Post on 22-Jan-2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan Jiwa adalah bagian internal dari upaya kesehatan
yang bertujuan menciptakan perkembangan jiwa yang sehat secara
optimal baik intelektual maupun emosional (Kusumawati & Hartono,
2011).
Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik yang dapat
menghambat produktifitas individu dalam kehidupannya. Gangguan jiwa
memang bukan sebagai penyebab kematian secara langsung, Tetapi
akibat yang ditimbulkan dapat menyebabkan penurunan kemampuan dan
fungsi baik secara individu maupun kelompok. Selain itu dapat juga
menghambat pembangunan karena gangguan jiwa dianggap tidak
produktif dan tidak efesien, serta memiliki cost yang tinggi untuk
perawatan dan pengobatannya (Hawari, 2001).
Masalah gangguan jiwa terjadi hampir diseluruh Negara di
dunia. World Health Organization (WHO) badan dunia PBB yang
menangani masalah kesehatan dunia, memandang serius maslah ini
dengan menjadikan isu yag penting dan menjadi salah satu pokok
program kerja WHO (Sosrosumihardjo, 2010). Gangguan jiwa terdiri
dari berbagai masalah dengan gejala yang berbeda, mereka umumnya
ditandai oleh bebrapa kombinasi dari pikiran yang tidak normal, emosi,
perilaku dan hubungannya dengan orang lain. Contoh gangguan jiwa
seperti skizofrenia, depresi, retardasi mental, dan gangguan akibat
penyalahgunaan narkoba sebagai isu yang perlu mendapatkan perhatian
dari dunia (WHO, 2012).
Data yang diperoleh dari Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization/WHO) menunjukkan 10% dari populasi penduduk dunia
membutuhkan pertolongan atau pengobatan bidang kesehatan atau
psikiatri. Diperkirakan bahwa 2- 3% dari jumlah penduduk Indonesia
menderita gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan
1 Poltekkes Kemenkes Palembang
2
perawatan di rumah sakit dan jika penduduk Indonesia belumlah
sebanyak 120 juta jiwa, maka ini berarti bahwa 120 ribu jiwa berat
memerlukan perawatan di rurnah sakit (Yosep, 2007).
Salah satu Negara di dunia yang memiliki angka kejadian
gangguan jiwa yang relatif cukup tinggi adalah Indonesia. Berdasarkan
hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) pada tahun
1995 yang dilakukan terhadap penduduk di 11 kotamadya oleh jaringan
Epidemiologi Pskiatri Indonesia, ditemukan 185 per 1000 penduduk
rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan jiwa baik
yang ringan maupun yang berat. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
meningkatkan kejadian gangguan kesehatan mental mulai dari gangguan
kecemasan, depresi, panik hingga gangguan jiwa yang berat seperti
skizofrenia hingga pada tindakan bunuh diri (Susrosumihardjo, 2010).
Jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia cukup
memprihatinkan, yaitu mencapai 6 juta orang atau sekitar 2.5 persen dari
total penduduk (Susrosumihardjo, 2010). Angka prevalensi gangguan
jiwa berat yaitu psikosis ada sekitar 0.46 persen dari jumlah penduduk
Indonesia atau sekitar 1.065.000 jiwa (Teguh, 2011).
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang
dilakukan kementrian kesehatan pada 2007, prevalensi terjadinya
masalah mental emosional seperti depresi dan ansietas, sebanyak 11.60
persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 204.708.000 jiwa
(Teguh, 2011).
Berbicara tentang gangguan kesehatan jiwa salah satu yang
paling banyak di derita pasien gangguan kesehatan jiwa adalah
skizofrenia. Schizophrenia berupa gangguan yang terjadi pada fungsi
otak yang merusak dan menghancurkan emosi. Selain karena faktor
genetik, penyakit ini juga bisa muncul akibat tekanan psikologis di
sekelilingnya (Hawari, 2009). Menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosa Gangguan Jiwa-III (PPDGJIII) Skizofrenia merupakan suatu
sindrom yang disebabkan oleh bermacam penyebab yang ditandai dengan
penyimpangan pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar. Pasien
Poltekkes Kemenkes Palembang
3
dengan diagnosis Skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam
kehidupan sehari-hari, hal ini ditandai dengan hilangnya motivasi dan
tanggung jawab. Selain itu pasien cenderung apatis, menghindari
kegiatan dan mengalami gangguan dalam penampilan. Pasien Skizofrenia
akan mengalami gangguan dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari
seperti kebersihan diri (Stuart and Laraira, 2007).
Di Amerika angka pasien skizofrenia cukup tinggi (lifetime
prevalence rates) mencapai 1/100 penduduk. Sekitar 20 % penduduk di
Indonesia saat ini menderita gangguan kesehatan jiwa, hampir 80 %
pasien skizofrenia juga mengalami kekambuhan secara berulang, bahkan
bisa lebih besar lagi (Yosep, 2008).
Di Indonesia diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari 220 juta
penduduk mengalami gangguan jiwa (Swaberita, 2008). Prevalensi
penderita Skizofrenia di Indonesia adalah 0,3% sampai 1%, dan
terbanyak pada usia sekitar 18-45 tahun, terdapat juga beberapa penderita
yang mengalami pada umur 11-12 tahun. Apabila penduduk Indonesia
200 juta jiwa, maka sekitar 2 juta jiwa yang menderita Skizofrenia (Arif,
2006).
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa bersifat menahun yang
memerlukan waktu cukup lama untuk proses penymbuhan, terapi pada
skizofrenia bertujuan untuk menurunkan angka kekambuhan
(Kraepelin,1919 dalam Hawari, 2001). Terapi pada Skizofrenia meliputi
terapi psikofarmaka (antipsikotik), psikoterapi, terapi psikoterapi dan terapi
psikoreligius (Kusuma, 2007).
Ada beberapa alasan yang mendasari klien skizofrenia
menghentikan pengobatan diluar pengawasan medis. Menurut Ashwin
(2007 dalam Bustilo, 2008) kejenuhan klien skizofrenia minum obat setiap
hari, menyebabkan tingkat kepatuhan klien untuk minum obat menjadi
menurun. Adapun klien skizofrenia yang menghentikan terapi dengan
berbagai alasan seperti : adanya efek smping obat, gangguan pikiran dan
anggapan bahwa terapi adalah sesuatu yang percuma (Hawari, 2001).
Menurut penelitian Wardani (2009) menguraikan efek samping obat
Poltekkes Kemenkes Palembang
4
terhadap fisik , seksualitas, aktivitas dan tingkat konsentrasi menjadi alasan
pasien tidak patuh , bahkan sampai menghentikan minum obat. Tidak kuat
berdiri lama, mual, kaku, bicara pelo, dan badan tidak enak adalah
ungkapan-ungkapan yang menggambarkan efek samping obat terhadap
fisik.
Kepatuhan adalah perilaku klien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh petugas kesehatan (Niven, 2002). Kepatuhan dalam
pengobatan dapat diartikan sebagai perilaku klien yang mentaati semua
nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis
(Australian College of Pharmacy Practice, 2001). Hasil penelitian Wardani
(2009) tolak ukur perilaku patuh minum obat yaitu adanya kerjasama
keluarga dan pasien dalam pemberian obat, kesadaran diri akan kebutuhan
obat, kemandirian minum obat, kedisiplinan minum obat dan kontrol rutin
setelah dirawat di rumah sakit.
Penyebab ketidakpatuhan minum obat pada klien skizofrenia juga
ada hubungannya dengan hendaya perilaku yang dialami. Keliat (2004,
dalam Parendrawati, 2008) menguraikan hendaya perilaku yang muncul
pada klien skizofrenia , salah satunya adalah tidak teratur minum obat ada
sekitar 40 persen. Faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan klien dalam
minum obat, yaitu keyakinan individu, sikap negatif dari keluarga besar dan
sikap tenaga kesehatan. Keyakinan terhadap kesehatan berkontibusi
terhadap ketidakpatuhan. Klien yang tidak patuh biasanya mengalami
depresi, ansietas dengan kesehatannya, memiliki ego lemah dan terpusat
perhatian pada diri sendiri (Niven 2002).
Tindakan keperawatan dalam mengatasi skizofrenia itu terdiri
dari lima tahapan yaitu dimulai dari membina hubungan saling percaya,
mengenal skizofrenia, mengontrol perilaku skizofrenia, memanfaatkan
obat sesuai dengan advis dokter, memotivasi keluarga agar memberi
dukungan untuk membantu pasien dalam mengontrol skizofrenia (Yosep,
2009)
Keluarga pasien perlu mempunyai sikap yang positif untuk
mencegah kekambuhan pada pasien skizofrenia. Keluarga perlu
Poltekkes Kemenkes Palembang
5
memberikan dukungan (support) kepada pasien untuk meningkatkan
motivasi dan tanggung jawab untuk melaksanakan perawatan secara
mandiri. Keluarga perlu mempunyai sikap menerima pasien, memberikan
respon positif kepada pasien, menghargai pasien sebagai anggota
keluarga dan menumbuhkan sikap tanggung jawab pada pasien. Sikap
permusuhan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga terhadap pasien
akan berpengaruh terhadap kekambuhan pasien. Dukungan keluarga
sangat penting untuk membantu pasien bersosialisasi kembali,
menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai pasien secara
pribadi dan membantu pemecahan masalah pasien (Keliat, 1996). Sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007, p. 142).
Menurut Lauriello yang dikutip Purwanto dalam Yoga (2011)
proses penyembuhan pasien tidak terlepas dari dukungan keluarga.
Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan
pasien jiwa . Ketika penderita gangguan jiwa melakukan rawat jalan atau
inap di rumah sakit jiwa, keluarga harus tetap memberikan dukungan
sesuai dengan petunjuk tim medis rumah sakit. Dukungan keluarga
sangat diperlukan oleh penderita gangguan jiwa dalam memotivasi
mereka selama perawatan dan pengobatan.
Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu
mengetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan
untuk menentukan bagaimana sikap yang sebaiknya di ambil agar
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang
mempunyai pendapat bahwa pasien boleh berhenti minum obat atau
berobat apabila gejala-gejala sudah menghilang atau berkurang, juga
banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya
perlu medikasi untuk dapat sembuh saat proses pemulihan di rumah. Hal
ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya
pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga
guna resosialisasi dan pencegahan kekambuhan (Irma, 2010).
Poltekkes Kemenkes Palembang
6
Secara umum ketidakpatuhan terhadap program terapeutik
adalah masalah substansial yang ahrus diatasi untuk membantu individu
berpartisipasi dalam perawatan diri dan mencapai tingkat kesehatan
potensial yang maksimal. Ketidakpatuhan minum obat dapat
meningkatkan resiko berkembangnya masalah kesehatan atau
memperpanjang dan memperburuk kesakitan yang diderita. Ada 20
persen klien yang dirawat di rumah sakit diperkirakan merupakan akibat
dari ketidakpatuhan klien terhadap pengobatan (Brunner & Suddart,
2002).
Dampak atau akibat yang dirasakan pada klien karena perilaku
ketidakpatuhan menyebabkan kekambuhan empat kali lebih tinggi , klien
yang terlanjur kambuh karena tidak minum obat, membutuhkan waktu
lebih dari satu tahun untuk kembali secara intensif (Bustilo, 2008).
Menurut hasil penelitian Wardani (2009) akibat yang ditimbulkan dari
perilaku ketidakpatuhan minum obat adalah terjadinya kekambuhan dan
over dosis. Dampak ketidakpatuhan bagi keluarga yaitu timbulnya beban
subjektif dan objektif. Beban subjektif berupa beban emosional dan
kecemasan, beban objektif yang dirasakan keluarga meliputi terjadinya
gangguan hubungan keluarga dan keterbatasan klien dalam melakukan
aktivitas.
Hasil penelitian Wardani (2009) sikap negatif keluarga besar
terhadap pengobatan seperti sikap mendukung ketidakpatuhan dan
ungkapan yang dapat menurunkan motivasi minum obat. Selain itu
penyebab yang bersumber dari perilaku tenaga kesehatan adalah informasi
yang tidak jelas dan ungkapan yang mematahkan semangat dari tenaga
kesehatan secara tidak langsung menyebabkan ketidakpatuhan terhadap
pengobatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kandar pada bulan Oktober 2011
mengenai penyebab kekambuhan klien skizofrenia dirawat ulang di RSJD
dr. AGH Semarang, menunjukkan ada peningkatan angka kekambuhan
klien skizofrenia karena ketidakpatuhan minum obat. Pada tahun 2011 ada
63 klien skizofrenia yang dirawat ulang kurang dari 1 bulan dan ada 121
Poltekkes Kemenkes Palembang
7
klien yang dirawat ulang lebih dari 1 bulan setelah mendapatkan perawatan
dari rumah sakit.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Rekam Medik
Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan, pada tahun 2009
jumlah pasien gangguan kesehatan jiwa seluruhnya 29.781 orang dengan
penderita skizofrenia yang dirawat inap selama tahun 2009 adalah
sebanyak 4.313 orang dan untuk tahun 2010 jumlah seluruh pasien
gangguan jiwa 30.196 orang dengan pasin rawat jlan berjumlah 26.698
orang, dan pasin rawat inap berjumlh 3.495 orang. Tahun 2011jumlah
seluruh pasien gangguan jiwa 27.395 orang dengan pasien rawat jalan
berjumlah 24.380 orang dan pasien rawat inap berjumlah 3015 orang.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan terjadi peningkatan
kasus pasien skizofrenia setiap tahunnya, maka peneliti tertarik meneliti dan
mengetahui tentang “Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pada pasien skizofrenia di poliklinik rawat jalan Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2013”.
1.1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka
rumusan masalah pada penilitian ini adalah belum diketahuinya
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien
skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013.
1.1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka timbul suatu
pertanyaan penelitian adalah apakah ada hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di
Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatra Selatan tahun 2013 ?
Poltekkes Kemenkes Palembang
8
1.2. Tujuan Penelitian
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga
dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik
Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan
tahun 2013.
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya distribusi frekuensi dukungan keluarga dalam
perawatan pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah
Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013.
b. Diketahuinya distribusi frekuensi kepatuhan minum obat pasien
skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013.
c. Diketahuinya hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah
Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013.
1.3. Manfaat Penelitian
1.3.1. Teoritis
Hasil penelitian ini berguna untuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya tentang dukungan keluarga
dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
1.3.2 Aplikatif
1.3.2.1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan RS dr. Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan
Sebagai sumber data untuk pengambilan kebijakan dalam
menetapkan program-program kesehatan jiwa baik untu pembinaan
kesehatan dikeluarga maupun masyarkat.
1.3.2.2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan menjadi memberikan informasi, menjadi sumber
referensi serta dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan
pengetahuan mahasiswa tentang hubungan dukungan keluarga
Poltekkes Kemenkes Palembang
9
dengan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia bagi
perkembangan ilmu keperawatan khususnya di Poltekkes Kemenkes
Jurusan Keperawatan Palembang.
1.3.2.3. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan dan
pengalaman langsung dalam melakukan penelitian mengenai
hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada
pasien skizofrenia.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah keperawatan jiwa.
Meneliti hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum
obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode survey analitik dengan
desain penelitian cross sectional. Teknik sampel menggunakan
metode non random sampling, dengan pendekatan purposive
sampling. Populasi pada penelitian ini adalah semua keluarga yang
mengantar pasien skizofrenia di poliklinik rawat jalan di Rumah
Sakit Ernaldi Bahar. Sampel penelitian ini adalah pasien
skizofrenia yang dirawat jalan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar.
Penelitian ini dilakukan antara bulan Mei – Juni 2013 dan
pengumpulan data dilakukan dengan cara pengisian kuisioner oleh
responden.
Poltekkes Kemenkes Palembang