BAB III HASIL PENELITIAN DAN...

28
1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian Penyelesaian perkara Tindak Pidana Penggelapan di Polrestabes Semarang. Di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Besar Semarang (Polrestabes Semarang) perkara penggelapan kususnya di unit III Penyidikan Sat Reskrim periode Januari 2014 sampai dengan Agustus 2014 laporan yang masuk mencapai 30 laporan, 6 laporan pelapor menghendaki proses penyidikanya di tangguhkan dengan pertimbangan kedua belah pihak yang berperkara telah menyelesaikan kerugian materiel yang dialami oleh pelapor, sedangkan sisanya perkara-perkara tersebut masih dalam tahap penyelidikan (belum diselesaikan) dan hanya satu laporan yang di limpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum. Obyek perkara yang sering di laporkan ke Polrestabes Semarang, berbentuk kerugian materiel berupa BPKB, Kendaraan roda 4, kendaraan roda 2, sertifikat tanah, uang hasil penjualan barang, perkara penggelapan ini sering terjadi karena adanya rasa saling percaya pelapor/korban sehingga bersedia menyerahkan barang tersebut kepada orang yang sudah dipercaya, karena pelaku sebelumnya sudah mempunyai niat jahat sehingga terjadilah perbuatan penggelapan yakni dengan maksud memiliki sesuatu barang dengan melawan hak atau tanpa seijin pemiliknya/yang berhak , data yang diperoleh sebagai berikut :

Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN...

1

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

Penyelesaian perkara Tindak Pidana Penggelapan di Polrestabes

Semarang.

Di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Besar Semarang

(Polrestabes Semarang) perkara penggelapan kususnya di unit III

Penyidikan Sat Reskrim periode Januari 2014 sampai dengan Agustus 2014

laporan yang masuk mencapai 30 laporan, 6 laporan pelapor menghendaki

proses penyidikanya di tangguhkan dengan pertimbangan kedua belah pihak

yang berperkara telah menyelesaikan kerugian materiel yang dialami oleh

pelapor, sedangkan sisanya perkara-perkara tersebut masih dalam tahap

penyelidikan (belum diselesaikan) dan hanya satu laporan yang di

limpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum.

Obyek perkara yang sering di laporkan ke Polrestabes Semarang,

berbentuk kerugian materiel berupa BPKB, Kendaraan roda 4, kendaraan

roda 2, sertifikat tanah, uang hasil penjualan barang, perkara penggelapan

ini sering terjadi karena adanya rasa saling percaya pelapor/korban sehingga

bersedia menyerahkan barang tersebut kepada orang yang sudah dipercaya,

karena pelaku sebelumnya sudah mempunyai niat jahat sehingga terjadilah

perbuatan penggelapan yakni dengan maksud memiliki sesuatu barang

dengan melawan hak atau tanpa seijin pemiliknya/yang berhak , data yang

diperoleh sebagai berikut :

2

Tabel1

Jumlah kasus/perkara penggelapan periode Januari 2014 s/d Agustus 2014:

No Nomor & tanggal

Laporan

Obyek Perkara

Nilai kerugian

Modus Operandi Hub. dgn

pelapor

Pekerjaan

terlapor

Tindak

lanjut

1 LP/B/08/I/2014, 10-

2-2014

Daihatsu Xenia

Rp.150.000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

2 LP/B/225/II/2014, 7-

2-2014

Honda Vario

Rp.11.000.000

Pinjam Kenalan Swasta Lidik

3 LP/B/673/IV/2014,

04-4-2014

Toyota Avanza

Rp.150.000.000

Sewa Teman

Swasta Lidik

4 LP/B/603/IV/2014,

10-4-2014

Izusu Truck

Rp.200.000.000

Dititipkan Karyawan Sopir Lidik

5

LP/B/616/IV/2014,

13-4-2014

Yamaha Jupiter

Rp.8.000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

6 LP/B/576/IV/2014,

4-4-2014

Ford Fiesta

Rp.200.000.000

Sewa Teman Swasta Lidik

7

LP/B/679/IV/2014,

24-4-2014

Toyota Inova

Rp.200.000.000

Titip untuk dijual Teman Swasta Lidik

8 LP/B/712/V/2014,

02-5-20114

Yamaha Jupiter

Rp.9.000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

9 LP/B/734/V/2014,

06-5-2014

Kia Rio

Rp.190.000.000

Pinjam Teman

Swasta

Lidik

10 LP/B/927/VI/2014,

6-6-2014

Toyota Avanza

Rp.109.000.000

Sewa Teman Swasta Lidik

11 LP/B/928/VI/2014,

6-6-2014

Daihatsu Espas

Rp.100.000.000

Digadaikan Kenalan Swasta Lidik

12 LP/B/1017/VI/2014,

24-6-2014

Yamaha Vega

Rp.8.000.000.

Pinjam Kenalan Swasta Lidik

13 LP/B/1032/VI/2014,

27-6-2014

Besi

Rp.8.000.000.

Pinjam Karyawan Sopir Lidik

14 LP/B/1043/VI/2014,

29-6-2014

Uang tunai

Rp.8.500.000.

Dititip utk di kirim Karyawan Sopir Lidik

15

LP/B/1054/VII/2014,

01-7-2014

Uang tunai

Rp.30.000.000.

Dititip utk disetor Karyawan Swasta

Lidik

16 LP/B/1164/VII/2014,

18-7-2014

Sertifikat tanah

Rp.90.000.000.

Dititip tdk

diserahkan

Keponakan Swasta Lidik

17 LP/B/1242/VIII/2014

, 6-8-2014

Uang tunai

Rp.563.000.000

Titip utk di

setorkan

Teman Swasta Lidik

18 LP/B/1267/VIII/2014

, 9-8-2014

Yamaha RX

Rp.5000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

19 LP/B/1274/VIII/2014

, 10-8-2014

Yamaha Mio.

Rp.9000.000.

Pinjam Teman Swasta Lidik

20 LP/B/1287/VIII/2014

, 11-8-2014

Izusu Elf

Rp.200.000.000

Sewa Nasabah Swasta Lidik

21 LP/B/1366/VIII/2014

, 27-8-2014

Uang tunai

Rp.75.000.000

Dititp untuk di

setor

Karyawan Swasta Lidik

22 LP/B/1338/VIII/2014

, 28-8-2014

Daihatsu Xenia

Rp.100.000.000

Digadaikan Teman Swasta Lidik

23 LP/B/1345/VIII/2014

, 28-8-2014

Uang tunai

Rp.72.000.000

Dititip untuk di

setor

Karyawan Swasta Lidik

24 LP/B/125/I/2014,

22 -1-1014

KBM Toyota

Avanza,

Rp.150.000.000

Pinjam Kenalan

Swasta

Limpah

Kejaksaan

25 LP/B/296/II/2014,

19 -2-2014

BPKB Yamaha

Rp.9.000.000.

Dititipkan Teman Swasta Di cabut

26 LP/B/654/IV/2014,

21-4-2014

Uang tunai

Rp.270.000.000

Titip membeli

barang

Kenalan PNS Di cabut

27 LP/B/793/V/2014,

13-5-2014

Uang tunai

Rp.38.000.000.

Dititip untuk setor Karyawan Karyawan Di cabut

28

LP/B/818/V/2014,

19-5-2014

Uang tunai

Rp.68.000.000.

Gunakan uang

perusahaan

Karyawan Karyawan Di cabut

29 LP/B/1195/VII/2014,

25-7 -2014

Uang tunai

Rp.101.000.000

Dititip utk setor Karyawan Karyawan Di cabut

30

LP/B/1237/VIII/2014

6-8 -2014

Uang tunai

Rp.11.500.000.

Titip utk

disetorkan

Teman Swasta Di cabut

1 Data Unit III Sat Reskrim Polrestabes Semarang

3

Data diatas adalah jumlah perkara yang belum dan yang

terselesaikan pada akhir Agustus 2014, dan perkara yang belum

terselesaikan seiring perkembangan waktu dapat di selesaikan walaupun

tidak mencapai 100% dengan cara pendekatan Restoratif Justice atau

dengan melimpahkanya pada Penuntut Umum.

Penyelesaian perkara yang penting untuk diperhatikan adalah

perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa

kejahatan. Keadilan restoratif menitik beratkan pada proses pertanggung

jawaban pidana secara langsung dari pelaku kepada korban dan masyarakat,

jika pelaku dan korban serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya merasa

telah tercapainya suatu keadilan melalui usaha musyawarah bersama maka

pemidanaan (ultimumremedium) dapat dihindari. Telah menjadi pendapat

umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Dengan

konsep seperti ini maka kepentingan yang hendak dilindungi ialah hak-hak

umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi

dominan.

Sistem Restorative Justice merupakan suatu bentuk dari proses

penyelesaian yang merupakan jalan keluar dari permasalahan antara

beberapa pihak yang mengalami kerugian, dan sistem Restorative Justice

tersebut dalam pelaksanaannya lebih bersifat mudah karena pihak korban

maupun pelaku melakukan musyawarah secara kekeluargaan yang disertai

oleh pihak fasilitator untuk mendapatkan hasil yang cepat, mudah, dan tidak

adanya proses ke Pengadilan.

4

Restorative Justice mengandung prinsip – prinsip dasar meliputi :

1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana

(keluarganya) terhadap korban tindak pidana

2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk bertanggung

jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak

pidana yang dilakukannya

3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku

tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan

dan kesepakatan diantara para pihak.

Dalam penggunaan dan mengoperasionalisasikan progarm restoratif,

ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Program keadilan restoratif harus tersedia secara umum pada semua tahap

proses peradilan pidana

b. Proses restoratif harus dapat menarik persetujuan atau menghentikan proses

tersebut setiap saat selama proses tersebut berlangsung. Kesepakatan harus

diperoleh dengan sukarela oleh para pihak dan hanya berisi kewajiban yang

wajar dan proporsional

c. Semua pihak harus mengakui fakta – fakta dasar dari kasus sebagai dasar

untuk berpartisipasi dalam proses restoratif. Partisipasi tidak boleh

digunakan sebagai bukti pengakuan bersalah dalam proses hukum

selanjutnya

d. Faktor – faktor seperti ketidakseimbangan kekuatan dan usia para pihak,

jatuh tempo atau kapasitas intelektual merupakan hal yang harus

dipertimbangkan dalam melakukan proses restoratif. Demikian pula,

5

ancaman yang jelas untuk setiap keselamatan para pihak juga harus

dipertimbangkan dalam melakukan proses restoratif. Pandangan dari para

pihak sendiri tentang bersesuaian dengan hasil dari proses restoratif, dan

e. Bilamana proses tidak dapat berlanjut atau hasil tidak mungkin tercapai,

maka pejabat peradilan pidana melakukan semua yang mereka bisa untuk

mendorong pelaku untuk bertanggung jawab kepada korban dan masyarakat

yang terkena dampak, serta mengupayakan reintegrasi korban dan/atau

pelaku ke masyarakat.

Terkait dengan restorative justice, sebagai upaya menyelesaikan

perkara tindak pidana penggelapan secara damai diluar pengadilan dengan

mengembalikan kerugian korban dan memulihkan hubungan antara korban

dan pelaku serta dengan masyarakat. Maka polisi dalam posisi bekerja sama

dalam rangka menyelesaikan masalah dan harus memahami kemauan warga

masyarakat yang dilayaninya. Namun pelaksanaan restorative justice

keberadaannya belum diakui oleh negara, sehingga pada situasi seperti

inilah maka polisi menentukan pilihan dan munculnya tindakan diskresi

kepolisian.

Menurut Iptu Slamet Widodo bahwa di wilayah hukum Polrestabes

Semarang dalam waktu satu bulan di Unitnya menangani laporan tentang

penggelapan sebanyak 5 (lima) laporan dengan obyek perkara berupa uang

dan barang berharga lainya, dan para pelakunya teridentifikasi dengan jelas

karena saling mengenal dengan latar belakang pendidikan pelaku dan

6

korban menengah keatas dan rata-rata dalam kehidupan sehari-hari

tergolong mampu.2

Penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dengan pendekatan

restorative justice di Polrestabes Semarang dilakukan intinya perkara

tersebut dapat di selesaikan diluar pengadilan, karena adanya kehendak

bersama antara pihak korban dengan pelaku. Selanjutnya kesepakatan

tersebut disampaikan kepada Penyidik di Polrestabes Semarang, dengan

mengajukan permohonan, menyatakan mencabut pengaduan dan/atau

menyatakan kehendak mereka agar kasus tersebut diselesaikan secara

damai, tidak diteruskan ke pengadilan.

Lebih lanjut, menurut Iptu Slamet tindakan penyelesaian perkara

dengan kesepakatan kedua belah pihak yang dilakukan oleh Penyidik

termasuk tindakan Diskresi Kepolisian.3 Ditambahkan bahwa selama ia

menyelesaikan perkara dengan pendekatan Restoratif Justice, tidak pernah

mendapat komplin dikemudian hari dan sebagian besar merasa sangat

terbantu dengan penyelesaian tersebut.

Berkaitan dengan diskresi kepolisian sampai dengan saat ini

pelaksanaan diskresi hanya berdasarkan pada penilaian dan pengambilan

keputusan secara pribadi, ini terkait belum adanya pedoman yang jelas

tentang diskresi yang dapat digunakan sebagai pegangan oleh anggota

dalam melakukan diskresi. Karena penyelesaian dengan diluar pengadilan

dapat diterima oleh semua pihak, dengan menyelesaikannya dengan segera

2 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo.

Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016 3 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo

Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016

7

maka dapat mencegah konflik yang lebih besar. Keadilan yang dihasilkan

juga dapat mencerminkan kepentingan semua pihak. Sebenarnya, hal ini

sesuai dengan falsafah hukum budaya indonesia dimana masyarakat

Indonesia sejak dahulu lebih senang damai dan tentram serta menyelesaikan

permasalahan yang ada dengan cara-cara damai. Menurut Iptu Slamet

Widodo, bahwa landasan hukum dalam penyelesaian perkara penggelapan di

kepolisian adalah Perkap No 7 tahun 2008 Pasal 14 huruf f tentang

Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri.4

Penerapan penyelesaian perkara dengan cara perdamaian, umum

menyebutnya Alternatif Disput Resolution (ADR), disebabkan adanya

beberapa kelemahan dalam proses penyelesaian permasalahan

sosial/permasalahan pidana melalui lembaga-lembaga penegak hukum.

Kelemahan tersebut antara lain: (a) lambannya penyelesaian perkara; (b)

mahalnya biaya perkara; (c) timbulnya masalah baru; (d) peradilan tidak

tanggap dan tidak responsif; (e) putusan pengadilan tidak mampu

menyelesaiakan masalah secara tuntas; (f) kemampuan dan pengetahuan

hakim yang bersifat generalis; dan (g) untuk kepentingan yang lebih baik

bagi yang berperkara agar tercipta situasi kamtibmas yang kondusif di

dalam masyarakat.

Penyelesaian tindak pidana dengan cara perdamaian sebagai bagian

dari Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan langkah yang tepat

dan sangat diperlukan untuk mencapai penyelesaian terbaik. Manfaat bagi

4 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo

Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016

8

pelaku dan korban adalah memperbaiki hubungan sosial dan kekeluargaan

yang lebih harmonis. Dalam pelaksanaan penyelesaian kasus pidana dengan

cara perdamaian, bisa bersumber dari pelaku dan korban serta dari pihak

luar (pihak ketiga). Dari pihak pelaku dan korban, misalnya, saat menjelang

waktu yang ditentukan, kesepakatan tersebut diingkari sehingga

memunculkan masalah baru.5

Surat Kapolri No : B/3022/XII/2009/SDE OPS, tanggal 14

Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui ADR yang ditindak

lanjuti dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri Nomor :

STR/583/VIII/2012, tanggal 18 Agustus 2012, yang menjelaskan mengenai

rambu-rambu hukum Implementasi Restoratif Justice oleh Penyidik Jajaran

Reskrim.6

Bagi polisi, manfaat penyelesaian kasus pidana dengan cara

perdamaian pada tingkat penyidikan antara lain adalah (a) perkara tersebut

cepat selesai/Crime Clier (CC); (b) mempersingkat waktu penahanan

sehingga risiko jiwa dapat dikurangi; (c) prosesnya cepat dan tidak adanya

tunggakan kasus serta memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan serta

menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat: (d) situasi tidak

berkembang menjadi konflik komunal yang mengganggu masyarakat; (e)

mengurangi biaya penyidikan dan pemberkasan perkara; (f) terciptanya

situasi yang kondusif; (g) silaturahmi antar masyarakat tetap terjalin dengan

baik serta terciptanya situasi kamtibmas yang aman kondusif; dan (h)

dengan mengingat kedudukanya polisi sebagai ujung tombak yang

5 Sumber: Omang Suparman, Bagian Reskrim, Polres Cirebon Kota , 31 Oktober 2013 6 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo

Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016

9

menyentuh langsung masyarakat, maka polisi dapat memerankan diri

sebagai babinkamtibmas di samping sebagai penegak hukum.

Bagi pelaku, manfaatnya penyelesaian kasus pidana dengan

perdamaian, antara lain (a) dapat segera bebas dan tidak masuk lapas; (b)

penanganan kasusnya tidak terlalu lama dan pelaku mendapatkan efek jera

atas kejadian tersebut; (c) adanya kesempatan untuk dapat berbuat baik dan

tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain serta tidak melanggar

hukum; dan (d) perkara tidak sampai ke pengadilan.

Bagi korban, manfaatnya penyelesaian kasus pidana dengan

perdamaian antara lain: (a) kerugian yang diderita oleh korban bisa kembali,

tidak ada perasaan saling dendam; (b) dapat menuntut ganti rugi kepada

pelaku sesuai dengan kerugiannya; (c) penanganan kasusnya tidak terlalu

lama dan mendapatkan keadilan karena apa yang ia inginkan sudah ia

dapatkan; (d) penyelesaian tersebut bermanfaat kembali pada kehidupan di

masyarakat dengan saling gotong royong dan saling membantu; (e) dapat

menuntut ganti rugi kepada pelaku sehingga punya daya tawar yang jelas

apabila pelaku mengharapkan perdamaian; dan (f) adanya kepuasan apabila

kasusnya segera ditangani oleh polisi dan terpenuhinya kerugian yang

dialami.

Di masa datang, penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian

perlu diatur dengan Undang-Undang sehingga tidak ada kebimbangan bagi

polisi. Dasar dasar hukum sekarang berlaku berada di bawah Undang-

Undang. Apabila permintaan penyelesaian kasus pidana dengan cara

10

perdamaian merupakan permintaan masyarakat dan ada dasar hukumnya,

hal itu lebih baik

Dalam penyelesaian kasus pidana dengan cara perdamaian perlu

diatur dengan Undang-Undang, supaya ada dasar yang jelas sebagai

alternatif penyelesaian kasus. Dengan adanya penyelesaian kasus pidana

melalui cara perdamaian, di masa datang pihak pelaku dan korban tidak

mempunyai rasa dendam yang berkelanjutan, membuat suasana lingkungan

nyaman dan hubungan bermasyarakat menjadi harmonis.

Dengan melihat beberapa peristiwa yang terjadi; seperti kasus-kasus

yang ada di masyarakat, kasus pidana dengan kerugian yang sangat kecil

menjadi sorotan media masa, masyarakat dan aparat terkesan kaku dalam

penegakan hukun serta sudah adanya langkah kepolisian dalam

menyelesaikan masalah melaui jalur ADR, sangatlah perlu diatur dalam

Undang-Undang untuk memberikan kepastian hukum dan sebagai

dasar/acuan penyidik dalam penyelesaian perkara.

Hambatan dalam penyelesaian kasus pidana dengan perdamaian

adalah (1) memerlukan waktu untuk mencapai suatu kesepakatan damai dari

kedua belah pihak ; dan (2) menunggu adanya orang-orang yang dipercaya

atau tokoh-tokoh masyarakat yang bisa menyelesaikan suatu kesepakatan

damai dari kedua belah hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan

penyelesaian kasus pidana penggelapan dengan cara perdamaian adalah

meskipun korban telah mufakat berdamai dengan korban dan pelaku

bersedia memberikan ganti rugi, terkadang keluarga korban belum

11

menerima ganti rugi atau ganti rugi yang diterimanya tidak sesuai dengan

kerugian yang dialami oleh korban.

Dalam versi penyidik secara umum manfaat penyelesaian kasus

pidana dengan cara perdamaian pada tingkat penyidikan: (a) prosesnya lebih

cepat; (b) biaya lebih murah; (c) sifatnya informal karena segala sesuatunya

ditentukan oleh pihak yang bersangkutan/bersengketa; (d) menjaga

hubungan baik; (e) mudah mengadakan perbaikan; (f) bersifat final sesuai

dengan kesepakatan; (g) adanya pertemuan/tatap muka pihak yang

bersengketa; dan (h) tata cara penyelesaian sengketa diatur sendiri oleh para

pihak yang bersengketa.

B. Analisis

1. Problematika/Permasalahan Hukum.

Keadilan restoratif (restoratif justice) adalah sebuah upaya atau

pendekatan model baru di Indonesia yang sangat dekat dengan asas

Musyawarah yang merupakan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pemidanaan

adalah sebagai upaya hukum terakhir (ultimumremedium) dapat dihindari,

jika konflik yang muncul dalam masyarakat dapat diselesaikan oleh kedua

pihak dengan mengutamakan rasa keadilan dari kedua pihak yang

bersengketa. Keadilan restorative memberikan solusi terbaik dalam

menyelesaikan kasus kejahatan yang bersifat privaat antara orang-orang

(natuurlijkepersonen) atau pun badan hukum (recht personen) yaitu dengan

memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan.

12

Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah perbaikan tatanan

sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan.7

Keadilan restoratif tidak hanya ditujukan pada pelaku tindak pidana

(dader) saja tetapi sebaliknya merehabilitasi konflik terhadap keadilan dan

hukum yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana tersebut.8 Keadilan

restoratif menitik beratkan pada proses pertanggung jawaban pidana secara

langsung dari pelaku kepada korban dan masyarakat, jika pelaku dan korban

serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya merasa telah tercapainya suatu

keadilan melalui usaha musyawarah bersama maka pemidanaan

(ultimumremedium) dapat dihindari. Hal ini menunjukan bahwa pelaku

bukanlah objek utama dari pendekatan keadilan restorative melainkan rasa

keadilan serta pemulihan konflik itu sendiri yang menjadi objek utamanya.9

Sehingga pendekatan keadilan restoratif adalah cara yang cocok dalam

proses penyelesaian perkara pidana, dengan pendekatan keadilan restorative

dapat memenuhi asas pengadilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, Telah

menjadi pendapat umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari

hukum publik. Dengan konsep seperti ini maka kepentingan yang hendak

dilindungi ialah hak-hak umum, sehingga kedudukan negara dengan alat

penegak hukumnya menjadi dominan. Dalam hal mediasi adalah usaha-

usaha yang hanya diterapkan dalam perkara-perkara perdata sedangkan

dalam perkara pidana mediasi dianggap tidak bisa.

7 RufinusHutahuruk, Penaggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu

Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal 107 8 Ibid, hal 106. 9 ibid

13

Diperoleh data bahwa penyelesaian perkara tindak pidana

penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes Semarang

lebih banyak jumlahnya di banding dengan penyelesaian yang lanjut

dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum :

Namun permasalahan yang di hadapi oleh Penyidik Polri dalam

menyelesaikan perkara tindak pidana Penggelapan dengan pendekatan

Restoratif Justice, meliputi :

a. Belum ada Skep Kapolri yang mengatur tentang Restoratif Justice.

b. Belum ada penegasan dalam KUHAP tentang Penyelesaian dengan

Pendekatan Restoratif Justice.

c. Dalam KUHP Perkara Penggelapan adalah Delik Biasa

d. Undang-undang Kepolisian sepanjang memenuhi sarat sarat yang telah

ditentukan.

e. Belum ada Undang-undang perlindungan terhadap korban yang

mengatur tentang ganti rugi atau pengembalian kerugian.

Dan dari proses peradilan yang dilaksanakan ternyata ditemui berbagai

kendala, antara lain:

1. Sistim peradilan tidak mampu menangani semua masalah pidana,

2. Tidak mampu memenuhi rasa keadilan korban,

3. Tidak mampu memenuhi rasa keadilan pelaku, yakni setelah pelaku

diputus kemudian jalani hukuman di lembaga kemudian selesai jalani

hukuman, pada saat dia kembali ke masyarakat maka kehidupannya tidak

akan normal lagi.

4. Tidak mampu penuhi rasa keadilan masyarakat.

14

Disis lain dalam proses penyidikan Polri terdapat kendala dalam

penanganan perkara penggelapan diantaranya minimnya anggaran

operasional di Kepolisian dan pelaku yang melarikan diri. Sedangkan syarat

penyelesaian perkara penggelapan yang ditempuh selama ini adalah adanya

kesepakatan ganti rugi yang dialami oleh korban, dan perkara penggelapan

dapat di selesaikan dengan cepat. Mengapa di Polrestabes Semarang semua

perkara tindak pidana penggelapan tidak di selesaikan dengan pendekatan

restoratif Justice, Menurut Iptu Slamet karena pelaku tidak punya

kemampuan untuk mengembalikan kerugian yang dialami korban, pihak

korban menolak penyelesaian secara damai dan menghendaki perkara

tersebut di sidangkan dimeja hijau sampai mendapat putusan hukum yang

tetap dan menjadi pembelajaran hukum bagi pelakunya10

Secara sosiologis permasalahan hukum mengenai penyelesaian

perkara tindak pidana penggelapan dapat dilakukan dengan tindakan

Diskresi Kepolisian. Peran Polisi secara umum dikenal sebagai pemelihara

Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi

adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan

masyarakat dan pelaku tindak pidana. Dalam pasal 2 Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi

Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.Dan pasal 4

Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara

10 Hasil Wawancara dengan Penyidik sat Reskrim Polrestabes Semarang Iptu Slamet Widodo

Kasubnit 1 Unit Idik II Sat Reskrim Polrestabes Semarang, pada tanggal 12 Juli 2016

15

Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri

yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib,

dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat

dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Dari bunyi Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri

dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi

menegakkan hukum di bidang yudisial, tugas preventif maupun represif.

Kemudian istilah Diskresi Kepolisian menurut Pasal 15 Ayat 2 huruf

k dikenal dengan “kewenangan lain”, menurut Pasal 16 Ayat (1) huruf l

dikenal dengan “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan

menurut Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP dikenal dengan istilah “tindakan apa

saja menurut hukum yang bertanggung jawab”.

Dalam tugas- tugas kepolisian khususnya tindakan penyelidikan dan

penyidikan maka tindakan Diskresi Kepolisian harus memenuhi syarat

sebagai berikut :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

Artinya berjalan sesuai dengan hukum positif maupun hukum lainnya yang

berlaku ditempat dimana Diskresi Kepolisian diambil oleh seorang petugas.

Dalam system hukum di Indonesia dikenal 4 (empat) macam sumber hukum

antara lain adalah hukum Negara atau hukum positif, hukum adat istiadat,

hukum agama, dan kebiasan- kebiasaan.

16

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan; artinya tindakan yang diambil diatur dalam aturan tertentu

sebagai suatu kewajiban hukum untuk wajib ditegakkan.

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

artinya dapat diterima dengan akal yang sehat bagi lingkungan dimana

tindakan itu diambil.

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;

artinya pada pelaksanaannya atau cara penyampaian dilapangan dilakukan

berdasarkan kejadian yang hanya pada saat–saat tertentu (emergencies)

tanpa pengamatan ataupun penelitian yang mendalam tentang apa yang

diputuskannya tersebut.

e. menghormati HAM. Artinya sesuai dengan ketentuan HAM dan tidak

melanggar ketentuan HAM tersebut.

Pasal 16 ayat 1 Undang- undang No. 2 Tahun 2002, pasal 18

Undang-undang No. 2 tahun 2002 dan pasal 7 ayat 1 sub j KUHAP bila

tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas, dapat disalah artikan

pelaksanaan diskresi yang dapat menjurus pada tindakan penyimpangan

diskresi kepolisian.

Menurut praktiknya, ada beberapa pertimbangan umum yang

menjadi tujuan dan/atau pegangan dalam penerapan diskresi kepolisian,

yaitu untuk :

1) Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan mengingat

melalui jalur formal, perkara yang sedang diperiksa akan selesai dalam

jangka waktu lama.

17

2) Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Sebab tugas dan tanggung

jawab yang diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin

bertambah, sehingga tindakan diskresi dapat digunakan sebagai sarana yang

efektif untuk mengurangi beban pekerjaan.

3) Adanya keinginan korban, pelaku dan pihak keluarga agar perkara

diselesaikan secara damai, mengingat melalui cara-cara formal dapat

dipastikan akan ada pihak yang kalah dan ada yang menang;

4) Adanya perasaan iba (belas kasihan) dari pihak korban terhadap pelaku,

sehingga korban tidak menghendaki kasusnya diperpanjang.

2. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Tindak

Pidana Penggelapan

Konsep pendekatan restorative merupakan perkembangan dari

pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi bangsa Arab purba,

bangsa Yunani, dan bangsa Romawi di mana asas-asasnya sesuai dengan

asas-asas yang ada dalam kebudayaan Indonesia juga dalam menyelesaikan

masalah termasuk penyelesaian masalah tindak pidana.11

Di Indonesia penerapan keadilan restoratif berdasarkan pada jiwa

bangsa (Volksgeist) Indonesia sendiri yang tercantum dalam Pancasila

sebagai ideology dari negara Indonesia sendiri bahwa hukum itu berasal dari

jiwa bangsa (volksgeist) Indonesia sendiri. Di mana diberikan kesempatan

pada musyawarah hingga menuju pada mufakat dalam menemukan titik

temu yang adil bagi kedua belah pihak.

11 RufinusHutahuruk, Penaggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan

Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 103

18

Dalam penyelesaian tindak pidana melalui keadilan restoratif

terhadap suatu konflik atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari tindak

pidana, antara hubungan-hubungan sosial anggota masyarakat tersebut yang

harus diselesaikan dan dipulihkan oleh seluruh pihak secara bersama-sama,

di mana asas musyawarah untuk mencapai mufakat bersama guna

menemukan jati diri keadilan itu sendiri yang ada di dalam batin tiap orang,

proses penyelesaiannya dengan pemberian kesempatan kepada kedua belah

pihak untuk berperan dalam proses penyelesaian tindak pidana tersebut.

Umbreit sebagaimana dikutip Rufinus Hutahuruk menjelaskan

bahwa:

restoratif justice is a “victim-centered response to crime that allows

the victim, the offender, their families, and representatives of the

community to address the harm caused by the crime”. (keadilan

restoratif adalah sebuah “respon tindak pidana yang berpusat pada

korban yang mengijinkan korban, pelaku tindak pidana, pihak

keluarga mereka, dan perwakilan komunitas masyarakat untuk

menyelesaikan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak

pidana”.)12

Dasar utama dari penyelesaian tindak pidana melalui keadilan

restorative merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar alat

untuk mendorong kedua belah pihak untuk bermediasi penal dalam hal

menemukan suatu kesepakatan, tetapi keadilan restoratif bertujuan untuk

menembus hati dan pikiran dari kedua belah pihak yang terlibat konflik agar

dapat memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu pemulihan dan

sanksi yang diterapkan adalah sanksi pemulihan yang bersifat mencegah.

Penerapan keadilan restoratif pada sistem peradilan dalam

kewenangan Kepolisian Republik Indonesia, dapat dilihat dari sudut hukum,

12 Ibid, h. 106

19

pekerjaan kepolisian tidak lain berupa penerapan atau penegakan hukum,

dengan kata lain polisi menjadi status quo dari hukum.13 Dari hal ini

menunjukan bahwa tugas kepolisian wajib sejalan dengan apa yang diminta

oleh hukum pidana materil dan hukum pidana formil, sehingga hukum

menjadi titik sentral dan menjadikan Kepolisian sebagai hamba hukum itu

sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo gaya pemolisian seperti itu, dikenal

dengan sebutan “Polisi Antagonis” yaitu polisi yang memposisikan dirinya

berhadapan dengan rakyat.14 Dari hal ini kepolisian perlu melihat asas-asas

yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga polisi dapat

menempatkan rakyat sebagai pusatnya bukan hanya berpatokan pada hukum

saja.

Ketika polisi memang menjadi pelindung, penganyom, dan pelayan

dari masyarakat sesungguhnya, maka hukum tidak dijadikan patokan utama.

Tanpa melihat sifat batiniah, melihat dari hati nurani. Sehingga polisi tidak

lagi terkurung dengan rumusan formal perundang-undangan yang

mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tetapi melihat kasus itu

sesuai dengan hati dan pikirannya.15 Di mana ia melihat lebih dalam lagi

kepada kebiasaan-kebiasaan yang melekat sejak dahulu di dalam kehidupan

rakyat itu sendiri. Sehingga polisi di sini memiliki keberanian untuk keluar

dari lingkaran hukum tertulis yang selama ini.

Sehingga penerapan keadilan restorative di kepolisian berlandaskan

pada diskresi atau kebijakan, hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan

13 Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, AswajaPresindo, Jogjakarta, 2013, h. 25 14 Ibid., h. 26 15 Ibid., h. 27

20

dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam pasal 16 ayat 1 huruf i , mengadakan tindakan

lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan pasal 16 ayat 2 huruf c

bahwa dalam hal penyelidikan dan penyidikan memenuhi syarat “ harus

patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya”.

Melalui kebijakan ini pihak kepolisian diberikan kewenangan untuk

menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dalam hal melakukan

penyidikan, apakah perkara ini dapat diselesaikan pada tahap pertama dalam

sistem peradilan yaitu penyidikan, ataukah patut dilanjutkan dan diperiksa

pada tahap penuntutan. Namun diskresi ini sering kali takut digunakan oleh

pihak kepolisian karena kurangnnya pengetahuan dan ketakutannya akan

hukum positif, dan menjadi ketakutan oleh kepolisian akan penilaian

masyarakat awam yang beranggapan bahwa diskresi kepolisian ini adalah

acara ilegal yang merupakan akal-akalan dari pihak kepolisian guna

mengambil untung dari pihak-pihak yang berperkara. Padahal dalam praktik

pemeriksaan kasus pidana, ide awal munculnya diskresi lebih banyak

berasal dari pihak yang berperkara, khususnya pihak korban.16

Sehingga dasar daripada penerapan keadilan restoratif pada

kepolisian berdasarkan pada diskresi yang diberikan oleh undang-undang.

Roscoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, mengartikan

diskresi kepolisian yaitu:

“an authority conferred by law to act in certain condition or

situation; in accordance with official’s or an official agency’s own

considered judgement and conscience. It is an idea of morals,

belonging to the twilight zone between law and morals”, jika

16 Lembaga Pendidikan POLRI, Diskresi Kepolisian, Opcit., h. 41

21

diterjemahkan dalam terjemahan bebas: (otoritas yang diberikan oleh

hukum untuk bertindak dalam situasi tertentu atau; dengan sesuai

pejabat atau badan resmi memiliki pertimbangan dan hati nuraninya

sendiri. Itu adalah ide dari moral, dan berasal dari zona seimbang

antara hokum dan moral).17

Dan sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, bahwa :

“Diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang

berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan

kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya”.18

Dalam tugas kejaksaan sebagai penuntut umum, diberikan pula tugas

oleh undang-undang dalam hal kewenangan untuk menghentikan suatu

perkara melalui apa yang disebut dengan Deponeering atau penghentian

penuntutan. Kata Deponeering sendiri berasal dari bahasa Belanda, di mana

dalam bahasa Belanda sendiri terdapat 2 istilah yang digunakan terkait

dengan Deponeering yaitu Deponeren dan Seponeren.19 van Der Tas dalam

kamus hukum Belanda-Indonesia memberikan pengertian Deponeren, yaitu

tidak menuntut, mengesampingkan. Sedangkan Seponeren juga memiliki

arti yang sama yaitu tidak menuntut, mengesampingkan.20

Pengadilan sebagai suatu institusi terakhir dalam hal menentukan

putusan akan nasib seseorang dari hal ini menurut Mahrus Ali mengatakan

bahwa “Selama ini, pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem

hukum formal yang terlepas dari masyarakat”,21

Seperti yang dijelaskan dalam perkara penggelapan dalam Pasal 372

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yaitu: “Barang siapa

dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang

17 Ibid., h. 41 18 Ibid., h. 42 19 O. C. Kaligis, Deponeering Praktek dan Teori, Alumni, Bandung, 2011, h. 4 20 Ibid., 21 Mahrus Ali, Op Cit, h. 35

22

seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada

dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena

penggelapan....”

Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari Pasal

372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia tentang penggelapan

ialah:

1. Barang siapa

2. Sengaja

3. Melawan hukum

4. Menguasai barang seluruh atau sebagian milik orang lain.

Perkara penggelapan lebih cocok jika dilakukan pengaduan bukan

laporan yaitu di mana dasar utama dari pengajuan perkara tersebut ialah

kerugian sebagai hasil dari penggelapan tersebut. Sehingga tidak cocoklah

jika dikatakan perkara penggelapan pada umumnya, murni harus

diselesaikan dengan suatu proses peradilan konvensional. Dari pengertian

ini menunjukan bahwa tindak pidana penggelapan tidak perlu dibagi

menjadi dua delik seperti yang kita kenal yaitu delik aduan dan delik umum.

Sedangkan dasar utama dari tindak pidana penggelapan ialah kerugian yang

dialami oleh pihak korban. Pertanggungjawabannya tidak menghilangkan

unsur publiknya namun proses perbaikan morilnya dapat langsung dinilai

oleh masyarakat dan korban dari tindak pidana penggelapan itu sendiri.

Konsep sanksi pemidanaan dalam keadilan restoratif tidak mengenal

pemidanaan yang bertujuan untuk membalas, tetapi lebih mengarah pada

konsep pemulihan konflik antara pihak yang menjadi korban dengan pihak

yang melakukan suatu tindak pidana, beberapa konsep sanksi pidana yang

dapat di terapkan dalam keadilan restoratif yaitu:

23

1. Restitusi (Ganti Rugi)

Restitusi ialah suatu proses penggantian kerugian, di mana

pelaku tindak pidana melakukan ganti rugi kepada korban dari pelaku

tindak pidana atas segala perbuatan yang mengakibatkan kerugian

tersebut pada korban tindak pidana.

Menurut Weitekamp sebagaimana yang dikutip oleh Rufinus

Hutahuruk, Restitusi secara proaktif melibatkan pelanggar dan korban

dalam memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ditujukan kepada

korban.22

2. Kompensasi terhadap Korban

Kompensasi menjadikan suatu proses wujud

pertanggungjawaban pidana yang dapat menyelesaikan konflik yang

bersifat batiniah. Bahwa konsep kompensasi ini adalah wujud lanjut

dari pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana penggelapan yang

sifatnya yaitu untuk mengobati luka batin akan hak dan rasa

kepercayaan yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana. Konsep

penerapan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana penggelapan

lebih baik dari sistem pemidanaan dan proses peradilan konvensional

yang memakan waktu yang begitu lama serta biaya yang tidak sedikit

baik dari korban maupun pemerintah sendiri dalam hal memfasilitasi

proses pemeriksaan, hingga pada proses eksekusi dari pada perkara

penggelapan itu sendiri.

22 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Op Cit, h. 184

24

Sedangkan penyelesaian sengketa yang melalui lembaga non

peradilan yaitu lembaga khusus yang menangani masalah penyelesaian

sengketa di luar pengadilan atau disebut juga Alternative Dispute Resolution

(ADR) melalui cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penetapan ahli. Akan

tetapi, biasanya penyelesaian sengketa melalui ADR ini lebih banyak dalam

bidang bisnis.23 ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus

perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana.

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian

sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau

”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate

Dispute Resolution”. tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun

dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di

luar pengadilan.

Mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang

dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman

disebut “Der AußergerichtlicheTatausgleich” (disingkat ATA24) dan dalam

istilah Perancis disebut “de mediation pénale”.35 Mediasi pidana yang

dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles)

sebagai berikut:25

1. Penanganan konflik (Conflict Handling Konfliktbearbeitung)

Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan

kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses

23Siti Juwariyah, S.HI. Potret Mediasi dalam Islam 24 Di Austria terdiri dari ATA-J (AußergerichtlicherTatausgleichfürJugendliche) untuk anak, dan

ATA-E (AußergerichtlicherTatausgleichfürErwachsene) untuk orang dewasa. 25 www.academia.edu.com (mediasi penal), 3 April 2016

25

komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah

menimbulkan konflik. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

2. Berorientasi pada proses (Process Orientation (Prozessorientierung))

Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari hasil

yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya,

kebutuhankebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa

takut.

3. Proses informal (Informal Proceeding -Informalität)

Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak

bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

4. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous

Participation –ParteiautonomiSubjektivierung)

Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari

prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai

tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka

diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini

(hukum positif), pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di

luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya

penyelesaian kasus di luar pengadilan.26

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan

hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus

pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak

26https://idid.facebook.com/media/set/?set=a.341434969250056.78560.336216119771941&type=3

, 3 April 2016

26

hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan lain sebagainya.

Implikasi praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini

memang tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi

suatu kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui

mekanisme hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai

hukum positif yang berlaku.27

Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan

pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat

untuk menggunakan mediasi pidana sebagai salah satu alternatif

penyelesaian masalah di bidang hukum pidana, inilah yang dikenal dengan

mediasi penal. Hal ini diatur dalam Surat Kapolri No Pol:

B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan

Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang

Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri.

Namun surat edaran Kapolri tersebut rupanya belum cukup kuat

untuk menjadi dasar hukum mediasi penal. Akan lebih efekif apabila

substansi dari kebijakan Kapolri tersebut di kodifikasikan dalam sebuah

regulasi positif, sehingga tidak ada keraguan dari Penyidik untuk

menyelenggarakan mediasi dalam penanganan perkara pidana.

Tindak pidana penggelapan merupakan tindak pidana yang

memberikan kerugian bagi korbannya, dimana hal ini terjadi karena adanya

27http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&taSk=view&id=140&Itemid=36, 3

April 2016

27

sebab yang dapat menimbulkan akibat. Bagi pelaku tindak pidana

penggelapan, penyebab dari adanya suatu tindak pidana penggelapan lebih

kepada kesalahan penyalahgunaan kepercayaan sebagaimana telah diatur

dalam pasal 372 KUHP. Adapun isi dari Pasal 372 KUHP adalah sebagai

berikut ;

Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu

barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan

orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena

kejahatan, dihukum karena penggelapn, dengan hukuman penjara

selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya

Rp.900,-

Sehingga dengan mediasi penal memungkinkan perkara tindak

pidana penggelapan secara umumnya untuk dipakai keadilan rertoratif

melalui mediasi penal dalam penyelesaian perkaranya. Sebagaimana yang

tercantum dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang

berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen

A/CONF.169/6) “...it is possible that some of the serious problems that

complex and lengthy cases involving fraud....” yang dalam terjemahan bebas

Bahasa Indonesia: “itu memungkinkan beberapa masalah yang serius yang

merupakan kasus yang rumit dan panjang yang melibatkan Fraud

(penipuan, penggelapan, atau kecurangan”. sehingga dari hal ini pula

memungkinkan terwujudnya apa yang diamanatkan dalam Undang-undang

No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang

dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi: “Peradilan dilakukan

28

dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”,28 yang di mana dalam

penjelasannya:

“ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari

keadilan.Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan

dan penyelesain perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan

efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara

yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam

pemeriksaan dan penyelesain perkara tidak mengorbankan ketelitian

dalam mencari kebenaran dan keadilan”.29

Dari apa yang dijelaskan dalam penjelasan dari Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak menjelaskan

arti cepat namun sebagaimana yang di artikan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia cepat ialah : “Dalam waktu singkat, segera”.30 Maka mediasi

penal ini sebagai bagian dari keadilan restoratif dapat menjadi sarana

penyelesaian yang cepat, sederhana dan memakan biaya ringan dimana

memungkinkan dipakai dalam penyelesaian perkara tindak pidana

penggelapan sebagai suatu delik yang berdimensi privat antara korban dan

pelaku tindak pidana itu.

28 www.komisiyudiasial.go.id, (Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman), 5 oktober 2014, h. 1, pasal 2 29 Ibid, h. 11, lihat penjelasan pasal 2 30 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Opcit., h. 115.