Post on 04-May-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi antara yang
satu dengan yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
hal ini, manusia membuat suatu kelompok dimana terdapat hubungan yang
erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar ini
manusia disebut sebagai zoon politicon. Dalam hidup bermasyarakat,
manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu
akibat.
Dalam usaha melindungi masyarakat dari gangguan pelaku
pelanggar norma-norma sosial yang ada, maka salah satu sarana untuk
menanggulanginya adalah dengan hukum pidana. Hukum pidana adalah
hukum yang bersifat represif, hukum yang mempunyai sanksi istimewa,
hukum ini tak kenal kompromi, walupun si korban tindak pidana sudah
memaafkan atau tidak dituntut namun hukum pidana itu bersifat tegas,
hukum harus ditegakkan dan pelaku harus ditindak.1
Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata, dan untuk
keperluan itu oleh para ahli hukum pidana telah dipikirkan agar hukum
pidana berlaku adil sehingga timbulah bentuk-bentuk hukum pidana yang
dirumuskan dalam undang-undang dan Kitab Undang-undang (kodifikasi).
1 M. Faal, Penyaringan perkara pidana oleh Kepolisian (Diskresi Kepolisian), PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, 1991, h. 4.
2
Hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap negara di dunia
berbentuk undang-undang dan kodifikasi.
Dalam masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan
yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu berlangsung,
maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan
ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan
setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku. Adapun tindakan yang melanggar
aturan atau peraturan hukum pidana tersebut dapat disebut dengan tindak
pidana.
Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan
mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana / KUHP. Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat
jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada
suatu pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII
KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal
kejahatan - kejahatan yang hanya dituntut atas dasar pengaduan. Pengaduan
merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan
penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam
perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur
dalam Pasal 75 KUHP. Hal ini dilakukan agar korban dapat
mempertimbangkan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi
korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakanya
delik aduan adalah untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan
3
kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan
perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam rangka mengatur sikap manusia agar tidak mengganggu,
merampas dan melanggar hak-hak orang lain, maka dibuatlah aturan pidana
agar orang-orang yang melakukan kejahatan dapat dikenai sanksi atau
hukuman untuk mewujudkan ketentraman, keamanan dan kesejahteraan
dalam masyarakat. Salah satu tindak pidana yang sering dilakukan oleh
seseorang adalah tindak pidana penggelapan (verduistering) sebagaimana
yang diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP.
Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini sangat sering di
jumpai dikehidupan sehari-hari. Himpitan ekonomi dengan gaya hidup yang
semakin tinggi menjadi faktor terjadinya tindak pidana penggelapan, Yang
dinamakan penggelapan adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372
KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai
milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Perkara penggelapan merupakan suatu delik atau tindak pidana biasa
dan bukan delik aduan. Menurut R. Tresna, istilah pengaduan (klacht) tidak
sama artinya dengan pelaporan (aangfte), bedanya adalah:2
1. Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan
pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya
pengaduan itu menjadi syarat.
2. Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan
hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
2 R. Tresna. Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana yang
Penting, Bulan Bintang, Jakarta, 2006, h. 45.
4
3. Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana,
pengaduan di dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan
syarat untuk mengadakan penuntutan.
Penggelapan bukan termasuk dalam delik aduan, maka walaupun
barang yang digelapkan telah dikembalikan, hal itu tidak dapat menjadi
alasan penghapusan hak penuntutan/peniadaan penuntutan atas delik
tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d
Pasal 85) KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan
Menjalankan Pidana. Walaupun barang yang gelapkan telah dikembalikan
oleh yang bersangkutan, dia tetap dapat dituntut dengan pasal penggelapan.
Namun, dengan adanya iktikad baik si pelaku, apabila ada perjanjian
perdamaian, hal itu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan
putusan saat perkara tersebut diperiksa di pengadilan.
Salah satu fungsi hukum pidana adalah sebagai alat atau sarana
terhadap penyelesaian problematika. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu
upaya untuk menanggulangi kejahatan dan mensejahterahkan masyarakat,
maka berbagai bentuk kebijakan dilakukan untuk mengatur masyarakat
dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih
luas.
Perkara tindak pidana penggelapan kususnya di unit III Penyidikan
Sat Reskrim Polrestabes Semarang periode Januari 2014 sampai dengan
Agustus 2014 laporan yang masuk mencapai 30 laporan, dari angka tersebut
6 diantaranya pelapor menghendaki proses penyidikanya di tangguhkan
dengan pertimbangan kedua belah pihak yang berperkara telah
menyelesaikan kerugian materiel yang dialami oleh pelapor dan kedua belah
5
telah saling memaafkan, sedangkan sisa perkara-perkara tersebut masih
dalam tahap penyelidikan dengan berbagai macam hambatan dan di
limpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum.
Perkara tindak pidana penggelapan yang laporannya dicabut oleh
pelapor dan menghendaki penyelesaian secara damai cepat ditindak lanjuti
oleh Penyidik, menurut Penyidik hal itu merupakan penilaian positif karena
beban perkara yang ditangani juga berkurang begitu juga dengan perkara
yang tidak ada penyelesaian secara damai yang harus ditindak lanjuti sampai
berkas perkaranya dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum selama tidak
terdapat hambatan-hambatan dalam prosesnya cepat direspon karena
keterbatasan waktu yang telah diatur dalam undang-undang.
Perkara tindak pidana penggelapan yang ditangani di Polrestabes
sampai berlanjut dan dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum pada
umumnya karena pelaku tidak sanggup dan tidak bisa menghadirkan
kembali kerugian yang dialami oleh pelapor/korban, sebab lain karena
korban menghendaki pembelajaran hukum kepada pelakunya. Contoh
perkara tindak pidana penggelapan yang menghendaki prosesnya
ditangguhkan dibawah ini :
ANDI adalah teman dekat JOHAN yang sudah lama bekerja sama
dalam usaha jual beli Mobil, suatu ketika ANDI mendapat
kepercayaan untuk menjualkan 1 unit Toyota Avanza milik JOHAN
dengan kesepakatan harga Rp.150.000.000. dalam waktu tidak lama
ANDI berhasil menjualkan mobil tersebut dengan harga sesuai
permintaan JOHAN, namun ANDI mengalami suatu musibah
anaknya sakit dan di Opname pada salah satu rumah sakit, karena
ANDI tidak mempunyai uang untuk biaya anaknya tersebut maka
timbulah niat untuk menggunakan Rp.50.000.000. atau sebagian
uang hasil penjualan mobil tanpa sepengetahuan JOHAN, dan uang
tersebut digunakan untuk biaya anaknya, di lain waktu JOHAN
bertanya tentang mobilnya tersebut dan ANDI menerangkan bahwa
6
benar mobil sudah laku terjual dengan kesepakatan harga Rp.
150.000.000. namun uang hasil penjualanya sebagian digunakan
oleh ANDI dan ANDI berjanji dalam waktu satu minggu uang yang
digunakan tersebut akan dikembalikan karena dengan alasan tersebut
diterima JOHAN, setelah satu minggu JOHAN menagih kepada
ANDI tentang uang yang digunakan tersebut namun ANDI tidak bisa
mengembalikanya sehingga oleh JOHAN dilaporkan kepada
Kepolisian, setelah diproses oleh kepolisian dilakukan penyelidikan
dan penyidikan terbukti perbuatan ANDI cukup bukti dan memenuhi
unsur pasal 372 KUHP dan dilakukan penahanan, dalam perjalanan
waktu ANDI dan keluarganya berupaya untuk dapat mengembalikan
uang yang digunakan tersebut kepada JOHAN, maka kerugian
JOHAN telah dikembalikan sehingga JOHAN memohon kepada
kepolisian untuk mencabut laporan dengan alasan bahwa uangnya
telah dikembalikan dan ia menuangkan dalam pernyataan bahwa
permasalahan tersebut telah dimaafkan sehingga JOHAN meminta
agar proses hukumnya selesai ditingkat kepolisian saja dan tidak
dilanjutkan sampai ke Kejaksaan maupun Pengadilan, dengan
berbagai pertimbangan sehingga kepolisian menangguhkan proses
penyidikan yang sudah berlangsung, walaupun perkara/kasus
tersebut bukan delik aduan.
Dari perkara/kasus diatas walaupun pihak korban/pelapor telah
berdamai dan mengajukan permohonan pencabutan laporan, kepolisian tidak
mempunyai dasar atau landasan hukum untuk menghentikan proses
penyidikan tersebut sampai ketahap penuntutan di kejaksaan dan mendapat
putusan hukum tetap di pengadilan jika tujuan hukum untuk mencari suatu
kepastian, namun jika hukum bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan
kemanfaatan atas pencabutan laporan kepolisian membutuhkan sarat
adminstrasi yang mendukung pemufakatan kedua belah pihak antara pihak
pelapor maupun terlapor yang diketahui oleh pihak ketiga contoh keluarga
para pihak, RT, RW ataupun pihak kelurahan bahwa perkara/kasus tersebut
telah di selesaikan secara damai, saling memaafkan dan tidak saling
menuntut dikemudian hari, dan pihak terlapor menyadari perbuatanya
tersebut melanggar hukum dengan ancaman pidana empat tahun, sehingga
7
dapat dipertimbangkan oleh kepolisian dampak baik buruknya,
memperhatikan situasi masyarakat setempat, apabila perkara/kasus tersebut
di tangguhkan prosesnya, karena tugas pokok kepolisian sebagai pelindung,
pengayom dan pelayanan masyarakat selain penegakan hukum juga
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, berdasarkan
pertimbangan tersebut sehingga prosesnya di tangguhkan.
Lebih lanjut adanya paradigma baru dalam proses penegakan hukum
pidana yang disebut dengan pendekatan “Restorative Justice” atau
“Keadilan Restoratif”. Pendekatan ini dinilai menawarkan solusi lebih
efektif karena bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku,
keluarga dan masyarakat guna memperbaiki perbuatan/akibat perbuatan
melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai
landasan untuk memperbaiki tata kehidupan bermasyarakat.
Berbicara soal penegakan hukum adanya keharusan menjalankan
hukum sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri dan dapat memprioritaskan
ketiga tujuan hukum ini tanpa ada yang di kecualikan, sehingga tercipta
suatu keadaan yang aman. Hal ini berlaku juga bagi Kepolisan Republik
Indonesia sebagaimana yang di amanahkan dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yakni dalam Pasal 13
tentang tugas dan wewenang Polri.
Pada dasarnya kehadiran dan tugas Polisi tak lepas dari
permasalahan dan tindak Pidana, Polisi dapat menjadi pengayom dan
pelindung masyarakat juga dapat memberikan rasa nyaman dalam
masyarakat menjalankan aktifitas manusia sebagai subjek hukum.
8
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hukum pidana tidak
mengenal adanya kompromi, namun pada kenyataannya ada beberapa
perkara pidana itu diselesaikan langsung oleh polisi tanpa melalui jaksa
maupun pengadilan. Perkara-perkara tersebut pada umumnya berupa jenis
tindak pidana ringan dan dikarenakan si korban mau menerima permohonan
maaf dari si pelaku dimana penyelesaiannya dengan cara berdamai. Dengan
adanya wewenang polisi yang sangat besar bisa mengarah ke perbuatan
kesewenang-wenangan atau diskriminasi. Oleh karena itu perlu landasan
moral dan etika serta pengawasan-pengawasan.
Terdapat berbagai kasus yang menggambarkan tindakan para aparat
penegak hukum tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya.
Tetapi penegak hukum dalam hal ini polisi masih ada yang bertindak bijak
dalam memutuskan perkara pidana, terutama tindak pidana penggelapan.
Maka dalam thesis ini penulis ingin membahas proses penyelesaian perkara
tindak pidana penggelapan yang memperlihatkan kewenangan polisi dalam
menyelesaikan perkara tidak hanya berdasarkan aturan hukum formal yang
berlaku, tapi juga menggunakan pendekatan keadilan restoratif,
sebagaimana pengaturan ketentuan-ketentuan hukumnya memberikan
keadilan lebih baik untuk pelaku maupun korban dan keluarga korban.
Berdasarkan latar belakang yang terurai sebelumnya, maka disusunlah thesis
ini dengan judul “Penyelesaian perkara tindak pidana Penggelapan
dengan pendekatan Restoratif Justice “ (Studi Penelitian di Polrestabes
Semarang).
9
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut :
Apa yang menjadi landasan hukum dalam Penyelesaian perkara tindak
pidana penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes
Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis Penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dengan
pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes Semarang.
D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis :
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga dapat
mengembangkan pengetahuan dalam bidang hukum dan menjadi bahan
referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang tentu lebih
mendalam lagi, khususnya dalam proses Penyelesaian Perkara tindak
pidana penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice.
2. Manfaat Praktis :
Dengan adanya penelitian ini diharapkan
10
a) Memberi manfaat bagi institusi untuk kepentingan penegakan
hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berfikir dan
cara bertindak dalam mengambil keputusan guna mewujudkan
tujuan hukum.
b) Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti dan
memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi
peristiwa penggelapan dalam kehidupan sehari-hari.
E. Kerangka Pemikiran
Untuk memahami apa itu delik aduan, sebaiknya memahami
pengertian dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri, karena untuk
pengertian tentang delik aduan berpijak pada defenisi dan pendapat ahli
tentang itu, tetapi haruslah lebih dahulu kita arahkan titik pandang dan titik
perhatian kita pada satu pertanyaan yaitu apa itu delik ?
Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain
untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak
pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih
belum didapat satu sinonim dan/atau terjemahan kata yang terpola dan
diakui secara umum untuk peristilahan Strafbaar feit ini. Masing-masing
sarjana menyampaikan pengertian dan pernyataan yang berbeda pula.
Kesalahan adalah keadaan bathin (psikis) dari orang yang melakukan
perbuatan itu serta hubungan antara keadaan bathin itu dengan perbuatan
yang dilakukan sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya itu.
Keadaan bathin (psikis) dari orang yang melakukan perbuatan itu, dalam
11
Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana merupakan soal yang lazim disebut
masalah kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan antara
keadaan bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah
kesengajaan, kealfaan, serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggung
jawab.
Dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
menegaskan:
Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang
sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Lamintang (dalam Tongat) mengemukakan penjelasannya mengenai
tindak pidana penggelapan yaitu:3
Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV KUHP lebih
tepat disebut sebagai tindak pidana penyalahgunaan hak” atau
“penyalahgunaan kepercayaan”. Sebab, inti dan tindak pidana yang
diatur dalam BAB XXIV KUHP tersebut adalah “penyalahgunaan
hak” atau “penyalahgunaan kepercayaan”. Karena dengan
penyebutan tersebut maka akan lebih memudahkan bagi setiap orang
untuk mengetahui perbuatan apa yang sebenarnya dilarang dan
diancam pidana dalam ketentuan tersebut.
Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab
XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.4
1) Penggelapan biasa
Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur
dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang
ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena
penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2) Penggelapan Ringan
3 Tongat, Hukum Pidana Materiil. UMM Press, Malang, 2006, h. 57. 4 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 29, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2011, h.
132.
12
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan
bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal
373 KUHP.
3) Penggelapan dengan Pemberatan
Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan
oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan
pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374
KUHP).
4) Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga
Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang
dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang
untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana
surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang
sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).
Dasar hukum yang dijadikan landasan atau pedoman dalam
penelitian ini adalah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Peraturan Kepala Kepolisian
RI No.: 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan
perkara Pidana di Lingkungan Kepolisisan Negara Republik Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Kepolisian berada
di tengah-tengah masyarakat, setiap detik, setiap jam, setiap hari. Selain
bertugas sebagai penegak hukum (law enforcement) dan pemelihara
ketertiban (order maintenance), Polisi juga bertugas sebagai pengayom,
pelindung dan pelayan masyarakat. Sebagai penegak hukum, tugas
Kepolisian senantiasa bersinggungan dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang akan selalu memungkinkan terjadi benturan-benturan
yang berakibat memunculkan persepsi masyarakat yang kurang
menguntungkan bagi aparat kepolisian. Dalam pelaksanaan tugasnya kadang
kala polisi harus mengambil tindakan-tindakan yang merupakan
kewenangannya untuk memelihara keamanan dan ketertiban itu sendiri.
13
Namun demikian beberapa pihak memandang bahwa tindakan Kepolisian
yang dilakukan rentan untuk menimbulkan arogansi dan tindakan
kesewenang-wenangan dari aparat kepolisian itu sendiri, yang justru akan
memperburuk citra kepolisian. Oleh karena itu, diperlukan suatu
pertimbangan-pertimbangan dan langkah-langkah agar diskresi Kepolisian
dapat dijalankan dengan baik dan benar dimata hukum serta nantinya dapat
mencapai tujuan terpeliharanya keamananan dan ketertiban di tengah
masyarakat.
Roescoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam,
mengartikan diskresi kepolisian yaitu: an authority conferred by law to act
in certain condition or situation; in accordance with official’s or an official
agency’s own considered judgement and conscience. It is an idea of morals,
belonging to the twilight zone between law and morals. (diskresi kepolisian
adalah suatu tindakan pihak yang berwenang untuk bertindak pasti atas
dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya
sendiri).5 Jadi, diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil
keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah
pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya.
Dalam praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih
banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan Diskresi ini,
terutama dalam penanganan kasus pidana. Padahal, Pasal 18 Undang-
undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi.
5 R. Abdussalam, Hukum Kepolisian sebagai hukum positif dalam disiplin hukum, 1997, h. 25-26.
14
Selengkapnya Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik menyebutkan:
(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang
dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu
tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta
resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Pentingnya peranan penegak hukum dalam memberantas suatu
tindak pidana adalah berdasarkan konsep sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system. Oleh Frakfuther, Pound. Moley dan
Warner membentuk National Commision on Crime and Criminal Justice
yang bertujuan untuk menyusun suatu mekanisme administrasi peradilan
pidana yang mendukung tujuan pencegahan dan pemberantasan kejahatan.6
Konsep Restorative Justice pada dasarnya mengandung ukuran
keadilan yang tidak lagi mengacu pada teori pembalasan yang setimpal dari
korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun
perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan
dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk
6 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme,
Bina Cipta, Bandung, 2001, h. 9.
15
bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila
diperlukan.
Mengapa diperlukan pendekatan restorative justice? Jawabannya
karena sistem peradilan pidana yang selama ini dianut hakikatnya lebih
mengedepankan keadilan retributive (pembalasan) dan restitutive (ganti
rugi), serta memberikan wewenang yang sangat besar kepada Negara
dan/atau mendelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan
Hakim) untuk menyelesaikan seluruh perkara pidana. Hal ini pada tataran
empirisnya ternyata dinilai kurang memuaskan. Sebab pelaku dan
korbannya tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan
yang mereka inginkan. Karena itu tidak mengherankan apabila suatu tindak
pidana yang seharusnya dapat diselesaikan melalui kesepakatan antara para
pihak, senantiasa harus di bawa ke pengadilan, sehingga menimbulkan
kejenuhan perkara di pengadilan.
Padahal melalui pendekatan Restorative Justice (Keadilan
Restoratif) suatu tindak pidana dapat diselesaikan secara adil dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait
dalam suatu tindak pidana, untuk secara bersama-sama mencari
penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula suatu kondisi
hubungan antar individu, kelompok, keluarga, dan kemasyarakatan, yang
tercederai oleh perbuatan pelaku pidana.
Di Indonesia pendekatan Restorative Justice sebenarnya sudah
dikenal baik dalam tata kehidupan masyarakat hukum adat, komunitas
16
keagamaan maupun hubungan kemasyarakatan lainnya dengan cara
mendamaikan pihak korban dan pelaku pidana, dengan atau tanpa
melibatkan institusi kepolisian ataupun kejaksaan.
Dari berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses
dialog antara pelaku dengan korban merupakan modal dasar dan bagian
terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan
korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya,
mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-
keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog
juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari
kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak
pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula
masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil
kesepakatan dan memantau pelaksanaannya.
Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media
komunikasi yang menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi.
Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui baik dalam model
penyelenggaraan restorative justice seperti :
1. Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dengan
korban) ialah suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara
pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan
fasilitator dalam pertemuan tersebut.
2. Conferencing adalah suatu forum yang sama dengan VOM, namun
dalam bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan
17
hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi
juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau
kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun
alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin
terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak
pidana yang terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan
kepentingan akan hasil dari musyawarah serta mereka juga dapat
berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan
akhirnya.
3. Circles, ialah suatu model penerapan restorative justice yang
pelibatannya paling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya,
yaitu forum yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator
saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan
perkara tersebut.
Ketiga model pendekatan restoratif justice tersebut pada dasarnya
merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang
merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat. Dari nilai
dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari nilai dasar yang
ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat. Akan
tetapi penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundang-
undangan yang jelas.
18
F. METODE PENELITIAN
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten.7 Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.8
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu:
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada
penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis
empiris/socio legal. Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum
dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian di lapangan untuk
melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan tindak pidana penggelapan di
Polrestabes Semarang.
Dengan demikian, diperoleh pemecahan yang tepat terhadap
masalah tersebut. Jadi penelitian yuridis empiris disebut juga studi
hukum terhadap norma/aturan (law in books) dan dalam aksi/tindakan
(Law in Action), dimana penelitian ini ingin mengkaji tentang
penyelesaian tindak pidana penggelapan dalam kewenangan polisi.
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu
penelitian empiris, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mumuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 1. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h. 42.
19
hukum antara lain pendekatan undang-undang (statue approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan filosofis .9 Dari
beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan
undang-undang (statue approach) yakni Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Peraturan Kepala Kepolisian RI No.: 12 Tahun 2009
tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan perkara Pidana di
Lingkungan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia, dan pendekatan
komparatif (comparative approach).
2. Metode Pendekatan
Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode
penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian
nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum dilingkungan
masyarakat, Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam
hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris
dapat di katakan sebagai penelitian sosiologis, yang diambil dari fakta-
fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan
pemerintah.10
3. Bahan Hukum
Untuk memperoleh data dalam penyusunan tesis ini
menggunakan sumber data sekunder. Data ini didapat dengan
melakukan penelitian bahan kepustakaan, dan didukung atau dilengkapi
dengan data-data yang diperoleh melalui wawancara. Studi kepustakaan
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, h. 93. 10 http://idtesis.com diakses 8 juli 2016
20
dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi pustaka sumber data,
identifikasi bahan hukum yang diperlukan dan inventarisasi bahan
hukum (data) yang diperlukan tersebut.
Data sekunder dibagi atas beberapa bahan hukum, yaitu :
1) Bahan Hukum Primer, berupa Undang-undang, meliputi :
a) Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian.
d) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana.
e) Data Penanganan perkara di Polrestabes semarang (Iptu Slamet
Widodo, Penyidik pada Unit II Sat Reskrim Polrestabes
Semarang).
2) Bahan Hukum Sekunder.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta
memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian
dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian, berupa
buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti. Seperti Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS
tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui
Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008
21
Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
3) Bahan Hukum Tersier yaitu kamus hukum, dan kamus Bahasa
Indonesia.
Sumber data lain, selain data sekunder, penulis juga
menggunakan data primer, yaitu wawancara dengan Pejabat yang
berkompeten.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah dengan cara : Studi Kepustakaan.
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder.
Dalam studi kepustakaan ini dilakukan terhadap bahan-bahan hukum
primer dan sekunder. Dalam hal ini peneliti memperoleh data
kepustakaan dari buku-buku atau literatur lainnya.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu
penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan
diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu
kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian.
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul selanjutnya
dianalisis guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah
ditentukan.