Anemia Postpartum

22
ANEMIA POSTPARTUM I. PENDAHULUAN Masa postpartum merupakan tantangan bagi banyak ibu yang baru melahirkan. Pemulihan dari proses melahirkan, belajar menjadi orang tua, dan mengurus diri sendiri membutuhkan banyak energy. Menderita anemia pada masa postpartum dapat membuat proses ini menjadi lebih sulit. Anemia terjadi jika kadar hemoglobin dalam darah rendah. Hemoglobin adalah zat pembawa oksigen dalam sel darah merah. Jika terjadi gangguan sistem transportasi oksigen (misalnya anemia) akan menyebabkan tubuh sulit untuk bekerja. (1) Anemia post partum didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl, hal ini merupakan masalah yang umum dalam bidang obstetric. Meskipun wanita hamil dengan kadar besi yang terjamin, konsentrasi haemoglobin biasanya berkisar 11-12 g/dl sebelum melahirkan. Hal ini diperburuk dengan kehilangan darah saat melahirkan dan pada masa nifas. Menurut analisa terbaru, kehilanngan darah pada saat postpartum diatas 500 ml masih merupakan suatu masalah meskipun pada obstetri modern. (2) II. FISIOLOGI HAEMOGLOBIN 1

Transcript of Anemia Postpartum

Page 1: Anemia Postpartum

ANEMIA POSTPARTUM

I. PENDAHULUAN

Masa postpartum merupakan tantangan bagi banyak ibu yang baru

melahirkan. Pemulihan dari proses melahirkan, belajar menjadi orang tua, dan

mengurus diri sendiri membutuhkan banyak energy. Menderita anemia pada masa

postpartum dapat membuat proses ini menjadi lebih sulit. Anemia terjadi jika kadar

hemoglobin dalam darah rendah. Hemoglobin adalah zat pembawa oksigen dalam sel

darah merah. Jika terjadi gangguan sistem transportasi oksigen (misalnya anemia)

akan menyebabkan tubuh sulit untuk bekerja.(1)

Anemia post partum didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 10

g/dl, hal ini merupakan masalah yang umum dalam bidang obstetric. Meskipun

wanita hamil dengan kadar besi yang terjamin, konsentrasi haemoglobin biasanya

berkisar 11-12 g/dl sebelum melahirkan. Hal ini diperburuk dengan kehilangan darah

saat melahirkan dan pada masa nifas. Menurut analisa terbaru, kehilanngan darah

pada saat postpartum diatas 500 ml masih merupakan suatu masalah meskipun pada

obstetri modern.(2)

II. FISIOLOGI HAEMOGLOBIN

Berwarna merah, merupakan pigmen pembawa oksigen dalam sel darah

merah. Hemoglobin merupakan protein dengan berat molekul 64.450. Haemoglobin

terdiri dari 4 subunit. Tiap subunit mengandung heme yang berikatan dengan

konyugat polipeptida. Heme mengandung besi yang merupakan derivat porvirin.

Sedangkan polipeptida disebut dengan globin.(3)

Ada dua bagian polipeptida tiap molekul hemoglobin. Pada orang dewasa

normal (hemoglobin A), terdapat 2 tipe polipeptida yang disebut dengan rantai α yang

mengandung 141 asam amino residu dan rantai β yang mengandung 146 asam amino

residu. Kemudian hemoglobin A disebut juga α2β2, tidak semua hemoglobin pada

1

Page 2: Anemia Postpartum

darah normal orang dewasa adalah hemoglobin A. sekitar 2,5% hemoglobin

merupakan hemoglobin A2, dimana rantai β digantikan dengan rantai δ (α2δ2). Rantai

δ juga mengandung 146 asam amino residu, tetapi 10 residu tunggal berbeda dengan

asam amino pada rantai β. (3)

Hemoglobin membawa oksigen dalam bentuk oxihemoglobin, oksigen

berikatan dengan Fe2+ di dalam heme. Afinitas hemoglobin terhadap O2 dipengaruhi

oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3 diphosphogliserat (2,3 DPG). 2,3 DPG dan H+

bersaing dengan O2 untuk membentuk deoxihemoglobin, dengan menurunkan afinitas

hemoglobin terhadap O2 dengan menempati tempatnya pada ke empat rantai. (3)

Ketika darah terpapar dengan obat-obatan dan agen oksidasi lainnya baik

secara invitro maupun invivo, Fe2+ yang merupakan molekul normal di konversi

menjadi Fe3+ membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna gelap, dan ketika

kadarnya dalam darah meningkat, hal ini menyebabkan kulit berwarna kehitam-

hitaman yang disebut dengan sianosis. Beberapa oksidasi hemoglobin menjadi

methemoglobin terjadi secara normal, karena sistem enzim sel darah merah, yaitu

sistem NADH-methemoglobin reduktase, mengubah methemoglobin kembali

menjadi hemoglobin. Kelainan kongenital dimana tidak adanya sistem enzim ini

menyebabkan kelainan herediter methemoglobinemia. (3)

Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk

monoxihemoglobin (carboxihemoglobin). Afinitas hemoglobin terhadap O2 jauh lebih

rendah dibandingkan dengan CO, dengan dampak digantikannya O2 yang berikatan

dengan hemoglobin, sehingga terjadi penurunan kapasitas pembawa oksigen oleh

darah. (3)

Rata-rata kandungan hemoglobin normal dalam darah adalah 16 g/dl pada

laki-laki dan 14 g/dl pada wanita. Pada tubuh laki-laki dengan berat badan 70 kg,

terdapat sekitar 900 g hemoglobin dan 0,3 g globin dihancurkan dan disintesis

kembali tiap jam. Heme dari hemoglobin disintesis dari glycine dan succinyl-CoA.(3)

2

Page 3: Anemia Postpartum

Ketika sel darah merah dihancurkan oleh jaringan sistem makropage. Globin

dari molekul hemoglobin dihancurkan dan heme diubah menjadi biliverdin.

Biliverdin kemudian dikonversi menjadi bilirubin dan diekskresikan melalui empedu.

Besi yang berasal dari heme digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Besi

merupakan zat esensial untuk sintesis hemoglobin, jika tubuh kehilangan darah dan

defisiensi besi tidak dikoreksi, akan terjadi anemia defisiensi besi.(3)

III. INSIDEN

Survey yang dilakukan terhadap 1000 pasien di rumah sakit Henrontin,

Chicago, dimana darah pasien diperiksa 4 hari postpartum ditemukan 20%

mengalami anemia. Pada pasien tersebut 15 persen diantaranya mengalami anemia

ringan dan 5% berat. (4)

Sekitar 21% wanita dengan kadar hemoglobin normal selama kehamilan

trimester ketiga didapatkan mengalami anemia pada kunjungan postpartum yang

pertama. (5)

Telah diakui bahwa hidremia pada wanita hamil menetap sampai periode

postpartum dini. Meskipun penanda hilangnya hidremia yaitu 24 jam postpartum,

namun rata-rata darah wanita normal yang tidak hamil baru muncul setalah 7 hari.(4)

Defisiensi besi postpartum dan anemia adalah masalah kesehata utama

dimasyarakat. Di Amerika, hampir 13 % dari perempuan 0-6 bulan postpartum

mengalami defisiensi besi dan 10 % mengalami anemia. Untuk menurunkan

morbiditas akibat anemia pada periode postpartum, penting untuk dilakukan skrining

perempuan mana yang membutuhkan pengobatan.(6)

IV. ETIOLOGI

Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling sering dari anemia

postpartum yang disebabkan oleh intake zat besi yang tidak cukup serta kehilangan

darah selama kehamilan dan persalinan. Anemia postpartum berhubungan dengan

3

Page 4: Anemia Postpartum

lamanya perawatan di rumah sakit, depresi, kecemasan, dan pertumbuhan janin

terhambat.(7)

Kehilangan darah adalah penyebab yang lain dari anemia. Kehilangan darah

yang signifikan setelah melahirkan dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia

postpartum. Banyaknya cadangan hemoglobin dan besi selama persalinan dapat

menurunkan risiko terjadinya anemia berat dan mempercepat pemulihan.(1)

V. FAKTOR RISIKO

Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah besi dalam tubuh postpartum,

termasuk karakteristik ibu pada saat sebelum hamil, selama kehamilan, persalinan,

dan periode postpartum. Salah satu faktor risiko terjadinya anemia postpartum adalah

tingginya IMT sebelum kehamilan. Risiko anemia postpartum meningkat dengan

IMT dari 24-38 kg/m2. Jika dibandingkan dengan perempuan dengan IMT 20 kg/m2,

risiko anemia 2 kali lebih besar pada wanita dengan overweight IMT 28 kg/m2 dan 3

kali lebih besar pada wanita dengan IMT 38 kg/m2 meskipun faktor perancuh sudah

terkontrol. Meningkatnya risiko ini sebagian disebabkan tingginya insiden terhadap

postpartum hemorage, kelahiran perabdominal, dan makrosomia pada wanita yang

obesitas.(8)

Seperti komplikasi kehilangan darah sampai 1000 ml, yang sama dengan 400

mg besi. Faktanya secara klinis, perdarahan postpartum dan makrosomia masing-

masing dapat menurunkan konsentrasi hemoglobin 6,4 g/dl dan 5,2 g/dl. Hal ini

menunjukkan adanya hubungan antara kehilangan darah selama persalinan dan risiko

defisiensi besi dan anemia. (8)

VI. GEJALA KLINIS

Tergantung dari derajat berat atau tidaknya anemia, hal ini dapat berdampak

negative bagi ibu selama masa nifas, kemampuan untuk menyusui, masa perawatan di

rumah sakit bertambah, dan perasaan sehat dari ibu. Masalah yang muncul kemudian

4

Page 5: Anemia Postpartum

seperti pusing, lemas, tidak mampu merawat dan menjaga bayinya selama masa nifas

umumnya terjadi. (2)

Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan anemia postpartum memiliki

gejala yang dapat mengganggu kondisi kesehatan ibu dan meningkatkan risiko

terjadinya depresi postpartum jika dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.

Dampak buruk dari perubahan emosi dan perilaku ibu sangat mengkhawatirkan

karena interaksi ibu dan bayi akan terganggu selama periode ini dan akhirnya

berdampak negatif terhadap perkembangan bayinya.(9)

Kebanyakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara defisiensi besi dan

kognitif yang difokuskan pada bayi dan anak-anak, dimana ditemukan fakta yang

kuat bahwa defisiensi besi berisiko terjadinya gangguan perkembangan kognitif

sekarang dan yang akan datang. Namun, data terbaru menunujukkan defisiensi besi

juaga berdampak buruk pada otak orang dewasa. Berbeda dengan penurunan

hemoglobin, defisiensi besi berpengaruh pada kognitif melalui penurunan aktivitas

enzim yang mengandung besi di otak. Hal ini kemudian mempengaruhi fungsi

neurotransmitter,sel, dan proses oksidatif, juga metabolisme hormon tiroid.(8)

Para ibu yang masih menderita kekurangan zat besi sepuluh minggu setelah

melahirkan kurang responsif dalam mengasuh bayinya sehingga berdampak pada

keterlambatan perkembangan bayi yang dapat bersifat ireversibel. Untungnya, anemia

postpartum bersifat dapat diobati dan dapat dicegah. (9)

Defisiensi besi dapat menurunkan jumlah limfosit, netrofil, dan fungsi

makrofag. Hal ini kemudian akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi yang

merupakan akibat fungsional defisiensi besi. Memperbaiki status besi tubuh dengan

adekuat akan memperbaiki sistem imun. Meskipun demikian, keseimbangan besi

tubuh penting. Meskipun besi yang dibutuhkan untuk respon imun yang efektif, jika

suplai besi terlalu banyak daripada yang dibutuhkan , invasi mikroba dapat terjadi

karena mikroba dapat menggunakan besi untuk tumbuh dan menyebabkan

eksaserbasi infeksi. (8)

5

Page 6: Anemia Postpartum

VII. DIAGNOSIS

Besi merupakan salah satu komponen kunci dari hemoglobin, oleh karena itu

tubuh yang kekurangan besi akan berdampak pada sistem transportasi oksigen yang

akan mengakibatkan gejala seperti napas pendek dan lemas yang merupakan 2 gejala

klasik dari anemia. (1)

Normal kadar hemoglobin sampai hari keempat postpartum adalah lebih dari

10 g/dl dengan kadar eritrosit paling sedikit 3,5 juta/ ml. Ketika kadar hemoglobin di

bawah 10 g/dl dan kadar eritrosit kurang dari 3,5 juta/ ml maka dapat didiagnosis

anemia, jika kadar hemoglobin di atas 8 g/dl disebut anemia ringan dan jika berada

pada level dibawahnya maka disebut anemia berat.(4)

VIII.PENATALAKSANAAN

Pengobatan terhadap anemia postpartum tergantung dari derajat anemia dan

faktor risiko maternal atau faktor komorbiditas. Wanita muda yang sehat dapat

mengkompensasi kehilangan darah yang banyak lebih baik dibandingkan wanita nifas

dengan gangguan jantung meskipun dengan kehilangan darah yang tidak terlalu

banyak.(10)

Sebagai tambahan, kehilangan darah perlu dilihat dalam hubungannya dengan

IMT dan estimasi total blood volume (TBV). Pertimbangan yang lain yaitu kesalahan

yang dilakukan ketika melakukan estimasi jumlah kehilangan darah. Kehilangan

darah selalu sulit untuk diprediksi, yang mana bisa dibuktikan dengan

membandingkan Hb pre-partum dan Hb postpartum. (10)

Pengobatan terhadap anemia meliputi pemberian preparat besi secara oral,

besi parenteral, transfusi darah, dan pilihan lain yaitu rHuEPO (rekombinan human

erythropoietin). (10)

Prinsip penatalaksanaan anemia adalah jika di dapatkan hemoglobin kurang

dari 10 pertimbangkan adanya defisiensi zat pembentuk hemoglobin, periksa sepintas

apakah ada hemoglobinopati sebelum disingkirkan. Pemberian preparat besi oral

6

Page 7: Anemia Postpartum

sebagai pengobatan lini pertama untuk anemia akibat defisiensi besi. Besi parenteral

diindikasikan jika preparat besi oral tidak dapat ditolerransi, gangguan absorbsi, dan

kebutuhan besi pasien tidak dapat terpenuhi dengan preparat besi oral. (11)

Penggunaan terapi parenteral biasanya lebih cepat mendapatkan respon

dibandingkan dengan terapi oral. Namun, bagaimanapun hal ini bersifat lebih

invasive dan lebih mahal. Rekombinan Human Eritropoietin (rHuEPO) paling banyak

digunakan untuk anemia dengan penyakit gagal ginjal kronis. Namun rHuEPO tetap

dapat diberikan pada anemia dalam kehamilan maupun postpartum tanpa adanya

penyakit gagal ginjal kronis tanpa ada efek samping pada maternal, fetal ataupun

neonatus.(11)

Anemia yang terjadi bukan karena defisiensi (misalnya akibat

hemoglobinopati dan sindrom kegagalan sum-sum tulang) harus diatasi dengan

transfusi darah secara tepat dan bekerja sama dengan seorang ahli hematologi.(11)

1. Preparat besi oral

Zat besi merupakan komponen penting dari hemoglobin, mioglobin dan

banyak enzim untuk metabolisme energi. Besi berperan terhadap transportasi dan

penyimpanan oksigen dan metabolisme oksidatif, juga pertumbuhan dan proliferasi

sel. Kebanyakan besi dalam plasma diperuntukkan untuk proses eritropoiesis dalam

sum-sum tulang. Absorsi besi dalam duodenum mengalami proses yang kompleks

yang dikontrol beberapa protein, dipengaruhi kebutuhan zat besi tubuh, konsentrasi

zat besi dalam usus, dan integritas dinding sel.(12)

Pemberian preparat besi secara oral harus dilanjutkan sampai beberapa bulan,

sehingga tidak hanya menormalkan kadar Hb tetapi juga menormalkan kadar besi

dalam darah. Pada salah satu penelitian, kita dapat melihat wanita postpartum dengan

defisiensi besi namun tanpa anemia yang kadar besinya dapat dikembalikan hanya

dengan suplemen besi.(10)

7

Page 8: Anemia Postpartum

Wanita postpartum yang mengalami defisiensi besi dan anemia memerlukan

suplemen zat besi. Zat besi biasanya diberikan sampai 6 bulan. Pada kebanyakan

kasus, pemberian preparat besi secara oral tidak cukup untuk mengobatai anemia

berat, jika cadangan besi endogen juga habis dan tidak cukup besi tersedia untuk

menjamin proses eritropoiesis. Penjelasan pertama untuk hal ini adalah kurangnya

absorbsi, tidak terpenuhi pada dosis tinggi akibat efek yang merugikan, dan

kurangnya konsentrasi transferin plasma, yang memastikan terjadinya defisiensi besi

secara fungsional. Sebagai tambahan, reaksi dapat terjadi, terutama pada operasi

persalinan dan secsio caesaria, terjadi penumpukan besi dalam makropage dan

penurunan absorbsi usus, sehingga besi tidak dapat digunakan untuk proses

hemopoiesis. (10)

2. Transfusi Darah

Pada dekade sebelumnya, terjadi perubahan metode terapi terhadap transfusi

darah, kecuali pada kondisi kritis, karena pasien kurang dapat menerima. Transfusi

jarang diberikan dan indikasi transfusi sangat dibatasi.(2)

Jika Hb kurang dari 7-8 g/dl pada periode postpartum, dimana sudah tidak ada

lagi perdarahan, keputusan untuk melakukan transfusi harus diambil tergantung

keadaan individu tersebut. Pada wanita yang sehat, dan tidak ada gejala, pemberian

transfusi darah kurang bermanfaat.(11)

3. Rekombinan Human Erythropoietin (rHuEPO)

Suatu terapi alternative baru yang menjanjikan yaitu dengan peningkatan

proses eritropoiesis melalui penggunaan human erythropoietin (rHuEPO).

Eritropietin, sebuah hormon glikoprotein, yang merupakan salah satu regulator

humoral utama dari proses eritropoiesis. Pada orang dewasa, hormon ini terutama

diproduksi di sel intersisiel peritubular dari parenkim ginjal. Setelah penyaringan dan

identifikasi dari asam amino pembentuk eritropoietin, gen manusia di klon dan

diisolasi, agar dapat memproduksi rHuEPO dalam jumlah besar dengan teknik mesin

8

Page 9: Anemia Postpartum

genetik. Laporan pertama kali tentang aplikasi terapi ini pada tahun 1986. Sejak saat

itu terjadi peningkatan percobaan klinis dengan rHuEPO untuk koreksi anemia. Pada

banyak kasus, terapi ini memiliki efek samping yang minimal.(2)

Pada pasien tanpa defisiensi produksi eritropoietin, eritropoiesis yang normal,

atau anemia akibat penyebab lainnya tetap dapat diobati dengan rHuEPO.

Sebelumnya telah dilaporkan dengan hasil yang positif lima wanita postpartum yang

diobati dengan rHuEPO jangka pendek. (2)

Karena kontradiksi hasil yang telah dilaporkan terhadap transfer plasenta pada

hewan percobaan dan belum ada penelitian sistematis pada manusia, penggunaan

rHuEPO masih terbatas untuk anemia postpartum. (2)

4. Besi Intravena

Saat ini secara internasional telah terjadi pergeseran mode terapi untuk anemia

dari transfusi darah kepada besi intravena. Transfusi darah secara logis akan segera

mengatasi kekurangan darah terutama akibat perdarahan yang sifatnya akut, namun

efek samping transfusi yang dahulu tidak terlalu diperhitungkan kini makin menjadi

perhatian penting seiring dengan perkembangan konsep baru di dunia kedokteran

yakni patient safety. (13)

Risiko transfusi darah yang tinggi diantaranya reaksi transfusi, berupa: reaksi

alergi; urtikaria; demam; dan lain sebagainya, penularan berbagai jenis penyakit

infeksius, semisal: hepatitis B; hepatitis C; HIV; CMV; toxoplasma; malaria; dan

lain sebagainya, ketidakcocokan darah (ABO-Rh mismatch), hemolisis baik tipe

cepat maupun lambat, alloimunisasi, hingga transfusion related acute lung injury

(TRALI) yang dapat berakibat pada kematian. Dengan meningkatnya kekhawatiran

ini maka beralihlah mode terapi transfusi darah menjadi terapi besi intravena.(13)

Kegagalan terapi sering terjadi dengan penggunaan preparat besi oral. Kondisi

ini terjadi ketika intake besi sudah adekuat tetapi bermasalah pada proses absorbsi,

9

Page 10: Anemia Postpartum

dan distribusi besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin. Untuk pasien

seperti ini pemberian besi intravena merupakan terapi yang lebih disukai. (12)

Kini telah ditemukan pembawa baru besi intravena yakni sukrosa. Dengan

pemberian besi sukrosa intravena kadar hemoglobin akan meningkat pesat dalam

hitungan hari. Efek samping pun sangat minimal. Reaksi alergi minor dilaporkan

pada 0,05% kasus, sementara reaksi alergi berat seperti anakfilakasis belum

dilaporkan. Sehingga besi sukrosa intravena dengan cepat mendapat respon yang

baik di seluruh dunia untuk kemudian secara internasional menjadi terapi pilihan

pertama pada anemia. (13)

Dalam pertemuan Network for Advancement of Transfusion Alternatives

(NATA) April 2005, penggunaan besi sukrosa intravena direkomendasikan untuk

berbagai macam kondisi anemia, diantaranya anemia pada kehamilan serta anemia

post partum. (13)

Selain besi sukrosa, besi intravena lain yaitu besi carboxymaltose. Besi

carboximaltose merupakan preparat besi intravena non-dextran yang dibuat untuk

pemberian besi intravena dosis tinggi. Pemberian besi carboxymaltose IV dosis

tinggi terbukti efektif untuk mengatasi anemia postpartum. Jika dibandingkan dengan

SF, besi carboximaltose IV lebih dapat ditoleransi, respon peningkatan Hb lebih

cepat, korekasi terhadap anemia lebih dapat diaandalkan.(5)

Contoh-contoh preparat besi intravena:(14)

High molecular weight iron dextran, dulu bertahun-tahun digunakan sebagai

preparat besi intravena. Kelebihannya memungkinkan pemberian besi dengan

dosis penuh. Bagaimanapun, karena sifat antigenitas dari makromolekul

dextran yang menyebabkan reaksi alergi yang berat, para klinisi membatasi

penggunaannya.

Low molecular weight iron dextran,merupakan besi intravena dengan risiko

terjadinya alergi jarang. Pada beberapa penelitian pada wanita hamil dan

gagal ginjal kronis menunjukkan keberhasilan dan keamanan penggunaannya.

10

Page 11: Anemia Postpartum

Iron sucrose, merupakan preparat besi intravena yang paling populer

khususnya untuk mengobati anemia ginjal. Hal ini juga diteliti dalam bidang

ginekologi, khususnya untuk anemia postpartum, anemia dengan

inflammatory bowel disease, dan pada operasi elektif orthopedi.

Pemberiannya dengan dosis 5-300 mg/perfusi dengan dosis maksimum 900

mg/ minggu (=3x300mg). besi ini diencerkan dalam 1 ml NaCl 0,9% per mg

besi dan diberikan secara infuse 15-45 menit. Produk ini sangat aman, dan

reaksi alergi kurang dari 1/100.000 infus.

Ferric gluconate merupakan besi intravena yang lain yang digunakan untuk

pasien-pasien hemodialisa, anemia akibat kanker, dan pasien anemia yang

dirawat di ICU. Karena stabilitas molekulnya, hanya membutuhkan sedikit

yang diinfuskan tanpa risiko efek yang serius

Ferric carboxymaltose, merupakan besi intravena yang paling banyak beredar

di Eropa. Percobaan klinis pada gagal ginjal kronis, pengobatan anemia

postpartum dan inflammatory bowel disease memperlihatkan keberhasilan

dan keamanannya. Yang paling penting pada pemberian preparat ini adalah

dapat diberikan sampai 1000 mg besi, dengan hampir tidak ada risiko efek

samping dengan waktu pemberian yang singkat (15 menit).

Ferumoxytol merupakan besi oksida nanopartikel yang dilapisi polyglucose

sorbitol carboxymethylether untuk meminimalkan sensitivitas imun sehingga

dapat diberikan dosis tinggi. Percobaan menunjukkan keberhasilan dari obat

baru ini untuk anemia dengan gagal ginjal kronis.

IX. PENCEGAHAN

Center for Disease Control and Prevention merekomendasikan untuk

melakukan skrining anemia terhadap wanita 4-6 minggu postpartum, dengan

perdarahan yang banyak sewaktu melahirkan, dan pada kelahiran kembar.(6)

11

Page 12: Anemia Postpartum

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen besi pada masa

kehamilan memberikan hasil kadar hemoglobin ibu lebih tinggi sampai 2 bulan

postpartum dan konsentrasi serum feritin lebih tinggi sampai 6 bulan postpartum.

Level feritin memberikan gambaran jumlah cadangan besi dalam tubuh.(1)

Selama kehamilan, absorbsi besi lebih efisien. Hal ini menguntungkan bagi

wanita hamil yang membutuhkan peningkatan kadar zat besi dalam tubuh. Mengingat

kebutuhan kalori tidak meningkat sebanyak itu (hanya membutuhkan 300 tambahan

kalori), untuk mendapatkan kebutuhan zat besi diperlukan tambahan sebesar 3000

kalori sehari. Hal ini kemudian menyebabkan suplemen besi lebih banyak dipilih.

Besi bukan hanya satu-satunya yang mampu mempertahankan kadar hemoglobin.

Banyak dari perempuan yang mengalami anemia tidak responsif hanya dengan

pemberian preparat besi saja. Asam folat, B12 dan protein semuanya mempunyai

peran pada struktur hemoglobin. Vitamin A dan C juga memberikan kontribusi dalam

absorbsi besi.(1)

Prinsip pencegahan terjadinya anemia postpartum adalah perdarahan selama

persalinan harus diminimalkan dengan penatalaksanaan aktif pada kala tiga. Wanita

dengan risiko tinggi mengalami perdarahan harus dianjurkan untuk melahirkan di

rumah sakit. Kontrol yang ketat terhadap wanita yang berobat dengan antikoagulan

seperti low-molecular-weight-heparin (LMWH) akan meminimalisir kehilangan

banyak darah.(11)

Berdasarkan fakta yang didukung dengan berbagai hasil penelitian,

menejemen aktif kala tiga merupakan suatu metode yang terbukti untuk menurunkan

jumlah kehilangan darah postpartum. Hb sebelum persalinan harus dioptimalkan

untuk mencegah terjadinya anemia. (11)

12

Page 13: Anemia Postpartum

DAFTAR PUSTAKA

1. Caughlan S. Post-Partum Anemia: Can Prenatal Supplements Prevent It? 2009

[cited 16th November 2010]; Available from:

http://www.motherandchildhealth.com/Prenatal/prenatal.htm.

2. Huch A, Eichhorn K-H, Danko J, Lauener P-A, Huch R. Recombinant Human

Erythropoietin in The Treatment of Postpartum Anemia. Obstetrics &

Gynecologic. 1992;80:127-31.

3. Ganong WF. Reviw Of Medical Physiology 21th ed. California: Lange Medical

Books/McGraw-Hill 2003.

4. Wolf JR, Rosner MA. Postpartum Anemia. Obstetrics & Gynocology.

1953;1:387-93.

5. B D, Wyck V, G M. Intravenous Ferric Carboxymaltose Compared With Oral

Iron in the Treatment of Postpartum Anemia A Randomized Controlled Trial.

OBSTETRICS & GYNECOLOGY. 2007;110:267-78.

6. Bornard LM, et a. Who Should Be Screened for Postpartum Anemia? An

Evaluation of Current Recommendations. American Journal of Epidemiology.

2002;156:903-12.

7. Seid, Derman. Research Revews : Treating Postpartum Anemia with Intravenous

Ferric Carboxymaltose. National Anemia Action Council; 2008 [cited

16thNovember 2010]; Available from: http://www.anemia.org/.

8. Bodnar LM, Cogswell ME, McDonald T. Have we forgotten the significance of

postpartum iron deficiency? American Journal of Obstetric and Gynecology.

2005;193:36-44.

9. Lew I. Women & Anemia: Childbirth and Postpartum Anemia. NACC (National

Anemia Action Council); 2008 [cited 16th November 2010].

10. Breymann C. The Use of Iron Sucrose Complex for Anemia in Pregnancy and the

Postpartum Period. seminhematol. 2006:28-31.

13

Page 14: Anemia Postpartum

11. Rege K, Bamber J. Blood Transfusion In Obstetrics. Green-top Guideline.

2008;47:1-10.

12. Kaplinsky C. Parenteral Iron Therapy. IMAJ. 2008;10:372-3.

13. Bachnas MA, Siswishanto R, Alkaff Z. Perbandingan Peningkatan Kadar

Hemoglobin Antara Pemberian Besi Sukrosa Intravena Dengan Besi Oral

Pada Anemia Post Partum Bagian Obstetri dan Ginekologi Yogyakarta

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2009.

14. Brugnara C, Beris P. Iron therapy. The Handbook 2009 Edition; 2009; Available

from: http://www.esh.org/iron-handbook2009.htm.

14