Post on 07-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Manajemen Farmasi dikenal beberapa aspek penting yakni,
Perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan organisasi, membuat strategi
untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi.
Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena
tanpa perencanaan fungsi-fungsi lain—pengorganisasian, pengarahan, dan
pengontrolan—tak akan dapat berjalan. Rencana dapat berupa rencana informal
atau rencana formal. Rencana informal adalah rencana yang tidak tertulis dan bukan
merupakan tujuan bersama anggota suatu organisasi. Sedangkan rencana formal
adalah rencana tertulis yang harus dilaksanakan suatu organisasi dalam jangka
waktu tertentu. Rencana formal merupakan rencana bersama anggota korporasi,
artinya, setiap anggota harus mengetahui dan menjalankan rencana itu. Rencana
formal dibuat untuk mengurangi ambiguitas dan menciptakan kesepahaman tentang
apa yang harus dilakukan. Sasaran adalah hal yang ingin dicapai oleh individu, grup,
atau seluruh organisasi. Sasaran sering pula disebut tujuan. Sasaran memandu
manajemen membuat keputusan dan membuat kriteria untuk mengukur suatu
pekerjaan.
Sasaran dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sasaran yang dinyatakan
(stated goals) dan sasaran riil. Stated goals adalah sasaran yang dinyatakan
organisasi kepada masyarakat luas. Sasaran seperti ini dapat dilihat di piagam
perusahaan, laporan tahunan, pengumuman humas, atau pernyataan publik yang
1
dibuat oleh manajemen. Seringkali stated goals ini bertentangan dengan kenyataan
yang ada dan dibuat hanya untuk memenuhi tuntutan stakeholder. Sedangkan
sasaran riil adalah sasaran yang benar-benar diinginkan.
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam
membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
secara sendirisendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat.
Selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi
apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasiaan. Apotek adalah suatu tempat
tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan
farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Definisi diatas ditetapkan berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No.
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek
pasal 1 ayat (a).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Harga merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pemasaran
suatu produk karena harga adalah satu dari empat bauran pemasaran / marketing
mix (4P = product, price, place, promotion / produk, harga, distribusi, promosi).
Harga adalah suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan
dalam satuan moneter.
Harga merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu perusahaan karena
harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh perusahaan
dari penjualan produknya baik berupa barang maupun jasa.
Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan akan menurun,
namun jika harga terlalu rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat
diperoleh organisasi perusahaan.
B. Tujuan Penetapan Harga
1. Mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
Dengan menetapkan harga yang kompetitif maka perusahaan akan
mendulang untung yang optimal.
2. Mempertahankan perusahaan
Dari marjin keuntungan yang didapat perusahaan akan digunakan untuk biaya
operasional perusahaan. Contoh : untuk gaji/upah karyawan, untuk bayar
3
tagihan listrik, tagihan air bawah tanah, pembelian bahan baku, biaya
transportasi, dan lain sebagainya.
3. Menggapai ROI (Return on Investment)
Perusahaan pasti menginginkan balik modal dari investasi yang ditanam pada
perusahaan sehingga penetapan harga yang tepat akan mempercepat
tercapainya modal kembali / roi.
4. Menguasai Pangsa Pasar
Dengan menetapkan harga rendah dibandingkan produk pesaing, dapat
mengalihkan perhatian konsumen dari produk kompetitor yang ada di
pasaran.
5. Mempertahankan status quo
Ketika perusahaan memiliki pasar tersendiri, maka perlu adanya pengaturan
harga yang tepat agar dapat tetap mempertahankan pangsa pasar yang ada.
C. Cara / Teknik / Metode Penetapan Harga Produk
1. Pendekatan Permintaan dan Penawaran (supply demand approach)
Dari tingkat permintaan dan penawaran yang ada ditentukan harga
keseimbangan (equilibrium price) dengan cara mencari harga yang mampu
dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk
jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan.
4
2. Pendekatan Biaya (cost oriented approach)
Menentukan harga dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan
produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan baik dengan markup
pricing dan break even analysis.
3. Pendekatan Pasar (market approach)
Merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung
variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan
kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lain-lain.
D. Penetapan harga dan pajak Obat di Apotik
1. Apotek Akan membeli Obat di Distributor
Apotek akan mengadakan obat-obatan dari Distributor Obat, PBF atau Sub
distributor Obat (Saya rangkum jadi Distributor saja). Para Distributor ini
memiliki marketing/sales obat yang datang ke Apotek secara rutin dan
memberikan informasi mengenai Obat baru, Obat daluwarsa dan yang paling
penting nih *diskon* obat yang akan dibeli. Mereka mempunyai daftar harga
dan bersaing mendapatkan Apotek untuk menjual obat-obat yang dijual.
Biasanya sales obat memberikan pelayanan Ekstra misalkan : diskon,
entertainment, dll. Tapi yang penting Apotek bisa mendapatkan obat.
2. Bagaimana Mendapatkan Diskon
Biasanya pihak distributor dan Pabrik obat memberikan diskon tertentu
kepada Apotek karena mereka biasanya di kejar target penjualan. Nah
karena target penjualan ini biasanya ada di akhir bulan, maka untuk itu
5
Apotek biasanya kudu siap-siap setiap tanggal 25-30 untuk menyiapkan obat
apa yang harus kita beli. Kalau mau membeli obat dengan jumlah besar
biasanya diskonnya juga besar, tapi apotek harus mempertimbangkan
bagaimana posisi keuangannya pada akhit bulan itu, kalau kebablasan beli
biasanya saat tagihan datang kita kudu minta sama sales untuk ditunda dulu
pembayarannya.
3. Mendapatkan Diskon
Jika beruntung distributor akan memberikan diskon sekitar 2,5% sampai 5 %,
biasanya kalau lebih dari itu jarang terjadi, meskipun demikian beberapa
merek tertentu bisa diberikan dalam bentuk obat misalkan : Beli 10 bonus 1,.
Diskon ini biasanya dilihat juga bagaimana rutinitas Apotek membeli Obat,
karena kelangsungan pembelian obat juga berpengaruh pada pemberian
diskon. Disamping itu jumlah obat dan lokasi apotek juga berpengaruh
dalam memberikan diskon obat.
4. Pemberian PPN 10%
Setiap obat yang dibeli di distributor akan dijual oleh apotek dengan kenaikan
10% karena PPN yang harus dibayar oleh Apotek. Nilai PPN ini cenderung
tetap dan standar terjadi di setiap apotek, meskipun demikian dapat juga
ditemukan apotek mencantumkan harga jual apotek minus PPN.
6
5. Pemberian Harga Jual Apotek
Dari harga yang sudah ditambahkan PPN, maka Apotek akan menambah
harga jual sesuai dengan kebijakan apotek tersebut. Misalkan : 10% sampai
80%. Ini tergantung dari : Jenis Apotek, Daerah/lokasi Apotek, Jenis Obat dll.
Misalkan : Di kota metropolitan keuntungan apotek sangat kecil, berkisar 5%-
15%, namun untuk di daerah Kabupaten di Luar Jawa, keuntungan bisa
mencapai 40%-80%. Namun harus diperhatikan bahwa di kota metropolitan
jumlah pelanggan sangat besar jika dibandingkan daerah terpencil.
6. Pemberian Uang Resep/Jasa
Nilai uang resep ini sangat tergantung dari Apotek yang melayani, misalkan 1
buah resep akan diberikan jasa Rp.300 , maka harga obat akan ditamba
Rp.300. Uang ini biasanya di bagi untuk Apoteker dan Asisten Apoteker di
Apotek, karena mereka harus mempersiapkan obat dan harus menghitung
dosis dengan tepat. Selain itu Apoteker juga dituntut untuk memberikan
komunikasi,informasi dan edukasi. Uang Jasa dokter juga kadang dilibatkan
juga dalam resep obat, ini tergantung dari dokternya karena tidak semua
dokter mau menerima uang jasa apotek karena harga obatnya biasanya jadi
mahal dan bikin dokter nggak laris.
Jadi obat yang dibeli dengan resep tentu sedikit lebih mahal jika
dibandingkan dengan obat yang dibeli tanpa resep. Oleh sebab itu Harga
Jual Obat Di Apotek adalah =
[Harga Distributor] + [PPN 10 %] + [Harga jual Apotek] + [Uang
Resep/Jasa dokter]
7
E. Macam-macam pajak yang dikenakan pada Apotik
1. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21
Definisi PPh 21 dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK/2008
menyebutkan bahwa PPh 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Besarnya PPh 21 dihitung berdasarkan penghasilan netto dikurangi dengan
penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Penghasilan netto adalah penghasilan
setelah dikurangi tunjangan jabatan sebesar 5% dari jumlah penghasilan dan
maksimal Rp. 500.000,00 per bulan. Berdasarkan UU Pajak Penghasilan No.
36 tahun 2008 tentang perubahan keempat UU RI No.7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan pada pasal 7 menjelaskan tentang besarnya PTKP yaitu
seperti pada Tabel 1.
Tabel 1
2. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23
8
PPh pasal 23 mengatur pajak bagi apotek yang berbentuk badan bisnis. yaitu
mengatur pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan berupa deviden,
bunga royalti, sewa, hadiah, penghargaan, dan imbalan jasa tertentu.
Besarnya PPh 23 adalah deviden dikenai 15% dari keuntungan yang
dibagikan.
3. Pajak penghasilan (PPh) pasal 25
PPh pasal 25 adalah pembayaran pajak yang berupa cicilan tiap bulan
sebesar 1/12 dari pajak keuntungan bersih tahun sebelumnya, angsuran pajak
yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri dari pajak keuntungan bersih tahun
sebelumnya (dihitung berdasarkan neraca rugi-laba sehingga dapat diketahui
sisa hasil bisnis/SHU atau keuntungan). PPh pasal 25 ini dibayarkan dalam
bentuk SPT Masa dan SSP setiap bulan.
Tarif PPh orang pribadi atau badan berdasarkan UU RI. No 17 tahun 2000
yang kemudian diperbaharui dalam UU RI No. 36 tahun 2008 tentang pajak
penghasilan adalah sebagai berikut :
Pajak pribadi/perorangan
Perhitungan PPh pribadi ada 2 cara, yaitu dengan pembukuan membuat
neraca laba-rugi dan menggunakan norma jika omset kurang dari Rp.
4.800.000.000,00/tahun (menurut UU RI No.36 tahun 2008). Tarif pajak PPh
pribadi dapat dilihat pada Tabel 2.
9
Tabel 2
Penghitungan berdasarkan norma dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Menurut wilayah:
10 ibukota provinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar, Manado, dan Pontianak)
terkena pajak sebesar 30%; Ibukota provinsi lain terkena pajak sebesar
25%; Kabupaten lainnya terkena pajak sebesar 20%.
2) Menurut jenis usaha:
berdasarkan Dirjen Pajak, Apotek termasuk golongan pedagang eceran
barang-barang industri kimia, bahan bakar minyak dan pelumas, farmasi,
dan kosmetika.
PPh Badan
PPh Badan dilakukan dengan pembukuan (membuat neraca laba-rugi)
dihitung berdasarkan keuntungan bersih dikalikan tarif pajak. Perhitungan
tarif pajak PPh badan dapat dilihat pada Tabel VI. Menurut UU RI No. 36
tahun 2008 pasal 31E ayat (1), wajib pajak badan dalam negeri dengan
peredaran bruto s/d Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
10
yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
4. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 28
Apabila jumlah pajak terutang lebih kecil daripada jumlah kredit pajak maka
setelah dilakukan
pemeriksaan kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan PPh pasal
28.
5. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29
Apabila jumlah pajak terutang untuk 1 tahun pajak lebih besar dari jumlah
kredit maka harus dilunasi sesuai dengan PPh pasal 29.
6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN merupakan pajak tidak langsung dimana pajak terhutang dihitung atas
pertambahan nilai yang ada. Dalam metode ini, PPN dihitung dari selisih
pajak pengeluaran dan pajak pemasukan. Pajak pertambahan nilai
dikenakan pada saat pembelian obat dari PBF sebesar 10%. Setiap transaksi
PBF menyerahkan faktur pajak kepada apotek sebagai bukti bahwa apotek
telah membayar PPN.
7. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak atas tanah dan bangunan
apotek, besarnya pajak ditentukan oleh luas tanah dan bangunan apotek.
8. Pajak Reklame
11
Pajak reklame adalah pajak yang dibebankan pada apotek yang memasang
reklame. Besar pajak reklame tergantung jenis papan reklame, ukuran,
jumlah iklan, dan wilayah pemasangan reklame. Bila iklan apotek < 25% dari
reklame pabrik, Apotek tidak dibebani membayar pajak reklame
(Sutantiningsih, 2005). Pajak ini dibayarkan satu tahun sekali.
9. Pajak Pertambahan Nilai Pedagang Eceran (PPN PE)
Pajak Pertambahan Nilai Pedagang Eceran (PPN PE) dibayarkan sebesar
2% dari omset jika Apotek merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan
penghasilan lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) perbulan
atau lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) pertahun.
10. Pajak Barang Inventaris
Pajak barang inventaris dikenakan terhadap kendaraan bermotor milik
apotek.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin
melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi sendiri
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya
sendiri guna mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman, dan rasional. Oleh
sebab itu peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (komunikasi, informasi dan
edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka
peningkatan pengobatan sendiri. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang
dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas
terbatas (OBT) dan obat bebas (OB).
Dalam prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan
melakukan swamedikasi obat keras non OWA. Salah satu yang sering dijual adalah
obat-obatan antibiotik. Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan antibiotik
merupakan obat yang sudah lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi, meskipun
13
tanpa resep dokter. Padahal dalam kemasan antibiotik itu sendiri sudah jelas terlihat
tanda huruk K dalam lingkaran merah yang menandakkan itu merupakan obat keras
yang tidak boleh diperjualbelikan dengan bebas. Obat keras (dulu disebut obat
daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk
memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah
bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk
dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta
obat-obatan yang mengandung hormon (obat diabetes, obat penenang, dan lain-
lain). Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya
bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.
Hal ini akan menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication
error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan
penggunaannya. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya
berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat
yang digunakan dalam swamedikasi tanpa memperhatikan untung semata.
Dilihat dari segi hukum, pemerintah sudah dengan jelas membuat berbagai
peraturan dimulai dari Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Pemerintah hingga
Undang-undang untuk mengatur penyerahan obat yang dapat diserahkan tanpa
resep. Peraturan Menteri Kesehatan No: 919/MENKES/PER/X/1993 tentang obat
yang dapat diserahkan tanpa resep. Dalam Peraturan tersebut jelas disebutkan
pada pasal 2, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep diantaranya; tidak
dikontraindikasikan penggunaanya pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun
14
dan orang tua diatas 65 tahun, pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak
memberikan risiko pada kelanjutan penyakit, penggunaanya tidak memerlukan cara
dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, penggunaanya
diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di indonesia dan obat yang
dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri.
Untuk memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi, pemerintah
juga menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan
membuat beberapa SK diantaranya: SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990
tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut
digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1.
Karena perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan
obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari
daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada
keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Dari peraturan di atas
dengan jelas diterangkan bahwa seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat
keras tanpa resep dokter atau swamedikasi obat keras apabila obat yang diserahkan
merupakan obat keras yang termasuk dalam OWA.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang
pekerjaan kefarmasian merupakan undang-undang terbaru di dunia kefarmasian
yang mengatur pekerjaan kefarmasian yang dibenarkan oleh hukum. Tujuan
pemerintah membuat UU ini salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan
15
kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan
farmasi dan jasa kefarmasian. Melihat apa yang terjadi di lapangan tentunya Apotek
telah lalai dalam menerapkan UU ini. Penyerahan obat keras tanpa resep seperti
halnya antibiotik tentunya telah melanggar aturan pemerintah dalam upaya
melindungi pasien dalam memperoleh sediaan kefarmasian.
Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan
obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan
seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter.
Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai bentuk
pelanggaran hukum PP 51 th 2009..
Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun
2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap Undang-Undang No 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Praktek swamedikasi obat keras
akan bertetangan dengan hukum diatas, jika tidak dilakukan oleh apoteker di apotek
yang dibenarkan oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia hanya
swamedikasi obat keras yang termasuk Obat Wajib Apotek.
Lalu kenapa hal ini masih kerap terjadi?. Dalam UU kesehatan terbaru tahun
2009 disebutkan pemrintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan
mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran ssediaan farmasi.
Namun apakah semua itu salah pemrintah?. Sebagai masyarakat sudah hendaknya
16
kita lebih cerdas dalam membeli dan menerima sesuatu. Kita hendaknya
mengetahui obat-obatan yang mana yang memang dapat dibeli dengan bebas di
Apotek dan mana yang tidak. Jika memang melanggar hukum, sudah seharusnya
kita melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwenang, misalnya ke BPOM.
Sehingga peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum sangat diperlukan.
Diperlukan landasan hukum yang kuat bagi apoteker dalam pelayanan
praktek swamedikasi, terutama dengan menggunakan obat G. Sebaiknya
apoteker jangan terjebak dengan prescribing dengan ketentuan swamedikasi,
atau OWA. Prescribing atau peresepan adalah kompetensi dokter. Kita hendak
menjungjung tinggi pemisahan pekerjaan kefarmasian dan kedokteran yang
telah dipraktekan oleh si Kembar Damian dan Cosmain, dan sejak raja
Frederick-Hanover di Jerman pekerjaan ini telah dipisahkan berdasarkan
ketentuan UU.
17
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tujuan Penetapan Harga : Mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,
Mempertahankan perusahaan, Menggapai ROI (Return on Investment),
Menguasai Pangsa Pasar, dan Mempertahankan status quo.
2. Metode yang biasa digunakan dalam penetapan harga : Pendekatan
Permintaan dan Penawaran (supply demand approach), Pendekatan Biaya
(cost oriented approach), dan Pendekatan Pasar (market approach).
3. Macam-macam pajak yang dikenakan pada Apotik : Pajak Penghasilan (PPh)
pasal 21, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23, Pajak penghasilan (PPh) pasal
25, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 28, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29,
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak
Reklame, Pajak Pertambahan Nilai Pedagang Eceran (PPN PE), dan Pajak
Barang Inventaris.
4. Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat
18
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas
resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung
pada pasal ini dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat
keras dengan resep dokter. Swamedikasi obat keras non OWA di apotek
dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum PP 51 th 2009..
B. Saran
Dalam menentukan penetapan Harga harus mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya, mensejahterakan karyawan, dan memperbanyak pelanggan
atau langganan dalam pelayanan obat, baik yang menggunakan resep atau non
resep di Apotik. Untuk usaha Apotik harus berlandaskan pada hukum
perpajakan terutama pada harga obat dan resep. Dalam pelayanan obat
hendaklah melayani dengan baik. Untuk obat yang memakai resep dan non
resep haruslah disamakan pelayanannya, terutama dalam hal pemberian
Swamedikasi. Agar tidak terjadi Medication Eror pada pelayan resep di Apotik.
19