Post on 27-Jan-2016
description
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru dimana asinus
berisi cairan dan sel radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi sel radang
kedalam rongga interstisium. Terjadinya pneumonia pada anak sering kali terjadi
bersamaan dengan infeksi akut pada bronkus. Proses inflamasi tersebut sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri), selain itu dapat juga
disebabkan oleh faktor-faktor lain (aspirasi, radiasi, dll) (1,6).
2.2 Epidemiologi
Pneumonia di negara berkembang terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri
yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus. Pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri-bakteri ini umumnya responsif terhadap pengobatan
dengan antibiotik beta laktam. Di lain pihak, terdapat pneumonia yang responsif
terhadap pengobatan dengan antibiotik beta laktam dan dikenal sebagai
pneumonia atipik. Pneumonia atipik terutama disebabkan oleh Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae (7).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, pneumonia
merupakan penyakit penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare diantara
3
balita. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap tingginya
angka kematian balita di Indonesia (8).
Hasil RISKESDAS menyebutkan bahwa penyebab kematian balita karena
pneumonia adalah nomor 2 dari seluruh kematian balita (15,5%). Sehingga jumlah
kematian balita akibat penumonia tahun 2007 adalah 30.470 balita (15,5% x
196.579), atau rata-rata 83 orang balita meninggal setiap hari akibat pneumonia
(8).
2.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri)
dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya benda yang teraspirasi. Pola
kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur
pasien. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus berbeda dengan anak
yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus meliputi Streptococcus group
B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Di
negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus. Sebagai
penyebab tersering adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza dan
rhinovirus (6).
Tabel 2.1 Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia (6).
4
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir-20 hari
Bakteri BakteriE.colli Bakteri anaerobStreptococcus group B Streptococcus group DListeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniaeUreaplasma urealyticumVirusVirus sitomegaloVirus Herpes simpleks
3 minggu-3 bulan Bakteri BakteriChlamydia trachomatis Bordetella pertussisStreptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe BVirus Moraxella catharalisAdeno Staphylococcus aureusInfluenza Ureaplasma urealyticumParainfluenza VirusRespiratory Syncytial virus Virus sitomegalo
4 bulan-5 tahun Bakteri BakteriChlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe BMycoplasma pneumoniae Moraxella catharalisStreptococcus pneumoniae Neisseria meningitidisVirus Staphylococcus aureusAdeno VirusInfluenza Virus Varisella ZosterParainfluenzaRinovirusRespiratory Syncytial virus
5 tahun-remaja Bakteri BakteriStreptococcus pneumoniae Haemophillus influenzaeMycoplasma pneumoniae Legionella spChlamydia pneumoniae Staphylococcus aureus
VirusAdenoInfluenzaParainfluenzaRinovirusRespiratory Syncytial virusVirus Varisella ZosterVirus Epstein Barr
2.4 Faktor Risiko
Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi),usia muda,
kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defiesiensi Zn,
5
paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan
faktor risiko untuk terjadinya pneumonia. Faktor predisposisi lain untuk terjadinya
pneumonia adalah adanya gangguan fungsi imun (penggunaan steroid jangka
panjang), campak, pertusis, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan
gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, aspirasi benda asing
atau disfungsi silier.
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari saluran respiratori atas. Dalam keadaan normal saluran
respiratori bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru
terlindung dari beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan barier mekanik,
juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik
diantaranya adalah filtrasi partikel dihidung, pencegahan aspirasi dengan refleks
epiglotis, ekspulsi bendaasing melalui refleks batuk. Sistem pertahanan tubuh
yang terlibat baik sekresi lokal imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh
sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, dan makrofag (9).
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Inokulasi
patogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada
pejamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya (10).
Virus akan menginvasi saluran nafas alveoli, umumnya bersifat patchy dan
mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan
6
silia epitel dengan akumulasi debris kedalam lumen. Respon inflamasi awal
adalah infiltrasi sel-sel mononuklear kedalam submukosa dan perivaskular.
Sejumlah kecil sel-sel PMN akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila
proses ini meluas dengan adanya dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta
sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan
menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan
diperberat dengan adanya edem submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding
alveoli. Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang
interstisial yang terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan
mengakibatkan terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk
eksudat hemoragik. Infiltrasi ke interstisial sangat jarang menimbulkan fibrosis.
Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi terjadinya pneumonia
bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa.
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang-
kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia
tergantung interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imun penjamu. Ketika
bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan
dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan
ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung
pada respon imunologis penjamu akan terbentukantibodi imunoglobulin G
spesifik. Dari proses ini akan terjadi pagositosis oleh makrofag alveoral (sel
alveoral tipe II),sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan
komplemen.Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena
7
bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumonia. Ketika mekanisme
ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktivitas
fagistosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi
respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan
edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik pneumonia oleh karena
pneumokokus. Kuman akan dilapisi ioleh cairan edematus yang berasal dari
alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn. Area edematus ini akan membesar
secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit,
eksudat purulen (fibrin sel-sel leukosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara
histopatologi dinamakan red hepatization
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis
aktif oleh leukosit PMN. Pelepasan komplemen dinding bakteri dan pneumolisin
melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek
sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya
struktur seluler paru.
Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan
disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman.
Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoid acid yang
terdapat di dinding sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari
fibrinogen, fibronektin, kolagen dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari
Staphylococcus aureus akan menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda
pula dimana faktor virulensi tersebut mempunnyai kemampuan dalam melindungi
kuman dari pertahanan tubuh penjamu,melokalisir infeksi, menyebabkan
8
kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang mempengaruhi
jaringan yang tidak terinfeksi.
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komplemen volume dari ventilasi
akibat kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat
gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara
meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat
takipneu dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka
rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai yang disebut dengan
ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya sehingga terjadi
usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan berkurangnya
volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan mengganggu
proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat
terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.
Secara umum S pneumonia akan menyebabkan pneumonia lobaris dengan
empat tahapan yang dapat dibedakan sebaagai berikut (11) :
1. Stadium kongesti: pada tahap ini terjadi respon inflamasi akut. Lobus
yang terinfeksi menjadi merah dan padat akibat kongesti vaskuler.
Cairan protein yang begitu banyak, neutrofil yang berlebihan dan
bakteria dapat ditemukan di alveoli. Stadium ini terjadi selama 1-2
hari.
2. Stadium Hepatisasi merah: lobus yang terinfeksi menjadi merah dan
keras menyerupai konsistensi hepar. Cairan-cairan protein berubah
menjadi anyaman fibrin dengan ditandai eksudat neutrofil.
9
Ekstravasasi dari sel darah merah yang memberikan warna
mengkonsolidasi paru. Stadium terjadi selama 2 sampai 4 hari
3. Stadium Hepatisasi kelabu: lobus yang terinfeksi menjadi kering, keras
dan kelabu karna sel darah merah yang telah lisis. Eksudat neutrofil
seluler berkurang akibat pengrusakan sel inflamatorik. Makrofag kini
mulai nampak. Mikroorganisme mulai berkurang. Stadium ini terjadi
selama 4 – 7 hari.
4. Stadium resolusi: akibat aktivitas enzimatik, bahan-bahn fibrin
dicairkan dan difusi udara paru mengalami perbaikan secara
berangsur-angsur. Makrofag merupakan sel utama di alveoli. Terjadi
penurunan progresif cairan dan eksudat seluler dari alveoli melalui
mekanisme pengeluaran dahak dan drainasi limfatik yang
menyebabkan pengembalian fungsi paru. Terjadi selama lebih dari 3
hari.
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan
penyakit, sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi.
Beberapa bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila
dbandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumonia biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru
(bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi
pada satu lobus (pneumonia lobaris) (6).
2.6 Manifestasi Klinis
10
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Gambaran klinis
pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi
secara umum adalah sebagai berikut: (1)
Manifestasi nonspesifik berupa infeksi saluran napas bagian atas, panas tinggi
39-40 C, kadang-kadang sampai kejang, sakit kepala, gelisah dan keluhan
gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare atau sakit perut.
Gejala saluran nafas bawah ialah sesak napas, “air hunger”, takipne, merintih,
nafas cuping hidung, batuk dan sianosis.
Tanda pneumonia ialah perkusi premitus melemah, suara napas lemah, dan
ronki halus pada auskultasi.
Retraksi (chest-indrawing) bersama dengan peningkatan frekuensi napas
merupakan tanda klinik pneumonia yang bermakna.
Pemeriksaan fisis pada neonatus dan bayi kecil memiliki gambaran yang lebih
beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya
tidak ditemukan kelainan. Secara klinis pada anak sulit membedakan gambaran
klinis antara pneumonia bakterial atau pneumonia viral. Namun sebagai pedoman
dapat disebutkan bahwa bakterial awitannya cepat,batuk produktif, leukositosis.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya
ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat.Akan tetapi, pada
11
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara
15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukositosis hebat (>30.000/mm3)
hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada
keadaan bakterimia, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi (6).
C-Reaktive Protein (CRP)
C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit
sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
dstimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan Tumor necrosis
factor (TNF) (6).
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara
faktor infeksi dan noninfeksi. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus
daripada infeksi bakteri (6).
Uji serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
mempunnyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis
infeksi streptococcus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi
seperti antistreptolisin O. Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat
dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi
bakteri atipik seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV,
Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B, dan Adeno,
peningkatan antibodi IGM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis (6).
Pemeriksaan mikrobiologis
12
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, atau aspirasi paru. Pada masa neonatus, kejadian
bakterimia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif. Pada pneumonia
anak dilaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada kultur darah. Spesimen
yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25 leukosit
dan kurang dari 40 sel epitel/ lapangan (6).
Pemeriksaan rontgen toraks
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari: (6)
1. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
2. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru dikenal
sebagai round pneumonia.
3. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,
disertai dengan peningkatan corakan peribonkial.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan
hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa
13
konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat
mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering ditemukan
abses-abses kecil dan pneumotokel dengan berbagai ukuran (6).
2.8 Diagnosis
Pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor
paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala
respiratori sebagai berikut: takipneu, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki,
dan suara napas melemah.
Gejala klinis sederhana yang dapat digunakan untuk menyederhanakan kriteria
diagnosis meliputi napas cepat, sesak napas, dan tanda bahaya pada anak. Napas
cepat dinilai dengan menghitung frekuensi napas selama satu menit penuh ketika
bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam ketika menarik napas (retraksi epigastrium).
Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk. Tanda bahaya untuk bayi
berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, mengi, dan demam.
2.9 Tatalaksana
Pada penderita yang dirawat, penatalaksanaan dibagi atas, penatalaksanaan
umum dan pengobatan kausal (6).
14
A. Penatalaksanaan Umum
Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker.
Pemberian cairan, yang adekuat. Cairan rumatan diberikan mengandung gula
dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat badan status hidrasi.
Pasien yang mengalami sesak berat dapat dipuasakan, sesak berkurang, asupan
oral dapat diberikan.
Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misal hipoglikemia,
metabolik asidosis. Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang demam dan
diare.
B. Pengobatan Kausal
Golongan betalaktam (penisilin, sefalosporin, karbapenam dan monobaktam)
merupakan jenis-jenis antibiotikayang sudah dikenal cukup luas. Biasanya
digunakan untuk terapi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri seperti
Streptococcus pneumoniae, Influenza, dan Staphylococcus aureus. Pada kasus
yang berat diberikan golongan sefalosporin sebagai pilihan, terutama apabila
penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pad akasus yang ringan sedang,
dipilih golongan penisilin. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada
pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotika intravena harus dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi
sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik
spektrum luas seperti kombinasi beta laktam/ klavulanat dengan aminoglikosid
15
atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat
diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan
adalah antibiotik beta laktam dengan/ tanpa klavulanat. Pada kasus yang lebih
berat diberikan beta laktam/ klavulanat dikombinasikan dengan makrolid.
2.10 Komplikasi
1. Efusi Pleura
2. Empiema
3. Pneumotoraks
4. Abses paru
5. Sepsis
6. Gagal nafas
2.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang
baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang
dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada
penderita rawat jalan, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi
20%. Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka kematian
pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan
kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas
V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita
pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan
16
pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999
adalah 21%, sedangkan di RSUD dr. Soetomo angka kematian 20 -35% (8).
2.12 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok
dan polusi udara, membatasi risiko paparan dirumah sakit misalnya dengan
membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker,
menghindarkan bayi dan anak kecil dari tempat keramaian umum, dan
menghindarkan bayi atau anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.
17