Post on 11-Aug-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Diabetes Melitus (DM) adalah kelompok kelainan metabolik yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia kronik akibat defisiensi insulin baik relatif maupun
absolut. Diabetes Melitus ditegakkan jika didapati pasien dengan gejala klasik dari
hiperglikemia yang berupa mudah haus, poliuria, penurunan berat badan, dan
pandangan kabur, yang disertai adanya data kadar gula darah puasa ≥126 mg/dl atau
kadar gula darah acak (random) ≥200 mg/dl, yang telah diulang pada waktu
pemeriksaan yang berbeda (ADA, 2004; McCulloh, 2005; Powers, 2005).
Manifestasi klinis DM sangat beragam, dapat berupa komponen metabolik dan
komponen vaskuler atau angiopati. Kedua komponen ini dapat tampak bersama, atau
yang satu mendahului yang lain, ataupun yang satu memperberat yang lain (Asdie,
2000).
Seiring dengan meningkatnya prevalensi DM, maka komorbid yang
menyertainya akan makin beragam. Komorbid yang sering menyertai DM karena
perjalanan penyakitnya namun sering terlupakan adalah depresi. Prevalensi depresi
pada penderita DM berkisar 30% (De Groot et al., 2001). Suatu hasil metaanalisis
yang melibatkan 27 studi menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang bermakna
antara hiperglikemia dan depresi baik pada DM tipe 1 maupun tipe 2 (Lustman et al.,
2001).
Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa adanya komorbid depresi
pada individu dengan diabetes berhubungan dengan outcome penyakit yang lebih
buruk seperti kontrol gula darah, meningkatkan terjadinya komplikasi terutama
kardiovaskuler dan retinopati, mengurangi kepatuhan berobat serta mengurangi
kualitas hidup (Lustman et al., 1998; Goldney et al., 2004. Studi-studi juga telah
menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan depresi mengeluarkan biaya
pemeliharaan kesehatan yang lebih banyak dibandingkan penderita diabetes saja
(Egede & Ellis, 2010). Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Chiechanowski dkk
(2000) ditunjukkan bahwa individu dengan diabetes dan depresi memiliki
peningkatan sebanyak dua kali lipat pada pembiayaan kesehatan dibandingkan
mereka yang tanpa depresi.
Selain dihubungkan dengan peningkatan biaya, kondisi depresi juga
berdampak terhadap resiko kematian. Hal ini dibuktikan dengan studi yang
dilakukan oleh Katon dkk dimana pasien diabetes dengan depresi akan memiliki
peningkatan resiko sebesar 36-38% untuk semua penyebab kematian selama kurun
waktu dua tahun. Studi dari National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES) I Epidemiologic Follow-up Study juga menunjukkan hal yang serupa,
pada individu diabetes dengan depresi memiliki peningkatan resiko mortalitas
sebesar 54% dibandingkan dengan mereka yang tanpa depresi (Zhang et al., 2005;
Katon et al., 2008).
Pada pasien-pasien dengan depresi juga sering dijumpai adanya disregulasi
dari sistem saraf otonom yang berupa peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dan
hambatan aktivitas parasimpatis (Carney et al, 2005). Hal ini dibuktikan dengan
adanya peningkatan kadar katekolamin terutama norepinephrine (NE) dalam plasma
dan urine pada pasien pasien depresi. Kenaikan konsesntrasi NE sebanding dengan
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis (Lake et al, 1982).
Selain itu pada pasien-pasien depresi juga seringkali gangguan pada aktivitas
platelet (Atoqlu et al, 2009). Hiperaktivitas platelet yang ditunjukkan dengan
peningkatan aktivasi dan agregasi dapat ditemukan pada pasien-pasien dengan
depresi (Musselman et al, 1996). Peningkatan aktivitas platelet pada depresi
disebabkan karena aktivitasi sistem saraf simpatis yang berlebihan (Musselman et al,
1996). Sementara beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan yang
signifikan antara peningkatan aktivitas platelet dengan mortalitas kardiovaskuler
(Chu et al, 2012).
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas platelet,
akan tetapi banyak sebagian besar jarang dipergunakan karena mahal, memerlukan
sampel yang cukup banyak, menyita banyak waktu dan memerlukan pelatihan
khusus. Mean Platelet Volume (MPV) dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
marker untuk menilai aktivitas platelet. Salah satu kelebihan MPV adalah dapat
murah dan dapat diperiksa dengan menggunakan alat hitung darah otomatis yang
lazim digunakan di rumah sakit pada umumnya (Shah et al, 2012). Pasien dengan
nilai MPV yang tinggi memiliki ukuran platelet yang lebih besar, cenderung lebih
aktif, dan aktivitas prothrombotic yang lebih tinggi (Chu et al, 2012).
Beberapa studi telah dipublikasikan pada pengobatan depresi pada pasien
diabetes melitus salah satunya adalah dengan SSRi (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor). Bukti awal menunjukkan bahwa SSRi, seperti fluoxetine, sertraline, dan
paroxetine, tampaknya menjadi pilihan untuk pengobatan. Anti depresan trisiklik,
biasanya digunakan terutama untuk pengobatan insomnia dan nyeri neuropatik,
dibawah pemantauan ketat. Manajemen nyeri dan pengobatan gangguan tidur juga
harus diperhatikan ketika memulai terapi anti depresan (Zalai et Novak, 2008).
Pendekatan terapi non-farmakologis, seperti konseling atau psikoterapi
mungkin merupakan pilihan yang lebih menarik dari pengobatan untuk pasien yang
menderita beberapa kondisi medis, seperti diabetes melitus. Cognitive Behavioural
Theraphy (CBT) dan Interpersonal Psycotherapy (IPT) keduanya efektif untuk
pengobatan depresi ringan dan sedang pada populasi pasien lain dan dapat
dikombinasikan dengan farmakoterapi untuk pengobatan depresi berat. Psikoterapi
kognitif bertujuan untuk mengidentifikasi dan memodifikasi kelainan maladaptif
pasien, sedangkan IPT berfokus pada identifikasi dan resolusi masalah utama
interpersonal dalam kehidupan pasien yang diasumsikan terkait dengan terjadinya
gejala depresi. Psikoterapi suportif secara luas digunakan untuk memfasilitasi
penyesuaian untuk penyakit kronis. Empati mendengarkan, dukungan kognitif dan
emosional, penguatan strategi adaptif, dan intervensi lingkungan langsung oleh
terapis adalah fitur utama dalam strategi pengobatan (Zalai et Novak, 2008).
Latihan pasrah diri adalah suatu metode yang memadukan antara relaksasi
dan zikir dengan fokus latihan pada pernafasan dan kata yang terkandung didalam
zikir (relaxation and meditation prayer), sehingga menimbulkan respon relaksasi
yang diharapkan mampu memperbaiki gejala stres atau gejala depresi. Kondisi ini
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap respon inflamasi dan
hasil akhir memperbaiki kontrol gula darah (Asdie, 2005). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Dharma (2006) didapatkan bahwa latihan pasrah diri berhubungan
dengan penurunan simtom depresi yang bermakna.
Latihan pasrah diri termasuk dalam bidang mind and body intervention,
merupakan bagian dari Complementary and Alternative Medicine (CAM). Terapi ini
menggunakan perpaduan dan hubungan (interconnectedness) tubuh dan mental
(mind and body) untuk perbaikan kesehatan (Steyer, 2001).
B. Pertanyaan Penelitian
Apakah latihan pasrah diri dapat memperbaiki kadar MPV pada pasien
dengan diabetes melitus dengan simtom depresi yang menjalani pengobatan rutin di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito, Yogyakarta.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah latihan pasrah diri
dapat memperbaiki kadar MPV pada pasien-pasien diabetes melitus dengan simtom
depresi yang menjalani pengobatan rutin di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk Pasien : memberi harapan pada pasien diabetes melitus untuk
mendapatkan penatalaksanaan permasalahan yang lebih menyeluruh, bukan
hanya fisik namun juga kualitas hidup.
2. Untuk Peneliti : diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi awal dari
penelitian selanjutnya pada pasien dengan penyakit kronis yang melihat pasien
bukan hanya dari segi fisik namun juga psikis dan kualitas hidup.
3. Untuk Institusi : dapat mengetahui apakah terapi baik itu farmakologis maupun
nonfarmakologis pada pasien diabetes dengan depresi mampu memperbaiki
kadar MPV
E. Keaslian Penelitian
Penelitian pengaruh pasrah diri terhadap MPV pada pasien-pasien diabetes
melitus sejauh ini belum pernah dilakukan sebelumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mean Platelet Volume
Pletelet memiliki peranan yang sangat penting dalam proses atherotrombosis.
Penggunaan obat-obatan yang bertujuan untuk menurunkan aktivitas platelet ternyata
mampu mengurangi resiko kejadian stroke, dan myocardial infarction.
Ada banyak pemeriksaan yang dapat kita lakukan untuk mengetahui aktivitas
platelet akan tetapi memerlukan biaya yang tidak murah dan memerlukan waktu
yang relatif cukup lama. Salah satu pemeriksaan yang dapat dipertimbangkan untuk
menilai aktivitas platelet adalah Mean Platelet Volume (MPV). Penggunaan MPV
dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk mengetahui fungsi platelet karena
selain murah, nilai MPV juga dapat diperiksa rutin dengan menggunakan hemogram
biasa. Pasien dengan ukuran platelet yang besar akan cenderung untuk lebih aktif
dan memiliki potensi protrombotic yang lebih besar jika dibandingkan dengan
platelet yang berukuran kecil.
Peningkatan ukuran platelet ditemukan pada Acute Myocardial Infarction,
Acute Cerebral Ischemia, Transient Ischemic Attack. Penelitian yang dilakukan oleh
Martin et al menyebutkan bahwa peningkatan MPV termasuk faktor independen
untuk terjadinya kematian dan serangan ulang pada pasien dengan riwayat AMI
ataupun penyakit artherosklerosis lainnya.
Salah satu yang mempengaruhi aktivitas platelet adalah kondisi stress dan
katekolamin. Stimulasi dari platelet α-2 adrenoreceptor akan memicu terjadinya
agregasi platelet. Salah satu α-2 adrenoreceptor agonis adalah epinefrin dan
norepinefrin. Peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin salah satunya disebabkan
karena stress psikologis. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Freedman et al dimana pada kondisi stress akan dijumpai peningkatan kadar
katekolamin plasma.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Garcia-Sevilla et al, pasien-pasien
depresi ditemukan peningkatan jumlah α-2 adrenoreceptor di platelet sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa pada pasien-pasien depresi akan dijumpai peningkatan
sensitivitas α-2 adrenergik. Cartens et al juga menemukan hal yang serupa dimana
pada pasien-pasien dengan depresi mayor akan dijumpai peningkatan densitas α-2
receptor. Dapat disimpulkan bahwa α-2 receptor merefleksikan aktivitas
noradrenergik pada sistem saraf pusat.
B. Diabetes Melitus dan Depresi
1. Penyakit Kronis dan Stres
Gangguan psikologi ataupun komplikasi psikologis sering bersamaan atau
mengikuti penyakit-penyakit kronik yang disebut komorbiditas atau koinsidensi.
Stresor akibat penyakit kronik ini merupakan tantangan terhadap kemampuan pasien
untuk tetap mempertahankan keseimbangan emosi dan kepuasan diri. Gangguan
pada keseimbangan ini menyebabkan stres maupun gejala depresi. Penelitian pasien-
pasien kronis seperti diabetes melitus, penyakit kardiovaskular, kanker dan artritis
menunjukkan peningkatan gejala depresi dan mempunyai pengaruh lebih kuat
terhadap kesehatan mental dibanding penyakit lain (Bisschop et al., 2003).
Nyeri kronik sering dijumpai pada penderita diabetes melitus, terutama
penderita diabetes melitus dengan ulkus kaki. Nyeri kronik akan menurunkan
kualitas hidup, dan berkorelasi dengan distres psikologis. Manajemen nyeri tidak
adekuat, seperti dilaporkan oleh penelitian di Kanada, didapatkan bahwa > 40%
nyeri (muskuloskeletal, iskemik, dan neuropati) dilaporkan sebagai nyei sedang-
berat, dan hampir 75% pasien tidak mendapatkan pengobatan anti nyeri yang
adekuat. Nyeri berkorelasi positif dengan derajat keparahan gejala depresi yang
dilaporkan mandiri. Pasien yang melaporkan nyeri sedang-berat memiliki skor BDI
yang lebih tinggi. Selain nyeri kronik, berbagai stresor biologis, psikologis dan sosial
pada penderita diabetes melitus dapat menjadi pencetus munculnya depresi (Zalai et
Novak, 2008).
Depresi meningkatkan mortalitas penderita diabetes melitus melalui berbagai
mekanisme meliputi malnutrisi, perubahan status imunologis, dan peningkatan resiko
penyakit jantung koroner, serta infark miokard. Depresi dan ansietas memiliki
dampak terhadap kualitas hidup yang lebih kuat dibandingkan variabel klinis dan
sosiodemografik yang terdapat secara bersamaan seperti komorbid, kadar
hemoglobin, albumin, usia, jenis kelamin, dan status pekerjaan (Zalai et al., 2008).
Jalur biologis potensial yang menghubungkan diabetes melitus dengan
gangguan depresi merupakan isu penting yang belum sepenuhnya tereksplorasi.
Beberapa kondisi biologis terkait perubahan endokrin dan imunologis, metabolisme
glukosa, serta inflamasi kronis diduga berperan dalam patomekanisme gangguan
mood (Zalai et Novak, 2008).
2. Peranan Corticotropin Releasing Factor (CRF) Pada Depresi
Pada beberapa tahun belakangan ini banyak sekali dipublikasikan hasil-hasil
penelitian yang membuktikan hubungan antara pengaruh kejadian stres pada
kehidupan dengan meningkatnya kerentanan terhadap gangguan afektif kecemasan
dan gejala depresi. Beratnya penyakit merupakan peristiwa stres dan sering
mendahului gangguan depresi atau kecemasan (Hawari, 1996).
Penyebab pasti depresi masih belum jelas, tetapi beberapa faktor telah
disepakati dapat menimbulkan depresi, yaitu faktor genetik, faktor lingkungan
(stresor psikososial), dan faktor neurobiologi, yang ketiganya saling berinteraksi
(Hawari, 1996). Faktor genetik memiliki kontribusi untuk terjadinya depresi. Hal ini
dibuktikan dengan studi anak kembar, dimana depresi 2-10 kali lebih tinggi dijumpai
dibandingkan kontrol. Stresor psikososial yang bersifat kronik dan menetap dapat
mengubah biologi otak, misalnya mengubah fungsi beberapa neurotransmitter dan
sistem sinyal intraneuron (Mudjaddid, 2004).
Pada penderita depresi terjadi gangguan pada sistem aksis hipotalamus-
pituitari-adrenal (aksis HPA) dengan konsekuensi terjadinya peningkatan kadar
kortisol dalam tubuh. Terdapat tiga mekanisme utama regulasi aksis HPA yaitu
irama sirkardian sistem saraf pusat, mekanisme umpan balik serta stres fisik dan
psikologis. Stres tersebut mempengaruhi sistem limbik dan retikuler yang
selanjutnya mengaktivasi neuron penghasil CRF (Arce et al., 2004)
Peningkatan CRF ini dapat dideteksi pada cairan serebrospinal pada saat
terjadinya respon endokrin terhadap stres yang dimediasi oleh jalur HPA. Pasien
yang mengalami depresi terjadi peningkatan aktivitas aksis hipotalamus-pituitari-
korteks adrenal, yang dimediasi secara sentral oleh pelepasan CRF yang berlebihan
(Lyness, 2008). Pada saat stres, kadar kortikosteroid dapat mencapai 100 kali lipat,
dan menyebabkan abnormalitas pada reseptor glukokortikoid (GR), reseptor
serotonin dan norepinephrin yang mengakibatkan gangguan pada sistem limbik yang
mengontrol mood dan emosi (Arce et al., 2004).
Selain fungsi mediasi neuroendokrin, CRF juga mempengaruhi fungsi
otonom dan perilaku (behaviour) terhadap stres. Perubahan fisiologis yang terjadi,
adalah seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah, gula darah dan gejala
behaviour pada depresi seperti gangguan tidur, nafsu makan, penurunan libido dan
perubahan psikomotor (Arborelius et al., 1999).
C. Beck Depression Inventory
Beck Depression Inventory merupakan instrumen untuk mengukur
derajat depresi dari Dr. Aaron T. Beck. Mengandung skala depresi
yang terdiri dari 21 item yang menggambarkan 21 kategori, yaitu:
(1) perasaan sedih, (2) perasaan pesimis, (3) perasaan gagal, (4)
perasaan tak puas, (5) perasaan bersalah, (6) perasaan dihukum,
(7) membenci diri sendiri, (8)menyalahkan diri, (9) keinginan bunuh
diri, (10) mudah menangis, (11) mudah tersinggung, (12) menarik
diri dari hubungan sosial, (13) tak mampu mengambil keputusan,
(14) penyimpangan citra tubuh, (15) kemunduran pekerjaan, (16)
gangguan tidur, (17) kelelahan, (18) kehilangan nafsu makan, (19)
penurunan berat badan, (20) preokupasi somatik, (21) kehilangan
libido (Bumberry, 1978). Klasifikasi nilainya menurut Bumberry
(1978) adalah sebagai berikut:
a. Nilai 0-9 menunjukkan tidak ada gejala depresi.
b. Nilai 10-15 menunjukkan adanya depresi ringan.
c. Nilai 16-23 menunjukkan adanya depresi sedang.
d. Nilai 24-63 menunjukkan adanya depresi berat.
D. Latihan Pasrah Diri
Latihan pasrah diri merupakan salah satu mind and body intervention dan
merupakan bagian dari Complementary and Alternative Medicine (CAM) (Steyer,
2001). Latihan ini terdiri dari perpaduan posisi relaks (tense-relax muscle) dalam
posisi tiduran atau duduk dengan pengaturan nafas (3 step breath) dan merupakan
metode relaksasi singkat yang dapat dikerjakan dimanapunm kapanpun, dimanapun,
mudah dan dalam waktu yang relatif singkat (Hidayat, 2008; Zalquett et McGraw,
2000).
Kondisi relaksasi menurut Rice (2001) sama seperti keadaan tubuh pada saat
istirahat tidur, latihan pasrah diri yang merupakan suatu metode untuk relaksasi dan
zikir dihaapkan mampu membangkitkan respon relaksasi sehingga tercapai kondisi
relaks secara psikofisiologi. Kombinasi zikir selain terdapat unsur ibadah didalam
keyakinan agama juga terdapat doa (repetitive prayer) yang merupakan aspek
psikodinamik di dalam praktek agama yang mampu meningkatkan kesehatan
individu (Dossey, 1997). Terdapat unsur guided imaginary merupakan upaya untuk
membangkitkan respon relaksasi psikofisiologis melalui visualisasi sensorik atau
perilaku (Hidayat, 2008; Astinn et al., 2003; Rice, 2001).
Respon relaksasi adalah respon fisiologis alami (innate physiological
response) sebagai lawan dari respon stres. Respon relaksasi ini berperan menurunkan
bahan berbahaya yang merupakan hasil metaboisme otak (stres oksidatif),
menurunkan denyut jantung, tekanan darah, frekuensi nafas dan memelihara
pertahanan neurogenesis yang terganggu akibat stres serta mempunyai aktivitas
ansiolotik. Respon relaksasi ini dapat dibangkitkan secara sadar melalui teknik
seperti repetitive imagination or verbalization of words, berdoa, relaksasi musik
progresif, meditasi dan metode lainnya (Hidayat, 2008; Esch et al., 2004)
E. Hipotesis
Hipotesis nol (Ho): tidak terdapat perbedaan Mean Platelet Volume setelah
dilakukan latihan pasrah diri selama 21 hari pada penderita diabetes melitus tipe 2
dengan gejala depresi dibandingkan dengan kontrol.
Hipotesis alfa (Hά): terdapat perbedaan Mean Platelet Volume setelah dilakukan
latihan pasrah diri selama 21 hari pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan
gejala depresi dibandingkan dengan kontrol
F. Kerangka Konsep
Pasien diabetes melitus sebagai suatu penyakit menahun seringkali
mengakibatkan gejala depresi . Gejala depresi ini menyebabkan gangguan pada aksis
hipotalamus–pituitari-adrenal, menyebabkan sekresi glukokortikoid berlebihan dan
berakibat peningkatan kadar glukosa darah, resistensi insulin dan reaksi inflamasi.
Gejala depresi pada penderita diabetes juga menyebabkan gangguan nafsu makan
(diet) dan gangguan kepatuhan berobat secara teratur akibatnya mengganggu kontrol
gula darah dan secara tidak langsung mempengaruhi petanda inflamasi.
Latihan pasrah diri menyebabkan relaksasi pada jiwa dan tubuh dengan
membangkitkan respon relaksasi yang merupakan respon dalam perbaikan tubuh.
Pasien diabetes melitus yang telah mendapatkan terapi sering mengalami gejala
depresi akibat penyakit ataupun komplikasi. Gejala depresi ini menyebabkan
gangguan pada aksis hipotalamus–pituitari-adrenal, menyebabkan sekresi
glukokortikoid berlebihan dengan efek terjadinya peningkatan kadar glukosa darah,
resistensi insulin dan reaksi inflamasi. Keluhan depresi juga menyebabkan gangguan
nafsu makan (diet) dan motivasi berobat secara teratur terganggu sehingga juga
mengganggu kontrol gula darah secara tidak langsung dan mempengaruhi petanda
inflamasi.
Latihan pasrah diri menyebabkan relaksasi pada jiwa dan tubuh dengan
membangkitkan respon relaksasi yang merupakan respon dalam perbaikan tubuh.
Simtom Depresi
Peningkatan nilai MPV
Diabetes Mellitus
Perbaikan Simptom Depresi
Nilai MPV turun
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian randomized control trial untuk mengetahui
pengaruh latihan pasrah diri terhadap Mean Platelet Volume dimana digunakan skor
Beck Depression Inventory pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan simtom
depresi. Penelitian ini merupakan penelitian bersama di bidang psikosomatik pada
pasien diabetes melitus dengan simtom depresi.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta bulan Januari 2013 sampai Juni 2013.
C. Populasi Penelitian
Populasi target adalah semua pasien diabetes melitus tipe 2 dengan simtom
depresi yang kontrol rutin di poliklinik penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito. Populasi
terjangkau adalah semua pasien diabetes melitus tipe 2 dengan simtom depresi.
D. Subyek Penelitian
Kriteria Inklusi
Penderita diabetes melitus tipe 2 dengan simtom depresi yang datang kontrol
rutin di poliklinik penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito, mempunyai asuransi
kesehatan, patuh terhadap pengobatan, mendapatkan terapi sesuai klinis pasien, usia
18 hingga 60 tahun, menyetujui untuk ikut penelitian, bersedia mengisi kuesioner,
rutin kontrol minimal selama 3 bulan terakhir, memiliki data laboratorium sebelum
dan sesudah dimulainya penelitian, bersedia mengikuti konseling edukasi-motivasi-
edukasi dan Latihan Pasrah Diri (LPD) di Poli Psikosomatik, dan secara fisik mampu
mengikuti tahap-tahap latihan pasrah diri.
Kriteria Eksklusi
Mempunyai komorbid berat sehingga tidak dapat mengikuti tahap-tahap
latihan pasrah diri, tidak menjalani latihan pasrah diri sebanyak ≥ 20% dari rencana,
kelainan jiwa psikotik, sedang mendapatkan terapi antidepresan dan tidak percaya
Tuhan.
E. Identifikasi Variabel
Kelompok perlakuan pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus
tipe 2 dengan simtom depresi yang kontrol rutin ke poliklinik penyakit dalam RSUP
Dr. Sardjito yang mendapatkan konseling. Sedangkan kelompok kontrol adalah
penderita diabetes melitus tipe 2 dengan simtom depresi yang kontrol rutin ke
poliklinik penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito yang tidak mendapatkan konseling
ventilasi-motivasi-edukasi di poliklinik psikosomatis dan tidak dilakukan latihan
pasrah diri.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, pekerjaan,
indeks massa tubuh, agama, perokok, peminum alkohol/NAPZA, kadar Hba1C, jenis
insulin yang digunakan, dosis insulin yang digunakan, komorbid diabetes, jaminan
pembiayaan. Variabel tergantung adalah kadar MPV setelah perlakuan.
F. Protokol Penelitian
1. Pasien yang menjadi subyek penelitian adalah penderita diabetes melitus tipe 2
dengan simtom depresi yang kontrol rutin di poliklinik penyakit dalam RSUP Dr.
Sardjito minimal 3 bulan berdasarkan catatan pada Rekam Medik pasien.
Skrining gejala depresi dengan menggunakan Beck Depression Inventory (BDI)
dengan cut off yang dipakai adalah ≥ 16 (Zalai et Novak, 2008).
2. Subyek penelitian yang sesuai dengan kualifikasi (kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi) dan bersedia mengikuti penelitian diminta mengisi informed consent,
kemudian dimasukkan ke dalam kelompok perlakuan atau kontrol sesuai dengan
nomor urutan random berdasarkan blok randomisasi.
3. Dilakukan pengambilan data awal, berupa data demografi, riwayat penyakit,
sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, fungsi
hepar, dan profil lipid.
4. Subyek pada kelompok perlakuan dan kontrol mengisi kuesioner PSQI untuk
mengetahui kualitas tidurnya.
5. Kelompok perlakuan mendapatkan pelatihan latihan pasrah diri (metode
terlampir) selama ± 7 hari, setelah itu dilakukan post tes (hafal, mampu
melakukan LPD dan mengukur nadi untuk mengetahui zona relaks secara
fisiologis).
6. Latihan pasrah diri dilakukan 2 kali sehari selama 21 hari berturut-turut dirumah
subyek penelitian masing-masing. Kepatuhan (compliance) latihan diketahui
dengan meminta subyek untuk mengisi blanko jadual latihan.
7. Setelah menyelesaikan LPD selama periode 21 hari, subyek mengisi kuesioner
BDI dan PSQI pasca perlakuan.
G. Definisi Operasional
1. Gejala depresi : pengukuran gejala depresi dengan menggunakan skala Beck
Depression Invetory (BDI).
2. Latihan Pasrah Diri (LPD) : merupakan perpaduan antara metode relaksasi dan
dzikir sehingga tercapai kondisi relaks secara psikofisiologis. Kondisi relaks
setelah latihan dapat ditentukan dengan mengukur denyut nadi. Berdasarkan
penelitian Lutgendorf et al., (2003), yang mendapatkan perbedaan nilai rerata
denyut nadi antara kondisi stres (65,36/denyut/menit) dengan kondisi relaksasi
(63,85/denyut/menit), maka dalam penelitian ini zona relaksasi tercapai bila
terjadi penurunan denyut nadi 2-4 denyut permenit setelah subyek melakukan
LPD. Latihan ini dilakukan 2 kali sehari selama 21 hari.
3. Simtom gangguan tidur diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
yang diukur pada kedua kelompok pada awal dan akhir penelitian.
4. Kepatuhan (compliance) : penilaian kepatuhan terhadap latihan pasrah diri
dilakukan dengan meminta subyek pada kelompok perlakukan untuk mengisi
formulir latihan yang tersedia (lihat lampiran) setiap setelah selesai latihan.
Nilai kepatuhan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Ʃ The No. Of exercise have doneƩ The No. Of exercise requested
X2x21
C = X 100%
X 100%C =
C = compliance, X = jumlah total LPD yang dilakukan selama 21 hari.
Nilai kepatuhan sebesar ≥ 80% yang dianggap memenuhi kriteria compliance penelitian
.
H. Besar Sampel
Estimasi atau perhitungan besar sampel berdasarkan rumus, memerlukan
informasi nilai yang ; ditetapkan, yaitu nilai yang dikehendaki oleh peneliti; dari
kepustakaan, yaitu nilai yang diperoleh berdasarkan pustaka atau pengalaman; dan
clinical judgement, yaitu nilai yang secara klinis bermakna. Penetapan besar sampel
perkiraan beda rerata 2 populasi memerlukan 4 informasi nilai penting, yaitu:
simpang baku (dari pustaka), beda nilai rerata (∆µ)/effect size (E) (ditetapkan), α dan
β (ditetapkan) (Browner et al., Maldiyono et al., 2002).
Rumus perhitungan besar sampel dari Lemenshow et al., (1990) dan
Madiyono et al., (2002) untuk uji hipotesis terhadap rerata dua kelompok yang
berpasangan adalah :
n1 = n2 = Sd(z α +z β ) ∆µ
n1 = n2 : jumlah sampel masing masing kelompok
Sd : simpang baku dari selisih rerata
α : tingkat kemaknaan
β : kekuatan penelitian
∆µ: perbedaan klinis yang diinginkan
2
Simpang baku yang dijadikan acuan penghitungan besar sampel pada
penelitian ini adalah hasil penelitian Bartos et al., (2007) tentang gangguan tidur
pada pasien diabetes melitus tipe 2, dimana diperoleh nilai simpang baku skor PSQI
adalah 4,7. Beda nilai rerata/effect size ditetapkan oleh peneliti sebesar 5 berdasar
konsultasi. Berdasarkan rumus tersebut jika pada penelitian ini : α (0,05), β (20%),
zα (1,96), zβ (0,84) Sd (4,7) dan ∆µ (5), maka jumlah sampel pada masing masing
kelompok penelitian ini adalah :
I. Analisis Statistik
Data kontinu disajikan dalam bentuk rerata ± simpangan baku (SB) dan
median (dengan rentang nilai minimum dan maksimum), dan data kategorikal
disajikan dalam bentuk preosentase. Perbedaan data demografi dan karakteristik
klinis dianalisis berdasarkan on treatment analysis dengan chi square atau Fisher
untuk data kategorikal dan uji t untuk data kontinyu jika distribusi nya normal atau
Mann Whitney test jika distribusinya tidak normal.
Distribusi atau sebaran data diuji dengan menggunakan uji statistik
Kosmogorov-Smirnov (Shapiro-Wilk) oleh karena besar sampel kurang dari 50.
Pengaruh latihan pasrah diri terhadap perbedaan skor rerata BDI dan skor rerata
PSQI antara kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol diuji dengan
menggunakan uji t untuk kelompok berpasangan atau Wilcoxon test tergantung
sebarannya. Perbedaan dianggap bermakna jika didapatkan p < 0,05 dengan interval
kepercayaan 95% (Dahlan, 2006). Pengolahan data pada penelitian ini dengan
menggunakan program komputer.