Post on 24-Jul-2015
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGNOMOR 1794 K/Pdt/2004
(KASUS MANDALAWANGI)
MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN
DELI INDRA WAHYUDI10/307370/PHK/6474
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
BAB IPENDAHULUAN
I. Latar belakang
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati
generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan.
Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan
memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat,
baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan
batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi,
dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.
Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang
memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen1 disebut sebagai bidang hukum
fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat unsur-
unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata. Oleh sebab
itu, penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau
penerapan instrument-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum
administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa
subyek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-
undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrument dan sanksi hukum
administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga atau
badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan sarana
1 Takdir Rahmadi, Hukum lingkungan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 207
hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga atau badan
hukum perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan
keputusan tata usaha negara yang secara formal atau materiil bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan lingkungan.
Sengketa lingkungan hidup (environmental disputes) sebenarnya tidak
terbatas pada sengketa-sengketa yang timbul karena peristiwa pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup, tetapi juga meliputi sengketa-sengketa
yang terjadi karena adanya rencana-rencana kebijakan pemerintah dalam
bidang pemanfaatan dan peruntukan lahan, pemanfaatan hasil hutan,
kegiatan penebangan, rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik,
rencana pembangunan waduk dan sebagainya. Sebagai contoh dalam tulisan
ini adalah kasus terjadinya tanah longsor Gunung Mandalawangi
Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut yang telah menimbulkan kerugian
berupa hilangnya harta benda, nyawa, rusaknya lahan pertanian dan ladang
dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan dirumuskan permasalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara
mandalawangi?
2. Bagaimana konsep reformasi penegakan hukum yang efektif dan
menimbulkan efek jera?
BAB IIPEMBAHASAN
I. Tinjauan Pustaka
A. Hukum Lingkungan Adminsitrasi
1. Pengawasan
Ketentuan-ketentuan tentang pengawasan ditemukan dalam
sejumlah Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Dalam UULH
1997 ketentuan pengawasan ditemukan dalam Pasal 22, Pasal 23 dan
Pasal 24. Dari ketentuan Pasal 22 UULH 1997 dapat diketahui bahwa
Menteri Negara Lingkungan Hidup berwenang melakukan
pengawasan terhadap penataan kegiatan usaha atas ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Sebagai
tindak lanjut dari kewenangan itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup
dapat menunjuk pejabat yang melakukan pengawasan.
Fungsi pengawasan juga dapat diserahkan kepada Pemerintah
Daerah dan Kepala Daerah dapat menunjuk pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan.
Di dalam UUPLH (32 Tahun 2009), pengawasan diatur dalam
Pasal 71 hingga Pasal 74. Selain terdapat persamaan, juga ditemukan
perbedaan-perbedaan tentang pengawasan antara UULH 1997 dan
UUPLH 2009. Persamaan antara lain berkaitan dengan kewenangan
pengawasan ada pada Menteri Lingkungan Hidup dan Pemerintah
daerah, baik Menteri maupun Pemerintah daerah berwenang
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Dari segi perbedaan,
terdapat dua perbedaan penting. Pertama, jika dalam UULH 1997
terdapat Pasal 23 yang menjadi dasar hukum bagi BAPEDAL untuk
melakukan pengawasan, dalam UUPLH ketentuan tentang lembaga
(BAPEDAL) yang berwenang di tingkat pusat melakukan pengawasan
di bidang lingkungan hidup tidak lagi ditemukan karena Kementerian
Lingkungan Hidup sepenuhnya berwenang melakukan pengawasan
setelah BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementerian Lingkungan
Hidup. Kedua, dalam UUPLH memberlakukan mekanisme
pengawasan dua jalur, sedangkan UULH 1997 hanya satu jalur. Yang
dimaksud dengan mekanisme pengawas dua jalur adalah bahwa
prinsipnya Gubernur dan Bupati/Walikota berwenang melakukan
pengawasanlingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan
masing-masing, tetapi jika kewenangan pengawasan lingkungan tidak
dilaksanakan sehingga terjadi “pelanggaran yang serius di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”, Menteri
Lingkungan Hidup dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha/kegiatan yang izin lingkungannya
diterbitkan oleh Pemerintah daerah.
2. Sanksi-sanksi hukum lingkungan administrasi
Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang
dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses
pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar
ketentuan hukum lingkungan administrasi.
UULH 1997 memuat tiga jenis sanksi hukum administrasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27, yaitu
paksaan pemerintah, pembayaran sejumlah uang dan pencabutan izin
usaha atau kegiatan.
UUPLH 2009 memuat empat jenis sanksi hukum administrasi
sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 ayat (2) yaitu teguran tertulis,
paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, pencabutan izin
lingkungan. Akan tetapi dalam Pasal 81 UUPLH juga memuat
ketentuan tentang yang menjadi dasar hukum bagi pejabat pemberi
izin lingkungan atau penegak hukum lingkungan administrasi untuk
menerapkan sanksi denda atas tiap keterlambatan pelaksanaan sanksi
paksaan pemerintah. Dengan demikian UUPLH menyediakan lima
jenis sanksi hukum administrasi yaitu teguran tertulis, paksaan
pemerintah, denda, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin
lingkungan.
B. Hukum lingkungan pidana
Delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang
kepada subyek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan
sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan
untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-
unsur dalam lingkungan hidup. Oleh sebab itu, dengan pengertian ini delik
lingkungan hidup tidak hanya memuat ketentuan-ketentuan pidana yang
dirumuskan dalam UUPLH, tetapi juga ketentuan-ketentuan pidana yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain sepanjang rumusan
ketentuan itu ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara
keseluruhan atau bagian-bagiannya.
Rumusan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32
tahun 2009 (UUPLH) merupakan pengembangan dan revisi terhadap
ketentuan rumusan ketentuan pidana dalam UULH 1997 dan UULH 1982.
Jika UULH hanya memuat rumusan ketentuan pidana yang bersifat delik
materiil, maka UULH 1997 memuat rumusan delik materiil dan juga delik
formiil. Delik materiil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh
hukum yang dianggap sudah sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan
itu telah menimbulkan akibat. Delik formil adalah delik atau perbuatan
yang dilarang oleh hukum yang sudah dianggap sempurna atau terpenuhi
begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan adanya akibat
perbuatan.
UUPLH juga memuat dua jenis delik yaitu delik materiil dan delik
formil, bahkan dibandingkan dengan UULH 1997, UUPLH memuat jenis
delik formil lebih banyak. Tidak saja yang ditujukan kepada para pelaku
usaha, tetapi juga kepada pejabat pemerintah dan orang-orang yang
menjadi tenaga penyusun AMDAL. Rumusan delik materiil UUPLH dapat
ditemukan dalam Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1), sedangkan delik
formil ditemukan mulai Pasal 100 hingga pasal 111 kemudian Pasal 113
hingga Pasal 115. Jika dihitung terdapat 16 (enam belas) jenis delik formil
dalam UUPLH. Dari uraian keenam belas delik formil tersebut dapat
diketahui bahwa pembuat Undang-Undang menciptakan delik-delik formil
dalam UUPLH terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hukum
administrasi. Selain itu, dalam rumusan delik-delik formil tersebut, kecuali
delik formil keenam belas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 115, tidak
mencantumkan unsur kesalahan.
C. Penegakan hukum lingkungan melalui gugatan perdata
Menurut Koeman2 hukum perdata khususnya gugatan berdasarkan
perbuatan melawan hukum (PMH) dan hakim perdata sesungguhnya
memiliki arti penting bagi hukum lingkungan. Pada pokoknya hal itu
berkaitan dengan empat fungsi yang relevan yaitu:
1. Penegakan hukum melalui hukum perdata.
2. Penetapan norma tambahan.
3. Gugatan untuk memperoleh ganti kerugian.
4. Perlindungan hukum tambahan.
Dari pernyataan Koeman tersebut dapat dipahami bahwa salah satu
fungsi dari gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah
untuk penegakan hukum. Tiga fungsi lainnya adalah penetapan norma
tambahan, perolehan ganti kerugian dan perlindungan hukum tambahan.
Di Belanda, konsep perbuatan melawan hukum berdasarkan ketentuan
Pasal 1402 BW lama yang mirip dengan ketentuan Pasal 1365 KUH
Perdata, sedangkan dalam BW baru dirumuskan dalam Pasal 6:162.
Namun, pengajuan gugatan perdata sebagai sarana penegakan
hukum oleh penguasa atau pemerintah terbatas pada situasi bilamana
penegak hukum administrasi tidak memadai, sehingga pada kenyataannya
pendayagunaan gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum
lingkungan oleh badan pemerintah di Belanda sangat jarang terjadi.
Di Belanda, gugatan perbuatan melawan hukum dapat digunakan
sebagai sarana penegakan hukum atas norma-norma hukum publik, seperti
pelanggaran terhadap ketentuan perizinan maupun ketentuan hukum
perdata. Norma-norma hukum lingkungan termasuk bagian dari norma-
norma hukum publik. Penegakan atas norma-norma hukum lingkungan
2 Ibid hlm. 260
dibedakan atas tiga bidang, yaitu: penegakan ketentuan bersifat larangan
dalam peraturan perundang-undangan lingkungan, penegakan ketentuan-
ketentuan atau persyaratan-persyaratan dalam izin, penegakan terhadap
sanksi-sanksi.
Di Indonesia, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum
lingkungan juga dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1365 BW, selain dilakukan oleh
warga atau Lembaga Swadaya Masyarakat juga dapat dilakukan oleh
pemerintah. Dalam UULH 1997, kewenangan pemerintah melakukan
gugatan perdata diatur dalam Pasal 37 ayat (2), sedangkan dalam UUPLH
kewenangan itu dirumuskan dalam Pasal 90 ayat (1).
Sengketa lingkungan hidup dapat dirumuskan dalam arti luas dan
arti sempit. Dalam pengertian luas sengketa lingkungan hidup adalah
perselisihan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang timbul
sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatan sumber daya
alam disamping memberikan manfaat kepada sekelompok orang, juga
dapat menimbulkan kerugian kepada kelompok lain, atau setidaknya
meletakan risiko kerugian kepada kelompok lain. Sering kali manfaat dari
suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dilihat secara makro,
sementara risiko atau dampak negatif dari kegiatan itu dirasakan oleh
sekelompok kecil orang.
Sengketa lingkungan hidup dalam UUPLH dirumuskan dalam
pasal 1 butir 25 sebagai “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
timbul dari kegiatan berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup”.
Sebagain besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa
lingkungan UUPLH mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam UUPLH diatur dalam
Pasal 87 hingga Pasal 93. Menurut UUPLH penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dapat ditempuh secara sukarela melalui dua pilihan
mekanisme yaitu, mekanisme proses pengadilan dan mekanisme proses
diluar pengadilan. Jika para pihak telah sepakat untuk memilih mekanisme
diluar pengadilan, maka gugatan keperdataan melalui pengadilan hanya
dapat ditempuh jika mekanisme diluar pengadilan dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu atau para pihak.
II. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1794 K/Pdt/2004
Gugatan ini diajukan oleh Dedi dan kawan-kawan (sebanyak delapan
orang termasuk Dedi) terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum
Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut di
Pengadilan Negeri Bandung. Para penggugat dan orang-orang yang diwakili
mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan
Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya
harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara
dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis
Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya (Nomor
49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain mengatakan
bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Tanggung jawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh
Presiden RI, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka
pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri
Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum
Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai
dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan
longsor di Gunung mandalawangi juga memiliki tanggungjawab untuk
melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan
hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten
Garut.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan bahwa telah
terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung
Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan
mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan
lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK
Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-
akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi
sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan
resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa kerugian
lingkungan dan kerugian materiil para penggugat yang disebabkan oleh banjir
dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu
dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan
kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari
kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada
perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri
Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor.
Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya
merujuk pada prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip
ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang
“kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan-
keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan
sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk
menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung
Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam
perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah
satu negara peserta Konferensi Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani
dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik.
Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Nomor
49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28 Agustus 2003) adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil
kelompok masyarakat korban longsor Gunung Mandalawangi
Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut untuk sebagaiannya.
2. Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat), tergugat III (Menteri Kehutanan), tergugat IV
(Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah
Kabupaten Garut) bertanggungjawab secara mutlak (strict
liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor
dikawasan hutan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kedungora
Kabupaten Garut.
3. Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat
V tersebut untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di
areal hutan Gunung Mandalawangi tempat terjadinya longsor
langsung dan seketika dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung
Mandalawangi dibebankan kepada Tergugat I dan Tergugat III
dengan perintah supaya dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan
agar memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya
dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga, dengan biaya yang harus
ditanggung oleh Tergugat I dan Tergugat III secara tanggung
renteng, yang apabila akan diserahkan pelaksanaannya kepada
masyarakat sesuai dengan Penyelenggaraan Hutan
Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor 31/KPTS-II/2001
Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan
Kemasyarakatan, pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari
jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dengan
disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah ini.
Kedua, Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan
Tergugat V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian
kepada korban longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar
Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan disetorkan
kepada Tim yang akan ditetapkan di bawah ini.
Ketiga, Menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungan
kawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora
serta tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil
kelompok dan masyarakat korban yang tergabung ke dalam
anggota kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu tim/panel
yang dikoordinasikan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah
Pemerintah Kabupaten Garut sebagai Ketua Tim Perwakilan
BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil
kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan
Hidup UNPAD Bandung masing-masing sebagai anggota.
Keempat, memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (Tergugat
IV) untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan
Tim tersebut lengkap dengan tugas dan tanggung jawabnya
sebagaimana isi diktum putusan ini.
Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel tersebut untuk
melakukan pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala
pelaksanaan pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah
dalam putusan ini serta mengalokasikan dana ganti kerugian
tersebut kepada masyarakat korban yang tergabung dalam wakil
dan anggota kelompoknya yang jumlah dan identitasnya tercatat
dalam Berita Acara Persidangan ini, secara adil sesuai dengan
bobot dan besarnya kerugian berdasarkan jenis kerugian yang
dideritanya.
Keenam, menetapkan sebagai hukum bahwa manakala
pembentukan Tim/Panel serta pengalokasian dana ganti kerugian
sulit dilakukan, maka pelaksanaannya ditempuh proses
pelaksanaan putusan (upaya paksa) dikoordinasikan oleh Panitera
Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung.
4. Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara
terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum dari para Tergugat
(Uit voorbaar bij voorad).
5. Menolak gugatan selain dan selebihnya.
Putusan Pengadilan Negeri Bandung ini kemudian dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan Nomor
507/PDT/2003/PT.Bdg Tanggal 5 Februari 2004) dengan
perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K
/Pdt/2004 Tanggal 22 Januari 2007) juga menolak permohonan
kasasi para tergugat atau para pembanding yang berarti Mahkamah
Agung Republik Indonesia memperkuat putusan Pengadilan
Negeri Bandung tersebut.
III. Konsep Reformasi penegakan hukum yang efektif dan menimbulkan
efek jera
Membaca Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut, penulis sangat setuju
dengan hasil putusan yang telah ditetapkan oleh Hakim, dimana didalam
Putusan tersebut diutamakan prinsip keberhati-hatian (precautionary
principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk
pemecahan masalah walaupun ada beberapa yang diubah oleh Mahkamah
Agung dalam Putusan Kasasi nomor 1794 K/Pdt/2004.
Penulis berpendapat untuk dalam rangka penegakan hukum yang efektif dan
dapat menimbulkan efek jera akan lebih baik jika mengedepankan model
pidana administratif. Latar belakang kebijakan hukum pidana yang demikian
didasarkan pada kenyataan sulitnya pembuktian tindak pidana lingkungan
hidup seperti yang saat ini dihadapi oleh Indonesia. Oleh karena itu, dibuatlah
peraturan yang mengkriminalisasi tindakan-tindakan administrasi yang
dianggap melanggar hukum.
Model penegakan hukum dengan mengoptimalkan penerapan pidana
administrasi ini memiliki banyak keuntungan, Antara lain:
a. akan memudahkan bagi penegak hukum dalam melakukan
pembuktian perkara disebabkan bentuk rumusan delik yang
dibuat pada umumnya adalah delik formil;
b. pada hakikatnya ketika perbuatan-perbuatan dalam rangka
persiapan untuk melakukan perbuatan pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup dikriminalisasi menjadi suatu
perbuatan pidana yang berdiri sendiri, maka kita telah selangkah
lebih maju dalam mencegah terjadinya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup;
c. dengan efek pencegahan sejak dini maka niat pelaku bisnis untuk
melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup demi
pertimbangan ekonomi dapat lebih ditekan, apalagi dengan
sanksi-sanksi dalam bentuk denda diyakini lebih berdayaguna
dalam mematikan motif ekonomi ini;
d. dengan model penegakan hukum pidana administratif tersebut,
maka kita dapat menuntun kepada terciptanya rezim anti
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup;
Harus kita sadari bahwa salah satu kunci dari penegakan hukum
lingkungan ada pada pemerintah. Hal ini berkaitan dengan keluarnya
perijinan yang merupakan kewenangan dari pemerintah. Selain itu, para
penegak hukum jangan hanya mengedepankan prinsip hukum normatif
akan tetapi lebih kepada hukum progresif.
BAB IIIPENUTUP
I. Kesimpulan
Dari uraian Bab-Bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim menggunakan
pertimbangan normatif dan mulai muncul pertimbangan progresif . hal ini
dapat dilihat dimana didalam Putusan tersebut diutamakan prinsip
keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam
Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah dan perbaikan serta
denda.
2. Reformasi penegak hukum yang digunakan adalah Model penegakan
hukum dengan mengoptimalkan penerapan pidana administrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Koesnadi Hardja Soemantri, Hukum Tata Lingkungan edisi VIII cetakan kedua
puluh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011
F.gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2004
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai dampak
Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang UUPLH