Bab 4 Syari'Ah Fungsi Ritual

Post on 04-Dec-2015

94 views 9 download

description

Fungsi Ritual

Transcript of Bab 4 Syari'Ah Fungsi Ritual

BAB IXSYARI’AH – AKHLAQ

Tujuan, Prinsip dan Fungsi Ibadah dalam Membangun Karakter

Penulis:Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag

Editor Ahli :Prof. Asep Saeful Muhtadi (guru besar UIN Bandung)

Ny. Qari’ah, M.Ag (Dosen Agama Islam ITB)

Karakter yang mau dibangun dengan “ Syari’ah-Akhlaq : Tujuan, Prinsip dan Fungsi Ritual dalam Membangun Karakter” ini adalah (1). Kesadaran perlunya ibadah yang utuh yakni dengan melibatkan lima dimensi kemanusiaa. (2). Pemahaman tentang hierarki budaya simbolik dan budaya normatif dalam ritual (3). Memiliki semangat memperbanyak studi, penelitian dan diskusi ilmiah (4). Semangat juang untuk selalu berusaha menjauhi perbuatan fahsya dan munkar (5). Kemampuan mengendalikan emosi terutama marah (6). Kesukaan berbagi dengan orang lain terutama dengan kelompok dhu’afa (7). Semangat untuk fastabiqul khairat atau menjadi pelopor amal yang saleh, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun terhadap lingkungan.

1. Ibadah Mahdlah dan Ghair Mahdlah

Din al-Islam dalam arti luas disebut syari’ah (aturan), selanjutnya jika dihubungan

dengan bidang-bidangnya, syari’ah yang berkaitan dengan tata keyakinan disebutlah aqidah,

syari’ah yang berhubungan dengan ibadah disebut syari’ah ibadah atau sering disebut

syari’ah saja (syari’ah dalam arti sempit). Adapun syari’ah yang berkenaan dengan baik

buruknya perilaku disebutlah akhlaq.

Pada bab ini akan dibahas hakikat syari’ah ibadah atau tata aturan yang berkenaan

dengan amal ibadah seperti shalat, shaum, zakat, haji, pengurusan jenazah, pernikahan,

perdagangan, sampai kepada hukum pidana dan perdata.

Pertanyaan pertama, apakah itu ibadah ? Menurut al-'Imad Ibn Ka`ir, ibadah adalah 1 “Hiya al-tha’at bi faili al-makmur wa tark al-mahdzur” yang artinya, ibadah adalah menaati

atas segala perintah Allah serta meninggalkan yang dilarangNya. Definisi lain yang lebih

luas adalah 2 : “Ism jami’ likulli ma yuhibbuhu wa yardlahu min al-aqwal wa al-‘amal, al-

dhahirah wa al-bathinah”. Ibadah adalah kata kebendaan (yang diambil dari kata kerja fiil

madhi, past tense, ‘abada yang artinya dia telah mengabdi), yang ditujukan kepada segala

aktivitas yang disukai dan diridai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang

tampak maupun tidak tampak. Ibadah memiliki makna : “al-ibadatu hiya ma yardlahu min

al-aqwal wa al-af’al, adh-dhahirah wa al-bathinah”, Hakikat ibadah adalah segala aktivitas

manusia yang Allah ridai, baik perkataan maupun perbuatan, baik lahir maupun batin,

jasadiyah maupun qolbiyah. Jadi segala kegiatan manusia sejak bangun tidur sampai tidur

lagi, selama diridai oleh Allah SWT berarti ibadah. Termasuk ke dalamnya antara lain, tidur,

mandi, berpakaian, makan minum, bekerja, mencari ilmu, mencari nafkah, olah raga, hiburan,

shalat, saum, zakat, haji, menjenguk orang sakit, mengurus jenazah, dll.

Karena ibadah meliputi segala aktivitas yang Allah ridai, maka semua aktivitas

manusia diatur oleh Allah swt, baik melalui Alqur’an maupun sunnah Rasulullah. Misalnya

sebelum memulai aktivitas didahului dengan basmalah (doa), setelah selesai pekerjaan

disunnahkan mengucapkan hamdalah (doa), ketika sedang bekerja selalu menaati segala

peraturan dan nilai-nilai Ilahiyah. Hukum dan nilai Alqur’an harus senantiasa diaati oleh

setiap muslim dalam semua kegiatan, baik ketika sedang shalat, shaum, berdaagang,

berpakaian, bermain bola, juga dalam berpolitik dan bernegara. Jadi aturan Allah itu melekat

1 Abd Rahman ibn Hasan Ali Syaikh, Fath al-Majid, Jilid I, (Riyadl : Nazar Mutafá al-Báz, 1996), hlm. 22.

2 ‘Abd Rahman, Fath al-Majid, Jilid I, hal. 21.

dalam semua aspek kegiatan. Ketika aturan Allah dipisahkan dari kegiatan “duniawi” maka

kegiatan itu sudah sekuler, dan itu bukan sekadar tidak apa-apa melainkan tidak memperoleh

pahala bahkan bisa menuai dosa dan adzab.

Pertanyaan kedua, apa tujuan ibadah ? Tujuan ibadah adalah untuk mendapatkan

ridha Allah SWT. Implementasi rida Allah ini adalah kebahagiaan dunia dan kebahagiaan

akhirat. Kebahagiaan dunia adalah hidup penuh berkah dan ketenangan batin, sedangkan

kebahagiaan akhirat adalah terhindar dari neraka, mendapat surga, dan bisa bertemu dengan

Allah SWT. Jadi jika seseorang beribadah karena ingin memperoleh surga atau karena takut

neraka, itu tidak apa-apa. Allah menginformasikan adanya surga dan neraka sebagai reward

and funishment justeru bertujuan untuk memotivasi manusia agar menjadi orang saleh.

Pertanyaan ketiga, apa fungsi ibadah ? Ibadah memiliki beberapa fungsi antara lain:

a) Fungsi Taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Manusia mustahil bisa dekat

kepada Allah tanpa ibadah. Semakin intensif ibadah dilakukan seseorang akan

semakin besar kemungkinannya untuk bisa dekat dengan Allah.

b) Fungsi Mahabbah : yaitu untuk memperdalam cinta kepada Allah. Banyak beribadah

merupakan tanda nyata cinta kepada Allah. Orang-orang yang mengaku cinta kepada

Allah tetapi malas beribadah, itu adalah dusta.

c) Fungsi Washilah : yakni untuk menghubungkan manusia dengan Tuhan-Nya. Allah

menyatakan carilah jalan untuk bisa sampai kepadaNya dengan menggunakan

washilah yakni amal-amal yang baik.

d) Fungsi Thariqah : untuk membuka jalan agar kelak di akhirat bisa bertemu dengan

Allah

e) Fungsi tanha ‘anil fahsya wa al-munkar: yakni untuk membangun karakter manusia

sehingga manusia berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan fahsya (keji) dan

munkar (perbuatan yang harus diinkari).

Pertanyaan ke lima, ada berapa macam ibadah itu ? Ibadah terbagi menajdi dua

gugusan yakni ibadah mahdlah dan ibadah ghair mahdlah atau disebut mu’amalah.

Penjelasannya sbb :

a). Ibadah Mahdlah : adalah ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Allah.

Termasuk ke dalam ibadah mahdlah adalah shalat, shaum, zakat, haji dan pengurusan

jenazah. Dalam hal ini, zakat pun masih mengandung ibadah taaqquli (rasio masih ikut

campur) bukan semat-mata ta’abbudi (ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Allah).

b). Ibadah ghair Mahdlah : ialah ibadah umum yang banyak bersangkut paut

dengan hak dan kewajiban Adami (sesama manusia). Rinciannya adalah (1). Munakahat

(pernikahan) termasuk di dalamnya aturan nikah, etika hubungan suami isteri, thalak, rujuk,

serta berbagai macam kasus rumah tangga beserta solusinya. (2), Tsaqafah (kebudayaan),

termasuk di dalammya pendidikan, pengembangan ilmu, pakaian dan kosmetik, olah raga,

seni dan hiburan (3). Iqtishadiyah (ekonomi dan keuangan), termasuk di dalamnya

perdagangan, koperasi, perbankan dan utang piutang (4). Siyasah (politik), termasuk di

dalamnya tentang bentuk dan konstitusi negara, badan musyawarah (legislatif),

kepemimpinan,dll. (5). Jinayat termasuk di dalamnya jarimah hudud, qishash, ta’zier, serta

penegakkan hukum dan HAM.

Pertanyaan ke enam, apa persamaan dan perbedaan antara Ibadah mahdlah dan ghair

mahdlah ? Persamaan antara keduanya, sama-sama aturan Allah, bersumber dari Alqur’an

dan sunnah Rasul, yang bertujuan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia agar

manusia bisa berbahagia di dunia dan di akhirat. Di samping persamaan terdapat pula

perbedaan antara keduanya. Lihat tabel di bawah ini.

Perbedaan antara ibadah Mahdlah dan gair Mahdlah :

ASPEK IBADLAH MAHDLAH IBADAH GHIR MAHDLAH

Hukum asal 1. Al-buthlan, artinya asal ibadah itu adalah batal atau haram dikerjakan.

1. Al-Halal : Asalnya Ibahah ghair mahdlah atau mu’amalah adalah halal

Dalil 2. Al-Amr : Ibadah itu harus menunggu perintah. Tak ada perintah, tak ada ibadah.

2. An-Nahyu : Menunggu larangan. Selama tidak dilarang berarti halal/ boleh.

3. Taufiqi : Cocok dengan contoh Rasul.

3. Ghair mukhalafah : Yang penting tidak menyalahi atau bertentangan dengan aturan Alqur’an dan sunnah Rasul.

Rasio 4. Ghair Ta’aqquli : Kadang-kadang tidak dipahami akal tetapi rasio tidak boleh ikut campur.

4. Ta’aqquli : Semua aspek ibadah ghair mahdlah mudah dipahami dan rasio boleh ikut mengatur

Pemahaman 5. Al-ittiba : Mengikuti apa adanya, baik dimengerti maupun tidak dimengerti.

5. Al-ittiba’ wa al-Fahmu : Menaati ketentuan Rasulullah, akan tetapi apabila ada hal-hal yang tidak dapat diphami akal, mungkin karena kesimpulan yang salah, sehingga akal boleh ikut campur.

Interevensi 6. Mihadl : Steril dari aturan luar. Aturan yang dianggap baik menurut hasil pemikiran manusia, tidak berlaku dalam ibadah mahdlah.

6. Ghair Mihadl : Tidak steril dari aturan luar. Aturan dari hasil pemikiran manapun boleh masuk untuk melengkapi aturan ibadah gahir mahdlah selama tidak bertentangan dengan prinsip ibadah.

Kreasi baru 7. Berlebihan dianggap bid’ah dlalalah (berlebihan yang sesat).

7. Berlebihan mungkin bisa menjadi bid’ah hasanah (berlebihan yang baik).

Penjelasannya sbb :

Prinsip pertama, Asal ibadah adalah Al-buthlan dan al-amr, artinya asal ibadah itu

buthlan atau batal atau terlarang mengerjakannya, juga bersifat al-amr atau perintah, jadi

selama Nabi tidak memerintahkannya, selama itu pula ibadah haram dilaksanakan.

Kaidahnya adalah al-ashlu fi al-ibadati al-buthlan hatta yaquma dalilun ‘ala al-amri, asal

dalam ibadah adalah batal (terlarang) sehingga ada dalil yang memerintahnya. Misalnya,

adakah perintah membaca surat Al-falaq, surat An-Nas dan melafalkan niat sebelum shalat ?

Jawabannya : Tidak ada. Jika tidak diperintah berarti jangan dikerjakan, jika dikerjakan juga

berarti menyalahi aturan Rasulullah saw. Banyak kejadian orang-orang melakukan tambahan

ibadah tanpa perintah Rasulullah tetapi hanya merupakan hasil berpikir subjektif, dia

menganggap bahwa ibadah yang ia ciptakan banyak baiknya dan berguna bagi umat. Dia

mengatakan begini :”Ini kan baik, apa buruknya ? bukankah Nabi pun tidak

melarangnya ?”. Orang itu tidak memahami prinsip ibadah Mahdlah.

Prinsip kedua : Mihadl : yakni steril dari aturan luar. Misalnya dalam keseharian,

apabila mendengar atau menyebut nama nabi, ucapkanlah alaihis salam, sedangkan jika

mengucapkan nama nabi Muhammad lanjutkanlah dengan ucapan shalallahu ‘alaihi wa

sallam. Aturan itu tidak boleh digunakan dalam ibadah mahdlah seperti di dalam adzan.

Ketika muazdzin mengucapkan kalimat “asyhadu anna muhammadar rasulullah", muadzin

tidak boleh menambah dengan ucapan shalallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga di dalam

shalat, apabila imam membaca ayat “shuhufi ibrahima wa musa....” makmum tidak perlu

mengucapkan alaihis salam. Contoh lain, apabila kita bersin disunnatkan mengucapkan

hamdalah, orang lain yang mendengarnya menyambung dengan ucapan “yarhamukallah”

(mudah-mudahan Allah menyayangimu), orang yang bersin menimpali dengan ucapan

“yahdikumullahu wa yashlih balakum”, mudah-mudahan Allah menunjukimu serta

menghindarkan bala bagimu. Akan tetapi aturan itu tidak berlaku apabila kita bersin di saat

sedang shalat.

Prinsip ketiga : Taufiqi dan Ittiba’ (cocok dan mengikuti), maksudnya ibadah itu

harus cocok dengan contoh Rasulullah Saw. Selama Rasulullah tidak mencontohkan, selama

itu pula kita jangan mengada-ada. Juga ittiba’ artinya hanya mengikuti apa yang Rasulullah

kerjakan, kalau seseorang melaksanakan ibadah yang bukan dari Nabi berarti dia tidak

mengikuti Nabi. Kaidahnya adalah : Al-ashlu fi al-ibadati at-taufiqu wa al-ittiba’ (asal

hukum dalam ibadah adalah kecocokan dan mengikuti Nabi). Misalnya, setelah mengucapkan

takbiratul ihram, Rasulullah bersidekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan

kirinya di atas dada. Muncullah orang yang menerangkan bahwa: “Setan itu berkubang di

dalam hati (qalbu, heart) sehingga kita perlu menutupnya dengan sidekap, oleh karena itu

dalam bersidekap harus meletakkan tangan di atas dada sebelah kiri, bukan di dada bagian

depan.” Jika kita mengamalkan sarannya itu berarti shalat kita tidak cocok dengan shalat

Rasulullah SAW. Selain itu, karena taufiqi maka kita tidak boleh memodernisir ibadah

mahdlah misalnya memodernisir cara thawaf dengan menggunakan ban berjalan sehingga

jemaah haji tidak perlu berjalan mengelilingi ka’bah, tapi tinggal mengecup hajar aswad.

Contoh lain, khutbah jum’at tidak boleh menggunakan infocus dan layar sebagaimana

mengajar di kelas sehingga khatib turun naik dari mimbar untuk menjelaskan materi khutbah.

Khutbah jum’at adalah ibadah mahdlah, kapan khatib harus duduk dan berapa kali khatib

boleh duduk selama khutbah sudah diatur rinci, duduk saja diatur apalagi yang lainnya,

pokoknya ibadah mahdlah jangan dimodernisir.

Prinsip kelima : Ghair Ta’aqquli. Artinya apapun yang diperintahkan Rasulullah

kadang sering sulit dipahami akal, tetapi dalam hal ini, baik perintah itu dipahami maupun

tidak dipahami tetap saja harus diamalkan. Contoh mengecup hajar aswad ketika sedang

thawaf. Umar Ibn Khattab berkata:

' ,م* نإ ,ع.ل 8ك, ح,ج,ر3ي. أ ,ن 9يأ ,ن , أ ,و.ال .ف,ع* ، و,ل ,ن , ت ,ض*ر8 ، و,ال , ت ال8ل,ك, م,ا 8م, ق,ب ل .ه' و,س, ,ي و.ل, الله' ص,لى8 الله* ع,ل س* .ت* ر, ,ي أ ر,

,ه* 8ل *م8 ق,ب *ك, ، ث .ت ,ل ق,بSesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu yang tidak bisa memberi madharat dan juga tidak memberi manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah s.a.w menciummu, akupun tidak akan menciummu. Kemudian Umar pun mencium3

Prinsip kelima : Tafshili, artinya aturan ibadah mahdlah sudah sangat rinci, baik

mengenai tempat, waktu, maupun kaifiyat (tatacaranya). Oleh karena mukmin hanya tinggal

melaksanakannya. Menambah-nambah dari apa yang dicontohkan rasul adalah bid’ah

dlalalah (berlebihan yang sesat), jika dikurangi dari yang seharusnya adalah zhalim minimal

tidak sempurna, apalagi jika sengaja mengubah-ubahnya adalah fasiq.

Aturan ibadah Mahdlah tersebut berbeda dengan ibadah ghair mahdlah atau

mu’amalah. Dalam mu’amalah berlaku aturan yang merupakan kebalikan dari ibadah

mahdlah yakni:

Prinsip pertama : Asalnya Halal, artinya ibadah ghair mahdlah atau mu’amalah

adalah halal, jadi selama tidak ada dalil yang mengharamkannya berarti boleh. Kaidah yang

3 Imam al-Hafidz Abi Abdillah al-Hakim Al-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘ala Shahihaini (Darul Ma’rifah-Bairut, Libanon, t.t), Bab : Awal Kitab Manasik, Juz 1, hal.457

berlaku adalah :”Al-ashlu fi al-asy-ya-i al-ibahah illa ma dalla dalilun ‘ala tahrimihi” asal

dalam segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Oleh karena itu

jangan mencari dalil yang membolehkan tetapi carilah dalil yang melarangnya. Jangan

mencari dalil tentang haramnya lele, keong sawah, bermain gantole, atau mengcloning

hewan, tetapi carilah yang mengharamkannya, selama tidak diharamkan berarti boleh. Kita

menyatakan babi itu haram dimakan setelah ada ayat Alqur’an yang berisi larangan memakan

babi (QS. Al-Maidah [5] : 3). Kita pun menjauhi olah raga tinju karena ada hadits yang

menyatakan “fajtanibul wajha” jauhilah memukul wajah. Atau kita mengharamkan musik

yang bisa membawa manusia kepada kesesatan setelah turun QS. Luqman [31] : 6.

Prinsip kedua, mujmal. Maksudnya, aturan mu’amalah hanya menyangkut prinsip-

prinsipnya bukan rinciannya. Misalnya soal dagang, prinsipnya adalah jangan ada unsur riba

(membungakan uang), maesir (judi) dan ghurur (curang) serta mesti adanya unsur rida sama

ridah yang diimplementasikan dengan ijab qabul, adapun rincian prakteknya terserah kepada

kreativitas umatnya. Rasulullah menyatakan “ antum a’lamu biumuri dunyakum” kamu lebih

tahu dalam soal urusan duniamu. Juga dalam hal berpakaian, yang penting prinsipnya yakni

harus menutup aurat, tidak ketat, tidak transaran atau tembus pandang, harus bermanfaat dan

tidak mubadzir, harus pantas dan jangan mengundang fitnah, tidak boleh mengesankan sikap

arogan dan tidak boleh menyerupai pakaian lawan jenis. Adapun corak dan modelnya

terserah kepada umatnya.

Prinsip ketiga, ta’aqquli. Akal pikiran manusia boleh turut campur mengaturnya. Islam

membuka diri terhadap semua ide pengembangan mu’amalah sejauh tidak bertentangan

dengan Islam dan bermanafaat. Ajaran Islam tentang mu’amalah hanya bersifat prinsip-

prinsip maka otak manusia boleh turut campur mengaturnya selama aturan itu tidak

bertentangan dengan Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Di sini kreatifitas manusia diberi

peluang dan kesempatan seluas-luasnya. Jika ada produk atau aturan baru yang baik dan

bermanfaat padahal di zaman Nabi tidak ada, itulah yang disebut bid’ah hasanah (berlebihan

yang baik), misalnya kelengkapan materai dalam surat perjanjian, buku nikah yang

dilengkapi foto pengantin, lahirnya lembaga konsumen, dll. Jadi bid’ah hasanah berada pada

wilayah ibadah mu’amalah bukan pada wilayah ibadah mahdlah.

2. Ibadah Kaffah (Ritual Integratif)

Manusia dalam pandangan filsafat sains dengan pendekatan integralistik transendental

memiliki lima sisi kemanusiaan yang bersifat hierarkis (bertingkat) dan saling berhubungan

satu sama lain yakni (1). tubuh, (2). perilaku, (3). kesadaran, (4). nurani dan (5). ruh. Dalam

melaksanakan ibadah, seluruh sisi ini harus terlibat secara utuh dan menyatu (integral). Untuk

lebih jelasnya akan penulis uraikan satu persatu dengan menggunakan ilustrasi thawaf haji

dan shalat.

Level 1, Tubuh : Ketika thawaf, tubuh harus bersih dan sudah berwudhu serta memakai

pakaian yang menutup aurat. Semua orang yang thawaf harus begitu dan memang sudah

begitu. Demikian pula sebelum melaksanakan shalat, tubuh itu harus bersih dari hadats,

sudah berwudhu, berpakaian harus suci dan menutup aurat. Tidak sah shalat seseorang

jika tidak suci. Dalam hal ini siapapun yang shalat pasti sudah berwudhu, tapi tubuh saja

tidak cukup, thawaf itu harus dengan perilaku yang benar.

Level 2, Perilaku : Perilaku thawaf telah diatur sedemikian rupa. Thawaf dimulai dari

rukun hajar aswad dengan cara mencium langsung yang disebut istiqbal, atau

merabanya dengan tangan kanan lalu mencium tangan tersebut yang disebut istilam. jika

itu pun sulit cukuplah dengan mengangkat tangan yang diarahkan ke hajar aswad itu

tanpa mencium tangannya yang disebut isyarah. Kemudian berdzikir sepanjang putaran,

lantas sejak rukun Yamani sampai hajar aswad kita membaca doa :”Rabbana atina fi

dunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina adzabannar”. Itulah perilaku orang

thawaf. Perilaku orang berthawaf pasti seperti itu. Akan tetapi thawaf dengan perilaku

saja tanpa melibatkan unsur kesadaran akan sulit mewujudkan jiwa yang saleh. Demikian

pula dengan shalat, perilaku shalat adalah dimulai dengan takbiratul Ihram kemudian

ditutup dengan salam. Semua orang yang shalat sudah begitu, tetapi itu tidak cukup,

shalat harus melibatkan kesadaran.

Level 3, Kesadaran : Ketika berthawaf, kita harus sadar bahwa kita sedang mengelilingi

rumah Allah untuk memperoleh ampunanNya. Sadarkah kita bahwa di saat kita

berthawaf, Allah sangat memperhatikan kita ?. Oleh karena itu berthawaf harus dengan

penuh kesantunan, berjalan dan melaju dengan tenang, telinga dan mata dipasifkan,

sedangkan hati diaktifkan secara penuh. Amat tidak layak melakukan perbuatan yang

kurang sopan di saat thawaf, apalagi sampai saling dorong, saling sikut dan marah-

marah. Sadarkah pula kita bahwa amat banyak rahmat Allah yang diberikan kepada

orang yang thawaf dan orang yang menyaksikannya. Apabila seseorang berthawaf tanpa

melibatkan kesadaran, mungkin hanya sibuk menghitung dan mengingat-ingat jumlah

putarannya saja tanpa mampu menggetarkan lubuk hati yang paling dalam. Dan itu pasti

akan sangat sulit menikmati putaran demi putaran thawafnya, padahal thawaf itu amat

nikmat. Demikian pula ketika shalat, kita harus melibatkan kesadaran, yakni menyadari

bahwa shalat adalah dialog antara hamba dengan Allah, oleh karena itu jangan tergesa-

gesa, bacaan al-Fatihah pun harus ayat perayat. Shalat itu untuk mengingat Allah

(lidzikri) oleh karena kita itu perlu berkonsentrasi. Shalat itu adalah doa, oleh karena itu

bacaannya harus jelas dan dengan tempo yang teratur. Shalat itu berfungsi mencegah

maksiat, oleh karena itu setiap gerakan dan bacaan shalat, episode demi episode shalat

harus berfungsi mencegah maksiat.

Level 4, Nurani : Ketika berthawaf, nurani harus terlibat penuh; hati tidak henti-

hentinya menjerit memohon ampun, qalbu terus menerus memelas kepada Allah

memohon kebaikan dunia akhirat, Jiwa terus menerus bergetar ketika mengucapkan

lafadz-lafadz dzikir (takbir, tahlil dan tahmid). Sepanjang putaran thawaf, semua unsur

nurani (kemauan, perasaan dan pemikiran) luluh di bawah keagungan Ilahi Rabbi, lebur

di bawah kedahsyatan pengaruh Allah SWT. Itulah keadaan orang yang berthawaf

dengan nuraninya. Apabila nurani tidak terlibat dalam thawaf, maka thawaf akan terasa

hambar tanpa makna. Tapi itu pun belum sempurna apabila ruhnya belum menyatu.

Demikian pula dengan shalat, shalat yang baik adalah shalat yang melibatkan unsur

nurani. Bagi orang yang pernah haji atau umrah pasti tahu ketika Imam Sudes atau Imam

Surem menangis ketika beliau membaca ayat-ayat tentag siksa.

Level 5, Ruh : Perhatikan orang yang sedang bermimpi, tubuhnya terbaring di tempat

tidur, tetapi ruhnya mengalami banyak hal. Demikian pula ketika orang berthawaf,

tubuhnya menapak di bumi dan berputar mengelilingi ka’bah, tetapi ruhnya “naik”

menuju medan Ilahiyah, ibarat magnet. Menurut Laurenz ilmuwan Perancis, lambang

magnet itu seperti tangan kanan yang semua jarinya berputar ke arah kanan tetapi

jempolnya berdiri ke atas. Ketika gaya magnet berputar berlawanan jarum jam, maka inti

magnet naik ke atas. Mudah-mudahan, ketika tubuh kita berthawaf mengelilingi ka’bah,

ruh kita “naik” menunju medan ilahiyah, sehingga segenap eksistensi diri yang bersifat

duniawi lenyap. Kesadaran yang muncul adalah tentang eksistensi diri kita sebagai

hamba Allah yang akan mati lantas bertemu dengan sang Pencipta. Itulah kenikmatan

tertinggi dalam berthawaf.

Demikian juga orang yang shalat dengan melibatkan ruh, sebagai contoh adalah Ali Ibn

Abi Thalib, ketika dia shalat, ia ditusuk dari belakang dengan pedang oleh seorang

munafik. Ketika pedang tembus ke dadanya, Ali tetap tidak bergeming, bahkan semakin

dekat dengan Allah. Ketika pedang dicabut oleh para pendampingnya, Ali tetap tidak

bergeming hingga akhirnya ia roboh.

Sangat mungkin, kebanyakan orang yang berthawaf dan shalat hanya melibatkan dua

sisi kemanusiaan saja yakni tubuh dan perilaku, tanpa melibatkan kesadaran, nurani dan

ruhnya. Oleh karena itu, marilah kita berlatih agar bisa berthawaf dan shalat dengan utuh,

kaffah, menyatu, integral sehingga kita benar-benar merasakan kenikmatan spiritual dalam

setiap thawaf dan shalat. Insya Allah.

Demikian pula dalam melakukan sa’i, melontar jumrah, dan wukuf, kita harus

melibatkan lima unsur kemanusiaan secara utuh dan integral yakni melibatkan tubuh,

perilaku, kesadaran, nurani dan ruh.

Dari sisi pandangan lain, terdapat lima level budaya yakni 1). Budaya material 2).

Budaya sosial 3). Budaya simbolik 4). Budaya normatif dan 5). Budaya Wahyu. Jika

diaplikasikan dalam ritual dapat penulis jelaskan sebagai berikut di bawah ini. Sekali lagi

penulis akan membuat penjelasan dengan menggunakan ilustrasi seputar thawaf dan shalat.

(1). Budaya Material : Ketika thawaf umrah misalnya, seluruh jemaah haji tanpa kecuali

memakai kain ihram, tidak ada seorang pun yang tidak mengenakannya. Walaupun

demikian, tidaklah penting membanding-bandingkan tentang mahal murahnya kain

ihram yang dipakai karena yang penting berfungsi menutup aurat. Kain ihram adalah

budaya material, budaya paling bawah, berada di bawah budaya sosial. Demikian pula

ketika shalat tidak perlu membanding-bandingkan mahal murahnya mukena atau sarung

yang dikenakan.

(2). Budaya Sosial : Ialah bagaimana menciptakan hubungan sosial yang baik antar jemaah

haji selama thawaf, misalnya saling menghargai, saling memberi kesempatan, saling

menolong, dan saling mengingatkan ketika ada yang keliru. Segenap jamaah haji

menjauhkan diri dari sikap kibir (arogan), ‘ujub (merasa paling baik), jidal (berbantah-

batahan), rafats (berbicara kotor), fusuq (bersikap fasik), dll. Seluruh jemaah haji selalu

berusaha menciptakan suasana sosial yang sangat harmonis. Itulah budaya sosial.

Demikian juga dalam shalat, jemah harus mengedepankan budaya sosial antara lain

saling memberi kesempatan dan saling menghargai.

(3). Budaya Simbolik : Ialah simbol-simbol yang ada ketika melaksanakan thawaf, misalnya

mencium hajar aswad. Mengecup batu hitam itu adalah sebuah simbol yang penuh

makna. Karena itu kalau mungkin menciumnya, ciumlah (istiqbal), tetapi jika tidak

mungkin menciumnya cukuplah diraba dengan tangan kanan lantas telapak tanganya

dicium (istilam), namun jika masih tidak mungkin juga, cukupkan dengan isyarah

tangan. Akan tetapi pada kenyataannya banyak orang yang memaksakan diri untuk

menciumnya walaupun harus menyakiti orang lain atau membayar upah kepada para

joki, bahkan banyak wanita yang terbuka auratnya di saat terjepit dan terseret arus para

pencium. Kalau terpaku kepada keharusan mencium hajar aswad seperti itu berarti

terpaku kepada simbol. Itulah haji orang awam. Bagi orang yang hawas (intelek) pasti

tidak terikat dengan simbol. Jika ia memang sulit mencium atau merabanya, ia merasa

puas degan isyarah. Demikian pula dengan shalat yang penuh dengan simbol-simbol dari

mulai takbiratul ihram sambil mengangkat tangan, ruku, dan sujud, itu semua adalah

simbol sedangkan norma di balik simbol itu adalah lita’dzim (menghormati) Allah.

(4). Budaya Normatif : Ialah norma-norma yang ada di balik simbol itu. Misalnya, makna

normatif di balik simbol mencium hajar aswad antara lain nilai al-musawwah (persamaan

derajat non diskriminasi), serta nilai keharusan merendah hati. Dalam pandangan Allah

SWT, semua manusia, baik mereka yang berkulit hitam, coklat, merah atau putih

memiliki derajat yang sama. Unsur yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah

ketaqwaannnya. Jadi mencium hajar aswad hanyalah simbolik. Dalam hal ini Umar Ibn

Khattab berkata:

' ,م* نإ ,ع.ل 8ك, ح,ج,ر3ي. أ ,ن .ت*أ ,ي أ 9ي ر, ,ن , أ ,و.ال .ف,ع* ، و,ل ,ن , ت ,ض*ر8 ، و,ال , ت ال*م8 *ك, ، ث .ت ,ل 8ل,ك, م,ا ق,ب 8م, ق,ب ل .ه' و,س, ,ي و.ل, الله' ص,لى8 الله* ع,ل س* ر,

,ه* 8ل ق,بSesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu yang tidak bisa memberi madharat dan juga tidak memberi manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah s.a.w menciummu, akupun tidak akan menciummu. Kemudian Umar pun mencium4

Lain sekali dengan haji orang awam yang sangat terpaku kepada simbol dan berhenti

pada simbol itu tetapi tidak berlanjut kepada norma. Mereka merasa sangat puas kalau

dapat mencium hajar aswad walaupun harus menyakiti sekian orang di sekitarnya.

Mereka amat merasa bangga telah berhasil mencium hajar aswad tetapi tidak pernah

4 Imam al-Hafidz Abi Abdillah al-Hakim Al-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘ala Shahihaini (Darul Ma’rifah-Bairut, Libanon, t.t), Bab : Awal Kitab Manasik, Juz 1, hal.457

ingin tahu bagaimana mengaplikasikan norma di balik mencium hajar aswad tersebut.

Itulah haji orang awam. Berbeda sekali dengan haji orang yang lebih mementingkan

norma di balik simbol itu. Mereka cukup berisyarah tanpa harus memaksakan diri

mencium hajar aswad. Mereka sangat mementingkan aplikasi nilai-nilainya daripada

simbol. Itulah haji orang-orang hawas (intelek). Orang hawas pun memahami bahwa,

memulai thawaf adalah dari sudut hajar aswad dan berakhir di hajar aswad, memulai

thawaf dengan ucapan bismillahi Allahu Akbar dan mengakhirinya pun dengan Allahu

akbar, mengandung makna bahwa hidup harus dimulai dengan nama Allah dan ditutup

dengan nama Allah juga. Demikian pula ketika shalat, ada noma di balik simbol,

misalnya mengangkat tangan sambil mengucapkan takbir mengandung makna bahwa

kita menghormati dan pasrah kepada Allah serta mengikis sikap sombong, arogan atau

kibir. Sungguh disayangkan, jika sering bertakbir tetapi hatinya tetap arogan.

(5). Budaya Wahyu : ialah apabila semua perilaku lahir batin orang yang berthawaf selalu

dipandu oleh wahyu. Wahyu menjelaskan bahwa Allah itu sangat dekat, oleh karena itu

bacaan thawaf cukup dengan suara yang lirih dengan merendah hati (tadharru’an wa

khufyatan). Jika ada orang yang berthawaf sambil berdzikir dengan suara keras apalagi

berteriak-teriak, itu adalah haji orang awam. Apa lagi ? Wahyu Allah pun menjelaskan

idfa’ billati hiya ahsan (tolaklah semua sikap buruk orang lain dengan sikap yang baik),

misalnya ketika thawaf, kaki terinjak orang, janganlah balas menginjak, ketika dada

tersikut tak perlu balas menyikut, ketika tubuh terdorong tak layak balas mendorong,

ketika orang marah – marah tak patut balas memarahinya. Itulah budaya wahyu, itulah

hajinya orang-orang hawas (intelek). Demikian pula dalam shalat, kita harus merasa

bahwa shalat adalah untuk mencegah maksiat; takbir mengikis sikap sombong, sidekap

menumbuhkan sikap merendah hati, ruku dengan bacan subhanallah mengikis sikap sok

suci, salam ke kiri dan ke kanan mengikis sikap dendam dan permusuhan tetapi

menyemai sikap damai dan persahabatan. Oleh karena itu, di mana pun kita berada harus

selalu berjuang sungguh-sungguh untuk selalu menjauhi maksiat, jangan sampai terjadi,

shalat terus maksiat pun jalan. Itu adalah shalat sahun, shalat yang sia-sia. Naudzu billahi

min dzalik.

Marilah kita melakukan thawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah, tahallul dan segenap

episode ibadah haji serta ibadah shalat dengan panduan wahyu. Bukan sekedar haji tubuh

dan haji perilaku tetapi haji yang berkesadaran, haji dengan nurani dan haji ruhiyah/spiritual.

Kita harus menghindari haji yang sekadar haji simbolik tetapi harus tembus kepada haji

normatif dan haji wahyu ilahiyah. Harapan kita tiada lain agar kita menjadi haji mabrur

dengan nilai cumlaude.

3. Ibadah : antara Simbol dan Norma

Dalam setiap ibadah terdapat dua sisi yang saling berdampingan yakni simbol dan

norma. Supaya lebih jelas dan supaya pembaca bisa menangkap esensi hubungan antara

simbol dan norma di dalam ritual, di bawah ini penulis tegaskan sbb :

Mengangkat tangan dalam shalat sambil mengucapkan takbir adalah simbol, normanya

adalah lita’dzim yakni untuk menghormat Allah dan bersikap pasrah kepadaNya. Simbol

Itu penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah norma yang ada di balik simbol itu.

Semua simbol dalam ibadah ritual shalat dan haji, tidak tercantum di dalam Alquran tetapi

cukup dijelaskan oleh hadits nabi. Di dalam Alquran, Allah hanya mencantumkan norma-

norma dan esensinya ibadah tersebut, misalnya esensi shalat adalah : (1). lidzikri : shalat

adalah untuk mengingat Allah (2). Dialog : shalat pada hakikatnya adalah dialog manusia

dengan Allah (3). Doa : Intisari shalat adalah doa (4). Shilah : shalat adalah senjata

mukmin (5). Khasyi’un : shalat harus khusyuk yang berfungsi mencegah maksiat.

Tatacara shalat dari mulai takbir sampai salam sebagai simbol hanya tercantum di dalam

hadits, itupun pada awalnya tidak ditulis karena Nabi melarangnya. Tatacara shalat

sebagai simbol itu memang penting tetapi mengapa Nabi tidak mencantumkannya dalam

lembar negara misalnya atau dengan cara apa saja yang dianggap sebagai arsip penting.

Ini sangat mungkin karena norma itu jauh lebih penting dari pada simbol. Atau kita ambil

hikmahnya, yakni agar semua muslimin terutama para ilmuwan/ulama tidak merasa cukup

dengan ilmu yang dimilikinya, menjauhi sikap arogan, serta terdorong untuk

menghidupkan majelis ilmu sehingga terjadi dinamika keilmuan yang luar biasa.

Simbol-simbol dalam ibadah dapat di tawar, lain lagi dengan esensi, norma (norm) dan

nilai (value) tak dapat ditawar. Misalnya shalat fardlu yang lima waktu wajib dilakukan

sambil berdiri tetapi apabila tidak mampu, maka boleh dilakukan sambil duduk bahkan

berbaring, itulah rukhsah (keringanan) dari Allah. Contoh lain, ketika takbiratul Ihram,

kita harus mengangkat kedua tangan, akan tetapi jika salah satu tangan kita sakit, cukuplah

mengangkat sebelah tangan saja. Berbeda dengan nilai/norma atau esensi, misalnya dalam

shalat harus mengingat Allah, ya mesti begitu, tidak dapat ditawar.

Sering terjadi perbedaan pendapat dalam menggunakan simbol. Contoh pertama, satu

kelompok setelah i’tidal atau bangkit dari ruku, mereka bersidekap, sementara kelompok

yang lain menjuntaikan kedua tangannya ke bawah. Apakah gara-gara perbedaan ini

kelompok yang satu diterima dan kelompok yang lain ditolak oleh Allah swt ?. Contoh

kedua, sebahagian orang ketika turun untuk sujud mendahulukan tangannya sedangkan

sebahagian lainnya lebih mendahulukan lututnya, apakah karena soal ini yang satu

terlempar dan yang lain dimanjakan oleh Allah. Contoh ketiga, satu kelompok berisyarah

tasyahud dengan menggerak-gerakan telunjuknya sementara kelompok lain tidak

menggerak-gerakkannya. Apakah hanya gara-gara ini satu kelompok masuk surga

sementara kelompok yang lain masuk neraka ?. Menurut hemat penulis itu tidak rasional,

tidak logis, kalau begitu Allah kejam, tidak Maha Pemurah, karena dari awalnya pun

tatacara shalat itu tidak ditulis. Hal yang rasional adalah jika mereka menolak apa-apa

yang sudah pasti benarnya, atau karena orang itu ngotot menggunakan hadits yang sudah

jelas kedhaifannya, lantas ibadahnya ditolak, baru itu wajar.

Perbedaan pendapat dalam tatacara shalat atau haji harus dikaji secara ilmiah, melalui

bahtsul kutub, diskusi sampai ke tingkat debat, tetapi apabila telah melalui serangkaian

diskusi atau debat ternyata tidak ada titik temu maka kerjakanlah sesuai dengan keyakinan

masing-masing dengan tidak saling menyalahkan. Jangan sampai meributkan simbol tetapi

melupakan norma/nilai, atau esensi.

Kebiasaan terpaku kepada simbol, atau bertengkar soal simbol yang memang di dalam

haditsnya pun kurang jelas, lantas melupakan norma di balik simbol. Itu merupakan

kebiasaan buruk yang harus ditinggalkan.

Pekerjaan ibadah yang benar-benar baru (muhdatsah) atau ibadah yang hanya berdasarkan

hadits yang benar-benar dhaif, itu dikatagorikan sebagai amalan bid’ah, sesat dan

berakibat neraka. Adapun perbedaan tatacara ibadah sebagai akibat perbedaan pemahaman

atau perbedaan kesimpulan hasil penelitian dari sejumlah hadits yang diduga shahih, itu

adalah khilafiyah (perbedan pendapat). Jika hanya perbedaan pendapat, itu amat wajar,

dan jika tak ada titik temu setelah melewati sejumlah diskusi, maka semua pihak harus

saling menghargai. Dalam hal ini penulis yakin bahwa Allah akan memaafkan kita karena

perberbedaan pendapat ini, karena perbedaan ini sudah kita diskusikan secara akademis

ilmiah dan total optimal. “Rabbana la tuakhidzna in nasina aw akhta’na” ya Tuhan kami,

janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah”. (QS. Al-Baqarah [2]: 286).

Melakukan kesalahan karena tak senagaja adalah khatta’ tetapi melakukan kesalahan

karena sengaja disebut bathil.

4. Fungsi Shalat dalam Membangun Karakter

Ayat-ayat Alqur’an dan hadits Nabi yang menjelaskan substansi, essensi serta fungsi

shalat antara lain :

Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan fahsya dan munkar (QS. Al-Ankabut [29] : 45). Dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku (QS Thaha [20] : 14). Minta tolonglah kamu dengan sabar dan shalat (QS. Al-Baqarah [2] : 45 ) Sungguh bahagia orang yang shalat, ialah yang beriman, ialah orang yang shalatnya khusyuk. (QS. Al-Mukminun [23] : 1-2)

Hadits Nabi : Pembeda antara muslim dengan kafir adalah shalat (HR. Muslim dan Tirmidzi). Amal yang pertama diperiksa pada hari kiamat adalah shalat. Sungguh pertama-tama seorang hamba yang akan dihisab adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka berbahagian dan beruntunglah dia, tetapi apabila shalatnya ruksak maka menyesal dan merugilah dia (HR. Tirmidzi).

Tentang definisi dan tatacara shalat diterangkan oleh para ulama bahwa shalat itu adalah rangkaian perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Nabi s.a.w menegaskan : Kunci shalat itu adalah bersuci, ihramnya itu adalah takbir dan tahallulnya itu adalah salam". (HR. Abu Dawud : 61618 At Tirmidzi : 3 Ibnu Maajh : 275,276). Adapun tatacaranya telah dicontohkan oleh nabi. Nabi bersabda Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat (HR. Bukhari 3 : 69).

Sebelum melaksanakan shalat, kita harus berwudhu, yakni membasuh anggota tubuh

secara sistematis dan serius. Dari mulai membasuh telapak tangan bulak-balik, berkumur-

kumur dan menghirup sejenak air ke hidung untuk membersihkan kotoran yang ada di lubang

hidung, membasuh wajah, membasuh tangan kanan dan kiri sampai sikut, menyapu seluruh

bagian kepala sekaligus menyapu dan membersihkan lubang telinga, diakhiri dengan

membasuh kaki sampai mata kaki. Bagian tubuh luar mana yang tidak dibersihkan ?

Kebiasaan berwudhu melahirkan karakter manusia yang selalu ingin bersih dan suci,

sekaligus membenci tubuh yang kotor. Coba lihat wajah orang yang sering berwudhu dan

bandingkan dengan mereka yang tidak pernah berwudhu. Orang yang rajin berwudhu selalu

nampak bercahaya kendatipun berkulit hitam. Apalagi jika wudhunya bisa menembus

dimensi ruhani dapat membersihkan dosa. Rasulullah s.a.w menegaskan dalam hadits yang

diriwatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa orang yang sempurna wudhunya maka

wudhunya itu akan membersihkan dosanya.5 Jadi wudhu itu disamping mensucikan hadats

juga dapat membersihkan dosa. Berwudhu yang afdlal ialah manakala batal wudhu segera 5 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari,Shahih al-Bukhari, ( Darul Fikr, Beirut, 1981 M/1401 H), Bab

: Wudlu tsalatsan-tsalatsan. Lihat juga : Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, ( Darul Jail, Beirut, tanpa Thn), , Bab : Shifat wudlu wa kamalihi

berwudhu lagi, sehingga selamanya ia memiliki wudhu, senantiasa dalam keadaan suci, steril

dari hadats. Berwudhu di luar waktu shalat sangat baik karena akan semakin banyak dosa

yang dihapuskan. Seseorang yang berdoa dalam keadaan punya wudhu, itu sangat mungkin

doanya lebih mudah dikabulkan. Amin. Oleh karena itu usahakan agar kita memiliki wudhu

sepanjang waktu.

Selanjutnya, ketika tiba waktu shalat dikumandangkanlah adzan oleh muadzin.

Dalam hal ini setiap umat beragama mempunyai cara masing-masing untuk memanggil

umatnya beribadah. Umat Nashrani membunyikan lonceng (genta), orang Yahudi meniup

terompet, orang Budha membunyikan bedug atau gong, sedangkan orang Hindu

membunyikan kentongan, adapun umat Islam mengumandangkan adzan. Apabila ada orang

Islam memberi tahu waktu shalat kepada jemaah dengan kentongan yang berasal dari Hindu

dan bedug yang berasal dari Budha, diteruskan dengan adzan, apakah ini tidak termasuk

sinkretik ? Apakah ini tidak termasuk tasyabbuh atau menyerupai cara ibadah agama lain ?

Adzan terdiri dari (1). Sejumlah pernyatan sikap yakni Allah Maha Besar, Saya

bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Saya bersaksi Muhammad itu rasul Allah. Itu diulang-

ulang. Suatu pernyataan yang diulang-ulang akan membentuk sikap dan karakter peneguhan

keyakinan. (2). Ajakan : Mari kita shalat, mari nenuju kemenangan. Ajakan yang berulang-

ulang akan membuat orang itu mau mengikuti ajakan, paling tidak, mereka memahami ajakan

itu. (3). Penutup adzan adalah Allah Maha Besar, tiada Tuhan selain Allah. Setiap ajakan

ditutup dengan pujian kepada Allah. Ini mengandung makna bahwa yang penting kita

mengajak mereka shalat, soal ia mau atau tidak, itu adalah persolan hidayah dari Allah.

Siapapun yang mau shalat diwajibkan menutup aurat. Ini membangun karakter malu

berbuka aurat dan perasaan bangga menutup aurat. Dianjurkan pula mengenakan pakaian

terbaik yang dimilikinya bukan pakaian asal-asalan. Ini membangun karakter untuk selalu

menghargai diri sendiri dalam rangka menghargai tuannya (Allah Swt ), karena pakaian itu

merupakan gambaran kepribadian. Sayangngnya banyak orang yang menutup aurat ketika

shalat tetapi kemudian membukanya di luar shalat. Padahal aturan berpakaian menurut Allah

adalah harus selalu menutup aurat, baik di ketika shalat maupun di luar shalat.

Sebelum imam mengomando untuk memulai shalat, imam memerintahkan kepada

mudazin untuk mengumandangkan iqamah. Kalimat-kalimat iqamah sama dengan kalimat

adzan, hanya dalam iqamah ada tambahan kalimat “Qad Qamatish shalah sebanyak 2 kali

yang artinya sungguh shalat telah siap didirikan, sungguh shalat telah siap dilaksanakan! Ini

membangun karakter controlling, agar sebelum menunaikan tugas harus dievaluasi benar

kesiapan para pelaksananya agar tidak ada kekeliruan atau terjadi ketidakseriusan dalam

pelaksanaannya. Sebelum shalat dimulai, dibentuklah shaf yang lurus dan rapat dengan

komando imam :” i’tadilu shawwu shufufakum” luruskan dan rapatkan shaf-shaf kalian.

Menurut hadits Nabi yang diriwatakan oleh Imam Abu Daud6, shaf itu harus rapat agar setan

tidak masuk ke celah-celah shaf dan mengacaukan hati jemaah. Ini melatih karakter jamaah

untuk selalu rapi dan tertib sehingga tak mudah diinfiltrasi. Orang yang berada di shaf

terdepan dijanjikan mendapat pahala paling banyak. Ini adalah pembangunan karakter

persaingan sportif dan keseriusan dalam mengabdi. Tempat jemaah pria di bagian depan

sedangkan tempat jemaah wanita di belakang. Ini menanamkan karakter untuk menjaga jarak

dengan lawan jenis, sebagai latihan untuk menjauhi benih perzinahan. Jangan sampai terjadi,

ketika shalat berjauhan dengan lawan jenis tetapi selesai shalat berpacaran saling

berpegangan. Bagaimana ini ? ibarat kain yang sudah dicuci bersih kemudian disiram air

comberan, apa tidak mubadzir ?

Ketika shaf jamaah benar-benar sudah rapi, barulah imam memberi komando Allahu

Akbar kemudian serentak diikuti oleh makmum dengan ucapan Allahu Akbar. Hadits

menjelaskan bahwa seandainya muslimin mengetahui betapa besarnya pahala bagi orang

yang ikut shalat berjamaah dengan mengucapkan takbiratul ihram segera setelah imam

bertakbir pasti mereka akan mengusahakannya. Ini membangun karakter agar jemaah tidak

terbiasa datang terlambat.

Imam mengomando makmum sambil membelakanginya tetapi semua jamaah menaati

imam. Ini membangun karakter ketaatan kepada pimpinan walaupun pimpinan tidak

melihatnya. Ketika imam keliru segeralah sebahagian makmum terutama yang berada dekat

di belakang imam dengan mengucapkan : “Subhanallah”. (Allah maha Suci). Itu kalimat

spiral bukan kalimat fulgar. Maksudnya kira-kira begini: “Allah itu Maha Suci, sedangkan

engkau wahai imam tidak suci. Jadi kalau engkau berbuat salah wajar saja. Sekarang engkau

keliru, maka perbaikilah kesalahanmu !” . Tidak boleh menggunakan kalimat fulgar,

misalnya “Khatta, khatta” , salah ! salah !. Cara memperbaiki imam seperti ini membangun

karakter untuk tidak panik manakala pimpinan salah dan tidak perlu membesar-besarkan

kesalahan pimpinan, apalagi menyebar aib pimpinan pada surat kabar atau pada jejaring

sosial lainnya. Kekeliruan ulil amri cukup diperbaiki oleh orang-orang yang dekat saja.

Sebaliknya pimpinan yang berbuat kekeliruan tidak boleh anti kritik. Pimpinan yang anti

kritik apalagi otoriter biasanya melahirkan ketaatan semu pada rakyat dan akhirnya bisa

terjungkir.

6 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abu Dawud, (Darul Ibn Hazm, 1997 M/1418 H), Bab : Taswiyah as-shufuf

Makmum wanita memperbaiki imam bukan dengan mengucapkan subhanallah karena

suara perempuan di saat seperti itu bisa dianggap aurat dan bisa melahirkan beragam respons.

Makmun wanita cukup dengan tepuk tangan, menepuk punggung tangan kiri oleh telapak

tangan kanan, bukan tepuk tangan seperti applaus kepada pemakalah yang briliant. Ini

membangun karakter kesantunan di depan publik.

Apabila imam batal (kentut misalnya), maka imam segera memberi tahu kepada

makmum terdepan bahwa dia batal. Caranya, imam berdiri lantas menghadap kepada

makmum kemudian memberi isyarat dengan memegang hidungnya, bukan memegang

pantatnya. Sopan sekali. Makmum yang di belakang sangat paham akan isyarat itu,

kemudian salah seorang di antara mereka segera maju menggantikan imam yang batal. Imam

yang batal segera meninggalkan posisi dan jabatannya lantas keluar melalui pintu samping.

Pergantian imam berlangsung tanpa gejolak, elegan, sangat nyaman, tak ada yang

dipermalukan, dan ektivitas shalat berjamaah tidak terganggu. Gawatnya jika tidak ada

seorang pun makmum yang memahmi norma di balik simbol memegang hidung, mereka

hanya saling menatap (bengong) dan bertanya bingung. Kalau demikian kejadiannya, shalat

berjamaah bisa bubar. Cara seperti ini mengandung nilai latihan karakter sikap sportif.

Siapapun yang menjadi pimpinan harus sportif kalau dia batal atau tidak lagi mampu

menjalankan roda organisasi atau pemerintahan. Juga memberi pelajaran tentang melakukan

kaderisasi sehingga ada kader yang benar-benar siap menggantikan kedudukan imam

manakala imam yang ada berhalangan tetap.

Selama shalat, terjadi pembangunan karakter yang amat banyak. Supaya agak rinci

akan penulis tambahkan lagi penjelasannya sbb :

Takbir dan mengangkat tangan : Tentara menghormat atasannya dengan mengangkat

sebelah tangan, dilakukan setiap hari, awal apel dan ketika mau pulang. Kalimat

komandonya :”Hormat gerak !”. Tentara menghormat atasannya hanya dengan sebelah

tangan, tanpa diiringi kata-kata. Cara itu dianggap paling baik sehinga tentara mendapat

gaji setiap bulan dan naik pangkat. Bandingkan dengan takbir dalam shalat. Kita

mengangkat kedua tangan (bukan sebelah), diiringi ucapan Allahu Akbar, Allah yang

Maha Agung. Itu jauh lebih tinggi nilainya. Simbolnya adalah mengangkat tangan

tetapi norma di balik simbol itu adalah lita’dzim ( untuk menghormat Allah) dan

kepasrahan. Apabila orang berulang kali mengucapkan Allahu Akbar tetapi keadaan

hatinya tetap sombong, dapat dikatakan ucapan takbirnya tidak memiliki nilai.

Sidekap : Setelah bertakbir dengan mengangkat kedua belah tangan, kita pun sedekap,

yakni meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada, dengan wajah tunduk dan

mata melihat ke tempat sujud. Itu semua melambangkan sikap pasrah menyerah dan

sikap sangat santun dan ajrih kepada Allah. Ini membangun karekter tadharru (merendah

hati kepada Allah). Mengapa harus tadharru ? Karena manusia dengan segala pangkat,

gelar dan kepakarannya tidak mungkin bisa menyamai ilmu dan kekuasaan Allah. Lihat

saja bagaimana tidak berdayanya para profesor dan tentara ketika Tsunami di Aceh dan

di Jepang, banjir di Cina, serta peristiwa alam lainnya. Allah dilawan ?

Ucapan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin : Ini membangun karakter manusia tidak gila

pujian sebab semua pujian itu milik Allah. Ketika dipuji mengucapkan “Alhamdulillah”

ketika dihina mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” (kami semua milik Allah

dan kepadaNya lah kami kembali). Orang yang sering mengucapkan kalimat hamdalah

tetapi di hatinya masih terpatri sikap selalu ingin dipuji, dapat dikatakan bahwa ucapan

hamdalahnya tidak bermakna.

Ruku : Orang Jepang menghormati kaisar atau atasannya dengan merunduk sedikit .

Bandingkan dengan cara ruku dalam shalat, pantat harus rata dengan kepala, seraya

mengucapkan Subhana rabbiyal ‘adzim (Maha suci Tuhanku Yang Maha Agung).

Kalimat yang diucapkan setiap kali ruku ini akan membangun karakter manusia agar

tidak sok suci. Dia meyakini bahwa Allah Maha Suci sedangkan dirinya maha kotor,

karena merasa kotor maka ia tidak mungkin menghina orang lain. Jika pada kenyatannya

ia masih suka menghina orang lain, berarti subhanllah-nya tidak berfungsi karena tidak

memperbaiki karakternya.

Sujud : Kaum kafirin di Mesir menghormati Fir’aun dengan cara sujud satu kali tanpa

mengucapkan apa-apa, sedangkan di dalam shalat kita sujud dua kali sambil

mengucapkan “Subhana rabbial a’la” (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi). ini

membangun karakater sikap hormat kepada Allah dan membangun karakter merendah

hati dan tidak sok suci.

Duduk di antara dua sujud : Kepada sebahagian raja-raja, para bawahannya

menghormat mereka dengan cara duduk bersimpuh. Bandingkan dengan duduk di antara

dua sujud sambil mengucapkan “Rabbigfirli, warhamni, wazburni, wahdini, warzuqni”

(Ya Allah maafkanlah aku, sayangilah aku, lapangkan dadaku, tunjukilah aku, dan

berilah aku rizki). Ini membangun karekter antara lain bahwa manusia itu harus lapang

dada).

Salam : Assalamu alaikum warahmatullah (mudah-mudahan keselamatan dan rahmat

Allah dilimpahkan kepadamu). Ini membangun karakter untuk saling mendoakan,

memaafkan, dan saling mendukung dalam kebaikan, sekaligus membuang karakter suka

bermusuhan, mudah tersinggung, cepat marah atau hobi menebar kebencian dan dendam.

Seakan-akan kita mengatakan begini :”Wahai temanku di sebelah kanan dan kiri,

siapapun namamu, sukumu, budayamu, warna kulitmu, dan bahasa yang kamu gunakan,

kita sama-sama muslim, saya mendoakanmu agar kamu selamat, sukses dan selalu

berada dalam rahmat Allah. Marilah saling memaafkan segala kealpaan dan dosa di

antara kita”. Dengan cara begitu maka hapus-leburlah semua dosa di antara kita, kecuali

satu, utang (utang harus dibayar).

Sel darah, otot dan sendi: Di dalam shalat , semua sel darah, otot dan seluruh sendi

bergerak, tak ada satu pun yang pasif. Persendian tangan bergerak ketika takbir,

persendian punggung bergerak ketika ruku, persendirian kaki bergerak ketika sujud,

persendian leher bergerak ketika salam ke kiri dan ke kanan, serta persendian jari tangan

bergerak ketika tasyahud dan wiridan. Jadi ketika shalat, semua sel darah, semua otot

dan semua persendian bergerak, bertasbih kepada Allah Rabbul Izzati. Wajar kalau

shalat dikatagorikan sebagai ibadah terbesar kepada Allah.

Berdasarkan uraian itu kita paham, semua muslim yang rajin shalat, yakni shalat

yang melibatkan semua dimensi kemanusiaan serta dimensi “budaya”, seharusnya menjadi

muslim yang berkarakter Qur’ani.

Sebagai akhir uraian tentang fungsi shalat dalam membangun karakter, di bawah ini

akan penulis jelaskan mengenai shalat khusyuk versus shalat sahun.

Menurut syaikh Mushtafa al-Maraghi7, shalat khusyuk memiliki empat kriteria yakni :

Haqqun fi al-harakat (benar gerakannya) : gerakan dan tata letak anggota tubuh

selama shalat harus benar, dari mulai gerakan mengangkat tangan ketika takbiratul

ihram sampai gerakan melihat ke kanan dan ke kiri ketika salam. Selain itu harus

tumaninah (ada ketenangan dalam setiap episode gerakan), serta tidak melakukan

gerakan-gerakan di luar gerakan shalat kecuali kalau terpaksa. Gerakan shalat yang

baik dan benar adalah bahagian dari indikator shalat khusyuk .

Tawajjuhul Qalbu (menghadapkan hati) : ketika kita sedang shalat, wajah kita

menghadap ke qiblat tetapi hati tertuju kepada Allah SWT, yakni konsentrasi penuh.

Jangan sampai terjadi, hati melamun ke mana-mana memikirkan hal-hal di luar shalat.

Supaya konsentrasi penuh kepada Allah, ada kiat-kiatnya antara lain wajah merunduk,

7 Lihat Tafsir Al-Maraghi, juz 1 ketika menjelaskan soal khusyuk.

mata melihat tempat sujud, memahami bacaan shalat minimal memahami makna

globalnya, tidak menahan kencing dan kentut, tidak mengantongi barang-barang yang

dapat berjatuhan ketika ruku dan sujud, tidak sengaja mendengar suara apa saja, dan

selalu menghindari apa saja yang dapat membelokkan hati.

Ikhlas : Ialah melakukan shalat semata-mata karena Allah bukan karena motif-motif

duniawi. Kita ingin mengabdi kepada Allah dan mempersembahkan ritual yang

sesempurna mungkin. Bagaimana jika kita shalat karena ingin syurga, bolehkah ?

Memang Allah memberi kabar gembira bahwa Dia akan memberi pahala kepada

orang yang shalat, jadi kalau seseorang melaksanakan shalat karena ingin

mendapatkan syorga, itu termasuk ikhlas. Disebut tidak ikhlas kalau motif

melaksanakan shalatnya karena motif-motif duniawi.

Tanha anil Fahsya wal munkar : ialah mencegah perbuatan maksiat, baik maksiat

perseorangan seperti mencuri maupun maksiat kolektif seperti zina. Shalat sarat

dengan simbol-simbol yang mengandung norma pencegahan maksiat. Sebagaimana

dijelaskan terdahulu tentang fungsi takbir untuk mengikis kesombongan, sampai

kepada salam yang berfungsi mengikis kesenangan berselisih dan bermusuhan. Jika

shalatnya benar pasti akan sanggup mencegah maksiat.

Jadi shalat kita dinilai khusyuk jika gerakan dan bacaannya benar, hati konstrasi

kepada Allah, niatnya semata-mata mengabdi kepada Allah, serta yang mempu mencegah

maksiat.

Kebalikan dari shalat khusyuk adalah shalat Sahun. Shalat sahun ialah shalat dengan

ciri-ciri sbb : (1). Qamu Qusala, mengerjakan shalat sangat terlambat, mengulur-ulur waktu,

bersikap sangat menyepelekan, baginya yang penting mengerjakan shalat. Shalatnya hanya

formalitas. (QS. An-Nisa [4] : 142) (2). Yura’un, yakni motivasinya ingin dipuji (3). Wa

yamnaunal maun yakni shalatnya tidak berfungsi mencegah maksiat, antara lain tidak mau

menolong orang yang susah. Baca : QS. Al-Ma’un. (4). La yadzkuruna Allah illa Qalila

qalil; Pikirannya tertuju kepada Allah hanya sedikit saja. (5). Tidak tumaninah : gerakannya

terburu-buru dan bacaannya pun tergesa-gesa. (6). Ghafilun : Hatinya lalai, melamun dan

tidak konsentrasi kepada Allah. \

Perhatikan oleh anda bahwa banyak orang shalat tetapi melakukan perbuatan yang

mubadzir, laghwi (berlebihan), bakhil (pelit), tidak menjaga kemaluannya, banyak inkar

janji, serta melakukan maksiat lainnya (QS. Al-Mukminun ayat 1-11). Shalat yang tidak

fungsional untuk mencegah maksiat adalah shalat sahun.

Marilah kita shalat yang khusyuk agar banyak manfaatnya di dunia dan di akhirat,

antara lain merasakan ketenangan jiwa, cepat menemukan solusi ketika hidup bermasalah,

mendapatkan keridaan Allah, memperoleh sorga dan bertemu dengan Allah SWT. Marilah

kita berusaha sekuat tenaga untuk mendirikan shalat dengan khusyuk supaya mendapatkan

nilai cumlaude.

5. Fungsi Zakat dalam Membangun Karakter

Salah satu ciri pokok orang yang bertaqwa adalah suka menginfaqkan sebahagian

rizki yang Allah karuniakan kepadanya. Allah SWT menjelaskan : “Alif lam mim. Kitab

(Alqur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Yaitu

mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan

sebahagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka ” . (QS. 2/Albaqarah : 1-3).

Apakah Infaq itu dengan rizki atau dengan harta ? Supaya memperoleh jawaban yang

tepat, penulis akan menjelaskan perbedaan antara rizki, milik, harta dan gaji sbb : (1). Ujrah

atau gaji adalah a-ljaza’ ‘ala al-amal8 yakni imbalan atas pekerjaan/jasa, misalnya pegawai

negeri, pegawai BUMN, pegawai swasta yang menerima gaji setiap awal bulan. Dalam hal

ini tidak semua mempunyai gaji, termasuk mereka yang berprofesi sebagai pedagang karena

pedagang bukan menjual jasa tetapi menjual produk. (2). Maal (harta) adalah ma malaktahu

min kulli syai-in9 apa-apa yang dimiliki. Sebenarnya itu terlalu luas, penulis mendefinikan

harta adalah apa-apa yang kita miliki dan bisa dijual atau diwariskan seperti uang, rumah,

tanah dan kendaraan. (3). Milik adalah syai-un yamlikuh atau sesuatu yang dimiliki.10 Jadi

milik adalah apapun yang kita punyai, baik yang bisa dijual seperti mobil maupun yang tidak

bisa dijual seperti anggota badan. (4). Ar-Rizqu = ma yuntafa’u bihi11 ialah apa-apa yang bisa

dimanfaatkan. Rizki adalah segala karunia Allah bagi kita, baik berupa harta benda, anggota

tubuh, nyawa, kehormatan, penghargaan, kesehatan, tenaga, pikiran, kemampuan berbuat, dll.

Ini lingkaran yang paling luas meliputi gaji, harta, maupun milik. Rizki yang paling besar

adalah nikmat Iman.

Setiap mukmin tanpa kecuali terkena kewajiban untuk menginfaqkan sebahagian

rizki. Infaq itu bisa dengan harta benda seperti mewakafkan tanah atau menyerahkan

sejumlah uang untuk pembangunan masjid tetapi bisa juga infaq dengan yang lain. Apabila 8Khalil Ma’mun Syikhan, Kamus Al-Muhith, Dar al-Ma’rifat, Beirut Lubnan, .p. 349 Kamus Al-Muhith, p. 124910 Kamus Al-Muhith, p. 124111 Kamus Al-Muhith, p. 504

tidak memiliki harta benda, seseorang masih bisa berinfaq dengan tenaga, atau nyawa seperti

mati di medan tempur. Jika tenaga pun tidak ada, masih bisa berinfaq dengan doa. Jika

berdoa pun tidak mampu misalnya, masih bisa berinfaq dengan senyum. Pokoknya “setiap

kebaikan adalah sidkah” (kullu ma’rufin shadaqah).12. Hadits ini memberi pemahaman bahwa

bersidkah tidak selamanya dengan harta tetapi bisa dengan apa saja. Oleh karena itu, orang-

orang miskin janganlah berkecil hati karena merasa tak mampu bersidkah dengan harta tetapi

bersidkahlah dengan kebaikan secara konsisten.13 Jadi tidak ada seorang muslim pun di dunia

ini yang tidak bisa berinfaq, karena infaq itu dengan rizki bukan dengan harta saja. Infaq

yang paling baik adalah infaq yang lengkap bi amwalikum wa anfusikum (dengan harta dan

jiwa ragamu). Alangkah sempurnanya jika kita berinfaq dengan harta, tenaga, pikiran, doa,

sikap baik, dan dengan nyawa karena sesungguhnya Allah telah membeli harta dan jiwa

orang mukmin dengan syurga. Amin.

Apa perbedaan antara infaq, zakat dan shadaqah ?

Infaq adalah istilah induk14 yang artinya menafkahkan sebahagian rizki baik sebagian

maupun sampai habis. Infaq itu terbagi dua klasifikasi yakni (1). Infaq di jalan syetan (fi

sabili thagut) seperti bayar pelacur, berjudi, atau membeli arak (2). Infaq di jalan Allah (fi

sabilillah) seperti mebangun masjid atau membangun fasilitas umum yang bermanfaat. Infaq

di jalan Allah. Inilah infaq yang benar. Benar itu bahasa Arabnya shadaqa, maka disebutlah

shadaqah. Jadi shadaqah adalah menginfaqkan rizki di jalan yang benar saja, sedangkan

menginfaqkan harta di jalan setan tidak bisa disebut shadaqah.

12 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari,Shahih al-Bukhari, ( Darul Fikr, Beirut, 1981 M/1401 H), Bab : Kullu Ma’ruf Shadaqah no. 6021. Lihat juga : Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, ( Darul Jail, Beirut, tanpa Thn), Bab : Bayan anna isma as-shadaqah yaqa’u ‘ala kulli nau’in minal ma’ruf, no. 2375

13 Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusairi al-Naisaburi,Shahih Muslim, ( Darul Jail, Beirut, tanpa Thn), Bab : Bayan anna isma as-shadaqah yaqa’u ‘ala kulli nau’in minal ma’ruf, no. 2376 . Sahabat Abu Dzar menceritakan “para sahabat Nabi s.a.w berkata kepada beliau :”Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi membawa pahala yang banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, shaum seperti kami shaum, tetapi mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka. Rasulullah s.a.w menjawab : bukankah Allah juga telah menjadikan bagi kalian apa yang bisa kalian shadaqahkan? Karena sungguh setiap takbir itu shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap tahlil shadaqah, amar ma’ruf shadaqah, nahyi munkar shadaqah dan mencampuri istri juga shadaqah. Mereka bertanya : wahai Rasulullah, apakah seseorang mendatangi syahwatnya (hubungan suami-istri) juga mendapatkan pahala? Beliau menjawab : Bukankah kalau ia menyimpannya (air mani) dalam sesuatu yang haram berarti berdosa? Maka demikianlah jikalau ia menyimpannya pada sesuatu yang halal berarti ia mendapatkan pahala (HR. Muslim).

14 Menurut ar-Raghib al-Aspahani, infaq diambil dari kata nafaqa yang artinya berlalu dan habis, seperti firman Allah s.w.t : Katakanlah:"Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Rabbku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya". Dan adalah manusia itu sangat kikir. (QS. Al-Isra (17):100).

Infaq shadaqah ini terbagi dua hukumnya, yakni infaq yang wajib dan infaq yang sunnat.

Infaq yang wajib terbagi dua lagi yakni infaq wajib muqaddar dan infaq wajib ghair

muqaddar. Infaq wajib muqaddar ialah infaq yang hukumnya wajib dan sudah pasti

ukurannya, yakni zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal. Adapun infaq wajib ghair

muqaddar adalah infaq yang wajib tetapi tidak pasti ukurannya, seperti nafakah untuk anak

isteri, amal jariyah dalam rangka membangun masjid, atau memberi makan bagi fakir miskin.

Semua itu wajib hukumnya tetapi mengenai jumlah dan ukurannya diserahkan kepada

kemampuan masing-masing.

Di samping infaq shadaqah yang wajib terdapat pula infaq shadaqah yang sunnat.

Termasuk ke dalam katagori ini adalah wakaf, hibbah dan hadiah. Wakaf adalah

menyerahkan barang yang tahan lama (termasuk uang) untuk kepentingan umum seperti

wakaf tanah untuk membangun masjid atau jalan umum, sedangkan hibbah adalah

memberikan barang atau uang kepada seseorang atas dasar kecintaan. Adapun hadiah adalah

memberikan uang atau barang kepada seseorang karena prestasinya. Sekarang banyak terjadi

pengusaha menghibahkan uang, mobil atau tanah kepada pejabat tertentu padahal itu bisa

amat berkaitan dengan jabatannya bukan karena kecintaan. Ini bisa dinilai sebagai rusywah

(suap) bukan hibbah.

Dengan uraian di atas kita paham bahwa zakat hanyalah sebahagian dari infaq shadaqah.

Zakat merupakan rukun Islam, oleh karena itu orang yang tidak berzakat dianggap tidak

shalat. Hadits nabi menegaskan la shalata liman la zakata lah (tidak dianggap shalat mereka

yang tidak berzakat). Kasihan sekali nasib orang yang rajin shalat tetapi enggan membayar

zakat. Kelak hartanya akan menjadi setrika baginya di akhirat. Mengapa demikian ? Wajar

sebab zakat merupakan penyokong tegaknya agama dan kesejahteraan umat. Jadi kalau

seseorang tidak menunaikan zakat, sama saja dengan tidak mendukung kemajuan Islam.

Selanjutnya, infaq secara umum (bukan hanya zakat) harus lebih digalakkan, dan infaq

ini bisa dilakukan setiap saat tidak terikat oleh waktu, penggunaan dana infaq pun bisa sangat

leluasa. Infaq merupakan soko guru kemajuan Islam, jadi orang yang tidak suka infaq bisa

dinilai tidak menyokong kemajuan Islam.

Karakter apa yang dibangun dengan infaq ?

Dengan kebiasaan berinfaq berarti membangun karakter suka berbagi. Perhatikan orang

yang suka berinfaq, pasti dia tidak tega melihat orang lain yang memerlukan bantuan, tidak

akan pernah membiarkan orang lain terhimpit dalam kesulitan dan tidak senang melihat

penderitaan orang. Jadi infaq dapat mengikis karakter pelit, sikap itung-itungan dan sikap

materealistik.

Orang yang sering berinfaq hampir dapat dipastikan tidak gila dunia, dan jauh dari sikap

individualistik yang mementingkan diri sendiri. Orang yang terbiasa berinfaq sering

mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Wajar saja kalau orang yang infaq banyak

didoakan kaum dhu’afa dan di bela banyak pihak di manapun dia berada.

Apa manfaat infaq ?

Infaq (zakat, shadaqah, wakaf, dll) banyak manfaatnya. Bagi Islam dan umatnya, infaq

bisa mengangkat kaum dhu’afa dari lembah derita dan kemiskinan, bisa mencegah

pemurtadan, memperlancar dakwah terutama dakwah ke pedalaman, memperkokoh ekonomi

umat, memfasilitasi peribadatan, dan meningkatkan syi’ar Islam di tengah-tengah agama lain.

Bagi orang yang berinfaq, infaq itu bisa memancing datangnya rizki yang lebih banyak

(HR. Muslim), mempermudah segala urusan hidup, (QS . Al-lail : 6-7), mendapatkan pahala

ratusan kali lipat bahkan bisa mengalirkan pahala sampai hari Kiamat, bisa menolak bala

dan mushibah (tudfa’ul bala), bisa mendatangkan bala bantuan tanpa diduga ketika kita

sangat memerlukan bantuan. Inna Allah fi auni al-abdi ma kana al-abdu fi ‘auni akhih, Allah

pasti menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya (HR. Muslim)..

Pokoknya manfaat infaq sangat luar biasa banyaknya. Jadi pada hakikatnya infaq itu untuk

dirinya sendiri bukan untuk orang lain apalagi untuk Allah, karena Allah itu Maha Kaya,

tidak membutuhkan apa-apa.

Perhatikan orang ahli infaq, pasti hidupnya mudah, rizkinya lancar dan di manapun dia

berada pasti ditolong orang. Jika kran infaq kita dibuka lebar-lebar, maka kran rizki kita pun

akan dibuka oleh Allah. Sebaliknya apabila kran infaq kita dikurangi maka kran rizki kita pun

akan dikurangi oleh Allah SWT. Marilah kita membiasakan infaq sehingga tiada hari tanpa

infaq. Bagi mereka yang mampu, penulis mengajak marilah bersama-sama kita menunaikan

zakat agar harta dan diri kita bersih, rizki melimpah hidup pun berkah. Amin.15

15 Allah swt dan RasulNya mengingatkan kepada kita :“Sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Siapa yang mendapatkannya dengan cara hak maka ia akan diberkahi. Dan banyak orang orang yang mengurus harta Allah dan Rasul-Nya sekehendak nafsunya, maka tidak ada baginya pada hari kiamat kecuali neraka. (HR. Tirmidzi). Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (QS. 57/ Al-Hadid :7)

6. Fungsi Shaum dalam Membangun Karakter

Dasar hukum pelaksanaan saum (puasa) adalah QS. Al-Baqarah [2]: 183. “Wahai orang-

orang yang beriman, telah diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan

kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi bertaqwa”.

Kata kunci yang terdapat pada ayat tersebut adalah :

Ya ayyuha : harfun nida (kata seru). Di sini double huruf nida. Ini mengandung

makna bahwa seruan itu amat penting diperhatikan.

Kutiba (fiil madhi majhul), yang artinya telah dituliskan, telah di SK-kan, telah dibuat

Surat Perintah Kerja (SPK) nya.

La’allakum : adalah taraji yakni cita-cita yang mungkin tercapai, mudah-mudahan.

Tattaqun : dari kata waqa – yaqi – wiqayatan, yang artinya hidup berhati-hati.

Secara terminologi, makna shaum adalah imsak al-nafs (menahan nafsu). Menahan

apa ? (1), Menahan nafsu biologis seperti makan, minum dan bergaul dengan isteri/suami.

(2). Menahan nafsu psikhis seperti marah, menggunjing, berbicara kotor, dll.

Prosessing saum dimulai dengan sahur. Nabi bersabda “Sahurlah kamu karena dalam

sahur ada keberkahan”. Ketika sahur, kita memakan makanan yang halalan thayyiba (boleh

secara hukum dan baik untuk tubuh). Parameter baik bagi tubuh adalah tepat jumlah dan tepat

pula kualitasnya. Dalam hal ini sebaiknya kita menghindari, paling tidak menyedikitkan

makanan yang mengandung 3 P yakni pengawet, penyedap dan pewarna, itu tidak baik bagi

tubuh karena dapat mengakibatkan kanker. Kebiasaan memilih secara hati-hati mana

makanan yang halalan thayyiba dan mana yang tidak, dapat melahirkan karakter hati-hati

dalam memilih makanan.

Ketika sahur, hati kita pun berniat untuk puasa. Kedudukan niat amat penting, karena

secara syar’i niat itu menentukan nilai. Dari sisi lain, niat adalah energi. Jika niatnya kuat

maka puasanya pun akan kuat, sebaliknya jika niatnya lemah, maka puasanya pun akan

lemah. Contoh si A berkata : “Besok hari Senin, saya mau saum sunnat, kuat tidak kuat akan

saya paksakan sampai maghrib”. Pasti si A akan kuat berpuasa sampai maghrib. Adapun Si B

berkata :”Saya juga mau puasa. Ya kalau kuat akan diteruskan tetapi kalau lapar, saya akan

batalkan”. Hasilnya hampir pasti batal. Dalam hal ini kita dibiasakan untuk selalu

memperkokoh niat sebelum melakukan sesuatu, itu adalah pembangunan karakter yang baik.

Apabila makan sahur telah selesai, kita bertekad: “Mulai sekarang saya stop untuk

tidak akan makan dan minum sampai maghrib tiba”. Dengan statemen itu maka semua

sekresi otak akan di-off. Karena sekresi otak di off maka otak tidak mendapat rangsangan

untuk makan, minum, atau bersenggama. Karena tak ada rangsangan yang masuk ke otak,

maka hati tidak stress. Karena hati tidak stress maka produksi asam lambung pun normal

sehingga tidak mengakibatkan sakit maag.

Bandingkan antara lapar puasa dengan lapar biasa, lapar biasa mengakibatkan tubuh

terasa dingin tetapi lapar puasa justeru tubuh menjadi panas. Lapar biasa mengakibatkan

susah tidur tetapi lapar puasa mengakibatkan enak tidur. Kenapa bisa demikian, karena lapar

saum dipenuhi energi niat.

Ketika berpuasa, kita benar-benar berusaha mengendalikan emosi. Kalau menahan

makan dan minum adalah dari mulai subuh sampai maghrib, tetapi menahan emosi adalah

dari subuh sampai subuh lagi. Apabila ada orang yang mengajak berkelahi sekalipun pun,

janganlah dilayani, cukup kita jawab “Inni shaim”, maaf saya sedang saum. Tidak boleh kita

katakan “ Maaf saya sedang saum, tunggu setelah maghrib !”. Jadi saum itu membangun

karakter mengalah untuk kebaikan, dan mengendalikan emosi termasuk menahan marah.

Sembilan jam setelah sahur, kira-kira pukul 13.00, perut biasanya merasa lapar dan

badan pun lemas, itu karena kadar gula darah menurun. Tapi jangan khawatir karena ketika

perut lapar dengan suhu tubuh yang panas, tubuh akan memecah cadangan gula yang ada

pada liver dan usus. Gula itu lantas diserap lagi oleh tubuh sehingga tubuh pun segar bugar

lagi. Jadi puasa itu bagaikan cuci gudang gula. Selain cuci gudang gula, dengan perut yang

lapar dan tubuh yang panas akan terjadi penekanan terhadap perkembangan sel-sel kanker

dan pengurangan oxidan.

Begitu maghrib tiba, sekresi otak akan otomatis on sehingga tubuh pun terangsang

untuk makan dan minum. Ketika rangsangan makan minum menguat maka jangan di tahan-

tahan karena bisa stress, asam lambung bisa melimpah sehingga bisa sakit maag. Oleh karena

itu segeralah berbuka puasa yang disebut ta’jil.

Nabi mengawali buka puasa dengan makan kurma tiga butir. Mengapa dengan

kurma ? karena kurma itu manis dan berfungsi mengganti gula darah dengan cepat. Hanya

dalam tempo empat menit, kurma yang kita kunyah menjadi energi. Kalau makan nasi

memerlukan waktu 2 jam baru menjadi energi yang efektif. Mengapa tiga butir kurma bukan

tiga ons ? Karena lambung kita masih rawan. Dan ketika kurma dicerna, perut memerlukan

darah untuk mencernanya.

Kurang baik kalau kita berbuka puasa langsung makan nasi yang banyak, dua sendok

tembok misalnya. Mengapa demikian ? Karena untuk mencerna makanan yang banyak,

lambung memerlukan darah yang banyak pula, sehingga darah akan turun ke lambung, darah

dari otak pun turun pula ke lambung. Akibatnya otak kekurangan darah, berarti otak

kekurangan oksigen, akhirnya mengantuk. Kalau mengantuk berat, bagaimana dengan

tarawih ? Di sini kita dilatih untuk memiliki karakter apik dan teratur dalam makan dan

minum.

Agar orang-orang dhu’afa bisa berbuka secara layak, semua mukmin dianjurkan

untuk berbagi. Menurut hadits, orang yang berinfaq makanan untuk orang lain berbuka puasa

akan mendapatkan pahala sebesar puasanya itu sendiri. Di sini kita dilatih untuk memiliki

karakter senang berbagi.

Pada malam hari, ada qiyamul lail. Paket qiyamul lail ada tiga aktivitas yakni shalat

malam, doa spesial, dan tartil Qur’an. Shalat malam yang tidak mengandung pro kontra

secara fiqih adalah 11 rakaat, boleh kurang dari itu yang penting gasal. Janji Allah, bagi ahli

tahajud akan mendapat tempat yang mulia (maqama mahmuda). Allah menegaskan “Mudah-

mudahan kamu mendapat tempat yang terpuji”. QS. Al-Isra [17] : 79.

Selesai shalat malam, berdoalah dengan khusyuk karena Allah tidak akan

mendengarkan doa yang dipanjatkan dari hati yang lalai. Doanya spesial sebagaiman tertera

pada QS. 17 / Al-Isra : 80 : “Dan katakanlah ! Ya Tuhanku, masukkanlah aku secatra masuk

yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepada

ku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”. Selesai berdoa, dilanjutkan dengan

membaca Alqur’an secata tatil.

Dalam salah satu hadits Qudsi diterangkan :”Apabila suami isteri bangun tengah

malam, tahajud bersama, lantas berdoa bersama, Allah berkata : ‘Aku malu kalau tidak

mengabulkan doanya’. Pada malam hari Allah membuka tangannya untuk menerima dan

mengabukan doa orang-orang yang tahajud”.

Orang yang membiasakan qiyamul lail akan mendapatkan tempat yang mulia. ( QS.

17 : 79). Oleh karena itu jika anda ingin hidup berkah, maka tiada malam tanpa qiyamul lail,

apalagi di bulan Ramadhan, karena pada bulan itu pahala dan keberkahannya sangat

melimpah, Ramadhan adalah bulan berkah, bulan ampunan, bulan menabung amal, serta

bulan discount dosa. Shaum Ramadhan dengan segala aktivitas yang mengiringinya

membangun karakter keuletan, kesabaran, kerendahan hati, suka berbagi, dan cinta Allah dan

RasulNya.

Bagaimana dampak saum bagi peningkatan kualitas kesehatan ? Konsep kesehatan

yang dikedepankan para ahli kesehatan modern adalah konsep SLODO, kependekan dari

Spirit, Life Style, Olah raga. Diet, dan Obat. Itu merupakan urutan fungsi. Penjelasannya

sebagai berikut :

Spirit : yakni hati dan pikiran harus tenang, bebas, dan tidak cemas. Ketenangan jiwa

atau pikiran menempati urutan pertama yang menentukan sehat tidaknya seseorang.

Padahal selama saum, spirit/ nurani kita benar-benar dilatih supaya tenang.

Life Style : Gaya hidup, yakni pola makan, minum, istirahat, dan bergaul dengan

isteri. Selama saum kita mengatur dengan baik kapan harus makan, istirahat, dan

bergaul dengan isteri.

Olah raga : yakni olah raga yang benar dan rutin, seminggu 3-5 kali. Olah raga itu

wajib bukan sunnat tetapi wajib ghair muqaddar (tidak pasti ukurannya). Selama

saum kita tetap olah raga tetapi dengan porsi yang disesuaikan.

Diet : yakni mengatur asupan ke tubuh. Usahakan mengurangi secara signifikan

makanan minuman yang tidak baik bagi tubuh, seperti lemak/minyak dan 3 P, yakni

pengawet, penyedap dan pewarna. Selama saum kita benar-benar diet. Kalau diet

dengan setengah puasa dapat mengakibatkan sakit maag tetapi diet dengan puasa

syar’i tidak akan menimbulkan sakit maag.

Obat : memakan obat kimia atau herbal adalah urutan terakhir dalam menjaga

kesehatan. Selama saum kita memakan suplemen tetapi kalau bisa menghindari obat

antibiotik.

Esensi dan eksistensi saum untuk mendukung konsep SLODO sangat signifikan, jadi

sangat rasional jika nabi mengatakan “Shumu tashihu”, saumlah kamu, niscaya kamu sehat.

Selama saum, terjadi detoksinasi qalbu (heart) karena selama saum, kita harus menjaga

emosi, antara lain tidak boleh yarfuts (bicara porno atau kotor) , yashob (teriak-teriak), dan

yajhal (berbuat bodoh). Selama saum kita benar-benar membangun karakter untuk mampu

mengendalikan nafsu biologis dan nafsu psikhis dalam rangka menggapai ketaqwaan.

Shaum itu satu bulan (29 atau 30 hari). Selama bulan Ramadhan kita melakukan

latihan intensif, dari mulai tarawih, i’tikaf, bedoa, berpuasa, berdzikir, dan menjaga hati,

sehingga dalam tempo tiga minggu saja dapat melahirkan habit (kebiasaan) apalagi puasa

satu bulan penuh. Lebih-lebih jika setelah Lebaran diteruskan dengan saum syawwal 6 hari,

diteruskan dengan saum senin dan kamis, dan diteruskan pula dengan saum 3 hari pada

tengah bulan hijriyah. Habit-nya akan tumbuh dan terpelihara.

Habit yang dihasilkan dengan shaum Ramadhan adalah (1). Habit puasa (2). Habit

tahajud (3). Habit baca Alqur’an atau mencari ilmu (4). Habit berbagi (5). Habit menahan

emosi (6). Habit silaturahmi (7). Habit bertaubat (8). Habit menjaga kesehatan (9) Habit

makan dan minum yang teratur (10). Habit mengatur waktu. Dll. Paling tidak, dengan shaum

menumbuhkan ten habit bukan seven habit.

7. Fungsi Haji dalam Membangun Karakter

Imam Hambali16, secara bahasa haji artinya kunjungan ke tempat yang diagungkan,

sedangkan secara syar’i, haji adalah mengunjungi Mekah untuk beribadah pada waktu yang

khsusus. Jadi hakikat haji adalah bertamu ke baitullah di Mekah pada bulan-bulan tertentu

dengan maksud untuk melaksanakan ibadah tertentu, berupa serangkaian ibadah ritual yang

dipersembahkan oleh mukminin kepada Allah SWT. Adapun manfaatnya 100 % untuk

manusia bukan untuk Allah sebab Allah tidak membutuhkan apa-apa.

Substansi haji adalah rekonstruksi tawhid melalui napak tilas sejarah perjalanan hidup

keluarga nabi Ibrahim a.s. Pesan semua episode ibadah haji adalah penanaman tawhid dan

sekaligus mengikis anasir syirik seperti tahayul, khurapat, bid’ah dan riya. Allah s.w.t

menegaskan dalam Surat Al-Hajj ayat 26 :

'ي, .ت ,ي ب و,ط,ه9ر. iا .ئ ي ش, 'ي ب ر'ك. *ش. 8ت ال ,ن أ .ت' ,ي .ب ال ,ان, م,ك اه'يم, .ر, 'ب إل ,ا .ن ,و8أ ب 'ذ. و,إج*ود' tالس 8ع' ك tو,الر 'م'ين, .ق,آئ و,ال 'ف'ين, 'لط8آئ ل

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud.17

Apa esensi haji ?

Esensi haji antara lain (1), Al-musawwah (persamaan, equality) yakni memperkokoh

perasaan sederajat dengan segenap umat manusia lainnya, bagaimana pun warna kulit,

budaya, dan pendidikannya. (2). Dzikrul Maut (ingat mati) yakni supaya jemah haji

menyadari arti kematian, kematian yang baik, alam qubur, alam mahsyar, dll. (3). Tazkiyah

Nafsi yakni pensucian jiwa dari segala hal yang dapat mengotori qalbu seperti syirik,

dendam, cepat tersinggung, mudah marah, kebiasaan bicara porno, dll.

Selama haji banyak simbol yang dikedepankan. Simbol tersebut sarat dengan makna

dan norma. Perhatikan pekerjaan haji di bawah ini.

Kain ihram : Memakai kain ihram adalah simbol orang yang sedang umrah atau haji.

Norma di balik simbol itu antara lain mengingatkan kita terhadap pakaian mayat

16 Ibn Qudamah, Maktabah Al-Syamilah : “Kasyaf al-Qina ‘an matn al-Iqna” Maktabah Syamilah, Juz 6, Hal. 295.

17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal.515

sehingga ingat kepada kematian. Kain ihram pun lambang kesederhanaan, persamaan

derajat, dan lambang kesucian.

Thawaf : adalah simbol upaya mendekat sedekat-dekatnya ke rumah Allah, serta antri

untuk memohon ampunan Allah.

Mencium hajar aswad : adalah simbol tawhid ittiba yakni ketaatan kepada perintah

Rasul sebagai sikap sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taati), walaupun

mungkin pikiran kita belum memahami makna mengecup batu hitam itu. Bisa berarti

juga al-musawwah yakni persamaan deratajat (equality).

Sa’i : adalah simbol perlunya keseimbangan antara iktiar yang maksimal dengan doa

yang optimal. Lihat saja, bagaimana Siti Hajar berlari di antara bukit Shafa dan

Marwah yang diiringi dengan doa dan doa.

Memotong rambut : Rambut adalah lambang kesombongan dan kejelitaan,

memotong rambut adalah simbol untuk menggambarkan upaya memangkas sikap

sombong. Selain itu, juga sebagai simbol kepasrahan kepada Allah. Jika nabi Ismail

rela dipotong kepalanya, maka jemaah haji pasrah digunduli rambutnya.

Wukuf : adalah ibarat alam mahsyar, di mana semua manusia menunggu pemeriksaan

dan penimbangan amal (mizan). Selanjutnya satu persatu divonis oleh pengadilan

Allah, untuk masuk syorga atau neraka. Khawatir termasuk golongan kiri (ashab al-

syimal), maka kita terus menerus bertaubat kepada Allah.

Mabit di Muzdalifah : jemaah haji melaksanakan camping level internasional,

mereka tidur beralaskan pasir dan beratapkan langit dengan hiasan sejuta bintang. Ini

adalah simbol persatuan, persaudaran, dan mengakrabkan diri dengan alam. Di sini

tidak terlihat perbedaan pejabat dengan rakyat, orang besar atau rakyat kecil, semua

terlihat sama, inilah al-musawwah atau equality.

Melontar Jumroh : adalah simbol permusuhan dan perlawanan terhadap syetan.

Mukminin diingatkan dengan melontar jumrah tentang bahayanya setan dalam

menjerat manusia.

Larangan memakai wangi-wangian: ini adalah simbol tentang perlunya hidup

sabar, siap menderita, siap menjauhi nafsu sekual, dan hal-hal duniawi lainnya serta

siap berjuang berpayah-payah untuk mengejar ridha Allah.

Larangan rafats dan jidal : rafast adalah bicara kotor/porno, sedangkan jidal artinya

berbantah-bantahan. Ini adalah simbol yang berisi norma bahwa kita harus melatih

diri untuk berbicara santun, jauh dari kata-kata kotor atau porno. Juga melatih diri

untuk bisa mengendalikan emosi ketika berbicara dengan orang lain. Dari Abi

Hurairah ia berkata: Rasulullah S.A.W bersabda : “Barang siapa yang berhaji di

baitullah ini dengan tidak berbuat rafats dan fasiq , ia akan kembali sebagaimana

saat dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa) ”.18

Larangan memetik daun dan memotong pohon : ini adalah simbol perlunya

mencintai lingkungan dan menjauhi sikap fasad (merusak). Seorang mukmin harus

senantiasa melestarikan lingkungan. Nabi menegaskan :”Tanamlah satu biji walaupun

engkau tahu besok mau mati !”. Inilah motivasi amal investasi yang berhubungan

dengan pelestarian lingkungan. Istilah go green dengan beragam gaya bahasa, sudah

sejak lama disuarakan dan dipraktikkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya.

Larangan berburu : ialah simbol tentang perlunya pelestarian hewan. Menyayangi

dan menyantuni hewan adalah sunnah Rasul. Dalam satu hadits Nabi menceritakan

tentang seorang pria yang memberi minum seekor anjing yang amat kehausan di

padang pasir yang kering kerontang. Nabi menjelaskan bahwa Allah SWT menyukai

perbuatan pria itu dan Allah mengampuni dosanya. Pada hadits yang lain, Rasulullah

pun menceritakan tentang seorang wanita yang menyiksa kucing sampai mati

sehingga Allah memvonis wanita itu masuk neraka sebelum dia masuk syorga.

Sungguh banyak karakter yang dibangun dengan ibadah haji dalam semua episode

haji, baik karakter yang berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia maupun

karakter yang berhubungan dengan alam sekitar. Seharusnya, jemaah haji memahami dan

mengaplikasikan pesan-pesan setiap episode haji, sehingga ketika kembali ke tanah air,

mereka menunaikan pesan-pesan nilai-nilai haji tersebut.

Apa itu haji mabrur ?

Mabrur berasal dari akar kata barra yang memiliki tiga arti yakni kebaikan, menepati

janji, dan mengangkat/membawa. Haji mabrur adalah haji yang baik, yang memenuhi syarat,

rukun dan wajib haji. Menurut kamus al-Muhit haji mabrur adalah haji yang benar yang

menaati segala aturan haji, juga haji yang tidak menyalahi sunnah Rasul, dan tidak tercampur

dengan dosa19. Haji mabrur adalah haji yang menepati janji, intinya jemaah haji berjanji

18 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari,Shahih al-Bukhari, ( Darul Fikr, Beirut, 1981 M/1401 H), Juz II hal. 141, Bab : Fadlul Hajji Mabrurun Lihat juga : Ahmad bin Syueib Abu Abdurrahman An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, Bi Syarhi Jalaluddin As-Suyuthi ( Daar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon-Maktab Tahqiqi al-Turots al-Islami, 1990), Jilid ke 3 Juz V hal. 121, No. 2626, Bab : Fadlul Hajji

19 Al-Fairuzabadi, Qamus al-Muhit, juz, hal 353. Lengkapnya sebagai berikut :

د.ق*، ، الص��9 رور3 ، بفتح الب��اء' وض��م9ها، فه��و م,ب��. ر8 ، وب��* ك, tر8 ح,ج�� ، ويق��ال* ب��, tوالح,ج ر'، tر, 8ب والط8اع,ة*،كالت

Lihat juga : Muhammad Ibn Mukaram Ibn Mandzur al-Afriqi al-Misri, Lisan al-Arabi, (dar as-Shadir, Bairut, t.t) juz 4 : 51, Bab : ba-ra-ra

. ' 'م .لم,آث ا م'ن, ي.ء3 ش, *خ,ال'ط*ه* ي , ال 8ذ'ي ال ور* .ر* الم,ب الحج

untuk hidup lebih baik sesuai dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul. Haji mabrur pun berarti

membawa pesan-pesan haji, baik pesan thawaf maupun pesan lainnya. Di antara pesan haji

yang pokok adalah menjauhi syirik termasuk khurapat, bid’ah dan riya. Allah s.w.t

menegaskan dalam Surat Al-Hajj ayat 26 :

'ي, .ت ,ي ر. ب iا و,ط,ه��9 .ئ ي 'ي ش, ر'ك. ب *ش. 8ت ,ن ال .ت' أ ,ي .ب ,ان, ال اه'يم, م,ك .ر, 'ب ,ا إل .ن ,و8أ 'ذ. ب و,إج*ود' t8ع' الس ك tم'ين, و,الر' .ق,آئ 'ف'ين, و,ال 'لط8آئ ل

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memper-serikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud.20

Balasan bagi haji mabrur adalah syorga. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam

Nasai dari Abu Hurairah sbb :

ال, » 'ى9 -صلى الل��ه علي��ه وس��لم- ق��, 8ب ة, ع,ن' الن .ر, ي 'ى ه*ر, ب, ع,ن. أ

8ة* « ن .ج, 8 ال 'ال ,و,اب3 إ ,ه,ا ث .س, ل ,ي ة* ل ور, .ر* .م,ب .ح,ج8ة* ال ال

Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw ia bersabda : ”Haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali syurga”21

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal.51521 Ahmad bin Syueib Abu Abdurrahman An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, Bi Syarhi Jalaluddin As-

Suyuthi, Juz VIII hal. 499, Jilid ke 3 Juz V hal. 118-119, No. 2621, Bab : Fadlul Hajjil Mabrur

RITUAL(IBADAH MAHDLAH)

Pada hakikatnya tujuan beribadah itu bermuara kepada perbaikan akhlak

Ibadah harus melibatkan lima dimensi kemanusiaan yakni tubuh, perilaku, kesadaran, nurani dan ruh

Ibadah melibatkan lima dimensi “budaya” yakni budaya material, sosial, simbolik, normatif dan ruh

Di dalam Ibadah ada dimensi esensi dan dimensi simbol. Simbol itu penting tetapi norma atau esensi jauh lebih penting.

SHAUM : Mengendalikan diri dan menumbuhkan kebiasaan beribadah. Mengendalikan willingness, feeling dan thinking. Menumbuhkan sikap siap berbagi.

ZAKAT : Menumbuhkan sikap senang berbagi (dermawan) sekaligus mengikis sikap pelit.Menumbuhkan sikap peduli kepada orang lain terutama kaum dhu’afa.

HAJI :Menumbuhkan sikap lebih bijaksana dalam menghadapi sesuatu.Menumbuhkan perasaan al-musawwah (equality).Menumbuhkan semangat beribadah, dan melahirkan akhlak yang luhur mulia.Menumbuhkan perasaan cinta lingkungan

SHALAT :Menumbuhkan kebiasaan bersih, dan tepat waktuMenumbuhkan sikap disiplin, jujur, setia dan taat kepada imam/ pimpinan.Menumbuhkan kesiapan mengoreksi dan dikoreksi.Menumbuhkan sikap sabar, merendah hati, tidak sok suci serta tidak gila pujian.Menumbuhkan sikap damai dan tidak suka permusuhan.

FUNGSI IBADAH DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER/AKHLAK