Post on 12-Aug-2015
10 Aspirasi, Kematangan, Dan Efikasi Karir
A. ASPIRASI KERJA
Pemahaman akan aspirasi kerja, menjadi penting ketika terdapat fakta
adanya sejumlah individu yang merasa tidak memiliki kemampuna
untuk berhasil dalam mencapai cita-cita pekerjaan. Demikian juga
masih banyak pemikiran bahwa persyaratan pendidikan berada di
luar sumber daya mereka yang akan memasuki dunia kerja.
Pandangan lain tidak sedikit juga, para angkatan kerja yang tidak
didukung oleh keluarga dan teman-teman dalam melakukan
pekerjaan. Aspirasi secara umum dapat memahami masyarakat akan
hambatan sosial untuk masuk ke dalam keberhasilan kerja mereka.
Untuk memahami aspirasi kerja, setidaknya terdapat dua teori yang
telah membangun konstruksi tentang aspirasi kerja. Teori pertama
menggunakan psikologo social, dan kedua menggunakan tugas
perkembangan karir. Dalam pandangan teori psikologi sosial, aspek
budaya, gender, dan berbagai peristiwa dalam kehidupan berinteraksi
dengan preferensi karir individu. Interaksi itu kemudian menentukan
aspirasi dan pilihan karir. Teori psikologi social menekankan pada
cara bahwa atribut individu dibentuk oleh pengalaman dan
sekitarnya.
Dalam teori perkembangan karir, aspirasi berada pada tahap
ekspolorasi (Super, 1990). Dalam tahap perkembangan karir, telah
direntangkan lima tangga tugas perkembangan yakni masa
pertumbuhan, eksplorasi, pembentukan, pemeliharaan dan pelepasan.
Aspirasi dimulai pada tahap eksplorasi, sekitar usia 14 dan ditandai
oleh pengerucutan pilihan karir, dari fantasi karir, identifikasi pilihan
tentatif, untuk keputusan akhir tentang karir pilihan.
Lebih lanjut, Super mengemukakan bahwa konsep diri memainkan
peran penting dalam pengembangan karir. Bahkan, aspirasi karir
dipandang sebagai representasi dari konsep diri individu. Aspirasi
Kerja dapat berubah seiring waktu, namun mereka cenderung menjadi
semakin stabil seperti pada remaja dewasa.
Terdapat hubungan berkelanjutan antara aspirasi dan pencarian kerja.
Keterkaitan erat ini kemudian melibatkan banyak pihak. Aspirasi dan
pencarian kerja merupakan topik yang sangat penting untuk para
peneliti, pencari kerja dan praktisi yang membantu pencari kerja.
Banyak stakeholder yang memiliki kepentingan termasuk individu,
lembaga pendidikan, konselor karir, organisasi, dan masyarakat pada
umumnya.
Dalam pencarian kerja berhubungan dengan berbagai orang, termasuk
mereka yang telah menderita kehilangan pekerjaan, relawan, individu
yang memasuki dunia kerja untuk pertama kalinya, dan juga individu
yang ingin mengubah pekerjaan mereka, organisasi, atau bahkan
karir.
Pencarian kerja sendiri merupakan proses yang terdiri dari
mengumpulkan informasi tentang kesempatan kerja potensial,
menghasilkan dan mengevaluasi alternatif pekerjaan, dan memilih
pekerjaan dari berbagai alternatif. Kegiatan ini menentukan jenis dan
jumlah informasi yang diperoleh pencari kerja untuk mendapatkan
lowongan pekerjaan serta jumlah kesempatan kerja.
Proses pencarian kerja merupakan urutan kegiatan logis. tahap
pencarian kerja terdiri dari dua tangga, yakni perencanaan pencarian
kerja dan kemudian mencari pekerjaan dan memilihnya. Mencari
pekerjaan dimulai dengan sebuah pencarian untuk mengumpulkan
informasi dan mengidentifikasi peluang kerja diikuti dengan
pencarian yang lebih intensif yang melibatkan perolehan informasi
spesifik tentang pekerjaan.
KEMATANGAN KARIER
Kematangan karier merupakan kemampuan individu dalam
pola mengaktualisasikan dirinya sesuai kemampuan yang dimilikinya
dalam menunjang arah karier dimasa yang akan datang. Super (dalam
Winkel, 2004:633) mendefinisikan kematangan karier sebagai
keberhasilan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan karier yang khas bagi tahap perkembangan tertentu.
Super (dalam Savickas, 2001, 53) menjelaskan bahwa individu
dikatakan matang atau siap untuk membuat keputusan karier jika
pengetahuan yang dimilikinya untuk membuat keputusan karier
didukung oleh informasi yang adekuat mengenai pekerjaan
berdasarkan eksplorasi yang telah dilakukan.
Kematangan karier individu akan berbeda bergantung pada
tahap perkembangan karier individu. Kematangan dapat
mengidentifikasi kesempatan dan tingkat pekerjaan yang sesuai serta
mempertimbangkan kebutuhan, minat, kapasitas kompetensi, dan
nilai pribadi. Oleh karena itu konsep kematangan karier bersifat
normatif, artinya harus ada kesesuaian antara perkembangan karier
individu dengan perkembangan yang diharapkan.
Kematangan karier individu terkait dengan tahap
perkembangan karier individu. Sebagai contoh jika tahap
perkembangan karier pada usia 18 – 25 tahun merupakan tahap
perkembangan karier usia mahasiswa. Pada kematangan usia tersebut,
mereka harus mengidentifikasi kesempatan dan tingkat pekerjaan
yang sesuai serta mempertimbangkan kebutuhan, minat, kapasitas
kompetensi, dan nilai pribadi. Oleh karena itu konsep kematangan
karier harus bersifat normatif, artinya harus ada kesesuaian antara
perkembangan karier individu dengan perkembangan yang
diharapkan pada usia tertentu. Asumsinya semakin mendekati
kesesuaian antara perkembangan yang ada dengan yang diharapkan,
maka akan semakin kuat atau besar kemungkinan untuk mencapai
kematangan karier. Dengan demikian kematangan karier dapat
diketahui dengan sejauh mana serta bagaimana individu memenuhi
tahapan perkembangan arah karier.
Menurut Super (dalam Savickas, 2001) kematangan karier
untuk tahap kristalisasi mencakup lima aspek yaitu: (a) Perencanaan
Karier, (b) Eksplorasi Karier, (c) Informasi Dunia Kerja, (d)
Pengetahuan Mengenai Jenis Pekerjaan yang Diminati, dan (e)
Pengambilan Keputusan.
Pada tahap perencanaan karier, individu menyadari bahwa
dirinya harus membuat pilihan pendidikan dan vokasional, serta
mempersiapkan diri untuk membuat pilihan tersebut. Berdasarkan
pemikirannya individu memikirkan suatu langkah atau perencanaan
untuk mempersiapkan masa depannya, yang dapat meliputi
pendidikan, latihan, pekerjaan, serta penambahan kemampuan berupa
kursus-kursus dan lain-lain.
Eksplorasi karier merupakan kemauan individu untuk
memperoleh informasi mengenai dunia kerja umumnya dan untuk
memilih salah satu bidang pekerjaan khususnya. Dalam pencarian
informasi dapat melalui teman, lingkungan keluarga (orang tua),
saudara, pembimbing atau orang dewasa yang memegang jabatan
atau pekerjaan tertentu. Informasi karier juga dapat dilakukan melalui
ekplorasi media masa baik audio dan visual atau melalui media radio
dan teknologi informasi.
Kegunaan informasi karier ini adalah untuk membantu dalam
proses perencanaan yang akan dibuat individu serta melakukan
aktivitas yang mendukung perencanaan yang telah ada untuk meraih
karier yang diharapkan.
Kondisi ini menunjukan pada kemampuan untuk
menggunakan informasi tentang karier yang dimiliki untuk dirinya,
serta mulai mengkristalisasikan pilihan pada bidang dan tingat
pekerjaan tertentu. Informasi sangat penting dalam menentukan arah
pendidikan atau arah pekerjaan yang akan dilalui. Tahapan ini perlu
diperhatikan, mengingat sangat penting dalam membuat perencanaan
dari informasi yang telah ada. Jika informasi salah, maka akan
berdampak pada kesulitan individu melakukan suatu perencanaan.
Adanya keterbatasan informasi yang dimiliki individu akan
menghambat proses pemilihan pendidikan atau pekerjaan.
Pada tahapan ini individu dihadapkan pada situasi memilih
pekerjaan yang akan ditekuni sesuai dengan minat dan
kemampuannya. Individu harus berpikir realistic terhadap minat dan
kemampuannya dalam menentukan pilihan karier yang akan
diambilnya. Pandangan Super menunjukan bahwa setiap individu
memiliki kumpulan minat dan kemampuan. Hal ini harus disesuaikan
dengan minat dan kemampuan yang telah dimiliki.
Pada tahapan ini individu mengetahui hal yang harus
dipertimbangkan dalam membuat pilihan pendidikan dan pekerjaan,
kemudian membuat pilihan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan
kemampuan. Pengambilan keputusan memberikan makna pada
tahapan dimana individu harus memiliki kesadaran dan
pertimbangan sebagai dasar untuk mengambil keputusan mengenai
pendidikan dan pekerjaan. Kegagalan dalam mengambil keputusan
akan merugikan individu, baik dari segi waktu maupun usaha yang
telah dilakukan.
Kematangan karir (career maturity) terdiri dari kesiapan, sikap
dan kemampuan dalam pencapaian tugas perkembangan karir pada
tahapan perkembangan karir tertentu. Langley (1989) telah
mengintegrasikan pendekatan Super (1980) dan Crites (1981); serta
Westbrook (1983) telah merancang skala yang disebut Skala
Kematangan Karir. Skala kematangan karir ini meliputi pengetahuan
diri, pembuatan keputusan karir, informasi karir, integrasi,
pengetahuan tentang diri dan karir, dan perencanaan karir.
Lebih lanjut Langley (1989), mengaitkan komponen kematangan karir
dengan tugas perkembangan dalam integrasi proses perkembangan;
lalu kematangan karir dan tugas perkembangan tersebut dikaitkan
dengan masalah-masalah karir yang relevan.
1) Komponen Pengetahuan diri, mencakup tugas perkembangan
pada keinginan-keinginan peran dalam kehidupan, nilai-nilai
diri, dan minat pekerjaan. Masalah karir yang relevan antara
lain diri pribadi, agama, nilai, moral, dan minat pekerjaan.
2) Komponen pembuatan keputusan karir, mencakup tugas
perkembangan pada membuat keputusan dan pemilihan
pekerjaan. Masalah karir yang relevan antara lain memutuskan
pilihan, manajemen waktu, serta ekonomi dan keuangan.
3) Komponen informasi karir, mencakup tugas perkembangan
pada Informasi pekerjaan (dari lingkungan). Masalah karir
yang relevan antara lain informasi dari pada hubungan social,
hubungan social, hubungan teman sebaya, dan hubungan
keluarga.
4) Komponen integrasi pengetahuan diri dengan pengetahuan
karir, mencakup tugas perkembangan pada integrasi
pengetahuan diri dengan pengetahuan karir. Masalah karir
yang relevan antara lain rumah tinggal dan lingkungan,
keadaan keluarga dan Pasar kerja.
5) Komponen perencaaan karir, mencakup tugas perkembangan
pada Perencanaan karir. Masalah karir yang relevan antara lain
merencanakan pekerjaan, pendidikan, pelatihan dan kursus,
serta pendidikan lanjut dan masa depan
EFIKASI
Keyakinan diri (self-efficacy), yang kemudian diistilahkan disini
dengan “efikasi” merupakan keyakinan seseorang terhadap
kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan dan bisa
menampilkan perilaku performa yang efektif sehingga bisa
menyelesaikan tugas tertentu dengan baik serta merupakan salah satu
faktor personal yang menjadi perantara antara faktor perilaku dan
faktor lingkungan.
Keyakinan diri adalah sebuah konsep yang dirumuskan oleh
Albert Bandura, guru besar psikologi di Standford University, dan
bersumber dari social learning theory. Menurut Bandura (1997), “Self-
efficacy is a major basic of action. People guide their lives by their beliefs of
personal efficacy. Keyakinan diri refers to beliefs in one‟s capabilities to
organize and execute the courses of action required to produce given
attainments. Keyakinan diri merupakan keyakinan akan kemampuan
individu untuk dapat mengorganisir dirinya dan melaksanakan
serangkaian tindakan yang dipandang perlu untuk mencapai suatu
hasil yang diharapkan. Dengan asumsi tersebut keyakinan diri
merupakan satu keyakinan yang mendorong individu untuk
melakukan dan untuk mencapai sesuatu yang dituju. Teori keyakinan
diri merupakan upaya untuk memahami keberfungsian kehidupan
manusia dalam pengendalian diri, pengaturan proses berpikir,
motivasi, kondisi afektif dan psikologis (Bandura, 1997, 36). Melalui
perspektif ini, keyakinan diri diyakini dapat membuat individu
mampu menafsirkan dan menerjemahkan faktor-faktor internal dan
eksternal ke dalam tindakan nyata. Menurut Bandura dalam Alwisol
(2006:344) menunjukan bahwa keyakinan diri merupakan persepsi diri
mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu.
Keyakinan diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki
kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
Norwich (dalam Azwar, 1996) mendefinisikan keyakinan diri
sebagai salah satu faktor personal yang menjadi perantara interaksi
antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. Tingginya keyakinan
diri yang dipersepsikan akan memotivasi individu secara kognitif
untuk bertindak lebih terarah, terutama apabila tujuan yang hendak
dicapai merupakan tujuan yang jelas.
Bandura (1997) berpendapat bahwa keyakinan diri adalah
kemampuan umum yang terdiri atas aspek-aspek kognitif, sosial,
emosional dan perilaku, dan individu harus mampu mengolah aspek-
aspek itu untuk mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut, diingatkan
bahwa keyakinan diri merupakan sebuah instrumen multi guna
karena konsep ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan, namun
juga mampu menumbuhkan keyakinan bahwa individu dapat
melakukan berbagai hal dalam berbagai kondisi. Dengan kata lain,
keyakinan diri berlaku sebagai mesin pembangkit kemampuan
manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang
memiliki keyakinan diri yang kuat, maka ia bermotivasi tinggi dan
bahkan menunjukkan pandangan yang ekstrim dalam menghadapi
suatu situasi.
Alwisol (2006:344) mengemukakan keyakinan diri adalah
penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau
buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai
dengan yang dipersyaratkan. Keyakinan diri berbeda dengan aspirasi
(cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang
seharusnya dapat dicapai, sedangkan keyakinan diri menggambarkan
penilaian kemampuan diri.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa keyakinan diri dalam berkarier adalah keyakinan
seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk
mengorganisasikan dan bisa menampilkan perilaku performa yang
efektif sehingga bisa menyelesaikan tugas tertentu dengan baik serta
merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara antara
faktor perilaku dan faktor lingkungan.
Asumsi tersebut mendasari pemikiran bahwa keyakinan diri
secara sederhana dapat diartikan sebagai keyakinan diri atau
keyakinan terhadap kemampuan diri.
b. Fungsi Keyakinan Diri dalam Kehidupan
Hubungan keyakinan diri dengan aspek-aspek karier sudah
diteliti oleh peneliti sebelumnya. Penelitian keterkaitan keyakinan diri
dengan keputusan karir antara lain oleh Taylor, K.M., & Betz, N.E.
(1983); Taylor, K.M., & Popma, J. (1990); Bergeron, L.M., &
Romano, J.L. (1994); Creed, P., Patton, W., & Prideaux, L. (2006).
Penelitian hubungan budaya, status social, minat karir dan keyakinan
diri oleh Mau, W. (2000); Nauta, M.M & Kahn, J.H. (2007);
Oettingen, G. & Zosuls, K.M. (2006).
Perubahan tingkah laku dalam konsep Bandura (Alwisol,
2006:345) adalah perubahan keyakinan diri. Keyakinan diri dapat
diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu
atau kombinasi empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu
prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius
(vicarious experience), persuasi social (social persuation) dan
pembangkitan emosi (emotional/Physiological states).
Menurut Hjelle & Ziegler (1992), keyakinan diri memiliki lima
macam fungsi dalam kehidupan individu.
Pertama, menentukan pilihan tingkah laku. Seseorang akan
cenderung memilih tugas yang diyakininya mampu untuk
diselesaikan dengan baik dan akan menghindari suatu tugas yang
dianggap sulit dilaksanakan dengan baik. Lebih lanjut, juga
disebutkan bahwa dalam pemilihan aktivitas, individu cenderung
menghindari tugas-tugas dan situasi yang diyakini melebihi
kemampuan dirinya dan cenderung melakukan tugas yang berada
dalam jangkauannya.
Kedua, menentukan seberapa besar usaha dan ketekunan
yang dilakukan. Keyakinan diri menentukan seberapa besar usaha
yang dapat dilakukan seseorang dan berapa lama dirinya bertahan
dalam menghadapi kesulitan. Keyakinan diri yang dimiliki individu
juga akan menentukan pembentukan komitmen individu dalam
pencapaian tujuan dari hal-hal yang dilakukannya (Smither, 1994).
Ketiga, mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional.
Penilaian mengenai kemampuan seseorang juga memiliki pengaruh
terhadap pola pikir dan reaksi emosionalnya. Individu dengan
keyakinan diri rendah akan menilai dirinya tidak mampu
mengerjakan tugas dan menghadapi tuntutan lingkungan. Mereka
juga cenderung lebih memikirkan kekurangan dirinya daripada
berusaha memperbaikinya. Hal yang sebaliknya justru terjadi pada
individu dengan keyakinan diri tinggi.
Keempat, meramalkan tingkah laku selanjutnya. Individu
dengan keyakinan diri yang tinggi akan berbeda dengan individu
dengan keyakinan diri yang rendah dalam bertindak dan berperasaan.
Kelima, menunjukkan kinerja selanjutnya. Keyakinan diri
dapat berpengaruh terhadap kinerja yang akan dilakukan seseorang.
Penguasaan materi yang menghasilkan kesuksesan dapat membangun
keyakinan diri seseorang. Di lain pihak, kegagalan yang tercipta justru
dapat menurunkan keyakinan diri (Bandura, 1997).
Fungsi efikasi dalam kehidupan digunakan untuk
menentukan pilihan tingkah laku guna memilih tugas yang
diyakininya dapat dikerjakan dengan baik dan menghindari tugas
yang sulit, menentukan seberapa besar usaha dan ketekunan yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas tersebut, mempengaruhi pola
pikir dan reaksi emosional terhadap mampu atau tidaknya individu
dalam menyelesaikan tugas, meramalkan tingkah laku selanjutnya,
serta menunjukkan kinerja selanjutnya di mana kesuksesan akan
mampu berpengaruh positip terhadap efikasi yang dimiliki.
Sumber pengontrol tingkah laku dalam kehidupan individu
adalah resiprokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Efikasi
merupakan variable pribadi yang sangat penting, jika digabung
dengan tujuan-tujuan khusus serta pemahaman mengenai prestasi,
maka akan menjadi factor penentu tingkah laku mendatang yang
penting. Dengan demikian efikasi dapat memberikan arah
perkembangan individu pada waktu yang akan datang. Jika individu
memiliki efikasi yang tinggi, maka diharapkan individu tersebut akan
melakukan perilaku yang lebih responsive terhadap lingkungan,
tingkah laku itu sendiri serta pribadinya.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi
Bandura (1997) menunjukan bahwa keyakinan terhadap
kemampuan diri akan mempengaruhi bagaimana individu merasakan,
berpikir, memotivasi diri, dan bertingkah laku.
Dalam kehidupan manusia, memiliki efikasi merupakan hal
yang sangat penting. Efikasi mendorong seseorang untuk memahami
secara mendalami atas situasi yang dapat menerangkan tentang
mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan dan atau yang
berhasil.
Terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi efikasi
individu sebagaimana dikemukanan oleh Bandura dalam Alwisol
(2006). Kelima faktor ini disajikan dalam Tabel 1.
1) Pengalaman Performasi (Perfomance Accomplishment )
Pengalaman menguasai suatu prestasi yang pernah dicapai
pada masa yang telah lalu sebagai sumber informasi masa lalu
menjadi pengubah efikasi yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi
masa lalu yang bagus akan meningkatkan ekpektasi efikasi,
sedangkan kegagalan masa lalu akan menurunkan efikasi individu.
TABEL. STRATEGI PENGUBAHAN SUMBER EKSPEKTASI
EFIKASI
Sumber Cara Induksi
Pengalaman
Performasi
(PPe)
Participan modeling Meniru mode yang
berprestasi
Performance
desentization
Menghilangkan pengaruh
buruk prestasi masa lalu
Performance exposure Menonjolkan keberhasilan
yang pernah diraih
Self-instrukted
performance
Melatih diri untuk
melakukan yang terbaik
Pengalaman
vikarius (PVi)
Live modeling Mengamati model yang
nyata
Symbolic modeling Mengamati model simbolik,
film, komik, ceritera
Persuasi
Verbal
(PVe)
Suggestion Mempengaruhi dengan kata-
kata berdasar kepercayaan
Exhortation Nasihat, peringatan yang
mendesak
Self-instruktion Memerintah diri sendiri
Interpretive Interpretasi baru
memperbaiki interpretasi
lama yang salah
Pembangkitan
Emosi
(PEm)
Attribution Mengubah atribusi,
penanggung jawab suatu
Relaxation biofeedback Relaksasi
Symbolic
desensitization
Menghilangkan sikap
emosional dengan modeling
simbolik
Symbolic exposure Memunculkan emosi secara
simbolik
Pengalaman performasi (Performance accomplishment)
merupakan sumber pengharapan yang utama karena didasarkan pada
pengalaman individu ketika berhasil mengerjakan suatu hal dengan
baik. Bandura (1997) menyebutkan hal ini dengan nama lain, yaitu
enactive attaintment atau sumber informasi yang paling berpengaruh
karena memiliki dasar pada keberhasilan pengalaman pribadi dalam
menyelesaikan suatu tugas dengan baik. Keberhasilan akan
menumbuhkan pengharapan dan kegagalan yang terjadi berulangkali
melemahkan pengharapan.
Bandura (1997) menyebutkan hal ini sebagai mastery experience
di mana keberhasilan sebelumnya dimasa lalu akan mempengaruhi
keberhasilan dan pengerjaan tugas-tugas berikutnya.
2) Pengalaman Vikarius (Vicorious Experiences)
Pengalaman vikarius sebagaimana terdapat dalam Alwilson
(2006:346) diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan meningkat
ketika individu mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi
akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya hampir
sama dengan dirinya namun ternyata gagal. Jika pigur yang diamati
berbeda dengan dirinya, maka akan memiliki kecenderungan
pengaruh vikarius tidak besar. Hal ini disebabkan karena kadar
kepercayaannya terhadap diri yang diamati tidak lah sama.
Dengan demikian pengalaman vikarius adalah pengalaman
yang didapat ketika individu melihat orang lain berhasil
menyelesaikan suatu tugas dengan baik. Pengharapan dapat tumbuh
pada diri individu yang memiliki posisi sebagai pengamat pada saat
dirinya menyaksikan orang lain mampu melakukan aktivitas dalam
situasi yang tertekan tanpa akibat yang merugikan. Pengamatan ini
akan menumbuhkan keyakinan bahwa suatu saat dirinya akan
mampu dan juga berhasil jika berusaha secara intensif dan tekun.
Kemudian akan timbul sugesti bahwa jika orang lain dapat melakukan
dengan baik maka dirinya juga akan mampu atau paling tidak ada
sedikit perbaikan dan peningkatan yang dapat dilakukan dalam
kinerjanya.
3) Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Menurut Bandura (1997), verbal persuasion ini digunakan untuk
meyakinkan seseorang bahwa dirinya memiliki kemampuan. Individu
yang dapat diyakinkan secara verbal oleh lingkungannya akan
mengeluarkan usaha yang besar dibandingkan jika dirinya memiliki
keraguan akan kemampuan yang dimilikinya. Bandura menekankan
bahwa individu yang diarahkan dengan saran, nasihat dan bimbingan
dapat meningkatkan kapasitasnya tentang kemampuan-kemampuan
yang dimilikinya sehingga individu tersebut mencapai tujuan yang
diinginkan.
4) Emotional Arousal
Emotional aurosal adalah muncul dan naiknya emosi seseorang
ketika individu berada dalam situasi yang tertekan. Saat berada dalam
situasi yang tertekan, kondisi emosional dapat mempengaruhi
pengharapan individu. Rasa takut dan cemas mengalami kegagalan
membuat individu mnjadi tidak yakin dalam menghadapi tugas-tugas
berikutnya (Bandura, 1997).
Dalam beberapa hal, individu menyandarkan dirinya pada
gejolak fisiologis dalam menilai kecemasan dan kepekaannya terhadap
stres. Gejolak yang berlebihan biasanya akan melumpuhkan kinerja.
Individu jelas berharap akan lebih berhasil jika mengalami gejolak
fisiologis ringan daripada harus menderita tekanan, goncangan dan
kegelisahan yang mendalam.
5) Physical or Affective Atatus
Stres dan kecemasan memiliki akibat negatif terhadap efikasi.
Jika individu tidak sedang mengalami gejolak perasaan maka dirinya
akan mampu berpikir relative tenang, jernih dan terarah. Hal ini
berguna agar dapat melihat apakah tujuan yang akan dicapai sulit,
sedang atau mudah. Pada akhirnya efikasi yang akan muncul akan
lebih sesuai dengan kenyataan yang sedang dihadapi oleh individu
yang bersangkutan.
d. Komponen Efikasi
Bandura (1997) membagi efikasi menjadi tiga komponen. Yaitu
meliputi komponen tingkat (level) yang disebut Magnitude komponen
ini menunjukan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk
mengatasi masalah dengan derajat kesulitan yang berbeda-beda,
komponen generalisasi (generality), komponen tersebut menunjukan
keyakinan individu terhadap persepsi kompetensi individu pada
tingkat pencapaian keberhasilannya dalam mengatasi tugas-tugas
dalam kondisi tertentu, komponen yang ketiga yaitu kekuatan
(Strength) yaitu tingkat kuat atau lemahnya keyakinan individu
mengenai kompetensi diri yang dipersepsikannya.
Guna pemahaman yang lebih lengkap ketiga komponen
efikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Komponen magnitude atau komponen tingkat/level
Dimensi ini adalah dimensi yang berhubungan dengan tingkat
kesulitan tugas. Jika seseorang dihadapkan pada tugas-tugas yang
disusun menurut tingkat kesulitan yang ada maka pengharapannya
akan jatuh pada tugas-tugas yang sifatnya mudah, sedang dan sulit.
Hal ini akan disesuaikan dengan batas kemampuan yang dirasakan
untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan bagi masing-
masing tingkat. Orang yang memiliki efikasi tinggi cenderung akan
memilih mengerjakan tugas-tugas yang sifatnya sulit dibandingkan
yang sifatnya mudah.
2) Komponen generality
Generality menjelaskan keyakinan individu untuk
menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik. Di sini
setiap individu memiliki keyakinan yang berbeda-beda sesuai dengan
tugas-tugas yang berbeda pula. Ruang lingkup tugas-tugas yang
dilakukan bisa berbeda dan tergantung dari persamaan derajat
aktivitas, kemampuan yang diekspresikan dalam hal tingkah laku,
pemikiran dan emosi, kualitas dari situasi yang ditampilkan dan sifat
individu dalam tingkah laku secara langsung ketika menyelesaikan
tugas.
Kemampuan individu dalam menyelesaikan tugas akan
mempengaruhi efikasi yang dimiliki. Semakin tinggi kemampuan
yang dimiliki maka akan semakin tinggi efikasi yang ada, begitu pula
sebaliknya. Hal ini bisa terjadi karena semakin tinggi kemampuan
yang dimiliki maka keyakinan untuk menyelesaikan tugas dengan
baik dan tuntas juga semakin tinggi.
3) Komponen strength
Komponen ini berhubungan dengan derajat kemantapan
individu terhadap keyakinannya. Seseorang dengan efikasi yang
tinggi sangat yakin dengan kemampuan dirinya. Mereka tidak pernah
frustasi dalam menghadapi masalah yang sulit dan lebih mampu
menyelesaikan masalah dengan berbagai macam rintangan.
Sebaliknya, seseorang dengan tingkatan efikasi yang rendah merasa
bahwa dirinya memiliki kemampuan yang lemah dan akan mudah
terguncang apabila menghadapi rintangan dalam melakukan
tugasnya.
Komponen ini juga berkaitan langsung dengan komponen
magnitude di mana semakin tinggi taraf kesulitan tugas yang dihadapi
maka akan semakin tinggi keyakinan yang dirasakan untuk
menyelesaikannya.
Efikasi dalam diri individu dapat terjadi tinggi atau dapat
juga rendah, jika efikasi tinggi maka akan memberikan dampak yang
lebih baik terhadap dorongan individu untuk mencapai tujuan yang ia
harapkan, sedangkan jika efikasi rendah pada diri individu, maka
akan berdampak terhadap menurunnya dorongan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Dengan asumsi tersebut, dipandang perlu
untuk meningkatkan efikasi, Santrock (1999) menyebutkan empat
tahap meningkatkan efikasi yang dimiliki. Keempat tahap tersebut
adalah: (a) Memilih satu tujuan yang diharapkan dapat dicapai di
mana tujuan yang dipilih tentu saja yang sifatnya realistis untuk
dicapai. (b) Memisahkan pengalaman masa lalu dengan rencana yang
sedang dilakukan. Hal ini penting untuk dilakukan agar pengaruh
kegagalan masa lalu tidak tercampur baur dengan rencana yang
sedang dilakukan. (c) Tetap berusaha mempertahankan prestasi yang
baik dengan cara berusaha tetap fokus dengan keberhasilan yang telah
dicapai. (d) Membuat daftar urutan situasi atau kegiatan yang
diharapkan dapat diatasi atau dapat dilakukan mulai dari yang paling
mudah sampai ke yang paling sulit. Hal ini penting untuk
mengingkatkan efikasi secara bertahap dalam pengerjaan hal-hal yang
sulit.
DAFTAR PUSTAKA
Alwilsol, (2006). Psikologi Kepribadian. Malang. UPT Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang.
Azwar, S. 2005. Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy. The Exercise of Control. New York:
Freeman.
Bergeron, L.M., & Romano, J.L. (1994). The relationships among
career decision making self-efficacy, educational indecision,
vocational indecision, and gender. Journal of College Student
Development, 35, 19-24.
Betz, N.E., & Luzzo, D.A. (1996). Career assessment and the career
decision-zaking self-efficacy scale. Journal of Career Assessment,
4, 413-428.
Betz, N.E., Klein, K., & Taylor, K. (1996). Evaluation of a short
form of the Career Decision-Making Self-efficacy Scale. Journal
of Career Assessment, 4, 47-57.
Betz, N.E., & Taylor, K.M. (2006). Manual for the Career Decision Self-
fficcay Scale and CDSE-Short Form. Ohio: The Ohio State
University.
Carkhuff. R (1985) The Art of Helping, Massachusetts. Human Resource
Development Press.
Creed, P., Patton, W., & Prideaux, L. (2006). Causal relationship
between career indecision and career decision-making self-
efficacy. Journal of Career Development, 33(1), 47-65.
Departemen Agama RI. 2007. Syamil Al Qur’an. Jakarta.
Dillar, JM (1985) Life Long Career Planing. Ohio. Charles E. Merril
Publishing. Co.
Heppner, Paul, at al. Research Design in Counseling. Third edition.
Thomson brooks/cole.
Lindzey. H (1985) Introduction Theories of Personality, New York. John
Willey & Sons.
Mau, W. (2000). Cultural differences in career decision-making
styles and self-efficacy. Journal of Vocational Behavior, 57, 365-
378.
Moesono, A. (2001). ”Decision making” memilih studi psikologi
pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Jurnal Psikologi Sosial, IX(VII), 79-87.
Nauta, M.M & Kahn, J.H. (2007). Identity status, consistency and
differentiation of interests, and career decision self-efficacy.
Journal of Career Assessment, 15, 55-65.
Oettingen, G. & Zosuls, K.M. (2006). Culture and self-efficacy in
dolescents. In F. Pajares., & T. Urdan (Eds.). Self-efficacy belief of
adolescents (pp. 245-265). Connecticut: Information Age
Publishing, Inc.
Osipow, Samuel (1983). Theories of Career Development, New Jersey.
Prentice Hall.
Pope, Mark (1999). Applications of group career counseling
techniques in Asian cultures. Journal of Multicultural Counseling &
Development; Vol. 27, 13-18.
Sadiyah, Yies. 1997. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. IAIN SGD
Bandung
Santrock, J.W. (1999). Life-span Development (Seventh Edition). New
York: McGraw-Hill, Inc.
Santrock, J.W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta:
Erlangga.
Savickas, M. L. 2001. A Developmental Perspective on Vocational
Behavior: Career Pattern, Salience, and Themes. International
Journal for Educational and Vocational Guidance, 1, 49-57.
Schmitt-Rodermund, E., & Vondracek, F. W. (1999). Breadth of
interests, exploration, and identity development in adolescence.
Journal of Vocational Behavior, 55, 298-317.
Schulenberg, J.E. (1988). Factorial invariance of career indecision
dimensions across junior high and high school males and
females. Journal of Vocational Behavior, 33, 63-81.
Soemanto. (1998). Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bina
Aksara.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta : Bandung.
Sukardi (1989) Bimbingan Karier di Sekolah-sekolah. Jakarta Timur.
Ghalia Indonesia.
Taylor, K.M., & Betz, N.E. (1983). Application of self-efficacy theory
to the understanding and treatment of career indecision.
Journal of Vocational Behavior, 22, 63-81.
Taylor, K.M., & Popma, J. (1990). An examination of the
relationship among career decision-making self-efficacy, career
salience, locus of control, and vocational indecision. Journal of
Vocational Behavior, 37, 17-31.
Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Madrasah. Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Winkel, W.S., & Hastuti, S. 2004. Bimbingan Karier di Institusi
Pendidikan. Jakarta: Media Abadi.