Post on 22-Jun-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga saat ini di indonesia masih terdapat 4 masalah gizi utama yaitu
KKP (Kurang Kalori Protein), Kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang
Iodium (GAKI) dan kurang zat besi yang disebut Anemia Gizi (kodyat, A,1993)
Sampai saat ini salah satu masalah yang belum nampak menunjukkan titik
terang keberhasilan penanggulangannya adalah masalah kekurangan zat besi atau
dikenal dengan sebutan anemia gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang paling umum dijumpai terutama di negara–negara sedang berkembang.
anemia gizi pada umumnya dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu ibu hamil,
ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja atau buruh yang
berpenghasilan rendah (wijayanti,Y,1989) (1).
Selama kurun waktu 2001-2003 tercatat ada sekitar 2 juta ibu hamil yang
menderita anemia gizi, 350.000 bayi lahir dengan berat badan rendah, 5 juta balita
menderita gizi kurang, serta 8,1 juta anak menderita anemia. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Yayasan Kusuma Buana dari 3000 anak usia sekolah yang
diperiksa, hampir separuhnya menderita anemia. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Redinkesdas) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan pada
2007, diketahui 40 persen anak Indonesia berusia 1 sampai 14 tahun menderita
anemia. Persentase tersebut terbilang cukup besar, dan karena itu mesti menjadi
perhatian pemerintah serta masyarakat. Asian Development Bank (ADB)
mengatakan bahwa sekitar 22 juta anak di Indonesia terkena anemia, yang
menyebabkan hilangnya angka IQ 5 sampai 15 poin, prestasi sekolah yang buruk
dan kerugian potensi masa depan hingga 2,5%. Karena itu, kita semua harus
mewaspadainya. Prevalensi anemia gizi yang tinggi pada anak sekolah membawa
akibat negatif yaitu rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya
angka kesakitan, dengan demikian konsekuensi fungsional dari anemia gizi
menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia (1).
Khusus pada anak balita, keadaan anemia gizi secara perlahan – lahan
akan menghambat pertumbuhan dan perkambangan kecerdasan, anak – anak akan
lebih mudah terserang penyakit karena penurunan daya tahan tubuh, dan hal ini
1
tentu akan melemahkan keadaan anak sebagai generasi penerus (wijayanti,
T.1989) (1).
Penyebab utama anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup
dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari
nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang
memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah–daerah tertentu terutama
daerah pedesaan (Husaini, 1989). Soemantri (1983), menyatakan bahwa anemia
gizi juga dipengaruhi oleh faktor–faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan,
status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh
dan infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan.
Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi masih difokuskan pada
sasaran ibu hamil, sedangkan kelompok lainnya seperti bayi, anak balita, anak
sekolah dan buruh berpenghasilan rendah belum ditangani. Padahal dampak
negatif yang ditumbuhkan anemia gizi pada anak balita sangatlah serius, karena
mereka sedang dalam tumbuh kembang yang cepat, yang nantinya akan
berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasannya. Mengingat mereka adalah
penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda dan bangsa kelak. Penganganan
sedini mungkin sangatlah berarti bagi kelangsungan pembangunan.
2
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini, agar mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan definisi anemia, etiologi, patofisiologi,klasifikasi,
manifestasi klinis, penatalaksanaan dan pencegahan anemia.
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada anak dengan gejala anemia.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
1. Apa yang dimaksud dengan anemia?
2. Apa etiologi anemia?
3. Bagaimana patofisiologi anemia?
4. Apa saja klasifikasi anemia?
5. Bagaimana penanganan anemia?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Mengenai Zat Besi
Zat besi merupakan unsur kelumit (trace element) terpenting bagi manusia.
besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai
bagian dari molekul hemoglobin yang mengangkut oksigen dari paru–paru.
Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya untuk
metabolisme glukosa, lemak dan protein menjadi energi (ATP). Besi juga
merupakan bagian dari sistem enzim dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip
Hemoglobin yang terdapat di dalam sel–sel otot. Mioglobin akan berkaitan
dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel–sel otot. Mioglobin
yang berkaitan dengan oksigen inilah menyebabkan daging dan otot–otot menjadi
berwarna merah. Di samping sebagai komponen Hemoglobin dan mioglobin, besi
juga merupakan komponen dari enzim oksidase pemindah energi, yaitu : sitokrom
paksidase, xanthine oksidase, suksinat dan dehidrogenase, katalase dan
peroksidase (1).
a. ZAT BESI DALAM TUBUH
Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu yang fungsional dan
yang reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk
Hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin, dan jumlah yang
sangat kecil tetapi vital adalah hem enzim dan non hem enzim (1).
Zat besi yang ada dalam bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi
selain daripada sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan untuk
kompartmen fungsional. Apabila zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka
kebutuhan akan eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dalam sumsum
tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam
bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada
dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini, berbentuk feritin dan
hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Pada keadaan tubuh
4
memerlukan zat besi dalam jumlah banyak, misalnya pada anak yang sedang
tumbuh (balita), wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah reserve biasanya
rendah (1).
Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan, maka
kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada jumlah zat besi
yang dikeluarkan lewat basal.
Dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi, dikenal dua istilah kecukupan
(allowance) dan kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan menunjukkan
kecukupan rata – rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut
golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Sedangkan kebutuhan gizi menunjukkan banyaknya zat
gizi minimal yang diperlukan masing – masing individu untuk hidup sehat. Dalam
kecukupan sudah dihitung faktor variasi kebutuhan antar individu, sehingga
kecukupan kecuali energi, setingkat dengan kebutuhan ditambah dua kali
simpangan baku. Dengan demikian kecukupan sudah mencakup lebih dari 97,5%
populasi (Muhilal et al, 1993) (1).
Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan perlu
ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Kebutuhan zat
besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang dewasa apabila
dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah 1 tahun,
dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama banyaknya
dengan laki – laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan energi lebih
rendah daripada laki – laki dewasa. Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang
dibutuhkan ini, maka bayi dan remaja harus dapat mengabsorbsi zat besi yang
lebih banyak per 1000 kcal yang dikonsumsi (1).
Kebutuhan zat besi pada anak balita dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel :1 (1).
Kebutuhan Zat Besi Anak Balita Umur Kebutuhan
0 – 6 bulan
7 – 12 bulan
1 – 3 tahun
4 – 6 tahun
3 mg
5 mg
8 mg
9 mg
5
b. ZAT BESI DALAM MAKANAN
Dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme dan besi non
heme. Besi non heme merupakan sumber utama zat besi dalam makanannya.
Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau, kacang – kacangan,
kentang dan sebagian dalam makanan hewani. Sedangkan besi heme hampir
semua terdapat dalam makanan hewani antara lain daging, ikan, ayam, hati dan
organ – organ lain (1).
c. METABOLISME ZAT BESI
Untuk menjaga badan supaya tidak anemia, maka keseimbangan zat besi
di dalam badan perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa jumlah
zat besi yang dikeluarkan dari badan sama dengan jumlah besi yang diperoleh
badan dari makanan (1).
Setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya
harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar yaitu sebanyak 34 mg didapat dari
penghancuran sel – sel darah merah tua, yang kemudian disaring oleh tubuh untuk
dapat dipergunakan lagi oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel – sel darah
merah baru. Hanya 1 mg zat besi dari penghancuran sel – sel darah merah tua
yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing.
Jumlah zat besi yang hilang lewat jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (iron
basal losses) (1).
c. PENYERAPAN ZAT BESI
Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu (1) :
Kebutuhan tubuh akan besi, tubuh akan menyerap sebanyak yang dibutuhkan.
Bila besi simpanan berkurang, maka penyerapan besi akan meningkat.
Rendahnya asam klorida pada lambung (kondisi basa) dapat menurunkan
penyerapan Asam klorida akan mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ yang lebih mudah
diserap oleh mukosa usus.
Adanya vitamin C gugus SH (sulfidril) dan asam amino sulfur dapat
meningkatkan bsorbsi karena dapat mereduksi besi dalam bentuk ferri menjadi
6
ferro. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi dari makanan melalui
pembentukan kompleks ferro askorbat. Kombinasi 200 mg asam askorbat
dengan garam besi dapat meningkatkan penyerapan besi sebesar 25 – 50
persen.
Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentukny kompleks
besi fosfat yang tidak dapat diserap.
Adanya fitat juga akan menurunkan ketersediaan Fe
Protein hewani dapat meningkatkan penyerapan Fe
Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan penyerapan
Fe.
Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe
Zat besi diserap di dalam duodenum dan jejunum bagian atas melalui
proses yang kompleks. Proses ini meliputi tahap – tahap utama sebagai berikut (1)
a. Besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe3+ atau Fe2+
mula – mula mengalami proses pencernaan.
b. Di dalam lambung Fe3+ larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh
gastroferin dan direduksi menjadi Fe2+
c. Di dalam usus Fe2+ dioksidasi menjadi FE3+. Fe3+ selanjutnya berikatan dengan
apoferitin yang kemudian ditransformasi menjadi feritin, membebaskan Fe2+ ke
dalam plasma darah.
d. Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan transferitin
Transferitin mengangkut Fe2+ ke dalam sumsum tulang untuk bergabung
membentuk hemoglobin. Besi dalam plasma ada dalam keseimbangan.
e. Transferrin mengangkut Fe2+ ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam
tubuh (hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian
dioksidasi menjadi Fe3+. Fe3+ ini bergabung dengan apoferritin membentuk
ferritin yang kemudian disimpan, besi yang terdapat pada plasma seimbang
dengan bentuk yang disimpan.
Pada bayi absorbsi zat besi dari ASI meningkat dengan bertambah tuanya
umur bayi perubahan ini terjadi lebih cepat pada bayi yang lahir prematur dari
7
pada bayi yang lahir cukup bulan. Jumlah zat besi akan terus berkurang apabila
susu diencerkan dengan air untuk diberikan kepada bayi (2).
Walaupun jumlah zat besi dalam ASI rendah, tetapi absorbsinya paling
tinggi. Sebanyak 49% zat besi dalam ASI dapat diabsorbsi oleh bayi. Sedangkan
susu sapi hanya dapat diabsorbsi sebanyak 10 – 12% zat besi. Kebanyakan susu
formula untuk bayi yang terbuat dari susu sapi difortifikasikan denganzat besi.
Rata – rata besi yang terdapat diabsorbsi dari susu formula adalah 4% (2).
Pada waktu lahir, zat besi dalam tubuh kurang lebih 75 mg/kg berat badan,
dan reserve zat besi kira – kir 25% dari jumlah ini. Pada umur 6 – 8 mg, terjadi
penurunan kadar Hb dari yang tertinggi pada waktu lahir menjadi rendah. Hal ini
disebabkan karena ada perubahan besar pada sistem erotropoiesis sebagai respon
terhadap deliveri oksigen yang bertambah banyak kepada jaringan kadar Hb
menurun sebagai akibat dari penggantian sel – sel darah merah yang diproduksi
sebelum lahir dengan sel – sel darah merah baru yang diproduksi sendiri oleh
bayi. Persentase zat besi yang dapat diabsorbsi pada umur ini rendah karena masih
banyaknya reserve zat besi dalam tubuh yang dibawah sejak lahir. Sesudah umur
tersebut, sistem eritropoesis berjalan normal dan menjadi lebih efektif. Kadar Hb
naik dari terendah 11 mg/100 ml menjadi 12,5 g/100 ml, pada bulan – bulan
terakhir masa kehidupan bayi (2).
Bayi yang lahir BBLR mempunyai reserve zat besi yang lebih rendah dari
bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat besi
terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada bayi
normal, sehingga reserve zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu kebutuhan
zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR
mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan
kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal (2).
Bayi lebih berisiko terkena anemia di masa pertumbuhannya yang berjalan
cepat, akibat tidak memperoleh masukan zat besi dalam jumlah yang cukup.
Begitu juga dengan bayi yang berat badannya terlalu rendah atau bulan lahirnya
kurang dari normal, mereka memiliki risiko menderita anemia, karena persediaan
zat besi dalam tubuhnya hanya sampai umur dua bulan saja (2).
8
Prevalensi anemia yang tinggi pada anak balita umumnya disebabkan
karena makanannya tidak cukup banyak mengandung zat besi sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhannya, terutama pada negara sedang berkembang dimana
serelia dipergunakan sebagai makanan pokok. Faktor budaya juga berperanan
penting, bapak mendapat prioritas pertama mengkonsumsi bahan makanan
hewani, sedangkan anak dan ibu mendapat kesempatan yang belakangan. Selain
itu erat yang biasanya terdapat dalam makanannya turut pula menhambat absorbsi
zat besi (2).
Jadi, Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti
kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang
dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yangmengakibatkan penurunan
kapasitas pengangkut oksigen darah (Doenges, 1999). Anemia adalah istilah yang
menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan
hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935). Anemia adalah berkurangnya
hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume
packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256). Dengan
demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan
merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan
perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium (3)
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah
merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit dibawah normal. Anemia bukan
merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit
atau akibat gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia terjadi apabila
terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan
(3).
B. Etiologi
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk sintesis eritrosit,antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat.
Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan
genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya (3).
C. Patofisiologi secara umum
9
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau
kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang
dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanantoksik, inuasi tumor, atau
kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang
melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir,
masalah dapatakibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel
darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang
menyebabkan destruksi sel darah merah.Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi
terutama dalam system fagositik atau dalam systemretikuloendotelial terutama
dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yangsedang
terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi
sel darahmerah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin
plasma (konsentrasi normalnya1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl
mengakibatkan ikterik pada sclera.Anemia merupakan penyakit kurang darah
yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan seldarah merah (eritrosit).
Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh.Jika
suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat
menghambat kerjaorgan-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5
miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnyakurang, maka otak akan seperti komputer
yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalausudah rusak, tidak bisa
diperbaiki (Sjaifoellah, 1998) (3).
D. Anemia Defisiensi Balita
a. BATASAN ANEMIA
Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di
dalam darah lebih rendah daripada nili normal untuk kelompok orang yang
bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin, seperti
yang terlihat di dalam tabel di bawah ini (1).
Tabel 2. Batas normal
Hemoglobin
Umur Hemoglobin
Anak 6 bulan s/d 6 tahun 11
10
Dewasa 6 tahun s/d 14 tahun
Laki-laki
Wanita
Wanita hamil
12
13
12
11
Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan
konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan
keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum
yang rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi bila
kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar
feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal.
Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin
(1).
Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara
mengukur kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV),
konsentrasi Hb dalam sel darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95%
acuan (Dallman,1990) (1).
E. Klasifikasi Anemia
Secara anatomi fisiologis anemia terdiri dari : (4)
1) Anemia Nutrisional
Defisiensi besi
a. Metabolisme besi
Diet besi diperlukan terutama untuk produksi protein heme, yang berfungsi
dalam pengangkutan, penyimpanan, dan penggunaan oksigen. Senyawa besi yang
diketahui berfungsi metabolic berjumlah sekitar 70-90% dari total besi dalam
tubuh, tergantung pada umur. Kebanyakan dari sisanya, 10-30%, berada dalam
senyawa simpanan besi, feritin dan hemosiderin, terletak terutama dalam hati,
limpa dan sum-sum tulang. Hampir semua senyawa besi dalam tubuh terus
menerus dipecah dan diganti; besi yang dilepas dari pemecahan hemoglobin dan
protein besi lain cukup digunakan untuk mengganti senyawa ini melalui sintesis
baru. Sangat sedikit besi yang hilang dari tubuh. Pada orang dewasa, asimilasi
11
besi diperlukan hanya dalam jumlah yang sama dengan kehilangan besi untuk
mencegah defisiensi besi; pada anak, tambahan besi diperlukan untuk
pertumbuhan.
Keseimbangan besi secara normal dipertahankan dalam batas yang
sempit melalui pengaturan absorbsi besi. Jumlah besi yang diserap oleh usus halus
diatur secara homeostatis, yaitu absorbs meningkat ketika simpanan besi
berkurang dan menurun ketika jumlahnya meningkat.
Dalam proses pencernaan, kompleks besi nonheme sebagian dipecah,
dan besi direduksi dari bentuk feri (III) menjadi bentuk fero (II), yang lebih larut
sehingga bisa diserap. Reduksi besi difasilitasi oleh asam hidroklorida di dalam
cairan lambung. Absorbsi terjadi dalam usus halus.
Absorbsi besi oleh bayi biasanya lebih besar daripada dewasa, tetapi
juga bervariasi pada kisaran yang lebar. Sekitar 50% besi pada ASI terserap,
sebaliknya, sekitar 10% besi pada formula susu sapi yang tidak difortifikasi.
Sekitar 4% besi diserap dari formula susu sapi yang difortifikasi dengan
ditambahkan sekitar 12mg besi per liter dalam bentuk fero sulfat. Sekitar 4% besi
diserap dari sereal kering bayi yang difortifikasi besi.
Karena besi diasimilasi ke dalam aliran darah, besi terikat pada
transferin, yang membawa besi dan melepaskannya pada sel precursor eritroid
sumsum tulang dan dalam jumlah yang lebih kecil pada hati. Bila besi berada
dalam tubuh, besi ini dihemat dan digunakan kembali dalam derajat yang luar
biasa, dan sangat sedikit yang hilang dari tubuh. Dengan demikian, kebanyakan
besi diperlukan untuk produksi eritrosit didaur ulang dari pemecahan eritrosit tua
di dalam system retikuloendotelial.
b. Patogenesis
Defisiensi besi timbul ketika besi membatasi laju produksi hemoglobin
dan senyawa besi esensial lainnya. Faktor etiologi pada perkembangan defisiensi
besi meliputi asupan atau asimilasi besi dari diet yang tidak cukup, pengenceran
besi tubuh karena pertumbuhan yang cepat, dan kehilangan darah.
c. Faktor kerentanan yang terkait umur
- Bayi berat lahir rendah
12
- Kehilangan darah
- Kehilangan darah yang dianggap berasal dari lesi anatomic
- Hemosiderosis paru primer
d. Manifestasi klinik
Gejala defisiensi besi tidak spesifik. Defisiensi ringan biasanya
didiagnosi atas dasar penyaringan laboratorium. Tanda anemia defisiensi besi
berat biasanya serupa dengan tanda anemia lain. Kelelahan, penurunan toleransi
latihan, iritabilitas, kehilangan nafsu makan, dan pucat. Takikardi dan
kardiomegali terjadi bila anemia berat.
Manifestasi yang menjadi perhatian lebih besar adalah keterlambatan
perkembangan pada masa bayi dan masa kanak-kanak serta meningkatnya resiko
berat lahir rendah pada kehamilan. Fungsi usus bisa abnormal pada defisiensi besi
kronis atau berat, dengan penurunan absorbs lemak, vitamin A, dan xilosa,
kadang-kadang disertai dengan gambaran atrofi vili usus halus.
e. Pengobatan
Pengobatan pada defisiensi besi adalah sulfas ferosus yang diberikan
secara oral, pada saat perut kosong. Dosis tunggal oral 30 mg besi/kg/hari sekitar
30 menit sebelum makan pagi. Pada anak yang lebih tua, dosis menjadi dua kali,
yaitu sebelum sarapan dan sebelum tidur. Setelah satu bulan periksa kembali
hemoglobin dan hematokrit.
Bila besi oral tidak berhasil atau memperburuk penyakit usus, maka
dapat diberikan besi intramuscular atau intravena dalam bentuk besi-dekstran
(imferon) dengan dosistotal 50mg besi elemental/mL.
2) Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik jarang pada anak; dalam urutan frekuensi,
penyebabnya adalah defisiensi folat, defisiensi vitamin B12 , dan kelainan
metabolic langka termasuk asiduria orotat herediter. Anemia megaloblastik sering
didiagnosis atas dasar peningkatan MVC. Namun, peningkatan MCV lebih dari
100 fL normal pada neonates, dan retikulositosis oleh sebab apapun dapat
13
mengakibatkan peningkatan MCV; tanpa ada kelainan megaloblastik maturasi sel
pada sumsum tulang, ataupun hipersegmentasi neutrofil dalam darah perifer.
a. Defisiensi folat
Defisiensi folat dapat merupakan akibat asupan diet yang kurang,
malabsorbsi, atau interaksi obat. Defisiensi folat dapat berkembang dengan cepat,
dalam beberapa minggu, karena folat yang disimpan dalam tubuh hanya sedikit.
Diet rendah folat paling lazim pada keadaan kebutuhan yang bertambah, seperti
pertumbuhan tubuh atau sel yang cepat. Paling nyata pada bayi premature, selama
kehamilan, dan keadaan hemolitik berat, seperti anemia sel sabit, talasemia
mayor, dan penyakit hemolitik neonatus.
Asupan folat yang dianjurkan untuk bayi adalah 25-35 µg/hari.
Walaupun folat berlimpah pada sayuran hijau dan hati, susu merupakan sumber
vitamin ini yang relative kurang. ASI dan susu sapi pasteurisasi mengandung
sekitar sekitar 35 µg/L (3,5 µg/dL); yang mungkin hanya cukup untuk
menghindari defisiensi folat pada bayi yang diberi ASI. Pemanasan menurunkan
kandungan folat lebih jauh. Dengan demikian, mensterilisasi formula buatan
sendiri dalam air mendidih mengurangai kandungan folat setengahnya.
Pengobatan anemia ini adalah dengan diberikan folat dosis tinggi, 0,5-
1,0 mg/hari asam pteroilglutamat. Meskipun demikian, percobaan terapeutik dapat
diindikasikan jika studi diagnostic yang spesifik tidak dapat dilakukan untuk
membedakan antara defisiensi folat dan vitamin B12. Tablet 0,1 mg tiap hari per
oral adekuat untuk menimbulkan respons retikulosit yang cepat. Dosis folat yang
lebih besar dapat mengoreksi anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12,
tetapi dapat memperburuk manifestasi neuroligis. Dosis 0,1 mg/hari yang terdapat
pada sejumlah tablet multivitamin, cocok untuk dosis rumatan. Asam folat juga
tersedia dalam tablet ukuran 0,1;0,4;0,8 mg yang dapat dihancurkan dan dijual
bebas. Tablet 0,1 mg harus menggunakan resep. Folat dalam preparat cair untuk
penggunaan oral tidak diperdagangkan karena kelabilannya.
b. Defisiensi vitamin B12
14
Defisiensi vitamin B12 pada anak penting karena bahaya kerusakan
saraf, iriversibel, kecuali telah didiagnosis dan diobati sejak dini, dank arena
kebanyakan penyebab defisiensi memerlukan terapi terus menerus seumur hidup.
Kebanyakan kasus defisiensi vitamin B12 melibatkan defek absorbsi.
Penyerapan vitamin B12 fisiologis tergantung pada pembentukan suatu
kompleks vitamin dengan mukoprotein tertentu (faktor intrinsic) yang dihasilkan
oleh sel parietal lambung. Kompleks diambil secara spesifik oleh ileum distal.
Vitamin B12 kemudian dibebaskan dari kompleks dan dilepaskan ke dalam
sirkulasi. Dalam plasma, vitamin B12 terikat pada protein pengangkut-beta-
globulin, transkobalamin II. Vitamin disimpan terutama dalam hati. Pada hati
neonatus, simpanan ini besar, rata-rata sekitar 25 µg, dan kadang-kadang kosong
sebelum umur 1 tahun.
Defisiensi vitamin B12 maternal selama masa kehamilan dapat
menyebabkan defisiensi pada janin; selama laktasi hal ini dapat menyebabkan
bayi menderita defisiensi vitamin B12 sebagai akibat insufisiensi vitamin B12 di
dalam ASI. Defisiensi ini paling sering dilaporkan terjadi pada vegetarian ketat
yangh disamping menghindari daging, juga tidak mengkonsumsi produk susu atau
telur.
Defisiensi vitamin B12 jarang terlihat sampai akhir masa bayi karena
simpanan hati neonatus biasanya cukup. Perkecualian adalah perkembangan
anemia megaloblastik pada bayi dari ibu dengan defisiensi vitamin B12 dan pada
defisiensi transkobalamin II yang diwariskan. Jika faktor intrinsic ada, seperti
pada defisiensi vitamin B12 diet, dasar tambahan untuk defisiensi mulai lambat
adalah penyerapan kembali vitamin B12 yang hilang dalam empedu dan cairan
pancreas.
Kebanyakan keadaan yang mengakibatkan defisiensi vitamin B12
memerlukan pengobatan seumur hidup. Dosis optimal untuk anak belum
ditentukan seperti pada orang tua. Jika diagnosis ditegakkan dengan kuat, terapi
dapat dimulai dengan seri pertama injeksi subkutan bulanan. Dosis yang berkisar
antara 50 dan 100 µg sianokobalamin atau hidroksikobalamin sekali tiap bulan.
3) Anemia pada Radang Akut dan Kronis
15
Infeksi akut dan defisiensi besi merupakan penyebab anemia yang
paling lazim. Anemia ringan sering disertai dengan infeksi akut seperti otitis
media, dan infeksi bakteri atau virus yang menetap. Anemi juga lazim pada
penderita dengan kondisi kronis seperti arthritis rematoid, lopus eritematosus
sistemik, dan kelainan defisiensi imun, keganasan, dan penyakit ginjal kronis.
Temuan laboratorium dan pathogenesis amat bergantung pada penyakit primer,
namun gambaran berikut lazim ditemui.
Ketahanan hidup eritrosit memendek. Hal ini disebabkan oleh faktor
ekstrakorpuskular yang mempengaruhi sel penderita maupun sel transfuse;
peningkatan pengambilan fagositik eritrosit oleh system retikuloendotel (RE)
yang terangsang mungkin merupakan mekanisme penting.
Gangguan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin. Stimulus
hipoksik anemia pada banyak penderita dengan penyakit kronis gagal memicu
respon eritropoietik seperti pada individu normal. Normalnya, sumsum tulang
dapat mengompensasi hemolisis ringan dengan meningkatkan kecepatan produksi
eritrosit. Pada penyakit kronis, respon sumsum tulang ini terganggu.
Gangguan penggunaan besi. Kebanyakan besi yang diperlukan untuk
menghasilkan hemoglobin secara normal diambil dari pemecahan eritrosit tua
pada system RE; ditambah dengan pasokan yang lebih kecil dari penyerapan besi
diet. Pada infeksi akut dan penyakit kronis, ada gangguan pada kedua rute
tersebut. Simpan besi RE biasanya cukup, seperti yang ditunjukan dengan aspirat
sumsum tulang, tetapi pelepasan besi pada serum berkurang. Dalam cara yang
sama, penyerapan besi menurun walaupun besi diet cukup.
Anemi yang disertai infeksi akut sembuh spontan selama penyembuhan.
Jika anemia menetap selama satu bulan atau lebih, defisiensi besi harus dicurigai
sebagai diagnose yang paling mungkin. Anemia biasanya ringan, dengan eritrosit
normositik atau sedikit mikrositik. Pada penderita dengan penyakit ginjal, anemi
cenderung lebih berat. Besi serum, kapasitas pengikatan besi, dan saturasi
trasferin dapat normal atau menurun. Pada penderita anemia berat perlu diberikan
terapi eritropoietin rekombinan. Terapi ini meningkatkan produksi eritrosit
dengan cepat dan meningkatkan konsentrasi hemoglobin.
4) Anemia Aplastik
16
Istilah anemia aplastik berasal dari kata sifat Yunani yang berarti “tidak
terbentuk”. Penggunaan modern istilah ini digunakan bagi pasien yang mengalami
pansitopenia (menurunnya produksi eritrosit, sel darah putih, dan trombosit),
bukan hanya anemia. Awitannya sering tersembunyi, dengan keluhan lelah atau
pucat (akibat anemia), atau memar, epistaksis, atau perdarahan gusi (akibat
trombositopenia); infeksi biasanya merupakan komplikasi lambat. Penyakit ini
bisa didapat atau diturunkan. Anemia aplastik didapat memiliki insiden tahunan
sekitar 2 sampai 6 per 106 populasi, yaitu sepersepuluh insiden leukemia.
Sejumlah pajanan menginduksi aplasia secara tetap dengan cara yang
terkait –dosis, contohnya radiasi, obat sitotoksik, dan pelarut organic, sedangkan
pajanan lain menginduksi hanya secara sporadis, seperti antibiotic tertentu atau
obat atau zat kimia lain. Namun demikian, lebih dari setengah kasus
tetap’’idiopatik”. Pajanan obat atau virus dapat terjadi berminggu-minggu atau
berbulan-bulan. Mungkin terdapat kecenderungan genetic untuk faktor lingkungan
dalam mengakibatkan anemia aplastik, dan terdapat presdiposisi familial.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan tanda anemia, seperti pucat dan
takikardi, dan tanda trombositopenia, seperti petekie, purpura, atau ekimosis.
Tanda infeksi yang dapat dilihat biasanya tidak tampak saat diagnosis. Kebalikan
dengan sebagian besar anak yang mengalami leukemia, pasien dengan anemia
aplastik tidak mengalami hepatosplenomegali atau limfadenopati yang bermakna.
b. Patofisiologi.
Progenitor hematopoietic di darah dan sumsum jumlahnya rendah, dan
responnya terhadap rangsangan hematopoietic buruk, sehingga memberi kesan
tidak adanya sel bakal primitive. Di dalam model hierarki, pada setiap siklus sel,
sel bakal kehilangan potensinya untuk memperbarui diri dan cenderung memasuki
lintasan untuk diferensiasi akhir. Proses ini dapat dikendalikan oleh mekanisme
sel intrinsic (genetic) serta pengaruh lingkungan (interaksi sel-sel, faktor
pertumbuhan, dan hormon).
Sel bakal yang paling primitive berada pada hierarki teratas dan secara
mitotis tidak bergerak. Pada tipe I kerusakannya terjadi secara acak, mengenai sel
baik matur atau imatur, tetapi yang paling mencolok mengenai sel imatur dan
17
mungkin juga sel nonmitotik yang membutuhkan banyak mitosis untuk maturasi.
Mekanismenya mungkin melibatkan cedera langsung pada DNA, misal akibat
radiasi atau preparat pengalkilasi (busul-fan). Pengaruh permanennya mungkin
deplesi jumlah sel bakal dan penurunan kapasitas memperbarui-diri. Kerusakan
tipe II terjadi pada kompartemen mitosis-aktif dan metabolis-aktif pada sel yang
berdiferensiasi dan memiliki fenotipe antigenic yang khas. Agen spesifik siklus
sel (misal 5-FU), infeksi virus atau mekanisme saat ini terlibat, dan deplesi sel
bakal akan terjadi ketika sel berdiferensiasi dan rentan terhadap kerusakan.
Respon beberapa pasien terhadap terapi imun member kesan bahwa kerusakan
tipe II relevan pada mereka. Dengan salah satu mekanisme, pemulihan
hematopoiesis dapat terjadi dari sejumlah sel bakal, sehingga menjadi “klonal”.
c. Terapi
Satu-satunya terapi yang sebenarnya pada anemia aplastik adalah
transplantasi sumsum tulang, dengan menggunakan sumsum dari donor yang
identik pada lokus histokompatibilitas mayornya (disebut HLA, Human Leukocyte
Antigen). Donor-donor ini biasanya saudara kandung, kadang-kadang orang tua,
dan kadang-kadang donor yang tidak berkerabat tetapi cocok. Resipien akan lebih
baik jika mereka telah membatasi pajanan terhadap produk darah sebelumnya,
karena mereka membentuk antibody terhadap lokus mayor dan minor yang akan
menimbulkan reaksi penolakan cangkok. Dugaan ketahanan hidup jangka panjang
untuk pasien berusia muda (di bawah 20 tahun) dengan donor saudara kandung
yang cocok adalah 70%. Donor alternative untuk pasien yan tidak memiliki
keluarga yang HLA-nya cocok mencakup anggota keluarga yang mengalami
kesalahan-pencocokan (mismatched) secara sebagian dan donor yang tidak
berkerabat tetapi cocok, tetapi ketahanan hidup jangka panjang hanya
diperhitungkan pada sekitar 25% pasien. Prognosis untuk transplant donor yang
tidak berkerabat dapat membaik dengan teknik molecular yang telah maju untuk
menentukan tipe HLA. Transplantasi darah tali pusat (dengan menggunakan darah
plasenta) tampaknua juga memberikan sel bakal dan progenitor yang cukup untuk
terapi yang efektif, dan dapat menjadi sumber baru donor tidak berkerabat.
5) Talasemia
18
Merukan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan secara
resesif.Sindrom talasemia akibat tidak adanya sintesis satu atau lebih rantai
polipeptida globin yang bergabung membentuk hemoglobin. Sindrom α-talasemia
biasanya disebabkan oleh delesi satu gen globin atau lebih. β-talasemia dapat juga
karena delesi gen, tetapi lebih lazim merupakan akibat kelainan pembacaan atau
pemrosesan DNA. Pada tingkat molecular, sekurang-kurangnya diketahui 100
mutasi yang mengakibatkan kelainan ini. Mutasi ini dapat mengurangi produksi
atau mengubah pemrosesan mRNA. Cara lain, pergeseran kerangka atau mutasi
nonsense dapat menggambarkan mRNA nonfungsional. Pada tingkat fenotip,
tidak dibuat β-globin (βo-talasemia) atau pengurangan jumlah β-globin normal
yang dihasilkan (β+-talasemia). Hanya rantai globin normal yang dihasilkan pada
kelainan ini, tetapi ada bentuk talasemia tidak biasa lain yang secara struktural
disentesis rantai globulin ab-normal. Misalnya, pindah silang tidak biasa pada
lokus gen δβ dapat mengakibatkan sintesis produk fusi- δβ, yang dapat bergabung
dengan rantai-α membentuk hemoglobin Lepore. Hemoglobin Constan Spring,
suatu tetramer yang dibentuk dari dua rantai- β normal dan dua rantai-α yang
memanjang secara abnormal, merupakan hasil mutasi pada tempat terminasi
normal sintesis rantai α-globulin. Mutasi gen structural tertentu lain, seperti
hemoglobin E atau Q, juga disertai dengan pengurangan sintesis rantai globin
abnormal.
Kelainan hematologic akibat pengurangan ringan sintesis rantai-globin
yang ditemukan pada talasemia heterezigot (trait) biasanya terbatas pada
hipokromia, mikrositosis, dan anemia ringan. Pengurangan sintesis globin yang
lebih berat ditemukan pada homozigot atau heterozigot kombinasi yang disertai
dengan hemolisis dan anemia berat. Hemolisis merupakan akibat
ketidakseimbangan dalam sintesis dua tipe rantai globin mayor α dan β. Gangguan
sintesis salah satu tipe rantai globin membatasi pembentukan tetramer hemoglobin
yang memerlukan rantai tersebut.
Produksi terus tipe rantai globin lain pada kecepatan normal
mengakibatkan kelebihan rantai globin yang tidak mampu berperan dalam
pembentukan tetramer normal karena tidak ada mitra yang cocok. Rantai globin
yang tidak dikombinasi tersebut dengan mudah mengendap di dalam eritrosit,
19
memmbentuk benda inklusi yang tidak larut. Pada β-talasemia, inklusi rantai-α4
yang berlebihan terbentuk dengan sangat cepat selama maturasi eritroid sehingga
hemolisis cepat terjadi dalam sumsum tulang sebelum pelepasan retikulosit ke
dalam sirkulasi. Pada α-talasemia, tetramer rantai-β (β4 atau hemoglobin H)
mengendap lebih lambat sesudah eritrosit meninggalkan sumsum tulang. Bila
terbentuk, benda inklusi hemoglobin H dengan cepat diambil dari eritrosit oleh sel
retikuloendotelial limpa,mengakibatkan kerusakan membrane, fragmentasi, dan
akhirnya hemolisis.
β-talasemia Heterozigot (β-talasemia minor atau ciri bawaan).
Sejumlah kelainan sintesis rantai β-globin yang berbeda secara genetik dapat
menghasilkan gambaran klinis talasemia minor. Derajat penekanan sintesis rantai
β-globin normal dan jumlah sisa sintesis rantai-γ tampak merupakan penentu yang
penting terhadap keparahan heterozigot. Adanya talasemia biasanya dapat
dibedakan pada heterozigot dengan penentuan hemoglobin A2 dan F kuantitatif,
darah lengkap dengan indeks eritrosit dan pewarnaan benda inklusi eritrosit.
Tidak mungkin pemeriksaan sintesis in vitro untuk membedakan ciri βo-talasemia,
tidak adanya rantai-β yang disentesis, dari ciri β+-talasemia, dengan beberapa
rantai-β disentesis. Namun, kedua orang tua mungkin mempunyai bentuk βo ciri
talasemia jika keturunun homozigot secara total tidak mampu mensintesis rantai-
β. Sebaliknya, jika gen β-talasemia diwariskan bersama kelainan structural rantai-
β, seperti hemoglobin sel sabit, setiap hemoglobin A yang muncul harus berasal
dari lokus gen β-globin talasemia dan menunjukan adanya β+-talasemia. Tidak
adanya hemoglobin A pada kelompok ini sesuai dengan βo-talasemia. Identifikasi
keparahan gen talasemia pada calon orang tua dapat bermanfaat dalam
meramalkan keparahan penyakit pada keturunan homozigotnya.
β-talasemia Homozigot (β-talasemia mayor). Manifestasi klinis.
Mulainya gejala klinis β-talasemia mayor terjadi berangsur-angsur sesudah lahir
karena penurunan sintesis rantai-γ (HbF) pasca lahir normal menunjukkan defek
pada produksi rantai-β. Kecepatan timbulnya gejala tergantung pada kecepatan
penurunan sintesis rantai-γ dan derajat gangguan sintesis rantai-β. Janin dan
neonatus secara klinis dan hematologis normal, walaupun ukuran in vitro sudah
menunjukkan pengurangan atau tidak ada sintesis rantai-β. Ukuran ini
20
memungkinkan β-talasemia mayor didiagnosis pada janin atau neonatus sebelum
manifestasi klinis penyakit muncul. Pada umur6-12 bulan, bayi tampak pucat,
iritabel, anoreksia, demam, dan seringpembesaran abdomen.
Pemeriksaan darah menunjukkan anemia hipokromik dan biasanya
mikrositik. Timbul mikrosit yang berubah bentuk, sel target, bintik basofilik dan
kadang-kadang makrosit. Jumlah retikulosit, walaupun meningkat, jarang
melebihi 5%. Eritrosit berinti ada, sering dalam jumlah yang amat banyak. Kadar
hemoglobin janin selalu meningkat di atas normal menurut umur, pada anak yang
lebih tua dan orang dewasa, persentase hemoglobin F dapat berkisar 13-95%.
Hemoglobin A tidak ada pada βo-talasemia tetapi dapat ada walaupun kadarnya
kurang, pada β+-talasemia. Persentase relative hemoglobin A2 dapat menurun,
normal, atau meningkat; dengan demikian, berbeda dengan ciri β-talasemia,
penentuan hemoglobin A2 kurang bermanfaat diagnostic.
Transfuse periodic biasanya diperlukan pada umur 1-2 tahun untuk
mempertahankan kehidupan. Kemudian, manifestasi klinis ditentukan sebagian
besar oleh seberapa bannyak transfuse yang disetujui. Pada anak, pemberian
transfuse hanya untuk anemia simtomatik berat, kadar hemoglobin biasanya
berkisar antara 40 dan 100 g/L. Pada kadar hemoglobin yang rendah, iritabilitas,
kelelahan, lesu, dan anoreksia dapat terjadi, orang tua, dan sering anak, biasanya
dapat menentukan kapan transfuse diperlukan. Dilatasi jantung dan bising hemis
merupakan temuan yang biasa. Gagal jantung yang nyata dapat menyertai
perburukan anemia yang terjadi selama infeksi akut karena hipoplasia eritroid
sementara. Ikterus sclera biasanya ada, dan batu empedu bilirubin dapat terbentuk
pada remaja sebagai akibat hemolisis kronis dan hiperbillirubinemia. Namun,
krisis yang disebabkan oleh percepatan hemolisis mendadak jarang terjadi.
Destruksi eritrosit terutama intramedulare. Hipertrofi kompensasi eritroid sumsum
dengan mengorbankan tulang dapat menyebabkan perubahan kosmetik.
Keterlibatan tulang cranium menyebabkan pembesaran kepala karena penonjolan
frontal dan parietal; pembesaran maksila menyebabkan penonjolan gigi frontal
atas, dengan perpindahan bibir atas ke depan dank e atas. Maloklusi yang
mencolok lazim ditemui. Penonjolan pipi nyata; jembatan hidung melebar,
mendalam, dan terdepresi; mata mempunyai kemiringan mongoloid; dan lipatan
21
epikantus sering timbul. Ekspansi rongga sumsum tulang dapat juga menyebabkan
nyeri tulang dan rentan terhadap fraktur patologis tulang panjang dan vertebra.
Hematopoiesis ekstramedulare kompensasi pada hati dan lien menyebabkan
pembesran perut. Dengan berlanjutnya hemolisis dan hematopoiesis
ekstramedulare, limpa dapat menjadi sangat besar, menyebabkan lordosis lumbal
dan rasa tidak enak pada perut, anoreksia, dan kadang-kadang muntah karena
tekanan. Hepatomegali berkembang lebih lambat, tetapi hati juga mencapai
ukuran yang besar.
β-talasemia Intermedia. Kadar hemoglobin dapat tetap antara 60 dan
90 g/L tanpa terapi transfuse. Kedua orang tua biasanya ditemukan menderita
mikrositosis dan bukti adanya ciri β-talasemia pada elektroforesis hemoglobin.
Perjalanan klinis yang lebih ringan pada penderita ini biasanya karena pewarisan
homozigot gen talasemia yang lebih ringan, seperti δβ-talasemia, atau karena
pewarisan heterozigot ganda dari satu gen talasemia berat dan satu yang ringan.
Pewarisan homozigot dua gen talasemia berat dapat dikurangi dengan pewarisan
bersama gen tambahan untuk α-talasemia; walaupun sintesis rantai globin total
lebih rendah daripada penderita dengan β-talasemia homozigot,
ketidakseimbangan lebih kecil antara produksi rantai α- dan β-globin dan karena
itu, pembentukkan benda inklusi kurang dan hemolisis kurang.
α-talasemia. α-talasemia lazim di Asia Tenggara. Pada populasi ini
biasanya karena delesi satu atau lebih dari empat gen α-globin yang biasanya ada.
Keparahan kelainan terutama bergantung pada jumlah gen α-globin yang hilang.
Heterozigot dengan delesi satu gen α-globin dikenal sebagai karier α-talasemia
tersembunyi yang secara klinis dan hematologis normal. Mereka dapat dikenali
pada saat lahir oleh adanya sejumlah kecil hemoglobin Bart (γ4) pada
elektroforesis. Diagnose α-talasemia harus harus dipastikan dengan pemeriksaan
hibridisasi molecular DNA penderita atau dengan deteksi penyakit hemoglobin H
pada orang tua. Status karier tersembunyi dapat juga dihubungkan dengan muatan
structural rantai-α, seperti hemoglobin Constant Spring, yang dapat dideteksi
dengan elektroforesis. Heterozigot dengan delesi dua atau empat gen α-globin
menunjukkan mikrositosis, kadang-kadang anemia ringan, dan pada umumnya
menyerupai penderita dengan ciri β-talasemia. Pada saat lahir, ditemukan
22
mikrositosis dan hemoglobin Bart dengan jumlah sedang. Hemoglobin Bart
menghilang opada umur 3-6 bulan, dan elektroforesis hemoglobin sesudahnya
secara sempurna normal. Namun, mikrositosis, menetap selama hidup. Kelainan
ini mudah rancu dengan defisiensi besi dan harus dicurigai kapanpun penderita
dengan mikrositosis dan anemia ringan gagal berespons terhadap terapi besi yang
cukup. Diagnosis definitive tidak selalu dapat dimungkinkan atau praktis pada
kelainan yang ringan ini karena dapat memerlukan penelitian keluarga secara
keseluruhan dan pemeriksaan in vitro sintesis rantai rantai-globin atau pemetaan
gen α-globin.
Bila penderita telah mewarisi kedua bentuk α-talasemia heterozigot
(karier dan delesi dua lokus α-globin), kelainan yang dihasilkan dikenal sebagai
penyakit hemoglobin H. karena tiga dari empat gen α-globin huilang, terdapat
ketidakseimbangan yang nyata antara sintesis rantai-α dan β. Akumulasi rantai-β
berlebihan mengakibatkan pembentukan hemoglobin inklusi H (β4) dan
menyebabkan anemia hemolitik kronis bila sel yang mengandung inclusion
terperangkap dalam system retikuloendotelial. Temuan laboratorium meliputi
mikrositosis, hipokromia, sferositosis, dan retikulositosis. Kadar hemoglobin
biasanya berkisar antara 70 dan 100 g/L, tetapi anemia dapat lebih berat. Penderita
dengan hemoglobin H juga rentan terhadap krisis anemic karena supresi
eritropoiesis sementara pasca infeksi.
Jika keempat gen α-globin hilang, eritroblastosis fetalis berat, dengan
lahir mati atau kematian segera pascalahir, terjadi sebagai akibat hidrops fetalis.
Bila tidak ada sintesis rantai-α, janin ini tidak mampu mensintesis hemoglobin
normal, selain hemoglobin embrional. Pada saat lahir, elektroforesis hemoglobin
menunjukkan terutama hemoglobin Bart (γ4) dengan beberapa hemoglobin H (β4)
dan hemoglobin embrional. Afinitas oksigen hemoglobin Bart tinggi dan
hemoglobin H menjadikannya tidak efektif sebagai pigmen pernafasan, dengan
demikian menyebabkan manifestasi hipoksia berat intrauterine, walaupun kadar
hemoglobin sebenarnya dalam darah janin dapat setinggi 90-100 g/L. Beberapa α-
talasemia homozigot bayi yang dilahirkan secara premature dan ditransfusi tukar
pada saat lahir bertahan hidup dan sekarang tergantung terapi transfuse
berkembang secara normal. Pada beberapa populasi, α-talasemia dapat merupakan
23
akibat gen yang menyebabkan penurunan sintesis rantai-α bukannya tidak ada
sintesis rantai-α sama sekali seperti yang ditemukan pada delesi gen. Namun,
bentuk α-talasemia jenis ini secara klinis lebih berat daripada bentuk yang
disebabkan oleh delesi gen.
F. Pengaruh Anemia Pada Balita
a. Terhadap kekebalan tubuh (imunitas seluler dan humoral)
Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan kerawanan
terhadap Penyakit infeksi. Seseorang yang menderita defisiensi besi (terutama
balita) lebih mudah terserang mikroorganisme, karena kekurangan zat besi
berhubungan erat dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme
kekebalan tubuh yang penting untuk menahan masuknya penyakit infeksi (5).
Fungsi kekebalan tubuh telah banyak diselidiki pada hewan maupun
manusia. Meskipun telah banyak publikasi yang mengatakan bahwa kekurangan
besi menimbulkan konsekwensi fungsional pada sistem kekebalan tubuh, tetapi
tidak semua peneliti mencapai kesepakatan tentang kesimpulan terhadap
abnormalitas pada fungsi kekebalan spesifik (5).
Laporan klinis yang pertama-tama dilaporkan pada tahun 1928 oleh
Mackay (dikutip oleh Scrimshaw-2) mengatakan bahwa bayi-bayi dari keluarga-
keluarga miskin di London yang menderita bronchitis dan gastroenteritis menjadi
berkurang setelah mereka mendapat terapi zat besi. Lebih lanjut di Alaska,
penyakit diare dan saluran pernafasan lebih umum ditemui pada orang-orang
eskimo dan orang-orang asli yang menderita defisiensi besi. Meningitis lebih
sering berakibat fatal pada anak-anak dengan kadar hemoglobin di atas 10,1 g/dl
(5).
b. Imunitas humoral
Peranan sirkulasi antibodi sampai sekarang dianggap merupakan
pertahanan utama terhadap infeksi, dan hal ini dapat didemonstrasikan pada
manusia. Pada manusi kemampuan pertahanan tubuh ini berkurang pada orang-
orang yang menderita defisiensi besi (5)
Nalder dkk mempelajari pengaruh defisiensi besi terhadap sintesa antibodi
pada tikus-tikus dengan menurunkan setiap 10% jumlah zat besi dalam diit.
24
Ditemukan bahwa jumlah produksi antibodi menurun sesudah imunisasi dengan
tetanus toksoid, dan penurunan ini secara proporsional sesuai dengan penurunan
jumlah, zat besi dalam diit. Penurunan fifer antibodi tampak lebih erat
hubungannya dengan indikator konsumsi zat besi, daripada dengan pemeriksaan
kadar hemoglobin, kadar besi dalam serum atau feritin, atau berat badan (5).
c. Imunitas sel mediated
Invitro responsif dari limfosit dalam darah tepi dari pasien defisiensi besi
terhadap berbagai mitogen dan antigen merupakan topik hangat yang saling
kontraversial. Bhaskaram dan Reddy menemukan bahwa terdapat reduksi yang
nyata jumlah sel T pada 9 anak yang menderita defisiensi besi. Sesudah
pemberian Suplemen besi selama empat minggu, jumlah sel T naik bermakna (5).
Srikanti dkk membagi 88 anak menjadi empat kelompok menurut kadar
hemoglobin yaitu defisiensi besi berat (Hb<8,0 g/dl). Pada anak yang defisiensi
besi sedang (Hb antara 8,0 - 10,0 g/dl), defisiensi ringaan (Hb antara 10,1 - 12,0
g/dl), dan normal (Hb > 12 g/dl). Pada anak yang defisiensi berat dan sedang
terjadi depresi respons terhadap PHA oleh limfosit, sedangkan pada kelompok
defisiensi ringan dan normal tidak menunjukkan hal serupa. Keadaan ini
diperbaiki dengan terapi besi (5).
d. Fagositosis
Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi adalah aktivitas
fungsional sel fagositosis. Dalam hal ini, defisiensi besi dapat mengganggu sintesa
asam nukleat mekanisme seluler yang membutuhkan metaloenzim yang
mengandung Fe. Schrimshaw melaporkan bahwa sel-sel sumsum tulang dari
penderita kurang besi mengandung asam nukleat yang sedikit dan laju inkorporasi
(3H) thymidin menjadi DNA menurun (5).
Kerusakan ini dapat dinormalkan dengan terapi besi. Sebagai tambahan,
kurang tersedianya zat besi untuk enzim nyeloperoksidase menyebabkan
kemampuan sel ini membunuh bakteri menurun (5).
Anak-anak yang menderita defisiensi besi menyebabkan persentase limfosit
T menurun, dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan suplementasi besi.
Menurunnya produksi makrofag juga dilaporkan oleh beberapa peneliti. Secara
25
umum sel T, di mana limfosit berasal, berkurang pada hewan dan orang yang
menderita defisiensi besi. Terjadi penurunan produksi limfosit dalam respons
terhadap mitogen, dan ribonucleotide reductase juga menurun. Semuanya ini
dapat kembali normal setelah diberikan suplemen besi (5).
e. Terhadap kemampuan intelektual
Telah banyak penelitian dilakukan mengenai hubungan antara keadaan
kurang besi dan dengan uji kognitif. Walaupun ada beberapa penelitian
mengemukakan bahwa defisiensi besi kurang nyata hubungannya dengan
kemunduran intelektual tetapi banyak penelitian membuktikan bahwa defisiensi
besi mempengaruhi pemusnahan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ) , dan prestasi
belajar di sekolah. Denganl memberikan intervensi besi maka nilai kognitif
tersebut naik secara nyata (5).
Pada anak berusia dua tahun, anemia bisa menyebabkan gangguan
koordinasi dan keseimbangan. Sehingga anak kelihatan menarik diri dan selalu
ragu. Hal tersebut bisa menyebabkan terhambatnya kemampuan anak dalam
berinteraksi dengan temannya. Bayi yang mengalami anemia umumnya lebih
rewel, susah makan, kulit pucat, suhu tubuh kadang-kadang dingin dan daya tahan
tubuh menurun yang ditandai dengan gampang jatuh sakit dibandingkan dengan
anak sebayanya (5).
Salah satu penelitian di Guatemala terhadap bayi berumur 6-24 bulan.
Hasil, penelitian tsb menyatakan bahwa ada perbedaan skor mental (p<0,05) dan
skor motorik (p<0, 05) antara kelompok anemia kurang besi dengan kelompok
normal (5).
Pollit, dkk melakukan penelitian di Cambridge terhadap 15 orang anak
usia 3-6 tahun yang menderita defisiensi besi dan 15 orang anak yang normal,
status besinya sebagai kontrol. Pada awal penelitian anak yang menderita
defisiensi besi menunjukkan skor yang lebih rendah daripada anak yang normal
terhadap uji oddity learning. Setelah 12 minggu diberikan preparat besi dengan
skor rendah pada awal penelitian, menjadi normal status besinya diikuti dengan
kenaikan skor kognitif yang nyata sehingga menyamai skor kognitif anak yang
normal yang dalam hal ini sebagai kelompok kontrol (5).
26
G. Strategi Penanggulangan Anemia gizi Pada Balita
Strategi penanggulangan anemia gizi secara tuntas hanya mungkin kalu
intervensi dilakukan terhadap sebab langsung, tidak langsung maupun mendasar.
Secara pokok strategi itu adalah sebagai berikut : (6)
1. Terhadap penyebab langsung
Penanggulangan anemia gizi perlu diarahkan agar :
a. Keluarga dan anggota keluarga yang resiko menderita anemia mendapat
makanan yang cukup bergizi dengan biovailabilita yang cukup.
b. Pengobatan penyakit infeksi yang memperbesar resiko anemia
c. Penyediaan pelayanan yang mudah dijangkau oleh keluarga yang
memerlukan, dan tersedianya tablet tambah darah dalam jumlah yang
sesuai.
2. Terhadap penyebab tidak langsung
Perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan perhatian dan kasih sayang di
dalam keluarga terhadap wanita, terutama terhadap ibu yang perhatian itu
misalnya dapat tercermin dalam :
a. Penyediaan makanan yang sesuai dengan kebutuhanny terutama bila
hamil.
b. Mendahulukan ibu hamil pd waktu makan
c. Perhatian agar pekerjaan fisik disesuaikan dengan kondisi wanita/ibu
hamil
3. Terhadap penyebab mendasar :
Dalam jangka panjang, penanggulangan anemia gizi hanya dapat berlangsung
secara tuntas bila penyebab mendasar terjadinya anemia juga ditanggulang,
misalnya melalui:
a. Usaha untuk meningkatkan tingkat pendidikan, terutama pendidikan
wanita.
b. Usaha untuk memperbaiki upah, terutama karyawan rendah.
c. Usaha untuk meningkatkan status wanita di masyarakat
d. Usaha untuk memperbaiki lingkungan fisik dan biologis, sehingga mendukung
status kesehatan gizi masyarakat.
27
Tips mencegah anemia (7) :
1. Usahakan memberikan air susu ibu (ASI) sampai setidaknya anak berumur 12
bulan (idealnya sampai 2 tahun). Ibu menyusui disarankan mengkonsumsi
makanan yang cukup zat besi.
2. Jika anak Anda sudah mendapatkan makanan tambahan, usahakan
menambahkan sereal, bayam, kangkung, katuk dan sumber zat besi lainnya
dalam menu makanan padat yang diberikan.
3. Jika Anda memberikan susu formula kepada bayi Anda, pilihlah susu formula
yang diperkaya dengan zat besi.
4. Pastikan anak Anda yang lebih besar memiliki pola makan seimbang dengan
makanan yang mengandung zat besi. Kuning telur, daging merah, kentang,
tomat, hati dan sayuran adalah makanan alami yang kaya zat besi.
5. Ajarkan anak-anak kebiasaan hidup bersih sehingga terhindar dari penyakit
infeksi dan parasit.
Strategi Operasional Penanggulangan Anemia Gizi disini diarahkan ke
kegiatan yang bisa dilaksanakan dalam 4 kegiatan yaitu (8) :
a. STRATEGI OPERASIONL KIE
1. Pelaksanaan KIE
Pelaksnaan KIE perlu dilakukan secara lebih menyeluruh, dan bersifat
multi media. Pendekatan pelaksanaan KIE adalah sbb :
menggunakan multimedia
menggunakan tenaga lintas program dan lintas sektor
menggunakan berbagai pendekatan seperti individual, kelompok atau massal
menumbuhkan partisipasi dan kemandirian
ditunjukan untuk berbagai sasaran yang sesuai seperti sasaran primer yaitu
orang tua yang memiliki balita, sasaran sekunder yaitu petugas kesehatan,
lurah, tokoh masyarakat, lembaga LSM sedangkan tertier yaitu pemerintah
setempat.
2. Integrasi KIE anemia ke dalam KIE maknan
3. Pengembangan jaringan KIE
28
4. Strategi khusus : Penyelenggaraan Bulanan Anemia
5. Isi pesan KIE anemia diantaranya
menjelaskan konsep Anemia
menjelaskan Anemia dalam konteks pangan dan gizi secara keseluruhan
menjelaskan pelayanan kesehatan yang ada dalam kaitan penanggulangan
Anemia gizi.
meningkatkan kebutuhkan terhadap tablet tambah darah
meningkatkan kesadaran keluarga untuk lebih memperhatikan anggota
keluarga.
menjelaskan kaitan anemia dalam pembangunan secara umum.
b. STRATEGI OPERASIONAL SUPLEMENTASI
Masyarakat sendiri dapat melakukan suplementasi untuk balitanya.
Preparat diberikan lebih baik dalam bentuk multivitamin, yaitu selain
mengandung besi dan asam folat, juga mengandung vitamin A, vitamin C, seng
(sesuai dengan kemampuan tehnologi). Pemberian dapat dilakukan beberapa kali
dalam setahun (1).
Dosis pemberian adalah sebagai berikut :
30 mg unsur besi dan 0,125 mg asam folat, disertai 2500 IU vitamin A
pemberian diberikan selama 2 bulan
swadana : 30 mg unsur besi dan 0,125 mg asam folat disertai 2500 IU vitamin
A pemberian diberikan sekali seminggu. Preparat multivitamin yang tersedia di
pasaran juga dapat dipergunakan.
c. STRATEGI FORTIFIKASI
Fortifikasi sampai sekarang masih belum banyak berperan dalam
penanggulangan anemia gizi di masyarakat. Saat ini baru ada rintisan kegiatan
fortifikasi yang dilakukan pada mi instan. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg
unsur besi dan 0,15 mg asam folat ditambah 2500 IU vitamin A untuk setiap
bungkusnya. Dosis ii berlaku umum untuk seluruh sasaran, sehingga secara tehnis
pelaksanaannya lebih mudah (1).
Strategi yang perlu dilakukan (1) :
1. Mempertahankan produk – produk yang telah difortifikasi
29
2. Fortifikasi produk yang dikonsumsi oleh masyarakat (low and entry)
3. Memasukkan fortifikasi ke dalam Standard Nasional Indonesia (SNI)
4. Telaah lanjutan tentang wahana (bahan makanan) lain yang bis digunakan.
d. STRATEGI OPERASIONAL LAIN
Penanggulangan anemia juga memerlukan kegiatan lain seperti (1) :
1. Pembasmian infeksi cacing secara berkala
Penanggulangan anemia perlu disertai dengan pemberian obat cacing di
daerah yang diduga prevalensi cacingny tinggi. Prioritas pemerintah sekarang ini
adalah pembasmian cacing untuk anak sekolah, daerah vital produksi, daerah
terpencil dan daerah kumuh. Direktorat Bina Gizi Masyarakat perlu berpartisipasi
dalam rangka memperluas gerakan pembasmian cacing ini. Direktorat Bina Gizi
Masyarakat juga perlu membantu gerakn pembasmian cacing yang dilakukan
secara swadana oleh masyarakat ataupun swasta.
Dalam rangka pembasmian cacing ini perlu diperhatikan bahwa
pembasmian hanya akan langgeng bila disertai dengan kegiatan untuk mengubah
perilaku penduduk kearah hidup yang lebih bersih (seperti cuci tangan,
menggunakan sandal dan kegiatan untuk mengubah lingkungan (seperti
jambanisasi) agar siklus hidup cacing bisa diputus secara permanen (8).
2. Pemberian obat anti malaria untuk daerah endemis.
Pemberian obat anti malaria di daerah endemis malaria perlu diberikan
sekaligus pada waktu pemberian tablet tambah darah. Direktorat Jenderal
P2MPLP sekarang sudah memberikan anti malaria sekaligus tablet tambah darah,
nmun bru daerh prioritas, seperti transmigrasi, daerah potensi wabah daerah
pembangunan dan daerah perbatasan.
3. Mencari Prevalensi Regional Anemia.
Perlu ada penelitian tentang prevalensi anemia dan penyebabny pad tingkat
Provinsi dan kabupaten. Penelitian ini dapat dilkukan dengan metode survei cepat.
Sekarang ini lelah dilaksanakan survei untuk 145 kabupaten.
30
H. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Riwayat Keperawatan, meliputi:
1) Riwayat keperawatan dahulu
2) Riwayat keperawatan sekarang
3) Riwayat keperawatan keluarga
b. Pola Fungsi Kesehatan
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas,
penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda : takikardia/ takipnae ; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat.
Letargi, menarik diri, apatis,lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya.
Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuhtidak tegak.
Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain
yang menunujukkan keletihan.
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI kronis,
menstruasi berat, angina, CHF (akibat kerja jantung
berlebihan). Riwayat endokarditis infektif kronis. Palpitasi(takikardia
kompensasi).
Tanda : TD : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi
melebar, hipotensi postural.Disritmia : abnormalitas EKG, depresi
segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T;takikardia.
Bunyi jantung : murmur sistolik. Ekstremitas (warna) : pucat pada
kulit dan membranemukosa (konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar
kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapattampak sebagai
keabu-abuan). Kulit seperti berlilin, pucat atau kuning lemon terang.
Sklera : biru atau putih seperti mutiara. Pengisian kapiler melambat
(penurunan aliran darahke kapiler dan vasokontriksi kompensasi)
31
kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia). Rambut :
kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature.
3. Integritas ego
Gejala : keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan,
misalnya penolakan transfusi darah.
Tanda : depresi.
4. Eleminasi
Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi.
Hematemesis, fesesdengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi.
Penurunan haluaran urine.
5. Makanan/cairan
Gejala : penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan
produk sereal tinggi. Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus
pada faring). Mual/muntah, dyspepsia,anoreksia. Adanya penurunan
berat badan. Tidak pernah puas mengunyah atau peka terhadap
es,kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan sebagainya.
Tanda : lidah tampak merah daging/halus (defisiensi asam folat dan vitamin
B12). Membranemukosa kering, pucat. Turgor kulit : buruk, kering,
tampak kisut/hilang elastisitas. Stomatitis danglositis (status defisiensi).
Bibir : selitis, misalnya inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah.
DIAGNOSIS DAN NOC-NIC (11) :
1. Ketidakseimbangan Nutirisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d faktor biologisBatasan Karakteristik :
o Kekurangan masukkan makanan
o Kekurangan berat badan
NOC : Status gizi
o Makanan oral
o pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parenteral total
o Asupan cairan oral atau IV
32
NIC : Nutrition Management
o Gali apakan pasien memiliki riwayat alergi makanan
o Pastikan pilihan makanan klien
o Kolaborasi dengan ahli diet, menentukan jumlah kalori dan tipe zat gizi
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
o Anjurkan klien meningkatkan intake protein, zat besi dan vitamin C
o Tawarkan makanan ringan
o Pastikan diet mengandung makanan berserat tinggi untuk mencegah
konstipasi
o Sediakan pilihan makanan
o Nilai kemampuan pasien memenuhi kebutuhan nutrisi
o Berikan substansi gula
o Pantau jumlah nutrisi dan kandungan kalorinya
Nutrition Monitoring
o Ukur BB klien
o Pantau perubahan kenaikan dan penurunan BB
o Pantau type dan jumlah aktivitas yang bisa dilakukan
o Pantau respon emosi pasien saat melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan makan dan makanan.
o Pantau interaksi orang tua/anak selama pemberian makan
o Pantau lingkungan selama makan
o Jadualkan tindakan dan pengobatan pada waktu diluar waktu makan
o Pantau adanya kekeringan, defigmentasi dan sisik pada kulit
o Pantau turgor kulit
o Pantau adanya mual dan muntah
o Pantau nilai albumin, protein total, Hb dan Hct
o Pantau limfosit dan elekrolit
o Pantau tingkat energi, kelelahan, lemas, dan lemah
o Pantau asupan zat gizi dan kalori
33
o Tentukan apakah klien memerlukan diet khusus
o Pantau pilihan dan pemilihan makanan
o Catat perubahan besar pada status nutrisi dan lakukan pengobatan
o Berikan lingkungan yang optimal saat waktu makan
2. Intoleran aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.
Batasan Karakteristik:
o Abnormal tekanan darah sebagai respon aktivitas
o Abnormal heart rate sebagai respon aktivitas
o Secara verbal mengatakan letih
o Secara verbal mengatakan lemah
o Dyspnea
NOC: Energy Conservation (scale 1-5)
o Keseimbangan aktivitas dan istirahat
o Menggunakan istirahat untuk mengembalikan energy
o Mengenali batasan energy
o Menggunakan teknik konservasi energy
o Mengorganisasi aktivitas untuk menghemat energy
o Mengatur nutrisi yang adekuat
NIC: Energy Management
o Mengkaji status fisiologis pasien tentang fatig dalam konteks umur dan
perkembangan
o Menentukan persepsi pasien tentang penyebab fatig
o Memonitor intake nutrisi untuk mendapatkan sumber nutrisi yang adekuat
o Memonitor respon kardiorespiratory terdapat aktivitas
o Memonitor pola tidur dan jumlah jam tidur per hari pasien
34
o Membantu pasien untuk memahami prinsip konservasi energy (e.g,
bedrest)
o Mengajari organisasi aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk
menghindari fatig
o Membantu pasien untuk mengkaji prioritas aktivitas untuk
mengakomodasi tingkat fatig
o Membantu pasien membuat jadwal periode istirahat
o Menghindari aktivitas selama periode istirahat
o Menginstruksikan pasien untuk mengenali tanda dan gejala fatig untuk
sebagai indicator menurunkan aktivitas
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d anemia
Batasan karakteristik:
o Perubahan karakteristik kulit (warna, elastisitas, rambut, kelembaban,
kuku, sensasi, suhu)
o Perubahan tekanan darah pada ekstemitas
o Warna kulit pucat.
NOC: Perfusi jaringan : periferal (scale 1-5)
o CRF
o Suhu kulit ekstremitas
o Tekanan darah sistolik
o Tekanan darah diastolic
o Tekanan nadi
o Tekanan darah rata-rata
NIC: Circulatory care: Arterial Insufficiency
o Menunjukkan penilaian sirkulasi perifer yang menyeluruh (e.g., cek
nadi perifer, capillary refill, warna dan suhu).
o Mengevaluasi nadi perifer
o Melindungi ekstemitas dari injury
o Mengatur hidrasi adekuat untuk menurunkan viskositas darah
35
o Memonitor status cairan, meliputi intake dan output
Circulatory care: Venous Insufficiency
o Menunjukkan penilaian sirkulasi perifer yang menyeluruh (e.g., cek
nadi perifer, capillary refill, warna dan suhu).
o Mengevaluasi nadi perifer
o Mengatur hidrasi adekuat untuk menurunkan viskositas darah
o Memonitor status cairan, meliputi intake dan output
BAB III
PENUTUP
36
A. Kesimpulan
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan
komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan
untuk pembentukan sel darah merah, yangmengakibatkan penurunan kapasitas
pengangkut oksigen darah (Doenges, 1999). Anemia adalah istilah yang
menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan
hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935). Anemia adalah berkurangnya
hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume
packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256). Dengan
demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan
merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan
perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium.
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk sintesis eritrosit,antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat.
Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan
genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.
B. Saran
Makalah yang kami buat ini masih jauh dari kesempurnaa, oleh karena itu
apabila ada kata-kata atau sesuatu yang masih kurang dalam makalah yang kami
buat ini mohon di kritisi, sebagai media pembelajarab untuk kita semua kelak
nanti.
DAFTAR PUSTAKA
37
1. Arlinda Sari Wahyuni, Anemia Defisien Besi Pada Balita,
http:/www.rsmultazam.com/solusi/68-jangan-anggap-enteng-anemia-pada-
anak. htm.
2. Ngastiyah. 2001. Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : EGC
3. Permono B, Sutaryo, Ugrasena. 2005. Anemia Defisiensi Besi, dalam buku
ajar hematology – oncology. Jakarta : Badan penerbit IDAI
4. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. 2007. Buku Ajar Pediatric Rudolph
Volume 2 Edisi 20. Jakarta : EGC.
5. Abdoerrachman M. H, dkk (1998), Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak,
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta.
6. Soeparman, Sarwono, W, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI,
Jakarta.
7. Nursalam, Rekawati, Sri Utami, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta,
Medika, 2005.
8. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Jakarta, Medika, 2006
38