Post on 12-Apr-2018
JURNAL
CYBERBULLYING DAN MOTIF REMAJA DALAM
MELAKUKANNYA
(Studi Deskriptif tentang Perilaku Cyberbullying dan Motif Remaja dalam
Melakukannya di Jejaring Sosial Instagram)
Disusun Oleh :
ANANDA PUTRI OCTAVIANI
D0211004
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
1
CYBERBULLYING DAN MOTIF REMAJA DALAM MELAKUKANNYA
(Studi Deskriptif tentang Perilaku Cyberbullying dan Motif Remaja dalam
Melakukannya di Jejaring Sosial Instagram)
Ananda Putri Octaviani
Chatarina Heny Dwi Surwati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractNetizen (internet users) especially teenagers, mostly considered Instagram
as their favorite social networking media. Instagram is a social networking platform that easy to access, so that the users could easily share a post, interact with other users in the comment section, until doing an online act of harassment or better known as cyberbullying. This online act of harassment including negative comments; such as mockery or harsh words, sarcasm in the photo caption, up to fake accounts that posts photos and videos which potentially ruin other people’s reputation. The rise of cyberbullying phenomenon make researcher interested to study the forms of cyberbullying behavior done by teenagers on Instagram and the motive of it.
This research analyzed using descriptive qualitative method. The informant of this research are teenagers who use Instagram and known as a cyber bully viewed by the content they’ve shared. Informant obtained from purposive sampling and snowball sampling technique. Content analysis and in depht interview used for the data collection technique.
This research begin with analyzing the content that teenagers share on Instagram. It represent how they interact through Instagram. Then, researcher also captures informant’s Instagram post (pictures and/or text) that represent their cyberbullying behavior and make a categorization. After that, researcher do the cross check with the interview outputs. Researcher also find out what motives that drives the informants to do cyberbullying acts through Instagram.
The result of this research shows that the forms of cyberbullying behavior done by teenagers are negative name calling, writing abusive words, threatened the victim, ignored/ excluded, slammed opinion, sarcasm in the photo caption, and make fake accounts which potentially ruin other people’s reputation. Then, teenagers motive in doing cyberbullying acts was for fun sake, carried by real life interaction, in need for peer approval, showing pique, humiliating others, want to interact, respond to prior bullying, showing hate, want the target to realize his/her mistake, dropping target’s self-esteem, and showing their feelings.Keyword : Instagram, cyberbullying, motive
2
Pendahuluan
Pada era modern seperti sekarang, teknologi informasi dan komunikasi
rasanya tumbuh dengan sangat pesat. Hal ini dapat kita lihat pada berkembangnya
produk teknologi baru yang terus muncul dengan kecanggihannya yang juga terus
diperbarui. Salah satu produk dalam perkembangan teknologi infomasi dan
komunikasi ini adalah perangkat elektronik portabel, seperti notebook, netbook,
smartphone, tablet PC dan Ipad yang sudah didukung dengan Sistem Operasi
Android dan iOS. Perangkat elektronik portabel ini biasanya identik dengan harus
adanya koneksi internet. Dengan terus mewabahnya tren penggunaan perangkat
elektronik portabel, maka pengguna internet tentunya akan semakin bertambah.
Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), hingga akhir 2014 terdapat 88,1 juta pengguna internet
di Indonesia. Berdasarkan usia, mayoritas pengguna internet di Indonesia adalah
berusia 18-25 tahun dengan jumlah presentase mencapai 49%. APJII juga
melakukan survei terkait perilaku pengguna dalam mengakses konten, dimana
jejaring sosial memiliki presentase paling banyak, yaitu mencapai 87,4%.1
Merambahnya penggunaan jejaring sosial saat ini telah mengubah cara
seseorang dalam berperilaku. Intensitas komunikasi tatap muka sudah mulai
berkurang, digantikan oleh komunikasi secara online. Dengan tidak bertatap
muka, jejaring sosial juga lebih memudahkan kita dalam mengungkapkan
perasaan secara lebih terbuka.
Sayangnya, sifat terbuka yang dimiliki jejaring sosial ini justru sering
disalahgunakan oleh beberapa penggunanya. Perasaan kesal dan amarah tidak
jarang ditumpahkan oleh beberapa pengguna jejaring sosial di akun mereka.
Bahkan tidak jarang kata-kata yang digunakan adalah kata kasar dan tidak pantas
untuk diucapkan. Terlebih lagi, pengguna internet terbanyak di Indonesia adalah
mereka yang masih tergolong usia remaja dimana usia tersebut merupakan masa
puncak emosional.
1 Emanuel Kure, “Mayoritas Netizen di Indonesia Berusia 18-25 Tahun,” http://beritasatu.com/digital-life/261297-mayoritas-netizen-di-indonesia-berusia-1825-tahun.html (akses 22 September 2015)
3
Berdasarkan artikel Ciricara.com disebutkan bahwa tindakan bullying di
Indonesia cenderung lebih banyak dilakukan di media sosial.2 Bahkan pada tahun
2006, Badan Pusat Statistik mencatat angka cyberbullying yang terjadi di
Indonesia mencapai angka 25 juta kasus di mulai dari kasus dengan skala ringan
hingga skala berat. Hasil penelitian memasukkan kategori seseorang disebut
korban cyberbullying adalah apabila korban dihina, diabaikan, atau digosipkan di
dunia maya.3
Instagram sebagai salah satu jejaring sosial yang cukup populer di
kalangan masyarakat juga tidak lepas dari adanya kasus cyberbullying. Pada
Instagram, pengguna mengunggah foto yang ingin ia tampilkan di akunnya,
kemudian siapapun dapat melihat foto tersebut, memberi tanda ‘love’ apabila
menyukai foto tersebut, hingga meninggalkan komentar di foto pengguna lain
tanpa perlu meminta ijin dari pengguna yang bersangkutan. Dengan kebebasan
yang diberikan Instagram ini, tak jarang ditemukan komentar berisi kata-kata
kasar, ejekan, makian, ataupun kata-kata yang mengintimidasi.
Tak hanya itu, kemudahan yang diberikan Instagram dalam membuat akun
juga menjadikan banyak orang membuat akun palsu. Akun palsu yang dibuat
bahkan banyak yang berupa akun untuk menyebarkan foto, video serta berbagai
informasi lainnya yang mampu merusak reputasi seseorang.
Melihat dari makin banyaknya kasus cyberbullying di Instagram ini
menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti apa saja bentuk perilaku cyberbullying
yang dilakukan oleh remaja dan apa saja motif remaja dalam melakukannya.
Rumusan Masalah
Peneliti merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk perilaku cyberbullying di Instagram yang dilakukan oleh
remaja?
2 Ms. Terius, “Indonesia Masuk Daftar Negara dengan Kasus Bullying Tertinggi,” http://ciricara.com/2012/10/19/indonesia-masuk-daftar-negara-dengan-kasus-bullying-tertinggi/ (akses 23 Februari 2016).
3 Dina Satalina, “Kecenderungan Perilaku Cyberbullying Ditinjau Dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert,” Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, Vol. 02, No. 02 (Januari 2014), hal. 294-310.
4
2. Apa saja motif remaja dalam melakukan cyberbullying di Instagram?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan dan menganalisa bentuk perilaku cyberbullying di
Instagram yang dilakukan oleh remaja
2. Mendeskripsikan dan menganalisa motif remaja dalam melakukan
cyberbullying di Instagram
Landasan Teori
1. Komunikasi
Komunikasi bersumber dari kata communis yang berarti sama.4
Komunikasi terjadi bila ada pertukaran pesan atau informasi antara pengirim
dan penerima pesan sehingga diharapkan penerima pesan mengerti isi pesan
yang disampaikan kepadanya dan memberikan respon, maka proses
komunikasi dapat dikatakan berlangsung.5
Harold Lasswell dalam The Structure and Function of Communication
in Society menerangkan bahwa cara yang tepat untuk memahami komunikasi
adalah dengan menjawab pertanyaan “Who, Says What, In Which Channel, To
Whom, With What Effect?” Rumusan pertanyaan ini mengandung lima unsur
komunikasi, yaitu:6
1. Siapa yang mengatakan? (komunikator, pengirim, atau sumber)
2. Apa yang disampaikan? (pesan, ide, gagasan)
3. Dengan saluran mana? (media atau sarana)
4. Kepada siapa? (komunikan atau penerima)
5. Apa dampaknya? (efek atau hasil komunikasi)
4 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 9.
5 Siti Amanah, Komunikasi, Perubahan Sosial dan Dehumanisasi (Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005), hal. 45.
6 Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 26.
5
Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah
proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media
yang menimbulkan efek tertentu.
2. Komunikasi Massa
Secara sederhana, Bittner merumuskan Komunikasi massa sebagai pesan
yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.7
Komunikasi massa ini diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan
kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media
cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak
dan sesaat.8
Komunikasi massa ini cukup berbeda dengan jenis komunikasi lainnya.
Disini, media menjadi hal yang penting dalam proses penyampaian pesan. Untuk
lebih jelas, berikut unsur-unsur penting dalam komunikasi massa:9
1. Komunikator, merupakan pihak yang menggunakan media massa dengan
teknologi informasi modern sehingga dalam menyebarkan suatu informasi
dapat ditangkap dengan cepat oleh publik.
2. Media Massa, merupakan media komunikasi dan informasi yang melakukan
penyebaran secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal.
3. Informasi Massa, merupakan informasi yang diperuntukan kepada
masyarakat secara massal.
4. Gatekeeper, merupakan penyeleksi informasi.
5. Khalayak, merupakan massa yang menerima informasi yang disebarkan oleh
media massa.
6. Umpan Balik, umumnya bersifat tertunda. Tetapi, konsep ini telah dikoreksi
karena semakin majunya teknologi.
3. Media Baru (New Media)
7 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 185-186.
8 Ibid., hal. 1879 Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin, S.Sos. M.Si, Op. Cit., hal. xxxx
6
Potter dalam Alkhajar mengungkapkan bahwa kita hidup di dua dunia;
dunia nyata dan dunia media.10 Media adalah sarana untuk memproduksi,
mereproduksi, mendistribusikan atau menyebarkan dan menyampaikan informasi.
Contohnya koran, majalah, radio, televisi, film, hingga media baru yang
merupakan digital media atau sering disebut dengan internet.
New media telah merubah banyak bentuk komunikasi yang dilakukan
manusia selama ini. Tidak hanya itu, bentuk interaksi baru dari masyarakat juga
muncul seiring dengan berkembangnya new media di tengah-tengah masyarakat.11
New Media juga telah merombak konsep audien lama yang awalnya merupakan
pengguna pasif dari media menjadi pengguna aktif. Keaktifan tersebut
ditunjukkan dengan penggunaan media oleh audien dimana media digunakan
untuk menyampaikan pesan yang telah mereka produksi, edit, dan unggah sendiri.
Mengutip Kurnia, Dennis Mc Quail dalam bukunya yang berjudul Mc
Quail’s Communication Theory (4th edition) membagi media baru kedalam empat
kategori, yaitu (1) media komunikasi interpersonal yang terdiri dari telpon,
handphone, dan e-mail; (2) media bermain interaktif seperti komputer,
videogame, dan permainan dalam internet; (3) media pencarian informasi yang
berupa portal/ search engine; (4) media partisipasi kolektif seperti penggunaan
internet untuk berbagi dan pertukaran informasi, pendapat, pengalaman dan
menjalin melalui komputer dimana penggunaannya tidak semata-mata untuk alat
namun juga dapat menimbulkan afeksi dan emosional.12
Internet adalah sesuatu yang tidak memiliki ruang dan waktu atau dapat
dikatakan sebagai “dunia tanpa batas” sehingga yang dapat membatasinya
sesungguhnya hanyalah sebuah nilai; apakah kita akan menggunakan secara arif
atau sebaliknya.13
4. Media Sosial
10 Eka Nada Shofa Alkhajar, “Televisi, Hiperealitas Remaja dan Medialiteracy,” dalam Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com (ed.), Anomi Media Massa (Cet. I; Surakarta: KATTA dan Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS, 2009), hal. 21-22.
11 Eka Nada Shofa Alkhajar, Op. Cit., hal. 25-26.12 Novi Kurnia, Loc. Cit.13 Yunus Ahmad Syaibani, Op. Cit., hal.14-15.
7
Media sosial merupakan sebuah media online dimana para penggunanya
dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi informasi; menciptakan content/isi
yang ingin disampaikan kepada orang lain; serta memberi komentar terhadap
masukan yang diterimanya dan seterusnya.14
Sesuai dengan namanya, media sosial berfungsi untuk mendukung
interaksi sosial penggunanya. Dalam konteks ini, media sosial bisa digunakan
untuk mempertahankan/mengembangkan relasi atau interaksi sosial yang sudah
ada dan bisa digunakan untuk mendapatkan teman-teman baru.
Media sosial memiliki karakteristik interaksi yang berbeda dengan
interaksi media lain, yaitu:15
1. Karakteristik ruang dan waktu. Dalam media sosial, interaksi yang
dihadirkan merupakan interaksi termediasi dan termediasi semu. Interaksi
ini memiliki pembedaan konteks dan bisa dilakukan pada ruang waktu yang
lebih luas.
2. Ragam isyarat simbolis. Pada media konvensional, isyarat simbolis yang
dipertukarkan dalam interaksi tatap muka banyak yang tidak tertangkap.
Namun dengan kemunculan media sosial, simbol-simbol verbal yang
terkadang sulit dimengerti bisa tergantikan.
3. Sasaran komunikasi. Media sosial memberikan kemudahan bagi
penggunanya untuk mengontrol sasaran komunikasinya melalui settingan
privacy. Pengguna dapat memilih siapa saja yang bisa melihat informasi
tertentu dalam profilnya, siapa saja yang bisa mengomentari statusnya,
bahkan siapa saja yang boleh melihat unggahannya.
4. Dialogis/monologis. Media sosial didesain untuk memudahkan interaksi
sosial bersifat interaktif yang mampu melakukan pola penyebaran informasi
baik berupa monologis (dari satu ke banyak audiens) maupun dialogis (dari
banyak audiens ke banyak audiens).
14 Prahastiwi Utari, “Media Sosial, New Media dan Gender Dalam Pusaran Teori Komunikasi,” dalam Fajar Junaedi (ed.), Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi. (Yogyakarta: Aspikom, 2011), hal. 49.
15 Ezmieralda Melissa dan Anis Hamidati, “Teknologi Media Baru dan Interaksi Sosial Antar Manusia,” dalam Fajar Junaedi (ed.), Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi. (Yogyakarta: Aspikom, 2011) hal. 146 – 512.
8
C. Jejaring Sosial
Edwi Arief Sosiawan dalam jurnalnya mengutarakan arti situs jejaring
sosial sebagai sebuah web berbasis pelayanan yang memungkinkan penggunanya
untuk dapat membuat profil, melihat list pengguna lain, serta mengundang
maupun menerima teman untuk bergabung di dalam situs tersebut.16
Secara garis besar, media sosial dan jejaring sosial sebenarnya mengacu
pada sistem yang sama yaitu media untuk terkoneksi dengan banyak orang tanpa
terhalang waktu dan tempat/ jarak dan berfungsi untuk berkomunikasi, berbagi
sesuatu dan mengungkapkan pendapat secara online. Namun sebenarnya,
keduanya memiliki arti yang berbeda. Yang menjadi pembeda terletak pada
medianya. Media sosial adalah suatu media interaksi online yang meliputi blog,
forum, aplikasi chating, hingga jejaring sosial. Sedangkan jejaring sosial lebih
mengacu pada situs atau website yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya
banyak orang tanpa pembatasan dan memiliki jalur ikatan seperti keluarga, teman,
rekan bisnis dan lain sebagainya.17 Secara lebih sederhana, jejaring sosial
dimaksudkan untuk membangun hubungan dan berkomunikasi dengan pengguna
lain, sedangkan media sosial merupakan wadah untuk menampung sebuah konten
(foto, video, podcast, slideshow, dan lain sebagainya).18
D. Instagram
Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan
penggunanya untuk mengambil foto, memberikan filter digital, serta membagi
foto tersebut ke berbagai layanan media sosial, termasuk Instagram itu sendiri.19
16 Edwi Arief Sosiawan, “Penggunaan Situs Jejaring Sosial sebagai Media Interaksi dan Komunikasi di Kalangan Mahasiswa,” Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 9, No. 1, (Januari – April, 2011), hal. 60–75.
17 Dwi Andi Susanto, “Perbedaan Sosial Media dan Jejaring Sosial,” www.merdeka.com/teknologi/perbedaan-sosial-media-dan-jejaring-sosial.html (akses 2 Maret 2017).
18 Yuriantin, “Apa Bedanya Media Sosial Dengan Jejaring Sosial?,” http://aura.tabloidbintang.com/articles/tekno/40520-apa-bedanya-media-sosial-dengan-jejaring-sosial (akses 30 Mei 2017)
19 Eryta Ayu Putri S., Op. Cit.
9
Selain itu, Instagram juga memungkinkan penggunanya untuk berbagi video
pendek.
Instagram merupakan contoh dari media sosial dan juga jejaring sosial.
Dikatakan media sosial karena pengguna Instagram dapat membagikan konten
berupa foto dan video, dan dikatakan jejaring sosial karena pengguna dapat saling
berinteraksi dengan cara berbagi komentar, saling mengirim pesan, dan lain
sebagainya.
Pada Instagram, pengguna mengunggah foto yang ingin ia tampilkan di
akunnya, kemudian siapapun dapat melihat foto tersebut, memberi tanda ‘love’
apabila menyukai foto tersebut, ataupun meninggalkan komentar di foto pengguna
lain tanpa perlu meminta ijin dari pengguna yang bersangkutan.
E. Cyberbullying
Cyberbullying terdiri atas kata cyber dan bullying. Bullying sendiri atau
yang dalam bahasa indonesia disebut penindasan, merupakan perilaku agresif dan
negatif yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara berulang
kali dengan tujuan untuk menyakiti korban baik secara fisik maupun psikis.20
Dengan semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi, perilaku bullying
sekarang juga terjadi di dunia internet atau cyber, yaitu dengan menggunakan
sarana komunikasi Teknologi Informasi.21
Burgess-Proctor, Hinduja, dan Patchin dalam Rastati, mendefinisikan
cyberbullying sebagai perbuatan merugikan yang dilakukan secara sengaja dan
berulang-ulang melalui komputer, telepon genggam, dan pe-rangkat elektronik
lainnya yang mana dilakukan dengan cara mengirimkan pesan berupa ancaman
atau yang mempermalukan seseorang melalui pesan teks, surel atau email,
menulis komentar menghina seseorang di website atau media sosial, mengancam
atau mengintimidasi seseorang melalui berbagai bentuk daring atau dalam
jaringan, serta menyebarkan rumor tentang seseorang, mengintai, atau
mengancam orang lain melalui komunikasi elektronik. 22
20 Sukma Ari Ragil Putri, Loc. Cit.21 Flourensia Sapty Rahayu, Loc. Cit.22 Ranny Rastati, “Bentuk Perundungan Siber di Media Sosial dan Pencegahannya Bagi
Korban dan Pelaku (Forms Of Cyberbullying in Social Media and Its Prevention For Victims and Perpetrators),” Jurnal Sosioteknologi, Vol. 15, No. 2, (Agustus 2016), hal. 169-186.
10
Tindakan cyberbullying lebih mudah dilakukan dibandingkan kekerasan
secara fisik (traditional bullying). Hal ini dikarenakan identitas pelaku bisa saja
tidak diketahui oleh korban. Pelaku tidak perlu bertatap muka bahkan bisa saja
pelaku sebenarnya tidak mengenal korban. Siapa saja yang memiliki akses
internet bisa menjadi pelaku ataupun korban dari cyberbullying.
Dalam penelitiannya, Price dan Dalgleish (2010) seperti yang dituliskan
oleh Agrippina, menjelaskan bentuk cyberbullying yang banyak terjadi, yaitu: (1)
Called name (pemberian nama negatif); (2) abusive comments (komentar kasar);
(3) rumour spread (menyebarkan rumor atau desas desus); (4) threatened physical
harm (mengancam keselamatan fisik); (5) ignored atau exclude (pengabaian atau
pengucilan); (6) opinion slammed (pendapat yang merendahkan); (7) online
impersonation (peniruan secara online); (8) sent upsetting image (mengirim
gambar yang mengganggu); dan (9) Image of victim spread (penyebaran foto
korban).23
F. Motif
Motif berasal dari bahasa latin yaitu movore yang artinya bergerak. Secara
lebih jelas, motif diartikan sebagai suatu penggerak, alasan, atau dorongan dalam
diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu.24
Motif timbul karena adanya kebutuhan/need. Kebutuhan (need) dapat
dipandang sebagai kekurangan adanya sesuatu, dan ini menuntut segera
pemenuhannya, untuk segera mendapatkan keseimbangan. Situasi kekurangan ini
berfungsi sebagai suatu kekuatan atau dorongan alasan, yang menyebabkan
seseorang bertindak untuk memenuhi kebutuhan.
Apabila merujuk pada faktor personal yang mempengaruhi perilaku
manusia. Ada dua motif yang menjadi pembahasan. Motif tersebut adalah motif
biologis (motif manusia sebagai makhluk biologis) dan motif sosiogenis (motif
manusia sebagai makhluk sosial). 25 Motif sosiogenis berasal dari lingkungan 23 Yunika Ayu Agrippina, “Hubungan Kematangan Emosi dan Kecenderungan Perilaku
Cyberbullying pada Dewasa Awal,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2016), hal. 4.
24 Rahayu Ginintasasi, “Motif Sosial,” http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032-RAHAYU_GININTASASI/MOTIF_SOSIAL.pdf (akses 23 Maret 2016)
25 Jalaluddin Rakhmat, Op., Cit., hal. 36-39.
11
kebudayaan tempat orang tersebut berada dan berkembang. Motif sosiogenis
dapat timbul sebagai akibat dari interaksi dengan orang lain maupun hasil dari
kebudayaan, dapat juga dikatakan bahwa motif ini bergantung pada lingkungan.
Secara singkat, motif sosiogenis dapat dijelaskan sebagai berikut:
Motif ingin tahu: mengerti, menata, dan menduga (predictability). Setiap
orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya.
Motif kompetensi: setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mampu
mengatasi persoalan kehidupan apapun.
Motif cinta: sanggup mencintai dan dicintai adalah hal esensial bagi
pertumbuhan kepribadian.
Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas: erat kaitannya
dengan kebutuhan untuk memperlihatkan kemampuan dan memperoleh
kasih sayang, yang mana merupakan kebutuhan untuk menunjukkan
eksistensi di dunia.
Kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan. Termasuk ke
dalam motif ini ialah motif keagamaan.
Kebutuhan pemenuhan diri. Kebutuhan akan pemenuhan diri dilakukan
dalam berbagai bentuk: Mengembangkan dan menggunakan potensi kita
dengan cara yang kreatif konstruktif, misalnya dengan seni, musik, sains,
atau hal-hal yang mendorong ungkapan diri yang kreatif.
G. Remaja
Istilah remaja atau dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari
bahasa Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh untuk mencapai
kematangan”.26 Secara lebih luas, kematangan disini mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja dapat dikatakan sebagai masa
penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.27
Konopka (Pikunas, 1976) dalam Yusuf menuturkan rentang usia masa
remaja berada antara usia 12-22 tahun dan membaginya kedalam tiga bagian,
26 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), hal. 9.
27 Kartini Kartono, Op. Cit.
12
yaitu: (a) remaja awal: 12-15 tahun; (b) remaja madya: 15-18 tahun; dan (c)
remaja akhir:19-22 tahun.28
Pada masa remaja, terjadi beberapa perkembangan dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Perkembangan tersebut berupa perkembangan fisik,
perkembangan kognitif (Intelektual), perkembangan emosi, perkembangan sosial,
perkembangan moral, perkembangan kepribadian, serta perkembangan kesadaran
beragama.29
Metodologi
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk deskriptif
kualitatif. Dengan metode penarikan subyek penelitian berupa purposive sampling
disertakan dengan snowball sampling. Subyek dalam penelitian ini adalah remaja
pengguna jejaring sosial Instagram yang merupakan pelaku tindakan
cyberbullying dilihat dari isi pesan yang dibagikan.
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah
analisis isi (content analysis) dan wawancara mendalam. Pada proses analisis isi,
yang diteliti adalah komentar yang dibagikan di Instagram oleh subjek penelitian,
caption yang menyertai unggahan, serta foto dan video yang diunggah oleh
subjek. Kemudian peneliti melakukan wawancara mendalam, dimana peneliti
ingin mengetahui hal-hal dari responden terkait interaksi mereka di instagram
secara lebih mendalam serta untuk melakukan cross check atas temuan saat proses
analisis isi. Peneliti juga mencari tahu apa saja motif yang melatarbelakangi
informan dalam melakukan cyberbullying di jejaring sosial Instagram.
Sajian dan Analisis Data
A. Bentuk Interaksi Remaja di Instagram
28 Dr. H. Syamsu Yusuf LN., M.Pd., Op. Cit.29 Ibid., hal. 193-209.
13
Instagram merupakan sebuah aplikasi berbagi foto dan video dimana
penggunanya dapat mengambil foto, memberikan filter digital, serta membagi
foto tersebut ke berbagai layanan media sosial, termasuk Instagram itu sendiri.
Adanya Instagram memungkinkan penggunanya untuk dapat berbagi cerita
mengenai apa yang kita lakukan melalui foto sebagai mediumnya.
Melihat pada beberapa pendapat informan dalam penelitian ini, dapat
dijadikan dasar bagaimana remaja menggunakan Instagram. Yaitu sebagai tempat
untuk berbagi foto dan video yang berupa kegiatan sehari-hari dimana kegiatan
tersebut dapat memberikan kesan tertentu bagi mereka yang membagikannya.
Merujuk pada namanya, Instagram berasal dari pengertian dari
keseluruhan fungsinya. Kata insta berasal dari kata instan sedangkan kata gram
berasal dari kata telegram. Hal ini dimaksudkan bahwa Instagram dapat
menampilkan foto secara instan dan informasi yang ingin disampaikan dapat
diterima dengan cepat seperti telegram.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh informan, kemudahan dalam
penggunaan Instagram menjadikan jejaring sosial ini sebagai salah satu new
media yang digemari oleh remaja. Selain itu, tujuan informan menggunakan
Instagram adalah karena ingin mengikuti tren yang ada, agar sama seperti orang
lain disekitar mereka, serta untuk menambah pertemanan. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa remaja menggunakan Instagram sebagai wadah
menunjukkan eksistensi diri mereka agar diakui oleh lingkungan sekitarnya.
Dikatakan demikian karena informan disini menggunakan Instagram untuk
mengikuti lingkungannya agar dapat menjadi bagian dari mayoritas.
Bentuk pengakuan diri di Instagram juga dapat dilihat dari seberapa
banyak like pada unggahan dan seberapa banyak pengikut (followers) yang
dimiliki. Jumlah like dan followers menjadi sesuatu yang penting apabila kita
membicarakan eksistensi diri di Instagram.
Lima dari delapan informan pada penelitian mengakui bahwa jumlah like
dan followers merupakan hal yang penting. Bagi mereka, dengan banyak yang
mengikuti dan menyukai unggahan mereka, maka mereka merasa bahwa mereka
diakui oleh lingkungan mereka. Mereka merasa diapresiasi dan mereka diakui.
14
Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa banyaknya followers dan like
menandakan bahwa mereka eksis/populer.
Dalam menggunakan Instagram, kesemua informan menyatakan bahwa
orang yang mereka follow (ikuti) adalah teman-teman mereka di dunia nyata,
namun ada beberapa juga yang mengikuti akun official, artis atau public figure,
online shop, serta orang-orang yang saling mengikuti karena meminta untuk
diikuti kembali. Tujuannya adalah mereka ingin mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan orang yang mereka ikuti.
Dalam berinteraksi di Instagram biasa dilakukan dengan saling
memberikan love pada unggahan, saling bertukar komentar, atau juga dapat
melalui direct message. Empat informan pada penelitian menyebutkan bahwa
interaksi yang biasa mereka lakukan adalah melemparkan candaan yang berisi
hinaan dan ejekan kepada komunikannya yang mana hal tersebut termasuk
kedalam perilaku cyberbullying.
Cyberbullying terdiri dari kata cyber dan bullying, yang berarti adalah
perilaku bullying di dunia cyber, dimana bullying memiliki arti penindasan, yaitu
perilaku agresif dan negatif dengan tujuan untuk menyakiti seseorang.
Apabila merujuk pada jawaban seluruh informan, dapat dikatakan bahwa
mereka cukup paham arti dari bullying maupun cyberbullying. Selain itu, mereka
juga cukup paham dampak dari perilaku cyberbullying. Cyberbullying dikatakan
berbahaya karena seperti yang kita ketahui bahwa internet dapat diakses oleh
siapapun, di manapun dan kapanpun. Selain itu, apapun yang tersimpan di internet
maka selamanya akan tersimpan.
Perilaku cyberbullying ini menjadi semakin berbahaya karena bukan hanya
dapat berpengaruh pada kehidupan kita di dunia nyata ataupun karena akan terus
tersimpan di internet, tapi juga karena identitas pelaku bisa tidak diketahui oleh
korban. Pelaku tidak perlu bertatap muka bahkan bisa saja pelaku sebenarnya
tidak mengenal korban. Siapa saja yang memiliki akses internet bisa menjadi
pelaku ataupun korban dari cyberbullying ini.
15
Namun menariknya, meskipun paham akan arti dan dampak dari
cyberbullying, perilaku ini tetap saja banyak dilakukan. Perilaku ini dianggap
sesuatu yang wajar dan seru.
B. Bentuk-bentuk Perilaku cyberbullying yang Dilakukan
Disa dalam Satalina menuliskan bahwa cyberbullying merupakan
penyalahgunaan dari teknologi dimana seseorang menulis teks ataupun
mengunggah gambar maupun video mengenai orang tertentu dengan tujuan untuk
mempermalukan, menyiksa, mengolok-olok, atau mengancam mereka.30
Pada Instagram, pengguna dapat mengunggah foto dan video yang ingin ia
tampilkan di akunnya. Siapapun dapat melihat foto dan video tersebut, memberi
tanda ‘love’ apabila menyukai foto tersebut, ataupun memberikan komentar di
bawah foto. Seluruh pengguna dapat dengan mudah mengakses bahkan
memberikan ‘love’ serta meninggalkan komentar di foto pengguna lain tanpa
perlu meminta ijin dari pengguna yang bersangkutan.
Selain itu, saat pengguna mengunggah foto dan video, Instagram
memberikan kolom keterangan gambar (caption) dimana pengguna dapat
menuliskan keterangan unggahan. Pengguna dapat menuliskan tulisan apapun
yang diinginkan tanpa adanya filter dari pihak Instagram. Dengan kebebasan
yang diberikan Instagram inilah, tak jarang kita menemukan tulisan yang
berisikan kata-kata kasar, ejekan, makian, ataupun kata-kata yang mengintimidasi,
serta unggahan-unggahan yang dapat merusak reputasi orang lain.
Dalam analisis isi yang peneliti lakukan, peneliti mendapati berbagai
contoh perilaku cyberbullying yang dilakukan oleh informan di jejaring sosial
Instagram. Perilaku cyberbullying ini kemudian peneliti kelompokkan
berdasarkan bentuk-bentuknya. Kemudian untuk lebih mempertegas hasil analisis
isi, peneliti melakukan wawancara dan mencari tau bentuk interaksi dan
mendapatkan penjelasan yang lebih terkait perilaku cyberbullying yang biasa
dilakukan informan, serta alasan mengapa informan melakukan hal tersebut.
30 Dina Satalina, “Kecenderungan Perilaku Cyberbullying Ditinjau Dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert,” Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, Vol. 02, No. 02 (Januari 2014), hal. 294-310.
16
Dalam penelitian, peneliti menemukan bentuk cyberbullying dalam kolom
komentar berupa called name (pemberian nama negatif). Pemberian nama negatif
(called name) yang dilakukan oleh informan terdiri dari pemberian nama hewan
yang dilakukan oleh dua informan, pemberian nama asu/ anjing yang dilakukan
oleh lima informan, pemberian nama babi yang dilakukan oleh seorang informan,
pemberian nama bajing dan bajingan yang dilakukan oleh seorang informan,
pemberian nama bangsat yang dilakukan oleh seorang informan, serta pemberian
nama jablay yang dilakukan oleh seorang informan.
Selain memberi nama negatif kepada korban, salah seorang informan juga
sering kali meninggalkan komentar berupa kata-kata kasar (abusive comments).
Kemudian ada juga temuan komentar yang mengancam keselamatan fisik
(threatened physical harm) yang dilakukan oleh seorang informan, pengucilan
(exclude) seorang informan kepada korban, serta ditemukannya banyak komentar
berupa pendapat yang merendahkan (opinion slammed).
Komentar yang berisi pendapat merendahkan ini antara lain merendahkan
kemampuan/ kecerdasan seseorang yang mana dilakukan oleh empat informan;
merendahkan bentuk fisik berupa wajah yang dilakukan oleh tiga informan,
merendahkan bentuk fisik berupa rambut yang dilakukan oleh seorang informan,
merendahkan bentuk fisik berupa tubuh yang dilakukan oleh tiga informan, dan
merendahkan bentuk fisik berupa penampilan yang dilakukan oleh tiga informan;
merendahkan status sosial seseorang yang dilakukan oleh seorang informan, serta
merendahkan jenis kelamin tertentu yang dilakukan oleh seorang informan.
Selain kolom kometar, peneliti juga menemukan contoh perilaku
cyberbullying lainnya yaitu caption yang berisi sindiran. Fungsi caption
sebenarnya adalah untuk memberikan judul atau keterangan pada unggahan.
Namun, tak sedikit caption yang justru tidak sesuai dengan apa yang ada di foto.
Kebebasan yang diberikan Instagram dalam menuliskan caption menjadikan
pengguna bisa menulis apa saja yang ia inginkan. Bahkan banyak juga yang
menjadikan kolom caption sebagai tempat untuk menyindir, atau menghina orang
lain.
17
Biasanya, caption sindiran tersebut merupakan caption no mention (tidak
menyinggung nama orang yang disindir) sehingga bisa berakibat lebih luas.
Misalnya saja apabila ada orang lain yang merasa disindir padahal sebenarnya dia
bukanlah orang yang dituju oleh orang yang menuliskan sindiran itu. Dalam
penelitian, didapati sedikitnya tiga informan yang diketahui pernah menuliskan
caption berupa kalimat sindiran kepada seseorang.
Kemudian ada pula perilaku cyberbullying berupa membuat akun palsu
yang unggahannya dapat merusak reputasi seseorang. Admin dari akun palsu
tersebut cukup banyak yang mana dua diantaranya adalah informan dalam
penelitian.
Dalam akun tersebut, kita dapat melihat berbagai video tingkah laku
korban yang aneh dan tidak biasa. Misalnya saja video saat korban menyanyi lagu
India dengan sangat ekspresif, atau video dimana ia dikerjai teman-temannya
seolah-olah ia terlihat seperti sedang kesurupan. Selain itu, ada juga foto dengan
caption yang menyebarkan gosip bahwa objek dalam foto adalah pacar korban.
Tak hanya itu, dalam akun tersebut masih banyak lagi unggahan-unggahan yang
sebenarnya tidak pantas untuk disebarkan.
C. Motif Remaja Dalam Melakukan Cyberbullying
Perilaku cyberbullying seolah menjadi sesuatu yang biasa ditemukan di
sosial media, khususnya Instagram. Namun, tentunya dengan melihat saja kita
belum bisa mengetahui alasan sebenarnya mengapa remaja melakukan
cyberbullying. Apakah perilaku tersebut hanya dilakukan sebagai bentuk candaan
saja, atau memang karena ketidaksukaan pelaku terhadap korban. Mengenai
alasan mengapa mereka melakukan cyberbullying disini akan peneliti kaitkan
dengan apa motif informan dalam melakukan cyberbullying.
Dari hasil wawancara, maka ditemukan beberapa alasan remaja dalam
melakukan cyberbullying di jejaring sosial Instagram, yaitu sebagai berikut:
1.) Keinginan informan untuk mencari kesenangan melalui perilaku
cyberbullyingdi Instagram;
2.) Terbawa dengan suasana interaksi tatap muka;
3.) Keinginan untuk dapat diakui oleh lingkungan sekitar;
18
4.) Keinginan untuk menunjukkan dirinya bahwa ia lebih baik dari orang
lain/korban;
5.) Keinginan informan untuk menunjukkan perasaan kesalnya;
6.) Ingin mempermalukan korban;
7.) Cyberbullying dijadikan sebagai bahan obrolan dengan korban;
8.) Keinginan untuk membalas orang yang membully dirinya;
9.) Keinginan informan untuk menunjukkan ketidaksukaannya kepada
orang lain/korban;
10.) Keinginan informan agar korban menyadari kesalahan atas sikapnya;
11.) Keinginan untuk menjatuhkan harga diri korban;
12.) Keinginan untuk menyatakan apa yang informan rasakan tentang si
korban;
Melihat pada motif remaja dalam melakukan cyberbullying di jejaring
sosial Instagram diatas, dapat dikatakan bahwa motif-motif tersebut muncul
sebagai akibat dari hasil interaksi dengan orang lain atau hasil kebudayaan,
dengan kata lain motif ini bergantung pada lingkungan (Motif Sosiogenis menurut
Jalaluddin Rakhmat, 2011: 37). Motif informan dalam melakukan cyberbullying
di jejaring sosial Instagram sejalan dengan motif sosiogenis. Hal ini dijelaskan
seperti berikut:
Motif kompetensi, yaitu terlihat dari keinginan informan untuk
menunjukkan dirinya bahwa ia lebih baik dari orang lain/ korban; keinginan untuk
mempermalukan korban; dan keinginan untuk membalas orang yang membully
dirinya. Pada motif ini remaja mencoba memenuhi kebutuhan akan kemampuan
dirinya. Remaja ingin memperlihatkan kepada lingkungannya bahwa mereka
adalah individu yang tangguh/hebat dengan cara melakukan cyberbullying. Selain
itu, motif ini juga dapat dikatakan sebagai pertahanan diri dimana erat
hubungannya dengan kebutuhan akan rasa aman. Hal ini dapat kita lihat pada
remaja yang melakukan cyberbullying dengan motif untuk membalas orang yang
membully dirinya.
Motif cinta, dimana remaja tentunya ingin merasakan kasih sayang dan
cinta dari setiap orang. Kurangnya rasa kasih sayang dapat menimbulkan remaja
19
menjadi agresif, misalnya dengan melakukan cyberbullying karena perasaan
marah, kesal, atau benci yang dirasakan oleh remaja itu sendiri. Motif informan
dalam melakukan cyberbullying yang sejalan dengan motif cinta terdiri dari
keinginan informan untuk menunjukkan perasaan kesalnya; keinginan untuk
menjadikan cyberbullying sebagai bahan obrolan dengan korban; keinginan untuk
menunjukkan ketidak sukaan informan terhadap orang lain/korban; keinginan
informan agar korban menyadari kesalahan atas sikapnya; dan keinginan untuk
menyatakan perasaan informan tentang korban.
Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas,ini erat
kaitannya dengan kebutuhan untuk memperlihatkan kemampuan dan memperoleh
kasih sayang, yang mana merupakan kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi di
dunia. Motif ini terlihat dari adanya keinginan untuk diakui oleh lingkungan
sekitar; dan keinginan untuk menjatuhkan hargadiri korban. Disini remaja pelaku
cyberbullying ingin menunjukkan kemampuan dan mendapatkan pengakuan dari
lingkungan agar dapat meningkatkan hargadirinya dan menunjukka
neksistensinya. Adanya alasan melakukan cyberbullying karena terbawa oleh
interaksi tatap muka juga masuk ke dalam motif ini. Dikatakan demikian karena
dengan berkata kasar di Instagram– misalnya, remaja merasa bahwa ia sedang
menunjukkan identitas/ siapadirinya yang sesungguhnya
Kebutuhan pemenuhan diri, yaitu berkaitan dengan bagaimana kita
memuaskan diri kita sendiri, misalnya dengan bersenang-senang. Membentuk
hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang lain disekitar kita.
Keinginan untuk mencari kesenangan melalui perilaku cyberbullying di Instagram
sejalan dengan motif jenisini. Remaja mencoba memenuhi kebutuhan dirinya
untuk dapat bersenang-senang, dan bergembira dengan cara saling ledek atau hina
di Instagram. Perilaku cyberbullying ini diharapkan oleh remaja untuk dapat
membentuk suatu hubungan yang hangat dengan korban atau dengan sesame
pelaku cyberbullying.
20
Kesimpulan
Berdasarkan analisa penulis terhadap perilaku cyberbullying yang
dilakukan remaja di Instagram dan motif remaja dalam melakukan cyberbullying
di Instagram, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Para remaja yang menjadi informan dalam penelitian ini menggunakan
instagram untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya. Interaksi yang
dilakukan diakui mengandung cyberbullying. Beberapa informan
menjadikan instagram sebagai wadah untuk mengejek dan menghina
temannya yang mana mereka menganggap bahwa perilaku tersebut hanyalah
berupa candaan. Selain itu meskipun informan cukup paham arti dan
dampak dari cyberbullying, perilaku ini tetap saja banyak dilakukan karena
dianggap seru, lucu, dan juga dianggap sebagai bentuk candaan belaka.
2. Perilaku cyberbullying oleh remaja di jejaring sosial Instagram sering
ditemukan pada kolom komentar dimana remaja biasanya: (a) memanggil
nama korbannya dengan panggilan atau sebutan negatif, (b) menuliskan
komentar berupa kata-kata kasar atau umpatan, (c) mengancam korbannya
melalui pesan cyberbullying, (d) mengucilkan atau mengabaikan korbannya,
dan (e) memberikan opini-opini yang merendahkan korbannya. Selain
kolom komentar, perilaku ini juga bisa ditemukan dikolom judul/ keterangan
unggahan (caption). Pada caption, remaja kerap menuliskan kalimat sindiran
yang ditujukan untuk korbannya. Selain itu, membuat akun palsu yang berisi
unggahan (foto, video, dan informasi lainnya) yang dapat merusak reputasi
seseorang juga termasuk bentuk dari perilaku cyberbullying.
3. Pada penelitian yang dilakukan terkait motif remaja dalam melakukan
cyberbullying menyimpulkan bahwa remaja melakukan cyberbullying
karena: (a) motif ingin mencari kesenangan, (b) terbawa suasana interaksi
tatap muka, (c) ingin diakui oleh lingkungan, (d) ingin menunjukkan diri, (e)
ingin menunjukkan rasa kesal, (f) ingin membuat korban malu, (g) ingin
ngobrol/ berinteraksi, (h) ingin balas membully, (i) ingin menunjukkan
ketidak sukaannya, (j) ingin korban menyadari kesalahannya, (k) ingin
menjatuhkan harga diri korban, serta (l) ingin menyatakan perasaannya.
21
Motif ini sejalan dengan motif sosiogenis, yaitu motif kompetensi, motif
cinta, motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas, serta
kebutuhan pemenuhan diri.
Saran
Melalui penelitian pada remaja Kota Surakarta mengenai motif dalam
melakukan cyberbullying di jejaring sosial Instagram, terdapat saran sebagai
berikut:
1. Bagi para pengguna jejaring sosial khusunya yang berusia remaja,
kemudahan yang dimiliki jejaring sosial khususnya Instagram memang akan
memungkinkan penggunanya untuk memproduksi pesan yang mengandung
cyberbullying. Karenanya peneliti menyarankan para pengguna jejaring
sosial untuk lebih berhati-hati dalam memproduksi pesan, karena pesan
yang kita kira hanya berupa candaan bisa saja merupakan tindakan
cyberbullying dan menyakiti perasaan dari orang yang kita ajak bercanda.
Pengguna jejaring sosial juga harus lebih bijak dalam menggunakan jejaring
sosial, sehingga ketika pengguna merasa kesal, kecewa, marah, dan
sebagainya, pengguna tidak serta merta menyebarkan emosi, menuliskan
hate speach dan meluapkan amarahnya di jejaring sosial.
2. Bagi orang tua yang memiliki anak yang sudah beranjak remaja, penelitian
ini memperlihatkan motif remaja dalam melakukan cyberbullying di jejaring
sosial Instagram. Penting bagi orang tua untuk lebih memperhatikan
anaknya. Dengan perhatian dan kasih sayang yang didapat, diharapkan
remaja tidak terlibat dalam perilaku cyberbullying serta remaja mampu
menyalurkan ekspresi dan emosinya dengan positif, bukan dengan
cyberbullying.
3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini disadari peneliti memiliki beberapa
kekurangan maupun keterbatasan pada penelitian. Untuk penelitian
selanjutnya diharapkan untuk dapat melakukan persiapan yang lebih matang,
terutama dalam mempersiapkan wawancara, agar selanjutnya dapat
dilakukan penyempurnaan dari sisi in-depth interview.
22
Daftar Pustaka
Agrippina, Yunika Ayu. “Hubungan Kematangan Emosi dan Kecenderungan Perilaku Cyberbullying pada Dewasa Awal.” Skripsi Sarjana, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2016.
Ali, Mohammad., Mohammad Asrori. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
Alkhajar, Eka Nada Shofa. “Televisi, Hiperealitas Remaja dan Medialiteracy,” Anomi Media Massa, ed. Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com. Cet. I; Surakarta: KATTA dan Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS, 2009.
Amanah, Siti. Komunikasi, Perubahan Sosial dan Dehumanisasi. Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005.
Anonim. “Stop School Bullying Wujudkan School Well-Being.” http://situsbk.blogspot.com/2012/04/stop-school-bulying-wujudkan-school.html. (akses 23 Februari 2016).
Arifin, Anwar. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Bungin, S.Sos. M.Si., Prof. Dr. H.M. Burhan. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Cet.III. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990.
Ginintasasi, Rahayu. “Motif Sosial,” http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032-RAHAYU_GININTASASI/MOTIF_SOSIAL.pdf (akses 23 Maret 2016).
Kartono, Kartini. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: CV Mandar Maju, 1995.
Kure, Emanuel. “Mayoritas Netizen di Indonesia Berusia 18-25 Tahun.” http://beritasatu.com/digital-life/261297-mayoritas-netizen-di-indonesia-berusia-1825-tahun.html (akses 22 September 2015).
Kurnia, Novi. “Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Media Baru: Implikasi terhadap Teori Komunikasi,” MEDIATOR, Vol. 6, No. 2 (Desember, 2005), hal. 291-296.
Melissa, Ezmieralda., Anis Hamidati. “Teknologi Media Baru dan Interaksi Sosial Antar Manusia,” Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi, ed. Fajar Junaedi. Yogyakarta: Aspikom, 2011.
Putri, Sukma Ari Ragil. “Minoritisasi LGBT di Indonesia: Cyber Bullying pada Akun Instagram @denarachman.” JURNAL INTERAKSI, Vol. 4 No. 1 (Januari, 2015), hal. 73-81.
Rahayu, Flourensia Sapty. “Cyberbullying Sebagai Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informasi.” Journal of Systems, Vol. 8. Issue 1 (April, 2012), hal. 22-31.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011.
Rastati, Ranny. “Bentuk Perundungan Siber di Media Sosial dan Pencegahannya Bagi Korban dan Pelaku (Forms Of Cyberbullying in Social Media and Its
23
Prevention For Victims and Perpetrators).” Jurnal Sosioteknologi, Vol. 15. No. 2, (Agustus, 2016), hal. 169-186.
Satalina, Dina. “Kecenderungan Perilaku Cyberbullying Ditinjau Dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert.” Jurnal Ilmiah Psikologi Terpan. Vol. 02. No. 02, (Januari, 2014), hal. 294-310.
Soesanto, Eryta Ayu Putri. “Aplikasi Instagram Sebagai Media Komunikasi Pemasaran Online Shop (Studi Deskriptif Kualitatif Aplikasi Instagram Sebagai Media Komunikasi Pemasaran Online Shop).” Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya, 2013.
Sosiawan, Edwi Arief. “Penggunaan Situs Jejaring Sosial sebagai Media Interaksi dan Komunikasi di Kalangan Mahasiswa,” Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 9, No. 1, (Januari – April, 2011), hal. 60–75.
Syaibani, Yunus Ahmad. “New Media: Teori dan Perkembangannya,” New Media: Teori dan Aplikasi, ed. Sri Hastjarjo Ph.D. Surakarta: Lindu Pustaka, 2011.
Terius, Ms. “Indonesia Masuk Daftar Negara dengan Kasus Bullying Tertinggi.” http://ciricara.com/2012/10/19/indonesia-masuk-daftar-negara-dengan-kasus-bullying-tertinggi/ (akses 23 Februari 2016).
Utari, Prahastiwi. “Media Sosial, New Media dan Gender Dalam Pusaran Teori Komunikasi,” Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi, ed. Fajar Junaedi. Yogyakarta: Aspikom, 2011.
Yusuf LN., M.Pd., Dr. H. Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.