Post on 13-Mar-2019
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangAgar keberlangsungan hidup setiap manusia
terjamin maka kebutuhan dasar akan pendidikan harus
terpenuhi sehingga lebih bermartabat dan percaya diri.
Oleh karena itu negara mempunyai kewajiban kepada
setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang
memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) untuk
mendapat pelayanan pendidikan yang bermutu sebagai-
mana pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “tiap-tiap
warga negara berhak mendapatkan peng- ajaran”. Begitu
juga pada bab IV pasal 5 ayat 4UU No. 20 tahun 2003
mengenai Sisdiknas mengamanatkan bagi warga negara
yang memiliki bakat istimewa dan kemampuan kecer-
dasan lebih berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 12 ayat 1f mempunyai makna bahwa setiap peserta
didik pada satuan pendidikan berhak menuntaskan
program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan
batas waktu yang ditentukan.
Maksud pendidikan khusus sesuai UU No. 20
Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 menjelaskan bahwa pen-
didikan untuk anak didik yang mempunyai tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
2
kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pandangan Staub
dan Peck (Tarmansyah, 2007:83), pendidikan inklusi
adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan
berat secara penuh di kelas. Pendidikan khusus adalah
pendidikan bagi anak yang mempunyai penyimpangan
(secara signifikan) membutuhkan layanan yang menun
jang guna mengoptimalkan perkembangan potensinya.
Agar potensinya dapat berkembang secara optimal dan
tidak ada jurang pemisah antara peserta didik maka
dibutuhkan pendidikan khusus. Landasan Anak Ber
kebutuhan Khusus (ABK) dalam pemerataan kesempatan
belajar sesuai dengan pernyataan Salamanca tahun 1994.
Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan
educational for all dengan mempertimbangkan pergeseran
kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalak-
kan pendekatan pendidikan inklusif (Pristiwaluyo, 2009:2)
Begitu juga Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005
mengenai Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 ayat 1
telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi
dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan
yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki
tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi penye-
lenggaraan pembelajaran bagi siswa dengan kebutuhan
khusus. Undang-Undang tentang pendidikan inklusi dan
3
bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya pun
telah dilakukan (Kustawan, 2012:2).
Tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi supaya
anak ABK dengan anak normal mempunyai kesempatan
secara bersama-sama untuk mengikuti pendidikan mau-
pun beradaptasi dengan lingkungannya. Dasartersebut
sudah jelas, yakni dalam pembukaan UUD 1945 alenia
empat bahwa pemerintah melindungi segenap warga
negara dan mencerdaskan kehidupan bangsa, UU No. 29
Tahun 2003, UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
hal pendidikan, PP No. 72 Tahun 1991 tentang Pen-
didikan Luar Biasa, dan SK Dirjen Dikdasmen Depdiknas
No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.
UNESCO mengungkapkan yang dikutip oleh Pristiwaluyo
(2009:8) bahwa pendidikan inklusi diarahkan untuk
menyediakan atau mengakomodasi spektrum kebutuhan
belajar yang sangat luas dalam seting pendidikan formal
dan informal dan tidak sekedar mengntegrasikan anak-
anak yang termajinalkan dalam pendidikan mainstream.
Guru sekolah dasar pada umumnya belum mem-
punyai pengalaman mengajar siswa ABK. Pengalaman
Sangita seorang dokter yang beralih profesi menjadi
pengajar anak berkebutuhan khusus menyatakan:
”Mengajar anak berkebutuhan khusus bukan perkara
mudah. Perlu ada pengetahuan dan keterampilan khusus
4
untuk menangani mereka, di samping pentingnya kerja-
sama dengan orang tua sang anak. Namun, satu hal yang
patut dimiliki guru untuk mampu membantu tumbuh
kembang dan pendidikan anak berkebutuhan khusus
adalah hati yang mengasihi!” (cae-indonesia.com/meng-
ajar-anak berkebutuhan-khusus-mengajar deng...). Jadi
dari kutipan tersebut menjelaskan bahwasiswa berke-
butuhan khusus harus dihadapi dengan kemampuan
khusus juga. Artinya tidak semua orang bias melayani
mereka tanpa ketrampilan khusus. Guru tidak tahu apa
yang harus dilakukan untuk siswanya baik siswa normal
maupun berkebutuhan khusus. Sebab guru belum mema
hami mengenai anak berkebutuhan khusus. Guru di
sekolah dasar biasanya baru mengetahui mengenai anak
tuna daksa, tuna rungu dan, tuna netra. Sedangkan
kalau siswa autisme karena relative mudah dideteksi dan
dikenali. Biasanya jenis lain belum begitu banyak dikenali
sehingga sangat mungkin memberikan perlakuan yang
kurang sesuai.
Pendidikan inklusi merupakan pendekatan untuk
mengubah sistem kebutuhan peserta didik yang sangat
beragam dengan mengakomodasi melalui pendidikan.
Tujuannya agar memungkinkan baik guru maupun siswa
merasa nyaman dengan adanya perbedaan, dijadikan
sebagai tantangan dalam pembelajaran dan bukan diang-
gap beban. Dengan adanya sekolah inklusi harapannya
5
bisa memotivasi sekolah regular agar mampu memberi
pelayanan kepada semua siswa, terutama bagi yang mem-
punyai kebutuhan khusus. Pembelajaran yang dilaksana-
kan pada pendidikan inklusi bias dilihat dari hasilnya.
Karena kegiatan pembelajaran sebagai inti dari keter-
capaian kurikulum yang dilaksanakan, dan mutu
pendidikan atau lulusan bisa dilihat dari keberhasilan
proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Anak-anak
yang memiliki kelainan atau kecerdasan luar biasa
mempunyai kesempatan yang sama agar potensi yang
dimiliki bisa berkembang optimal bersama dengan anak-
anak normal lainya yang tergabung di kelas inklusi,
karena pada dasarnya mereka merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu komunitas. Hal ini menarik
untuk disoroti, bahwasanya pembelajaran di kelas inklusi
yang siswanya hiterogen dengan berbagai macam
karakteristik yang berbeda, perilaku, aktivitas, kemam-
puan dan kreativitas yang dimiliki mereka mampu
melaksanakan proses pembelajaran (Ibrahim, 2003:34).
Bagi guru dan siswa ini merupakan suatu tantangan
bagaimana agar berhasil dalam pelaksanaan proses
pembelajaran. Maka dari itu perlu ada inovasi pem-
belajaran dan daya kreativitas guru sangat diperlukan.
Dengan cara apa untuk memotivasi siswa, reaksi siswa
terhadap materi yang diberikan, perilaku siswa dalam
kelas, pemberian umpan balik (feet back), evaluasi sampai
6
dengan hasil belajar yang diperoleh menjadi tantangan
tersendiri.
Penanganan belajar siswaABK memerlukan ketram-
pilan khusus sesuai dengan karakteristiknya. Oleh
karena itu, dalam pembelajaran di kelasinklusi, perlu
dibantu oleh guru pendidikan khusus. Guru pendidikan
khusus (GPK) ini bertugas membantu guru kelas saat
pelaksanaan KBM, dan memberikan bimbingan secara
langsung pada ABK yang memang membutuhkannya.
Komponen lain yang dapat dimanfaatkan guru
untuk membantu ABK dalam proses pembelajaran adalah
tutor sebaya, yaitu siswa lain yang memiliki kemampuan
lebih diarahkan untuk membantu belajar ABK (Direktorat
PLB, 2007:4).
Sekolah Dasar Negeri 1 Panimbo adalah salah satu
sekolah dasar di Kecamatan Kedungjati Kabupaten
Grobogan yang telah ditunjuk sebagai rintisan penyeleng-
gara sekolah inklusi oleh Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Grobogan bekerjasama dengan
lembaga internasional Plan Indonesia Grobogan berdasar-
kan Surat Keputusan Nomor: 421/3129/B/2007 ter-
tanggal 2 Mei tahun 2007. SD Negeri 1 Panimbo sebagai
sekolah penyelenggara inklusi menjadi harapan peme-
rintah dan masyarakat untuk mewujudkan sekolah yang
dapat mengakomodir keragaman siswa. SD Negeri 1
Panimbo sejak ditunjuk untuk melaksanakan pendidikan
7
inklusi sampai dengan saat ini sudah 9 tahun yaitu
dimulai sejak tahun 2007. Penyebaran banyaknya siswa
inklusi selama 9 tahun dapat dilihat padatabel berikut.
Tabel 1.1
Penyebaran Siswa Inklusi SDN 1 Panimbo
1Tahun Ajaran Jumlah Siswa Inklusi
1 2007/2008 31
2 2008/2009 33
3 2009/2010 37
4 2010/2011 35
5 2011/2012 32
6 2012/2013 32
7 2013/2014 32
8 2014/2015 27
9 2015/2016 27
Sumber data siswa ABK SDN 1 Panimbo
Selama 9 tahun program sekolah inklusi berjalan
di SD Negeri 1 Panimbo banyaknya siswa inklusi pada
setiap tahun jumlahnya berbeda. Tingkatan siswa ABK
kebanyakan adalah slow leaner (lambat belajar) dan
hanya ada satu,dua siswa ABK yang lainnya. Setiap siswa
inklusi akan digabungkan pada kelas yang sama dengan
siswa regular. Tidak ada kelas khusus bagi siswa inklusi.
Siswa berkebutuhan khusus disesuaikan kelas masing-
masing sesuai tingkatan (dagrasi), sehingga disetiap kelas
8
ada siswa berkebutuhan khusus. Daya tampung siswa
berkebutuhan khusus tidak dibatasi dalam penerima-
annya yaitu menyesuaikan jumlah siswa yang ada. Pada
tahun ajaran 2015/2016 pada semester dua jumlah siswa
seluruhnya sebanyak 137 siswa. Dari jumlah tersebut
yang termasuk memiliki kebutuhan khusus sebanyak 27
siswa yaitu kelas satu sebanyak 6 siswa, kelas dua 5,
kelas tiga , kelas empat 5 orang, kelas lima 7 orang dan
kelas enam 4 orang. Penyelenggaraan pendidikan inklusi
di SD Negeri 1 Panimbo adalah dengan menggabungkan
siswa yang berkebutuhan khusus dari tingkat ringan,
sedang, dan berat dikelas regular secara bersama.
Penempatan siswa inklusi ada disetiap jenjang atau kelas,
sehingga tidak ada kelas khusus. Sosialisasi pendidikan
inklusi selalu diberikan kepada siswa dan walimurid pada
awal tahun supaya mereka tahu apa itupendidikan
inklusi dan dapat menerima dengan baik, saat dikelas
karena ada siswa berkebutuhan khusus.
Pada kenyataannya penyelenggaraan pendidikan
inklusi di SD Negeri 1 Panimbo belum bias terlaksana
secara maksimal. Masih ada hambatan-hambatan yang
ditemukan di lapangan dan perlu ditangani. Pemerintah
baru bias memberikan bantuan beasiswa bagi ABK.
Itupun belum semua siswa yang tergolong ABK mendapat
beasiswa hanya berkisar 50% sampai 80% yang mendapat
9
dari jumlah ABK keseluruhan. Bahkan untuk tahun 2015
beasiswa untuk ABK juga tidak ada.
Dengan demikian, maka perlu dilakukan pengka-
jian dalam rangka mengevaluasi untuk mengumpulkan
informasi tentang pelaksanaan program inklusi di SD
Negeri 1 Panimbo sebagai sekolah inklusi yang selan-
jutnya informasi tersebut nantinya dapat digunakan
sebagai alternatif yang tepat dalam pengambilan keputus-
an. Pentingnya dilakukan evaluasi adalah untuk menen
tukan rekomendasi kebijakan selanjutnya agar pembe-
lajaran yang berlangsung dapat lebih meningkat atau
diperbaiki. Adapun model evaluasi yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode evaluasi CIPP. Dalam
penelitian evaluasi program banyak menerapkan Model
CIPP.Adapun tokoh CIPP ini adalah Stufflebeam dan
kawan-kawan pada tahun 1967 di Ohio State University.
CIPP merupakan singkatan dari Context Evaluation, Input
Evaluation, Process Evaluation, product Evaluation. Model
CIPP adalah model evaluasi yang memandang program
yang dievaluasi sebagai suatu sistem, sehingga bila
menggunakan model ini maka harus menganalisis
program tersebut berdasarkan komponen-komponennya
(Arikunto, 2004:25).
Gambaran dari pelaksanaan program pendidikan
sekolah inklusi di SD Negeri 1 Panimbo diperoleh dengan
cara melakukan evaluasi program pendidikan inklusi di
10
SD Negeri 1 Panimbo Kecamatan Kedungjati Kabupaten
Grobogan yang penyelenggaraannya dimulai tahun 2007.
Atas dasar hal ini, maka dilakukan penelitian evaluasi
program pendidikan inklusi di SD Negeri 1 Panimbo
tahun pelajaran 2015/2016.
1.2 Fokus Penelitian1. Evaluasi Context: Evaluasi context mendiskripsikan
keadaan lingkungan sekolah yang terdiri dari: 1)
Perlunya sekolah inklusi. 2) Tujuannya 3)
Dukungan masyarakat, komite,dan pimpinan 4).
Sosialisasi inklusi.
2. Evaluasi input: Evaluasi input menggambarkan: 1)
Kelengkapan sarana dan prasarana 2) Sumber daya
manusia 3) Semangat guru dan 4) Karakterisitik
siswa.
3. Evaluasi Prosess: Evaluasi prosess menggam-
barkan: 1) Evaluasi perencanaan program pendi
dikan inklusi di SD Negeri 1 Panimbo. 2) Evaluasi
pelaksanaan program. 3) Mengevaluasi penilaian
program 4) Identifikasi ABK serta kesulitan yang
dihadapi guru dalam mengajar ABK di sekolah
inklusif.
4. Evaluasi Product: Evaluasi product menggambarkan
hasil perkembangan akademik dan non akademik
anak ABK maupun kemampuan bersosial di sekolah
inklusif.
11
1.3 Rumusan Masalah1. Bagaimanakah konteks program pendidikan
inklusi di SD Negeri1 Panimbo?
2. Bagaimanakah input program pendidikan inklusi
di SD Negeri1 Panimbo?
3. Bagaimanakah proses program pendidikan inklusi
di SD Negeri1 Panimbo?
4. Bagaimanakah produk program pendidikan inklusi
di SD Negeri1 Panimbo?
5. Adakah dampak, faktor penghambatnya dalam
melaksanakan program inklusi di SD Negeri 1
Panimbo dan bagaimana solusinya?
1.4 Tujuan PenelitianAdapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini
adalah untuk:
1. Mengevaluasi konteks program pendidikan inklusi
di SD Negeri1 Panimbo
2. Mengevaluasi input program pendidikan inklusi di
SD Negeri 1 Panimbo
3. Mengevaluasi proses program pendidikan inklusi
di SD Negeri 1 Panimbo.
4. Mengevaluasi produk program pendidikan inklusi
di SD Negeri 1 Panimbo
5. Menyimpulkan dan memberikan saran agar
program pendidikan inklusi di SD Negeri 1
Panimbo diperbaiki dan dilanjutkan.
12
1.5 Manfaat PenelitianHasil dari penelitian evaluasi program pendidikan
inklusi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1.5.1 Manfaat TeoritisPenelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dan masukan untuk perkembangan pengetahuan
khususnya sekolah penyelenggara inklusi dalam
menyusun program dan sebagai referensi untuk
penelitian yang sama.
1.5.2 SecaraPraktisa. Bagi Guru
Sebagai motivasi atau dorongan dalam melaksana-
kan program pendidikan inklusi sehingga lebih
kreatif dan inovatif agar siswa ABK bias dilayani
walaupun sekolahnya berada diwilayah pinggiran.
b. Bagi Sekolah
Sebagai rekomendasi dalam mengevaluasi program
pendidikan inklusi untuk menentukan arah kebi-
jakan dalam mengambil keputusan guna mengem-
bangkan pendidikan inklusi.
c. Bagi Orang Tua dan Masyarakat
Memberi wawasan dan pengetahuan tentang pen-
tingnya pendidikan inklusi bagi anak ABK agar
orang tua/masyarakat yang mempunyai anak ABK
mau menyekolahkan di sekolah inklusi yang ada di
sekitarnya.