perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i...

114
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum & Kebijakan Publik OLEH: Yogi Prasetyo NIM : S310508016 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Transcript of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i...

Page 1: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user i 

 

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum & Kebijakan Publik

OLEH:

Yogi Prasetyo

NIM : S310508016

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

Page 2: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user ii 

 

 

Telah Disetujui Pembimbing

Pembimbing

Pembimbing

 

17/7/ 09

17/7/ 09

ii

Page 3: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user iii 

 

Page 4: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user iv 

 

SURAT PERNYATAAN

 

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Yogi Prasetyo

NIM : S310508016

Menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa tesis yang berjudul:

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA

ULANG DI JAWA TIMUR adalah betul-betul karya sendiri. Hal yang bukan

karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar

pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka, saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya

peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, 22 Juni 2009

Yang menyatakan

Yogi Prasetyo

Page 5: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user v 

 

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis

yang didasarkan kepada laporan hasil penelitian normatif atau doktrinal ini adalah

karya ilmiah yang merupakan salah satu syarat untk memenuhi sebagian

persyaratan untuk mencapai derajat S-2 Program Magister Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyelesaian tesis yang berjudul “ANALISIS YURIDIS

TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR.

41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR“ ini,

penulis mendapatkan petunjuk serta dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu

dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar- besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, SpKJ, selaku Rektor Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan

ijin dan kesempatan penulis dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang

telah memberikan dorongan dan kemudahan untuk menyelesaikan tesis ini.

4. Ibu Dr. Hartiwiningsih, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Studi

Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberi kelancaran untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Dr. Jamal Wiwoho, SH, MHum, selaku pembimbing I yang telah

meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan

penulis, sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.

Page 6: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vi 

 

6. Ibu Aminah, SH, MH, selaku pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan dan motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

7. Para Dosen dan Staf Pengajar Program Magister Hukum Program Studi

Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Seluruh staf Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bantuan serta pelayanan

selama penulis menempuh kuliah di pascasarjana.

9. Seluruh staf perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

yang telah memberikan pelayanan dalam peminjaman buku-buku yang

berguna untuk menyelesaikan tesis ini

10. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaikan

tesis ini

11. Pihak Rektorat Universitas Muhammadiyah Madiun (R. Afri Handoko,

S.Sos, MSi., Mujahidin, S.Sos, MSi., MKPd.(CDR), Drs. Mahfudz

Daroini, MSi., MKPd) yang telah memberikan dukungan untuk segera

menyelesaiakan tesis ini.

12. Rekan-rekan dosen dan staf di Universitas Pembangunan Teknologi

Pembangunan Surabaya Fakultas Hukum yang telah member dukungan

dan semangat untuk menyelesaiakan tesis ini.

13. Rekan-rekan dosen dan staf di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Mojokerto yang telah memberikan semangat dan motifasi untuk

menyelesaiakan tesis ini

14. Seluruh staf perpustakaan Universitas Merdeka Madiun yang telah

memberikan pelayanan dalam peminjaman buku-buku yang berguna untuk

menyelesaikan tesis ini

Page 7: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vii 

 

15. Rekan-rekan di PDM Kabupaten Madiun ( H. Achmad Zainuri, S.Ag,

M.Si., Drs. Budi Utomo, dan Suwandi, SP.) yang telang memberikan

semangat untuk menyelesaiakn tesis ini

16. Teman-teman aktivis dan Advokat ( Kholiq. SH., Arief Budiono. SH.

MH., M. Sofyan. SH., dan Nur Sodiq. SH) yang memberikan dukungan

dalam penyelesaian tesis ini

17. Seluruh mahasiswa di Universitas Muhamadiyah Madiun, Universitas

Teknologi Pembangunan Surabaya, dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Mojokerto, yang memberi semangat untuk menyelesaiakan tesis ini

18. Bapak dan Ibu saya yang tiada henti-hentinya mendoakan, mendukung,

dan memberikan nasehat

19. Kakak, adik, dan saudara-saudara yang memberikan dorongan,

semangat, dan doa kepada saya untuk dapat menyelesaikan studi di

Pascasarjana

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, karena masih

terbatasnya kemampuan penulis, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat

membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi disiplin Ilmu Hukum,

khususnya dalam masalah kebijakan publik.

Surakarta, 22 juni 2009

Yogi Prasetyo

Page 8: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user viii 

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................... ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ................................................................. iii

PERNYATAAN .............................................................................................. iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

ABSTRAK ...................................................................................................... xi

ABSTRACK ................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 7

BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 8

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Teori Hukum ................. 8

1. Pengertian hukum dan fungsi hukum ..................................... 8

2. Teori hukum murni Hans Kelsen ........................................... 13

B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik ............................... 20

1. Pengertian tentang kebijakan publik ...................................... 20

2. Hubungan hukum dan kebijakan publik ................................ 24

C. Mahkamah Konstitusi ................................................................. 26

1. Konsep dasar pembentukan Mahkamah konstitusi ................ 26

2. Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi .............. 29

3. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian

hasil pemilu ........................................................................... 31

D. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum .............................. 35

E. Pemerintahan Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah ................. 37

1. Pemerintahan daerah .............................................................. 37

2. Pemilihan kepala daerah ........................................................ 38

Page 9: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user ix 

 

3. Penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah ...... 41

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 44

A.Lokasi Penelitian ........................................................................ 50

B.Data dan Sumber Data ................................................................ 50

C.Teknik Memperoleh Data ........................................................... 51

D.Teknik Analisis ........................................................................... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 52

A. Hasil Penelitian .......................................................................... 52

B. Pembahasan ................................................................................ 57

1. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008

tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur

mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi ..................................... 57

a.Pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk

dalam kategori pemilihan umum ........................................ 57

b.Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum, bukan

memutus atau memerintahkan pemilihan umum ulang ..... 64

c.Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D

VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di

Jawa Timur ditinjau dari aliran civil law system ................ 72

d.Stufentheory peraturan perundang-undangan ..................... 79

e.Asas lex superiori derogate legi inferiori .......................... 84

2. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008

tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur

tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan

Daerah (UU No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan

UU No.12 Tahun 2008) ......................................................... 87

a.Undang-undang sebagai sumber hukum formill dan

materiil ............................................................................... 87

b.Perselisihan tentang hasil penghitungan suara

Page 10: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user x 

 

pemilihan kepala daerah ..................................................... 90

c.Penyelesaian pelanggaran pemilihan kepala daerah

adalah tugas dan wewenang Panitia Pengawas

pemilihan kepala daerah ..................................................... 95

d.Pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan paling

akhir tahun 2008 ................................................................. 98

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 101

A. Kesimpulan ................................................................................ 101

B. Implikasi .................................................................................... 101

C. Saran .......................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 103

Page 11: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xi 

 

ABSTRAK

Yogi Prasetyo, S310508016, ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini untuk mengkaji secara yuridis berdasarkan UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal. Melalui pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah hukum (Historical Approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Lokasi penelitian di Perpustkaan Fakultas Hukum UNS, Pasca Sarjana UNS, perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun, perpustakaan IKIP PGRI Madiun, perpustakaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Madiun, perpustakaan Kota Madiun, dan di dunia maya. Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari peraturan perundang-undangan. Analisis dilakukan dengan analisis logika deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Karena dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum bukan untuk memutus pemilihan umum ulang, tidak sesuai dengan aliran hukum civil law system yang dianut hukum Indonesia, tidak sesuai dengan stufentheory tata urutan perundang-undangan Indonesia dan asas lex superiori derogat legi inferiori. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) tidak sesuai dengan sumber hukum formil dan materiil, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah merupakan perselisihan jumlah suara berupa data angka-angka yang menunjukkan hasil perolehan suara pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah, pelanggaran terhadap pemilihan kepala daerah adalah wewenang panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan perangkat hukum yang ada bukan wewenang Mahkamah Konstitusi, serta pemilihan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir bulan Nopember 2008 sampai Juli 2009 diselengarakan paling lama pada bulan Oktober 2008 dan jika terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselengarakan paling lama bulan Desember 2008, bukan bulan Januari 2009 seperti yang terjadi di Jawa Timur.

Page 12: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xii 

 

ABSTRACT

Yogi Prasetyo,S310508016, YURIDIS ANALISIS OF DECISION OF CONSTITUTION OF COURT LAW NUMBER. 41/PHPU.D-VI/2008 ABOUT ELECTION OF REGIONAL LEADER IN EAST JAVA. Thesis: Sebelas Maret Surakarta University Post Graduate Program. This research to study yuridisly pursuaht to UUD 1945, UU No.24 of 2003 about Constitution of Court Law, and regulation law of regent of Government (UU No.32 of 2004 and perceive with UU No.12 of 2008 year) to decition of Constitution of Court law No. 41/PHPU.D-VI/2008 about Election to Re Regional Leader In East Java. This research is doctrinal research. With by the way statue approach, historical approach, conceptual approach. Located of research in the library of faculty of law Sebelas Maret University, library post graduate program law sebelas Maret University, library faculty of law Merdeka University Madiun, library Madiun IKIP PGRI, library of university Muhamadiyah Madiun, library of madiun city, and internet. This research had been three type such as primary date, secunder, and tertiary. Collecting date done by reading, study and studies of regulation law. Analysis with done logical deductive analysis. Pursuant to research result and inferential solution that decision constitution of court law Number. 41/PHPU.D-VI/2008 about Election to Re Regional Leader In East Java that over rule UUD 1945 ang UU No. 24 of 2003 year about Constitution of Court. Election to direct regional leader don’t included in general election category, constitution of court law only authoritative break dispute abaout result of general election is not break the re general election, not appropriate with civil law system that attentive by Indonesia law, not appropriate with stufentheory of arrange the legislation sequence and lex superiory derogate legi inferiori. Decision of Constitution of Court Law Number.41/PHPU.D-VI/2008 about Election of Re Regional Leader In East Java, evaluated from Regulation law of Regent Government (UU No.32 of year ang UU No.12 of 2008 year) not appropriate with formal and material source punish, dispute of election result of regional leader is difference of voice sum in from of the number leader date that show the result acquirement of candidate couple voice participant of election of regional leader, collision to election of regional leader is committee authority supervisor of election of regional leader and peripheral of the law is not authority Constitution of Court Law ang also election of regional leader of it’s tenure end of November 2008 until July 2009 with longest In October 2008 and if happened election of second round regional leader, balloting election of second round regional leader, balloting done with longest of Desember 2008 is not of 21 Januari 2009 such as happened in East Java.

Page 13: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

melahirkan lembaga baru dibidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah

Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi

sebagai berikut. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan

Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.1  Pada

mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan

keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat

dikatakan relatif masih baru. Karena itu, ketika Undang-Undang Dasar 1945

dirumuskan gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul.

Salah satu bentuk gagasan check and balances dalam perubahan UUD

1945 adalah pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai jawaban atas keinginan

agar lembaga yudisial melakukan pengujian atas undang-undang terhadap UUD

1945 yang sebelumnya sama sekali tidak dapat dilakukan. Mahkamah Konstitusi

berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 memiliki empat kewenangan. Namun

dikalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara

yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan

terakhir abad 20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat

populer. Karena itu setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi

dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas

diterima. Pada tanggal 13 Agustus 2003 dikeluarkanlah UU No.24 Tahun 2003

                                                                      1 Ni’matul Huda. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta:UII Press, 2007, hal. 135 

Page 14: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2  

tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan Pasal

24C ayat 6 UUD 1945.2

Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban

yang terdapat dalam UUD 1945, yaitu; Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum. Adapun kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan

putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran

oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD 1945.3

Konsekuensi dari reformasi yang terus berjalan di Indonesia sehingga

mengakibatkan tuntutan demokrasi yang luas kepada masyarakat. UU No.22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dibuat sejak awal reformasi tidak

lagi sesuai dengan keinginan masyarakat, khususnya terkait hak keikutsertaan

mayarakat untuk secara langsung dilibatkan dalam memilih calon kepala daerah

untuk masing-masing. Untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat di daerah

dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dibuat UU No.32

Tahun 2004 sebagai pembaruan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah. Sejak adanya UU No.32 Tahun 2004 maka kepala daerah dipilih secara

langsung oleh rakyat secara demokratis melalui pemilihan kepala daerah.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai institusi hukum yang

didirikan dengan tujuan utama sebagai pengawal konstitusi dan salah satunya

penyelesai masalah sengketa pemilihan umum, eksistensinya menjadi semakin

berat dipandang secara hukum, sebab selain tugas utamanya sebagaimana yang

tertuang dalam UUD 1945, Mahkamah Konstitusi juga dipercaya untuk memutus

                                                                      2 Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi dan Pembangunan Demokrasi di Indonesia, maklah yang disampaikan dalam seminar kerjasama antara Mahkamah konstituse dengan UNS, 2008, Hal:33           3 Lihat pasal 24C UUD 1945 

Page 15: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3  

perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah.4 Dalam pasal 236C UU No.12

Tahun 2008 atas perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

terdapat pelimpahan wewenang penanganan perselisihan hasil penghitungan

suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung

dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan

sejak undang-undang ini diundangkan.

Salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah memutus

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Pada kasus sengketa pemilihan kepala

kaerah Provinsi Jawa Timur. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan

keberatan dari pasangan Khofifah-Mudjiono terhadap penetapan penghitungan

suara hasil pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur (Perkara

NO.41/PHPU.D-VI/2008. Dibacakan pada 2 Desember 2008) merupakan sebuah

masalah yang cukup kontroversial. Hal tersebut dapat dilihat dari sisi hukum

ketatanegaraan, bahwa putusan tersebut melahirkan preseden yang penting untuk

melihat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diperluas melalui putusannya

sendiri, khususnya yang menyangkut amar putusan yang memerintah Komisi

Pemilihan Umum Jawa Timur untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang

di Sampang dan Bangkalan paling lambat 60 hari dan penghitungan suara ulang di

Pamekasan paling lama 30 hari setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi

tersebut.

Negara konstitusonal adalah suatu negara yang melindungi dan menjamin

terselenggaranya hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil lainnya serta membatasi

kekuasaan pemerintahannya secara berimbang antara kepentingan penyelenggara

negara dan warga negaranya.5 Terdapat pula satu prinsip hukum dan keadilan

yang dianut secara universal menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh

diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan

tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang

                                                                      4  Penyerahan wewenang  oleh Mahkamah  Agung  kepada Mahkamah  Konstitusi  pada  29 okktober 2008 oleh ketua MA bagir manan digedung Mahkamah Agung (MA)           5 Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal 39 

Page 16: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4  

dilakukan oleh orang lain (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua

propria)6. Dengan demikian, tidak satupun pasangan calon yang boleh

diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan

prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Pada prinsipnya tujuan

konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk

menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang

berdaulat yang berdasarkan atas hukum.7

Harapan Mahkamah Konstitusi dari putusan yang demikian (ex aequo et

bono)8adalah agar pada masa-masa yang akan datang, pemilihan umum pada

umumnya dan Pilkada khususnya, dapat dilaksanakan dengan asas langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa dicederai oleh pelanggaran serius,

terutama yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif. Pilihan Mahkamah

Konstitutusi yang demikian masih tetap dalam ruang lingkup penyelesaian

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan bukan penyelesaian atas proses

pelanggarannya sehingga pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri dapat

diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia.9

Putusan itu juga sebagai “terobosan”, yang artinya memang karena

putusan itu keluarkan untuk mengatasi permasalahan terkait sengketa hasil

pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur. Karena begitu komplek dan rumitnya,

maka putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap sebagai penyelesaian

permasalahan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya

pada dasarnya tidak memenangkan siapa-siapa. Karena Negara Indonesia

merupakan Negara yang berdasar atas hukum, maka dalam penyelenggaraan

kehidupan Negara harus berdasarkan pada hukum yang berlaku. Kepentingan

rakyat yang berdasar atas norma-norma hukum yang ada adalah berada diatas

                                                                      6 Ibid. hal. 128           7 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 24           8Sudarsono,  Kamus  Hukum,  Rineka  Cipta,  Jakarta,  2002,  dapat  diartikan  juga  menurut keadilan atau berarti juga demi keadilan, hlm. 130            9 Opini Prof. Mahfud M.D, ketua MK dalam wawancara pers sesaat setelah selesai sidang putusan  sengketa  pilkada  jatim  oleh  RRI  (Radio  Republik  Indonesia)    Programa  3  Jakarta,  2 desember 2008. 

Page 17: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5  

segalanya dan prioritas utama yang harus dijadikan pertimbangan setiap produk

hukum10.

Putusan itu didasarkan adanya fakta hukum di persidangan bahwa pada

kabupaten tertentu di Provinsi Jawa Timur nyata-nyata telah terjadi pelanggaran

serius pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan

masif 11. Selain itu, pelanggaran-pelanggaran tersebut bukan hanya terjadi selama

proses pemilihan kepala daerah berlangsung, sehingga permasalahan yang terjadi

harus dirunut dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum pencoblosan.12 Hal

terkait pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah yang begitu komplek tersebut

sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Konstiusi. Adanya pelanggaran pidana

selama proses pemilu yang seharusnya ditangani oleh Panwaslu, Kepolisian,

Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri.

Berdasarkan UUD 1945, dalam pasal 24C, Mahkamah Konstitusi yang

mempunyai wewenang yang salah satunya adalah menyelesaikan sengketa

pemilihan umum. Secara hukum Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang

yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan

untuk memutus atau memerintahkan pemungutan suara ulang. Wewenang

Mahkamah Konstitusi terbatas pada pengambilan keputusan terhadap hasil

perhitungan suara sebagai objek perselisihan pemilihan kepala daerah. Sehingga

keputusan Mahkamah Konstitusi NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang

Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari pendekatan teori

hukum murni Hans Kelsen, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

mengesampingkan dan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 18, 22E, dan

24C, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 dan10, UU

No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah pasal 74, 75, 77, 104, dan106, dan

UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 pasal 233

dan 236C. Berdasarkan latar belakang tersebut sehingga penulis tertarik untuk

                                                                      10 Kacung Marijan, Dialog tentang PILKADA JATIM di Metro TV, Pk.20.00, Jumat 9 Januari 2009           11 www.MahkamahKonstitusi.go.id,(Putusan MK Nomor.41/PHPU.D‐VI/2008), 27 Desember 2008           12 Sengketa PILKADA JATIM, Jawa Pos, 3 Desember 2008 

Page 18: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6  

menulis tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG

PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah adalah untuk mengidentifikasikan persoalan yang

diteliti secara jelas, guna memberi jawaban atas persoalan yang akan dipecahkan.

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas tersebut, maka dirumuskan

permasalahan yaitu;

1. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945

dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ?

2. Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang

Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan UU

No. 12 Tahun 2008) ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisa atau mengkaji secara yuridis Putusan Mahkamah

Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang

di Jawa Timur yang dimungkinkan melampaui wewenang dengan

mengesampingkan UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi.

2. Menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008

tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur dikaji dari Undang-

Undang Pemerintahan Daerah No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan

UU No.12 Tahun 2008.

Page 19: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7  

D. Manfaat Penelitian

1. Segi Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dalam

pengembangan ilmu hukum serta ilmu lain yang terkait dengan penelitian ini.

Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan perbandingan

dalam bidang hukum dalam pemerintahan dan masyarakat yang akan datang.

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hukum juga penuh kelemahan.13

2. Segi Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada Mahkamah

Konstitusi dalam memutuskan suatu perselisiahan hasil pemilu. Sehingga

keputusan yang di berikan tidak bertentangan dengan hukum dan tidak

melampaui wewenang yang telah di atur dalam peraturan dasar dan peraturan

perundang-undangan.

                                                                      13 Paul Carrington, “Of Law and the River”, journal of Legal Edacation 34, 1984: 227. 

Page 20: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8  

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini disampaikan mengenai landasan

teori atau hasil studi kepustakaan, yang merupakan bahan-bahan untuk

menganalisa data yang menjadi rumusan masalah.

A. Tinjauan Tentang Hukum dan Teori Hukum Murni

1. Pengertian dan fungsi hukum

Memahami pengertian tentang hukum yang sangat banyak dikemukakan

oleh para ahli hukum tidaklah mudah. Pengertian hukum yang beraneka macam

tergantung darimana memandangnya. Menurut Plato hukum adalah pikiran yang

masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan

Negara. Hukum juga diartikan serangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata

aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan antar

masyarakat.

C.S.T Kansil berpendapat bahwa hukum adalah semua peraturan-peraturan

hukum yang diadakan atau diatur oleh Negara atau bagian-bagiannya dan berlaku

pada waktu itu seluruh masyarakat dalam Negara itu. Semua peraturan yang

berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat tertentu.14

Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah

dalam kehidupan bersama, keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam

suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan berlakunya dengan suatu

sanksi.15

Hukum menurut S.M. Amin, dalam Kansil adalah kumpulan-kumpulan

peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.16 Menurut

J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-

peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam

                                                                      14 C.S.T Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 11           15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1986, hlm. 37            16 C.S.T Kansil, Pengantar Hukum Indonesia dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 38  

Page 21: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9  

lingkungan masyarakat yang dibuat oleh bada resmi yang berwajib, pelanggaran

terhadap peraturan ini berakibat diambilnya tindakan, yaitu hukuman tertentu.

Hukum dapat bersumber dari undang-undang, kebiasaan, keputusan hakim,

traktat, dan doktrin. Menurut Buys, hukum adalah ketentuan-ketentuan umum

tentang peraturan perundang-undangan untuk Indonesia, Algemen Bepolingen Van

Wetgeving Voor Indonesia atau A.B. Menurutnya hukum merupakan undang-

undang dalam arti formal, yaitu keputusan pemerintah yang karena cara

pembuatannya oleh Presiden dan legeslatif yang mengikat bagi seluruh

masyarakat, atau materiilnya. Sehingga hukum dimaknai suatu undang-undang

tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah bagi seluruh masyarakat.

Hukum ditinjau dari ilmu politik, menurut Mahfud MD, hukum adalah

suatu sarana dari elit penguasa yang memegang kekuasaan dan digunakan sebagai

alat untuk mempertahankan kekusaannya atau untuk mengembangkannya.17

Menurut Lon Fuller, hukum diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan

perilaku manusuia dibawah perintah dari peraturan-peraturan. Lon Fuller

beranggapan bahwa segala tindakan manusia diatur oleh hukum, sehingga apa saja

tindakan yang dilakukan manusia yang diatur undang-undang menjadi sah

menurut hukum. Disini menunjukkan hukum merupakan peraturan tertulis yang

sah untuk mengatur segala tindakan manusia.

Dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukum yang terkandung dalam

hukum adalah:

1) Peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang 2) Tujuannya mengatur dan menjaga tata tertib kehidupan masyarakat 3) Mempunyai cirikhas memerintah dan melarang 4) Bersifat memaksa agar ditaati 5) Adanya sanksi bagi yang melanggarnya.18

Menurut Esmi Warasih,19 untuk mengenal hukum dalam suatu sistem, maka harus

dicermati apakah ia memenuhi delapan asas hukum (principles of legality), yaitu:

                                                                      17 Mahfud MD, Pergaulan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 4           18 Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum Kebijakan Publik, Universitas Sunan Giri Perss, Surabaya, 2002 

Page 22: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10  

1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya hukum tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut 4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa

yang dapat dilakukan 7) Peraturan tidak boleh sering berubah-ubah 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaanya di lapangan.

Berdasarkan asas hukum yang dikemukakan oleh Esmi Warasih, bahwa Suatu

sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan yang tidak boleh

mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat adhoc, yang mana hal itu

tidak terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan kepala

daerah ulang Jawa Timur. Peraturan yang mengatur tentang kewenangan

Mahkamah Konstitusi tertinggalkan dan cenderung untuk menunjukkan domein

hakim untuk memutus perkara tersebut, sehingga keputusan yang bersifat adhoc

sangat kuat. Seperti kritik terhadap hukum yang disampaikan oleh Kennedy dan

Klare yang memberikan kritik terhadap hukum yang tidak pas dengan hukum itu

sendiri dan memberikan khazanah literature hukum yang luas dan kaya bagi

perkembangan hukum.20 Dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala

daerah di Jawa Timur tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain, maka putusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 dimungkinkan tidak memenuhi asas hukum, karena

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat bertentangan dengan UUD 1945,

UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004

tentang pemerintahan daerah, dan UU No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU

No.32 Tahun 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sesuai dengan

sistem hukum yang menyebutkan bahwa peraturan-peraturan tidak boleh

                                                                                                                                                                              19 Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 31           20 Kennedy dan Klare, “A Bibliograpy of Critical Legal Studies,” Yale Law Journal, 1984: 461 

Page 23: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11  

mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan, karena wewenang

Mahkamah Konstitusi sudah jelas disebutkan dalam peraturan perundang-

undangan, yaitu untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Sehingga apa yang sudah tertuliskan dalam peraturan perundang-undangan

menjadi pedoman hukum bagi Mahkamah Konstitusi, agar praktek hukum

dilapangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dan semua

sistem hukum tersebut menunjukkan kata peraturan yang berarti hukum positif

yang telah tersusun dalam suatu undang-undang tertentu.

Fungsi hukum menurut Sjachran Basah dalam Muchsin21 adalah:

1) Direktif, adalah prañata dalam membangun untuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara

2) Integratif, hukum sebagai Pembina kesatuan bangsa 3) Stabilitatif, sebagai pemeliharaan dan penjaga keselarasan, keserasian, dan

kesinambungandalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat 4) Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi

Negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan masyarakat

5) Korektif, baik terhadap warga Negara maupun administrasi Negara dalam mendapatkan keadilan

Fungsi hukum perfektif yang dikemukakan oleh Sjachran Basah dalam Muchsin

terkit dengan topik penelitian tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa

Timur menggambarkan kekurangsempurnaan tindakan Mahkamah Konstitusi

dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum di Jawa Timur, karena

tindakan berupa memutus pemilihan kepala daerah ulang tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, sehingga tindakan tersebut tidak mendapatkan

perfektif hukum yang ada, dan dimungkinkan telah mengesampingkan peraturan

perundang-undangan yang ada. Tindakan perfektif merupkan tindakan yang

dilakukan berdaarkan hukum positif yang berlaku.

Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, hukum berfungsi untuk:

1) Memerintah, yaitu hukum termasuk mengendalikan perilaku kedalam keinginan langsung melalui sanksi positif dan negatif

2) Distribusi, yaitu hukum membantu dalam distribusi dalam rangka membatasi gap di masyarakat.

                                                                        21 Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, IBLAM, Jakarta, 2006, hlm. 12 

Page 24: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12  

3) Melindungi harapan, yaitu hukum mengungkapkan prediksi antara sejumlah subjek melelui apa yang diharapkan

4) Konflik yang berkepanjangan, hukum membantu memisahkan beberapa subjek yang sedang berkonflik

5) Nilai-nilai yang diwujudkan dalam gagasan, yaitu berfungsi mengutarakan beberapa gagasan dalam suatu masyarakat.

Fungsi hukum untuk memerintah dengan mengendalikan perilaku yang disertai

sanksi, menunjukkan hukum adalah peraturan yang harus ditaati dan yang

melanggar akan dikenai sanksi. Mahkamah Konstitusi belum menerapkan fungsi

hukum memerintah, karena peraturan perundang-undangan yang memberikan

perintah berupa wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan

perselisihan pemilihan kepala daerah di Jawa Timur dikesampingkan. Mahkamah

Konstitusi dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Jawa

Timur dapat juga menerapkan fungsi hukum untuk membantu memisahkan

beberapa subjek yang sedang berkonflik, yaitu khofifah dengan Soekarwo. Dalam

menyelesaikan konflik hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku yang mengatur penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala

daerah.

Menurut Utrecht dalam bukunya yang berjudul “Pengantar dalam Hukum

Indonesia”, fungsi hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum

(rechtszekerheid) dalam kehidupan masyarakat.22 Putusan Mahkamah Konstitusi

terkait pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur yang tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan berarti kepastian hukum yang masih kurang,

karena kepastian hukum hanya didapat dari peraturan perundang-undangan.

Secara umum hukum berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, keadilan, dan

kebahagiaan bagi seluruh masyarakat yang berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang ada sesuai dengan normatif hukum Negara Indonesia yang

menganut civil law system. Secara umum hukum berfungsi untuk mewujudkan

ketertiban, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat yang berdasarkan

atas hukum yang berlaku.

                                                                        22 Utrecht dalam M. Sidik, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jetiar Baru, Jakarta, 1983, hlm. 13 

Page 25: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13  

2. Teori hukum murni Hans Kelsen

Landasan teori dalam penelitian ini adalah teori hukum murni oleh Hans Kelsens.

Dalam teori ini berpendapat bahwa;

1) Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan

terhadap ilmu hukum yang ideologis yang hanya mengembangkan hukum

sebagai alat pemerintah dalam Negara totaliter

2) Teori hukum murni adalah gambaran hukum yang bersih dalam

abstraksinya, ketat dalam logikanya dan mengenyampingkan hal-hal yang

bersifat ideologis yang dianggap irasional

3) Teori hukum murni tidak boleh dicampuri ilmu politik, sosiologi, sejarah,

dan pembicaraan tentang etika

4) Grundnorm merupakan alat yang menggerakkan sistem hukum. Menjadi

dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan memberi

pertanggungjawaban mengapa hukum itu harus dipatuhi.

5) Sistem hukum pada hakekatnya adalah sistem hirarkis yang tersusun dari

peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Siatem hirarkis Hans Kelsen dapat digambarkan sebagai berikut.

(Stufentheorie Hans Kelsen)

Teori hukum murni adalah teori hukum umum, bukan penafsiran norma-norma

hukum Negara tertentu, yang difokuskan pada pengetahuan subtansinya.

Objeknya menjelaskan apa hukum itu dan bagaimana hukum dibuat, bukan

persoalan tentang apa seharusnya hukum itu atau bagaimana seharusnya hukum

Grundnorm

Norm

Norm

Norm

Norm

Norm

Norm

Norm

Norm

Norm

Menurut UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan. - UUD 1945

- UU/PERPU

- Peraturan Pemerintah

- Peraturan Presiden

- Peraturan Daerah

Page 26: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14  

itu dibuat. Teori hukum murni menghilangkan semua hal yang bukan merupakan

objek kognisi hukum, yang membebaskan hukum dari semua elemen asing di luar

hukum, sehingga sebenar-benarnya hukum adalah hukum yang bersih dan steril.23

Ajaran teori hukum murni Hans Kelsen mengandung prinsip-prinsip:

1) Tujuan hukum untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi

kesatuan

2) Teori hukum merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang

berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.

3) Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif

4) Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma dan tidak ada

hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

5) Teori hukum adalah formal, tentang cara menata, mengubah isi dengan

cara yang khusus.

6) Hubungan antara teori hukum dan sistem hukum yang khas dan hukum

positif adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang ada.

Terkait dengan teori hukum oleh Hans Kelsen, bahwa hukum sebagai teori

tentang norma-norma dan tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma

hukum tersebut, maka penelitian tesis ini sesuai dengan teori Hans Kelsen

tersebut, dimana dalam penelitian ini yang diteliti dan dibahas adalah tentang

norma-norma hukum berupa peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam

suatu teks peraturan perundang-undangan

Hans Kelsen beranggapan bahwa hyphotetisch ordeet sebagai bentuk

hukum. Hukum untuk dapat berlaku tidak tergantung dari orang yang

menerimanya, tetapi asal saja syarat-syarat atau unsur-unsurnya terpenuhi, maka

hukum dapat berlaku. Kedudukan hukum lebih tinggi daripada Negara, sehingga

segala penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia harus berdasarkan atas

hukum,24 sesuai dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa

                                                                        23 Hans Kelsens dalam Stanley L. Paulson, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 38             24 Hans Kelsen dalam CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jilid 1, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 106 

Page 27: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15  

Negara Indonesia adalah Negara hukum. Arti hukum terbentuk pada bentuk

hukum, sedangkan keadilan ada hubungannya dengan hukum yang berada diluar

pengertian hukum sebagai hukum. Hukum sah asal bersumber dari norma dasar

dan mempunyai efektifitas, karena norma dasar atau grundnorm adalah dasar

segala kekuasaan dan merupakan legalitas hukum positif. Hukum dapat bertepatan

dengan ketidak adilan juga, karena sudut pandang hukum dapat dilihat dari

berbagai aspek, sehingga keadilan dan ketidak adilan sangatlah relatif sekali, yag

terpenting hukum dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum yang ada.

Norma hukum dalam Negara dibagi dalam empat kelompok menurut Maria

Farida Indrati Soeprapto, yaitu.

- Kelompok I. Staats Fundamentalnorm (norma fundamental Negara) yang merupakan pembukaan UUD 1945

- Kelompok II. Staats Grundgesetz (aturan dasar/pokok Negara) yaitu batang tubuh UUD 1945

- Kelompok III. Formell Gesetz (undang-undang formal), seperti UU - Kelompok IV. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan

aturan otonom), seperti PP, Perda, dan peraturan pelaksana lainnya.

Diagram piramid (Theorie Stufenaufbao der Rechtsordnung, Nawiasky-Kelsen)

Konstitusi menggambarkan hukum positif ditingkat tertinggi. Mengambil

pengertian kata subtantif dan fungsi esensial konstitusi yang bergantung pada

pengaturan alat pemerintah dan proses penciptaan hukum umum, yaitu proses

legislasi. Disamping itu konstitusi menetapkan muatan undang-undang dimasa

depan.25

                                                                        25 Stanley Poulson, Op.cit, hlm. 106  

I. Staat Fundamentalnorm (pembukaan UUD 1945)

II. Staats Grundgesetz (batang tubuh UUD 1945)

III. Formell Gesetz (Undang-Undang)

IV. Verordnung dan Autonome Satzung (Peraturan Pelaksana, PP, Perda, dll)

I

II

III

IV

Page 28: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16  

Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum

(Stufentheorie) dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-

jenjang dan berlapis lapis dala suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma

yang lebih rendah berlakunya, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi , norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma

yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar

(Grundnorm).

Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tidak lagi

dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan

terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasr yng merupakan gantungan

bagi bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar

tersebut dikatakan pre-supposed. Suatu norma hukum itu keatas ia bersumber dan

berdasarkan pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah menjadi dasar dan

menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga norma hukum

mempunyai masa berlakunya yang relatif, karena masa berlakunya suatu norma

hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya, sehingga apabila

norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau di hapus, maka norma-norma

hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.

Norma fundamental Negara merupakan norma tertinggi dalm suatu Negara,

yaitu norma yang tidak dapat dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi.

Norma fundamental merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi dan undang-

undang dasar suatu Negara. Hakekat hukum fundamental ialah syarat bagi

berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.

Aturan dasar Negara adalah norma hukum dibawah dasar fundamental.

Norma dalam aturan dasar ini merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat

garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma

skunder. Di Indonesia aturan dasar terdapat dalam Pancasila dan batang tubuh

UUD 1945. Aturan dasar merupakan landasan bagi pembentukan undang-undang

dan peraturan lainnya yang lebih rendah. Aturan dasar berisi garis-garis besar atau

pokok kebijaksanaan Negara, juga terutama aturan-aturan untuk memberlakukan

Page 29: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17  

norma-norma hukum, peraturan perundang-undangan, atau menggariskan tata cara

membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum.26

Norma dalam undang-undang sudah konkrit dan terperinci dapat langsung

berlaku dalam masyarakat. Norma ini bersifat tunggal dan juga sudah bisa

dicamtumkan norma-norma yang bersifat sanksi. Peraturan pelaksana adalah

berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang.

Dalam sistem norma hukum di Indonesia, Pancasila merupakan norma

fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, yang

kemudian berturut-turut diikuti oleh batang tubuh UUD 1945, serta hukum dasar

sebagai aturan dasar Negara, undang-undang serta peraturan pelaksana dan

peraturan otonom yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,

Keputusan Menteri, Peraturan pelaksanaan, dan peraturan otonom lainnya.

Perhatian teori hukum Hans Kelsen adalah menitik beratkan pada

keabsahan norma-norma hukum ditetapkan berdasarkan pertimbangan norma

ditingkat lebih tinggi berikutnya, dan seterusnya, hinga norma paling tinggi dalam

sistem hukum tersebut dicapai level konstitusi. Sistem hirarkis mempengaruhi

kepastian hukum, karena hukum di Negara yang beraliran civil law system

diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tertulis yang dibuat oleh

lembaga yang berwenang untuk membuatnya dan mempunyai legalitas hukum.

Dalam Negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitaas dalam

segala bentuknya, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan

perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis

tersebut menurut Malcolm Waters dalam Otje Salman dan Anton F. Susanto, teori

posivistik adalah:

“Teori yang mencoba untuk menjelaskan hubungan secara empiris antara variable dengan menunjukkan bahwa variabel-variabel itu dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan teoris yang lebih abstrak. Teori ini menjelaskan tentang pernyataan-pernyataan yang spesifik, karena teori ini sangat memfokuskan pada hubungan-hubungan empiris tertentu, temuan- temuannya yang belum terbukti mempunyai pengaruh”.27

                                                                        26 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang‐ undangan, ctk. Kesepuluh, Kanisius, Yogyakarta, 1998             27 Otje Salman dan Anton Susanto, Teori Hukum, ctk. Kedua, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 24 

Page 30: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18  

Dari sudut pandang penerapan termasuk penelitian berfokuskan pada masalah,

yaitu penelitian terhadap masalah-masalah itu ditentukan atas dasar kerangka

teoritis. Sehingga penelitian ini menjadi penghubung antara penelitian murni

dengan penelitian terapan. Berpijak dari teori hukum murni sebagai teori dasar

penelitian tesis, maka secara teori putusan Mahkamah konstitusi yang merupakan

praktik hasil dari produk hukum suatu lembaga peradilan Negara tersebut tidak

dapat dibenarkan dan melanggar hukum normatif.28

Ada lima konsep hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto, yaitu:

1) Hukum adalah suatu asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal

2) Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang- undangan hukum nasional

3) Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim, inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law

4) Hukum adalah pola prilaku sosial yang terlambangkan, eksis sebagai variable sosial yang empirik

5) Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.29

Konsep hukum adalah suatu asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati

dan berlaku universal merupakan sifat dasar hukum. Thomas Van Aquino

berpendapat bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan

oleh suatu undang-undang abadi yang menjadi dasar kekuasaan dari peraturan

lain. Terkait dengan asas hukum dalam peraturan perundang-undangan yaitu,

bahwa hukum tidak dapat berlaku surut, undang-undang yang dibuat oleh

penguasa yang kedudukannya lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih

tinggi pula, hukum yang mengatur lebih khusus diutamakan dari yang bersifat

umum, hukum yang baru dapat mengalahkan hukumyang lama, dan undang-

undang tidak dapat diganggu gugat.30

                                                                        28 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universtas Sebelas Maret, Surakarta, 2002, hlm. 6             29 Ibid, hlm. 20             30 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 155 

Page 31: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19  

Konsep hukum kedua adalah konsep hukum normatif. Konsep normatif

hukum adalah suatu norma yang diidentikkan dengan keadilan yang harus

diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujudkan sebagai

perintah yang eksplisit dan secara positif telah dirumuskan jelas dalam undang-

undang (ius constitutum) untuk menjamin kepastian hukum. Sehingga seluruh

produk hukum harus berdasarkan aturan yang telah tertulis dalam undang-undang.

Menurut pandangan legisme, yang sesuai dengan konsep kedua, bahwa

hukum adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Hukum

terbentuk hanya oleh undang-undang (Wetgiving) hakim secara tegas terikat pada

peraturan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga peradilan

adalah hal menerapkan secara mekanisme dari ketentun undang-undang pada

kejadian-kejadian yang konkrit. Dalam aliran legisme segala sesuatu telah

ditentukan oleh hukum/undang- undang, diluar undang-undang bukan merupakan

hukum. Peradilan hanya sebagai lembaga pelaksana undang-undang. Aliran

legisme berpendapat bahwa putusan hakim tidak penting, karena hukum adalah

undang-undang. Hukum adalah semuanya telah diatur dan ditulis dalam teks

undang-undang, jadi yang tidak tersebut ditulis dalam teks bukan termasuk dari

hukum.31

Asas hukum atau undang-undang adalah jiwa dari hukum tersebut. Asas-

asas yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yaitu:

1) Undang-undang tidak dapat berlaku surut

2) Asas Lex Superiori Derogat legi Inferiori, Undang-undang yang dibuat

penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan lebih tinggi pula

3) Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis, undang-undang yang lebih

khusus mengalahkan undang-undang yang bersifat umum

4) Asas Lex Pasteriore Derogat Lex Priori, undang-undang yang baru

diutamakan daripada undang-undang yang lama

5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.32

                                                                        31 Muchsin, op.cit, hlm. 8             32 C.S.T. Kansil, op.cit, hlm. 155 

Page 32: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20  

Jika dikaitkan dengan tesis yang penulis teliti, maka putusan Mahkamah

Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan Kepala Daerah ulang di

Jawa Timur dimungkinkan melanggar norma-norma positif yang terdapat dalam

Undang-Undang Dasar dan undang-undang, karena di dalamnya tidak mengatur

kewenangan untuk memutus atau menyuruh Pemilihan Kepala Daerah ulang,

tetapi terkait perselisihan hasil pemilihan umum, dalam Pasal 24C UUD 1945.

Kaitan dengan tesis yang penulis teliti, konsep ketiga bahwa hukum

menurut Soetandyo Wignyosoebroto adalah apa yang diputuskan oleh hakim,

inconcreto, dan tersistematis sebagai judge made law. Maka Putusan Mahkamah

Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 dapat termasuk dalam konsep ketiga ini,

karena putusan Mahkamah Konstitusi itu diputuskan oleh hakim Mahkamah

Konstitusi yang merupakan penyelenggaraan atas kekusaan kehakiman. Hakim

dapat membentuk hukum atas dasar bahwa hakim tidak dapat menolak perkara

dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur. Hakim mempunyai hak untuk

membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara. Walaupun hakim dapat

menemukan atau menciptakan hukum, bukan berate hakim bebas membuat

hukum sendiri, karena kedudukan hakim bukan pemegang kekuasaan legeslatif

atau badan pembuat undang-undang. Keputusan hakim tidak punya kekuatan

hukum yang bersifat umum, keputusan hakim hanya berlaku pada pihak-pihak

tertentu saja.33Menurut aliran legisme bahwa putusan hakim kurang dianggap

penting, karena sumber hukum dari aliran legisme adalah undang-undang, hakim

hanya sebagai pelaksana dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-

undang.34

B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik

1. Pengertian tentang kebijakan publik

Menurut James E Anderson, kebijakan adalah serangkaian tindakan yang

mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku

                                                                        33 CST. Kansil, Op.cit, hlm 36              34 Stanley Poulson, op.cit. hlm. 156 

Page 33: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21  

atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah. Carl.J.Frledrick

mengatakan, kebijakan sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,

kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan

hambatan-hambatan dan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan

tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.35 Edwards dan Sharkansky

mengemukakan bahwa kebijakan publik itu dapat ditetapkan secara jelas dalam

peraturan perundang- undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat

pemerintah atau berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh pemerintah.36

Menurut Bambang Sutiyoso perbuatan pemerintah atau Negara yang

disebut juga kebijakan pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu.

1) Mengeluarkan perundang-undangan (regelling)

2) Mengeluarkan suatu keputusan (beschikking)

3) Melaksanakan perbuatan material (materielle dood)

Perbuatan pemerintah yang mengeluarkan perundang-undangan tersebut dapat

dinilai dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki

wewenang untuk menguji secara materiil undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar. Dalam melaksanakan kebijakan pemerintah sering melakukan

tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat

menimbulkan masalah.37 Kebijakan menurut Edi Suharto erat kaitannya dengan

sistem demokrasi, karena penentuan kebijakan dirumuskan melalui persetujuan

rakyat menurut sistem demokrasi yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.38Lembaga pemerintah dalam mengeluarkan undang-undang yang

bersifat umum mengikat semua orang, berisi kaidah hukum yang melindungi

banyak orang.39

                                                                        35 Setiono. Hukum dan Kebijakan Publik. Bahan Matrikulasi Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2008, hlm. 3             36 Jamal Wiwoho, Bahan Perkuliahan Hukum dan Kebijakan Publik, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2008, hlm. 6             37 Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, ctk. Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 37             38 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta, Jakarta, 2005, hlm. 72             39 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 80 

Page 34: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22  

Menurut Bambang Sunggono terdapat beberapa pendapat tentang konsep

kebijakan.40 Seperti, Kleijn mengartikan kebijakan sebagai tindakan secara sadar

dan sistematis, denga mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan

politik yang jelas sebagai sasaran yang dijalankan langkah demi langkah. Kuypers

berpendapat, kebijakan sebagai suatu susunan dari tujuan-tujuan yang dipilih oleh

para administrator publik baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk

kepentingan kelompoknya dan sarana-sarana yang dipilih olehnya. Menurut

Harold D.Daswell, kebijakan adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai,

dan praktek terarah. Kebijakan publik menurut Joko Widodo adalah suatu

kegiatan yang terkait dengan perumusan masalah, agenda kebijakan ditentukan,

perumusan kebijakan, keputusan kebijakan diambil, kebijakan dilaksanakan, dan

kebijakan dievaluasi.41

Kebijakan menurut Taliziduhu Ndraha adalah suatu pilihan yang terbaik,

usaha untuk memproses nilai pemerintah yang bersumber pada kearifan

pemerintahan dan mengikat secara formal, etika dan moral yang diarahkan guna

untuk menepati pertanggungjawaban aktor pemerintahan dalam lingkungan

pemerintahan dengan dasar pertimbangan kemanusiaan, kependudukan,

kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dan hubungan pemerintahan.42

Kebijakan publik oleh James E Anderson dalam Jamal Wiwoho merupakan:

1) Kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan tertentu atau tindakan yang berorientasi pada tujuan

2) Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah

3) Bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusn pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu

4) Kebijakan pemerintah dalam arti positif selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan.43

                                                                        40 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 13             41 Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Bayumedia Publising, Malang, 2007, hlm. 17              42 Taliziduhu Ndraha, KYBERNOLOGI, Ilmu Pemerintahan Baru, ctk. Pertama, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 498  43 Jamal Wiwoho, opcit, hlm. 7 

Page 35: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23  

Thomas R. Dye dalam Setiono menjelaskan bahwa kebijakan Negara atau

public policy is whatever government choose to do or not to do, yaitu pilihan

tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah44.

Kebijakan publik adalah suatu produk hukum pemerintah. Adanya pemisahan

kekuasaan lembaga Negara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif yang dianut di

negara Indonesia menjadikan segala keputusan yang diambil oleh lembaga-

lembaga Negara tersebut adalah suatu kebijakan publik, termasuk keputusan yang

dikeluarkan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang

telah mengeluarkan putusan terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Jawa

Timur. Menurut Dror, aktor yang berperan dalam membuat kebijakan suatu

Negara berkembang yaitu:

- Individu secara perorangan sebagai pemilih - Golongan intelektual - Para pejabat yang menduduki posisi penting dalam pembuatan kebijakan - Badan legeslatif - Badan eksekutif - Birokrasi pemerintah - Badan peradilan - Partai- partai politik - Golongan militer45

Keputusan Pengadilan menurut civil law system adalah jurisprudensi yang

merupakan sumber hukum, tetapi masih sekunder. Keputusan Mahkamah

Konstitusi merupakan suatu kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga

Yudikatif Negara. Mengingat kewenagannya untuk menguji undang-undang di

bawah Undang-Undang Dasar menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai

sumber hukum di Negara Indonesia.46

Menurut Jimly Asshidiqie, adanya pemisahan kekuasaan dari lembaga

eksekutif, legeslatif, dan yudikatif menjadikan produk hukum yang dihasilkan dari

lembaga-lembaga tersebut adalah sama berupa kebijakan Negara. Karena

                                                                        44 Setiono, loc.cit, hlm. 3              45 Dror dalam Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 27             46 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press & PT Cipta Media, Jakarta, 2006, hlm. 343 

Page 36: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24  

kebijakan Negara yang diambil oleh lembaga yudikatif untuk mengatasi

permasalahan Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur adalah dengan putusan

Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008, sehingga putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut merupakan bentuk kebijakan publik.47

Karena kebijakan publik itu merupakan seluruh pilihan tindakan apapun

yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah, maka putusan

Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 juga merupakan kebijakan

pemerintah, karena Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari lembaga negara.

Sesuai dengan pendapat Dror yang menyatakan putusan pengadilan termasuk

suatu kebijkan publik, sehingga saya mengambil pemahaman bahwa putusan

Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah

ulang termasuk dalam kajian hukum kebijakan publik.

Sesuai dengan pendapat James E Anderson, bahwa Kebijakan pemerintah

dalam arti positif selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan, maka

keputusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan

Kepala Daerah ulang di Jawa Timur yang juga merupakan kebijakan publik,

dimungkinkan tidak berlandaskan peraturan perundang-undangan yang ada,

karena tidak sesuai dengan UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004, dan UU No.12 Tahun 2008

tentang perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

2. Hubungan hukum dan kebijakan publik

Hubungan hukum dan kebijakan publik memilki keterkaitan yang sangat

erat. Hukum dan kebijakan publik berangkat pada fokus yang sama dan berakhir

pada muara yang sama pula. Pada proses pembentukan hukum hasil akhirnya

lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undang-undang,

sedangkan pada proses pembentukan kebijakan publik hasil akhirnya pada

terpilihnya sebuah alternatif solusi bagi penyelesaian permasalahan.48 Mengambil

dari pendapat Anderson, bahwa Kebijakan pemerintah dalam arti positif selalu

                                                                        47 Ibid             48 Setiono, op.cit, hlm. 4 

Page 37: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25  

dilandaskan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan hubungan

hukum dan kebijakan publik sangat erat. Dalam setiap membuat suatu kebijakan

pemerintah harus memperhatikan hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan. Agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak

menyalahi hukum, maka kebijakan dikontrol atau didasarkan pada hukum yang

ada. Dapat diambil makna, jika kebijakan publik tidak berdasarkan hukum, maka

kebijakan publik tersebut dapat dikatakan melanggar hukum, sehingga kebijakan

publik yang dikeluarkan pemerintah tidak sah.

Kebijakan publik sangat membantu memaparkan kandungan yang ada

dalam sebuah produk hukum. Karena kebijakan publik sebagai sarana untuk

menyukseskan pelaksanaan hukum. Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa

kebijakan publik yang dibuat pemerintah bukanlah bermaksud untuk melakukan

suatu yang bertentangan dengan aturan hukum.

Penerapan hukum sangat tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana

yang dapat mensukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan

adanya kebijakan publik, maka pemerintah dengan masyarakat setempat akan

mampu merumuskan apa saja yang harus dilakukan, agar penerapan hukum yang

ada dapat berjalan dengan baik.

Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki keterkaitan

yang sangat erat, sehingga telaah tentang kebijakan pemerintah semakin

dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum saat ini. kebutuhan tersebut

semakin dirasakan seiring dengan semakin meluasnya peranan pemerintah

memasuki bidang kehidupan masyarakat. Menurut Setiono,49 pada dasarnya di

dalam penerapan hukum tergantung pada empat unsur:

1) Unsur hukum 2) Unsur struktural 3) Masyarakat 4) Budaya

                                                                         49 Setiono, op.cit, hlm. 6  

Page 38: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26  

Unsur hukum disini adalah teks aturan-aturan hukum. Semua kebijakan publik

yang telah dikeluarkan oleh pemerintah harus berlandaskan undang-undang yang

telah ada. Teks yang ada merupkan acuan yang jelas tertulis, sehingga kebijakan

publik yang dibuat tidak menyimpang dari peraturan yang menjadi dasar hukum

kebijakan publik.

Terkait dengan tesis yang ditulis, maka putusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur

dimungkinkan tidak memenuhi unsur hukum yang ada. Karena secara normatif

dianggap melanggar ketentuan hukum dasar, yaitu UUD 1945 dan peraturan

perundang-undangan, yaitu UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.12 Tahun 2008

perubahan atas UU No.32 Tahun 2004.

Unsur struktural adalah lembaga-lembaga atau organisasi yang membuat dan

melaksanakan hukum. Lembaga yang membuat dan menerapakan hukum

merupakan lembaga yang berwenang untuk itu. Sehingga salah apabila suatu

produk hukum dibuat oleh lembaga yang tidak mempunyai wewenang untuk

melakukan tindakan yang dimaksud.

Seperti yang terjadi pada putusan Mahkamah Konstitusi yang

memerintahkan diadakannya Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur. Itu

menunjukkan adanya ketidaksesuaian struktural hukum. Mahkamah Konstitusi

yang hanya diberikan wewenang untuk memeriksa perselisihan hasil perhitungan

suara pemilihan umum. Jadi Mahkmah Konstitusi secara sturktural tidak sesuai

dengan kewenangan hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

C. Mahkamah Konstitusi

1. Konsep dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi,

pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali.

Page 39: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27  

Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan

Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga

tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi Majelis

Permusyawaratan Rakyat kepada supremasi konstitusi.50 Karena perubahan yang

mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan

konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang secara khusus melakukan

pengujian terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi,

mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi

sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and

balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan

perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di

bawah undang-undang melainkan juga atas undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar.51 Kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar

Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang

berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung.

Dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Sesuai dengan gagasan Hans Kelsen tentang perlunya pembentukan Mahkamah

Konstitusi. Adanya konflik antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma

hukum yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang dengan

putusan Pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi

dengan dan undang-undang. Jadi Mahkamah Konstitusi awalnya dibentuk untuk

                                                             50 Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.             51 Jimly Assiddiqie, Model‐Model Pengujian Konstitusional di Beberapa Negara, Konstitusi Press, 2005, Jakarta, hlm. 33       

Page 40: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28  

menguji undang-undang terhadap konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi

disebut pengawal konstitusi atau the guardian of the constitution.52

Menurut Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Fungsi dari Mahkamah

Konstitusi oleh badan pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada awalnya

diarahkan untuk:

1) Memeriksa dan mengadili sengketa dibidang ketatanegaraan 2) Melakukan pengujian terhadap peraturan dibawah UUD 1945 3) Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan 4) Mengadili pembubaran partai politik 5) Mengadili sengketa antara instansi pemerintah di pusat atau instansi

pemerintah pusat dengan instansi pemerintah daerah 6) Mengadili suatu pertentangan undang-undang 7) Memberikan putuan gugatan yang berdasarkan UUD 1945 8) Memberi pertimbangan kepada DPR dalam hal DPR meminta MPR

bersidang untuk menilai perilaku Presiden yang dianggap mengkhianati Negara atau merusak nama baik lembaga Negara Presiden.53

Melalui pendekatan konsep sejarah (historical approach) dari awal pembentukan

Mahkamah Konstitusi oleh badan pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak

ada wewenang untuk menyelesaiakan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Lebih lanjut lagi menurut I. Gede Pantja Astawa dalam Jamal Wiwoho,54

ada tiga hal yang melatar belakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia, yaitu;

1) Adanya kekosongan hukum (rechtsvvacuum) atau kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) yang berkenaan secara khusus dengan pengujian (review) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

2) Adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kemungkinan timbulnya konflik kewenangan diantara lembaga-lembaga Negara yang ada.

                                                                        52 Jamal Wiwoho, Lembaga‐Lembaga Negara Pasca Amandemen Keempat UUD 1945, UNS Press, ctk. Pertama, 2006, Surakarta, hlm. 226             53 Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Mahkamah Konstitusi. Memahami Keberadaan dalam Sistem Ketatanegaraan. Regulasi Indonesia, Rineka Cipta, ctk. Pertama, 2006, Jakarta, hlm. 20              54 Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 228 

Page 41: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29  

3) Berkenaan dengan alasan-alasanyang menjadi dasar pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya, sehingga pernah timbul perbedaan pendapat yang cukup mendasar antara Presiden Abdurahman Wakid yang akan dijatuhkan dengan MPR/DPR dalam kasus Bulog.

Begitu pula menurut I. Gede Pantja Astawa, latar belakang pembentukan

Mahkamah Konstitusi tidak untuk menyelesaikan perelisihan tentang hasil

pemilihan umum. Karena pada dasarnya terkait masalah perselisihan hasil

pemilihan umum telah ada lembaga yang kompeten untuk menanganinya.

2. Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi

Jimly Asiddiqie dalam Fatkurrohman55 Judicial review adalah upaya

pengujian oleh lembaga Yudicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh

cabang kekuasaan legeslatif, eksekutif, dan Yudikatif. Sesuai dengan pasal 24C

ayat (1) UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

pasal 1 dan 10, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya final untuk menguji undang-undang terhadap UUD

1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ayat (2), Mahkamah Konstitusi wajib

memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.56

Wewenang menguji udang-undang terhadap UUD dengan pengujian formal

dan pengujian secara materiil. Pengujian formal adalah wewenang untuk menilai

apakah produk hukum legislatif dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak dan

apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan sesuatu peraturan. Hak uji materiil

adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan

                                                                        55 Fatkurrohman, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT Citra Aditya, 2004, Bandung, hlm. 25             56 Lihat UUD pasal 24C dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi, pasal 1 dan 10 

Page 42: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30  

perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih

tinggi.57

Adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa

kewenangan lembaga Negara adalah untuk menyelesikan perselisihan atas

kewenangan lembaga Negara yang diberikan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi

dalam memutus sengketa kewenangan lembaga Negara dalam perimbangan

kekuasaan lembaga Negara merupakan fungsi kontrol badan peradilan terhadap

penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga Negara dengan menempatkan

kekuasaan menjadi kewenangan lembaga Negara sesuai dengan proporsi atau

ruang lingkup kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945.

Dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pembubaran

partai politik menjadi syarat mutlak bagi pemerintah untuk melaksanakan

pembubaran partai politik. Karena tanpa ada dasar hukum berupa putusan

Mahkamah Konstitusi atas perkara pembubaran partai politik, pemerintah tidak

berhak membubarkan partai politik. Sehingga Mahkamah Konstitusi disini

sebagai lembaga yang sangat menentukan eksistensi keabsahan partai politik dan

pelindung dari pembubaran partai politik dari penguasa pemerintahan.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil

perhitungan suara pemilihan umum diatur dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan penyelesian perselisihan hasil

perhitungan suara pemilihan kepala daerah yang diatur dalam undang-undang

pemerintahan daerah, UU No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi denganUU No.12

Tahun 2008. Karena dalam Negara yang baru menginjak alam demokrasi banyak

terjadi pelanggaran atau perselisihan hasil pemilu.

Dalam Negara hukum seperti Indonesia ini, maka segala penyelenggaraan

pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Sebagai lembaga peradilan yang

menjunjung tinggi hukum dan menegakkan kedilan Mahkamah Konstitusi wajib

memberikan Putusan tentang pendapat DPR yang selanjutnya diteruskan dalam                                                                         57 Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 230 

Page 43: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31  

sidang paripurna MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden/wakil

Presiden dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Presiden/wakil

Presiden melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam UUD 1945, maka

putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dasar hukum untuk menyatakan

Presiden/wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya.

3. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian hasil pemilu

Kedudukan dan peran Mahkamah Konstitusi berada pada posisi strategis

dalam sistem ketatanegara Republik Indonesia, karena Mahkamah Konstitusi

mempunyai wewenang yang terkait langsung dengan kepantingan politik . Hal ini

menjadikan kedudukan Mahkamah Konstitusi berada dalam posisi sentral

sekaligus rawan terhadap intervensi pengaruh kekuatan politik, khususnya dalam

memutuskan perselisiahan hasil pemilu, pembubaran partai politik, dan

impeeacment terhadap Presiden. Berdasarkan ketentuan pasl 24 ayat (2)

perubahan UUD 1945, ada dua lembaga yang berwenang untuk melakukan

kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung beserta badan peradilan di

bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi pasal 1 dan 10, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Yang sebelumya wewenang

ini dipegang oleh Mahkamah Agung. Setelah terbentuk Mahkamah Konstitusi

maka seluruh urusan terkait sengketa hasil pemilihan umum menjadi wewenang

Mahkamah Konstitusi. Pelimpahan wewenang itu tersirat dalam Pasal 236C UU

No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah menyatakan bahwa, penanganan sengketa hasil penghitungan suara

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung

dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan

sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Page 44: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32  

UUD 1945 pasal 24C dinyatakan,

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

UU No.24 Tahn 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Pasal 1 (3) d dinyatakan,

Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai: a) Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 b) Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 c) Pembubaran partai politik d) Perselisihan tentang hasil pemilihan umum e) Pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 10 (1)dinyatakan,

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

c) Memutus pembubaran partai politik d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam pasal 106 ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah, menyebutkan apabila terjadi keberatan terhadap hasil perhitungan suara

Pemilihan Kepala Daerah maka diajukan ke Mahkamah Agung, kemudian setelah

terjadi perubahan atas undang-undang pemerintahan daerah tersebut diganti

dengan UU No.12 Tahun 2008, dalm pasal 236C, maka terkait perselisihan terkait

Page 45: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33  

hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung di

alihkan ke Mahkamah Konstitusi. Dari pengalihan wewenang tersebut tidak

menyebutkan adanya kewenagan dari Mahkamah Konstitusi untuk memutus

Pemilihan Kepala Daerah ulang, tetapi hanya sebatas sah tidaknya perhitungan

suara. Disebutkan pula dalam pasal 233 bahwa Pemilihan Kepala Daerah harus

dilaksanakan paling lambat bulan desember 2008, sehingga putusan Pemilihan

Kepala Daerah ulang yang dilaksanakan pada tanggal 21 Januari di Sampang dan

Bangkalan tidak sesuai hukum.

Dalam Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi menyebutkan; apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

permohonan atas perkara peselisihan hasil pemilu yang diajukan pemohon adalah

beralasan dan memenuhi ketentuan pasal 74 UU No.24 Tahun 2003, maka amar

putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan dikabulkan, sedangkan

sebaliknya maka amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan

tidak dapat diterima.

Pasal 75 jo pasal 77 ayat (3) dan (4) UU No.24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, terhadap pemohon yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusi

akan melakukan pemeriksaaan, kemudian memutuskan dengan menetapkan hasil

perhitungan suara yang benar dari pemohon atau oleh Komisi Pemilihan Umum.

Hal ini mempunyai relevansi sebagai dasar hukum penetapan suatu hasil

perhitungan suara pemilu secara nasioal dengan implikasi keabsahan perolehan

suara peserta pemilu calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden,

dan Dewan Perwakilan Daerah.

Uji atas perhitungan hasil pemilu merupakan kewenangnan Mahkamah

Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dasar hukum yang

memberikan keabsahan perolehan suara peserta pemilu dari perhitungan hasil

suara pemilu.58

                                                                        58 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Kontitusi, Rineka Cipta, ctk Pertama, 2006, Jakarta, hlm. 38  

Page 46: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34  

Pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam permohonan yang diajukan , pehohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:

Ayat (1) Kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkanm Komisi Pemilihan Umum dan hasil perhitungan yang benar adalah menurut pemohon

Ayat (2) Permintaan untuk membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon59

Hakim tidak boleh menolak untuk memutus suatu perkara, karena tidak ada

hukum yang mngaturnya. Sehingga hakim diberikan kebebasan untuk

memutuskan suatu hukum, pasal 21 A.B. Kekuasaan keputusan hakim tersebut

hanya berlaku terhadap hal yang diputuskan dalam putusan itu dan berlaku bagi

orang tertentu saja. Walaupun hakim dapat menciptakan hukum, namun

kedudukan hukum tersebut bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legeslatif

pembentuk undang-undang yang sah, karena keputusan hakim tidak mempunyai

kekuatan hukum yang berlaku umum.60

Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, jelas bahwa yang

menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi adalah terkait sengketa perhitungan

hasil pemilihan umum, bukan wewenang untuk memutus diadakan atau tidaknya

pemilihan ulang. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 75 jo pasal 77 ayat (3) dan (4)

UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap pemohon yang

dikabulkan, Mahkamah Konstitusi akan melakukan pemeriksaaan, kemudian

memutuskan dengan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar dari

pemohon atau oleh Komisi Pemilihan Umum. Termasuk dalam hal putusan

Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah

ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut. Sehingga

tidak benar jika Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah

di Jawa Timur memutuskan Pemilihan Kepala Daerah ulang.

                                                                        59 Lihat UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Kostitusi             60 CST. Kansil, op.cit. hlm. 36 

Page 47: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35  

D. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum

Pemilu adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan dalam Negara Republik

Indonesia yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia yang

bersifat demokrtis yang bertujuan untuk membentuk sistem kekuasaan Negara

yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan/perwakilan berdasarkan UUD

1945. Pemilu sebagai sarana pendidikan politik masyarakat untuk menumbuhkan

kesadaran dan tanggungjawab rakyat terhadap kelangsungan hidupnya dan

kelangsungan kehidupan bangsa dan Negara.61

Ramlan Surbakti mengatakan bahwa pemilu merupakan suatu sarana

demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan Negara yang pada dasarnya

untuk membentuk sistem kekuasaan Negara menurut kehendak rakyat, sehingga

terbentuknya kekuasaan negara benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat

menurut sistem permusyawaratan perwakilan. Menurut AS Hikam,62 pemilu juga

sebagai sarana pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pemilu dapat pula diartikan

sebagai alat legitimasi kekuasaan.

Landasan hukum pemilu:

- Landasan ideal Pancasila, terutama sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

- Landasan konstitusional, UUD 1945

- Undang- Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemiihan umum 

Asas pemilihan umum:

- Langsung, maksudnya bahwa tiap pemilih secara langsung memberikan suaranya, tanpa perantara atau tanpa diwakilkan

- Umum, maksudnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan berhak memilih atau dipilih

- Bebas, maksudnya bahwa semua yang melakukan pemilihan dijamin keamanannya, tanpa adanya pegaruh, tekanan dan paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun

                                                                        61 Cecep Darmawan, Tata Negara, Regina, ctk. Ketiga, 2004, Jakarta, hlm. 123             62 AS Hikam, Politik Kewarganegaraan, Erlangga, 1999, Jakarta, hlm. 15 

Page 48: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36  

- Rahasia, maksudnya bahwa para pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh siapapun siapayang dipilihnya

- Adil, maksudnya penyelenggara pemilu,setiap pemilih dan parpol peserta mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dari pihak manapun

- Jujur, maksudnya semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

Terkait dengan tesis yang saya teliti, apabila pemilu terdapat pelanggaran-

pelanggaran terhadap asas-asas pemilu, maka proses yang harus dilakukan untuk

menyelesaikan pelanggaran tersebut adalah kewenagan dari lembaga yang terkait,

Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri merupakan lembaga yang

berwenang, baru setelah ada putusan dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk

bahan bukti telah tejadi pelanggaran pemilu, tetapi hal ini tidak dilakukan dalam

sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur. Mahkamah Konstitusi

langsung memutus sengketa Pemilihan Kepala Daerah tersebut, padahal

Mahkamah Konstitusi menyebutkan adanya pelanggaran yang dilakukan secara

sistematis, terstruktur, dan masif. Maka pelanggaran tersebut seharusnya

dibuktikan terlebih dulu.

Pemilihan umum sesuai dengan UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilihan

umum dilaksanakan untuk memilih, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut Deny

Indrayana, pemilihan kepala daerah tidak masuk dalam rezim pemilu dan juga

tidak termasuk dalam rezim pemerintahan daerah, karena memang diantara

keduanya tidak mengatur tentang pemilihan kepala daerah.63

UUD 1945 pasal 22E dinyatakan,

1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur, rahasia, dan adil setiap lima tahun sekali.

                                                                        63 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008, hlm.147 

Page 49: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37  

2) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Mengacu dari pasal 22E UUD 1945, maka Pemilihan Kepala Daerah tidak

disebut sebagai pemilihan umum, sehingga Pemilihan Kepala Daerah secara

normatif bukan termasuk dalam kategori pemilihan umum.

E. Pemerintahan Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah

1. Pemerintahan daerah

Menurut Edriatmo Soetarto,64 pemerintahan daerah adalah daerah-daerah

otonom yang memiliki kekuasaan dari pusat untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan rumah tangga pemerinthan di daerah. Pemerintah daerah tersusun

dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.

Pemerintahan daerah oleh Dadang Juliantara,65diartikan sebagai demokrasi

kerakyatan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, pemerintah daerah

sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan pada masyarakat,

menyalurkan aspirsi dan kepentingan rakyat melalui pemberdayaan masyarakat.

Dalam pasal 1 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam menjalankan pemerintahan daerah tentunya dipimpin oleh Kepala Daerah.

Yang dimana Kepala Daerah menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah dan UU No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun

2004 dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1), menyebutkan; Kepala daerah

                                                                        64 Edriatmo Soetarto, Elit versus Rakyat, Lapera, ctk. Pertama, 2006, Yogyakarta, hlm. 184             65 Dadang Juliantara, Arus Bawah Demokrasi, Lapera, ctk. Kedua, 2000, Yogyakarta, hlm. 82 

Page 50: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38  

dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan

secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan

adil. Akan tetapi UUD 1945 tentang pemerintahan daerah tidak menyatakan

pemilihan kepala daerah merupakan pemilihan umum.

UUD 1945 pasal 18 dinyatakan,

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.66

Dalam UUD 1945 pasal 18 menunjukkan adanya perbedaan, bahwa pemilihan

umum di daerah dilakukan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, sedangkan untuk pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota sebagai kepala

daerah dipilih secara demokratis. Dipilih demokratis bukan berarti pemilihan

umum, karena sebelum UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terbit,

kepala daerah dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masing-

masing derah tersebut.67

2. Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan Kepala Daerah merupakan wujud dari asas desentralisasi dan

otonomi daerah. Pada UU No.22 Tahun 1999 Kepala Daerah masih dipilih oleh

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Karena tuntutan masyarakat untuk

dilibatkan langsung dalam proses demokrasi, sehingga dalam UU No.32 Tahun

2004 Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1), menyebutkan;

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang

dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur, dan adil. Dalam UU No.12 Tahun 2008 pasal 56 ayat (2) Pasangan calon

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan

partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang

memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini.                                                                         66 Lihat UUD 1945 pasal 18 (3) dan (4)             67 Lihat UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 

Page 51: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39  

Walaupun pemilihan kepala daerah merupakan pelaksanaan asas lex

specialis derogate legi generalis, akan tetapi undang-undang pemerintahan daerah

tidak dapat melampaui hirarkis UUD 1945. Pemilihan Kepala Daerah merupakan

wujud dari asas desentralisasi dan otonomi daerah. Pada UU No.22 Tahun 1999

Kepala Daerah masih dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Karena tuntutan masyarakat untuk dilibatkan langsung dalam proses demokrasi,

sehingga dalam UU No.32 Tahun 2004 Kepala Daerah dipilih langsung oleh

rakyat. Berdasarkan UUD 1945 pasal 18, UU No.32 tahun 2004 tentang

pemerintah daerah dan UU No.12 Tahun 2008 itulah Pemilihan Kepala Daerah

dilaksanakan, karena didalam undang-undang tersebut mengatur tentang

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Yang dimaksud Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati

dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota. Menurut Rozali Abdullah

pemilihan kepala daerah berarti mengembalikan kedaulatan rakyat, legitimasi

yang sama antara kepala daerah dengan DPRD, dan menjegah politik dagang sapi

atau uang.68

Pemilihan kepala daerah dalam Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005

tentang pemilihan kepala daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah

adalah sarana pelaksaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi atau kabupaten

dan/atau kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah

dan wakil kepala daerah.69 Pentingnya legitimasi yuridis proses dan hasil

pemilihan kepala daerah sangat penting sekali, karena masalah pemilihan kepla

daerah sangat rentan sekali dengan perselisihan terhadap hasil pemilihan.70

Dalam pemilihan kepala daerah terdapat lembaga penyelenggara

pemilihan, yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah. Kemudian pelaksanaan

pemilihan kepala daerah diawasi oleh Panitia Pengawas di tingkat provinsi untuk

                                                                        68 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Raja Grafindo, ctk. Pertama, 2005, Jakarta, hlm. 53             69 Lihat PP No.6 tahun 2005 tentang pemilihan kepala daerah             70 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Pustaka Pelajar, ctk. Pertama , 2005, Yogyakarta, hlm. 100 

Page 52: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40  

pemilihan Gubernur dan Panitia Pengawas tingkat kabupaten/kota untuk

pemilihan Bupati dan/Walikota. Panitia Pengawas mempunyai tugas yang berat

dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. UU No.32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 57 menunjukkan tugas Panitia Pengawas pemilihan

kepala daerah, pasal 78 mengatur tentang larangan kampanye, dan pasal 81 yang

mengatur tentang sanksi pidana dan administratif. Kesemuanya sanksi merupakan

wewenang Panitia Pengawas pemilihan kepala daerah untuk menindak lanjuti

sampai proses sidang di peradilan atau pendiskualifikasikan pasangan calon

kepala daerah yang melakukan pelanggaran.71

Pemilihan Kepala Daerah ditinjau dari segi hirarki tata urutan perundang-

undangan oleh teori hukum murni telah melanggar aturan dasar atau pokok dalam

batang tubuh UUD 1945, Karena dalam batang tubuh Pasal 18 dan 22E UUD

1945 tidak menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah adalah pemilihan

umum. Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum

(Stufentheorie) dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-

jenjang dan berlapis lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma

yang lebih rendah berlakunya, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi , norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma

yang lebih tinggi lagi.

Mengacu dari teori hukum murni yang penulis jadikan dasar atau landasan

teori, maka penelitian ini menunjukkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur

dimungkinkan bertentangan dengan peraturan dasar dan peraturan perundang-

undangan, karena putusan Mahkamah Konstitusi seperti hukum yang ideologis

yang hanya mngembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam Negara.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menggambarkan hukum yang tidak bersih,

dicemari politiik, sosiologi, sejarah, dan etika. Putusan Mahkamah Konstitusi

dimungkinkan melanggar Grundnorm yang merupakan hukum dasar dan tertinggi

dalam Negara, UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak sesuai

                                                                        71 Lihat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 

Page 53: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41  

dengan Stufentheory, karena secara hirarkis bertentangan dengan sistem hukum di

atasnya.

3. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah

Apabila mengacu UUD 1945 dan UU No.24 Tahun2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, maka bukan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Namun sejak diserahkannya

wewenang Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi terkait sengketa

pemilihan kepala daerah sehingga terkait masalah pemilihan kepala daerah diatur

dalam undang-undang pemerintahan daerah.

Sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia, kehidupan sistem pemerintahan

daerah mengalami berbagai perubahan. Segala urusan pemerintah daerah di atur

dan diurus oleh pemerintahan daerahnya sendiri. Dengan UU No.32 Tahun 2004

tentang pemerintah daerah masyarakat di daerah berhak untuk memilih Kepala

Daerahnya sendiri secara langsung. Demokrasi yang diharapkan oleh masyarakat

guna untuk mewujudkan masyarakat daerah yang adil, makmur, dan sejahtera.

Akan tetapi proses demokrasi tersebut sering diwarnai oleh perselisihan atau

sengketa hasil pemilihan kepala daerah.

Terkait tentang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah diatur dalam UU

No.32 Tahun 2004 pasal 103, 104, dan 106, yang diperbaruhi dengan UU No.12

Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

pasal 233 dan 236.

UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 103 dinyatakan,

(2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.

(3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.

(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.

Pasal 104 dinyatakan,

Page 54: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42  

(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan Maka tidak dapat dilakukan.

(2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:

a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus ,menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;

c. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;

d. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau

e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.

Pasal 106 dinyatakan,

(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil

penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon

Melihat dari ketentuan pasal-pasal UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, maka perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah adalah

perselisihan jumlah suara pemilihan kepala daerah, bukan perselisihan tentang

pelanggaran pemilihan kepala daerah, karena apabila terjadi pelanggaran terhadap

pemilihan kepala daerah adalah wewenang panitia pengawas pemilihan kepala

daerah yang kesemuanya diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah pasal 57, 78, dan 81.

Page 55: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43  

UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 233 dinyatakan,

(2) Pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama pada bulan Oktober 2008.

(3) Dalam hal terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselenggarakan paling lama pada bulan Desember 2008.

Pasal 233 diatas menunjukkan bahwa sengketa pemilihan kepala daerah harus

diselesaikan paling akhir bulan oktober 2008, tetapi pemilihan kepala daerah

ulang di Jawa Timur putaran ketiga dilakukan pada tanggal 21 Januari.

Pasal 236C dinyatakan,

Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 236 tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi mendapatkan

wewenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah dari

pelimpahan tugas oleh Mahkamah Agung. Sejak dikeluarkan UU No. 12 Tahun

2008 tentang pemerintahan daerah, maka seluruh perselisihan tentang hasil

pemilihan kepala daerah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Begitu juga

sengketa pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, dimana

pihak Khofifah-Mujiono sebagai peserta pemilihan umum yang keberatan dengan

hasil perhitungan suara dan mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi

hingga menghasilkan sebuah putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-

VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur.

Page 56: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44  

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian tesis ini digunakan metode penelitian doktrinal atau

normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis logika

deduksi, yang dilakukan melalui pendekatan terhadap peraturan perundang-

undangan (statute approach), pendekatan sejarah hukum (Historical Approach),

dan pendekatan konsep (conceptual approach). Menurut Soerjono Soekanto dan

Srimamudji penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder

belaka, penelitian ini disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Untuk

memahami adanya hubungan antara ilmu hukum dengan hukum positif perlu

ditelaah terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.72

Penelitaian hukum normatif menurut Amiruddin dan Zainal Asikin adalah

penelitian hukum doktrinal, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam

perturan perundang-undangan (Law in Books), hukum dikonsepsikan sebagai

kaidah-kaidah atau norma yang menjadi patokan perilaku manusia. Bahan

penelitian hukum normatif ini yaitu bahan hukum primer yang terdiri dari

Pancasila, batang tubuh UUD, dan Peraturan perundang-undangan. Bahan hukum

sekunder yaitu, hasil penelitian, dan pendapat pakar hukum. Bahan hukum tersier

seperti kamus dan ensikopedie.73 Fungsi dogmatik hukum hukum menurut

Meuwissen adalah untuk memaparkan, menganalisa, menyistemasi, dan

menginterpretasikan hukum yang berlaku. Dengan memberikan penilaian

terhadap isi dan struktur hukum positif, maka tidak diperlukan metode empiris.74

                                                                      72 Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, ctk. Kelima, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 13            73 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ctk. Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 118            74 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Ctk Kedua, Bayumedia, Malang, 2006, hlm. 51  

Page 57: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45  

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum doktrinal yang

bersifat kualitatif (bukan angka) dengan analisis normatif kualitatif.75 Burhan

Ashshofa mengemukakan, dalam penelitian hukum normatif hukum adalah

norma, baik yang diidentikan dengan ius constituendum maupun ius constitutum.

Mendasarkan hukum sebagai norma dapat disebut penelitian normatif atau

doktrinal. Hukum terdiri dari kaidah-kaidah positif yang berlaku umum di waktu

dan wilayah tertentu, hukum menjadi sumber kekuasaan. Putusan hakim dalam

suatu peradilan sebagai upaya hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang

dapat digunakan sebagai precedent bagi kasus-kasus berikutnya.76 Tetapi

kedudukan hakim bukan sebagai pembuat undang-undang, tetapi pelaksana dan

penemu hukum.

Hans Kelsen memberikan ulasan tentang pentingnya keteraturan dalam

kehidupan bermasyarakat yang hanya dapat dicapai melalui pranata hukum untuk

dipatuhi bersama, dengan menetapkan apa saja yang dapat dilakukan dan tidak

dapat dilakukan. Aturan yang disepakati bersama tersebut tituangkan dalam

bentuk peraturan perundang-undangan. Menurut Karl Larenz dalam Johnny

Ibrahim, salah satu unsur hukum yang paling hakiki dari hukum adalah hukum

bersifat normatif, karena ia meletakkan peraturan-peraturan secara yuridis.77

Dalam penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan menggunakan

hierarki dan asas-asas dari perundang-undangan. Sesuai pasal 1 (2) UU No.10

Tahun 2004, peraturan perundang-undangan adalah suatu peraturan tertulis yang

dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara

umum bagi masyarakat. Adapun urutan peraturan perundang-undangan dimaksud

di atas adalah:

- UUD - UU/ Perpu - Peraturan Pemerintah

                                                                      75 Supranto, Metode Penelitian Hukum dan statistik, ctk. Pertama, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 2           76 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, ctk. Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 34           77 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 51  

Page 58: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46  

- Peraturan Presiden - Peraturan Daerah.78

Penelitian hukum normatif juga mengkaji tentang kaidah-kaidah hukum. Karena

kaidah hukum sangat penting bagi berlakunya hukum. Kaedah hukum mempunyai

kekuatan berlaku apabila dalam penetapannya didasarkan atas kaedah yang lebih

tinggi tingkatannya, karena suatu kaedah hukum merupakan sistem kaedah secara

hierarkis. Grundnorm atau norma dasar terdapat dasar berlakunya semua kaedah

yang berasal dari suatu tata hukum. Dari aturan dasar itu hanya dapat dijabarkan

berlakunya kaedah hukum.79 Menurut Adolf Merkl dalam buku”Ilmu Perundang-

undangan” karya Maria Farida Indrati, mengatakan bahwa suatu hukum atau

undang-undang keatas harus bersumber dari undang-undang tingkat atasnya,

kebawah menjadi sumber undang-undang tingkat bawahnya.80

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dalam Setiono, penelitian

hukum normatif juga mencakup Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan

horizontal peraturan perundang-undangan.81 Sinkronisasi vertikal dan horizontal

peraturan perundang-undangan adalah inventarisasi peraturan perundang-

undangan dari derajat yang sama dan derajat yang berbeda tingkatannya.

Kaitan dengan penelitian tesis yang dilakukan adalah bahwa secara hukum

normatif keputusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur dimungkinkan dapat melanggar

hukum positif, melanggar pasal 22E, pasal 24C UUD 1945, pasal 1 (d) UU No.24

tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, melanggar pasal 106(2) UU No.32

tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan pasal 233(2), (3), dan pasal 236C UU

No.12 tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 tahun 2004. Putusan

Mahkamah Konstitusi juga melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi

sendiri.

                                                                      78 Lihat UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan           79 Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum Suatu Pengantar, ctk pertama, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 95           80 Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit, hlm. 95           81 Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm. 24 

Page 59: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47  

Dilihat dari sifatnya, penelitian yang dilakukan terkait dengan penelitian

tesis tersebut adalah penelitian diskriptif. Menurut Setiono, Yang dimaksud

dengan penelitian diskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang diteliti seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau

gejala-gejala lainnya. Maksudnya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar

dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka

menyusun teori-teori baru. Disini penulis akan memberikan data tentang adanya

pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan

lainnya, serta masalah kewenangan oleh putusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008. Sehingga menurut teori hukum murni keputusan

Mahkamah Konstitusi tentanng Pemilihan Kepala Daerah ulang di Sampang dan

Bangkalan tidak dapat dibenarkan, alasannya karena putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut melanggar hukum normatif yang ada.

Menurut kajian teori hukum normatif Putusan Mahkamah Konstitusi

didiagnosa dan ditemukan beberapa adanya gejala-gejala adanya ketidak sesuaian

hukum di dalamya. Menurut Harjono dalam Bambang Sunggono,

“kajian hukum normatif adalah kajian hukum murni dalam perspektif internal, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang tertutup terpisah dari sistem lain yang ada dalam masyarakat, baik sistem politik, ekonomi, sosial, moral. Metode penelitian hukum normatif merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya, dengan obejek ilmu hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum. Dilihat dari sudut bentuknya merupakan penelitian diagnostik, artinya penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala”.82

Penelitian hukum normatif menurut Bambang Sunggono adalah penelitian

yang dilakukan untuk menemukan doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian

ini disebut juga studi dogmatig atau doktrinal.83Sesuai dengan konsep hukum di

atas, maka metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian

normatif atau doktrinal dengan analisis berdasarkan analisis logika deduksi, yaitu                                                                       82 Bambang sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 86            83 Ibid 

Page 60: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48  

dengan premis mayor berupa UUD, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, undang-undang pemerintahan daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan UU

No.12 Tahun 2008) dan premis minor berupa keputusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur.

Meneliti dan memahami secara mendalam terhadap norma hukum, peraturan

perundang-undangan, literatur-literatur, dan sumber-sumber resmi yang dapat

dipertanggungjawabkan yang berkaitan dengan judul yang diambil kemudian

menghubungkannya dengan fakta-fakta hukum dan teori yang berhubungan

dengan penelitian ini untuk mengungkapkan kebenaran yang bertanggung jawab.

Adanya rasa kurang percaya diri karena dianggap kurang objektif hanya

menggunakan metode penelitian hukum normatif tanpa diikuti dengan penelitian

sosial adalah suatu yang tidak benar, karena tujuan ilmu hukum dan sosial

berbeda. Ilmu hukum bertujua untuk mengubah keadaan atau menawarkan

penyelesaian terhadap suatu masalah, sedangkan tujuan dari ilmu sosial yaitu

untuk meramalkan dan mengendalikan proses sosial.84 Menurut Sunaryati

Hartono, untuk menghasilkan suatu ketajaman analisis hukum berdasarkan

doktrin dan norma-norma yang ditetapkan dalam sistem hukum, maka tidak ada

jalan lain kecuali berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu praktis

normologis dan mengandalkan pada penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian terhadap teks hukum, analisis

terhadap bahan hukum yang didukung dengan teori hukum tertentu. Perlu refleksi

kefilsafatan yang diperoleh dari filsafat hukum.85 Sehubungan dengan tipe

penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang

dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

konsep (Conceptual Approach), dan pendekatan sejarah hukum (Historical

Approach). Hal ini sesuai dengan delegasi perundang-undangan yang mengatur

wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaiakan sengketa pemilihan

kepala daerah. Dalam pendekatan perundang-undangan akan meneliti berbagai

                                                                      84 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 62            85 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 282     

Page 61: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49  

aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk

itu hukum dalam hal ini dilihat sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat

sebagai berikut.

a) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait

antara satu dengan lain secara logis

b) All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada

kekurangan hukum

c) Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,

norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.86

Dari pendekatan perundang-undangan menunjukkan bahwa UUD 1945 sebagai

hukum tertinggi dalam pengaturan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam

menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, yang diikuti dengan

UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004

yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Kesemuanya aturan hukum tersebut terkait satu sama lain. Dan sudah tertulis

dalam pasal-pasal di dalamnya yang mengatur tentang penyelesaian perselisiahan

hasil pemilu. Pendekatan konsep disini akan membahas tentang konsep pengertian

pemilu dan perselisihan tentang hasil pemilu. Yang dimaksud pemilihan umum

dalam pasal 22E (2) UUD 1945 merupakan pemilihan umum untuk memilih

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan

Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sehingga konsep

pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam pemilihan umum. Konsep tentang

perselisihan hasil pemilihan umum dalam peraturan perundang-undangan adalah

perselisiahan hasil pemilihan umum berupa bentuk jumlah angka-angka, sehingga

apabila terjadi perselisihan, maka cukup mencermati atau meneliti kembali jumlah

angka yang diperkirakan salah itu. Pendekatan sejarah hukum penting untuk

mengetahui secara mendalam tentang sistem hukum yang mendasari suatu hukum

yang sekarang berlaku, karena tidak serta merta hukum ada, tetapi memerlukan                                                                       86 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 303 

Page 62: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50  

proses terjadinya hukum, dan itu dinamakan sejarah hukum. Indonesia yang

merupakan bekas jajahan Belanda berdasarkan sejarah hukum beraliran civil law

system, sehingga menurut aliran ini hukum adalah apa yang ada di dalam undang-

undang, diluar undang-undang tidak begitu penting menurut hukum.

A. Lokasi Penelitian

Perpustkaan Fakultas Hukum UNS, Pasca Sarjana UNS, perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun, perpustakaan IKIP PGRI

Madiun, perpustakaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Madiun,

perpustakaan Kota Madiun, lembaga atau kantor instansi pemerintahan yang

terkait, dan di dunia maya.

B. Data dan sumber data

Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal atau

normatif, maka jenis data adalah data sekunder di bidang hukum, yang

mencakup:

1. Bahan hukum primer

- UUD 1945

- UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

- UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

- UU No.12 tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah

- UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan

- Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala

Daerah

- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.

Tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur

Peraturan perundang-undangan menurut pasal 1 angka 2 UU No. 10

Tahun 2004 adalah peraturan yang dibentuk oleh lembaga Negara atau

pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Putusan pengadilan

Page 63: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51  

adalah yang juga termasuk bahan hukum primer selanjutnya yang

digunakan dalam penelitian ini dalam hal ini adalah putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008

2. Bahan hukum sekunder

- Buku-buku hukum, karya para akademisi, dan praktisi hukum

- Hasil penelitian seperti; skripsi, tesis, dan disertasi hukum.

3. Bahan hukum tersier

- Kamus hukum dan ensiklopedia

C. Teknik memperoleh data

Teknik memperoleh data yaitu dengan cara membaca, mengkaji, dan

mempelajari UUD 1945, peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah

Konstitusi, buku-buku hukum, dokumen, brosur, dan berbagai sumber data

yang terkait dengan penelitian tesis. Bahan hukum primer, sekunder, dan

tersier tersebut dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan, kemudian

dikaji secara komperehensif.87

D. Teknik analisis

Bahan-bahan yang diperoleh dari hasil inventarisasi peraturan

perundang-undangan dalam studi kepustakaan diuraiakan sedemikian rupa

yang disajikan secara sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan dengan analisis

menggunakan logika deduktif, yaitu dengan premis mayor berupa UUD 1945,

UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, undang-undang

pemerintahan daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun 2008)

dan premis minor berupa keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor

41/PHPU.D-VI/2008. Dengan menggunakan metode penelitian diskriptif

kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan menjabarkan data-data yang

diperoleh, memisahkannya menurut kategori masing-masing, dan ditafsirkan

dalam kalimat-kalimat yang jelas dan mudah dipahami, sehingga dapat ditarik

suatu kesimpulan yang benar.

                                                                      87 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 392 

Page 64: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52  

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Berdasarkan rumusan masalah pertama tentang putusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur

mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi. Dapat dikemukakan hasil penelitian normatif hukum terhadap

peraturan perundang-undangan sebagai berikut.

a. Dalam UUD 1945 pasal 18 (3) dan (4) dinyatakan,

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala daerah

provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Pasal 22E (2) dinyatakan,

pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 24C (1) dinyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

b. Dalam UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 angka

3 (d) dinyatakan,

permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada

Mahkamah Konstitusi mengenai: perselisihan tentang hasil pemilihan

umum.

Page 65: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53  

Pasal 10 (1) dinyatakan,

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

e) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

f) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

g) Memutus pembubaran partai politik h) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 74 dinyatakan,

(1) Pemohon adalah: a) Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum b) Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden c) Partai politik peserta pemilihan umum

(2) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi: a) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah b) Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua

pemilihan Presiden dan wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden

c) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum disuatu daerah pemilihan

(3) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam (tiga kali duapuluh empat jam) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.

Pasal 75 dinyatakan,

Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:

a) Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon b) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.

Page 66: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54  

Pasal 77 (3) dinyatakan,

Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

2. Berdasarkan rumusan masalah kedua tentang putusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur

ditinjau dari undang-undang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan

yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) dapat dikemukakan hasil

penelitian normatif hukum terhadap peraturan perundang-undangan sebagai

berikut.

a. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 57, dinyatakan,

(3) Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat,

(4) Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.

(5) Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD.

(6) Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang lainnya.

(7) Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.

Page 67: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55  

Pasal 78 dinyatakan,

Dalam kampanye dilarang:

a.Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik;

c.Menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;

d.Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik;

e.Mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;

f.Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;

g.Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain;

h.Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah;

i. Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan

j.Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.

Pasal 81 dinyatakan,

(1)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, merupakan tindak pidana dan dikenal sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan

huruf j, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye

Pasal 103 dinyatakan,

(2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.

Page 68: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56  

(3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.

(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.

Pasal 104 dinyatakan, (2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan

yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan Maka tidak dapat dilakukan.

(2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:

a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus ,menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;

c. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;

d. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau

e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.

Pasal 106 dinyatakan,

(2) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil

penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

Page 69: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57  

b. Dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 233 dinyatakan,

(2) Pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama pada bulan Oktober 2008.

(3) Dalam hal terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselenggarakan paling lama pada bulan Desember 2008.

Pasal 236C dinyatakan,

Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

B. Pembahasan

1. Sesuai dengan hasil penelitian normatif hukum dan rumusan masalah pertama

tentang putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945

dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, akan dilakukan

pembahasan sebagai berikut.

a. Pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan

umum.

Sejak era reformasi berjalan hingga saat ini mengakibatkan perubahan-

perubahan sistem pemerintahan di Indonesia. Tuntutan demokrasi yang

nyata disemua bidang kehidupan pemerintahan menjadi fokus utama. Hal

tersebut terjadi karena sistem pemerintahan yang diterapkan orde baru

dirasakan membelenggu demokrasi yang diharapkan seluruh masyarakat

dan memperburuk keadaan ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan

bidang-bidang kehidupan penting lainnya.

Dengan undang-undang pemerintahan daerah yang baru yang

merupakan hasil reformasi, yaitu UU No.22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, diharapkan mampu membawa perubahan terhadap

kehidupan pemerintahan Indonesia. Karena di dalam undang-undang

Page 70: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58  

pemerintahan yang baru tersebut memuat sistem pemerintahan daerah yang

baru, terdapat sistem desentralisasi dalam rangka otonomi pemerintahan

daerah, artinya pemerintahan daerah mendapatkan wewenang untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.88

Karena tuntutan masyarakat yang semakin berkembang untuk menuju

kehidupan demokrasi sampai ketingkat daerah, maka mayarakat

menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh

rakyat di daerah yang bersangkutan. Untuk melaksanakan amanah tersebut

UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diperbaruhi dengan

UU No.32 Tahu 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana undang-

undang pemerintahan daerah yang baru ini memuat kepentingan tentang

kepala dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di

daerah yang bersangkutan.89

Akan tetapi permasalahan kepala daerah dapat dipilih secara langsung

tidak selesai disitu saja, karena akan berdampak serius terhadap

permasalahan hukum yang baru. Hal itu dapat terjadi karena pemilihan

kepala daerah secara langsung sebagaimana yang dimaksud dalam UU

No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak termasuk dalam

pemilihan umum dalam UUD 1945 pasal 22E (2), yang berbunyi

“pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Tidak hanya pasal 22E

UUD 1945 saja yang menjadi acuan terkait permasalahan pemilihan kepala

daerah, akan tetapi pasal 18 UUD 1945 tentang pemerintahan daerah juga

tidak mengkategorikan pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum.

Menurut Mahkamah Konstitusi, pemilihan kepala daerah langsung tidak

termasuk dalam pemilihan umum sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD

                                                                      88 Lihat UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah           89 Lihat Pasal 24 (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 

Page 71: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59  

1945. Namun pemilihan kepala daerah langsung adalah pemilihan umum

secara materiil untuk mngimplementasikan pasal 18 UUD 1945.

Padahal apabila dicermati secara mendalam terdapat tulisan hukum yang

jelas bahwa pemilihan kepala daerah langsung tidak dapat dikategorikan

dalam pemilihan umum. Dengan pendekatan perundang-undangan (statute

approach) dapat dilihat dalam pasal 18 (3) dinyatakan, pemerintah daerah

provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

Kemudian pasal 18 (4) dinyatakan, Gubernur, Bupati, dan Walikota

masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,

dan kota dipilih secara demokratis.90 Dari pasal-pasal diatas dapat diambil

suatu penjelasan hukum dalam pasal 18 (3) bahwa pemilihan umum

dilaksanakan termasuk untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

karena daerah provinsi, kabupaten dan kota disebutkan memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Tetapi

berbeda bunyi pasal 18 (4), Gubernur, Bupati, dan Wali kota sebagai kepala

daerah dipilih secara demokratis. Dalam pasal 18 UUD 1945 terdapat

pembedaan pemilihan umum dan pemilihan secara demokratis. Pengertian

pemilihan umum dan pengertian demokratis jelas berbeda. Pemilihan

umum menurut pasal 22E adalah pemilihan umum dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali

untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sedangkan pengertian demokratis tidak sama dengan pemilihan umum,

karena pandangan tentang demokratis berbeda-beda sesuai dengan hal-hal

yang dapat mempengaruhinya. Menurut Soehino dalam Jamal Wiwoho,

demokrasi pada intinya adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,

dan untuk rakyat.91 Salah satu wujud implementasi demokrasi adalah

pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan

                                                                      90 Lihat UUD 1945 pasal 18           91 Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 224 

Page 72: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60  

demokrasi oleh rakyat memilih wakil-wakilnya baik di legeslatif maupun

eksekutif. Akan tetapi pemilihan umum bukan satu-satunya pelaksanaan

demokrasi, karena demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia dalam sila

keempat dinyatakan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

permusyawaratan/perwakilan”.92 Dasar hukum itu yang digunakan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih kepala Negara dan untuk

memilih kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia sebelum

amandemen keempat UUD 1945. Berdasarkan aliran positivisme hukum,

jelas menunjukkan perbedaan yang nyata secara tulisan dalam pasal 18 (4)

bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, bukan dipilih melalui

pemilihan umum.

Pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan menyatakan bahwa “Pancasila merupakan sumber

dari segala sumber hukum”. Pasal 3 (1) menyatakan “Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar

dalam Peraturan Perundang-undangan”.93 Dari dasar hukum diatas

menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan dasar idiil dan

konstitusional berlakunya hukum di Indonesia, sehingga segala bentuk

peraturan hukum harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pasal 2

menunjukkan secara tegas bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi

Pancasila, bukan demokrasi liberal atau sosialis. Sebagaimana telah

ditunjukkan oleh para pendiri bangsa Indonesia yang menggagas demokrasi

Pancasila. Pada prinsipnya demokrasi Pancasila selalu mengutamakan

musyawarah mufakat untuk mencapai tujuan. Musyawarah tidak mungkin

dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia, tetapi melalui wakil-wakil yang

ditunjuknya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pendekatan konsep demokrasi Indonesia telah disebutkan bahwa

demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila yang berdasarkan

konstitusi UUD 1945. Pancasila sebagai suatu pedoman dan sekaligus tolok

                                                                      92 Lihat Sila ke empat Pancasila           93 Lihat UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan 

Page 73: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61  

ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat yang dirumuskan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan. oleh karena itu menurut Stammler

dalam Maria Farida Indrati, hukum ialah usaha atau tindakan mengarahkan

hukum positif kepada cita hukum sebagai usaha dengan sanksi pemaksa

menuju suatu yang adil (Zwangversuch zum Richtigen) untuk mencapai

tujuan-tujuan masyarakat. Dalam artikel yang berjudul Ideologi Pancasila,

Mubyarto dalam Maria Farida Indrati menyatakan bahwa, setiap

masyarakat mempunyai sistem nilai tertentu, yaitu sistem preferensi yang

disepakati oleh seluruh masyarakat. Karen tanpa sistem tertentu tersebut

tidak ada kebudayaan dan sistem peradaban. Sistem nilai falsafah dasar

bangsa Indonesia yang kini menjadi ideologi bangsa adalah Pancasila.

Pancasila telah disepakati menjadi falsafah dasar yang menjadi pandangan

dan pegangan hidup bangsa, maka menjadi moral kehidupan bangsa,

menjadi ideologi yang menjiwai perikehidupan bangsa disegala bidang

kehidupan, tanpa terkecuali bidang hukum.94 Sehingga pelaksanaan

pemilihan kepala daerah telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD

1945 sebagai dasar idiil dan konstitusional bangsa Indonesia.

Melalui pendekatan sejarah (historic aproach) dapat disebutkan bahwa

maksud dari pembentuk amandemen UUD 1945 khususnya pasal 18 yang

dilakukan pada tahun 2002 adalah pemilihan kepala daerah dipilih secara

demokratis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena pada saat itu

memang pemilihan kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah masing-masing dan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang mengatur tentang adanya perubahan dari UU No.22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 24 (5) yang

menyatakan bahwa kepala daerah sejak diundangkan UU No.32 Tahun

2004 pada tanggal 15 Oktober 2004 dipilih secara langsung oleh rakyat.95

Kurun waktu tahun 2002 sampai tahun 2004 dalam perubahan undang-

                                                                      94 Maria Farida Indrati, Op.cit, hlm. 264           95 Lihat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 

Page 74: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62  

undang diatas menunjukan perbedaan yang cukup lama dan tidak dapat

disamakan begitu saja, karena hal ini merupakan sejarah hukum.

Kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang telah memasukkan

pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dapat

menimbulkan permasalahan, yaitu apakah pemilihan kepala daerah secara

langsung dapat dikategorikan sebagai pemilihan umum atau bukan.

Masalah ini pernah menjadi agenda sidang judicial review Mahkamah

Konstitusi beberapa waktu lalu. Mahkamah Konstitusi dalam jawaban atas

permasalahan tersebut akan melahirkan beberapa dampak hukum,yaitu:

1. Apabila pemilihan kepala daerah langsung dikategorikan sebagai pemilihan umum, maka akan berkonsekuensi hukum sebagai berikut. a) Penyelenggara adalah Komisi Pemilihan Umum yang sekaligus

sebagai pengendali pemilihankepala daerah, sedangkan Komisi Pemilihan Umum Daerah hanya sebagaipelaksana tekhnis dimasing-masing daerah yang bertanggungjawab kepada Komisi Pemilihan Umum, bukan pada departemen dalam negeri.

b) Pesertanya adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau calon independen

c) Pengawas pemilihan kepala daerah langsung bersifat independen yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Umum Daerah

d) Apabila terjadi sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah, penyelesaiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

e) Impeachment terhadap kepala dan atau wakil kepala daerah diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Mahkamah Konstitusi

f) Pemilihan kepala daerah langsung menggunakan undang-undang pemilihan umum, bukan undang-undang pemerintahan daerah

g) UUD 1945 pasal 22E (2) dan pasal 24C dapat berlaku 2. Apabila pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk sebagai

pemilihan umum, maka konsekuensinya adalah: a) Penyelenggaraanya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum

Daerah atau badan ad hoc yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan sebagai pengendali adalah departemen dalam negeri

b) Peserta pemilihan calon kepala daerah berasal dari partai politik dan independen

c) Panitia pengawas pemilihan kepala daerah langsung dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masing-masing

d) Sengketa terhadap hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah diselesaikan oleh Mahkamah Agung, yang sekarang sudah dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi

Page 75: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63  

e) Pemilihan kepala daerah langsung menggunakan undang-undang pemerintahan daerah, bukan undang-undang pemilihan umum

f) UUD 1945 pasal 22E (2) dan pasal 24C tidak berlaku.96

Dari konsekuensi hukum tersebut di atas dan putusan Mahkamah

Konstitusi yang sudah pernah dilakukan, seperti dalam kasus perselisihan

pemilihan kepala daerah di Jawa Timur menunjukkan bahwa Mahkamah

Konstitusi lebih condong untuk memasukkan pemilihan kepala daerah

dalam kategori pemilihan umum. Akan tetapi konsistensi pilihan hukum

oleh Mahkamah Konstitusi itu tidak dilakukan secara menyeluruh, karena

dalam proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung masih

menggunakan undang-undang pemerintahan daerah UU No.32 Tahun 2004

dan yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan

Daerah.

Dari bunyi pasal 22E (1) tersebut menunjukkan dengan jelas sekali

bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk di dalam pemilihan umum.

Menurut teori hukum murni Hans Kelsen bahwa hukum merupakan suatu

peraturan-peraturan yang tersusun dalam undang-undang. Karena pada

dasarnya teori hukum merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang

berlaku (ius constitutum), bukan mengenai hukum yang seharusnya.

Sehingga apabila telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan

tentang suatu hal, maka kewajiban bagi aparatur pemerintahan dan semua

lembaga Negara yang ada untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Yang menjadi permasalahan dalam penulisan ilmiah ini sebenarnya

tidak secara langsung terhadap masalah pemilihan kepala daerah bukan

termasuk pemilihan umum. Karena pada kenyataannya UU No.32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 24 (5) telah mengatur

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, dan menjadi dasar hukum

legalitas bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Tetapi

                                                                      96 Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press dan Citra Media, Ctk Pertama, 2006, Yogyakarta, hlm. 103 

Page 76: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64  

inti dari permasalahan yang sebenarnya adalah akibat yang ditimbulkan

dari sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang oleh

Mahkamah Konstitusi dimasukkan atau disamakan kedalam sengketa

pemilihan umum. Sehingga dalam kasus sengketa perselisihan hasil

pemilihan kepala daerah provinsi Jawa Timur Mahkamah Konstitusi

memutuskan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan

pemilihan ulang di kabupaten Sampang dan Bangkalan dan melakukan

penghitungan suara ulang di Pamekasan Madura. Yang pada intinya

Mahkamah Konstitusi telah memutus pemilihan kepala daerah ulang.

Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa sengketa pemilihan kepala

daerah termasuk dalam sengketa pemilihan umum, hal ini didasarkan dari

wewenang Mahkamah Konstitusi yang didapat dari pengalihan Mahkamah

Agung, yaitu untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala

daerah sebagaimana yang dinyatakan dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang

Pemerintahan Daerah pasal 236C. Secara konstitusi Mahkamah Konstitusi

tidak dapat memasukkan pengertian perselisihan tentang hasil pemilihan

kepala daerah kedalam perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena

UUD 1945 sebagai landasan dasar hukum bagi penyelenggaraan lembaga-

lembaga Negara, termasuk dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi

sebagai lembaga pengawal penegakkan konstitusi di Indonesia yang harus

mentaati UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi. Sehingga pemilihan

umum menurut konstitusi UUD 1945 pasal 22E (2) secara tegas dilakukan

untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, tidak disebutkan pemilihan umum dilakukan untuk melakukan

pemilih kepala daerah.

b. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan tentang

hasil pemilihan umum, bukan untuk memutus atau memerintahkan

pemilihan umum ulang.

Konsep dasar dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah untuk

menjamin penegakkan pelaksanaan konstitusi dengan sungguh-sungguh.

Page 77: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65  

Dalam hal terjadi permasalahan kehidupan ketatanegaraan dan

permasalahan peraturan perundang-undangan sebelum dibentuk Mahkamah

Konstitusi masih tidak jelas. Karena tidak ada lembaga yang khusus

berwenang menangani permasalahan tersebut. Di Negara-negara maju

keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting peranannya

sebagai lembaga pengontrol jalannya undang-undang dasar dan peraturan

perundang-undangan lainnya oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang

terkait melaksanakannya.

Tak terkecuali Indonesia, sejak reformasi ide gagasan untuk

melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen

menjadi tuntutan utama, karena sebelum-sebelumnya Pancasila dan UUD

1945 hanya dijadikan simbol demokrasi yang tidak digunakan dalam

prakteknya. UUD 1945 menjadi legitimasi kekuasaan yang absolut oleh

rezim orde baru. Sehingga dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi

menjadi check and balances dalam kehidupan ketatanegaraan indonesia.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi tampak sangat berarti akkhir-akhir ini

terkait wewenangnya sebagai lembaga yang memutuskan perselisihan

tentang hasil pemilihan umum, karena di Indonesia banyak terjadi proses

pemilihan kepala daerah yang bermasalah. Badan pekerja Majelis

Permusyawaratan Rakyat pada awalnya mengarahkan fungsi Mahkamah

Konstitusi adalah:

1) Memeriksa dan mengadili sengketa dibidang ketatanegaraan 2) Melakukan pengujian terhadap peraturan dibawah UUD 1945 3) Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan 4) Mengadili pembubaran partai politik 5) Mengadili sengketa antara instansi pemerintah di pusat atau

instansi pemerintah pusat dengan instansi pemerintah daerah 6) Mengadili suatu pertentangan undang-undang 7) Memberikan putusan gugatan yang berdasarkan UUD 1945 8) Memberi pertimbangan kepada DPR dalam hal DPR meminta MPR bersidang untuk menilai perilaku Presiden yang dianggap mengkhianati Negara atau merusak nama baik lembaga Negara

Page 78: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66  

Presiden.97

Melihat dari fungsi Mahkamah Konstitusi diatas hampir sama dengan

wewenang Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam pasal 24C UUD

1945, yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum.98 Tetapi terdapat satu kewenangan yang

tidak disebutkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat,

yaitu funsi Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan tentang

hasil pemilihan umum.

Melalui pendekatan sejarah hukum (Historical Approach) dapat dilihat

bahwa pada ide awal pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak ada

wewenang untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum,

karena terkait masalah tersebut ditangani oleh lembaga yang secara struktur

ketatanegaraan menjadi tugas dan kewajibannya. Seperti dapat dilihat dalam

undang-undang pemilihn umum, apabila terjadi pelanggaran hukum

terhadap proses pemilihan umum merupakan kewenangan lembaga atau

badan pengawas pemilihan umum yang akan dilanjutkan ketahap

penyidikan, penyelidikan, pemeriksaan di sidang pengadilan negeri dengan

menggunakan hukum acara pidana. Sehingga bukti hukum telah terjadinya

suatu pelanggaran pemilihan umum harus terlebih dahulu disahkan. Tanpa

ada bukti legal dari keputusan pengadilan maka pelanggaran pemilihan

umum dianggap sebagai suatu isu politik yang kebenarannya tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum.

                                                                      97 Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Mahkamah Konstitusi. Memahami Keberadaan dalam Sistem Ketatanegaraan. Regulasi Indonesia, Rineka Cipta, ctk. Pertama, 2006, Jakarta, hlm. 20            98 Lihat UUD 1945, pasal 24C 

Page 79: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67  

Lebih lanjut lagi menurut I. Gede Pantja Astawa dalam Jamal

Wiwoho,99 menyatakan ada tiga hal yang melatar belakangi pembentukan

Mahkamah Konstitusi di Indonesia, yaitu;

1) Adanya kekosongan hukum (rechtsvvacuum) atau kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) yang berkenaan secara khusus dengan pengujian (review) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

2) Adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kemungkinan timbulnya konflik kewenangan diantara lembaga-lembaga Negara yang ada.

3) Berkenaan dengan alasan-alasanyang menjadi dasar pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya, sehingga pernah timbul perbedaan pendapat yang cukup mendasar antara Presiden Abdurahman Wakid yang akan dijatuhkan dengan MPR/DPR dalam kasus Bulog.

Menurut I. Gede Pantja Astawa, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan

latar belakang bukan permasalahan untuk memutus perselisihan tentang

hasil pemilihan umum.

Dengan tuntutan peran suatu lembaga peradilan dalam kehidupan

ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi melalui amandemen UUD 1945

mendapat kewenangan yang salah satunya adalah untuk memutus

perselisihan tentang hasil pemiliha umum. Pasal 24C (1) menyebutkan

dengan jelas sekali bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Terlepas dari pemilihan kepala

daerah langsung menurut penulis tidak termasuk dalam kategori pemilihan

umum, wewenang Mahkamah Konstitusi terbatas pada perselisihan tentang

hasil pemilihan umum, bukan wewenang untuk memutus pemilihan umum

ulang. Jadi disini perlu pemahaman yang rasional dan logis terkait

permasalahan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Melalui pendekatan konsep (Conceptual Approach) akan membahas

konsep tentang perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Konsep

perselisihan tentang hasil pemilihan umum berarti terjadi ketidak sesuaian

antara hasil penghitungan suara pemilihan umum yang diklaim oleh peserta

                                                                      99 Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 228 

Page 80: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68  

pemilihan umum. Konsep tentang hasil pemilihan umum merujuk kepada

perhitungan berupa angka-angka yang menyebutkan jumlah perolehan suara

peserta pemilihan umum. Karena hasil akhir dari pemilihan umum adalah

berupa pengumuman perolehan suara peserta pemilihan umum untuk

mengetahui siapa peserta pemilihan umum yang menjadi pemenang.

Tentunya untuk mengetahui perolehan suara pemilihan umum harus

mengetahui jumlah suara pemilihan umum. Dan jumlah suara pemilihan

umum pasti berupa angka-angka. Menurut pendekatan konsep perselisihan

tentang hasil pemilihan umum berarti perselisihan tentang jumlah perolehan

suara pemilihan umum berupa angka-angka, bukan berupa hasil pemilihan

umum secara global yang sulit di buktikan. Jadi Mahkamah Konstitusi

berwenang terbatas pada penetapan suara pemilihan umum yang benar dari

hasil pemilihan umum yang dimohon oleh peserta pemilihan umum yang

merasa keberatan dengan hasil suara pemilihan umum yang di umumkan

Komisi Pemilihan Umum. Adapun penetapan suara yang benar dilakukan

oleh Mahkamah Konstitusi tidak ada jalan lain kecuali dengan malakukan

penghitungan ulang secara teliti untuk menemukan hasil suara pemilihan

umum yang sebenar-benarnya.

Dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam

permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum dapat dikemukakan peraturan

perundang-undangan yang mengatur terkait wewenang Mahkamah

Konstitusi hanya terbatas pada penghitungan hasil suara pemilihan umum

yang diperselisihkan, bukan untuk memutus pemilihan umum ulang. Seperti

pada kasus sengketa pemilihan kepala daerah di Jawa Timur. Pasangan

calon kepala daerah Khofifah dan Mudjiono yang menggugat Komisi

Pemiliha Umum Daerah Jawa Timur ke Mahkamah Konstitusi dengan

alasan ketidak puasan terhadap hasil penghitungan suara pemilihan kepala

daerah dibeberapa tempat pemungutan suara. Kemudian Mahkamah

Konstitusi memutus untuk pemilihan ulang di kabupaten Sampang dan

Page 81: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69  

Bangkalan dan penghitunga ulang di kabupaten Pamekasan. Kewenangan

Mahkamanh Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil

pemilihan umum dilakukan dengan menghitung ulang hasil suara pemilihan

umum yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum yang diperselisihkan, dan

bukan untuk memutukan atau memerintahkan dilakukannya pemilihan

umum ulang. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008

tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur. Putusan untuk

melakukan pemilihan kepala daerah langsung ulang inilah yang tidak sesuai

dan mengesampingkan kewenangan yang diberikan sebagaimana terdapat

dalam pasal 24C (1) UUD 1945. Pendekatan perundang-undangan yang

dimaksud, selain terdapat pada pasal 24C UUD 1945 terdapat pula pada

peraturan perundang-undangan, yaitu UU No.24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, pasal 74 dinyatakan,

(4) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi: d) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah e) Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua

pemilihan Presiden dan wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden

f) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum disuatu daerah pemilihan

(5) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam (tiga kali duapuluh empat jam) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.

Merujuk dari tulisan pasal 74 (4) dan (5) UU No.24 Tahhun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi diatas telah jelas sekali bahwa yang dimaksud

perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah perselisihan hasil

penghitungan suara pemilihan umum yang tidak benar menurut peserta

pemilihan umum yang keberatan dengan hasil pemilihan umum. Kalimat

“permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan

umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang

mempengaruhi: terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah,

Page 82: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70  

terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden, dan perolehan kursi partai politik

peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan”, menunjukkan bahwa

yang dimaksud perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah

perselisihan jumlah suara pemilihan umum, karena pasal 74 (4) dan (5)

menyebutkan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembag yang menetapkan

hasil pemilihan umum. Komisi Pemilihan Umum dalam menetapkan hasil

pemilihan umum dalam bentuk jumlah angka-angka. Sehingga jumlah

suara pemilihan umum yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum adalah

jumlah suara riil berupa angka yang itu semua merupakan hasil kerja

Komisi Pemilihan Umum yang sebenarnya. Maksud dari hasil kerja Komisi

Pemilihan Umum disini adalah bahwa selain bertugas untuk proses

mempersiapkan dan pelaksanaan pemilihan umum, tugas Komisi Pemilihan

Umum yang lebih penting lagi yaitu melakukan penghitungan suara

pemilihan umum. Penghitungan suara inilah yang merupakan tugas yang

dilakukan untuk menjumlahkan suara-suara yang sah dari warga

masyarakat yang telah melakukan proses pemilihan umum. Dan kegiatan

penghitungan suara hasil pemilihan umum ini rawan sekali dengan

kesalahan-kesalahan, hal itu dapat terjadi karena masing-masing peserta

pemilihan umum mempunyai catatan atau data berupa perolehan jumlah

suara pemilihan umum yang didapat. Dan satuan angka-angka akan

mempunyai peluang besar terjadi perselisihan dalam penghitungannya.

Dari pasal 74 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat

dikatakan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi terbatas untuk

memutuskan perselisihan tentng hasil pemilihan umum, yang dilakukan

dengan menghitung ulang hasil suara pemilihan umum yang ditetapkan

oleh Komisi Pemilihan Umum yang diperselisihkan oleh peserta pemilihan

umum dan menetapkan hasil penghitungan suara pemilihan umum yang

benar menurut Mahkamah Konstitusi.

Page 83: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71  

Dalam pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

dinyatakan, Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib

menguraikan dengan jelas tentang:

c) Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon d) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.100

Dari pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

tersebut dapat dilihat dengan jelas, bahwa perselisihan tentang hasil

pemilihan umum adalah ketidak sesuaian jumlah suara yang didapat oleh

para peserta pemilihan umum. Hal ini dapat dibuktikan secara legal dalam

pasal 75 yang mewajibkan pemohon keberatan hasil pemilihan umum

untuk menguraikan dengan jelas tentang kesalahan hasil penghitungan

suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil

penghitungan yang benar menurut pemohon dan permintaan untuk

membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi

Pemilihan dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut

pemohon. Pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 menunjukkan mengenai

perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah hasil penghitungan

suara berupa jumlah angka-angka yang digunakan sebagai dasar untuk

menetapkan pemenang peserta pemilihan umum yang kemudian

diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Sehingga perselisihan bukan

hasil pemilihan umum yang sifatnya abstrak berupa hasil pemilihan umum

secara global terkait pemilihan umum. Pasal 75 UU No.24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi menunjukkan kewenangan Mahkamah

Konstitusi bukan untuk memutus pemilihan umum ulang, tetapi

menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum dengan melakukan

penghitungan ulang terhadap suara yang diperselisihkan oleh para peserta

pemilihan umum.                                                                       100 Lihat UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 

Page 84: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72  

Pasal 77 (3) dinyatakan,

Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan penggugat

tentang perselisihan hasil pemilihan umum dapat menyatakan membatalkan

hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum

dan menetapkan hasil penghitungn yang benar. Hal ini menunjukkan dengan

jelas wewenang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penghitungan

ulang terhadap hasil suara pemilihan umum yang diperselisihkan, bukan

wewenang untuk memutuskan pemilihan umum ulang. Pasal 77 ini juga

menyebutkan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan hasil

suara pemilihan umum yang benar, dimana hasil suara yang benar tadi

hanya dapa diperoleh Mahkamah Konstitusi melalui penghitungan ulang

suara pemilihan umum.

Dari bukti-bukti hukum yang berupa pasal-pasal yang terdapat dalam

UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

menunjukkan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum, yang hal itu dilakukan dengan melakukan

penghitungan ulang suara hasil pemilihan umum yang ditetapkan oleh

Komisi Pemilihan Umum yang diperselisihkan oleh peserta pemilihan

umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar, bukan untuk

memutus pemilihan umum ulang.

c. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan

kepala daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari aliran civil law system

yang dianut Indonesia

Negara Indonesia merupakan bekas jajahan Negara Belanda. Sehingga

sistem hukum yang digunakan di Indonesia merupakan peninggalan

belanda. Belanda adalah Negara di eropa yang menganut aliran civil law

system. Terlalu lamanya Belanda menjajah Indonesia membut sistem

Page 85: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73  

hukum Belanda terpatri kuat dan hidup berdampingan dengan hukum adat

yang ada di Indonesia. Hampir semua hukum yang ada di Indonesia

bersumber dari hukum Belanda. Sistem hukum Belanda yang masih dipakai

Indonesia ini menjadi hukum positif yang berlaku dengan modifikasi dan

penyesuaian dengan hukum adat yang ada, akan tetapi esensinya masih

menggunakan hukum peninggalan Belanda.

Dengan pendekatan sejarah (Historical Approach ) akan dibahas

mengenai civil law system Indonesia yang dikaitkan dengan putusan

Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala

daerah ulang di Jawa Timur. Karena dengan pendekatan sejarah akan dapat

diketahui dasar-dasar hukum yang terdahulu sebelum hukum baru muncul.

Pada hakekatnya hukum-hukum yang lama merupakan dasar bagi adanya

hukum yang sekarang berlaku (ius constitutum) dan hukum yang akan

datang (ius constituendum).

Indonesia menganut aliran civil law system, bukan coman law system.

Penting sekali melihat aliran hukum yang dipakai untuk menentukan

berlakunya hukum dengan benar legal. Civil law system mendasarkan

hukum pada peraturan perundang-undangan, sedangkan coman law system

mendasarkan hukum pada yurisprudensi atau putusan-putusan hakim

terdahulu.101 Karena Indonesia menganut civil law system, maka Indonesia

mendasarkan hukum pada peraturan perundang-undnagan yang berlaku,

sehingga bahan hukum yang utama adalah peraturan perundang-undangan,

bukan yurisprudensi seperti aliran coman law system.

Berdasarkan dari uraian aliran hukum tersebut dapat digunakan untuk

menjelaskan permasalahan terkait tentang putusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa

Timur. Civil law system yang dianut Indonesia mendasarkan hukum pada

peraturan perundang-undangan, mulai peraturan perundang-undangan

tertinggi grundnorm sampai peraturan paling rendah yang dibuat oleh

                                                                      101 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 148 

Page 86: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74  

lembaga yang berwenang, seperti yang terdapat dalam stufentheorie Hans

Kelsen.102

Melalui pendekatan sejarah hukum (Historical Approach) hukum yang

berlaku di Indonesia tidak sepenuhnya berasal dari Belanda, tetapi berasal

dari Prancis, karena Belanda bekas jajahan Prancis. Menurut seorang ahli

hukum Prancis yang bernama Geny, bahwa putusan pengadilan ditinjau

dari lembaga Negaranya bukan merupakan sumber hukum.103 Hal itu

didasarkan pada tugas, fungsi, dan kedudukan lembaga tersebut. Karena di

Negara Prancis dengan aliran civil law system menyatakan dalam peraturan

perundang-undangan bahwa yang berhak untuk membuat hukum adalah

suatu lembaga yang secara hukum diatur oleh undang-undang untuk

membentuk hukum. Hal itu sejalan dengan pendapat Gordon, seorang ahli

hukum yang mengemukakan pentingnya sejarah hukum untuk mempelajari

hukum.104 Lembaga yang membentuk hukum adalah legeslatif bukan

yudikatif atau seorang hakim dalam bentuk yurisprudensi. Maria Farida

Indrati menyatakan bahwa;

Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, maka keputusan yang dibentuk Mahkamah Konstitusi adalah keputusan dibidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat suatu penetapan yang individual, konkrit, dan sekali-selesai (final).oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi juga tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat secara umum, namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat kedalam (interne regeling).105

Sebenarnya dalam pelaksanaan hukum di Indonesia cenderung

menggunakan civil law system, hal tersebut tampak secara yuridis dalam

setiap proses penyidikan, penyelidikan, dan persidangan oleh aparat

penegak hukum selalu didasarkan pada aturan-aturan hukum yang terkait

dengan kasus hukum yang ditanganinya. Sampai pada keputusan hakim

pun aturan-aturan hukum masih dipakai sebagai dasar legalitas yang sah.

                                                                      102 Maria Farida Indrati, op.cit, hlm. 68           103 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 152           104 Gordon, “Historicism in Legal Scholarship.”, Yale Law Journal 1017, 1981: 90           105 Maria Farida Indrati, Op.cit, hlm. 105 

Page 87: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75  

Didasari oleh pasal 1 (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara

hukum. Sehingga seluruh tindakan yang dilakukan oleh aparat dan lembaga

Negara dalam bertindak harus berdasarkan atas hukum,106 agar tidak

termasuk penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.

Terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh suatu

lembaga Negara menurut civil law system adalah ketidaktaatan lembaga

Negara untuk melaksanakan hukum sesuai dengan yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan. Apa yang tertulis dalam undang-undang

harus dilaksanakan, dengan menurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku.

Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008

tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur menunjukkan

penyalahgunaan wewenang dari suatu lembaga kekuasaan kehakiman yaitu

Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan

pemilihan kepala daerah langsung ulang tidak sesuai dengan UUD 1945

dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, sehingga Mahkamah

Konstitusi dapat dikategorikan lembaga Negara yang menyalahgunakan

wewenang dengan mengesampingkan UUD 1945 dan peraturan perundang-

undangan.

Lembaga legeslatif sebagai lembaga yang membentuk hukum bersama

Presiden. Hasil dari lembaga legeslatif berupa undang-undang yang berlaku

umum, yang mempertimbngkan manusia secara keseluruhan, bukan

individu (il considere des lomnes en masse, jamais comme particuliers).

Dengan berlaku umum bagi seluruh warga masyarakat dan dibentuk oleh

lembaga yang berwenang kekuatan berlakunya undang-undang dapat

terjmin oleh hukum. Tugas hakim adalah berkaitan dengan penerapkan

undang-undang dalam kehidupan sehari-hari (il audroit jounellement faire

de nouveaux lois).107 Sehingga hakim sebagai alat bagi undang-undang

untuk melaksanakan hukum yang sudah dituliskan dalam peraturan

perundang-undangan. Walaupun civil law system memperbolehkan bagi

                                                                      106 Lihat UUD 1945 pasal 1(3)           107 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 149 

Page 88: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76  

seorang hakim untuk menemukan hukum tersendiri untuk menyelesaikan

suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, tetapi hakim tetap berpedoman

terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim tidak boleh

menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau belum ada hukum yang

mengaturnya, bukan berarti hakim bebas membentuk hukum sendiri.108

Keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti

peraturan perundang-undangan, keputusan hakim hanya berlaku pada

pihak-pihak tertentu saja, tidak mengikat secara umum yang sifatnya

konkrit. Hakim dilarang membuat membuat aturan yang bersifat umum,

karena di Indonesia dengan aliran civil law system yang berwenang untuk

membuat peraturan perundang-undangan adalah lembaga legeslatif, bukan

lembaga lain. Sehingga keputusan hakim tidak dapat bertentangan dengan

undang-undang.109

Undang-undang dalam civil law system memiliki kedudukan yang

penting. Karena secara formal undang-undang dibentuk oleh lembaga

pembentuk undang-undang, yaitu legeslatif dengan Presiden. Yang mana

lembaga ini secara ketatanegaraan merupakan lembaga yang sah menurut

hukum untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Secara

materiil undang-undang memuat aturan-aturan hukum yang isinya

mengikat bagi seluruh warga masyarakat. Materi atau isi undang-undang

ini merupakan pedoman bagi semua masyarakat dan lembaga-lembaga

Negara untuk bertindak, karena didalamnya mengatur perintah dan

larangan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Thomas Van

Aquino berpendapat, bahwa segala kejadian ayang ada di alam dunia ini

diperintah dan dikemudikan oleh suatu undang-undang abadi yang menjadi

dasar kekuasaan dari peraturan lain.110

Menurut Bagir Manan, mengadili menurut hukum oleh seorang hakim

dapat dijabarkan dalam empat makna:

                                                                      108 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, ctk. keduabelas, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 22           109 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 80           110 CST. Kansil, ibid, hlm. 31 

Page 89: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77  

1) Mengadili menurut hukum merupakan salah satu asas mewujudkan Negara berdasarkan hukum. Dimana setiap putusan hakim harus mempunyai dasar hukum-subtantif dan prosedur yang telah ada sebelumnya perbuatan melawan dan melanggar hukum itu terjadi.

2) Hukum dalam mengadili menurut hukum harus diartikan luas melebihi pengertian hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum dalam khusus atau keadaan tertentu, meliputi pengertian-pengertian yang mengikat pihak-pihak, kesusilaanyang baik dan ketertiban umum (geode zeden en openbaar order).

3) Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum yang dipertimbangkan dalam putusan hakim, tetapi tidak selalu harus diikuti karena kemungkinan “the living law” justru harus dikesampingkan karena tidak sesuai dengan tuntutan sosial baru.

4) Sesuai dengan teradisi hukum yang berlaku, hakim wajib mengutamakan penerapan hukum tertulis, kecuali kalau akan menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum. Hakim bukan mulut undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan.111

Dalam tulisan Bagir Manan tersebut menyiratkan bahwa hukum yang

dipakai Indonesia dalam penerapannya harus berdasarkan hukum tertulis,

dan hukum tertulis itu merupakan undang-undang secara umum. Karena

putusan hakim harus berdasarkan atas hukum yang telah sebelumnya

tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Hal itu sesuai dengan asas

legalitas hukum civil law system yang mengutamakan peraturan perundang-

undangan sebagai hukum resmi yang mempunyai kekuatan mengikat lebih

kuat. Karena tanpa ada bukti hukum yang jelas dan tertulis dalam suatu

lembaran Negara yang sah, maka peraturan tersebut masih diragukan

keabsahan hukumnya. Seperti pendapat aliran positifisme atau normatif

hukum yang menyatakan bahwa putusan hakim kurang penting, karena

sumber hukum menurut aliran hukum normatif hanyalah peraturan

perundang-undangan, sedangkan hakim hanya melaksanakan tugasnya

yang terikat dengan dengan undang-undang.112

Menurut Pontang Moerad B.M dalam makalah Hari Purwadi diseminar

tentang “intensitas penggunaan yurisprudensi oleh hakim dalam mengadili”

                                                                      111 Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum dalam Varia Peradilan, IKAHI, Jakarta, 2005, hlm. 10            112 CST. Kansil, op.cit, hlm. 155 

Page 90: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78  

menyatakan, dalam prespektif hukum, meskipun keputusan hakim adalah

salah satu sumber hukum, namun derajat kepentingannya berbeda antara

common law system dengan civil law system. Dalam common law system

menganut prinsip stare dicisis atau preceden, sedangkan dalam civil law

system lebih mengutamakan legalitas peraturan perundang-undangan. Di

Indonesia kedudukan hakim sebagai pelaksana peraturan perundang-

undangan, bukan sebagai pembentuk hukum (law making) yang tidak

dikenal dalam civil law system.113

Jeremy Benthon dalam Sudikno Mertokusumo menyatakan, karena

sifatnya yang umum berlaku bagi semua masyarakat, undang-undang

adalah hukum yang berisi kaedah hukum untuk melindungi kepentingan

manusia yang banyak. Sesuai dengan tujuan hukum dalam teori utilities,

bahwa hhukum ingin mencapai kebahagiaan yang besar bagi manusia

dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest

number). Tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan

dan kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak.114 Undang-

undang dalam civil law system menjadi sumber hukum yang pokok. Karena

undang-undang adalah peraturan yang digunakan untuk melaksanakan

Undang-Undang Dasar sebagai dasar fundamental grundnorm yang

kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang itu sendiri. Menurut

Hans Kelsen grundnorm adalah dasar dari segala kekuasaan dan sebagai

legalitas hukum positif yang berlaku.115 Civil law system yang mendasarkan

hukum pada peraturan perundang-undangan tentunnya melihat juga tata

urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dalam hal

ini putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan civil law

system yang dianut Negara Indonesia.

                                                                      113 Hari Purwadi, “Intensitas Penggunaan Yurisprudensi oleh Hakim dalam Mengadili” makalah disampaikan pada seminar memperingati hari disnatalis Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 23 April 2009, hlm. 3           114 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 80           115 CST. Kansil, ibid, hlm. 145 

Page 91: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79  

d. Stufentheory peraturan perundang-undangan

Hans kelsen dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum

mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum atau yang terkenal

dengan sebutan stufentheorie. Menurut Hans Kelsen norma-norma hukum itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, artinya

suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar

pada suatu norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada

suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut dan bersifat hipotetis

dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm).

Adolf Merkl, seorang murid dari Hans Kelsen berpendapat, bahwa suatu

norma hukum itu selalu memiliki dua wajah (das doppelte rechtsantlitz).

Artinya suatu norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma

yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi

norma hukum di bawhnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa

berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya norma hukum

itu bergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apabila norma

hukum yang berada diatasnya itu dicabut atau diputus, maka norma-norma

hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula. Berdasarkan

teori dari Adolf Merkl tersbut maka dalam teori jenjang normanya Hans Kelsen

mengemukakan juga bahwa suatu norma hukum itu selalu bersumber dan

berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah norma hukum itu juga menjadi

sumber dan dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Norma dasar

menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila

norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada

dibawahnya.116

Stufentheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tentang jenjang norma

akan menentukan kekuatan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan.

karena Hans Kelsen menyatakan bahwa norma hukum ke atas harus                                                                        116 Maria Faria Indrati, op.cit, hlm. 41‐43 

Page 92: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80  

berdasarkan hukum di atasnya dan kebawah menjadi sumber hukum norma

hukum di bawahnya. Dalam hal ini akan menunjukkan suatu jenjang hukum

merupakan aturan tentang syarat berlakunya hukum, sebelum substansi hukum

itu sendiri berlaku. Norma hukum di bawah harus sesuai dengan norma hukum

diatasnya. Jika tidak sesuai dengan norma diatasnya, maka terjadi pelanggaran

hukum terhadap jenjang norma hukum. Seperti norma hukum peraturan

perundang-undangan yang ada di Indonesia. Peraturan perundang-undangan

tertinggi menjadi dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan di

bawahnya. Pancasila sebagai grundnorm merupakan peraturan perundang-

undangan yang memiliki jenjang tertinggi yang tidak dapat ditinggalkan bagi

peraturan di bawahnya. Secara piramid hirarki perundang-undangangan di

Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut.

Sesuai dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara

Indonesia adalah Negara hukum, maka kedudukan hukum menjadi sesuatu

yang sangat penting bagi pelaksanaan penyelengaraan kehidupan berbangsa

dan bernegara di Indonesia. Sehingga begitu pentingnya hukum bagi Indonesia

di buatlah susunan urutan tata peraturan perundang-undangan, sebagaimana

diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Melalui pendekatan sejarah (historical approach) dapat dilihat peraturan

perundang-undangan yang mengatur khusus masalah tertib hukum Indonesia.

Mulai dari Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum

I. Staat Fundamentalnorm (Pancasila)

II. Staats Grundgesetz (UUD 1945)

III. Formell Gesetz (Undang-Undang)

IV. Verordnung dan Autonome Satzung

(Peraturan Pelaksana, PP, Perda, dll)

I

II

III

IV

Page 93: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81  

DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan

Peraturan Perundangan Republik Indonesia, kemudian Ketetapan MPR No.

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan, hingga sampai dengan berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam

peraturan-peraturan tersebut permasalahan tentang jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan di Indonesia diatur.117

Dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, pasal 1 (2) dinyatakan, peraturan perundang-undangan adalah

peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang dan mengikat secara umum. Adapun tata urutan peraturan

perundang-undangan yang dimaksud terdapat dalam pasal 7 (1) yaitu:

- Undang-Undang Dasar 1945

- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

- Peraturan Pemerintah

- Peraturan Presiden

- Peraturan Daerah.118

Tata urutan peraturan perundang-undangan di atas menjelaskan tentang

stufentheori Hans Kelsen. UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi menjadi

sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Undang-

undang sebagai pelaksana dari Undang-Undang harus berdasarkan pada UUD

1945, begitu juga dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

dan seterusnya hingga sampai pada peraturan daerah.

Mengacu stufentheori Hans Kelsen tersebut tidak disebutkan putusan

hakim termasuk kedalam jenjang yang mana. Karena hakim sebagai pelaksana

dari peraturan perundang-undangan, maka hakim hendaknya mendasarkan

segala putusannya pada peraturan perundang-undangan yang tersebut dalam

                                                                      117 Maria Faria Indrati, op.cit, hlm. 108           118 Lihat UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan 

Page 94: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82  

pasal 7 (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Dengan mendasarkan putusan hakim harus sesuai berdasarkan

dengan peraturan perundang-undangan tersebut, maka putusan hakim berada

pada jenjang di bawah sendiri, di bawah peraturan daerah.

Berdasarkan stufentheori tersebut, maka putusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur

melanggar teori jenjang tata urutan peraturan perundang-undangan. Karena

putusan Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 18, 22E,

dan pasal 24C sebagai norma dasar tertinggi.119 Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut juga tidak sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi pasal 1, 10, 74, 75 dan pasal 77, UU No.32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah pasal 104 dan 106, UU No.12 Tahun 2008 tentang

perubahan UU No.32 Tahun 2004 pasal 233 dan 236. Pelanggaran atas ketidak

sesuaian subtantif putusan Mahkamah Konstitusi dengan peraturan perundang-

undangan tersebut seperti yang dibahas dalam pembahasan di depan. Terkait

masalah pemilihan kepala daerah yang bukankategori pemilihan umum dalam

pasal 18 dan 22E UUD 1945, masalah kewenangan Mahkamah Konstitusi

terbatas pada penghitungan hasil pemilihan suara bukan wewenang untuk

memutus pemilihan umum ulang dalam pasal 24C UUD 1945, UU No.24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1, 10, masalah konsep arti

perselisihan tentang hasil pemilihan umum dalam UU No.24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi pasal 74, 75, dan 77, UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah pasal 104 dan 106 dan UU No.12 Tahun 2008

pasal 233 dan 236.

Peraturan perundang-undangan tersebut menurut stufentheori bekerjanya

harus berdasarkan hukum yang berada ditingkat atasnya. Menurut Hans

                                                                      119 Lihat UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah    

Page 95: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83  

Kelsen, UUD 1945 sebagai grundnorm yang merupakan konstitusi Negara

Indonesia sebagai norma hukum tertinggi tidak dapat di kesampingkan oleh

putusan hakim Mahkamah Konstitusi. Sejalan dengan pendapat Parker, ahli

hukum, yang mengemukakan betapa pentingnya konstitusi dalam suatu tatanan

hukum Negara.120 Putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa perselisihan

hasil pemilihan kepala daerah walaupun dengan alasan demi untuk

menegakkan keadilan subtansif tidak berarti karena adanya pelanggaran

pemilihan kepala daerah yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif, namun

tidak dapat Mahkamah Konstitusi memutus perkara yang melampaui apa yang

telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Apabila

terjadi pelanggaran pemilihan kepala daerah, secara hukum harus diselesikan

sesuai dengan hukum yang mengatur tentang pelenggaran pemilihan umum,

bukan diputuskan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi bahwa pemilihan kepala

daerah lansung di Jawa Timur telah terjadi suatu pelanggaran hukum, karena

hal itu bukan kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan. Putusan

Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala

daerah ulang di Jawa Timur melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi

yang telah diberikan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undang

lainnya. Tidak ada kewenangan Mahkamah Konstitusi secara tegas disebutkan

dalam UUD dan peraturan perundang-undangan lain untuk memutus

memerintahkan pemilihan kepala daerah ulang, tetapi kewenangan terbatas

pada melakukan penghitungan terhadap hasil suara pemilihan umum yang

diperselisihkan oleh peserta pemilihan umum. Sehingga putusan Mahkamah

Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di

Jawa Timur tidak sesuai pasal-pasal yang disebutkan dalam peraturan

perundang-undangan Indonesia yang berarti juga tidak sesuai dengan teori

jenjang peraturan perundang-undangan stufentheori.

                                                                       120 Parker, “The Past of Constitutional Theory and Its Future”, Ohio State Law Journal 223, 1981: 90 

Page 96: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84  

e. Asas lex superiori derogat legi inferiori

UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan menjadi pedoman mengenai tata urutan susunan peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Meskipun undang-undang tersebut masih

belum sempurna, karena permasalahan tentang jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan belum berakhir, oeh karena itu diskusi dan kajian panjang

terhadap permasalahan tersebut perlu dilakukan agar kepastian hukum dapat

dicapai dengan maksimal, namun undang-undang itulah yang mengatur tentang

peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berlaku dan menjadi dasar

hukum untuk menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di

Indonesia.121

Untuk berlakunya suatu hukum tentunya harus memperhatikan asas-asas

hukum yang ada. Asas-asas peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu

lex superiori derogate legi inferiori yang artinya peraturan perundang-

undangan yang memiliki hierarki lebih tinggi dapat mengalahkan peraturan

perundangan di bawahnya. Sehingga segala peraturan yang ada dibawahnya

harus berdasarkan peraturan yang ada di atasnya. Hal ini didasarkan pada sifat

hukum yang selalu mendasarkan pada sumber hukum yang lebih tinggi. Karena

hukum yang lebih tinggi tingkatannya menjadi sumber hukum bagi peraturan-

peraturan yang dibawahnya. Menurut Peter Mahmud Marzuki,apbila terjadi

pertentangan antara hukum yang secara hierarki lebih rendah dengan tingkatan

yang lebih tinggi, maka hukum yang ditingkatan rendah harus disisihkan.122

Dari asas lex superiori derogate legi inferiori, jika dikaitkan dengan

penulisan tesis tentang analisis putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-

VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur, maka putusan

Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan asas lex superiori derogate legi

inferiori. Karena putusa Mahkamah Konstitusi secara hukum bertentangan

dengan UUD 1945 dan undang-undang lain seperti UU No.24 Tahun 2003                                                                       121 Maria Faria Indrati, loc.cit.            122 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit, hlm. 99 

Page 97: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85  

tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal-pasal UUD 1945 dan peraturan

perundang-undangan yang lain jelas tidak menyebutkan tentang kewenangan

Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum dengan putusan berupa pemilihan umum ulang. Kewenangan

Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada penghitungan ulang terhadap hasil

suara pemilihan umum yang diperselisihkan oleh peserta pemilihan umum.

Ditambah lagi pemaknaan pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi.

UUD 1945 sebagai aturan hukum tertinggi dalam susunan peraturan

perundang-undangan tidak menyebutkan pemilihan kepala daerah langsung

kedalam pemilihan umum. UUD 1945 sebagai Konstitusi

menggambarkanhukum positif pada tingkat tertinggi. Mengambil pengertian

kata subtansif dan esensial konstitusi yang bergantung pada pengaturan alat

pemerintahan dan proses penciptaan hukumnya, yaitu proses legeslasi.123

Sehingga penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan kepala langsung

daerah tidak dapat dilakukan Mahkamah Konstitusi seperti terhadap

perselisihan pemilihan umum. UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sendiri menyebutkan wewenang Mahkamah Konstitusi terbatas pada

hasil perselisihan suara pemilihan umum, bukan untuk menghakimi terhadap

suatu pelanggaran hukum yang sifatnya pidana pemilihan umum, karena itu

bukan wewenang Mahkamah Konstitusi, tetapi lembaga lain yang berwenang.

Hans Kelsen dalam Soedikno Merto Kusumo berpendapat, suatu kaedah

hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas

kaedah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaedah hukum merupakan

sistem kaedah hukum secara hierarki. Grundnorm atau norma dasar terdapat

dasar berlakunya kaedah hukum. kaedah yang berasal dari suatu tata hukum

dari aturan dasar itu hanya dapat dijabarkan berlakunya kaedah hukum bukan

isinya. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan bahwa, berlakunya hukum itu

                                                                      123 Stanley L. Poulson, op.cit, hlm. 106 

Page 98: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86  

berhubungan dengan das sollen, sedangkan pengertian hukum berhubungan

dengan das sein.124

Asas lex superiori derogate legi inferiori meunjukkan hukum yang dibuat

oleh lembaga Negara yang lebih tinggi memiliki kedudukan hukum yang lebih

tinggi pula. Walaupun di Indonesia sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi atau

lembaga tinggi Negara, tetapi perlu diingat bahwa lembaga legeslatif/Dewan

Perwakilan Rakyat dan lembaga eksekutif/Presiden merupakan lembaga yang

mengusulkan, memilih, dan mengangkat hakim-hakim di Mahkamah

Konstitusi. Dalam pasal 24C (3) disebutkan, Mahkamah Konstitusi mempunyai

sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang

diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh

Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Sehingga lembaga

yang dibentuk oleh suatu lembaga lain, maka lembaga yang membentuk adalah

lembaga yang memiliki power yang lebih tinggi kedudukan kewenangannya

dalam ketatanegaraan. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, seperti

UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas

UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tingkatan lebih

tinggi (lex superiori) dibandingkan dengan putusan hakim (inferiori). Selain

dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan menjadi pedoman mengenai tata urutan susunan peraturan

perundang-undangan di Indonesia disebutkan tata urutan perundng-undangan

yang berada pada tingkatan tertinggi sampai peraturan tingakat terendah, juga

peraturan perundang-undangan dibuat oleh lembaga yang sah secara hukum

diberikan wewenang untuk membentuk hukum.125

2. Sesuai dengan hasil penelitian normatif hukum dan rumusan masalah kedua

tentang putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan Undang-

                                                                      124 Soedikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 95           125 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 96 

Page 99: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87  

Undang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan yang diperbaruhi

dengan UU No.12 Tahun 2008), akan dilakukan pembahasan sebagai berikut.

a. Undang-undang sebagai sumber hukum formil dan materiil

Undang-undang merupakan sumber hukum utama dalam Negara civil law

system. Karena mendasarkan segala sesuatunya pada peraturan perundang-

undangan tertulis. Aliran legisme juga beranggapan bahwa hukum adalah

kumpulan peraturan-peraturan yang dituangkan dalam undang-undang, diluar

itu bukan merupakan hukum. UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, undang-undang dalam tata urutan peraturan

perundang-undangan di Indonesia berada pada posisi di bawah UUD 1945.

Karena undang-undang adalah seperangkat aturan hukum yang digunakan

untuk melaksanakan UUD 1945.

Undang-undang dalam civil law system sebagai pedoman bagi hakim untuk

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Sehingga hakim disini

dalam melaksanakan tugas yudikatifnya tidak lepas dari aturan-aturan yang ada

di dalam undang-undang. Apa yang ada di undang-undang harus dipatuhi oleh

hakim, sepanjang tidak bertentangan dengan agama dan kemanusiaan. Undang-

undang dengan putusan hakim memiliki esensi hukum yang berbeda. Dimana

undang-undang bersifat umum yang mengikat setiap orang, sedangkan putusan

hakim adalah hukum yang mengikat kepada orang-orang tertentu saja.126

Undang-undang sebagai sumber hukum formal adalah bahwa undang-

undang dibuat olah lembaga Negara yang berwenang dalam membentuk

Negara. Di Indonesia lembaga yang mendapatkan wewenang untuk

membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga

legeslatis dan Presiden sebagai lembaga ekekutif yang akan melaksanakan

undang-undang tadi. Sehingga dalam arti formil undang-undang memiliki

kekuatan berlaku yang kuat, karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang.

Berbeda dengan kekuatansuatu putusan hakim, yang mana putusan tersebut                                                                       126 Soedikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 80  

Page 100: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88  

tidak memiliki kekuatan berlaku yang kuat, karena tidak dibentuk oleh

lembaga yang berwenang membuatnya. Hakim tidak mempunyai hak untuk

membentuk undang-undang, tapi hakim sebagai pelaksana undang-undang dan

sebagai penemu hukum. menemukan hukum oleh hakim tidak dapat dimaknai

hakim dapat membentuk hukum. Karena pada dasarnya hukum sudah ada pada

peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia lembaga yang berwenang untuk membuat undang undang

adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Sebagaimana disebutkan

dalam pasal 5 (1) UUD 1945 disebutkan, Presiden berhak mengajukan

rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 (1)

UUD 1945 disebutkan, Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang, (2) disebutkan, setiap rancangan undang-undang

dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama. Dari pasal UUD 1945 tersebut menunjukkan formal

hukum yang harus dipenuhi untuk berlakunya suatu hukum. Politik dengan

hukum tidak dapat dilepas secara terpisah, karena keduanya saling

behubungan, hukum sebagai arah petunjuk jalannya politik agar tetap pada

jalur yang benar.127 Sebagai bukti bahwa politik dengan hukum tidak dapat

dipisahkan di Indonesia juga menganut trias politik, yang membagi secara

politis tugas dan fungsi antara lembaga eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Ada

lembaga yang bertugas untuk membuat peraturan, ada lembaga yang bertugas

untuk melaksankan peraturan itu, ada pula lembaga yang bertugas untuk

menindak setiap subjek hukum yang melanggar peraturan yang tersebut.

Masing-masing lembaga tidak dapat melampaui kewenangan yang telah

dimilikinya, karena secara hukum ketatanegaraan lembaga-lembaga Negara

sudah memiliki peraturan hukum yang mengatur tugas dan fungsi masing-

masing.

seperti putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari pendekatan                                                                       127 David Kairys, “Politics of Law.” A Progressive Critique, Law journal, 1982 

Page 101: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89  

perundang-undangan jelas tidak dapat dibenarkan. Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut mengesampingkan aturan-aturan yang terdapat dalam

undang-undang. Ditinjau dari undang-undang pemerintahan daerah (UU No.32

Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun 2008 tetang perubahan atas UU No.32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) putusan Mahkamah Konstitusi

tidak sesuai dengan syarat formal berlakunya hukum. Putusan Mahkamah

Konstitusi berupa pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur merupakan

tindakan Mahkamah Konstitusi dalam membentuk hukum bukan menemukan

hukum. Padahal Mahkamah Konstitusi bukan lembaga yang berwenang untuk

membentuk hukum. Mahkamah Konstitusi dalam membentuk hukum dapat

terlihat dari putusannya terkait sengketa pemilihan kepala daerah di Jawa

Timur yang memutuskan pemilihan kepala daerah ulang, putusan tersebut tidak

diatur dalam peraturan perundang-undangan. yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan adalah wewenang Mahkamah Konstitusi untuk

menghitung ulang suara hasil pemilihan umum yang diperselisihkan oleh

peserta pemilihan umum. Sehingga putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah

Konstitusi mempunyai kedudukan hukum yang lemah.128

Mahkamah Konstitusi secara formil hanya berwenang untuk melaksanakan

hukum acara persidangan, bukan untuk membentuk hukum. Walaupun hakim

diberikan wewenang untuk menggali menemukan hukum untuk menyelesaikan

perkara, tetapi perkara yang dimaksud merupakan perkara yang masih belum

ada dasar hukumnya, tetapi jika suatu perkara yang telah ada dasar hukumnya

maka tidak dapat dicari-cari lagi dasar hukumnya. Sehingga hakim tidak dapat

melepaskan undang-undang dalam mengambil suatu putusan.

Undang-undang dilihat sebagai sumber hukum materiil adalah, bahwa

undang-undang isinya mengatur tentang hal-hal yang berisi perintah dan

larangan, hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, hak dan

kewajiban, dan hal-hal lain yang mengikat bagi seluruh masyarakat. Dengan

undang-undang sebagai sumber hukum materiil menjadikan bunyi atau kata-                                                                      128 CST. Kansil, op.cit, hlm. 17 

Page 102: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90  

kata yang ada didalam undang-undang adalah hukum yang harus dipatuhi.

Selain diatur di luar undang-undang berarti bukan hukum. begitu juga aliran

positivisme yang memandang hukum adalah suatu peraturan yang tertulis,

peraturan yang tidak tertulis bukan merupakan hukum. mengacu dari sumber

hukum materiil, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008

tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tersebut tidak memenuhi

sumber hukum material. Karena secara materi atau isi undang-undang tidak

ada dalam undang-undang pemerintahan daerah yang menyebutkan wewenang

Mahkamah Konstitusi untuk memutus pemilihan kepala daerah ulang. Yang

dapat dilakukan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan penghitungan suara

ulang yang diperselisihkan. Hal itu terkait dengan cara penyelesaian

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah langsung yang diatur dalam UU

No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.12 Tahun 2008

tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

b. Perselisihan tentang hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah

Pemilihan umum di Indonesia merupakan agenda demokrasi lansung oleh

rakyat setiap lima tahun sekali. Tetapi sejak otonomi daerah dan perubahan

besar terhadap sistem pemerintahan daerah, maka pemilihan umum dapat

terjadi kapan saja di wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia untuk

memilih satu pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.

Sehingga dengan adanya pemilihan kepala daerah secara lansung ini banyak

menimbulkan sengketa tentang pemilihan kepala daerah. Sengketa mulai dari

pelanggaran pemilihan, tindak pidana pemilihan umum, dan sampai terakhir

pada perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah. Masalah perselisihan

tentang hasil pemilihan kepala daerah rawan terjadi, karena dalam proses

penghitungan suara hasil pemilihan tersebut berupa jumlah angka-angka.

Selain faktor kesengajaan berupa manipulasi data, faktor ketidak cermatan

dalam menghitung suara menjadi pemicu terjadinya perselisihan hasil

pemilihan kepala daerah.

Page 103: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91  

Perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah sebelunya menjadi

kompetensi wewenang Mahkamah Agung, kemudian dialihkan kepada

Mahkamah Konstitusi. Dasar hukum tentang peralihan wewenang untuk

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah ini terdapat dalam

pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32

Tahhun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yangberbunyi: penanganan

sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah konstitusi paling

lama 18 (delapanbelas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Sejak itu

Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan kepala daerah.

Adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum atau perselisihan tentang hasil pemilihan kepala

daerah inilah yang menjadi permasalahan dalam putusan Mahkamah Konstitusi

NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa

Timur. Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa kewenangan yang

didapatnya dalam UUD 1945 pasal 24C dan UU No.24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi pasal 10, yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi

berwenang untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum kepala,

dapat di artikankan untuk memutus pemilihan kepala daerah ulang. Karena

perselisihan tentang hasil pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi tidak

dimaksudkan hasil berupa jumlah suara pemilihan umum yang berupa angka-

angka. Mahkamah Konstitusi menganggap terdapat pelanggaran pemilihan

kepala daerah yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif, dari pemilihan

kepala daerah di Jawa Timur adalah termasuk hasil. Hasil pemilihan kepala

daerah dimaknai sebagai hasil yang global terhadap proses pemilihan kepla

daerah. Sehingga penafsiran hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah

Konstitusi adalah hasil yang mencakup menang dan kalahnya pasangan calon

kepala daerah, bukan hasil berupa jumlah suara sebagaimana dimaksud dalam

UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Page 104: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92  

UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan

kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur

tentang penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah langsung.

Yang mana undang-undang tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya yang

dimaksud perselisihan tentang hasil pemilihan umum kepala daerah adalah

jumlah suara hasil pemilihan umum kepala daerah.

Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 103 dinyatakan,

(2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.

(3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.

(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.

Pasal 104 dinyatakan, (3) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan

yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan Maka tidak dapat dilakukan.

(2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:

a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus ,menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;

c. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;

d. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau

Page 105: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93  

e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.

Pasal 106 dinyatakan,

(3) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil

penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.129

Dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 236C dinyatakan,

Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.130

Dari beberapa pasal tersebut di atas secara hukum normatif telah

memperlihatkan tentang maksud dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang

sebenarnya terkait dalam hal menyelesaikan perselisihan tentang hasil

pemilihan umum kepala daerah. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan

pembuktian untuk menentukan suara hasil pemilihan umum kepala daerah

yang benar, menurut versi pemohon atau versi penetapan Komisi Pemilihan

Umum. Sehingga tugas Mahkamah Konstitusi tidak lain hanya menghitung

ulang suara hasil pemilihan umum kepala daerah yang diperselisihkan.

Melalui pendekatan konsep tentang pengertian hasil pemilihan umum yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan, maka dalam Undang-Undang

Pemerintahan Daerah No.32 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun 2008 tentang

perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka

                                                                      129 Lihat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah           130 Lihat UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  

Page 106: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94  

konsep hasil pemilihan umum kepala daerah adalah jumlah hasil suara yang

berupa angka.

Mahkamah Konstitusi dapat saja memutus peserta pemilihan umum

dengan putusan yang sifatnya pembatalan atau ketidak absahan peserta

pemiliha umum, akan tetapi prosedur tersebut harus didahului dengan

pembuktian adanya pelanggaran yang dikeluarkan oleh lembaga yang

berwenang. Maksudnya, apabila terjadi pelanggaran administratif maka

Mahkamah Konstitusi harus sudah mendapatkan bukti pelanggaran tersebut

dari Komisi Pemilihan Umum yang menyelenggarakan pemilihan umum

tersebut, jika terjadi pelanggaran pidana maka Mahkamah Konstitusi harus

telah mendapatkan bukti tertulis berupa putusan lembaga peradilan umum

yang menyatakan bahwa peserta pemilihan umum tersebut dijatuhi hukuman

pidana oleh lembaga peradilan umum. Karena asas legalitas hukum di

Indonesia menghendaki demikian. Sebelum dinyatakan oleh lembaga

peradilan atau lembaga yang berwenang dengan bukti tertulis maka setiap

tindakan oleh subjek hukum tidak dapat dipersalahkan. Sehingga putusan

Mahkamah Konstitusi yang telah memutus tentang adanya pelanggaran yang

sistematis, terstruktur, dan masif di pemilihan kepala daerah Jawa Timur

tidak dapat dibenarkan secara hukum, karena tidak ada bukti legalitas dari

pihak-pihak atau lembaga hukum yang berwenang untuk itu yang menyatakan

telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon kepala

daerah/calon Gubernur dan wakil Gubernur Jawa Timur.

Dalam lingkup Mahkamah Konstitusi dikenal dengan istilah “PHPU”.

Yang dimaksud adalah perselisihan hasil pemilihan umum. Sehingga jelas

bahwa objek dari perkara merupakan permasalahan hasil suara yang tidak

sesuai dengan perhitungan yang sebenarnya. Dalam hal terjadi ketidak

sesuaian hasil jumlah suara, maka diselesaiakan dengan melakukan

penghitungan ulang jumlah suara yang diperselisihkan. Masing-masing tempat

penghitungan suara menjadi tempat untuk melakukan penghitungan suara,

yang mana akan menampilkan hasil berupa jumlah suara para peserta

Page 107: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95  

pemilihan ummum. Dan setiap peserta pemilihan umum mendapatkan berita

acara tentang hasil penghitungan suara pemilihan umum, sehingga apabila

terjadi ketidak cocokan berati tinggal melakukan pengecekan kembali masing-

masing data hasil jumlah suara yang dimiliki

c. Penyelesian pelanggaran pemilihan kepala daerah adalah tugas dan

wewenang Panitia Pengawas pemilihan kepala daerah

Dalam setiap pemilihan umum sering terjadi pelanggaran-pelanggaran

pemilihan umum. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 pasal 1 (3)

bahwa Negara indonesia adalah negara hukum, sehingga terhadap pelanggaran

pemilihan umum kepala daerah harus diselesaikan melalui jalur hukum. Karena

Indonesia menganut civil law system, maka dalam menyelesaikan segala

permasalahan hukum berdasarkan hukum, dan hukum adalah peraturan

perundang-undangan. Dengan kata lain, bahwa untuk menyelesaikan

Pelanggaran pemilihan umum dengan menggunakan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Terkait dengan penulisan tesis ini yang mengangkat permasalahan putusan

Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala

daerah ulang di Jawa Timur, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

tidak sesuai dengan wewenang dan peraturan perundang-undangan. menurut

Mahkamah Konstitusi dalam pemilihan kepala daerah Jawa Timur telah terjadi

pelanggaran pemilihan umum kepala daerah yang terstruktur, sistematis, dan

massif. Dengan alasan tersebut hingga Mahkamah Konstitusi mengeluarkan

putusan untuk dilakukan pemilihan kepala daerah di ulang di dua kabupaten,

yaitu Sampang dan Bangkalan dan penghitungan ulang di kabupaten

Pamekasan.

Apabila terjadi perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maka

Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi

menyangkut dengan adanya pelanggaran terhadap pemilihan umum kepala

daerah menjadi wewenang lembaga lain yang dibentuk untuk memproses dan

Page 108: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96  

memutus terjadinya pelanggaran pemilihan umum. UU No.32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan:

Pasal 57, dinyatakan,

(3).Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat,

(4).Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.

(5).Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD.

(6).Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang lainnya.

(7).Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.

Pasal 78 dinyatakan,

Dalam kampanye dilarang:

a.Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik;

c.Menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;

d.Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik;

e.Mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;

f.Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;

g.Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain;

h.Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah;

Page 109: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97  

i. Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan

j.Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.

Pasal 81 dinyatakan,

(1)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, merupakan tindak pidana dan dikenal sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye.131

Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut

terdapat aturan-aturan yang menunjukkan adanya panitia pengawas pemilihan

kepala daerah yang berwenang untuk menyelesaikan permasalahan terkait

pelanggaran pemilihan kepala daerah, sehingga bukan wewenang Mahkamah

Konstitusi untuk memutus telah terjadi pelanggaran pemilihan kepala daerah.

Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah

Pasal 105 dinyatakan, Pengawasan pelaksanaan pemilihan dilaksanakan panitia pengawas pemilihan yang bertanggung jawab dan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan keputusan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 108 dinyatakan, Panitia Pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:

- Menerima laporan pelanggaran perturan perundang-undangan - Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan - Meneruskan temuan kepada instansi yang berwenang

Pasal 113 dinyatakan,

Penyidikan terhadap laporan sengketa yang mengandung unsure tindak pidana yang diatur dalam peraturan pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan KUHAP

Pasal 114 dinyatakan,

Pemeriksaan atas tindak pidana dalam peraturan pemerintah ini dilaksanakan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum.132

                                                                      131 Lihat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 

Page 110: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98  

UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan

Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepla Daerah menunjukkan

secara normatif hukum, bahwa adanya lembaga yang khusus berwenang

menangani masalah pelanggaran pemilihan kepala daerah, yaitu panitia

pengawas pemilihan yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan

tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Dan adanya jenis pelanggaran pidana yang

di selesaikansesuai dengan KUHP melalui lembaga yang berwenang. Sehingga

dari peraturan perundang-undangan ini tidak bisa Mahkamah Konstitusi

Memutus pemilihan kepala daerah ulang karena adanya pelanggaran pemilihan

kepala daerah, sebelum ada keputusan tetap dari lembaga peradilan.

d. Pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan paling akhir tahun 2008

Agenda politik pemerintah yang padat membuat waktu pemilihan kepala

daerah langsung diatur sedemikian rupa sehingga tidak terbentur dengan

agenda politik yang lebih besar, yaitu pemilihan umum legeslatif dan

pemilihan Presiden dan wakil Presiden. Sehingga dalam penyusunan UU

No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah disebutkan dalam pasal 233 (2), Pemungutan

suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa

jabatannya berakhir pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juli

2009 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama pada bulan

Oktober 2008. (3) Dalam hal terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua,

pemungutan suara diselenggarakan paling lama pada bulan Desember 2008.133

Mellauipendekatan konsep perundang-undangan jelas telah disebutkan dalam

pasal 233 (2 dan 3) bahwa pemilihan kepala daerah dan pemilihan putaran

kedua kepala daerah jika terjadi, maka harus diselenggarakan paling lama

bulan Oktober 2008, sehingga penyelenggaraan pemilihan putaran ketiga yang

terjadi di Jawa Timur berakibat tidak sah. Alasan pertama, bahwa di dalam UU

No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004                                                                                                                                                                              132 Lihat PP No.6 tentang Pemilihan Kepala Daerah           133 Lihat UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 

Page 111: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99  

tentang Pemerintahan Daerah hanya mengenal pemilihan kepala daearah

putaran kedua, sehingga pemilihan ulang kepala daerah putaran ketiga di Jawa

Timur tidak sesuai dengan undang-undang ini, kedua, bahwa waktu

penyelenggaraan yang seharusnya dilakukan akhir tahun 2008 tetapi

dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2009, sehingga pemilihan kepala daerah

putaran ketiga yang dilaksanakan di Jawa Timur tersebut tidak sah.

Pemilihan kepala daerah ulang yang merupakan hasil keputusan

Mahkamah Konstitusi terlalu memaksakan kehendaknya. Karena secara

hukum Indonesia civil law system yang mendasarkan segala sesuatunya pada

perturan perundang-undangan putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-

VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak

dibenarkan hukum. Dan waktu pemilihan yang telah kedaluwarsa tetap

dipaksakan untuk melakukan suatu pemilihan umum pada bulan januari tahun

2009, yang sebenarnya tidak diijinkan oleh undang-undang untuk melakukan

pemilihan kepala daerah pada tahun 2009.

Berdasarkan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU

No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan dalam pasal 233

(2) dan (3) tersebut, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-

VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai

dengan perturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas. Sehingga

pemilihan kepala daerah ulang di jawa timur tidak memenuhi syarat

berlakunya hukum dan diragukan keabsahannya. Asas kepastian hukum tidak

lagi diperhatikan. Padahal kepastian hukum akan menjamin tercapainya

hukum secara benar untuk mencapai keadilan. Kepastian hukum ditandai

dengan bukti tertulis dari hukum yang ada. Bahkan Pancasila dan UUD 1945

yang merupakan hukum tertinggi menganut kepastian hukum, ditandai dengan

bukti tulis dari norma-norma hukum yang disebutkan dalam sila-sila, butir-

butir Pancasila, pembukaan dan batang tubuh yang berisi bab-bab, pasal-pasal,

dan ayat-ayat dalam UUD 1945. Begitu pula dengan peraturan yang lain

Page 112: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100  

Pemilihan umum dilakukan melalui tahapan-tahapan yang panjang. Mulai

dari tahap persiapan, pelaksanaan, hingga tahap akhir pengumuman suara

pemenang pemilihan umum. Kesemuanya tentunya sudah diatur oleh

peraturan perundang-undangan pemilihan umum, khusus untuk pemilihan

kepala daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah No.6

Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sehingga tahapan yang

panjang tersebut tidak mungkin untuk dipaksakan berlakunya. Putusan

Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala

daerah ulang di Jawa Timur selain menurut aturan dilarang, juga waktu yang

digunakan untuk melakukan pemilihan ulang melampaui batas waktu yang

telah ditentukan.

Page 113: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101  

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dituliskan di

depan, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD

1945 pasal 18, 22E, 24C, dan UU No.24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi pasal 1, 10, 74, 75, 77. Peraturan yang tersebut

dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi tersebut tidak diperhatikan dalam membuat suatu keputusan

hukum oleh hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan

sengketa pemilihan kepala daerah Jawa Timur, dan putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut dapat dikategorikan putusan Ultra Petita.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang

pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan

undang-undang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004 pasal

57, 78, 81, 103, 104, 106 dan UU No.12 Tahun 2008 tentang

perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah pasal 233 dan 236), dimana peraturan tersebut sebenarnya yang

mengatur tentang pemilihan kepala daerah.

B. Implikasi

1. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-

VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur, yang

dapat dikategorikan putusan Ultra Petita, maka akan berimplikasi

menjadi preceden yang akan terulang dikemudian waktu terkait dalam

penyelesaian permasalahan perselisihan hasil pemilihan umum oleh

Mahkamah Konstitusi.

Page 114: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102  

2. Mahkamah Konstitusi secara hukum mendapatkan wewenang untuk

menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah seperti yang

disebutkan dalam Pasal 236 UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan

atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang mana

putusan Mahkamah Konstitusi akan berimplikasi; demi keadilan yang

demokratis putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yang harus

diterima oleh semua pihak bersengketa.

C. Saran

1. Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum, maka semua yang

dilakukan harus berdasarkan atas hukum. UUD 1945 sebagai peraturan

perundang-undangan tingkat tertinggi (grundnorm) harus ditaati,

karena UUD 1945 sebagai sumber hukum bagi peraturan hukum di

bawahnya. UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagai pelaksanaan UUD 1945 terkait wewenang Mahkamah

Konstitusi menjadi acuan bagi Mahkamah Konstitusi dalam

menjalankan tugas wewenang dan kewajibannya. Karena undang-

undang tersebut menjadi aturan yang dijadikan pedoman untuk

menyelesaikan permasalahan hukum.

2. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan UU No.12

Tahun 2008 atas perubahan kedua UU No.32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang secara khusus mengatur pemilihan kepala

daerah dan penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan kepala

daerah harus dilaksanakan dengan konsisten terkait masalah

perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Sehingga permasalahan

perselisihan pemilihan kepala daerah tidak merugikan rakyat di daerah

dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang berdemokratis.