Post on 01-Feb-2016
description
1. Pengertan polifenol
Senyawa fenol dapat di definisikan secara kimiawi oleh adanya satu cincin
aromatik yang membawa satu (fenol) atau lebih (polifenol) substitusi hydroksil,
termasuk derifat fungsionalnya. Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan
pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak gugus fenol dalam
molekulnya. Polifenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut
yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada senyawa tersebut
yang dimiliki berbeda jumlah dan posisinya. Turunan polifenol sebagai antioksidan
dapat menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang
dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan
radikal bebas. Polifenol merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap
aktivitas antioksidan dalam buah dan sayuran (Hattenschwiler dan Vitousek, 2000).
2. KLASIFIKASI POLIFENOL
Berdasarkan Unit basa.
Polifenol jika diklasifikasikan berdasarkan unit basanya di bagi menjadi kelompok 3
kelompok besar yaitu asam galic, polivenol, Flavon, asam sinamat.
a. Asam Galic
Senyawa ini memiliki struktur benzen yang tersubtitusi dengan 3 gugu – OH dan
satu gugus Karboksilat. Contohnya seperti jenis hydrolyzable tannins yang merupakan
jenis tanin yang dapat larut di dalam air membentuk asam gallic dan asam
protocatechuic dan gula. Contoh jenis ini adalah. gallotanin Senyawa ini tidak terlalu
berperan didalam tumbuhan tetapi cukup memberikan sumbangan manfaat bagi
manusia khususnya dalam bidang kesehatan. Senyawa jenis ini telah diteliti dapat
menghamba tumor, anti- virus, anti oksidasi, anti deabetes (Hayashi et.al. 2002) dan
anti cacing (Mori et.al, 2000).
b. Flavon.
Jeniss polifenol ini yang apaling banyak terdapat dialam. Senyawa ini juga
termasuk flavonoid yang telah dibahas dalam makalah bab yang lain. Contoh senyawa
ini adalah epicatechin dan epigalocatechin, senyawa ini terkandung di dalam teh yang
memiliki fungsi sebagai antioksidan.
Senyawa ini memiliki memiliki subkomponen berupa fenol yang tersusun dari benzen
tersubtitusi dengan gugus –OH. Salah satu contohnya adalah capsaisin, yang
merupakan zat pedas pada cabe. Senyawaa ini memiliki subkomponen fenol dan
terdapat amina didalamnya (Sudarma, 2009)
c. Pyrocatechol
Senyawa ini memiliki subkomponen dengan benzena yang tersubtitusi 2 gugus –
OH secara Orto. Contoh senyawa ini adalah quercetin dan catechin. Kedua senyawa
ini terdapat dalam buah apel dan daun teh, masing-masing senyawa memiliki dapat
digunakan sebagai antioksidan (Sudarma, 2009).
d. Pyrogallol
Senyawa ini memiliki fenolik berupa benzen tersubtitusi dengan 3 gugus –OH yang
berurutan. Contoh senyawa ini adalah myrecetin dan gallocatechins ( EGCG ).
Senyawa ini terkandung dalam buah anggur dan daun teh. Myrecetin dapat dipakai
sebagai penurun kolestrol darah sedangkan EGCG dapat digunakan sebagai
antioksidan dan penangkal radikal bebas (Sudarma, 2009).
e. Resorsinol
Senyawa ini memiliki subkomponen fenol berupa benzen yang tersubtitusi debgan
2 gugu –OH yang terletak secara meta. Contoh dari senyawa ini adalah Resveratrol,
senyawa ini meiliki fungsi sebagai penghambat penuaan, antikanker dan obat penyakit
kulit, tetpai senyawa ini belum diteliti pada manusia sehingga yang di sebutkan tadi
hanya berlaku pada beberapa jenis hewan saja.
f. Floroglucinol
Senyawa berikut memiliki phenol yang terdiri dari tiga subtituen OH yang terletak
secara selang-seling. Contoh senyawa ini adalah jenis senyawa flavonoid yang telah
dibahas dalam bab yang lain
g. Hidroquinon
Polifenol jenis ini berbeda dengan yang alain dalam hal aktivitasnya dalam tubuh.
Senyawa yang mengandung subkomponen ini dapat menyebabkan kanker sedangkan
polifenol yang lain dapat berfungsi sebagai antikanker. Senyawa jenis ini memiliki fenol
berupa benzen yang tersubtitusi dengan dua gugus –OH yang terletak pada possisi
para. Contoh senyawa ini berupa glikosida yaitu arbutin.
3. Mekanisme radikal bebas
Radikal bebas adalah molekul dengan elektron tidak lengkap yang
menyebabkan mereka menjadi reaktif secara kimiawi dibandingkan dengan
molekul dengan elektron lengkap. Radikal bebas diiproduksi oleh metabolisme
makanan yang masuk ke dalam tubuh, atau lingkungan yang terpapar polutan
seperti asap rokok dan radiasi. Radikal bebas dapat merusak sel dan berperan pada
penyakit jantung, kanker dan penyakit degeneratif lainnya (Tan Hoan Tjay dan
Rahardja, K., 2007).
Pada manusia, bentuk radikal bebas pada umumnya berupa molekul oksigen
tidak lengkap. Ketika molekul oksigen (02) tidak lengkap ini secara radikal
mencuri elektron dari molekul normal lain, menyebabkan kerusakan pada DNA
maupun molekul normal tersebut. Semakin lama, kerusakan akan menjadi ireversibel
dan menyebabkan timbulnya suatu penyakit, contohnya kanker. Antioksidan sering
digambarkan sebagai penangkap radikal bebas yang berarti mereka menetralisir
reaksi reaktif dan mencegah pencurian elektron dari molekul lain (Tan Hoan Tjay dan
Rahardja, K., 2007).
Senyawa antioksidan meliputi diantaranya adalah beta karoten, lutein,
likopen, selenium, vitamin A, vitamin C dan vitamin E, yang banyak ditemukan pada
makanan, diantaranya buah-buahan dan sayuran segar, kacang-kacangan,
gandum dan beberapa daging, daging ayam dan ikan (Pellegrini, N. et al., 2003; Tan
Hoan Tjay dan Rahardja, K., 2007).
Polifenol merupakan antioksidan terbanyak dalam makanan. Total asupan
polifenol dalam sehari bisa mencapai satu gram. Sebagai perbandingan, polifenol
memiliki aktivitas antioksidan 10 kali lebih tinggi dibanding vitamin C dan 100 kali
lebih tinggi dibanding vitamin E dan karotenoid. Sumber utama polifenol yaitu
buah-buahan dan minuman yang berasal dari tumbuhan seperti jus buah, teh, kopi
dan red wine. Sayuran, sereal, coklat dan kacang-kacangan kering juga
penyumbang asupan total polifenol. Dalam kategori minuman, dari suatu
penelitian disebutkan sumber polifenol terbesar adalah dari daun teh segar, teh
bubuk dan biji kopi (Pellegrini, N. et al., 2003; Carelsen, M.H. et al., 2010).
Polifenol terbukti memperbaiki keadaan biomarker stress oksidatif yang
berbeda-beda. Namun belumlah jelas hubungan biomarker ini sebagai prediktor
risiko suatu penyakit dan kesesuaian dengan metode berbeda-beda yang
digunakan. Kemajuan yang bermakna didapatkan pada penelitian penyakit
kardiovaskuler, termasuk hipertensi, bahwa pemberian polifenol sebagai suplemen
atau makanan dapat meningkatkan status kesehatan mereka dengan penurunan
risiko penyakit kardiovaskuler (Scalbert, A., Manach, C., Morand, C., Rémésya, C.,
dan Jiménez, L., 2005).
Fenol beraksi sebagai antioksidan dengan memutuskan rantai radikal bebas,
dimana gugus –OH akan menangkap radikal bebas seperti peroksil radikall
Radikal fenoksil (R-O●) cenderung kurang reaktif karena elektron terlokalisasi di
dalam cincin aromatik, sehingga radikal RO2● reaktif hanya memiliki satu elektron
yang kurang reaktif. Nitrit oksida meskipun merupakan radikal bebas namun
kurang reaktif untuk menyerang DNA secara langsung. Nitrit oksida dapat juga
mencegah ransiditas, misalnya menghambat lipid peroksidase dengan dua cara.
Salah satunya dapat menangkap radikal peroksil reaktif (Halliwel, B., 2002).
Lipid peroksidasi pada daging dapat meningkat dengan pelepasan ion besi dan
senyawa heme seperti mioglobin dan NO merupakan antagonis dari reaksi ini. Jika
reaksi nitrit ini masuk kedalam tubuh (dimakan) kemudian bereaksi dengan asam
lambung maka akan memproduksi asam nitrous (HNO2), yang kemudian akan
teroksidasi menjadi N2O3. Reaksi ini kemudian akan menimbulkan nitrosasi dari amin,
nitrasi dari senyawa aromatik, dan deaminasi dari basa DNA, khususnya guanin.
Beberapa senyawa fenolat yang ditemukan pada tanaman memiliki kekuatan
penuh untuk menghambat HNO2-dependent tyrosine nitration dan deaminasi basa
DNA in vitro. Penghambatan ini jauh lebih efektif dari pada askorbat. Karenanya,
senyawa fenol pada buah-buahan, sayuran, wine, teh dan minuman lainnya dapat
bermanfaat sebagai gastroprotektif terutama pada situasi peningkatan spesies
nitrogen yang reaktif. Barangkali, ini salah satu alasan kenapa teh hijau (juga kopi)
dapat memberikan perlindungan terhadap kanker: karena salah satu senyawanya
dapat menghambat spesies nitrogen rekatif yang dapat merusak DNA secara
potensial di dalam perut. Senyawa fenol yang teroksidasi atau ternitrasi yang
dihasilkan bukanlah senyawa yang toksik (Halliwel, B., 2002).
Fenol yang tidak terserap dalam usus halus akan dilanjutkan di kolon (seperti
halnya asam klorogenat pada kopi). Tampaknya ini menguntungkan, karena
kolon manusia bersifat hipoksia, feses tersimpan pada kondisi anaerob sehingga
menciptakan radikal bebas diatas rata-rata dengan reaksi yang melibatkan ion
besi, yang tidak diabsorbsi di usus halus dan juga bisaanya karena konsumsi terlalu
banyak makanan yang kaya dengan besi. Fenol yang berlanjut hingga kolon akan
berikatan dengan ion besi dan menangkap berbagai spesies reaktif (Halliwell, B.,
2002). Dan ini barangkali keuntungan kopi dibalik efek negatifnya yang
mengganggu penyerapan zat besi.
4. Metode Pengukuran Aktivitas Antioksidan
Antioksidan in vivo dapat mencegah oksidasi terhadap target biologis
dengan berbagai cara, yaitu:
a. Menangkap ion logam untuk mencegah pembentukan spesies
oksigen/nitrogen reaktif.
b. Menangkap spesies oksigen/nitrogen reaktif secara langsung.
c. Menghambat enzim oksidatif (contoh: siklooksigenase)
d. Meningkatkan aktivitas enzim antioksidan.
Antioksidan dapat menangkap radikal bebas dengan beberapa mekanisme,
yaitu transfer atom hidrogen, transfer elektron tunggal, dan baru-baru ini
diketahui transfer elektron dengan memberikan proton (Moore, J. dan Liangli Yu,
2007).
4.1 DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl)
Metode yang paling sering digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan tanaman
obat adalah metode uji dengan menggunakan radikal bebas DPPH. Tujuan
metode ini adalah mengetahui parameter konsentrasi yang ekuivalen memberikan
50% efek aktivitas antioksidan (IC50). Hal ini dapat dicapai dengan cara
menginterpretasikan data eksperimental dari metode tersebut.
DPPH merupakan radikal bebas yang dapat bereaksi dengan senyawa yang dapat
mendonorkan atom hidrogen, dapat berguna untuk pengujian aktivitas antioksidan
komponen tertentu dalam suatu ekstrak. Karena adanya elektron yang tidak
berpasangan, DPPH memberikan serapan kuat pada 517 nm. Ketika elektronnya
menjadi berpasangan oleh keberadaan penangkap radikal bebas, maka absorbansinya
menurun secara stokiometri sesuai jumlah elektron yang diambil. Keberadaan
senyawa antioksidan dapat mengubah warna larutan DPPH dari ungu menjadi kuning
(Dehpour, A.A., Ebrahimzadeh, M.A., Fazel, N.S., dan Mohammad, N.S., 2009).
Perubahan absorbansi akibat reaksi ini telah digunakan secara luas untuk
menguji kemampuan beberapa molekul sebagai penangkap radikal bebas. Metode
DPPH merupakan metode yang mudah, cepat dan sensitif untuk pengujian aktivitas
antioksidan senyawa tertentu atau ekstrak tanaman (Koleva, I.I., van Beek, T.A.,
Linssen, J.P.H., de Groot, A., dan Evstatieva, L.N., 2002; Prakash, A., Rigelhof, F., dan
Miller, E., 2010).
4.2 ABTS●+ (2,2 azinobis (3-ethyl-benzothiazoline-6sulfonic-acid)
Metode pengukuran kemampuan menangkap radikal kation ABTS (ABTS●+)
merupakan metode dekolorisasi yang mengukur kapasitas antioksidan secara
langsung menangkap radikal kation ABTS●+ yang dihasilkan dengan cara kimiawi.
ABTS●+ adalah nitrogen yang menjadi pusat radikal dengan karakteristik warna
hijau-biru, yang kemudian akan direduksi oleh antioksidan menjadi bentuk non
radikal (ABTS) yang tidak/kurang berwarna. Reaksi ini terukur pada absorbansi
734 nm pada spektrofotometer. Hasilnya secara umum setara dengan kekuatan
trolox sebagai standar antioksidan (Moore, J. dan Liangli Yu, 2007).
Bahan dan persiapan larutan uji sebagai berikut: 0,5 fosfat bufer (PSB) pH 7,4;
0,5 mM larutan trolox dalam pelarut yang sama untuk larutan sampel, standar
trolox 1-120 µM diencerkan pada pelarut yang sama, larutan uji/ekstrak (pengenceran
mungkin diperlukan untuk mendapatkan absorbansi yang linier pada kurva
standar); blanko yang mengandung 1 mL PBS dan 80µL pelarut; larutan ABTS●+:
disiapkan 5 mM ABTS (2,2`-azinobis (3-etilbenzotiazolin-6-asam sulfonat) garam
diamonium) dalam air, tambahkan 1 atau 2 spatula MnO menjadi ABTS teroksidasi
(ABTS●+), saring larutan dengan kertas saring whatman #1, encerkan dengan
PBS hingga absorbansi pada 1-cm cell, 734 nm adalah 0,7 (Moore, J. dan Liangli
Yu, 2007) .
Prosedur kerja sebagai berikut: lakukan penyesuaian dengan panjang
gelombang absorbansi pada spetrofotometer adalah 734 nm, spektrofotometer
blanko dengan larutan blanko, ditambahkan 1 ml larutan ABTS+ dan 80 µl
standar atau diencerkan ekstrak sampel ke dalam tabung uji, biarkan tabung
selama 30 detik diikuti vorteks selama 1 menit, pindahkan ke dalam kuvet dan
segera baca absorbansinya (Moore, J. dan Liangli Yu, 2007).
4.3 Superoksida anion radikal (O2●-)
Metode pengukuran kemampuan menangkap radikal O2●- dikembangkan untuk
mengevaluasi kemampuan antioksidan hidrofilik yang secara langsung bereaksi
dengan radikal yang sesuai. Metode ini mengukur kemampuan antioksidan
terseleksi bersaing dengan suatu molekul nitroblue tetrazolium (NBT), untuk
menangkap O2●- yang dihasilkan dari enzimatik hipoxantin-xantin oksidase (HPX-
XOD) sistem. NBT memiliki warna kuning yang akan direduksi oleh O2●-
membentuk warna biru yang akan yang akan terukur 560 nm pada
spektrofotometer. Metode ini akan menunjukkan sisa O2●- (%) (Moore, J. dan
Liangli Yu, 2007).
Bahan dan persiapan larutan uji sebagai berikut: 50 mM fosfat bufer (PBS) pH 7,4;
disiapkan larutan uji 2 mM hypoxanthine (HPX) dalam PBS; disiapkan larutan 0.56
U/mL xantin oksidase (XOD) dalam PBS; disiapkan larutan 0,34 mM tretrazolium biru
(NBT) dalam PBS; ekstrak sampel (Moore, J. dan Liangli Yu, 2007).
Prosedur kerja sebagai berikut: disiapkan larutan blanko yang mengandung
300 µl PBS, larutan 200 µl NBT dan larutan 500 µl HPX, tera absorbansi pada
560 nm menjadi 0 dengan larutan blanko, tabahakan larutan 200 µl NBT, larutan 500
µl HPX, dan larutan sampel 100 µl (ekstrak sampel) atau pelarut untuk kontrol,
vorteks selama 5 detik, tambahkan 200 µl XOD dan atur segera timer, vorteks
selama 30 detik, ukur absorbansi setiap menit selama 10 menit (Moore, J. dan
Liangli Yu, 2007).
5. Kandungan Polifenol pada kakao teh, dan kopi
Berikut komponen polifenol beberapa bahan.
A. KAKAO
B. KOPI
C. TEH
SampelAbsorbansi
1
Abssorbansi 2
Absorbansi rata-rata
Total Fenol (mg/L)
Teh hitam Sari Wangi 0.752 0.840 0.7960 216.5676
Teh Cap Botol 0.602 0.628 0.6150 167.6486
Teh Hijau Taraju 0.885 0.860 0.8725 237.2432
Teh hijau Kepala Jenggot 0.965 0.945 0.9550 259.5405
Teh Hitam Goal Para 0.782 0.762 0.7720 210.0811
DAFTAR PUSTAKA
Liangli Yu & Moore, J. (2008). Methods for antioxidant capacity estimation of wheat
and wheat-based food product. In: Wheat Antioxidant. Editor: Liangli
Yu.New Jersey: John Willey & Sons, Inc. 118-132.
Halliwell, B. (2002). Food-derived antioxidants: how to evaluate their importance in
food and in vivo. National University of Singapore. Singapore. Koleva,
I.I., van Beek, T.A., Linssen, J.P.H., de Groot, A., & Evstatieva, L.N. (2002),
Screening of Plant Extracts For Antioxidant Activity: A Comparative Study
on Three Testing Methods. Phytochemical Analysis, 13, 8-17.
Sudarma. (2009). Kafein dalam Pandangan Farmasi. Medan: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara.