Post on 02-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hampir semua orang pernah melakukan perilaku berbelanja (shopping
behaviour). Belanja merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan bagi banyak
orang dan tidak terbatas pada kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Diantara
motivasi berbelanja adalah untuk pemenuhan kebutuhan dan perolehan informasi.
Namun seiring dengan mulai berubahnya makna berbelanja saat ini, turut pula
merubah motivasi berbelanja seseorang. Berbelanja dianggap sebagai kegiatan
menghabiskan uang untuk menghilangkan kebosanan dan mencari kesenangan
belaka. Individu melakukan pembelian tanpa mempedulikan apakah barang-barang
yang dikonsumsi benar-benar dibutuhkan atau tidak.
Pengambilan keputusan oleh konsumen untuk melakukan pembelian suatu
produk diawali oleh adanya kesadaran atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan
yang oleh Assael disebut need arousal. Selanjutnya jika disadari adanya kebutuhan
dan keinginan, maka konsumen akan mencari informasi mengenai keberadaan
produk yang diinginkannya (dalam Sutisna, 2001:11).
Pemenuhan kebutuhan sangat penting artinya untuk mengantarkan individu
pada kehidupan yang selaras dengan lingkungannya. Dalam usaha untuk mencapai
keselarasan tersebut, biasanya seseorang mengembangkan suatu pola perilaku
tertentu, dimana pada masing-masing kelompok sangatlah beragam. Berkaitan
dengan usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya itulah kemudian manusia berusaha
menempuh berbagai cara. Adanya kemajuan teknologi secara implisit menyebabkan
hasrat konsumtif dan daya beli juga bertambah. Gejala konsumtivisme yang terbawa
dari hasil pembangunan juga menghasilkan kesenjangan antara bertambahnya produk
konsumsi dalam segala bentuk atau bertambah luasnya persepsi tentang kebutuhan
yang sebenarnya, dengan daya beli untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pengkonsumsian produk kemudian dilakukan semata-mata untuk memuaskan
keinginannya. Keadaan ini akan mempengaruhi perilaku membeli konsumen
selanjutnya.
2
Sehubungan dengan hal di atas, maraknya pusat perbelanjaan yang ada saat
ini dapat memunculkan beragam perilaku membeli konsumen. Setiap strategi
pemasaran yang ditetapkan oleh pemasar akan berpengaruh terhadap perilaku
konsumen. Menurut Kotler dan Armstrong (2003:203), perilaku konsumen dapat
dipahami melalui rangsangan pemasaran dan lingkungan yang masuk kedalam
kesadaran pembeli serta karakteristik pembeli dan proses pengambilan keputusannya
yang kemudian menghasilkan keputusan pembelian tertentu.
Perilaku membeli jika ditinjau dari konsep manusia yang tidak pernah puas,
bukan lagi merupakan sebuah tindakan yang dilakukan seseorang untuk memenuhi
kebutuhannya akan tetapi lebih pada mengurangi rasa ketidak-puasan manusia
tersebut. Disamping itu, manusia dalam perilaku membelinya saat ini bukan lagi
untuk memenuhi kebutuhan pokok atau kebutuhan tingkat satu mereka melainkan
untuk memenuhi kebutuhan tingkat dua dan seterusnya yang kadang kurang penting.
Banyak orang membelanjakan uang tanpa menimbang hal lain apa yang bisa
didapat dengan uang itu. Berbelanja dianggap sebagai kegiatan menghabiskan uang
untuk menghilangkan kebosanan dan mencari kesenangan belaka. Berbelanja
dilakukan hanya untuk memenuhi hasrat atau dorongan dari dalam dirinya. Mereka
membeli barang-barang yang "menggoda mata", yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadikan belanja ini adalah sebuah sifat,
kebiasaan dan hobi (kegemaran). Adanya faktor kebiasaan dan hobi inilah yang
menjadikan seseorang melakukan kegiatan tersebut secara terus-menerus sehingga
mereka mengalami ketergantungan atau kecanduan (maniak). Adapun kecanduan ini
disebabkan karena dengan membeli barang yang mereka inginkan maka dapat
mengurangi ke-ganjal-an dalam diri mereka untuk memiliki barang tersebut, tanpa
memikirkan apakah sesuatu yang dibeli itu dibutuhkan atau tidak.
Kebutuhan dan keinginan konsumen akan produk berkembang terus dari
waktu ke waktu. Keputusan pembelian produk yang dilakukan belum tentu
direncanakan, terdapat juga pembelian yang tidak direncanakan.
Berbeda dengan keputusan pembelian secara terencana, pembelian tidak
terencana dilakukan berdasarkan pemecahan masalah terbatas. Pembelian tidak
terencana merupakan pembelian suatu item dimana pembelanja tidak mempunyai
rencana sama sekali untuk membelinya ketika sebelum belanja (Susilo, 2004).
3
Pembelian tidak terencana dalam toko merupakan salah satu faktor perhatian para
pemasar atau produsen. Loudon dan Bitta (1993:567) membuktikan bahwa di pusat
perbelanjaan sedikitnya satu produk dibeli tanpa perencanaan yang disebut dengan
pembelian impulsif. Para pecandu belanja ini akan membeli dan terus membeli tanpa
kontrol sehingga disebut sebagai pembeli yang impulsif.
Kollat dan Willett (dalam Semuel, 2007) memperkenalkan tipologi
perencanaan sebelum membeli yang didasarkan pada tingkat perencanaan sebelum
masuk toko, meliputi perencanaan terhadap produk dan merek produk, kategori
produk, kelas produk, kebutuhan umum yang ditetapkan, dan kebutuhan umum yang
belum ditetapkan. Apabila keputusan termasuk pada kategori terakhir, maka hal
tersebut dapat dikategorikan sebagai pembelian impulsif secara murni.
Pembelian impulsif atau bagi beberapa pemasar yang menyebutnya sebagai
pembelian tidak terencana merupakan bagian dari pola pembelian konsumen
(Schiffman dan Kanuk, 2004) dan menyatakan sebagai pembelian yang tidak
direncanakan (Loudon dan Bitta, 1993). Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan
sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan
kuat untuk membeli yang muncul secara tiba-tiba dan seringkali sulit ditahan. Hal itu
diiringi oleh perasaan menyenangkan serta penuh gairah. Pembelian impulsif
dianggap sebagai perilaku membeli yang " irrasional ", karena meskipun menyadari
sebelumnya akan adanya kemungkinan merasakan penyesalan di kemudian hari
tetapi orang tetap berbelanja. Engel et al. (1995), mendefinisikan pembelian yang
tidak direncanakan atau yang disebut juga pembelian impulsif sebagai suatu tindakan
pembelian yang dibuat tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian
yang dilakukan pada saat berada didalam toko. Pembelian impulsif terjadi karena
adanya desakan situasi sehingga konsumen dengan segera memiliki keterlibatan
terhadap produk yang dimaksud.
Perilaku pembelian impulsif dapat dipahami sebagai suatu proses
pengambilan keputusan dimana pelanggan hanya melibatkan sedikit proses kognitif
tetapi juga biasanya menunjukkan tingkat emosi yang tinggi. Pembelian impulsif
dilakukan tanpa direncanakan dan tanpa membuat suatu evaluasi kebutuhan.
Pembelian impulsif sering terjadi dalam situasi dengan stimulasi yang kuat (Omar;
Assael dalam Esch dkk, 2003).
4
Pernyataan ini didukung dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Kollat dan Willett (1969), mereka juga menggunakan istilah impulse
buying (pembelian impulsif) yang sama dengan unplanned purchased (pembelian tak
terencana). Sejalan dengan hal itu, pembelian impulsif juga seringkali dihubungkan
dengan pembelian yang dilakukan secara tiba-tiba dan tidak direncanakan, dilakukan
di tempat kejadian, dan disertai timbulnya dorongan yang besar serta perasaan
senang dan bergairah (Rook dalam Verplanken dan Herabadi, 2001).
Meskipun tidak terencana merupakan ciri khas dari pembelian impulsif, tapi
tidak semua pembelian tidak terencana merupakan pembelian impulsif. Pembelian
impulsif terjadi ketika konsumen mengalami perasaan tiba-tiba, sering merasakan
perasaan yang sangat kuat dan berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk
membeli sesuatu dengan segera (Arnould, Linda, & George, 2002). Pembeli impulsif
lebih mungkin untuk mengalami pengalaman membeli secara spontan, lebih terkesan
secara tiba-tiba, dan tidak berencana untuk membeli sebelumnya (Rook dan Fisher
dalam Peck dan Terry, 2006).
Dari literatur perilaku konsumen, terdapat beberapa penelitian yang telah
dilakukan mengenai pembelian yang tidak direncanakan ini. Du Pont Inc. (dalam
Engel et al., 1995:23) misalnya, menyatakan bahwa sebesar 61 % responden tidak
merencanakan sebelumnya pembelian terhadap produk kecantikan.
Kotler dan Amstrong (2001:368) mengungkapkan bahwa dalam supermarket
biasa, yang menyimpan 15.000 hingga 17.000 barang, pada umumnya seorang
pembeli akan melewati 300 barang per menit, dan 53 persen dari seluruh pembelian
dilakukan secara mendadak.
Hasil penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1989 membuktikan bahwa
pembelanja buah dan sayur umumnya melakukan proses pengambilan keputusan
secara langsung ketika mereka berhadapan dengan rak atau meja ‘’dasaran’’ di dalam
pasar dan bukan hasil perencanaan sebelumnya (dalam Triandhini, 2006:3).
Studi yang dijalankan oleh POPAI (Point-of-Purchase Advertising Institute,
Englewood, N. J., dalam Engel et al., 1995:143) memperlihatkan bahwa setengah
lebih dari semua pembelian di pasar swalayan sepenuhnya tidak direncanakan –
dibuat tanpa merek atau produk spesifik dalam benak. Total 52,6% dari pembelian di
toko makanan “tidak direncanakan secara spesifik”. Serta dinyatakan bahwa dua dari
5
setiap tiga pembelian di pasar swalayan merupakan pembelian berdasarkan impuls
(dorongan hati).
Hasil studi lain menemukan bahwa sebanyak 39 % pembelian di toko
swalayan dan 67 % pembelian di toko sandang pangan tidak direncanakan (dalam
Mowen & Minor, 2002: 65).
Loudon dan Bitta (1993:567-568) mengemukakan empat tipe dari pembelian
impulsif. Keempat tipe pembelian impulsif tersebut yaitu; pembelian impulsif murni
(pure impulse), pembelian impulsif secara sugesti (suggestion impulse), pembelian
impulsif karena ingatan (reminder impulsif), dan pembelian impulsif yang
direncanakan (planned impulse). Pembelanja yang merencanakan untuk membeli
produk tetapi belum memutuskan fitur dan merek yang dibutuhkan dapat juga
dikelompokkan sebagai pembeli impulsif (Rook dalam Hatane, 2007).
Dapatkah kita menganggap suatu pembelian adalah “tidak terencana” jika
niat yang disadari tidak diutarakan sebelum tindakan membeli ?. Bisa jadi bahwa niat
tersebut muncul karena adanya peragaan barang di pusat perbelanjaan atau bahkan
niat tersebut sudah ada akan tetapi tidak dikatakan terlebih dulu.
Penelitian yang lebih mutakhir tentang topik ini ditulis oleh Morris (1987),
kira-kira 53% pembelian bahan pangan dan 47% pembelian di toko besi merupakan
tindakan mendadak tanpa dipikirkan lebih dahulu, demikian studi tersebut
menyatakan. Ketika Stillerman Jones & Co., sebuah perusahaan penelitian
pemasaran, menanyakan kepada sebanyak 34.300 orang pembelanja di pusat
perbelanjaan di penjuru negeri mengenai alasan utama kunjungan mereka, hanya
25% yang memang sengaja datang untuk mencari barang tertentu (dalam Engel et.
al., 1995:202).
Pembelian yang tidak terencana tidak membatasi pada produk atau latar toko
eceran tertentu. Barang-barang yang dibeli secara tidak terencana (produk impulsif)
kebanyakan adalah produk dengan harga murah yang tidak terduga. Saat ini terdapat
beraneka ragam produk impulsif dipasaran yang mempengaruhi sikap seseorang
terhadap pola pembelian dan pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat.
Menurut Hatane (2005:6) produk impulsif kebanyakan adalah produk-produk baru,
contohnya produk dengan harga murah yang tidak terduga. Penjual menarik
konsumen ketika indera perasa mengirimkan pesan kepada otak konsumen yang
6
mengatakan, “Saya ingin ini!” atau “Saya tidak dapat hidup tanpa itu!”. Beberapa
macam dari barang-barang konsumen adalah “pembelian tidak terencana”, dan yang
dilaporkan paling sering adalah barang-barang yang berhubungan dengan self image
seperti make-up, pakaian, perhiasan, ornamen-ornamen, yang dekat dengan diri
sendiri serta penampilan (Hatane, 2005:11).
Fenomena yang menggambarkan mengenai pembelian tidak terencana dapat
terjadi pada produk, seperti produk yang tahan lama, perhiasan, pakaian, barang-
barang yang terbuat dari logam, perabot rumah tangga, obat-obatan, perlengkapan
mandi dan produk makanan. Selain itu, perilaku pembelian impulsif juga ditemukan
dalam setting toko obat, supermarket, department store dan beragam toko khusus
yang meliputi toko yang khusus menjual bunga, buku, alat-alat kecantikan, alat-alat
yang terbuat dari logam, alat-alat keperluan mobil, dan toko perabot rumah tangga.
Dari artikel online berjudul Impulse products & marketing: the what, how
and why of losing control! (http://www.google.com) diketahui bahwa beberapa
produk impulsif didesain untuk kepuasan dan over-whelm the “bodily senses” seperti
rasa, aroma, suara, penglihatan dan perasaan. Misalnya:
1. Taste: Coklat, makanan dan minuman ringan (ditempatkan di meja kasir)
2. Aroma: Parfum (ditempatkan di sebelah kanan meja kasir)
3. Suara: Musik, seductive human voices (klub musik)
4. Penglihatan: Barang-barang dekoratif, kesan-kesan seduktif (An inviting
female on the cover of a magazine)
5. Perasaan: Pakaian super mewah, pengalaman-pengalaman seperti berada di
suites hotel, pijat dan lain-lain.
Berdasarkan Artikel Dony (2007), dalam pembelian tak terencana (impulse
buying), konsumen akan masuk dulu ke dalam toko dan mencari dan mengevaluasi
informasi yang ada di dalamnya seperti informasi potongan harga dan produk baru.
Kadang kosumen akan mencoba dan membandingkan produk-produk yang menjadi
pusat perhatiannya. Dan seiring dengan banyaknya alternatif yang dilihat oleh panca
7
indera, maka konsentrasi yang terfokus pada pembelian yang telah direncanakan
sebelumnya akan menjadi terbagi dan mulai muncul rasa ketertarikan dengan produk
lain yang sebelumnya tidak terencana. Pada saat itu, konsumen sangat dipengaruhi
oleh dorongan emosi bahwa secara spontan konsumen memiliki keyakinan bahwa
produk yang tidak terencana itu sangat berarti dan menjadi sangat penting dan layak
untuk dibeli.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Negara (dalam Hatane, 2007) yang
mengatakan bahwa pada umumnya pembelian yang dilakukan pelanggan dalam
pasar modern seperti supermarket atau hipermarket, tidak semuanya direncanakan.
Diperkirakan 65% keputusan pembelian di seluruh supermarket dilakukan di dalam
toko dan lebih dari 50% merupakan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya
(Bayley et al. dalam Hatane, 2007). Pembelian yang terjadi di department store
dalam penelitian Bellenger, Robertson & Hirschman (dalam Matilla dan Jochen,
2007) mengatakan bahwa 27-62% terdiri dari pembelian impulsif.
Pusat perbelanjaan memang bisa menjadi tempat rekreasi bagi para pembeli
impulsif. Ma’ruf (2006:53) menyatakan bahwa kebanyakan konsumen di Indonesia
yang belanja di gerai-gerai modern cenderung lebih berorientasi “rekreasi” dalam
belanja. Kegemaran mengunjungi pusat perbelanjaan itu dianggap mampu
memberikan kepuasan tersendiri bagi mereka. Pembelian produk untuk mendapatkan
kepuasan atas dasar kesenangan semata ini dapat mengarahkan seseorang kepada
perilaku konsumsi hedonis yang dapat mencetuskan perilaku pembelian impulsif.
Mereka bahkan tidak dapat menahan keinginan untuk membeli produk tanpa
direncanakan ketika sudah berada di pusat perbelanjaan, bahkan produk dengan
harga mahal sekalipun.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Puri (2002:11) menunjukan
adanya hubungan antara perilaku hedonik dengan perilaku impulsif sebesar 33,264%.
Pembelian produk atas dasar kesenangan atau hedonis dalam pembelian impulsif
tersebut dilakukan oleh konsumen berkaitan dengan motif pribadi konsumen dalam
berbelanja. Dalam motif pribadi tersebut terdapat aspek hiburan, pemuasan diri, dan
stimulasi indera yang mendorong orang berbelanja (Engel et. al., 1995:203).
Konsumen melaporkan bahwa mereka merasa senang ketika mereka
melakukan pembelian impulsif (Cobb dan Hoyer, 1986; Rook, 1987 dalam Peck dan
8
Terry, 2006) dan mereka mengalami bahwa kebutuhan akan kesenangan dan sesuatu
yang baru pada mereka harus dipenuhi (Hausman dalam Peck dan Terry, 2006).
Thompson dkk (dalam Wilkinson, 2007) menemukan bahwa pembelian impulsif
akan menjadi tindakan yang bebas dalam membatasi situasi, dengan membiarkan
responden untuk mengikuti keinginan mereka (lebih cenderung paksaan dari luar).
Keputusan pembelian impulsif terjadi karena adanya rangsangan lingkungan belanja,
merupakan implikasi yang mendukung asumsi bahwa jasa layanan fisik menyediakan
lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen (Iyer, 1989; Marthur dan Smith,
1997; Negara, 2002 dalam Semuel, 2007).
Menurut Negara dalam Hatane (2005), keputusan pembelian dapat didasari
oleh faktor individu konsumen yang cenderung berperilaku afektif, yaitu kesenangan
(pleasure) mengacu pada tingkat dimana individu merasakan baik, penuh
kegembiraan, bahagia, atau puas dalam suatu situasi; kegairahan (arousal) mengacu
pada tingkat dimana individu merasakan tertarik, siaga atau aktif dalam suatu situasi;
dan dominasi (dominance) ditandai oleh perasaan yang direspon konsumen saat
mengendalikan atau dikendalikan oleh lingkungan. Keadaan tersebut membuat
konsumen kehilangan logika dalam berbelanja dan akhirnya melakukan pembelian
yang belum direncanakan sebelumnya (impulsive buying).
Hasil sebuah studi yang dilakukan oleh Rook & Hoch (dalam Mowen & Minor, 2002:65) dimana melalui suatu wawancara yang mendalam, terungkap perasaan responden ketika melakukan pembelian impulsif. Terungkap bagaimana pembelian impulsif bisa terjadi.
Seorang subyek mengatakan: “Saya berada di Beverly Hills hanya untuk berjalan-jalan tanpa niat untuk membeli, tetapi ketika saya melihat beberapa sepatu yang dijual, saya masuk ke toko dan mencobanya dan ternyata ukurannya pas sekali. Waktu itu saya berpikir untuk membeli sepasang, kemudian saya mendapatkan bahwa perasaan saya harus mencoba segalanya. Perasaan tersebut memanggil-manggil saya. Lalu kita tiba-tiba merasa dipaksa untuk membeli sesuatu. Rasanya seperti memperoleh suatu ide. Ini merupakan keinginan yang tiba-tiba, dan bila kita tidak dapat melakukannya dengan segera, kita harus memikirkan alasan mengapa kita tidak membutuhkannya”.
Verplanken dan Herabadi (dalam Melati dkk, 2007:115) menyatakan bahwa
variabel-variabel yang ada dalam lingkungan belanja seperti kemasan produk, cara
produk ditampilkan, aroma makanan, warna-warna yang menarik serta musik yang
menyenangkan dapat menimbulkan motif pembelian atau mengarah pada keadaan
mood yang positif. Betty dan Ferrel (dalam Melati dkk, 2007:115) menyatakan
9
bahwa konsumen yang melakukan window shopping dapat menimbulkan mood
positif dan dorongan untuk membeli. Keduanya dapat mempengaruhi evaluasi
menyeluruh pada produk sehingga seringkali membuat konsumen membeli produk
yang sebelumnya tidak direncanakan.
Perilaku konsumen dalam membeli barang dipengaruhi oleh banyak faktor
yang pada intinya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan
faktor internal (Engel, Kollat, dan Blackwell, 1973; Kottler, 1982; Swastha dan
Handoko, 1987 dalam Lina dkk, 2007).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif yaitu: (1)
karakteristik produk, (2) karakteristik pemasaran dan (3) karakteristik konsumen
yang terdiri dari kepribadian konsumen, sosio-ekonomi dan demografis (Loudon dan
Bitta, 1993:569).
Identitas kepribadian dapat dihubungkan dengan pembelian impulsif (Maenpa
dan Dittmar, dalam Buendicho, 2003). Hawkins dkk (1986) menyatakan bahwa
kepribadian konsumen mengarahkan dirinya pada perilaku yang berbeda dalam
setiap hal sehingga setiap individu cenderung memilih produk yang sesuai dengan
kepribadiannya. Dalam mengambil keputusan membeli, konsumen dipengaruhi oleh
kepribadian dalam diri. Kepribadian konsumen akan mempengaruhi persepsi dan
pengambilan keputusan dalam membeli (Anwar, 2005).
Kepribadian memiliki bentuk yang bermacam-macam, salah satunya adalah
locus of control. Hasil analisa data penelitian yang dilakukan oleh Mariyani dan
Emmy dengan judul “Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Ditinjau dari
Locus of Control Internal dan Locus of Control Eksternal” menunjukkan adanya
perbedaan kecenderungan pembelian impulsif ditinjau dari locus of control internal
dan locus of control eksternal dengan nilai p = 0,025, dengan subjek locus of control
eksternal memiliki mean score yang lebih tinggi (x = 64,05) dibandingkan dengan
subjek locus of control internal yang memiliki mean score (x = 56,67). Sedangkan
dalam penelitian lain dengan judul “Perbedaan Pembelian Impulsif Ditinjau Dari
Tipe Kepribadian Ekstraversi Intraversi Pada Remaja Terhadap Produk Fashion”
10
yang dilakukan oleh Saviera (2011) pada 90 orang remaja diketahui dari hasil uji
anava faktorial satu jalur bahwa nilai perbedaan rata-rata pembelian impulsif dan tipe
kepribadian ekstraversi-intraversi sebesar 2,418 dengan nilai p = 0,124. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pembelian impulsif ditinjau dari tipe
kepribadian ekstraversi-intraversi pada remaja terhadap produk fashion.
Karakteristik sosio-ekonomi yang dihubungkan dengan tingkat pembelian
impulsif salah satunya adalah uang saku. Ling dan Lin (dalam Hatane, 2007)
mengatakan bahwa uang saku berhubungan positif dengan kecenderungan perilaku
pembelian impulsif konsumen muda pada toko secara fisik atau offline.
Selanjutnya karakteristik demografis yang mempengaruhi pembelian impulsif
salah satunya adalah gender. Penelitian yang dilakukan oleh Dittmar dkk (1995),
diketahui bahwa secara umum perempuan lebih sering membeli secara impulsif
dibanding laki-laki. Begitu juga dengan hasil penelitian Ling dan Lin (dalam Hatane,
2007) menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki perilaku pembelian
impulsif dibanding laki-laki. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wathani (2009) menemukan bahwa ada perbedaan kecenderungan pembelian
impulsif produk pakaian ditinjau dari peran gender dengan nilai p = 0,000 dengan
subyek feminim memiliki mean skor yang lebih tinggi (x = 57,97) dibandingkan
dengan subyek androgini (x = 56,00), subyek maskulin (x = 55,28) dan subyek tidak
terbedakan (x = 38,91). Sementara itu hasil tambahan menunjukkan adanya
perbedaan signifikan kecenderungan pembelian impulsif ditinjau dari jenis kelamin
dan uang saku.
Pengaturan lingkungan fisik toko yang baik dapat meningkatkan pembelian
yang tidak direncanakan atau pembelian impulsif. Lingkungan dalam toko meliputi
penataan lorong-lorong dan juga rak tempat untuk mengatur dan menaruh barang
dagangan. Pengaturan barang menurut produk yang paling diinginkan para retailer
untuk dijual pada konsumen, menggambarkan bagaimana lingkungan fisik dapat
mempengaruhi perilaku konsumen yang mengubah keyakinan dan perasaan
konsumen. Menurut Sutisna (2002:159), para peneliti telah menemukan bahwa
stimuli seperti warna, suara, cahaya, cuaca dan pengaturan ruang dari orang dan
obyek lain mempengaruhi perilaku konsumen. Kesemuanya akan mempengaruhi
persepsi konsumen melalui mekanisme penglihatan, pendengaran, penciuman, dan
11
sentuhan. Sutisna menambahkan bahwa tata letak rak pajangan (aspek display) di
dalam toko akan mempengaruhi perilaku pengunjung. Pembuatan gang atau jalur
jalan akan memudahkan alur lalu lintas pengunjung. Penempatan item produk secara
berkesinambungan berdasarkan kategori produk akan juga mempengaruhi perilaku
konsumen (Sutisna, 2002:164). Pemajangan dan pengaturan berbagai macam produk
yang ditata sedemikian rupa apiknya akan mampu menarik perhatian pengunjung
yang datang. Sebagai contoh, agar mencolok, produk biasanya ditata dekat pintu
masuk - misalnya minuman ringan yang disusun membentuk piramida di tengah
jalan - atau meletakkan produk setinggi pandangan mata. Cara lain dengan menaruh
rak berisi permen karet, rokok, permen dan majalah di pintu kasir dengan harapan
konsumen serta merta mengambil. Sedangkan barang obral, biasa dipajang di dekat
pintu keluar dengan harapan konsumen akan membeli satu dua buah, selagi murah
(Intisari on the net, November 1998).
Display produk yang menarik akan mengundang orang yang melintas di
depan toko tertarik untuk masuk ke dalam toko (www.hanbo solution.com, Juni
2006) dan membuat konsumen menghabiskan lebih banyak waktu di toko, melihat
makin banyak barang, memperhatikan barang-barang murah (meski kurang
dibutuhkan), dan akhirnya membeli secara impulsif (Intisari on the net, November
1998).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Samosir (2009:2) dengan judul
”Analisis Pengaruh antara Layout (tata letak) terhadap Pembelian Impulsif pada
Outlet Indomaret Jamin Ginting Medan, diketahui adanya pengaruh yang positif dan
signifikan dari variabel layout terhadap pembelian impulsif dengan persamaan
regresi Y = 2,936 + 0,370 X + e dan nilai koefisien determinasi sebesar 0,765 yang
berarti pengaruh layout terhadap pembelian impulsif adalah sebesar 76,5%.
Hal yang berkaitan dengan lingkungan toko di atas juga didukung oleh
penelitian Hatane (2005:22) yang telah melakukan penelitian persamaan koefisien
estimasi standar mengenai ”Respons Lingkungan Berbelanja Sebagai Stimulus
Pembelian Tidak Terencana pada Toko Serba Ada (Toserba) Carefour Surabaya”.
Dari hasil penelitiannya terlihat bahwa variabel respons lingkungan dominance
(perasaan yang direspons konsumen saat mengendalikan atau dikendalikan oleh
12
lingkungan) koefisien regresinya bernilai positif (dengan nilai statistik t = 7,50) dan
sangat signifikan (nilai t > 1,96, α = 0,05) terhadap pembelian impulsif.
Kegiatan promosi penjualan oleh pihak perusahaan mampu membangkitkan
rasa keingin-tahuan konsumen akan produk yang ditawarkan dan kemudian juga
dapat memancing hasrat mereka untuk membeli produk-produk tersebut. Kegiatan
ini biasanya dilakukan dalam bentuk kegiatan personal selling kepada konsumen
serta iklan (advertising) mulai dari papan nama yang dipasang di depan toko hingga
iklan dengan menghadirkan berbagai macam bentuk media diruang-ruang toko dan
pusat perbelanjaan modern, dari yang paling sederhana berupa material point of sales
yang digantung di langit-langit toko hingga stiker raksasa di lantai toko dan lain-lain
(Cakram, 2001). Kondisi semacam itu mampu memicu pembelian impulsif karena
media iklan di toko memang memiliki kekuatan tersendiri (Engel, et al., 1995) yang
mampu mempengaruhi emosi seseorang sehingga membuat mereka seketika
memutuskan untuk membeli. Tentunya keadaan ini membuat mereka yang tidak
dapat mengontrol belanjanya akan menjadi semakin parah. Konsumen yang impulsif
merupakan konsumen yang mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh emosi
(Setiawan, November 2000). Ketika seseorang melakukan keputusan pembelian
berdasarkan emosi, maka ia kurang menekankan pada pencarian dan pengolahan
informasi secara cermat, akan tetapi ia akan lebih menekankan pada perasaan saat
itu.
Hal ini didukung oleh penelitian Hatane (2006:23) tentang ”Bentuk Format
Media Iklan sebagai Stimulus Respon Emosi dan Kecenderungan Perilaku Pembelian
Impulsif”, dalam penelitian ini didapatkan hasil yang menunjukkan adanya
perbedaan pengaruh stimulus antara media iklan offline dengan media iklan online.
Media iklan online dengan audiovisual dan teks gambar yang ada, memiliki
pengaruh stimulus yang lebih kuat secara total terhadap respon emosi maupun
kecenderungan perilaku pembelian impulsif, karena calon konsumen membutuhkan
informasi yang lebih lengkap mengenai produk yang diingini. Temuan Semuel
berikutnya adalah orientasi belanja, kenyamanan maupun rekreasi, memiliki peran
mediasi antara emosi dan kecenderungan perilaku pembelian impulsif sehingga
seseorang dalam berperilaku sebagai pembeli online, tidak hanya dipengaruhi oleh
13
respon emosi secara langsung namun juga terdapat proses kognitif melalui orientasi
belanja yang dimilikinya. Selain itu, tidak ada pengaruh umur, uang belanja bulanan,
maupun jenis kelamin terhadap kecenderungan perilaku pembelian impulsif. Hal ini
berbeda dengan perilaku pembelian impulsif pembeli offline yang hanya
menggunakan iklan brosur.
Menurut Engel et al. (1995:140-141) faktor-faktor yang mempengaruhi
pembelian impulsif terbagi menjadi faktor personal dan faktor lingkungan. Faktor
personal terdiri dari perilaku pembelajaran, motivasi, kepribadian, kepercayaan, usia,
sumber daya konsumen, dan gaya hidup. Faktor lingkungan terdiri dari situasi,
kelompok dan budaya.
Selain faktor-faktor di atas, berdasarkan hasil pra-survey yang dilakukan pada
Matahari Departement Store Plaza Medan Fair, terdapat beberapa faktor lain yang
mendorong terjadinya pembelian tidak terencana (impulsive buying) pada konsumen.
Salah satunya adalah adanya diskon besar-besaran, seperti diskon 50%+20%
(penambahan diskon 20% setelah diberi diskon 50%) pada produk, membuat
konsumen tertarik untuk membeli satu bahkan lebih dari satu produk. Konsumen
dapat memanfaatkan fasilitas pembayaran dengan kartu kredit ataupun penggunaan
debit saat konsumen tidak mempunyai uang tunai untuk membayar pembelanjaan
produk dan ini akan mendukung pembelian tidak terencana. Strategi pemberian
voucher belanja membuat konsumen tertarik untuk membelanjakan vouchernya
dengan membeli produk yang tidak direncanakan sebelumnya. Program promosi
“beli 2 gratis 1” yang ditampilkan pada produk mendorong konsumen untuk membeli
produk tersebut. Beberapa faktor tersebut sangat mempengaruhi perilaku afektif
seseorang dalam melakukan keputusan pembelian yang tidak direncanakan
sebelumnya.
Fenomena di atas sejalan dengan hasil analisis data penelitian yang dilakukan
oleh Pratiwi (2010) dengan judul “Pelaksanaan Discount dan Pengaruhnya terhadap
Pembelian Impulsif Produk Pakaian pada Ramayana Departement Store” diketahui
bahwa discount (potongan harga) memberikan pengaruh yang cukup kuat sebesar
59,7% terhadap pembelian impulsif pada Ramayana department store.
Terkadang para pembeli impulsif sudah mencoba untuk mengontrol diri, akan
14
tetapi ketika di pusat perbelanjaan seringkali mereka tertipu oleh promosi toko. Salah
satunya yang sering dijumpai adalah adanya permainan harga oleh perusahaan dalam
menjual produknya agar terkesan murah. Salah satunya mematok harga dengan
angka ekor 99 atau 88, misalnya Rp 999,- atau Rp 988,-. Konsumen jadi berpikir,
harga barang cuma Rp 900,- bukan Rp 1000,-. Padahal, nilainya lebih dekat ke Rp
1000,- (Intisari on the net, November 1998).
Harga yang ditawarkan dipasaran saat ini mulai menggunakan istilah “obral”.
Anggapan bahwa istilah “obral” lebih murah membuat para pembeli impulsif mulai
tergoda. Tak heran apabila mereka banyak dijumpai pada saat ada obral besar atau
sale. Mereka membeli barang-barang dengan alasan karena harga yang ditawarkan
murah. Agar perputaran stok menjadi lebih cepat, perusahaan juga sering
menggunakan permainan harga jumlah ganda. Sering pengecer mengemas produk
yang harganya Rp. 2.000,-/buah menjadi Rp. 20.000,-/kemasan berisi 10 buah,
bahkan didiskon 5% menjadi Rp. 19.000,- (Intisari on the net, November 1998). Hal
seperti ini biasanya cukup efektif membuat konsumen terdorong membeli 10 buah,
padahal yang dibutuhkan hanya 1-2 buah saja. Yang terjadi kemudian adalah barang-
barang yang dibeli itu besar kemungkinan tidak terpakai atau nilai gunanya sangat
rendah karena dibeli bukan sesuai dengan kebutuhan, melainkan lebih karena tergoda
penawaran (Masassya, Mei 2006). Padahal apabila pembeli dapat memperkirakan
harga relatif per unit dan kemampuan untuk melakukan pengenalan kebutuhan akan
menentukan keakuratan pilihan seseorang.
Sebuah studi telah dilakukan oleh Capon dan Kuhn mengenai keterampilan
konsumen, dimana para subyek diberi insentif mendapatkan kesempatan untuk
memenangkan $50 untuk membuat pilihan yang tepat. Dari 100 orang wanita
pembelanja di pasar swalayan, 39 orang tidak mengandalkan perbandingan harga
relatif per unit dalam membuat pilihan mereka. Mereka malah menggunakan kaidah
keputusan yang berbeda, seperti menyimpulkan bahwa barang yang sedang diobral
pasti merupakan pembelian yang lebih baik. Para pembelanja yang berpendidikan
lebih tinggi jauh lebih mungkin mempertimbangkan harga per unit dibandingkan
mereka yang tingkat pendidikannya lebih rendah (dalam Engel et. al., 1995:187).
15
Para pembeli impulsif seringkali berbelanja banyak barang tetapi tidak
semuanya dipakai atau diperlukan. Ke-gila-an membeli barang tidak hanya terjadi
ketika mereka merasa membutuhkan katarsis atau bentuk pelarian dari kondisi
tertentu saja tetapi hal ini terjadi pada kehidupan mereka sehari-hari ketika mereka
berada di pusat perbelanjaan. Mulanya mereka hanya mengunjungi pusat
perbelanjaan akan tetapi berakhir dengan pembelian tidak terencana (unplanned
purchase).
Perilaku pembelian impulsif dapat dipahami sebagai suatu proses
pengambilan keputusan dimana pelanggan hanya melibatkan sedikit proses kognitif
tetapi juga biasanya menunjukkan tingkat emosi yang tinggi. Pembelian impulsif
dilakukan tanpa direncanakan dan tanpa membuat suatu evaluasi kebutuhan.
Pembelian impulsif sering terjadi dalam situasi dengan stimulasi yang kuat (Omar;
Assael dalam Esch dkk, 2003).
Pernyataan ini didukung dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Kollat dan Willett (1969), mereka juga menggunakan istilah impulse
buying (pembelian impulsif) yang sama dengan unplanned purchased (pembelian tak
terencana). Sejalan dengan hal itu, pembelian impulsif juga seringkali dihubungkan
dengan pembelian yang dilakukan secara tiba-tiba dan tidak direncanakan, dilakukan
di tempat kejadian, dan disertai timbulnya dorongan yang besar serta perasaan
senang dan bergairah (Rook dalam Verplanken dan Herabadi, 2001).
Meski semua pembeli impulsif selalu akan merasa bersalah dan seringkali
menyesal karena produk yang dikonsumsi ternyata benar-benar tidak dibutuhkan
olehnya (Loudon dan Bitta,1993 dalam Engel et al., 1995:202), namun ada juga yang
kemudian mencoba menemukan alasan rasional di balik ulahnya. Alasan rasional
itulah yang sering dimanfaatkan oleh penjual, yang tidak jarang cukup ampuh untuk
membangkitkan dorongan membeli, demi kepuasan diri belaka (Intisari on the net,
Desember 1998). Terlebih lagi konsumen yang impulsif, menurut Setiawan
(November 2000) pada dasarnya tunduk kepada usaha-usaha promosi dari marketer
dan tunduk pada hasrat untuk memuaskan diri (submissive to the self-serving
interest).
Keputusan untuk membeli atau memakai suatu produk pada diri seseorang
merupakan hasil dari hubungan yang saling mempengaruhi. Keputusan pembelian
16
sangat dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor yang ada dalam diri maupun di luar
diri individu, meliputi faktor budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Berkaitan
dengan topik penelitian yang akan dibahas, maka pembahasan lebih menitik-beratkan
pada faktor psikologis. Menurut Kotler dan Amstrong (2008:172) faktor psikologis
yang berpengaruh pada keputusan pembelian konsumen diantaranya adalah motivasi,
persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan sikap.
Penelitian yang dilakukan oleh Farina (2008:84-85) dengan judul “Faktor-
faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen dalam Pengambilan Keputusan
Untuk Menggunakan Jasa Internet Pada Warnet Central Net Malang” dengan
menggunakan metode analisis regresi linier berganda, uji F dan uji t, menunjukkan
hasil bahwa Fhitung 32,485 dan Ftabel 2,21 (Fhitung > Ftabel), hal ini diartikan bahwa
variabel kebudayaan (X1), sosial (X2), kepribadian (X3), dan psikologis (X4), secara
bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap keputusan menggunakan Jasa
Internet (Y) pada taraf signifikansi 5%. Diantara variabel (X1), (X2), (X3) dan (X4),
diketahui bahwa variabel psikologis (X4) mempunyai pengaruh dominan terhadap
keputusan menggunakan Jasa Internet (Y) karena thitung > ttabel, yaitu dengan thitung
sebesar 5,660 > 2,21 dan Beta sebesar 0.422.
Persepsi, sebagai fokus penelitian disini, mampu menggerakkan konsumen
untuk melakukan pembelian. Dengan kata lain, persepsi akan terlibat langsung dalam
mempengaruhi seseorang untuk memutuskan apakah produk yang akan dibeli
tersebut baik atau tidak, oleh karena itu persepsi layak dijadikan bahan kajian.
Menurut Sutisna (2002:62-63) persepsi adalah suatu proses bagaimana
stimuli-stimuli diseleksi, diorganisasi dan diinterpretasikan.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wulansari (2004:55) dengan judul
Pengaruh Persepsi tentang Cara Pembelian Baju Secara Kredit terhadap Keputusan
Membeli dengan responden mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang
menyatakan bahwa persepsi konsumen terhadap pembelian baju secara kredit
mempengaruhi dalam proses keputusan membeli konsumen.
Ickbal (2006:53) telah melakukan penelitian yang berjudul Hubungan antara
Pesepsi Promosi Penjualan “Undian Berhadiah” dengan Keputusan Membeli pada
Konsumen Pasar Swalayan Tom and Jerry di Madura. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi promosi penjualan “Undian
17
Berhadiah” dengan keputusan membeli pada konsumen Swalayan Tom and Jerry
Madura.
Berdasarkan penelitian Irene (2006:1) pada 54 orang mahasiswi jurusan
manajemen STIE Malang Kucecwara Malang yang berjudul analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi keputusan membeli produk kosmetik menyatakan hasil
perhitungan korelasi berganda diketahui bahwa antara peubah kelas sosial (X1),
kelompok referensi (X2), kepribadian (X3), motivasi (X4) dan persepsi (X5) dengan
peubah keputusan pembelian produk (Y) mempunyai hubungan yang erat. Hasil yang
dapat disimpulkan bahwa peubah-peubah kelas sosial, kelompok referensi,
kepribadian, motivasi dan persepsi mempunyai hubungan yang bermakna (erat)
terhadap keputusan pembelian produk kosmetik.
Dalam penelitian Utami (2006:1) dengan judul Pengaruh Iklan TV Sabun
Mandi Terhadap Minat Beli Konsumen yang dilakukan pada 100 responden
diwilayah Surakarta menyatakan bahwa persepsi mengenai model iklan dan persepsi
mengenai iklan mempunyai pengaruh terhadap minat beli yang dimediasi sikap pada
iklan ke sikap merek pada iklan Lux dan iklan Dove.
Hasil penelitian tentang persepsi yang lain berasal dari Levy (2007:250-258)
yang berjudul Developing a deepeer understanding of post-purchase perceived risk
and behavioural intentions in a service setting yang mengambil responden dari dua
kelompok, dimana kelompok pertama berasal dari 192 orang pasien perawatan dari
Rumah Sakit Daerah dan kelompok kedua adalah 101 orang pasien yang
mendapatkan perawatan spesial tapi alternatif dari Rumah Sakit Utama Daerah
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tujuan perilaku memutuskan kembali
dalam memilih rumah sakit adalah persepsi konsumen mengenai kualitas pelayanan
dan lingkungan fisik rumah sakit yang menyenangkan.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang diungkapkan di atas terbukti
bahwa persepsi memiliki hubungan yang signifikan atau erat dalam proses
pengambilan keputusan ketika seorang konsumen membeli suatu produk. Ries dan
Trout (1987, dalam Prasetijo dan Ihalauw, 2005:84) mengatakan bahwa pemasar
harus melandasi pemikirannya pada peperangan yang terjadi antar produk dan antar
merek, dalam memperebutkan persepsi konsumen. Itulah sebabnya mengapa persepsi
menjadi medan pertarungan para pemasar yang unik dan sengit. Hal apa yang
18
sebenarnya terbaik pada akhirnya belum tentu diakui oleh konsumen sebagai yang
terbaik. Hal unik lainnya, menurut riset terakhir, konsumen memutuskan membeli
sesuatu hanya dalam hitungan rata-rata 2,6 detik. Jika dibandingkan dengan sebuah
komputer dengan prosesor yang memiliki kemampuan kapasitas yang luar biasa,
dalam waktu 2,6 detik itu konsumen memproses data dan informasi yang mungkin
sangat luar biasa banyaknya (Prastiwi, 2007:1).
Jelaslah kiranya bahwa persepsi kita terhadap stimulasi merupakan olahan
semua informasi yang diterima panca indera. Informasi yang masuk pada diri kita
melalui stimulus yang dilihat, dirasa, didengar dan dikecap akan kita beri makna.
Walaupun stimulus yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan
interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang kita persepsi (Rakhmat,
2002:59). Kita tidak bisa meneliti fakta-fakta yang terpisah, harus dipandang dalam
hubungan keseluruhan sehingga bila kita mempersepsikan sesuatu kita akan
mempersepsikannya secara keseluruhan. Bila dihubungkan dengan stimulus yang
dilakukan pemasaran dalam memasarkan produknya untuk konsumen, maka Sutisna
(2002:62-63) menjelaskan bahwa dua tipe stimuli/stimulus penting yang dapat
mempengaruhi konsumen adalah pemasaran dan lingkungan (sosial dan budaya).
Stimulus pemasaran adalah setiap komunikasi atau stimulus fisik yang didesain
untuk mempengaruhi konsumen. Produk dan komponen-komponennya (seperti
kemasan, isi, ciri-ciri fisik) adalah stimulus utama (primary/intrinsic stimuli).
Produk-produk baru terus bermunculan sedangkan di sisi lain konsumen saat
ini semakin selektif dan pandai dalam menentukan pilihannya untuk membeli
produk. Dampak yang timbul dengan adanya persaingan ketat antar perusahaan-
perusahaan yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan konsumen dan menghasilkan
produk yang sejenis adalah semakin membingungkan dan rancunya posisi suatu
produk di pasar. Hal ini membuat semakin menyempitnya segmen pasar yang
dimiliki perusahaan karena semakin terdesak oleh pesaingnya. Salah satu tantangan
yang dihadapi perusahaan untuk mencapai keberhasilan dalam memasarkan suatu
produk tidak hanya menjual atau menukarkannya dengan sesuatu, tetapi hal
terpenting adalah bagaimana memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen
sehingga tercipta kepuasan baik dari sisi konsumen maupun produsen.
19
Banyak aspek yang mempengaruhi konsumen untuk belanja. Bisa karena
faktor harga, kenyamanan tempat, store-layout (tata letak toko) maupun faktor
produk. Perlu dicermati bahwa pada faktor produk bisa menjadi faktor pemicu bagi
para konsumen yang awalnya hanya melihat-lihat saja sampai akhirnya memutuskan
untuk membeli. Oleh karena itu produk yang dipasarkan hendaknya merupakan
produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen, sebagaimana
pendapat Kotler dan Amstrong (2008:266) yang mengatakan bahwa produk
merupakan semua hal yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk menarik perhatian,
akuisisi, penggunaan atau konsumsi yang dapat memuaskan suatu keinginan atau
kebutuhan, sehingga dengan demikian konsumen akan merasa puas. Kepuasan
pelanggan (customer satisfaction) secara harfiah punya makna tetap, yaitu dimana
keinginan, harapan dan kebutuhan pelanggan dapat terpenuhi (Hidayat, 2007:30).
Sadar akan fakta yang ada, dunia bisnis pun berkompetisi membuat
konsumennya lebih puas dan tidak berpaling ke produk lain. Tentu saja perusahaan
harus memiliki keunggulan dan keunikan yang berbeda pada produknya dibanding
perusahaan lain. Keunggulan suatu produk adalah tergantung dari keunikan serta
kualitas yang diperlihatkan oleh produk tersebut, apakah sudah sesuai dengan
harapan dan keinginan konsumen. Keunggulan produk suatu perusahaan bisa
menentukan berhasil tidaknya produk tersebut melekat di hati konsumen.
Bagi perusahaan yang sedang mengembangkan bauran pemasaran melalui
pengembangan produk, maka perusahaan tersebut harus dapat menetapkan manfaat-
manfaat apa yang akan diberikan oleh produk tersebut. Karena konsumen tertarik
menggunakan produk tidak semata-mata melihat fisik produk saja, melainkan karena
berbagai macam manfaat produk yang dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan
dan keinginan mereka yang tentunya konsumen akan memilih produk yang dianggap
lebih baik dari produk lainnya. Manfaat-manfaat ini dikomunikasikan oleh atribut
produk yang berwujud antara lain seperti merk, model, warna, kemasan dan
pelayanan yang menyertai produk yang ditawarkan. Menurut Gitosudarmo
(1994:188) atribut produk adalah suatu komponen yang merupakan sifat-sifat produk
yang menjamin agar produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan yang
diharapkan oleh pembeli.
20
Guna memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, pemasar menawarkan
berbagai macam merk, desain, dan kualitas serta keunggulan lainnya dari setiap
produk guna menarik minat konsumen untuk membeli. Mereka membuat tampilan
yang indah pada produk-produknya dengan harapan kebutuhan dan keinginan
konsumen akan terpuaskan dari pengkonsumsian atribut-atribut yang ditawarkan
oleh produk tersebut. Konsumen akan memilih didasarkan pada ada tidaknya atribut-
atribut atau sifat-sifat yang dimiliki suatu produk yang sesuai dengan apa yang
diharapkannya.
Penyajian produk tertentu dalam berbagai bentuk dan kelebihan yang berbeda
menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen, apalagi jika ditawarkan melalui
manajemen pemasaran yang baik. Sebut saja dengan branding (pemerekan) atau
pemilihan nama yang baik, style atau gaya, keunikan atau pembeda dengan yang lain
sebagai diferensiasi, serta atribut-atribut produk lainnya sebut saja di antaranya
kemasan atau penampilan (Pikiran Rakyat Cyber Media, Maret 2004) serta
karakteristik produk lainnya yang digabungkan untuk memberi citra produk pada
calon konsumen. Produk yang demikian akan menjadi produk yang berhasil,
misalnya pemberian merek yang tepat akan menimbulkan kesan serta image yang
baik dari konsumen terhadap produk yang dipasarkan, bahkan kadang-kadang image
itu muncul dari logo yang tergambar pada kemasan produknya. Keputusan mengenai
atribut-atribut ini sangat mempengaruhi reaksi konsumen terhadap sebuah produk.
Dari atribut itulah suatu produk akan dipandang oleh konsumen berbeda dengan
produk yang dikeluarkan oleh pesaingnya.
Pentingnya pemberian atribut pada suatu produk sehingga mampu
mempengaruhi keputusan pembelian bagi konsumen tergambar jelas dalam
penelitian metode analisa faktor dan analisa regresi linier berganda mengenai
”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen terhadap Keputusan
Pembelian Ponsel (studi pada konsumen ponsel merk Siemens di Malang). Dalam
penelitian ini Indriwati (2003) menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi
keputusan pembelian ponsel merk Siemens adalah karena banyaknya atribut produk.
Didapatkan 7 faktor atribut yang mempengaruhi, yaitu faktor model, kebutuhan,
tempat belanja dan potongan harga, keluarga, prestise, dan personal selling.
21
Bahkan penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1989 terhadap pembelanja
buah dan sayur menunjukkan bahwa 94% responden menyatakan tolok ukur
pemilihan buah dan sayur adalah kenampakkan luarnya seperti: ukuran, bentuk,
warna, mengkilat tidaknya dan ketidak-cacatan (Triandhini, 2006:3).
Bagian terpenting dari strategi pemasaran adalah untuk mempengaruhi
persepsi konsumen terhadap atribut-atribut suatu produk, seperti merek, model,
warna, kemasan dan pelayanan. Atribut-atribut produk tersebut akan dapat
menciptakan nilai yang terbentuk dalam pemikiran konsumen yang kemudian akan
menghasilkan pengertian yang mendalam tentang citra pada atribut-atribut suatu
produk seperti citra pada merek, citra harga atau citra pelayanan. Persepsi yang
muncul dari hasil penilaian itu bisa positif dan negatif. Jadi, pemasar harus secara
konstan mencoba mempengaruhi citra konsumen karena dapat meningkatkan
keberhasilan penjualan suatu produk dipasaran (Sutisna, 2002:83).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kholil (1999, dalam Handayani 2006:5),
meneliti tentang “ Pengaruh Persepsi Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian
Sepeda Motor Merk Yamaha Mio di Dealer Mitra Kencana Motor Blimbing
Malang”, ditemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi konsumen
terhadap keputusan pembelian sepeda motor merk Yamaha Mio di Dealer Mitra
Kencana Motor Blimbing Malang, hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung sebesar
25,251 lebih besar dari nilai F tabel sebesar 2,47 dengan nilai signifikansi sebesar
= 0,05.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairis (2005, dalam Handayani
2006:6), yang berjudul “Analisis Pengaruh Budaya, Sosial, dan Psikologis Terhadap
Keputusan Konsumen dalam Menggunakan Jasa Transportasi Bus Patas PO. Kurnia
Jurusan Bandung-Tegal-Purwokerto PP”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1)
hasil uji F, mengindikasikan bahwa secara simultan variabel budaya (X1), sosial (X2),
dan psikologis (X3) berpengaruh signifikan terhadap keputusan konsumen dalam
menggunakan jasa transportasi bus patas PO. Kurnia Jurusan Bandung-Tegal-
Purwokerto PP (Y), hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung 19,336 lebih besar dari
F Tabel 2,198 dengan tingkat kepercayaan = 0,05 2) hasil uji t, mengindikasikan
bahwa secara parsial variabel psikologis (X3) berpengaruh paling dominan terhadap
22
keputusan konsumen dalam menggunakan jasa transportasi bus patas PO. Kurnia
Jurusan Bandung-Tegal-Purwokerto PP (Y), hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung
3,330 untuk variabel psikologis (X3) lebih besar dari t tabel 1,6449.
Dalam berbagai kasus, konsumen sudah menyimpan suatu penelitian atas
keyakinan di dalam ingatan mengenai kinerja alternatif-alternatif pilihan yang sedang
dipertimbangkan. Keputusan konsumen dalam menggunakan suatu produk
dipengaruhi oleh informasi tentang produk tersebut dengan atribut-atribut tertentunya
yang telah memberikan penilaian dan juga pengalaman atas pengkonsumsian suatu
atribut produk.
Astuti (1998:67) mengatakan bahwa proses keputusan pembelian produk
terjadi ketika konsumen memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginannya, yang selanjutnya akan menimbulkan motif dalam suatu tindakan.
Ketika konsumen merasa dengan mengkonsumsi produk tersebut maka kebutuhan
dan keinginannya telah terpenuhi, sehingga menimbulkan suatu keputusan maka
dalam proses selanjutnya konsumen akan berusaha mempertahankan tingkat
kepuasan yang telah diperoleh dan akan mempertimbangkan pengalaman hingga
dapat dikatakan bahwa pengalaman masa lalu merupakan proses belajar konsumen
sehingga menimbulkan suatu perubahan dalam perilaku seseorang.
Menurut Hidayat (2007:30) dari waktu ke waktu harapan pelanggan terhadap
sebuah produk/jasa tidak akan pernah sama, bisa naik atau bahkan bisa turun. Jika
pengalaman terdahulu ketika mengkonsumsi/menggunakan suatu produk dengan
atribut-atribut tertentu dirasakan baik oleh konsumen, maka akan berlanjut untuk
menumbuhkan perasaan puas, karena atribut produk tersebut mampu memenuhi
harapan mereka. Konsumen tidak hanya dipuaskan kebutuhannya melainkan juga
akan tumbuh perasaan senang akan produk dengan atribut-atribut serupa.
Kepercayaan yang tumbuh dalam diri konsumen ini akan menentukan sikap yang
akan dipilih dalam keputusan pembelian dan pemakaian produk selanjutnya, apakah
akan membeli produk dengan atribut yang sama kembali atau tidak.
Sebagaimana hasil penelitian Astutik (2005:72) tentang Pengaruh Penilaian
Konsumen atas Atribut Produk terhadap Pembelian Ulang di Factory Outlet Darmo
Malang, ditemukan bahwa penilaian atas atribut produk yang terdiri dari merek (X1)
dan desain produk (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian
23
ulang pada Factory Outlet Darmo Malang. Kesimpulan tersebut didasarkan pada
hasil pengujian baik secara simultan dan secara partial dengan uji F dan Uji t, dimana
hasil pengujian menunjukkan nilai Fhitung (83,355) > Ftabel (2,09) serta nilai t-hitung
masing-masing variabel lebih besar dari nilai ttabel. Sedangkan besarnya pengaruh
dijelaskan oleh niai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,635 atau 63,5%.
Tak dapat dipungkiri, remaja merupakan salah satu pangsa pasar terbesar bagi
para pemasar dalam memasarkan produk-produknya. Hal ini tidak terlepas dari
kecenderungan remaja yang suka pada hal-hal yang bersifat konsumtif seperti suka
belanja atau membeli sesuatu yang sedang menjadi mode dan tren.
Secara kasat mata kita dapat melihat berapa banyak remaja yang larut dalam
pembiusan keadaan hanya sekedar “pengen“ memperoleh legitimasi “modern” atau
setidaknya mereka senang apabila stempel “kuno” atau “kuper” (kurang pergaulan)
luput dari julukan yang diberikan oleh rekan-rekannya (Kuswandono, 5 Desember
2003).
Tingkah laku remaja umumnya sangat atraktif, remaja sering terlihat
berjalan-jalan berkelompok di berbagai pusat hiburan, makan direstoran cepat saji,
nongkrong di kafe menikmati sajian hiburan, memakai pakaian mengikuti mode
berikut aksesorisnya (kalung, cincin, gelang, tattoo, dan lain-lain). Dan atas pengaruh
iklan, iming-iming diskon, obral dan sejenisnya akan sangat mudah menjerat remaja
untuk berbelanja.
Effen dan Santi (1998:23) menyatakan bahwa remaja umumnya tidak terlepas
dari keceriaan dunia remaja yang diakrabinya. Sekedar mejeng di mal menjadi bukan
barang haram. Remaja senang pergi ke mal ‘jalan bareng-bareng, melihat barang di
etalase, lalu makan di restoran’. Mereka mengunjungi mal 3 kali dalam seminggu
dengan uang saku yang berlebih. Dalam sebuah jajak pendapat, mal adalah tempat
mangkal paling populer untuk mengisi waktu luang remaja (30,8%), sedangkan jajan
merupakan prioritas pertama pengeluaran remaja (49,4%) disusul dengan membeli
alat sekolah (19,5%), untuk jalan-jalan atau hura-hura (9,8%), menabung (8,8%)
sisanya untuk membeli kaset (2,3%), membeli aksesoris mobil (0,6%) dan ada pula
yang tidak menjawab (0,4%).
Berdasarkan survei lembaga penelitian di America Synovate Research
(Hidayat, 2005:46) yang membagi konsumen remaja Indonesia dalam kelompok
24
psikografis dengan rentang usia 15-24 tahun dan jumlah merata disemua kota,
menunjukkan jumlah terbanyak yaitu Aspirasional (24%) dengan kriteria kelompok
remaja yang senang bergaul dan menjadi bagian dari suatu kelompok. Mereka
banyak menghabiskan waktu diluar rumah, karenanya mereka selalu berusaha tampil
menarik. Maka, sebagian besar uang sakunya digunakan untuk memperindah
penampilan, seperti membeli pakaian, kosmetik dan aksesori. Kelompok ini mudah
ditemui di mal-mal atau pusat perbelanjaan.
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat
usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui
eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu.
Tambunan (2001:2) mengatakan bahwa kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama
dengan orang lain inilah yang menyebabkan remaja berusaha mengikuti tren produk
yang atribut-atributnya sedang menjadi tren dan mode dan menjadi berperilaku
konsumtif. Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang
bahwa atribut yang superfisial itu sama penting (bahkan lebih penting) dengan
substansi. Apa yang dikenakan oleh seorang artis yang menjadi idola para remaja
menjadi lebih penting (untuk ditiru) dibandingkan dengan kerja keras dan usaha yang
dilakukan artis idolanya itu untuk sampai pada kepopulerannya. Keadaan ini
membuat produk yang dibeli bukan sekedar digunakan untuk memenuhi kebutuhan
(need) saja, tetapi seringkali didorong oleh keinginan (want) yang sifatnya bisa
ditunda seperti mengikuti mode, menaikkan prestise, menjaga gengsi dan berbagai
alasan lain yang sifatnya kurang penting. Sebagaimana pendapat Mike Fatherstone
(dalam Suyanto, 2001:20) yang menyatakan bahwa sebagai ciri-ciri perilaku
konsumtif, para remaja biasanya membeli sesuatu lebih didorong karena adanya
ezzart, yakni “nilai pakai kedua” dari sebuah barang yang tidak lain adalah gengsi.
Agar tidak dianggap ketinggalan jaman, atau terlalu jauh dari standar penampilan
teman-temannya.
Pembelian impulsif pada remaja diduga terkait dengan karakteristik
psikologis yang dimiliki oleh remaja yaitu konsep diri mereka sebagai remaja dan
tingkat konformitas terhadap kelompok teman sebaya. Masa remaja merupakan
tahapan peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang ditandai dengan
berbagai perubahan baik dalam aspek fisik, sosial, dan psikologis. Perubahan
25
tersebut bermuara pada upaya menemukan jatidiri dan identitas diri. Terdorong oleh
hasrat untuk pencapaian tujuan-tujuan tertentu dari dalam diri seperti keinginan
tampil berbeda atau lebih menonjol dari yang lain dan kebanggaan akan penampilan
pribadinya karena bisa tampil gaya, gaul, dan jauh dari stempel “kuper” atau
ketinggalan zaman, status sosial, terhindar dari keadaan bahaya dan untuk tujuan-
tujuan yang lain, remaja lalu mengkonsumsi berbagai produk yang dianggap mampu
menghentikan perasaan negatif pada dirinya karena mereka lebih dikuasai oleh
dorongan yang menggambarkan fantasi dan diri idealnya. Melalui konsep diri inilah
remaja dapat memperoleh gambaran tentang dirinya secara utuh, baik yang bersifat
fisik, sosial dan psikologis, diperoleh melalui pengalaman dan interaksi individu
dengan orang lain.
Keadaan di atas sesuai dengan hasil penelitian dengan judul “Hubungan
antara Konsep Diri dengan Perilaku Konsumtif Remaja Putri Dalam Pembelian
Kosmetik Melalui Katalog di SMA Negeri 1 Semarang” yang dilakukan oleh Parma
(2007:15). Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi sederhana
menunjukkan hasil rxy = -0,350, F = 20,078 dengan p = 0,000 (p < 0,005). Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan
perilaku konsumtif, yang berarti semakin negatif konsep diri maka semakin tinggi
perilaku konsumtif remaja putri dalam pembelian kosmetik melalui katalog di SMA
Negeri 1 Semarang. Efektifitas regresi dalam penelitian ini adalah sebesar 0,122,
artinya konsep diri mempengaruhi sebesar 12,2% terhadap perilaku konsumtif
remaja putri dalam pembelian kosmetik melalui katalog.
Lebih jauh lagi, remaja cenderung loyal pada kelompok mereka dan
mengikuti perilaku kelompok tersebut, yang dalam pemasaran disebut sebagai
kelompok referensi (Noviandra, 2006:66). Adanya fenomena konformitas juga
disinyalir menjadi pencetus terjadinya perilaku pembelian impulsif pada remaja.
Minat pribadi timbul karena remaja menyadari bahwa penerimaan sosial terutama
peergroup-nya sangat dipengaruhi oleh keseluruhan yang dinampakkan remaja.
Kemampuan yang dimiliki remaja dapat meningkatkan atau menurunkan pandangan
teman-teman sebaya terhadap dirinya. Sesuatu yang bersifat pribadi seperti tampang,
bentuk tubuh, pakaian atau perhiasan, dan sebagainya, sangat diminati karena erat
berkaitan dengan keberhasilannya dalam pergaulan. Remaja berusaha membentuk
26
citra atau image tentang dirinya dan upaya ini terlihat dalam suatu gambaran tentang
cara setiap remaja mempersepsikan dirinya. Termasuk didalamnya cara remaja
menampilkan diri secara fisik sehingga mendorong remaja melakukan berbagai
upaya agar tampilan fisiknya sesuai dengan tuntutan komunitas sosial mereka.
Sebagaimana penelitian analisis regresi sederhana yang berjudul “Hubungan
Antara Konformitas Terhadap Kelompok Teman Sebaya dengan Pembelian Impulsif
pada Remaja” yang dilakukan oleh Sihotang (2009:18), menunjukkan seberapa besar
hubungan antara konformitas terhadap kelompok teman sebaya dengan pembelian
impulsif pada remaja melalui rxy= 0,189 dengan p = 0,008 (p < 0,05). Koefisien
korelasi tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara variabel konformitas
terhadap kelompok teman sebaya dengan pembelian impulsif pada remaja. Tingkat
signifikan sebesar p = 0,008 (p < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara konformitas terhadap kelompok teman sebaya dengan pembelian
impulsif pada remaja.
Permasalahan kemudian muncul ketika dalam usaha untuk memenuhi
kebutuhan tersebut para remaja mengembangkan perilaku yang mengarah pada pola
konsumtif yang berlebihan. Hal ini bisa membuat mereka masuk pada pola perilaku
pembelian impulsif, yang tidak lain adalah merupakan salah satu aspek dari perilaku
konsumtif itu sendiri.
Pembelian impulsif merupakan suatu fenomena psiko - ekonomik yang
banyak melanda kehidupan masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan.
Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat pembelian impulsif juga melanda
kehidupan remaja kota-kota besar yang sebenarnya belum memiliki kemampuan
finansial untuk memenuhi kebutuhannya.
Secara umum perilaku pembelian impulsif remaja sudah lama menjadi
perhatian para pebisnis retail. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu
pasar yang potensial sebagai konsumen yang selalu ingin mencoba, memiliki serta
membeli sesuatu yang menjadi mode yang trendi dan membudaya dikalangan remaja
saat ini (Subarjo, 1981:11). Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang
terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan
iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam
menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian
27
produsen untuk memasuki pasar remaja (Tambunan, 2001:2). Remaja juga lebih
peduli pada trend yang sedang berkembang di pasar dibandingkan kelompok usia
yang lain. Mereka juga menjadi memiliki perhatian dan sensitivitas yang cukup besar
terhadap produk atau merek yang sedang tren dipasaran. Mereka tidak saja berperan
menjadi trendsetter bagi orang-orang yang sebaya, melainkan juga mampu menjadi
trendsetter bagi populasi secara umum (Martin dan Bush, 2000, dalam Noviandra,
2006:66). Para remaja juga mempunyai tingkat konsumsi yang sangat tinggi, sangat
mudah melakukan pembelian bahkan untuk produk-produk yang kurang dibutuhkan
atau bahkan tidak dibutuhkan. Perilaku mudah belanja pada kelompok usia remaja
ini dilatarbelakangi ketersediaan sumber daya finansial dari orang tua mereka. Selain
itu pada usia ini, remaja belum mempunyai penghasilan sendiri, sehingga
penghargaan mereka tentang uang pun belum terbentuk dengan baik (Noviandra,
2006:66).
Pada umumnya remaja berperilaku konsumtif berkaitan dengan produk yang
berwujud mode atau style popular. Sifat remaja yang mudah terpengaruh oleh rayuan
penjual, iklan, romantis, impulsif, tidak dapat berfikir hemat, dan kurang realistis
dalam berpikir dapat membawa remaja pada perilaku membeli yang tidak wajar,
yaitu perilaku konsumtif (Lina dan Rosyid, 1997:6). Loudon dan Bitta (1993:149)
berpendapat bahwa remaja adalah kelompok yang berorientasi konsumtif karena
remaja suka mencoba hal-hal yang baru, tidak realistik dan cenderung boros.
Perilaku konsumtif pada masa remaja, antara 12-18 tahun dapat terjadi karena usia
remaja merupakan masa peralihan dan pencarian identitas. Lingkungan pergaulan
remaja punya banyak pengaruh terhadap minat, sikap, pembicaraan, penampilan dan
perilaku lebih besar dibandingkan dengan pengaruh keluarga, hal ini disebabkan
pada masa remaja, remaja lebih banyak berada diluar rumah, mereka berusaha untuk
melepaskan diri dari pengaruh orang tuanya (Hurlock, 1980:213). Selain itu,
karakteristik remaja yang labil, spesifik, dan mudah dipengaruhi membuat mereka
sering dijadikan target pemasaran produksi industri sehingga akhirnya mendorong
munculnya berbagai gejala dalam membeli yang tidak wajar (Zebua dan Nurdjayadi,
2001).
Dengan berpatokan pada remaja yang impulsif dalam pembeliannya, pihak
perusahaan kemudian melakukan pembenahan atribut-atribut yang menyertai produk.
28
Mereka membuat tampilan yang memikat pada produk-produknya dengan harapan
atribut produk tersebut mampu menarik perhatian dan menumbuhkan kesan atau
persepsi positif konsumen remaja ini terhadap produk sehingga mereka spontan
melakukan pembelian.
Konteks sosial dapat mempengaruhi pembelian impulsif, khususnya ketika
berbelanja untuk mengisi waktu luang bersama kelompok. Pemenuhan kebutuhan
psikologis remaja sangat berpengaruh terhadap penyesuaian diri remaja. Penampilan
secara fisik menjadi hal yang diutamakan. Kesadaran akan adanya reaksi sosial
terhadap bentuk tubuh menyebabkan remaja lebih memperhatikan penampilan fisik
mereka. Remaja sadar dukungan sosial dipengaruhi penampilan yang menarik
berdasarkan apa yang dikenakan dan dimiliki (Meilaratri, 2004:19-28). Keinginan
untuk memenuhi tuntutan tersebut mendorong remaja untuk melakukan pembelian
impulsif.
Menurut laporan Crescentz2k (dalam Go girl, 9 April 2008), pada umumnya
penampilan sangat diperhatikan bagi remaja kota karena penampilan diri merupakan
suatu yang sulit dipisahkan keberadaannya bagi kaum muda/remaja serta terutama
dihadapan teman-teman sebaya, yang akan menghasilkan kesenjangan antara
bertambahnya barang konsumsi dalam segala bentuk atau bertambah luasnya
persepsi tentang kebutuhan dengan daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Cara
berpakaian dan pilihan warna, merek terkenal, model busana ataupun dalam hal apa
saja yang berkaitan dengan atribut yang dipakainya sebagai identitasnya sebagai
remaja adalah salah satu dari usaha remaja metropolitan untuk membentuk citra
tertentu melalui penampilannya.
Pada dasarnya konsumen melakukan pembelian serta penggunaan suatu
produk menurut Sutisna (2002:88) dikarenakan mereka merasa bahwa citra dirinya
bisa dipresentasikan oleh produk itu. Hal ini berkaitan erat dengan pemenuhan
kebutuhan pribadi (self – esteem ), seperti kebutuhan untuk dihargai dan dihormati
orang lain, dikenal orang dan mempunyai status terpandang atau untuk menaikkan
prestise (Assauri, 1999:122). Meningkatnya kecenderungan remaja untuk berbelanja
di supermarket atau mal mendorong terjadinya pembelian secara tiba-tiba atau
pembelian impulsif. Sebagai contoh, ketika sedang jalan-jalan di mal seseorang
melihat ada pakaian model baru yang terpajang bagus di etalase, supaya dirinya
29
dinilai sebagai sosok yang selalu up to date, akhirnya memutuskan membeli
meskipun ketika berangkat dari rumah tidak ada rencana untuk membeli pakaian.
Alasan membeli barang yang tidak direncanakan, seperti baju, tas dan sepatu di mal
lebih banyak akibat tergiur diskon atau model yang menarik perhatian. Akhirnya,
kerap mereka harus merogoh isi dompet atau menggesek kartu kredit demi
memenuhi keinginan tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa produk-produk yang
ditawarkan mampu memberikan pengaruh secara psikologis bagi kehidupan
pembelinya.
Pembelian produk secara tiba-tiba terjadi karena konsumen melakukan
respon terhadap stimulus yang ada pada saat melakukan pembelian. Jadi, dengan
tanpa berpikir panjang (spontan) terlebih dahulu, konsumen akan membeli produk-
produk yang bisa mempresentasikan citra dirinya. Dittmar (dalam Buendicho, 2003)
percaya bahwa “mengonsumsi produk menunjukkan identitas diri” dan menentukan
peningkatan pada pembelian impulsif. Perilaku pembelian impulsif dapat terjadi pada
kategori produk tertentu, termasuk pada produk makanan ringan.
Menurut Simonson (1989:10) dalam memilih produk, konsumen tidak
semata-mata melihat utilitas atau kepuasan yang diperoleh dari produk tersebut tetapi
juga memperhitungkan bagaimana orang lain menilai produk pilihannya. Remaja
akan memilih produk yang dapat menyeimbangkan kepuasan yang diperoleh dari
mengkonsumsi produk tersebut dan persepsi orang lain terhadapnya. Oleh karena itu
dalam pemilihan produk, konsumen membutuhkan alasan sebagai pembenaran atas
pilihannya. Kebutuhan akan pembenaran ini merupakan refleksi dari hasratnya akan
penghormatan atas diri sendiri atau self-esteem (Hall and Lindzey 1989),
menghindari penyesalan dalam pemilihan produk (Bell 1982), ketidakseimbangan
mental (Festinger 1957), dan persepsi orang lain terhadap dirinya sebagai pembeli
yang rasional (Abelson 1964) (dalam Simonson, 1989:10).
Jika seseorang sudah terobsesi terhadap suatu produk, maka ia akan berusaha
keras untuk mendapatkannya dengan berbagai cara. Bagi beberapa remaja mungkin
akan menggunakan uang sakunya atau minta uang tambahan pada orang tuanya
(Swa, 30 November-11 Desember 2000) atau bahkan sampai melakukan hal-hal yang
bersifat ekstrim seperti menjual diri (Gatra, 3 Januari 1998) dan mencuri (Hirschman,
1992 dalam Djudiyah dan Hadipranata, 2002:63). Kondisi seperti ini bukan tidak
30
mungkin akan menimbulkan perilaku yang merugikan dirinya bahkan meresahkan
masyarakat. Remaja akan melakukan berbagai macam cara untuk memuaskan
keinginannya untuk berbelanja.
Survei yang dilakukan oleh Deteksi Jawa Pos menemukan bahwa 20,9 % dari
1.074 responden yang berstatus sebagai pelajar yang berdomisili di Jakarta dan
Surabaya mengaku pernah menggunakan uang SPP-nya untuk membeli barang
incarannya ataupun hanya untuk bersenang-senang (Jawa Pos, 2003).
Penelitian lain yang juga terkait adalah penelitian yang dilakukan oleh
Andryani (2007:65) tentang ”Hubungan Antara Pembelian Impulsif (Impulsive
Buying) Dengan Perilaku Berhutang (Dissaving)” diketahui bahwa bahwa ada
hubungan positif dan signifikan (r=0.818, P= 0.000) antara pembelian impulsif
dengan perilaku berhutang, Adapun sumbangan efektif variabel pembelian impulsif
pada perilaku berhutang adalah sebesar 66.9% yang dilihat dari koefisien determinan
(r2) sebesar 0.669. Hal ini berarti variabel pembelian impulsif menyumbangkan
66.9% kepada perilaku berhutang.
Pembelian impulsif berarti kegiatan untuk menghabiskan uang yang tidak
terkontrol, kebanyakan pada barang-barang yang tidak diperlukan (Hatane, 2005).
Hal ini cenderung mengarahkan individu pada orientasi gaya hidup yang lebih
memacu pada aspek-aspek materiil yang berlebihan. Karena itu adanya ketersediaan
uang (apalagi jika cukup banyak) dan materialisme akan semakin memicu terjadinya
pembelian impulsif.
Penelitian Djudiyah dan Hadipranata (2001:65-66) mengenai “Hubungan
antara Pemantauan Diri, Harga Diri, Materialisme dan Uang Saku dengan Pembelian
Impulsif pada Remaja”, data diperoleh dari 380 pelajar, murid SMUN 1 dan SMUN
6 Malang. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan
sangat signifikan antara materialisme, pemantauan diri dan uang saku dengan
pembelian impulsif pada remaja, sedangkan hubungan yang negatif dan signifikan
terdapat pada hubungan variabel harga diri dengan pembelian impulsif. Sumbangan
efektif keseluruhan variabel bebasnya terhadap pembelian impulsif adalah sebesar
58,938 %. Masing-masing hasil analisis korelasi parsial yang dilakukan adalah
sebagai berikut : Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan dan
positif antara materialisme (rx1y-sisa x = 0,352; p = 0.000) dan uang saku (rx4y-sisa
31
x = 0.107; p = 0.036) dengan pembelian impulsif. Artinya semakin tinggi
materialisme maka semakin tinggi pula pembelian impulsif, begitu pula pada uang
saku, semakin tinggi uang saku maka semakin tinggi pembelian impulsif.
Hasil penelitian di atas membuktikan bahwa individu dengan nilai
materialisme tinggi menempatkan benda atau ”things” lebih dari pada ”orang lain”.
Hal ini disebabkan karena benda atau materi mempunyai makna tertentu baginya,
baik makna instrumental terutama makna simbolik atau makna personal dan sosial,
ditambah untuk tujuan fungsional yang alamiah. Kepemilikan materi merupakan
simbol dari keanggotaan kelas (Veblen dalam Engel et al., 1995). Hasil penelitian ini
juga membuktikan bahwa semakin besar penghasilan atau uang saku yang diterima
remaja baik dari orang tua maupun kerja sambilan akan semakin menambah
kecenderungan mereka untuk membeli berbagai macam produk bahkan produk
dengan harga mahal, sehingga mereka cenderung melakukan pembelian impulsif.
Apabila tidak dikontrol, pembelian impulsif dapat menjadi habit atau
kebiasaan yang tidak sehat. Membeli secara impulsif tentu juga akan menimbulkan
masalah keuangan. Membeli suatu barang tanpa perencanaan akan mengakibatkan
membengkaknya anggaran atau pengeluaran. Melakukan pembelian secara impulsif,
apalagi cukup sering akan membuat konsumennya menjadi big spender, boros dan
selalu merasa kekurangan uang karena semua penghasilannya dihabiskan untuk
belanja (Masassya, Mei 2006).
Menghabiskan uang dapat membuat suasana hati seseorang berubah secara
signifikan, dengan kata lain uang adalah sumber kekuatan. Jika memiliki simpanan
uang berlebih tentu tidak jadi masalah, tetapi bagaimana jika tidak?. Dapat dipastikan
mereka akan mengalami kesulitan ekonomi dimasa mendatang karena
penghasilannya terkuras untuk membeli barang-barang yang kurang berguna
baginya. Itulah sebabnya perilaku pembelian impulsif diasosiasikan dengan
kecenderungan mengabaikan dampak-dampak buruk yang mungkin terjadi dan yang
dapat mengakibatkan penyesalan, misalnya berkaitan dengan uang yang sudah
terlanjur dibelanjakan atau kualitas produk yang dibeli.
Sebenarnya praktisi marketing telah lama menyadari pentingnya perilaku
impulsif konsumen, terlebih konsumen remaja. Banyak perusahaan menghabiskan
sejumlah besar sumber dananya untuk melakukan iklan (advertising) produk untuk
32
meraih pelanggan. Dholakia (2000) menyebutkan bahwa banyak retail mendasarkan
pengemasan barang yang lebih memfokuskan pada pemerolehan konsumen yang
melakukan pembelian impulsif pada produk dititik penjualan (dalam Djudiyah dan
Hadipranata, 2002:60). Pangsa pasar yang dituju adalah remaja dan kalangan
masyarakat yang potensial sebagai konsumen yang selalu ingin mencoba, memiliki
serta membeli sesuatu yang menjadi mode dan membudaya. Perilaku konsumsi
remaja ini dipandang sebagai peluang bisnis yang sangat besar dan tidak akan pernah
mati oleh banyak pemasar.
Secara umum perilaku pembelian impulsif remaja sudah lama menjadi
perhatian para pebisnis retail. Remaja cenderung untuk berbelanja pada tipe-tipe
produk yang atributnya dirasa cocok dengan kepribadiaan mereka. Para retailer harus
menarik minat para konsumen remaja ini dengan berbagai cara karena perilaku
belanja sangat dirumitkan dengan faktor-faktor psikologis, sosial, ekonomi dan lain-
lain. Para retailer sebenarnya tidak banyak mengetahui tentang apa yang berada
dalam fikiran seorang pembeli baik pada waktu sebelum, saat dan setelah membeli
sesuatu. Dengan berpatokan pada remaja yang impulsif dalam pembeliannya, pihak
perusahaan kemudian melakukan pembenahan atribut-atribut yang menyertai produk
yang mereka pasarkan. Mereka membuat tampilan yang memikat pada produk-
produknya dengan harapan atribut produk tersebut mampu menarik perhatian dan
menumbuhkan kesan atau persepsi positif konsumen remaja terhadap produk
sehingga mereka spontan melakukan pembelian.
Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa persepsi tentang atribut produk
mewakili salah satu faktor penentu yang sangat penting sebagai pemicu terjadinya
pembelian oleh konsumen, dalam hal ini remaja. Dari berbagai penelitian
sebelumnya diketahui bahwa atribut produk dan faktor persepsi menjadi salah satu
poin penting yang turut mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan
pembeliannya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah atribut-atribut produk
tersebut memberikan dampak bagi konsumen remaja dalam membuat suatu
keputusan pembelian yang tidak wajar (perilaku pembelian impulsif) ketika membeli
suatu produk?. Adanya persepsi yang tercipta di benak konsumen remaja mengenai
atribut-atribut yang ditawarkan oleh suatu produk ditambah dengan adanya harapan
33
suatu pemenuhan kebutuhan melalui pengkonsumsian atribut-atribut produk tersebut
diduga mendorong remaja untuk melakukan pembelian impulsif.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka peneliti
tertarik untuk meneliti Hubungan Antara Persepsi tentang Atribut Produk
dengan Pembelian Impulsif pada Remaja sebagai bahan penelitian dalam rangka
memenuhi penyusunan tugas akhir atau skripsi.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah penelitian yang dapat diangkat berdasarkan latar
belakang permasalahan di atas adalah apakah ada hubungan antara persepsi tentang
atribut produk dengan pembelian impulsif pada remaja?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengungkap dan
mengetahui hubungan antara persepsi tentang atribut produk dengan pembelian
impulsif.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan
teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi ilmu
psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi terutama pada
bidang konsumen.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan pada
masyarakat luas, terutama remaja agar dapat lebih memahami dan
mampu mengontrol diri dalam melakukan pembelian sehingga dapat.
menerapkan perilaku membeli yang baik serta bagi produsen agar
dapat lebih memahami kebutuhan dan keinginan konsumen akan
atribut-atribut produk yang ditawarkan sebagai upaya untuk menarik
konsumen dalam melakukan pembelian impulsif.