ini.
26