Post on 16-May-2019
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oklusi
Oklusi dalam pengertian yang sederhana adalah penutupan rahang beserta gigi
atas dan bawah. Pada kenyataannya oklusi merupakan suatu proses kompleks karena
meibatkan gigi (termasuk mofologi dan angulasinya), otot, rahang, sendi temporo-
mandibula, dan gerakan fungsional rahang. Oklusi juga melibatkan relasi gigi pada
oklusi sentrik, relasi sentrik dan selama berfungsi (Rahardjo, 2009).
Oklusi normal menurut Angle (1899) dilihat dari hubungan gigi molar atas
terhadap gigi molar bawah sebagai kunci oklusi. Suatu oklusi dinilai baik atau normal
jika terdapat keserasian antara komponen-komponen yang berperan untuk terjadinya
kontak antara gigi-gigi rahang atas dan bawah (Trimelda et al, 2008; Hassan R et al,
2007). Oklusi normal dan maloklusi kelas I memiliki relasi molar yang sama namun
memiliki perbedaan pada susunan gigi-geliginya. Malokusi kelas I tidak memiliki
susunan gigi-geligi yang baik (Hassan et al, 2007).
Gambar 2.1: A. Oklusi Normal; B. Maloklusi Kelas I
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
6
Menurut Andrew (1972), terdapat 6 karakteristik dari suatu oklusi normal yaitu:
(Hassan R et al, 2007)
1. Relasi molar (Molar relationship)
2. Angulasi mahkota (Correct crown angulation)
3. Inklinasi mahkota (Correct crown inclination)
4. Tidak ada rotasi (Absence of rotation)
5. Kontak proksimal yang rapat ( Tight proximal contact)
6. Penampang oklusal yang datar (Flat occlusal plane)
Secara universal, metode yang digunakan untuk melihat suatu oklusi normal atau
tidak dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Angle karena
kemudahannya untuk dideskripsikan dan dikomunikasikan antar para klinisi (Aslam
et al, 2010).
2.2 Maloklusi
Pengertian maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi
lengkung geligi (rahang) di luar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi
juga dapat merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada
bagian tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan
mengganggu estetik sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk
melakukan perawatan (Rahardjo, 2009). Istilah malokusi juga berarti semua
penyimpangan dari gigi dan rahang dari kondisi normal, termasuk beberapa kondisi
yang berbeda, seperti diskrepansi antara ukuran gigi dan ukuran rahang (crowding
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
7
dan spacing), malrelasi lengkung gigi (sagital, transversal, dan vertikal), dan
malposisi dari gigi itu sendiri (Aslam et al, 2010).
2.2.1 Klasifikasi Maloklusi Menurut Angle
Dasar dari klasifikasi Angle adalah relasi anteroposterior dari Molar I
permanen rahang atas dan rahang bawah serta keselarasan dari gigi-geligi. Klasifikasi
ini digunakan sebagai acuan dalam menentukan kategori suatu maloklusi karena
mudah dan akurat dan digunakan secara global oleh para klinisi (Erum G et al, 2008).
Namun, sistem klasifikasi ini juga memiliki kelemahan karena hanya melihat relasi
dalam jurusan sagital saja, padahal maloklusi juga bisa terjadi dalam jurusan
transversal dan vertikal. Bila terjadi pergeseran molar perlu dibayangkan letak molar
sebelum bergeser kemudian baru dibuat klasifikasinya (Shrikant et al, 2011;
Rahardjo, 2009).
a. Kelas I: Maloklusi dengan molar pertama permanen bawah setengah lebar
tonjol lebih mesial terhadap molar pertama permanen atas. Relasi lengkung
gigi semacam ini biasa disebut juga dengan istilah netroklusi. Kelainan yang
menyertai dapat berupa gigi berdesakan, proklinasi, gigitan terbuka anterior,
dan lain-lain (Rahardjo, 2009; Houston, 1994)
b. Kelas II: Lengkung bawah minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari
relasi yang normal terhadap lengkung geligi atas dilihat pada relasi molar.
Relasi seperti ini biasa juga disebut distoklusi. Maloklusi kelas II dibagi
menjadi dua divisi menurut inklinasi insisivi atas (Rahardjo, 2009; Houston,
1994).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
8
Divisi 1: insisivi atas proklinasi atau meskipun insisivi atas
inklinasinya normal tetapi terdapat jarak gigit dan tumpang gigit yang
bertambah.
Divisi 2: insisivi sentral atas retroklinasi. Kadang-kadang insisivi
lateral proklinasi, miring ke mesial atau rotasi mesiolabial. Jarak gigit
biasanya dalam batas normal tetapi kadang-kadang sedikit bertambah.
Tunpang gigit bertambah. Dapat juga keempat insisivi atas retroklinasi
dan kaninus terletak di bukal.
c. Kelas III: Lengkung bawah setidak-tidaknya satu lebar tonjol lebih ke mesial
daripada lengkung geligi atas bila dilihat dari relasi molar pertama permanen.
Relasi lengkung geligi semacam ini biasa disebut juga mesioklusi. Relasi
anterior menunjukkan adanya gigitan terbalik (Rahardjo, 2009; Houston,
199).
Gambar 2.2: A. Malokusi kelas I; B. Maloklusi kelas II (divisi 1); C. Maloklusi kelas III
(Shrikant et al, 2011)
A B C
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
9
2.3 Etiologi Maloklusi
Maloklusi merupakan penyimpangan dari pertumbuhkembangan disebabkan
faktor-faktor tertentu. Secara garis besar etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat
digolongkan dalam faktor heriditer (genetik) dan faktor lokal. Kadang-kadang suatu
maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya karena perkembangannya yang
seiring dengan perkembangan anak dan adanya berbagai faktor (multifaktor) yang
mempengaruhi pertumbuhkembangan (Rahardjo, 2009; Shrikant et al, 2011).
2.3.1 Faktor Herediter
Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa
disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukkan relasi
yang sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada
populasi primitf sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan
peningkatan prevalensi maloklusi (Rahardjo, 2009; Houston, 1994).
Pengaruh heriditer dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu:
1) Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan
maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema
multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai.
2) Disproporsi ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang
bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis.
Implikasi klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor
heriditer adalah kasus tersebut mempunyai prognosis yang kurang baik bila dirawat
ortodontik, namun sayngnya sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
10
heriditer pada maloklusi tersebut. Perkembangan pengetahuan genetik molekuler
diharapkan mampu menerangkan penyebab etiologi heriditer dengan lebih tepat
(Rahardjo, 2009; Houston, 1994).
2.3.2 Faktor Lokal
a. Gigi sulung tanggal prematur
Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan
gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal
prematur gigi sulung semakin besar akibatnya pada gigi permanen.
Insisivi sentral dan lateral sulung yang tanggal prematur tidak bergitu
berdampak, tetapi kaninus sulung akan menyebabkan adanya pergeseran
garis median. Molar pertama sulung yang tanggal prematur juga dapat
menyebabkan pergeseran garis median. Molar kedua sulung terutama
rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal prematur
karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser ke arah diastema
sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua
tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi molar kedua sulung yang tanggal
prematur juga dapat menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi
berdesakan serta kemungkinan terjadi supra erupsi gigi antagonis
(Rahardjo, 2009).
b. Trauma
Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi
permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang
terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
11
mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar
gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Trauma pada
salah satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri
muka (Rahardjo, 2009; Houston, 1994).
c. Kebiasaan buruk
Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi
cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan
maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu
yang bekepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini
yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung.
Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi insisivi
atas disertai jarak gigit yang bertambah dan retroklinasi insisivi bawah
(Rahardjo, 2009; Houston, 1994).
2.4 Fase Geligi Pergantian
Masa geligi pergantian merupakan peralihan (transitional dentition) atau
pergantian dari masa geligi sulung ke masa geligi permanen. Kadang-kadang disebut
masa geligi campuran (mixed dentition) oleh karena di dalam rongga mulut terdapat
campuran gigi sulung dan gigi permanen. Fase geligi pergantian terdiri dari:
a. Ugly duckling stage
Insisivi sentral permanen atas berbeda dari insisivi sentral permanen
bawah yang biasanya dalam keadaan kontak. Insisivi sentral permanen
atas sering erupsi dalam keadaan condong ke distal sehingga terdapat
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
12
diastema di antaranya. Keadaan ini merupakan sebagian dari masa yang
disebut ugly duckling stage yang secara estetik terlihat tidak baik. Pada
saat insisivi lateral permanen atas erupsi, sebagian diastema akan
menutup. Dalam erupsinya, benih kaninus permanen atas akan
mempengaruhi akar insisivi lateral permanen atas dan mendorong insisivi
lateral ke mesial. Bila kaninus permanen telah erupsi, insisivi lateral dapat
menegakkan diri dan diastema akan tertutup. Makin lebar diastema (lebih
dari 2 mm), makin kecil kemungkinan diastema dapat menutup secara
spontan (Rahardjo, 2009).
b. Leeway space
Perbedaan jumlah lebar kaninus, molar pertama dan molar kedua
sulung dengan kaninus permanen, premolar pertama dan premolar kedua.
Besarnya di rahang atas 0,9 mm dan 1,8 mm di rahang bawah. Pada saat
molar kedua sulung tanggal, molar pertama permanen bergerak ke mesial
menempati leeway space. Leeway space tidak digunakan untuk
menghilangkan berdesakan di anterior secara spontan kecuali bila
dikehendaki demikian dengan perawatan ortodontik (Rahardjo, 2009).
c. Flush terminal plane
Bila terdapat flush terminal plane pada relasi molar kedua sulung dan
hanya didapatkan pertumbuhan diferensial minimal pada mandibula,
demikian juga bila hanya terjadi pergeseran gigi ke mesial akan terdapat
relasi molar gigitan tonjol. Bila terdapat pertumbuhan mandibula ke
depan akan didapat relasi molar pertama permanen berupa relasi kelas I.
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
13
Anak yang mempunyai relasi molar kedua sulung flush terminal plane
membutuhkan gerakan molar pertama permanen bawah ke mesial
sebanyak 3,5 mm untuk mencapai relasi molar pertama permanen kelas I.
Kurang lebih setengahnya didapatkan dari leeway space dan setengahnya
lagi didapatkan dari pertumbuhan rahang bawah (Rahardjo, 2009).
d. Mesial Step
Bila terdapat mesial step pada relasi molar kedua sulung dan hanya
didapatkan pertumbuhan diferensial minimal pada mandibula, demikian
pula bila hanya terjadi pergeseran gigi ke mesial akan terdapat relasi
molar kelas I. Bila terdapat pertumbuhan mandibula ke depan akan
didapat relasi molar pertama permanen berupa relasi kelas III. Bila
didapatkan mesial step sebesar 1 mm biasanya akan terjadi relasi molar
pertama permanen kelas I sedangkan bila mesial step lebih besar daripada
2 mm akan didapatkan relasi molar kelas III (Rahardjo, 2009).
e. Distal Step
Bila terdapat distal step pada relasi molar kedua sulung dan bila
didapatkan pertumbuhan diferensial minimal pada mandibula, dan bila
hanya terjadi pergeseran gigi ke mesial akan terdapat relasi molar kelas II.
Bila terdapat pertumbuhan mandibula ke depan akan didapat relasi molar
pertama permanen berupa gigitan tonjol (Rahardjo, 2009).
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
14
2.5 Indeks Maloklusi
Indeks adalah sebuah angka atau bilangan yang digunakan sebagai indikator
untuk menerangkan suatu keadaan tertentu atau sebuah rasio proporsional yang dapat
disimpulkan dari sederetan pengamatan yang terus menerus. Dengan menggunakan
suatu indeks dapat dinilai beberapa hal menyangkut maloklusi, misalnya prevalensi,
keparahan maloklusi dan hasil perawatan. Indeks maloklusi mencatat keadaan
maloklusi dalam suatu format kategori atau numerik sehingga penilaian suatu
maloklusi bisa objektif (Rahardjo, 2009). Salah satu indeks yang menjadi acuan
dalam perawatan ortodonti adalah Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN).
IOTN berfungsi sebagai indeks untuk mengukur kebutuhan perawatan, dapat juga
dipakai untuk mengukur keberhasilan perawatan. Indeks ini terdiri dari dua buah
komponen yaitu Dental Health Component (DHC) dan Aesthetic Component (AC).
Dalam penggunaannya, Dental Health Component dipergunakan terlebih dahulu,
baru kemudian Aesthetic Component (AC) (Dika et al, 2011).
Dental Health Component menggunakan aturan yang simpel serta
menggunakan istilah MOCDO untuk membimbing peneliti dalam meneliti maloklusi.
MOCDO mewakili Missing Teeth atau kehilangan gigi, Overjet, Crossbite,
Displacement of Contact Points atau perpindahan titik kontak, dan Overbite. Pada
pasien dengan gigi insisivus yang impaksi dikategorikan menjadi grade 5 (Susanto,
2010; Agusni, 2004):
Grade 1: Tidak membutuhkan perawatan
Grade 2: Sedikit membutuhkan perawatan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
15
Grade 3: Cukup membutuhkan perawatan
Grade 4: Membutuhkan perawatan
Grade 5: Amat membutuhkan perawatan
(Farahani, 2011)
Aesthetic Component terdiri dari 10 foto berwarna yang menunjukkan tingkatan
derajat yang berbeda dari penampilan estetik susunan geligi. Dengan mengacu pada
gambar ini, derajat penampilan estetik gigi dari pasien dapat dinilai dalam salah satu
tingkatan derajat tertentu (Dika et al, 2011). Gambar yang berwarna digunakan untuk
pemeriksaan secara langsung dengan melihat subjek penelitian. Sedangkan gambar
yang digunakan untuk menganalisis model studi adalah yang berwarna hitam dan
putih
Gambar 2.3: Aesthetic Component (IOTN) untuk pemeriksaan pada subjek
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
16
Gambar 2.4: Aesthetic Component (IOTN) untuk pemeriksaan pada model studi
Keterangan Gambar:
Skor 1 atau 2 tidak memerlukan perawatan
Skor 3 atau 4 sedikit membutuhkan perawatan
Skor 5, 6 atau 7 cukup membutuhkan perawatan
Skor 8, 9 atau 10 jelas membutuhkan perawatan
(Rahardjo, 2009)
Dalam pengukuran IOTN, digunakan suatu penggaris khusus. Penggaris plastik yang
transparan telah dikembangkan untuk membantu pengukuran, dimana penggaris
tersebut berisi semua informasi yang diperlukan untuk mengukur DHC, yang antara
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA
17
lain mengukur jarak gigit, tumpang gigit, pergeseran titik kontak dari geligi, gigitan
terbalik, gigitan terbuka, baik di anterior ataupun posterior (Agusni, 2004)
Gambar 2.5: Penggaris IOTN (Ucuncu et al, 2001)
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI PREVALENSI MALOKLUSI PADA GELIGI..... FLORETTA CHARLENE DINATA