Post on 13-Aug-2015
TUGAS FARMAKOLOGI III
PENGGUNAAN ANTIMIKROBA PADA KASUS DIARE
Disusun Oleh :
Kelompok II
I Komang Adi Swarbhawa 06.55341.00284.09
Aji Ayunita Kristiningrum 06.55348.00291.09
Anisha Sagita 06.55355.00298.09
Nur Azizah Lahdjie 06.55361.00304.09
Deti Fitria 06.55374.00317.09
Dwi Renti Astuti 06.55380.00323.09
Khairunnisa 06.55386.00329.09
Samuel Hananiel Rory 06.55395.00338.09
Nur Hijriah Putri
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangSetiap tahun diperkirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia
dengan 3,3 juta kasus kematian sebagai akibatnya. Lebih dari 2 juta kasus diare akut infeksius di Amerika setiap tahunnya yang merupakan (Montgomery L.2002) penyebab kedua dari morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang berkisar 3,5 – 7 episode per anak per tahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 – 5 episode per anak per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan. Hasil survei oleh Depkes diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk angka ini meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk. Diare masih merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita.
Dalam berbagai hasil Survei kesehatan Rumah Tangga diare menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia. Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina propria serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan maldiges dan malabsorpsi. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik.
Diare akut pada orang dewasa merupakan tanda dan gejala penyakit yang umum dijumpai dan bila terjadi tanpa komplikasi, secara umum dapat di obati sendiri oleh penderita (Goldfinger SE.1987). Namun, bila terjadi komplikasi akibat dehidrasi atau toksik menyebabkan morbiditas dan mortalitas, meskipun penyebab dan penanganannya telah diketahui dengan baik serta prosedur diagnostiknya juga semakin baik.
Penatalaksanaan umum terhadap diare ialah dengan rehidrasi, dietary, obat anti diare, dan obat antimikroba. Karena kebanyakan pasien memiliki penyakit yang ringan, self limited disease karena virus atau bakteri non-invasif, pengobatan empirik tidak dianjurkan pada semua pasien. Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien-pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif,diare turis (traveler's diarrhea) atau imunosupresif.
B. TujuanAdapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah:1. Untuk mengetahui penyakit diare2. Untuk mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan diare3. Untuk mengetahui golongan antimikroba yang digunakan dalam
penatalaksanaan diare4. Untuk mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik masing-masing
golongan antimikroba dalam penatalaksanaan diare
BAB II
ISI
A. Diare
Diare adalah frekuensi dan liquiditas buang air besar (BAB) yang
abnormal. Frekuensi dan konsistensi BAB bervariasi dalam dan antar
individu. Sebagai contoh, beberapa individu defekasi tiga kali sehari,
sedangkan yang lainnya hanya dua atau tiga kali seminggu (Sukandar et all,
2008).
Berbagai penyebab diare akut dapat dikelompokkan oleh karena infeksi
dan non infeksi . Penyebab diare akut oleh karena infeksi saluran cerna oleh
virus, bakteri, jamut , parasit. Sedangkan penyebab non infeksi diantaranya
adalah pemakaian obat laksan, efek samping antibiotika, diabetes melitus,
psikogen. Penyebab diare kronik antara lain intoleransi disakarida,
divertikulosis, neoplasma saluran cerna, kolitis ulseratif (Samodro, 2008).
Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting).
Antibiotika hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya
kholera, shigella, karena penyebab terbesar dari diare pada anak adalah virus
(Rotavirus) (Subijanto et all, 2006).
Pemberian antimikroba secara empiris jarang diindikasikan pada diare
akut infeksi karena 40% kasus diare infeksi sembuh dalam waktu kurang dari
3 hari tanpa pemberian antimikroba. Pemberian antimikroba diindikasikan
pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses
berdarah, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi
lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada
pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antimikroba secara
empiris dapat dilakukan tetapi terapi antimikroba spesifik diberikan
berdasarkan kultur dan resistensi kuman (Zein et all, 2004).
Tabel Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri (Zein et all, 2004).
Organisme Pilihan Pertama Pilihan Kedua
Campylobacter,
Shigella atau
Salmonella spp
Ciprofloksasin 500 mg oral
2x sehari, 3 – 5 hari
Salmonella/Shigella
Ceftriaxon 1gr IM/IV
sehari
TMP-SMX DS oral 2x
sehari, 3 hari
Campilobakter spp
Azithromycin, 500 mg
oral 2x sehari
Eritromisin 500 mg oral
2x sehari, 5hr
Vibrio Cholera Tetrasiklin 500 mg oral 4x
sehari, 3 hari
Doksisiklin 300 mg Oral,
dosis tunggal
Resisten Tetrasiklin
Ciprofloksacin 1gr oral
1x
Eritromisin 250 mg oral
4x sehari 3 hari
Traveler diarrhea Ciprofloksacin 500 mg TMP-SMX DS oral 2x
sehari, 3 hari
Clostridium difficile Metronidazole 250-500 mg
4x sehari, 7-14 hari oral atau
IV
Vancomycin, 125 mg
oral 4x sehari 7-14 hari
B. Antimikroba Pada Diare
1. FluorokuinolonAntimikroba golongan ini disebut demikian karena adanya atom fluor
pada posisi 6 dalam strruktur molekulnya. Daya antibakteri fluorokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lainnya. Selain itu kelompok obat ini diserap dengan baik pada pemberian oral dan beberapa derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral sehingga dapat digunakan untuk penanggulangan infeksi berat, khususnya yang disebabkan oleh kuman Gram-negatif. Daya antibakterinya terhadap
kuman Gram-positif relative lemah. Yang termasuk golongan ini adalah siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin, norfloksasin, enoksasin, levofloksasin, fleroksasin, dll (Setiabudy, 2007b).a) Farmakokinetik
AbsorbsiFluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran pencernaan
daripada asam nalidiksat. Ofloksasin, levofloksasin, galtifloksasin dan moksifloksasin adalah golongan flurokuinolon yang diserap baik sekali pada pemberian oral. Pefloksasin adalah fluorokuinolon yang absorbsinya paling baik dan masa paruh eliminasinya paling panjang. Penyerapan siprofloksasin dan mungkin juga fluorokuinolon lainnya terhambat bila diberikan bersama antasida (Setiabudy, 2007b).
DistribusiFluorokuinolon hanya sedikit yang terikat dengan protein.
Golongan ini didistribusi dengan baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin semua fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui Kadar Hambat Minimal untuk kebanyakan kuman patogen selama minimal 12 jam. Salah satu sifat fluorokuinolon yang menguntungkan ialah bahwa golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam kelenjar prostat. Beberapa fluorokuinolon seperti siprofloksasin dan ofloksasin dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal bila ada meningitis. Sifat lain yang menguntungkan adalah masa paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari (Setiabudy, 2007b).
Metabolisme dan EkskresiBioavailabilitas pada pemberian per oral sama dengan pemberian
parenteral. Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal. Sebagian kecil obat akan dikeluarkan melalui empedu. Hemodialisis hanya sedikit mengeluarkan fluorokuinolon dari tubuh sehingga penambahan dosis umumnya tidak diperlukan (Setiabudy, 2007b).
b) FarmakodinamikFluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan
kelompok kuinolon yang terdahulu. Fluorokuiolon baru menghambat topoisomerase II (=DNA dirase) dan IV pada kuman. Enzim topoisomerase II berfungsi menimbulakn relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling (pilinan positif yang berlebihan) pada
waktu trankripsi dalam proses replikasi DNA. Topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai (Setiabudy, 2007b).
IndikasiFluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas,
antara lain:1) ISK yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten dan P.
aeruginosa.2) Infeksi Saluran Cerna. Fluorokuinolon efektif untuk diare yang
disebabkan oleh Shigella, Salmonella, E. coli, dan Campylobacter.3) Infeksi Saluran Nafas.4) Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.5) Infeksi tulang dan sendi6) Infeksi kulit dan jaringan lunak
Efek Samping1) Saluran cerna mual, muntah dan rasa tidak enak di perut.2) Susunan Saraf Pusat sakit kepala dan pusing3) Hepatotoksisitas4) Kardiotoksisitas5) Disglikemia6) Fototoksisitas7) Tendinitis dan sindroma hemolisis, gagal ginjal, serta
trombositopeni.
Kontra IndikasiGolongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan untuk
anak (sampai 18 tahun) dan wanita hamil karena data dari penelitian hewan menunjukkan bahwa golongan obat ini dapat menimbulkan kerusakan sendi.
Interaksi Obat1) Fluorokuinolon + Antasida dan preparat Fe absorbsi
fluorokuinolon dapat berkurang hingga 50%. Penggunaan antasida dan preparat harus diberikan dengan selang waktu 3 jam.
2) Fluorokuinolon + Teofilin menghambat metabolisme teofilin dan meningkatkan kadar teofilin dalan darah sehingga dapat terjadi intoksikasi.
3) Fluorokuinolon + obat-obat yang dapat memperpanjang QTc.
2. Kotrikmoxazole
Trimetropin dan sulfametoxazole menghambat reaksi enzimatik
obligat pada 2 tahap yang berurutan ehingga kombinasi kedua obat
memberikan efek sinergi. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama
kotrimoxazole (Mariana, 2007).
a) Kimia
Trimetropin adalah suatu diaminopirimidin yang bersifat basa
lemah dengan pKa 7,3 dan sedikit larut dalam air (Mariana,2007).
b) Aktivitas antimikroba
Spectrum antibakteri trimetropin sama dengan sulfametoxazole,
meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat dari
sulfametoxazole. Mikroba penyebab diare yang peka terhadap
kombinasi TMP/SMX ialah: E.Coli,Salmonella, Shigella.
Aktivitas antibakteri kotrimoxazole berdasarkan atas kerjanya dua
tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam
tetrahidroclorat. Sulfanamid menghambat msuknya molekul paba ke
dalam molekul asam folat dan trimetropim menghambat terjadinya
reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting
untuk reaksi-reaksi pemindahan 1 atom C, seperti pembentukan basa
purin dan beberapa asam amino. Sel-sel mamalia menggunakan folat
jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa
tersebut (Mariana,2007).
c) Farmakokinetik
Rasio kadar sulfametoksazole dan trimetropim yang ingin dicapai
dalam darah ialah sekitar 20 : Karena sifatnya yang lipofilik,
trimetropim mempunyai volume distribusi yang lebih besar daripada
sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan
trimetropim 160 mg per oral (ratio sulfametoksazol : trimetropim =
5 : 1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah
kurang lebih 20 : 1.
Trimetropim cepat didistribusi ke dalam jaringan dan kira-kira
40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol.
Volume distribusi trimetropim hampir 9 kali lebih besar daripada
sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan mudah.
Masing-masing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di
dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein
plasma. Sampai 60% trimetropim dan 25-50% sulfametoksazol
diekskresi melalui urin dalam 24 jam setelah pemberian. Dua-pertiga
dari sulfonamide tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetropim
ditemukan juga dalam urin. Pada pasien uremia, kecepatan ekskresi
dan adar urin kedua obat jelas menurun (Mariana,2007).
d) Sediaan
Kotrimoxazole tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400
mg sulfametoxazole dan 80 mg trimeptropim atau 800 mg
sulfametoksazole dan 160 mg trimeptropim. Untuk anak tersedia juga
bentuk suspensi oral yang mengandung 200 mg sulfametoxazole dan
40 mg trimeptropim/ 5 ml, serta tablet pediatrik yang mengandung
100 mg sulfametoxazole dan 20 mg trimeptropim. Untuk pemberian
IV tersedian sediaan infus yang mengandung 400 mg sulfametoxazole
dan 80 mg trimeptropim/ 5 ml. Dosis dewasa pada umumnya ialah
800 mg sulfametoksazole dan 160 mg trimeptropim setiap 12 jam.
Pada infeksi yang lebih berat dosis lebih besar. Pada pasien gagal
ginjal, diberikan dosis biasa bila klirens kreatinin lebih dari 30
ml/menit; bila klirens kreatinin 15-30 ml/menit, dosis 2 tablet
diberikan setiap 24 jam dan bila klirens kreatinin kurang dari 15
ml/menit, obat ini tidak boleh diberikan.
Dosis yang dianjurkan pada anak ialah tripmeptropim 8 mg/kgBB/
hari dan sulfametoxazole 40 mg/kgBB/hari yang diberikan dalam 2
dosis. Pemberian pada anak dibawah usia atahun dan ibu hamil atau
menyusui tidak dianjurkan. Trimeptropim juga terdapat sebagai
sediaan tunggal dalam bentuk tablet 100 dan 200 mg (Mariana,2007).
e) Efek samping
Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoxazole
menimbulkan defisiensi folat pada orang normal. Namun batas antara
toksisitas untuk bakteri dan untuk manusia relatif sempit bila sel tubuh
mengalami defisiensi folat. Dalam keadaan demikian obt ini mungkin
menimbulkan megaloblastosis, leukopenia, atau trombositopenia.
Kombinasi trimetropim dan sulfametoxazole dilaporkan dapat
menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering dibandingkan
sulfixazole pada pemberian tunggal (5,9% vs 1,7%). Glositis dan
stomatitis relatif sering terjadi. Ikterus terutama terjdi pada pasien yang
sebelumnya telah mengalami hepatitis kolestatik alergik. Reaksi
hematologik lainnya ialah berbagai macam anemia (aplastik, hemolitik
dan makrositik), gangguan koagulasi, granulositopenia,agranulositosis,
purpura, purpura Henoch-Schonlein dan sulfhemoglobinemia.
Pemberian diuretik sebelumnya atau bersamaan dengan
kotrikmoxazole dapat mempermudah timbulnya trombositopenia,
terutama pada pasien usia lanjut dengan payah jantung ; kematian
dapat terjadi. Pada pasien AIDS yang diberikan pengobatan
kotrikmoxazole untuk infeksi Pneumocystis carinii, sering terjadi efek
samping demam, lemah, erupsi kulit, dan pansitopenia (Mariana,2007).
f) Penggunaan Klinik
Kotrimoxazole dapat digunakan pada infeksi saluran kemih, infeksi
saluran cerna, infeksi saluran napas, infeksi saluran cerna, infeksi oleh
Pneumocystis carinii, infeksi genitalia, dan infeksi lainnya.
Penggunaan untuk infeksi saluran cerna digunakan sedian kombinasi
yang berguna untuk Shigellosis karena beberpa strain mikroba
penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin. Kotrikmoxazole efektif
untuk carier S. typhi dan Salmonella spesien lainnya. Dosis yang
dianjurkan: 160 mg trimeptripim -800 mg sulfametoxazole dua kali
sehari selam 3 bulan, tepai dengan dosis ini penyakit masih sering
kambuh. Terjdinya penyakit kronik pada kandung empedu diduga
karena kegagalam menghilangkan carier state ini. Diare akaut karena
E. coli dapat dicegah atau diobati dengan pemberian trimeptropim
tunggal tau kotrimoxazole (Mariana,2007).
3. Tetrasiklin
a) Asal dan Kimia
Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama kali berhasil
ditemukan adalah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces
aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari Streptomyces
rimosus. Tetrasiklin dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin
tetapi dapat dibuat juga dari golongan Streptomyces yang lain.
Tetrasiklin bersifat basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk
garam natrium atau garam HCl mudah larut (Setiabudy,2007a).
b) Aktivitas Antimikroba
Tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas yang
menghambat sintesis protein. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik
terhadap berbagai bakteri gram positif dan gram negative termasuk
anaerob, ricketsiae,chlamidiae,mycoplasma,serta aktivitas beberapa
protozoa misalnya amoeba. Tetrasiklin memasuki mikroorganisme
melalui difusi pasif dan transport aktif yang tergantung pada energi.
Sel-sel yang rentan akan mengkonsentrasi obat secara intraseluler.
Begitu berada dalam sel, tetrasiklin akan mengikatkan diri secara
reversible ke subunit 30s dari ribosom bakteri sehingga menghambat
ikatan tRNA-aminoasil ke situs aseptor ke kompleks ribosom mRNA.
Hal ini akan menghalangi penambahan asam amino ke peptide yang
sedang dibentuk (Katzung, 2004).
c) Farmakokinetik
Absorbsi
Hampir 30-80% tetracycline diserap lewat saluran cerna.
Doxyciclyn dan minoxyclin diserap lebih dari 90%. Absorbs ini
sebagian besar berlangssung di lambung dan usus halus bagian atas.
Terdapat beberapa faktor yang menghambat absorbsi tetracycline
seperti makanan dalam lambung (kecuali minoxyclin dan doxicyclin),
pH tinggi,pembentukan kelat (kompleks tet racyclin dengan zat lain
yang sulit diserap, seperti Ca2+, Mg2+, Fe2+, Al3+ yang terdapat dalam
susu dan antasida). Sehingga tetracycline lebiih baik diberikan
sebelum atau 2 jam sesudah makan (Setiabudy, 2007a).
Distribusi
Di dalam plasma semuajenis tetracycline terikat oleh protein
plasma dalam jumlah yang bervariasi. Pemberian oral 250mg
tetracycline,klortetracyclin dan oksitetracyclin tiap 6 jam
menghasilkan kadar sekitar 2-2,5µg/mL.
Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insufisiensi ginjal
sehingga obat ini boleh diberikan pada gagal ginjal. Dalam cairan
serebrospinal kadar golongan tetracycline hanya 10-20% kadar dalam
serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis.
Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat
golongan ini ditimbun dalam system retikuloendotelial di hati, limfa
dan sumsum tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum
bererupsi. Golongan tetracycline menembus sawar uri, dan terdapat
dalam air susu ibu dalam kadar yang relative tinggi. Dibandingkan
dengan tetracycline lainnya, daya penetrasi doksisiklin dan minosiklin
ke jaringan yang lebih baik.
Metabolisme
Obat golongan ini tidak dimetabolisme secara berarti di hati.
Doksisiklin dan minosiklin mengalami metabolisme di hati yang cukup
berarti sehingga aman diberikan pada pasien gagal ginjal.
Ekskresi
Tetrasiklin diekskresi terutama pada empedu dan urin. Konsentrasi
dalam empedu melebihi konsentrasi dalam serum 10 kali lipat.
Sebagian obat yang diekskresi dalam empedu diabsobsi ulang oleh
usus (sirkulasi enterohepatis) yang mempertahankan kadar dalam
serum. Sekitar 10-50% tetracycline diekskresi melalui urin, terutama
melalui filtrasi dalam glomerulus. Sekitar 10-40% dalam tubuh
diekskresi dalam feses. Berbeda dengan tetracyklin yang lain,
doksisiklin dieliminasi oleh mekanisme non ginjal, tidak terakumulasi
secara signifikan dalam kondisi ginjal yang rusak dan tidak
memerlukan penyesuaian dosis. Oleh sebab itu, doksisiklin merupakan
tetracycline pilihan dalan keadaan menurunnya fungsi ginjal.
d) Dosis obat
1) Dosis oral : dewasa : 0,25-0,5 mg 4 kali sehari
Anak-anak : 20-40 mg/kg/hari (usia 8 tahun ke atas)
Dosis harian : 600mg untuk demeclocyclin atau methacycline, 100
mg 1-2 kali /hari untuk doxycylin dan 100 mg 2 kali/hari untuk
minocyclin.
2) Dosis parenteral :
Tetracycline tersedia untuk suntikan IV dalam dosis 0,1-0,5 g tiap
6-12 jam, tergantung pada agen yang digunakan. Suntikan IM tidak
dianjurkan karena menimbulkan nyeri dan peradangan pada
tempat suntikan. Doxycyclin merupakan agen yang lebih dipilih,
dengan dosis 100mg tiap 12-24 jam.
e) Pengggunaan klinik
Tetracycline dapat digunakan pada infeksi karena mikoplasma
pneumonie, clamydiae, ricketsia dan beberapa spirocetae. Tetracycline
dapat diterapkan dalam beberapa infeksi bakteri gram positif maupun
gram negative termasuk infeksi vibrio, apabila organismenya tidak
resisten. Dalam kasus kolera, tetracycline dengan cepat menghentikan
pembelahan vibrio, namun telah timbul resistensi terhadap tetracycline
selama epidemic. Tetracycline terkadang diterapkan dalam infeksi-
infeksi protozoa, misalnya yang disebabkan oleh Entamoeba
histolytica dan Plasmodium falciparum (Katzung, 2004).
f) Efek Samping
Tetracycline memiliki beberapa efek yang tidak diinginkan antara
lain pada saluran cerna dapat menimbulkan mual-mual, muntah-
muntah, dan iritasi langsung dalam saluran cerna. Iritasi lambung
sering terjadi terutama pada pemberian per oral. Tetracycline akan
terikat secara langsung dengan kalsium yang tersimpan pada tulang
atau gigi yang baru terbentuk pada anak-anak. Sehingga apabila
diberikan pada masa kehamilan, maka obat akan tersimpan dalam gigi
sang janin dan mengakibatkan pendaran (fluorescence), pemudaran
warna, dan displasia enamel. Apabila tersimpan dalam tulang akan
menimbulkan kelainan bentuk atau hambatan pertumbuhan. Obat ini
dapat merusak fungsi hati, khususnya pada masa kehamilan, pada
pasien-pasien dengan penurunan fungsi hati bawaan, dan bila dosis
tinggi diberikan secara intravena. Tetracyclin (kecuali doxycyclin)
dapat terakumulasi hingga mencapai kadar toksik pada pasien-pasien
dengan kerusakan fungsi ginjal. Tetracyclin juga dapat menimbulkan
rasa pusing, vertigo, mual dan muntah (Katzung, 2004; Setiabudy,
2007a).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Diare adalah frekuensi dan liquiditas buang air besar (BAB) yang abnormal.
2. Diare terdiri dari : diare akut (infeksi dan non infeksi) dan diare kronik.
3. Antibiotika tidak selalu diberikan pada semua penderita diare karena umumnya dapat sembuh sendiri tetapi Antibiotik hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare ( shigella dan kolera).
4. Cotrimomoxazole (Trimetropin dan sulfametoxazole) menghambat tetrahidrofolat menghambat pembentukan purin dan asam amino.
5. Tetrasiklin mengikatkan secara reversible subunit 30s (ribosom bakteri) menghambat ikatan tRNA-aminoasil ke kompleks ribosom mRNA menghambat penambahan asam amino ke peptide.
6. Fluorokuiolon menghambat topoisomerase II (=DNA dirase) dan IV pada kuman menimbulakn relaksasi pada DNA trankripsi dalam proses replikasi DNA dan pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.
B. Saran
1. Diperlukan diagnose yang tepat pada penyakit.
2. Diperlukan pemahaman mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik pada tiap obat agar diperoleh sasaran terapi yang tepat dan menghindari terjadinya efek samping.
DAFTAR PUSTAKA
Golgfinger SE. (1987). Constipation, Diarrrhea, and Disturbance of Anorectal
Function. In Braunwald,E, et all (Eds), Harrison’s Principles of
Internal Medicine 11th Edition. New York: McGraw Hill Book
Company.
Katzung, B. (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik (8th ed. Vol. 3). Jakarta:
Salemba Medika.
Mariana, Yanti dan Rianto Setyabudi. (2007). Sulfonamid, Kotrimoksazol dan
Antiseptik Saluran Kemih. In Rianto Setiabudy (Ed.), Farmakologi dan
Terapi (5th ed., pp. 606-609). Jakarta: Gaya Baru.
Montgomery, L. (2002). What is The Best Way to Evaluate Acute Diarrhea?
Journal of Family Practice.
Samodro, P. (2008). Patofisiologi Diare [Electronic Version]. Retrieved March,
17 2009, from http://pugud.blogspot.com/2008/05/patofisiologi-
diare.html
Setiabudy, R. (2007a). Antimikroba Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol. In
R. Setiabudy (Ed.), Farmakologi dan Terapi (5th ed., pp. 694-704).
Jakarta: Gaya Baru.
Setiabudy, R. (2007b). Antimikroba Golongan Kuinolon dan Flourokuinolon. In
R. Setiabudy (Ed.), Farmakologi dan Terapi (5th ed., pp. 718-722).
Jakarta: Gaya Baru.
Sukandar,Elin Yulinah A., Dr. Retnosari Andtajati, Apt. Dr.Joseph I. Sigit, Apt,
Dr.I Ketut Adnyana, Apt, Drs. Adji Prayitno Setiadi, MS., Apt, Dr.
Kusnandar, Apt. (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI
Penerbitan.
Umar Zein, K. H. S., Josia Ginting. (2004). [Electronic Version]. Diare Akut
Disebabkan Bakteri. Retrieved March, 17 2009