perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG
PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum & Kebijakan Publik
OLEH:
Yogi Prasetyo
NIM : S310508016
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
Telah Disetujui Pembimbing
Pembimbing
Pembimbing
17/7/ 09
17/7/ 09
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iv
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Yogi Prasetyo
NIM : S310508016
Menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa tesis yang berjudul:
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA
ULANG DI JAWA TIMUR adalah betul-betul karya sendiri. Hal yang bukan
karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka, saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, 22 Juni 2009
Yang menyatakan
Yogi Prasetyo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis
yang didasarkan kepada laporan hasil penelitian normatif atau doktrinal ini adalah
karya ilmiah yang merupakan salah satu syarat untk memenuhi sebagian
persyaratan untuk mencapai derajat S-2 Program Magister Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyelesaian tesis yang berjudul “ANALISIS YURIDIS
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR.
41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR“ ini,
penulis mendapatkan petunjuk serta dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar- besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, SpKJ, selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
ijin dan kesempatan penulis dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang
telah memberikan dorongan dan kemudahan untuk menyelesaikan tesis ini.
4. Ibu Dr. Hartiwiningsih, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberi kelancaran untuk menyelesaikan tesis ini.
5. Bapak Dr. Jamal Wiwoho, SH, MHum, selaku pembimbing I yang telah
meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan
penulis, sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
6. Ibu Aminah, SH, MH, selaku pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan dan motivasi dalam penyelesaian tesis ini.
7. Para Dosen dan Staf Pengajar Program Magister Hukum Program Studi
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Seluruh staf Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bantuan serta pelayanan
selama penulis menempuh kuliah di pascasarjana.
9. Seluruh staf perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
yang telah memberikan pelayanan dalam peminjaman buku-buku yang
berguna untuk menyelesaikan tesis ini
10. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaikan
tesis ini
11. Pihak Rektorat Universitas Muhammadiyah Madiun (R. Afri Handoko,
S.Sos, MSi., Mujahidin, S.Sos, MSi., MKPd.(CDR), Drs. Mahfudz
Daroini, MSi., MKPd) yang telah memberikan dukungan untuk segera
menyelesaiakan tesis ini.
12. Rekan-rekan dosen dan staf di Universitas Pembangunan Teknologi
Pembangunan Surabaya Fakultas Hukum yang telah member dukungan
dan semangat untuk menyelesaiakan tesis ini.
13. Rekan-rekan dosen dan staf di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Mojokerto yang telah memberikan semangat dan motifasi untuk
menyelesaiakan tesis ini
14. Seluruh staf perpustakaan Universitas Merdeka Madiun yang telah
memberikan pelayanan dalam peminjaman buku-buku yang berguna untuk
menyelesaikan tesis ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
15. Rekan-rekan di PDM Kabupaten Madiun ( H. Achmad Zainuri, S.Ag,
M.Si., Drs. Budi Utomo, dan Suwandi, SP.) yang telang memberikan
semangat untuk menyelesaiakn tesis ini
16. Teman-teman aktivis dan Advokat ( Kholiq. SH., Arief Budiono. SH.
MH., M. Sofyan. SH., dan Nur Sodiq. SH) yang memberikan dukungan
dalam penyelesaian tesis ini
17. Seluruh mahasiswa di Universitas Muhamadiyah Madiun, Universitas
Teknologi Pembangunan Surabaya, dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Mojokerto, yang memberi semangat untuk menyelesaiakan tesis ini
18. Bapak dan Ibu saya yang tiada henti-hentinya mendoakan, mendukung,
dan memberikan nasehat
19. Kakak, adik, dan saudara-saudara yang memberikan dorongan,
semangat, dan doa kepada saya untuk dapat menyelesaikan studi di
Pascasarjana
Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, karena masih
terbatasnya kemampuan penulis, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi disiplin Ilmu Hukum,
khususnya dalam masalah kebijakan publik.
Surakarta, 22 juni 2009
Yogi Prasetyo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................... ii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS ................................................................. iii
PERNYATAAN .............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
ABSTRAK ...................................................................................................... xi
ABSTRACK ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 7
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 8
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Teori Hukum ................. 8
1. Pengertian hukum dan fungsi hukum ..................................... 8
2. Teori hukum murni Hans Kelsen ........................................... 13
B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik ............................... 20
1. Pengertian tentang kebijakan publik ...................................... 20
2. Hubungan hukum dan kebijakan publik ................................ 24
C. Mahkamah Konstitusi ................................................................. 26
1. Konsep dasar pembentukan Mahkamah konstitusi ................ 26
2. Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi .............. 29
3. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian
hasil pemilu ........................................................................... 31
D. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum .............................. 35
E. Pemerintahan Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah ................. 37
1. Pemerintahan daerah .............................................................. 37
2. Pemilihan kepala daerah ........................................................ 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
3. Penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah ...... 41
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 44
A.Lokasi Penelitian ........................................................................ 50
B.Data dan Sumber Data ................................................................ 50
C.Teknik Memperoleh Data ........................................................... 51
D.Teknik Analisis ........................................................................... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 52
A. Hasil Penelitian .......................................................................... 52
B. Pembahasan ................................................................................ 57
1. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008
tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur
mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi ..................................... 57
a.Pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk
dalam kategori pemilihan umum ........................................ 57
b.Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, bukan
memutus atau memerintahkan pemilihan umum ulang ..... 64
c.Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D
VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di
Jawa Timur ditinjau dari aliran civil law system ................ 72
d.Stufentheory peraturan perundang-undangan ..................... 79
e.Asas lex superiori derogate legi inferiori .......................... 84
2. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008
tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur
tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah (UU No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan
UU No.12 Tahun 2008) ......................................................... 87
a.Undang-undang sebagai sumber hukum formill dan
materiil ............................................................................... 87
b.Perselisihan tentang hasil penghitungan suara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
pemilihan kepala daerah ..................................................... 90
c.Penyelesaian pelanggaran pemilihan kepala daerah
adalah tugas dan wewenang Panitia Pengawas
pemilihan kepala daerah ..................................................... 95
d.Pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan paling
akhir tahun 2008 ................................................................. 98
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 101
A. Kesimpulan ................................................................................ 101
B. Implikasi .................................................................................... 101
C. Saran .......................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 103
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
ABSTRAK
Yogi Prasetyo, S310508016, ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini untuk mengkaji secara yuridis berdasarkan UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal. Melalui pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah hukum (Historical Approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Lokasi penelitian di Perpustkaan Fakultas Hukum UNS, Pasca Sarjana UNS, perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun, perpustakaan IKIP PGRI Madiun, perpustakaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Madiun, perpustakaan Kota Madiun, dan di dunia maya. Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari peraturan perundang-undangan. Analisis dilakukan dengan analisis logika deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Karena dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum bukan untuk memutus pemilihan umum ulang, tidak sesuai dengan aliran hukum civil law system yang dianut hukum Indonesia, tidak sesuai dengan stufentheory tata urutan perundang-undangan Indonesia dan asas lex superiori derogat legi inferiori. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) tidak sesuai dengan sumber hukum formil dan materiil, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah merupakan perselisihan jumlah suara berupa data angka-angka yang menunjukkan hasil perolehan suara pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah, pelanggaran terhadap pemilihan kepala daerah adalah wewenang panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan perangkat hukum yang ada bukan wewenang Mahkamah Konstitusi, serta pemilihan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir bulan Nopember 2008 sampai Juli 2009 diselengarakan paling lama pada bulan Oktober 2008 dan jika terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselengarakan paling lama bulan Desember 2008, bukan bulan Januari 2009 seperti yang terjadi di Jawa Timur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
ABSTRACT
Yogi Prasetyo,S310508016, YURIDIS ANALISIS OF DECISION OF CONSTITUTION OF COURT LAW NUMBER. 41/PHPU.D-VI/2008 ABOUT ELECTION OF REGIONAL LEADER IN EAST JAVA. Thesis: Sebelas Maret Surakarta University Post Graduate Program. This research to study yuridisly pursuaht to UUD 1945, UU No.24 of 2003 about Constitution of Court Law, and regulation law of regent of Government (UU No.32 of 2004 and perceive with UU No.12 of 2008 year) to decition of Constitution of Court law No. 41/PHPU.D-VI/2008 about Election to Re Regional Leader In East Java. This research is doctrinal research. With by the way statue approach, historical approach, conceptual approach. Located of research in the library of faculty of law Sebelas Maret University, library post graduate program law sebelas Maret University, library faculty of law Merdeka University Madiun, library Madiun IKIP PGRI, library of university Muhamadiyah Madiun, library of madiun city, and internet. This research had been three type such as primary date, secunder, and tertiary. Collecting date done by reading, study and studies of regulation law. Analysis with done logical deductive analysis. Pursuant to research result and inferential solution that decision constitution of court law Number. 41/PHPU.D-VI/2008 about Election to Re Regional Leader In East Java that over rule UUD 1945 ang UU No. 24 of 2003 year about Constitution of Court. Election to direct regional leader don’t included in general election category, constitution of court law only authoritative break dispute abaout result of general election is not break the re general election, not appropriate with civil law system that attentive by Indonesia law, not appropriate with stufentheory of arrange the legislation sequence and lex superiory derogate legi inferiori. Decision of Constitution of Court Law Number.41/PHPU.D-VI/2008 about Election of Re Regional Leader In East Java, evaluated from Regulation law of Regent Government (UU No.32 of year ang UU No.12 of 2008 year) not appropriate with formal and material source punish, dispute of election result of regional leader is difference of voice sum in from of the number leader date that show the result acquirement of candidate couple voice participant of election of regional leader, collision to election of regional leader is committee authority supervisor of election of regional leader and peripheral of the law is not authority Constitution of Court Law ang also election of regional leader of it’s tenure end of November 2008 until July 2009 with longest In October 2008 and if happened election of second round regional leader, balloting election of second round regional leader, balloting done with longest of Desember 2008 is not of 21 Januari 2009 such as happened in East Java.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
melahirkan lembaga baru dibidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi
sebagai berikut. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan
Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.1 Pada
mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan
keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat
dikatakan relatif masih baru. Karena itu, ketika Undang-Undang Dasar 1945
dirumuskan gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul.
Salah satu bentuk gagasan check and balances dalam perubahan UUD
1945 adalah pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai jawaban atas keinginan
agar lembaga yudisial melakukan pengujian atas undang-undang terhadap UUD
1945 yang sebelumnya sama sekali tidak dapat dilakukan. Mahkamah Konstitusi
berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 memiliki empat kewenangan. Namun
dikalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara
yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan
terakhir abad 20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat
populer. Karena itu setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi
dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas
diterima. Pada tanggal 13 Agustus 2003 dikeluarkanlah UU No.24 Tahun 2003
1 Ni’matul Huda. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta:UII Press, 2007, hal. 135
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan Pasal
24C ayat 6 UUD 1945.2
Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban
yang terdapat dalam UUD 1945, yaitu; Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Adapun kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD 1945.3
Konsekuensi dari reformasi yang terus berjalan di Indonesia sehingga
mengakibatkan tuntutan demokrasi yang luas kepada masyarakat. UU No.22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dibuat sejak awal reformasi tidak
lagi sesuai dengan keinginan masyarakat, khususnya terkait hak keikutsertaan
mayarakat untuk secara langsung dilibatkan dalam memilih calon kepala daerah
untuk masing-masing. Untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat di daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dibuat UU No.32
Tahun 2004 sebagai pembaruan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Sejak adanya UU No.32 Tahun 2004 maka kepala daerah dipilih secara
langsung oleh rakyat secara demokratis melalui pemilihan kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai institusi hukum yang
didirikan dengan tujuan utama sebagai pengawal konstitusi dan salah satunya
penyelesai masalah sengketa pemilihan umum, eksistensinya menjadi semakin
berat dipandang secara hukum, sebab selain tugas utamanya sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945, Mahkamah Konstitusi juga dipercaya untuk memutus
2 Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi dan Pembangunan Demokrasi di Indonesia, maklah yang disampaikan dalam seminar kerjasama antara Mahkamah konstituse dengan UNS, 2008, Hal:33 3 Lihat pasal 24C UUD 1945
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah.4 Dalam pasal 236C UU No.12
Tahun 2008 atas perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
terdapat pelimpahan wewenang penanganan perselisihan hasil penghitungan
suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan
sejak undang-undang ini diundangkan.
Salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Pada kasus sengketa pemilihan kepala
kaerah Provinsi Jawa Timur. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan
keberatan dari pasangan Khofifah-Mudjiono terhadap penetapan penghitungan
suara hasil pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur (Perkara
NO.41/PHPU.D-VI/2008. Dibacakan pada 2 Desember 2008) merupakan sebuah
masalah yang cukup kontroversial. Hal tersebut dapat dilihat dari sisi hukum
ketatanegaraan, bahwa putusan tersebut melahirkan preseden yang penting untuk
melihat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diperluas melalui putusannya
sendiri, khususnya yang menyangkut amar putusan yang memerintah Komisi
Pemilihan Umum Jawa Timur untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang
di Sampang dan Bangkalan paling lambat 60 hari dan penghitungan suara ulang di
Pamekasan paling lama 30 hari setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi
tersebut.
Negara konstitusonal adalah suatu negara yang melindungi dan menjamin
terselenggaranya hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil lainnya serta membatasi
kekuasaan pemerintahannya secara berimbang antara kepentingan penyelenggara
negara dan warga negaranya.5 Terdapat pula satu prinsip hukum dan keadilan
yang dianut secara universal menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh
diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan
tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang
4 Penyerahan wewenang oleh Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi pada 29 okktober 2008 oleh ketua MA bagir manan digedung Mahkamah Agung (MA) 5 Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal 39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
dilakukan oleh orang lain (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua
propria)6. Dengan demikian, tidak satupun pasangan calon yang boleh
diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan
prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Pada prinsipnya tujuan
konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk
menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang
berdaulat yang berdasarkan atas hukum.7
Harapan Mahkamah Konstitusi dari putusan yang demikian (ex aequo et
bono)8adalah agar pada masa-masa yang akan datang, pemilihan umum pada
umumnya dan Pilkada khususnya, dapat dilaksanakan dengan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa dicederai oleh pelanggaran serius,
terutama yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif. Pilihan Mahkamah
Konstitutusi yang demikian masih tetap dalam ruang lingkup penyelesaian
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan bukan penyelesaian atas proses
pelanggarannya sehingga pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri dapat
diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia.9
Putusan itu juga sebagai “terobosan”, yang artinya memang karena
putusan itu keluarkan untuk mengatasi permasalahan terkait sengketa hasil
pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur. Karena begitu komplek dan rumitnya,
maka putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap sebagai penyelesaian
permasalahan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya
pada dasarnya tidak memenangkan siapa-siapa. Karena Negara Indonesia
merupakan Negara yang berdasar atas hukum, maka dalam penyelenggaraan
kehidupan Negara harus berdasarkan pada hukum yang berlaku. Kepentingan
rakyat yang berdasar atas norma-norma hukum yang ada adalah berada diatas
6 Ibid. hal. 128 7 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 24 8Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, dapat diartikan juga menurut keadilan atau berarti juga demi keadilan, hlm. 130 9 Opini Prof. Mahfud M.D, ketua MK dalam wawancara pers sesaat setelah selesai sidang putusan sengketa pilkada jatim oleh RRI (Radio Republik Indonesia) Programa 3 Jakarta, 2 desember 2008.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
segalanya dan prioritas utama yang harus dijadikan pertimbangan setiap produk
hukum10.
Putusan itu didasarkan adanya fakta hukum di persidangan bahwa pada
kabupaten tertentu di Provinsi Jawa Timur nyata-nyata telah terjadi pelanggaran
serius pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan
masif 11. Selain itu, pelanggaran-pelanggaran tersebut bukan hanya terjadi selama
proses pemilihan kepala daerah berlangsung, sehingga permasalahan yang terjadi
harus dirunut dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum pencoblosan.12 Hal
terkait pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah yang begitu komplek tersebut
sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Konstiusi. Adanya pelanggaran pidana
selama proses pemilu yang seharusnya ditangani oleh Panwaslu, Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri.
Berdasarkan UUD 1945, dalam pasal 24C, Mahkamah Konstitusi yang
mempunyai wewenang yang salah satunya adalah menyelesaikan sengketa
pemilihan umum. Secara hukum Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan
untuk memutus atau memerintahkan pemungutan suara ulang. Wewenang
Mahkamah Konstitusi terbatas pada pengambilan keputusan terhadap hasil
perhitungan suara sebagai objek perselisihan pemilihan kepala daerah. Sehingga
keputusan Mahkamah Konstitusi NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang
Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari pendekatan teori
hukum murni Hans Kelsen, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
mengesampingkan dan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 18, 22E, dan
24C, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 dan10, UU
No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah pasal 74, 75, 77, 104, dan106, dan
UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 pasal 233
dan 236C. Berdasarkan latar belakang tersebut sehingga penulis tertarik untuk
10 Kacung Marijan, Dialog tentang PILKADA JATIM di Metro TV, Pk.20.00, Jumat 9 Januari 2009 11 www.MahkamahKonstitusi.go.id,(Putusan MK Nomor.41/PHPU.D‐VI/2008), 27 Desember 2008 12 Sengketa PILKADA JATIM, Jawa Pos, 3 Desember 2008
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
menulis tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG
PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah adalah untuk mengidentifikasikan persoalan yang
diteliti secara jelas, guna memberi jawaban atas persoalan yang akan dipecahkan.
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas tersebut, maka dirumuskan
permasalahan yaitu;
1. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945
dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ?
2. Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang
Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan UU
No. 12 Tahun 2008) ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisa atau mengkaji secara yuridis Putusan Mahkamah
Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang
di Jawa Timur yang dimungkinkan melampaui wewenang dengan
mengesampingkan UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
2. Menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008
tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur dikaji dari Undang-
Undang Pemerintahan Daerah No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan
UU No.12 Tahun 2008.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
D. Manfaat Penelitian
1. Segi Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu hukum serta ilmu lain yang terkait dengan penelitian ini.
Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan perbandingan
dalam bidang hukum dalam pemerintahan dan masyarakat yang akan datang.
Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hukum juga penuh kelemahan.13
2. Segi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada Mahkamah
Konstitusi dalam memutuskan suatu perselisiahan hasil pemilu. Sehingga
keputusan yang di berikan tidak bertentangan dengan hukum dan tidak
melampaui wewenang yang telah di atur dalam peraturan dasar dan peraturan
perundang-undangan.
13 Paul Carrington, “Of Law and the River”, journal of Legal Edacation 34, 1984: 227.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini disampaikan mengenai landasan
teori atau hasil studi kepustakaan, yang merupakan bahan-bahan untuk
menganalisa data yang menjadi rumusan masalah.
A. Tinjauan Tentang Hukum dan Teori Hukum Murni
1. Pengertian dan fungsi hukum
Memahami pengertian tentang hukum yang sangat banyak dikemukakan
oleh para ahli hukum tidaklah mudah. Pengertian hukum yang beraneka macam
tergantung darimana memandangnya. Menurut Plato hukum adalah pikiran yang
masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan
Negara. Hukum juga diartikan serangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata
aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan antar
masyarakat.
C.S.T Kansil berpendapat bahwa hukum adalah semua peraturan-peraturan
hukum yang diadakan atau diatur oleh Negara atau bagian-bagiannya dan berlaku
pada waktu itu seluruh masyarakat dalam Negara itu. Semua peraturan yang
berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat tertentu.14
Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah
dalam kehidupan bersama, keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam
suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan berlakunya dengan suatu
sanksi.15
Hukum menurut S.M. Amin, dalam Kansil adalah kumpulan-kumpulan
peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.16 Menurut
J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-
peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
14 C.S.T Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 11 15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1986, hlm. 37 16 C.S.T Kansil, Pengantar Hukum Indonesia dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
lingkungan masyarakat yang dibuat oleh bada resmi yang berwajib, pelanggaran
terhadap peraturan ini berakibat diambilnya tindakan, yaitu hukuman tertentu.
Hukum dapat bersumber dari undang-undang, kebiasaan, keputusan hakim,
traktat, dan doktrin. Menurut Buys, hukum adalah ketentuan-ketentuan umum
tentang peraturan perundang-undangan untuk Indonesia, Algemen Bepolingen Van
Wetgeving Voor Indonesia atau A.B. Menurutnya hukum merupakan undang-
undang dalam arti formal, yaitu keputusan pemerintah yang karena cara
pembuatannya oleh Presiden dan legeslatif yang mengikat bagi seluruh
masyarakat, atau materiilnya. Sehingga hukum dimaknai suatu undang-undang
tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah bagi seluruh masyarakat.
Hukum ditinjau dari ilmu politik, menurut Mahfud MD, hukum adalah
suatu sarana dari elit penguasa yang memegang kekuasaan dan digunakan sebagai
alat untuk mempertahankan kekusaannya atau untuk mengembangkannya.17
Menurut Lon Fuller, hukum diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan
perilaku manusuia dibawah perintah dari peraturan-peraturan. Lon Fuller
beranggapan bahwa segala tindakan manusia diatur oleh hukum, sehingga apa saja
tindakan yang dilakukan manusia yang diatur undang-undang menjadi sah
menurut hukum. Disini menunjukkan hukum merupakan peraturan tertulis yang
sah untuk mengatur segala tindakan manusia.
Dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukum yang terkandung dalam
hukum adalah:
1) Peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang 2) Tujuannya mengatur dan menjaga tata tertib kehidupan masyarakat 3) Mempunyai cirikhas memerintah dan melarang 4) Bersifat memaksa agar ditaati 5) Adanya sanksi bagi yang melanggarnya.18
Menurut Esmi Warasih,19 untuk mengenal hukum dalam suatu sistem, maka harus
dicermati apakah ia memenuhi delapan asas hukum (principles of legality), yaitu:
17 Mahfud MD, Pergaulan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 4 18 Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum Kebijakan Publik, Universitas Sunan Giri Perss, Surabaya, 2002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya hukum tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut 4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa
yang dapat dilakukan 7) Peraturan tidak boleh sering berubah-ubah 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaanya di lapangan.
Berdasarkan asas hukum yang dikemukakan oleh Esmi Warasih, bahwa Suatu
sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan yang tidak boleh
mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat adhoc, yang mana hal itu
tidak terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan kepala
daerah ulang Jawa Timur. Peraturan yang mengatur tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi tertinggalkan dan cenderung untuk menunjukkan domein
hakim untuk memutus perkara tersebut, sehingga keputusan yang bersifat adhoc
sangat kuat. Seperti kritik terhadap hukum yang disampaikan oleh Kennedy dan
Klare yang memberikan kritik terhadap hukum yang tidak pas dengan hukum itu
sendiri dan memberikan khazanah literature hukum yang luas dan kaya bagi
perkembangan hukum.20 Dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah di Jawa Timur tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain, maka putusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 dimungkinkan tidak memenuhi asas hukum, karena
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat bertentangan dengan UUD 1945,
UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, dan UU No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU
No.32 Tahun 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sesuai dengan
sistem hukum yang menyebutkan bahwa peraturan-peraturan tidak boleh
19 Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 31 20 Kennedy dan Klare, “A Bibliograpy of Critical Legal Studies,” Yale Law Journal, 1984: 461
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan, karena wewenang
Mahkamah Konstitusi sudah jelas disebutkan dalam peraturan perundang-
undangan, yaitu untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sehingga apa yang sudah tertuliskan dalam peraturan perundang-undangan
menjadi pedoman hukum bagi Mahkamah Konstitusi, agar praktek hukum
dilapangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dan semua
sistem hukum tersebut menunjukkan kata peraturan yang berarti hukum positif
yang telah tersusun dalam suatu undang-undang tertentu.
Fungsi hukum menurut Sjachran Basah dalam Muchsin21 adalah:
1) Direktif, adalah prañata dalam membangun untuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara
2) Integratif, hukum sebagai Pembina kesatuan bangsa 3) Stabilitatif, sebagai pemeliharaan dan penjaga keselarasan, keserasian, dan
kesinambungandalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat 4) Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi
Negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan masyarakat
5) Korektif, baik terhadap warga Negara maupun administrasi Negara dalam mendapatkan keadilan
Fungsi hukum perfektif yang dikemukakan oleh Sjachran Basah dalam Muchsin
terkit dengan topik penelitian tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa
Timur menggambarkan kekurangsempurnaan tindakan Mahkamah Konstitusi
dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum di Jawa Timur, karena
tindakan berupa memutus pemilihan kepala daerah ulang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, sehingga tindakan tersebut tidak mendapatkan
perfektif hukum yang ada, dan dimungkinkan telah mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Tindakan perfektif merupkan tindakan yang
dilakukan berdaarkan hukum positif yang berlaku.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, hukum berfungsi untuk:
1) Memerintah, yaitu hukum termasuk mengendalikan perilaku kedalam keinginan langsung melalui sanksi positif dan negatif
2) Distribusi, yaitu hukum membantu dalam distribusi dalam rangka membatasi gap di masyarakat.
21 Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, IBLAM, Jakarta, 2006, hlm. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
3) Melindungi harapan, yaitu hukum mengungkapkan prediksi antara sejumlah subjek melelui apa yang diharapkan
4) Konflik yang berkepanjangan, hukum membantu memisahkan beberapa subjek yang sedang berkonflik
5) Nilai-nilai yang diwujudkan dalam gagasan, yaitu berfungsi mengutarakan beberapa gagasan dalam suatu masyarakat.
Fungsi hukum untuk memerintah dengan mengendalikan perilaku yang disertai
sanksi, menunjukkan hukum adalah peraturan yang harus ditaati dan yang
melanggar akan dikenai sanksi. Mahkamah Konstitusi belum menerapkan fungsi
hukum memerintah, karena peraturan perundang-undangan yang memberikan
perintah berupa wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan
perselisihan pemilihan kepala daerah di Jawa Timur dikesampingkan. Mahkamah
Konstitusi dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Jawa
Timur dapat juga menerapkan fungsi hukum untuk membantu memisahkan
beberapa subjek yang sedang berkonflik, yaitu khofifah dengan Soekarwo. Dalam
menyelesaikan konflik hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang mengatur penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah.
Menurut Utrecht dalam bukunya yang berjudul “Pengantar dalam Hukum
Indonesia”, fungsi hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum
(rechtszekerheid) dalam kehidupan masyarakat.22 Putusan Mahkamah Konstitusi
terkait pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan berarti kepastian hukum yang masih kurang,
karena kepastian hukum hanya didapat dari peraturan perundang-undangan.
Secara umum hukum berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, keadilan, dan
kebahagiaan bagi seluruh masyarakat yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada sesuai dengan normatif hukum Negara Indonesia yang
menganut civil law system. Secara umum hukum berfungsi untuk mewujudkan
ketertiban, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat yang berdasarkan
atas hukum yang berlaku.
22 Utrecht dalam M. Sidik, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jetiar Baru, Jakarta, 1983, hlm. 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
2. Teori hukum murni Hans Kelsen
Landasan teori dalam penelitian ini adalah teori hukum murni oleh Hans Kelsens.
Dalam teori ini berpendapat bahwa;
1) Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan
terhadap ilmu hukum yang ideologis yang hanya mengembangkan hukum
sebagai alat pemerintah dalam Negara totaliter
2) Teori hukum murni adalah gambaran hukum yang bersih dalam
abstraksinya, ketat dalam logikanya dan mengenyampingkan hal-hal yang
bersifat ideologis yang dianggap irasional
3) Teori hukum murni tidak boleh dicampuri ilmu politik, sosiologi, sejarah,
dan pembicaraan tentang etika
4) Grundnorm merupakan alat yang menggerakkan sistem hukum. Menjadi
dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan memberi
pertanggungjawaban mengapa hukum itu harus dipatuhi.
5) Sistem hukum pada hakekatnya adalah sistem hirarkis yang tersusun dari
peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.
Siatem hirarkis Hans Kelsen dapat digambarkan sebagai berikut.
(Stufentheorie Hans Kelsen)
Teori hukum murni adalah teori hukum umum, bukan penafsiran norma-norma
hukum Negara tertentu, yang difokuskan pada pengetahuan subtansinya.
Objeknya menjelaskan apa hukum itu dan bagaimana hukum dibuat, bukan
persoalan tentang apa seharusnya hukum itu atau bagaimana seharusnya hukum
Grundnorm
Norm
Norm
Norm
Norm
Norm
Norm
Norm
Norm
Norm
Menurut UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan. - UUD 1945
- UU/PERPU
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
itu dibuat. Teori hukum murni menghilangkan semua hal yang bukan merupakan
objek kognisi hukum, yang membebaskan hukum dari semua elemen asing di luar
hukum, sehingga sebenar-benarnya hukum adalah hukum yang bersih dan steril.23
Ajaran teori hukum murni Hans Kelsen mengandung prinsip-prinsip:
1) Tujuan hukum untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi
kesatuan
2) Teori hukum merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang
berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3) Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif
4) Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma dan tidak ada
hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5) Teori hukum adalah formal, tentang cara menata, mengubah isi dengan
cara yang khusus.
6) Hubungan antara teori hukum dan sistem hukum yang khas dan hukum
positif adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang ada.
Terkait dengan teori hukum oleh Hans Kelsen, bahwa hukum sebagai teori
tentang norma-norma dan tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma
hukum tersebut, maka penelitian tesis ini sesuai dengan teori Hans Kelsen
tersebut, dimana dalam penelitian ini yang diteliti dan dibahas adalah tentang
norma-norma hukum berupa peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam
suatu teks peraturan perundang-undangan
Hans Kelsen beranggapan bahwa hyphotetisch ordeet sebagai bentuk
hukum. Hukum untuk dapat berlaku tidak tergantung dari orang yang
menerimanya, tetapi asal saja syarat-syarat atau unsur-unsurnya terpenuhi, maka
hukum dapat berlaku. Kedudukan hukum lebih tinggi daripada Negara, sehingga
segala penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia harus berdasarkan atas
hukum,24 sesuai dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
23 Hans Kelsens dalam Stanley L. Paulson, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 38 24 Hans Kelsen dalam CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jilid 1, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 106
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Negara Indonesia adalah Negara hukum. Arti hukum terbentuk pada bentuk
hukum, sedangkan keadilan ada hubungannya dengan hukum yang berada diluar
pengertian hukum sebagai hukum. Hukum sah asal bersumber dari norma dasar
dan mempunyai efektifitas, karena norma dasar atau grundnorm adalah dasar
segala kekuasaan dan merupakan legalitas hukum positif. Hukum dapat bertepatan
dengan ketidak adilan juga, karena sudut pandang hukum dapat dilihat dari
berbagai aspek, sehingga keadilan dan ketidak adilan sangatlah relatif sekali, yag
terpenting hukum dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum yang ada.
Norma hukum dalam Negara dibagi dalam empat kelompok menurut Maria
Farida Indrati Soeprapto, yaitu.
- Kelompok I. Staats Fundamentalnorm (norma fundamental Negara) yang merupakan pembukaan UUD 1945
- Kelompok II. Staats Grundgesetz (aturan dasar/pokok Negara) yaitu batang tubuh UUD 1945
- Kelompok III. Formell Gesetz (undang-undang formal), seperti UU - Kelompok IV. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan
aturan otonom), seperti PP, Perda, dan peraturan pelaksana lainnya.
Diagram piramid (Theorie Stufenaufbao der Rechtsordnung, Nawiasky-Kelsen)
Konstitusi menggambarkan hukum positif ditingkat tertinggi. Mengambil
pengertian kata subtantif dan fungsi esensial konstitusi yang bergantung pada
pengaturan alat pemerintah dan proses penciptaan hukum umum, yaitu proses
legislasi. Disamping itu konstitusi menetapkan muatan undang-undang dimasa
depan.25
25 Stanley Poulson, Op.cit, hlm. 106
I. Staat Fundamentalnorm (pembukaan UUD 1945)
II. Staats Grundgesetz (batang tubuh UUD 1945)
III. Formell Gesetz (Undang-Undang)
IV. Verordnung dan Autonome Satzung (Peraturan Pelaksana, PP, Perda, dll)
I
II
III
IV
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum
(Stufentheorie) dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis lapis dala suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma
yang lebih rendah berlakunya, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi , norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar
(Grundnorm).
Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tidak lagi
dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasr yng merupakan gantungan
bagi bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar
tersebut dikatakan pre-supposed. Suatu norma hukum itu keatas ia bersumber dan
berdasarkan pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah menjadi dasar dan
menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga norma hukum
mempunyai masa berlakunya yang relatif, karena masa berlakunya suatu norma
hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya, sehingga apabila
norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau di hapus, maka norma-norma
hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.
Norma fundamental Negara merupakan norma tertinggi dalm suatu Negara,
yaitu norma yang tidak dapat dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi.
Norma fundamental merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi dan undang-
undang dasar suatu Negara. Hakekat hukum fundamental ialah syarat bagi
berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.
Aturan dasar Negara adalah norma hukum dibawah dasar fundamental.
Norma dalam aturan dasar ini merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat
garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma
skunder. Di Indonesia aturan dasar terdapat dalam Pancasila dan batang tubuh
UUD 1945. Aturan dasar merupakan landasan bagi pembentukan undang-undang
dan peraturan lainnya yang lebih rendah. Aturan dasar berisi garis-garis besar atau
pokok kebijaksanaan Negara, juga terutama aturan-aturan untuk memberlakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
norma-norma hukum, peraturan perundang-undangan, atau menggariskan tata cara
membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum.26
Norma dalam undang-undang sudah konkrit dan terperinci dapat langsung
berlaku dalam masyarakat. Norma ini bersifat tunggal dan juga sudah bisa
dicamtumkan norma-norma yang bersifat sanksi. Peraturan pelaksana adalah
berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang.
Dalam sistem norma hukum di Indonesia, Pancasila merupakan norma
fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, yang
kemudian berturut-turut diikuti oleh batang tubuh UUD 1945, serta hukum dasar
sebagai aturan dasar Negara, undang-undang serta peraturan pelaksana dan
peraturan otonom yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Peraturan pelaksanaan, dan peraturan otonom lainnya.
Perhatian teori hukum Hans Kelsen adalah menitik beratkan pada
keabsahan norma-norma hukum ditetapkan berdasarkan pertimbangan norma
ditingkat lebih tinggi berikutnya, dan seterusnya, hinga norma paling tinggi dalam
sistem hukum tersebut dicapai level konstitusi. Sistem hirarkis mempengaruhi
kepastian hukum, karena hukum di Negara yang beraliran civil law system
diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tertulis yang dibuat oleh
lembaga yang berwenang untuk membuatnya dan mempunyai legalitas hukum.
Dalam Negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitaas dalam
segala bentuknya, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis
tersebut menurut Malcolm Waters dalam Otje Salman dan Anton F. Susanto, teori
posivistik adalah:
“Teori yang mencoba untuk menjelaskan hubungan secara empiris antara variable dengan menunjukkan bahwa variabel-variabel itu dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan teoris yang lebih abstrak. Teori ini menjelaskan tentang pernyataan-pernyataan yang spesifik, karena teori ini sangat memfokuskan pada hubungan-hubungan empiris tertentu, temuan- temuannya yang belum terbukti mempunyai pengaruh”.27
26 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang‐ undangan, ctk. Kesepuluh, Kanisius, Yogyakarta, 1998 27 Otje Salman dan Anton Susanto, Teori Hukum, ctk. Kedua, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Dari sudut pandang penerapan termasuk penelitian berfokuskan pada masalah,
yaitu penelitian terhadap masalah-masalah itu ditentukan atas dasar kerangka
teoritis. Sehingga penelitian ini menjadi penghubung antara penelitian murni
dengan penelitian terapan. Berpijak dari teori hukum murni sebagai teori dasar
penelitian tesis, maka secara teori putusan Mahkamah konstitusi yang merupakan
praktik hasil dari produk hukum suatu lembaga peradilan Negara tersebut tidak
dapat dibenarkan dan melanggar hukum normatif.28
Ada lima konsep hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto, yaitu:
1) Hukum adalah suatu asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal
2) Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang- undangan hukum nasional
3) Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim, inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law
4) Hukum adalah pola prilaku sosial yang terlambangkan, eksis sebagai variable sosial yang empirik
5) Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.29
Konsep hukum adalah suatu asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati
dan berlaku universal merupakan sifat dasar hukum. Thomas Van Aquino
berpendapat bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan
oleh suatu undang-undang abadi yang menjadi dasar kekuasaan dari peraturan
lain. Terkait dengan asas hukum dalam peraturan perundang-undangan yaitu,
bahwa hukum tidak dapat berlaku surut, undang-undang yang dibuat oleh
penguasa yang kedudukannya lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi pula, hukum yang mengatur lebih khusus diutamakan dari yang bersifat
umum, hukum yang baru dapat mengalahkan hukumyang lama, dan undang-
undang tidak dapat diganggu gugat.30
28 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universtas Sebelas Maret, Surakarta, 2002, hlm. 6 29 Ibid, hlm. 20 30 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 155
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Konsep hukum kedua adalah konsep hukum normatif. Konsep normatif
hukum adalah suatu norma yang diidentikkan dengan keadilan yang harus
diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujudkan sebagai
perintah yang eksplisit dan secara positif telah dirumuskan jelas dalam undang-
undang (ius constitutum) untuk menjamin kepastian hukum. Sehingga seluruh
produk hukum harus berdasarkan aturan yang telah tertulis dalam undang-undang.
Menurut pandangan legisme, yang sesuai dengan konsep kedua, bahwa
hukum adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Hukum
terbentuk hanya oleh undang-undang (Wetgiving) hakim secara tegas terikat pada
peraturan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga peradilan
adalah hal menerapkan secara mekanisme dari ketentun undang-undang pada
kejadian-kejadian yang konkrit. Dalam aliran legisme segala sesuatu telah
ditentukan oleh hukum/undang- undang, diluar undang-undang bukan merupakan
hukum. Peradilan hanya sebagai lembaga pelaksana undang-undang. Aliran
legisme berpendapat bahwa putusan hakim tidak penting, karena hukum adalah
undang-undang. Hukum adalah semuanya telah diatur dan ditulis dalam teks
undang-undang, jadi yang tidak tersebut ditulis dalam teks bukan termasuk dari
hukum.31
Asas hukum atau undang-undang adalah jiwa dari hukum tersebut. Asas-
asas yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yaitu:
1) Undang-undang tidak dapat berlaku surut
2) Asas Lex Superiori Derogat legi Inferiori, Undang-undang yang dibuat
penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan lebih tinggi pula
3) Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis, undang-undang yang lebih
khusus mengalahkan undang-undang yang bersifat umum
4) Asas Lex Pasteriore Derogat Lex Priori, undang-undang yang baru
diutamakan daripada undang-undang yang lama
5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.32
31 Muchsin, op.cit, hlm. 8 32 C.S.T. Kansil, op.cit, hlm. 155
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Jika dikaitkan dengan tesis yang penulis teliti, maka putusan Mahkamah
Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan Kepala Daerah ulang di
Jawa Timur dimungkinkan melanggar norma-norma positif yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar dan undang-undang, karena di dalamnya tidak mengatur
kewenangan untuk memutus atau menyuruh Pemilihan Kepala Daerah ulang,
tetapi terkait perselisihan hasil pemilihan umum, dalam Pasal 24C UUD 1945.
Kaitan dengan tesis yang penulis teliti, konsep ketiga bahwa hukum
menurut Soetandyo Wignyosoebroto adalah apa yang diputuskan oleh hakim,
inconcreto, dan tersistematis sebagai judge made law. Maka Putusan Mahkamah
Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 dapat termasuk dalam konsep ketiga ini,
karena putusan Mahkamah Konstitusi itu diputuskan oleh hakim Mahkamah
Konstitusi yang merupakan penyelenggaraan atas kekusaan kehakiman. Hakim
dapat membentuk hukum atas dasar bahwa hakim tidak dapat menolak perkara
dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur. Hakim mempunyai hak untuk
membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara. Walaupun hakim dapat
menemukan atau menciptakan hukum, bukan berate hakim bebas membuat
hukum sendiri, karena kedudukan hakim bukan pemegang kekuasaan legeslatif
atau badan pembuat undang-undang. Keputusan hakim tidak punya kekuatan
hukum yang bersifat umum, keputusan hakim hanya berlaku pada pihak-pihak
tertentu saja.33Menurut aliran legisme bahwa putusan hakim kurang dianggap
penting, karena sumber hukum dari aliran legisme adalah undang-undang, hakim
hanya sebagai pelaksana dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-
undang.34
B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik
1. Pengertian tentang kebijakan publik
Menurut James E Anderson, kebijakan adalah serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku
33 CST. Kansil, Op.cit, hlm 36 34 Stanley Poulson, op.cit. hlm. 156
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah. Carl.J.Frledrick
mengatakan, kebijakan sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan dan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan
tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.35 Edwards dan Sharkansky
mengemukakan bahwa kebijakan publik itu dapat ditetapkan secara jelas dalam
peraturan perundang- undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat
pemerintah atau berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah.36
Menurut Bambang Sutiyoso perbuatan pemerintah atau Negara yang
disebut juga kebijakan pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu.
1) Mengeluarkan perundang-undangan (regelling)
2) Mengeluarkan suatu keputusan (beschikking)
3) Melaksanakan perbuatan material (materielle dood)
Perbuatan pemerintah yang mengeluarkan perundang-undangan tersebut dapat
dinilai dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki
wewenang untuk menguji secara materiil undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Dalam melaksanakan kebijakan pemerintah sering melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat
menimbulkan masalah.37 Kebijakan menurut Edi Suharto erat kaitannya dengan
sistem demokrasi, karena penentuan kebijakan dirumuskan melalui persetujuan
rakyat menurut sistem demokrasi yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.38Lembaga pemerintah dalam mengeluarkan undang-undang yang
bersifat umum mengikat semua orang, berisi kaidah hukum yang melindungi
banyak orang.39
35 Setiono. Hukum dan Kebijakan Publik. Bahan Matrikulasi Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2008, hlm. 3 36 Jamal Wiwoho, Bahan Perkuliahan Hukum dan Kebijakan Publik, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2008, hlm. 6 37 Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, ctk. Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 37 38 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta, Jakarta, 2005, hlm. 72 39 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Menurut Bambang Sunggono terdapat beberapa pendapat tentang konsep
kebijakan.40 Seperti, Kleijn mengartikan kebijakan sebagai tindakan secara sadar
dan sistematis, denga mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan
politik yang jelas sebagai sasaran yang dijalankan langkah demi langkah. Kuypers
berpendapat, kebijakan sebagai suatu susunan dari tujuan-tujuan yang dipilih oleh
para administrator publik baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk
kepentingan kelompoknya dan sarana-sarana yang dipilih olehnya. Menurut
Harold D.Daswell, kebijakan adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai,
dan praktek terarah. Kebijakan publik menurut Joko Widodo adalah suatu
kegiatan yang terkait dengan perumusan masalah, agenda kebijakan ditentukan,
perumusan kebijakan, keputusan kebijakan diambil, kebijakan dilaksanakan, dan
kebijakan dievaluasi.41
Kebijakan menurut Taliziduhu Ndraha adalah suatu pilihan yang terbaik,
usaha untuk memproses nilai pemerintah yang bersumber pada kearifan
pemerintahan dan mengikat secara formal, etika dan moral yang diarahkan guna
untuk menepati pertanggungjawaban aktor pemerintahan dalam lingkungan
pemerintahan dengan dasar pertimbangan kemanusiaan, kependudukan,
kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dan hubungan pemerintahan.42
Kebijakan publik oleh James E Anderson dalam Jamal Wiwoho merupakan:
1) Kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan tertentu atau tindakan yang berorientasi pada tujuan
2) Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah
3) Bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusn pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu
4) Kebijakan pemerintah dalam arti positif selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan.43
40 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 13 41 Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Bayumedia Publising, Malang, 2007, hlm. 17 42 Taliziduhu Ndraha, KYBERNOLOGI, Ilmu Pemerintahan Baru, ctk. Pertama, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 498 43 Jamal Wiwoho, opcit, hlm. 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Thomas R. Dye dalam Setiono menjelaskan bahwa kebijakan Negara atau
public policy is whatever government choose to do or not to do, yaitu pilihan
tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah44.
Kebijakan publik adalah suatu produk hukum pemerintah. Adanya pemisahan
kekuasaan lembaga Negara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif yang dianut di
negara Indonesia menjadikan segala keputusan yang diambil oleh lembaga-
lembaga Negara tersebut adalah suatu kebijakan publik, termasuk keputusan yang
dikeluarkan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang
telah mengeluarkan putusan terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Jawa
Timur. Menurut Dror, aktor yang berperan dalam membuat kebijakan suatu
Negara berkembang yaitu:
- Individu secara perorangan sebagai pemilih - Golongan intelektual - Para pejabat yang menduduki posisi penting dalam pembuatan kebijakan - Badan legeslatif - Badan eksekutif - Birokrasi pemerintah - Badan peradilan - Partai- partai politik - Golongan militer45
Keputusan Pengadilan menurut civil law system adalah jurisprudensi yang
merupakan sumber hukum, tetapi masih sekunder. Keputusan Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga
Yudikatif Negara. Mengingat kewenagannya untuk menguji undang-undang di
bawah Undang-Undang Dasar menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai
sumber hukum di Negara Indonesia.46
Menurut Jimly Asshidiqie, adanya pemisahan kekuasaan dari lembaga
eksekutif, legeslatif, dan yudikatif menjadikan produk hukum yang dihasilkan dari
lembaga-lembaga tersebut adalah sama berupa kebijakan Negara. Karena
44 Setiono, loc.cit, hlm. 3 45 Dror dalam Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 27 46 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press & PT Cipta Media, Jakarta, 2006, hlm. 343
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
kebijakan Negara yang diambil oleh lembaga yudikatif untuk mengatasi
permasalahan Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur adalah dengan putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008, sehingga putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut merupakan bentuk kebijakan publik.47
Karena kebijakan publik itu merupakan seluruh pilihan tindakan apapun
yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah, maka putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 juga merupakan kebijakan
pemerintah, karena Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari lembaga negara.
Sesuai dengan pendapat Dror yang menyatakan putusan pengadilan termasuk
suatu kebijkan publik, sehingga saya mengambil pemahaman bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah
ulang termasuk dalam kajian hukum kebijakan publik.
Sesuai dengan pendapat James E Anderson, bahwa Kebijakan pemerintah
dalam arti positif selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan, maka
keputusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan
Kepala Daerah ulang di Jawa Timur yang juga merupakan kebijakan publik,
dimungkinkan tidak berlandaskan peraturan perundang-undangan yang ada,
karena tidak sesuai dengan UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004, dan UU No.12 Tahun 2008
tentang perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
2. Hubungan hukum dan kebijakan publik
Hubungan hukum dan kebijakan publik memilki keterkaitan yang sangat
erat. Hukum dan kebijakan publik berangkat pada fokus yang sama dan berakhir
pada muara yang sama pula. Pada proses pembentukan hukum hasil akhirnya
lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undang-undang,
sedangkan pada proses pembentukan kebijakan publik hasil akhirnya pada
terpilihnya sebuah alternatif solusi bagi penyelesaian permasalahan.48 Mengambil
dari pendapat Anderson, bahwa Kebijakan pemerintah dalam arti positif selalu
47 Ibid 48 Setiono, op.cit, hlm. 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
dilandaskan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan hubungan
hukum dan kebijakan publik sangat erat. Dalam setiap membuat suatu kebijakan
pemerintah harus memperhatikan hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan. Agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak
menyalahi hukum, maka kebijakan dikontrol atau didasarkan pada hukum yang
ada. Dapat diambil makna, jika kebijakan publik tidak berdasarkan hukum, maka
kebijakan publik tersebut dapat dikatakan melanggar hukum, sehingga kebijakan
publik yang dikeluarkan pemerintah tidak sah.
Kebijakan publik sangat membantu memaparkan kandungan yang ada
dalam sebuah produk hukum. Karena kebijakan publik sebagai sarana untuk
menyukseskan pelaksanaan hukum. Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa
kebijakan publik yang dibuat pemerintah bukanlah bermaksud untuk melakukan
suatu yang bertentangan dengan aturan hukum.
Penerapan hukum sangat tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana
yang dapat mensukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan
adanya kebijakan publik, maka pemerintah dengan masyarakat setempat akan
mampu merumuskan apa saja yang harus dilakukan, agar penerapan hukum yang
ada dapat berjalan dengan baik.
Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki keterkaitan
yang sangat erat, sehingga telaah tentang kebijakan pemerintah semakin
dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum saat ini. kebutuhan tersebut
semakin dirasakan seiring dengan semakin meluasnya peranan pemerintah
memasuki bidang kehidupan masyarakat. Menurut Setiono,49 pada dasarnya di
dalam penerapan hukum tergantung pada empat unsur:
1) Unsur hukum 2) Unsur struktural 3) Masyarakat 4) Budaya
49 Setiono, op.cit, hlm. 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Unsur hukum disini adalah teks aturan-aturan hukum. Semua kebijakan publik
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah harus berlandaskan undang-undang yang
telah ada. Teks yang ada merupkan acuan yang jelas tertulis, sehingga kebijakan
publik yang dibuat tidak menyimpang dari peraturan yang menjadi dasar hukum
kebijakan publik.
Terkait dengan tesis yang ditulis, maka putusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur
dimungkinkan tidak memenuhi unsur hukum yang ada. Karena secara normatif
dianggap melanggar ketentuan hukum dasar, yaitu UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan, yaitu UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.12 Tahun 2008
perubahan atas UU No.32 Tahun 2004.
Unsur struktural adalah lembaga-lembaga atau organisasi yang membuat dan
melaksanakan hukum. Lembaga yang membuat dan menerapakan hukum
merupakan lembaga yang berwenang untuk itu. Sehingga salah apabila suatu
produk hukum dibuat oleh lembaga yang tidak mempunyai wewenang untuk
melakukan tindakan yang dimaksud.
Seperti yang terjadi pada putusan Mahkamah Konstitusi yang
memerintahkan diadakannya Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur. Itu
menunjukkan adanya ketidaksesuaian struktural hukum. Mahkamah Konstitusi
yang hanya diberikan wewenang untuk memeriksa perselisihan hasil perhitungan
suara pemilihan umum. Jadi Mahkmah Konstitusi secara sturktural tidak sesuai
dengan kewenangan hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
C. Mahkamah Konstitusi
1. Konsep dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi,
pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan
Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat kepada supremasi konstitusi.50 Karena perubahan yang
mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan
konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang secara khusus melakukan
pengujian terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi,
mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi
sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and
balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan
perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di
bawah undang-undang melainkan juga atas undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar.51 Kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar
Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang
berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung.
Dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Sesuai dengan gagasan Hans Kelsen tentang perlunya pembentukan Mahkamah
Konstitusi. Adanya konflik antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma
hukum yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang dengan
putusan Pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi
dengan dan undang-undang. Jadi Mahkamah Konstitusi awalnya dibentuk untuk
50 Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. 51 Jimly Assiddiqie, Model‐Model Pengujian Konstitusional di Beberapa Negara, Konstitusi Press, 2005, Jakarta, hlm. 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
menguji undang-undang terhadap konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi
disebut pengawal konstitusi atau the guardian of the constitution.52
Menurut Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Fungsi dari Mahkamah
Konstitusi oleh badan pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada awalnya
diarahkan untuk:
1) Memeriksa dan mengadili sengketa dibidang ketatanegaraan 2) Melakukan pengujian terhadap peraturan dibawah UUD 1945 3) Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan 4) Mengadili pembubaran partai politik 5) Mengadili sengketa antara instansi pemerintah di pusat atau instansi
pemerintah pusat dengan instansi pemerintah daerah 6) Mengadili suatu pertentangan undang-undang 7) Memberikan putuan gugatan yang berdasarkan UUD 1945 8) Memberi pertimbangan kepada DPR dalam hal DPR meminta MPR
bersidang untuk menilai perilaku Presiden yang dianggap mengkhianati Negara atau merusak nama baik lembaga Negara Presiden.53
Melalui pendekatan konsep sejarah (historical approach) dari awal pembentukan
Mahkamah Konstitusi oleh badan pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak
ada wewenang untuk menyelesaiakan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Lebih lanjut lagi menurut I. Gede Pantja Astawa dalam Jamal Wiwoho,54
ada tiga hal yang melatar belakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia, yaitu;
1) Adanya kekosongan hukum (rechtsvvacuum) atau kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) yang berkenaan secara khusus dengan pengujian (review) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
2) Adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kemungkinan timbulnya konflik kewenangan diantara lembaga-lembaga Negara yang ada.
52 Jamal Wiwoho, Lembaga‐Lembaga Negara Pasca Amandemen Keempat UUD 1945, UNS Press, ctk. Pertama, 2006, Surakarta, hlm. 226 53 Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Mahkamah Konstitusi. Memahami Keberadaan dalam Sistem Ketatanegaraan. Regulasi Indonesia, Rineka Cipta, ctk. Pertama, 2006, Jakarta, hlm. 20 54 Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 228
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
3) Berkenaan dengan alasan-alasanyang menjadi dasar pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya, sehingga pernah timbul perbedaan pendapat yang cukup mendasar antara Presiden Abdurahman Wakid yang akan dijatuhkan dengan MPR/DPR dalam kasus Bulog.
Begitu pula menurut I. Gede Pantja Astawa, latar belakang pembentukan
Mahkamah Konstitusi tidak untuk menyelesaikan perelisihan tentang hasil
pemilihan umum. Karena pada dasarnya terkait masalah perselisihan hasil
pemilihan umum telah ada lembaga yang kompeten untuk menanganinya.
2. Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi
Jimly Asiddiqie dalam Fatkurrohman55 Judicial review adalah upaya
pengujian oleh lembaga Yudicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh
cabang kekuasaan legeslatif, eksekutif, dan Yudikatif. Sesuai dengan pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
pasal 1 dan 10, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya final untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ayat (2), Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.56
Wewenang menguji udang-undang terhadap UUD dengan pengujian formal
dan pengujian secara materiil. Pengujian formal adalah wewenang untuk menilai
apakah produk hukum legislatif dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak dan
apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan sesuatu peraturan. Hak uji materiil
adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan
55 Fatkurrohman, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT Citra Aditya, 2004, Bandung, hlm. 25 56 Lihat UUD pasal 24C dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi, pasal 1 dan 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih
tinggi.57
Adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara adalah untuk menyelesikan perselisihan atas
kewenangan lembaga Negara yang diberikan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi
dalam memutus sengketa kewenangan lembaga Negara dalam perimbangan
kekuasaan lembaga Negara merupakan fungsi kontrol badan peradilan terhadap
penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga Negara dengan menempatkan
kekuasaan menjadi kewenangan lembaga Negara sesuai dengan proporsi atau
ruang lingkup kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945.
Dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pembubaran
partai politik menjadi syarat mutlak bagi pemerintah untuk melaksanakan
pembubaran partai politik. Karena tanpa ada dasar hukum berupa putusan
Mahkamah Konstitusi atas perkara pembubaran partai politik, pemerintah tidak
berhak membubarkan partai politik. Sehingga Mahkamah Konstitusi disini
sebagai lembaga yang sangat menentukan eksistensi keabsahan partai politik dan
pelindung dari pembubaran partai politik dari penguasa pemerintahan.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil
perhitungan suara pemilihan umum diatur dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan penyelesian perselisihan hasil
perhitungan suara pemilihan kepala daerah yang diatur dalam undang-undang
pemerintahan daerah, UU No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi denganUU No.12
Tahun 2008. Karena dalam Negara yang baru menginjak alam demokrasi banyak
terjadi pelanggaran atau perselisihan hasil pemilu.
Dalam Negara hukum seperti Indonesia ini, maka segala penyelenggaraan
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Sebagai lembaga peradilan yang
menjunjung tinggi hukum dan menegakkan kedilan Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan Putusan tentang pendapat DPR yang selanjutnya diteruskan dalam 57 Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 230
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
sidang paripurna MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden/wakil
Presiden dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Presiden/wakil
Presiden melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam UUD 1945, maka
putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dasar hukum untuk menyatakan
Presiden/wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya.
3. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian hasil pemilu
Kedudukan dan peran Mahkamah Konstitusi berada pada posisi strategis
dalam sistem ketatanegara Republik Indonesia, karena Mahkamah Konstitusi
mempunyai wewenang yang terkait langsung dengan kepantingan politik . Hal ini
menjadikan kedudukan Mahkamah Konstitusi berada dalam posisi sentral
sekaligus rawan terhadap intervensi pengaruh kekuatan politik, khususnya dalam
memutuskan perselisiahan hasil pemilu, pembubaran partai politik, dan
impeeacment terhadap Presiden. Berdasarkan ketentuan pasl 24 ayat (2)
perubahan UUD 1945, ada dua lembaga yang berwenang untuk melakukan
kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung beserta badan peradilan di
bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pasal 1 dan 10, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Yang sebelumya wewenang
ini dipegang oleh Mahkamah Agung. Setelah terbentuk Mahkamah Konstitusi
maka seluruh urusan terkait sengketa hasil pemilihan umum menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi. Pelimpahan wewenang itu tersirat dalam Pasal 236C UU
No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah menyatakan bahwa, penanganan sengketa hasil penghitungan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
UUD 1945 pasal 24C dinyatakan,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
UU No.24 Tahn 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 1 (3) d dinyatakan,
Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai: a) Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 b) Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 c) Pembubaran partai politik d) Perselisihan tentang hasil pemilihan umum e) Pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 10 (1)dinyatakan,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
c) Memutus pembubaran partai politik d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dalam pasal 106 ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, menyebutkan apabila terjadi keberatan terhadap hasil perhitungan suara
Pemilihan Kepala Daerah maka diajukan ke Mahkamah Agung, kemudian setelah
terjadi perubahan atas undang-undang pemerintahan daerah tersebut diganti
dengan UU No.12 Tahun 2008, dalm pasal 236C, maka terkait perselisihan terkait
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung di
alihkan ke Mahkamah Konstitusi. Dari pengalihan wewenang tersebut tidak
menyebutkan adanya kewenagan dari Mahkamah Konstitusi untuk memutus
Pemilihan Kepala Daerah ulang, tetapi hanya sebatas sah tidaknya perhitungan
suara. Disebutkan pula dalam pasal 233 bahwa Pemilihan Kepala Daerah harus
dilaksanakan paling lambat bulan desember 2008, sehingga putusan Pemilihan
Kepala Daerah ulang yang dilaksanakan pada tanggal 21 Januari di Sampang dan
Bangkalan tidak sesuai hukum.
Dalam Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyebutkan; apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan atas perkara peselisihan hasil pemilu yang diajukan pemohon adalah
beralasan dan memenuhi ketentuan pasal 74 UU No.24 Tahun 2003, maka amar
putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan dikabulkan, sedangkan
sebaliknya maka amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan
tidak dapat diterima.
Pasal 75 jo pasal 77 ayat (3) dan (4) UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, terhadap pemohon yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusi
akan melakukan pemeriksaaan, kemudian memutuskan dengan menetapkan hasil
perhitungan suara yang benar dari pemohon atau oleh Komisi Pemilihan Umum.
Hal ini mempunyai relevansi sebagai dasar hukum penetapan suatu hasil
perhitungan suara pemilu secara nasioal dengan implikasi keabsahan perolehan
suara peserta pemilu calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden,
dan Dewan Perwakilan Daerah.
Uji atas perhitungan hasil pemilu merupakan kewenangnan Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dasar hukum yang
memberikan keabsahan perolehan suara peserta pemilu dari perhitungan hasil
suara pemilu.58
58 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Kontitusi, Rineka Cipta, ctk Pertama, 2006, Jakarta, hlm. 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam permohonan yang diajukan , pehohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
Ayat (1) Kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkanm Komisi Pemilihan Umum dan hasil perhitungan yang benar adalah menurut pemohon
Ayat (2) Permintaan untuk membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon59
Hakim tidak boleh menolak untuk memutus suatu perkara, karena tidak ada
hukum yang mngaturnya. Sehingga hakim diberikan kebebasan untuk
memutuskan suatu hukum, pasal 21 A.B. Kekuasaan keputusan hakim tersebut
hanya berlaku terhadap hal yang diputuskan dalam putusan itu dan berlaku bagi
orang tertentu saja. Walaupun hakim dapat menciptakan hukum, namun
kedudukan hukum tersebut bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legeslatif
pembentuk undang-undang yang sah, karena keputusan hakim tidak mempunyai
kekuatan hukum yang berlaku umum.60
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, jelas bahwa yang
menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi adalah terkait sengketa perhitungan
hasil pemilihan umum, bukan wewenang untuk memutus diadakan atau tidaknya
pemilihan ulang. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 75 jo pasal 77 ayat (3) dan (4)
UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap pemohon yang
dikabulkan, Mahkamah Konstitusi akan melakukan pemeriksaaan, kemudian
memutuskan dengan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar dari
pemohon atau oleh Komisi Pemilihan Umum. Termasuk dalam hal putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah
ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut. Sehingga
tidak benar jika Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah
di Jawa Timur memutuskan Pemilihan Kepala Daerah ulang.
59 Lihat UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Kostitusi 60 CST. Kansil, op.cit. hlm. 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
D. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum
Pemilu adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan dalam Negara Republik
Indonesia yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia yang
bersifat demokrtis yang bertujuan untuk membentuk sistem kekuasaan Negara
yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan/perwakilan berdasarkan UUD
1945. Pemilu sebagai sarana pendidikan politik masyarakat untuk menumbuhkan
kesadaran dan tanggungjawab rakyat terhadap kelangsungan hidupnya dan
kelangsungan kehidupan bangsa dan Negara.61
Ramlan Surbakti mengatakan bahwa pemilu merupakan suatu sarana
demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan Negara yang pada dasarnya
untuk membentuk sistem kekuasaan Negara menurut kehendak rakyat, sehingga
terbentuknya kekuasaan negara benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat
menurut sistem permusyawaratan perwakilan. Menurut AS Hikam,62 pemilu juga
sebagai sarana pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pemilu dapat pula diartikan
sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Landasan hukum pemilu:
- Landasan ideal Pancasila, terutama sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Landasan konstitusional, UUD 1945
- Undang- Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemiihan umum
Asas pemilihan umum:
- Langsung, maksudnya bahwa tiap pemilih secara langsung memberikan suaranya, tanpa perantara atau tanpa diwakilkan
- Umum, maksudnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan berhak memilih atau dipilih
- Bebas, maksudnya bahwa semua yang melakukan pemilihan dijamin keamanannya, tanpa adanya pegaruh, tekanan dan paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun
61 Cecep Darmawan, Tata Negara, Regina, ctk. Ketiga, 2004, Jakarta, hlm. 123 62 AS Hikam, Politik Kewarganegaraan, Erlangga, 1999, Jakarta, hlm. 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
- Rahasia, maksudnya bahwa para pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh siapapun siapayang dipilihnya
- Adil, maksudnya penyelenggara pemilu,setiap pemilih dan parpol peserta mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dari pihak manapun
- Jujur, maksudnya semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
Terkait dengan tesis yang saya teliti, apabila pemilu terdapat pelanggaran-
pelanggaran terhadap asas-asas pemilu, maka proses yang harus dilakukan untuk
menyelesaikan pelanggaran tersebut adalah kewenagan dari lembaga yang terkait,
Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri merupakan lembaga yang
berwenang, baru setelah ada putusan dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk
bahan bukti telah tejadi pelanggaran pemilu, tetapi hal ini tidak dilakukan dalam
sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur. Mahkamah Konstitusi
langsung memutus sengketa Pemilihan Kepala Daerah tersebut, padahal
Mahkamah Konstitusi menyebutkan adanya pelanggaran yang dilakukan secara
sistematis, terstruktur, dan masif. Maka pelanggaran tersebut seharusnya
dibuktikan terlebih dulu.
Pemilihan umum sesuai dengan UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilihan
umum dilaksanakan untuk memilih, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut Deny
Indrayana, pemilihan kepala daerah tidak masuk dalam rezim pemilu dan juga
tidak termasuk dalam rezim pemerintahan daerah, karena memang diantara
keduanya tidak mengatur tentang pemilihan kepala daerah.63
UUD 1945 pasal 22E dinyatakan,
1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur, rahasia, dan adil setiap lima tahun sekali.
63 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008, hlm.147
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
2) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Mengacu dari pasal 22E UUD 1945, maka Pemilihan Kepala Daerah tidak
disebut sebagai pemilihan umum, sehingga Pemilihan Kepala Daerah secara
normatif bukan termasuk dalam kategori pemilihan umum.
E. Pemerintahan Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah
1. Pemerintahan daerah
Menurut Edriatmo Soetarto,64 pemerintahan daerah adalah daerah-daerah
otonom yang memiliki kekuasaan dari pusat untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan rumah tangga pemerinthan di daerah. Pemerintah daerah tersusun
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.
Pemerintahan daerah oleh Dadang Juliantara,65diartikan sebagai demokrasi
kerakyatan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, pemerintah daerah
sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan pada masyarakat,
menyalurkan aspirsi dan kepentingan rakyat melalui pemberdayaan masyarakat.
Dalam pasal 1 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam menjalankan pemerintahan daerah tentunya dipimpin oleh Kepala Daerah.
Yang dimana Kepala Daerah menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah dan UU No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun
2004 dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1), menyebutkan; Kepala daerah
64 Edriatmo Soetarto, Elit versus Rakyat, Lapera, ctk. Pertama, 2006, Yogyakarta, hlm. 184 65 Dadang Juliantara, Arus Bawah Demokrasi, Lapera, ctk. Kedua, 2000, Yogyakarta, hlm. 82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Akan tetapi UUD 1945 tentang pemerintahan daerah tidak menyatakan
pemilihan kepala daerah merupakan pemilihan umum.
UUD 1945 pasal 18 dinyatakan,
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.66
Dalam UUD 1945 pasal 18 menunjukkan adanya perbedaan, bahwa pemilihan
umum di daerah dilakukan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, sedangkan untuk pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota sebagai kepala
daerah dipilih secara demokratis. Dipilih demokratis bukan berarti pemilihan
umum, karena sebelum UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terbit,
kepala daerah dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masing-
masing derah tersebut.67
2. Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah merupakan wujud dari asas desentralisasi dan
otonomi daerah. Pada UU No.22 Tahun 1999 Kepala Daerah masih dipilih oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Karena tuntutan masyarakat untuk
dilibatkan langsung dalam proses demokrasi, sehingga dalam UU No.32 Tahun
2004 Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1), menyebutkan;
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Dalam UU No.12 Tahun 2008 pasal 56 ayat (2) Pasangan calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan
partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang
memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini. 66 Lihat UUD 1945 pasal 18 (3) dan (4) 67 Lihat UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Walaupun pemilihan kepala daerah merupakan pelaksanaan asas lex
specialis derogate legi generalis, akan tetapi undang-undang pemerintahan daerah
tidak dapat melampaui hirarkis UUD 1945. Pemilihan Kepala Daerah merupakan
wujud dari asas desentralisasi dan otonomi daerah. Pada UU No.22 Tahun 1999
Kepala Daerah masih dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Karena tuntutan masyarakat untuk dilibatkan langsung dalam proses demokrasi,
sehingga dalam UU No.32 Tahun 2004 Kepala Daerah dipilih langsung oleh
rakyat. Berdasarkan UUD 1945 pasal 18, UU No.32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah dan UU No.12 Tahun 2008 itulah Pemilihan Kepala Daerah
dilaksanakan, karena didalam undang-undang tersebut mengatur tentang
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Yang dimaksud Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota. Menurut Rozali Abdullah
pemilihan kepala daerah berarti mengembalikan kedaulatan rakyat, legitimasi
yang sama antara kepala daerah dengan DPRD, dan menjegah politik dagang sapi
atau uang.68
Pemilihan kepala daerah dalam Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005
tentang pemilihan kepala daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah
adalah sarana pelaksaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi atau kabupaten
dan/atau kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah.69 Pentingnya legitimasi yuridis proses dan hasil
pemilihan kepala daerah sangat penting sekali, karena masalah pemilihan kepla
daerah sangat rentan sekali dengan perselisihan terhadap hasil pemilihan.70
Dalam pemilihan kepala daerah terdapat lembaga penyelenggara
pemilihan, yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah. Kemudian pelaksanaan
pemilihan kepala daerah diawasi oleh Panitia Pengawas di tingkat provinsi untuk
68 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Raja Grafindo, ctk. Pertama, 2005, Jakarta, hlm. 53 69 Lihat PP No.6 tahun 2005 tentang pemilihan kepala daerah 70 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Pustaka Pelajar, ctk. Pertama , 2005, Yogyakarta, hlm. 100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
pemilihan Gubernur dan Panitia Pengawas tingkat kabupaten/kota untuk
pemilihan Bupati dan/Walikota. Panitia Pengawas mempunyai tugas yang berat
dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 57 menunjukkan tugas Panitia Pengawas pemilihan
kepala daerah, pasal 78 mengatur tentang larangan kampanye, dan pasal 81 yang
mengatur tentang sanksi pidana dan administratif. Kesemuanya sanksi merupakan
wewenang Panitia Pengawas pemilihan kepala daerah untuk menindak lanjuti
sampai proses sidang di peradilan atau pendiskualifikasikan pasangan calon
kepala daerah yang melakukan pelanggaran.71
Pemilihan Kepala Daerah ditinjau dari segi hirarki tata urutan perundang-
undangan oleh teori hukum murni telah melanggar aturan dasar atau pokok dalam
batang tubuh UUD 1945, Karena dalam batang tubuh Pasal 18 dan 22E UUD
1945 tidak menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah adalah pemilihan
umum. Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum
(Stufentheorie) dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma
yang lebih rendah berlakunya, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi , norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma
yang lebih tinggi lagi.
Mengacu dari teori hukum murni yang penulis jadikan dasar atau landasan
teori, maka penelitian ini menunjukkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur
dimungkinkan bertentangan dengan peraturan dasar dan peraturan perundang-
undangan, karena putusan Mahkamah Konstitusi seperti hukum yang ideologis
yang hanya mngembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam Negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menggambarkan hukum yang tidak bersih,
dicemari politiik, sosiologi, sejarah, dan etika. Putusan Mahkamah Konstitusi
dimungkinkan melanggar Grundnorm yang merupakan hukum dasar dan tertinggi
dalam Negara, UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak sesuai
71 Lihat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dengan Stufentheory, karena secara hirarkis bertentangan dengan sistem hukum di
atasnya.
3. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah
Apabila mengacu UUD 1945 dan UU No.24 Tahun2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, maka bukan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Namun sejak diserahkannya
wewenang Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi terkait sengketa
pemilihan kepala daerah sehingga terkait masalah pemilihan kepala daerah diatur
dalam undang-undang pemerintahan daerah.
Sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia, kehidupan sistem pemerintahan
daerah mengalami berbagai perubahan. Segala urusan pemerintah daerah di atur
dan diurus oleh pemerintahan daerahnya sendiri. Dengan UU No.32 Tahun 2004
tentang pemerintah daerah masyarakat di daerah berhak untuk memilih Kepala
Daerahnya sendiri secara langsung. Demokrasi yang diharapkan oleh masyarakat
guna untuk mewujudkan masyarakat daerah yang adil, makmur, dan sejahtera.
Akan tetapi proses demokrasi tersebut sering diwarnai oleh perselisihan atau
sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Terkait tentang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah diatur dalam UU
No.32 Tahun 2004 pasal 103, 104, dan 106, yang diperbaruhi dengan UU No.12
Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pasal 233 dan 236.
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 103 dinyatakan,
(2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.
(3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.
(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.
Pasal 104 dinyatakan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan Maka tidak dapat dilakukan.
(2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus ,menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
c. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;
d. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.
Pasal 106 dinyatakan,
(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon
Melihat dari ketentuan pasal-pasal UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, maka perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah adalah
perselisihan jumlah suara pemilihan kepala daerah, bukan perselisihan tentang
pelanggaran pemilihan kepala daerah, karena apabila terjadi pelanggaran terhadap
pemilihan kepala daerah adalah wewenang panitia pengawas pemilihan kepala
daerah yang kesemuanya diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 57, 78, dan 81.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 233 dinyatakan,
(2) Pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama pada bulan Oktober 2008.
(3) Dalam hal terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselenggarakan paling lama pada bulan Desember 2008.
Pasal 233 diatas menunjukkan bahwa sengketa pemilihan kepala daerah harus
diselesaikan paling akhir bulan oktober 2008, tetapi pemilihan kepala daerah
ulang di Jawa Timur putaran ketiga dilakukan pada tanggal 21 Januari.
Pasal 236C dinyatakan,
Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 236 tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi mendapatkan
wewenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah dari
pelimpahan tugas oleh Mahkamah Agung. Sejak dikeluarkan UU No. 12 Tahun
2008 tentang pemerintahan daerah, maka seluruh perselisihan tentang hasil
pemilihan kepala daerah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Begitu juga
sengketa pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, dimana
pihak Khofifah-Mujiono sebagai peserta pemilihan umum yang keberatan dengan
hasil perhitungan suara dan mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi
hingga menghasilkan sebuah putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-
VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian tesis ini digunakan metode penelitian doktrinal atau
normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis logika
deduksi, yang dilakukan melalui pendekatan terhadap peraturan perundang-
undangan (statute approach), pendekatan sejarah hukum (Historical Approach),
dan pendekatan konsep (conceptual approach). Menurut Soerjono Soekanto dan
Srimamudji penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder
belaka, penelitian ini disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Untuk
memahami adanya hubungan antara ilmu hukum dengan hukum positif perlu
ditelaah terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.72
Penelitaian hukum normatif menurut Amiruddin dan Zainal Asikin adalah
penelitian hukum doktrinal, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
perturan perundang-undangan (Law in Books), hukum dikonsepsikan sebagai
kaidah-kaidah atau norma yang menjadi patokan perilaku manusia. Bahan
penelitian hukum normatif ini yaitu bahan hukum primer yang terdiri dari
Pancasila, batang tubuh UUD, dan Peraturan perundang-undangan. Bahan hukum
sekunder yaitu, hasil penelitian, dan pendapat pakar hukum. Bahan hukum tersier
seperti kamus dan ensikopedie.73 Fungsi dogmatik hukum hukum menurut
Meuwissen adalah untuk memaparkan, menganalisa, menyistemasi, dan
menginterpretasikan hukum yang berlaku. Dengan memberikan penilaian
terhadap isi dan struktur hukum positif, maka tidak diperlukan metode empiris.74
72 Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, ctk. Kelima, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 13 73 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ctk. Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 118 74 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Ctk Kedua, Bayumedia, Malang, 2006, hlm. 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum doktrinal yang
bersifat kualitatif (bukan angka) dengan analisis normatif kualitatif.75 Burhan
Ashshofa mengemukakan, dalam penelitian hukum normatif hukum adalah
norma, baik yang diidentikan dengan ius constituendum maupun ius constitutum.
Mendasarkan hukum sebagai norma dapat disebut penelitian normatif atau
doktrinal. Hukum terdiri dari kaidah-kaidah positif yang berlaku umum di waktu
dan wilayah tertentu, hukum menjadi sumber kekuasaan. Putusan hakim dalam
suatu peradilan sebagai upaya hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang
dapat digunakan sebagai precedent bagi kasus-kasus berikutnya.76 Tetapi
kedudukan hakim bukan sebagai pembuat undang-undang, tetapi pelaksana dan
penemu hukum.
Hans Kelsen memberikan ulasan tentang pentingnya keteraturan dalam
kehidupan bermasyarakat yang hanya dapat dicapai melalui pranata hukum untuk
dipatuhi bersama, dengan menetapkan apa saja yang dapat dilakukan dan tidak
dapat dilakukan. Aturan yang disepakati bersama tersebut tituangkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan. Menurut Karl Larenz dalam Johnny
Ibrahim, salah satu unsur hukum yang paling hakiki dari hukum adalah hukum
bersifat normatif, karena ia meletakkan peraturan-peraturan secara yuridis.77
Dalam penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan menggunakan
hierarki dan asas-asas dari perundang-undangan. Sesuai pasal 1 (2) UU No.10
Tahun 2004, peraturan perundang-undangan adalah suatu peraturan tertulis yang
dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum bagi masyarakat. Adapun urutan peraturan perundang-undangan dimaksud
di atas adalah:
- UUD - UU/ Perpu - Peraturan Pemerintah
75 Supranto, Metode Penelitian Hukum dan statistik, ctk. Pertama, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 2 76 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, ctk. Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 34 77 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
- Peraturan Presiden - Peraturan Daerah.78
Penelitian hukum normatif juga mengkaji tentang kaidah-kaidah hukum. Karena
kaidah hukum sangat penting bagi berlakunya hukum. Kaedah hukum mempunyai
kekuatan berlaku apabila dalam penetapannya didasarkan atas kaedah yang lebih
tinggi tingkatannya, karena suatu kaedah hukum merupakan sistem kaedah secara
hierarkis. Grundnorm atau norma dasar terdapat dasar berlakunya semua kaedah
yang berasal dari suatu tata hukum. Dari aturan dasar itu hanya dapat dijabarkan
berlakunya kaedah hukum.79 Menurut Adolf Merkl dalam buku”Ilmu Perundang-
undangan” karya Maria Farida Indrati, mengatakan bahwa suatu hukum atau
undang-undang keatas harus bersumber dari undang-undang tingkat atasnya,
kebawah menjadi sumber undang-undang tingkat bawahnya.80
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dalam Setiono, penelitian
hukum normatif juga mencakup Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan
horizontal peraturan perundang-undangan.81 Sinkronisasi vertikal dan horizontal
peraturan perundang-undangan adalah inventarisasi peraturan perundang-
undangan dari derajat yang sama dan derajat yang berbeda tingkatannya.
Kaitan dengan penelitian tesis yang dilakukan adalah bahwa secara hukum
normatif keputusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur dimungkinkan dapat melanggar
hukum positif, melanggar pasal 22E, pasal 24C UUD 1945, pasal 1 (d) UU No.24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, melanggar pasal 106(2) UU No.32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan pasal 233(2), (3), dan pasal 236C UU
No.12 tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 tahun 2004. Putusan
Mahkamah Konstitusi juga melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi
sendiri.
78 Lihat UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan 79 Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum Suatu Pengantar, ctk pertama, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 95 80 Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit, hlm. 95 81 Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Dilihat dari sifatnya, penelitian yang dilakukan terkait dengan penelitian
tesis tersebut adalah penelitian diskriptif. Menurut Setiono, Yang dimaksud
dengan penelitian diskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang diteliti seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Maksudnya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar
dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka
menyusun teori-teori baru. Disini penulis akan memberikan data tentang adanya
pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan
lainnya, serta masalah kewenangan oleh putusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008. Sehingga menurut teori hukum murni keputusan
Mahkamah Konstitusi tentanng Pemilihan Kepala Daerah ulang di Sampang dan
Bangkalan tidak dapat dibenarkan, alasannya karena putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut melanggar hukum normatif yang ada.
Menurut kajian teori hukum normatif Putusan Mahkamah Konstitusi
didiagnosa dan ditemukan beberapa adanya gejala-gejala adanya ketidak sesuaian
hukum di dalamya. Menurut Harjono dalam Bambang Sunggono,
“kajian hukum normatif adalah kajian hukum murni dalam perspektif internal, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang tertutup terpisah dari sistem lain yang ada dalam masyarakat, baik sistem politik, ekonomi, sosial, moral. Metode penelitian hukum normatif merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya, dengan obejek ilmu hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum. Dilihat dari sudut bentuknya merupakan penelitian diagnostik, artinya penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala”.82
Penelitian hukum normatif menurut Bambang Sunggono adalah penelitian
yang dilakukan untuk menemukan doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian
ini disebut juga studi dogmatig atau doktrinal.83Sesuai dengan konsep hukum di
atas, maka metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian
normatif atau doktrinal dengan analisis berdasarkan analisis logika deduksi, yaitu 82 Bambang sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 86 83 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
dengan premis mayor berupa UUD, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, undang-undang pemerintahan daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan UU
No.12 Tahun 2008) dan premis minor berupa keputusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur.
Meneliti dan memahami secara mendalam terhadap norma hukum, peraturan
perundang-undangan, literatur-literatur, dan sumber-sumber resmi yang dapat
dipertanggungjawabkan yang berkaitan dengan judul yang diambil kemudian
menghubungkannya dengan fakta-fakta hukum dan teori yang berhubungan
dengan penelitian ini untuk mengungkapkan kebenaran yang bertanggung jawab.
Adanya rasa kurang percaya diri karena dianggap kurang objektif hanya
menggunakan metode penelitian hukum normatif tanpa diikuti dengan penelitian
sosial adalah suatu yang tidak benar, karena tujuan ilmu hukum dan sosial
berbeda. Ilmu hukum bertujua untuk mengubah keadaan atau menawarkan
penyelesaian terhadap suatu masalah, sedangkan tujuan dari ilmu sosial yaitu
untuk meramalkan dan mengendalikan proses sosial.84 Menurut Sunaryati
Hartono, untuk menghasilkan suatu ketajaman analisis hukum berdasarkan
doktrin dan norma-norma yang ditetapkan dalam sistem hukum, maka tidak ada
jalan lain kecuali berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu praktis
normologis dan mengandalkan pada penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian terhadap teks hukum, analisis
terhadap bahan hukum yang didukung dengan teori hukum tertentu. Perlu refleksi
kefilsafatan yang diperoleh dari filsafat hukum.85 Sehubungan dengan tipe
penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, maka pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
konsep (Conceptual Approach), dan pendekatan sejarah hukum (Historical
Approach). Hal ini sesuai dengan delegasi perundang-undangan yang mengatur
wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaiakan sengketa pemilihan
kepala daerah. Dalam pendekatan perundang-undangan akan meneliti berbagai
84 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 62 85 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 282
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk
itu hukum dalam hal ini dilihat sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut.
a) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait
antara satu dengan lain secara logis
b) All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada
kekurangan hukum
c) Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.86
Dari pendekatan perundang-undangan menunjukkan bahwa UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi dalam pengaturan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam
menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, yang diikuti dengan
UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004
yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Kesemuanya aturan hukum tersebut terkait satu sama lain. Dan sudah tertulis
dalam pasal-pasal di dalamnya yang mengatur tentang penyelesaian perselisiahan
hasil pemilu. Pendekatan konsep disini akan membahas tentang konsep pengertian
pemilu dan perselisihan tentang hasil pemilu. Yang dimaksud pemilihan umum
dalam pasal 22E (2) UUD 1945 merupakan pemilihan umum untuk memilih
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sehingga konsep
pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam pemilihan umum. Konsep tentang
perselisihan hasil pemilihan umum dalam peraturan perundang-undangan adalah
perselisiahan hasil pemilihan umum berupa bentuk jumlah angka-angka, sehingga
apabila terjadi perselisihan, maka cukup mencermati atau meneliti kembali jumlah
angka yang diperkirakan salah itu. Pendekatan sejarah hukum penting untuk
mengetahui secara mendalam tentang sistem hukum yang mendasari suatu hukum
yang sekarang berlaku, karena tidak serta merta hukum ada, tetapi memerlukan 86 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 303
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
proses terjadinya hukum, dan itu dinamakan sejarah hukum. Indonesia yang
merupakan bekas jajahan Belanda berdasarkan sejarah hukum beraliran civil law
system, sehingga menurut aliran ini hukum adalah apa yang ada di dalam undang-
undang, diluar undang-undang tidak begitu penting menurut hukum.
A. Lokasi Penelitian
Perpustkaan Fakultas Hukum UNS, Pasca Sarjana UNS, perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun, perpustakaan IKIP PGRI
Madiun, perpustakaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Madiun,
perpustakaan Kota Madiun, lembaga atau kantor instansi pemerintahan yang
terkait, dan di dunia maya.
B. Data dan sumber data
Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal atau
normatif, maka jenis data adalah data sekunder di bidang hukum, yang
mencakup:
1. Bahan hukum primer
- UUD 1945
- UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
- UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No.12 tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
- Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala
Daerah
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
Tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur
Peraturan perundang-undangan menurut pasal 1 angka 2 UU No. 10
Tahun 2004 adalah peraturan yang dibentuk oleh lembaga Negara atau
pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Putusan pengadilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
adalah yang juga termasuk bahan hukum primer selanjutnya yang
digunakan dalam penelitian ini dalam hal ini adalah putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008
2. Bahan hukum sekunder
- Buku-buku hukum, karya para akademisi, dan praktisi hukum
- Hasil penelitian seperti; skripsi, tesis, dan disertasi hukum.
3. Bahan hukum tersier
- Kamus hukum dan ensiklopedia
C. Teknik memperoleh data
Teknik memperoleh data yaitu dengan cara membaca, mengkaji, dan
mempelajari UUD 1945, peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah
Konstitusi, buku-buku hukum, dokumen, brosur, dan berbagai sumber data
yang terkait dengan penelitian tesis. Bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier tersebut dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan, kemudian
dikaji secara komperehensif.87
D. Teknik analisis
Bahan-bahan yang diperoleh dari hasil inventarisasi peraturan
perundang-undangan dalam studi kepustakaan diuraiakan sedemikian rupa
yang disajikan secara sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan dengan analisis
menggunakan logika deduktif, yaitu dengan premis mayor berupa UUD 1945,
UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, undang-undang
pemerintahan daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun 2008)
dan premis minor berupa keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
41/PHPU.D-VI/2008. Dengan menggunakan metode penelitian diskriptif
kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan menjabarkan data-data yang
diperoleh, memisahkannya menurut kategori masing-masing, dan ditafsirkan
dalam kalimat-kalimat yang jelas dan mudah dipahami, sehingga dapat ditarik
suatu kesimpulan yang benar.
87 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 392
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Berdasarkan rumusan masalah pertama tentang putusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur
mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Dapat dikemukakan hasil penelitian normatif hukum terhadap
peraturan perundang-undangan sebagai berikut.
a. Dalam UUD 1945 pasal 18 (3) dan (4) dinyatakan,
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pasal 22E (2) dinyatakan,
pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 24C (1) dinyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
b. Dalam UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 angka
3 (d) dinyatakan,
permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai: perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Pasal 10 (1) dinyatakan,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
e) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
f) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
g) Memutus pembubaran partai politik h) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pasal 74 dinyatakan,
(1) Pemohon adalah: a) Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum b) Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden c) Partai politik peserta pemilihan umum
(2) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi: a) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah b) Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua
pemilihan Presiden dan wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden
c) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum disuatu daerah pemilihan
(3) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam (tiga kali duapuluh empat jam) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Pasal 75 dinyatakan,
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
a) Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon b) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Pasal 77 (3) dinyatakan,
Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
2. Berdasarkan rumusan masalah kedua tentang putusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur
ditinjau dari undang-undang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan
yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) dapat dikemukakan hasil
penelitian normatif hukum terhadap peraturan perundang-undangan sebagai
berikut.
a. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 57, dinyatakan,
(3) Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat,
(4) Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.
(5) Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD.
(6) Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang lainnya.
(7) Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Pasal 78 dinyatakan,
Dalam kampanye dilarang:
a.Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik;
c.Menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
d.Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik;
e.Mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
f.Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
g.Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain;
h.Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah;
i. Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan
j.Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.
Pasal 81 dinyatakan,
(1)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, merupakan tindak pidana dan dikenal sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan
huruf j, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye
Pasal 103 dinyatakan,
(2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
(3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.
(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.
Pasal 104 dinyatakan, (2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan
yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan Maka tidak dapat dilakukan.
(2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus ,menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
c. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;
d. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.
Pasal 106 dinyatakan,
(2) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
b. Dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 233 dinyatakan,
(2) Pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama pada bulan Oktober 2008.
(3) Dalam hal terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselenggarakan paling lama pada bulan Desember 2008.
Pasal 236C dinyatakan,
Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
B. Pembahasan
1. Sesuai dengan hasil penelitian normatif hukum dan rumusan masalah pertama
tentang putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945
dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, akan dilakukan
pembahasan sebagai berikut.
a. Pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan
umum.
Sejak era reformasi berjalan hingga saat ini mengakibatkan perubahan-
perubahan sistem pemerintahan di Indonesia. Tuntutan demokrasi yang
nyata disemua bidang kehidupan pemerintahan menjadi fokus utama. Hal
tersebut terjadi karena sistem pemerintahan yang diterapkan orde baru
dirasakan membelenggu demokrasi yang diharapkan seluruh masyarakat
dan memperburuk keadaan ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan
bidang-bidang kehidupan penting lainnya.
Dengan undang-undang pemerintahan daerah yang baru yang
merupakan hasil reformasi, yaitu UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, diharapkan mampu membawa perubahan terhadap
kehidupan pemerintahan Indonesia. Karena di dalam undang-undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
pemerintahan yang baru tersebut memuat sistem pemerintahan daerah yang
baru, terdapat sistem desentralisasi dalam rangka otonomi pemerintahan
daerah, artinya pemerintahan daerah mendapatkan wewenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.88
Karena tuntutan masyarakat yang semakin berkembang untuk menuju
kehidupan demokrasi sampai ketingkat daerah, maka mayarakat
menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh
rakyat di daerah yang bersangkutan. Untuk melaksanakan amanah tersebut
UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diperbaruhi dengan
UU No.32 Tahu 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana undang-
undang pemerintahan daerah yang baru ini memuat kepentingan tentang
kepala dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan.89
Akan tetapi permasalahan kepala daerah dapat dipilih secara langsung
tidak selesai disitu saja, karena akan berdampak serius terhadap
permasalahan hukum yang baru. Hal itu dapat terjadi karena pemilihan
kepala daerah secara langsung sebagaimana yang dimaksud dalam UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak termasuk dalam
pemilihan umum dalam UUD 1945 pasal 22E (2), yang berbunyi
“pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Tidak hanya pasal 22E
UUD 1945 saja yang menjadi acuan terkait permasalahan pemilihan kepala
daerah, akan tetapi pasal 18 UUD 1945 tentang pemerintahan daerah juga
tidak mengkategorikan pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pemilihan kepala daerah langsung tidak
termasuk dalam pemilihan umum sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD
88 Lihat UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 89 Lihat Pasal 24 (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
1945. Namun pemilihan kepala daerah langsung adalah pemilihan umum
secara materiil untuk mngimplementasikan pasal 18 UUD 1945.
Padahal apabila dicermati secara mendalam terdapat tulisan hukum yang
jelas bahwa pemilihan kepala daerah langsung tidak dapat dikategorikan
dalam pemilihan umum. Dengan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dapat dilihat dalam pasal 18 (3) dinyatakan, pemerintah daerah
provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Kemudian pasal 18 (4) dinyatakan, Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis.90 Dari pasal-pasal diatas dapat diambil
suatu penjelasan hukum dalam pasal 18 (3) bahwa pemilihan umum
dilaksanakan termasuk untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
karena daerah provinsi, kabupaten dan kota disebutkan memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Tetapi
berbeda bunyi pasal 18 (4), Gubernur, Bupati, dan Wali kota sebagai kepala
daerah dipilih secara demokratis. Dalam pasal 18 UUD 1945 terdapat
pembedaan pemilihan umum dan pemilihan secara demokratis. Pengertian
pemilihan umum dan pengertian demokratis jelas berbeda. Pemilihan
umum menurut pasal 22E adalah pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali
untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sedangkan pengertian demokratis tidak sama dengan pemilihan umum,
karena pandangan tentang demokratis berbeda-beda sesuai dengan hal-hal
yang dapat mempengaruhinya. Menurut Soehino dalam Jamal Wiwoho,
demokrasi pada intinya adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.91 Salah satu wujud implementasi demokrasi adalah
pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan
90 Lihat UUD 1945 pasal 18 91 Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 224
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
demokrasi oleh rakyat memilih wakil-wakilnya baik di legeslatif maupun
eksekutif. Akan tetapi pemilihan umum bukan satu-satunya pelaksanaan
demokrasi, karena demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia dalam sila
keempat dinyatakan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
permusyawaratan/perwakilan”.92 Dasar hukum itu yang digunakan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih kepala Negara dan untuk
memilih kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia sebelum
amandemen keempat UUD 1945. Berdasarkan aliran positivisme hukum,
jelas menunjukkan perbedaan yang nyata secara tulisan dalam pasal 18 (4)
bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, bukan dipilih melalui
pemilihan umum.
Pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan bahwa “Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum”. Pasal 3 (1) menyatakan “Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar
dalam Peraturan Perundang-undangan”.93 Dari dasar hukum diatas
menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan dasar idiil dan
konstitusional berlakunya hukum di Indonesia, sehingga segala bentuk
peraturan hukum harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pasal 2
menunjukkan secara tegas bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi
Pancasila, bukan demokrasi liberal atau sosialis. Sebagaimana telah
ditunjukkan oleh para pendiri bangsa Indonesia yang menggagas demokrasi
Pancasila. Pada prinsipnya demokrasi Pancasila selalu mengutamakan
musyawarah mufakat untuk mencapai tujuan. Musyawarah tidak mungkin
dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia, tetapi melalui wakil-wakil yang
ditunjuknya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pendekatan konsep demokrasi Indonesia telah disebutkan bahwa
demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila yang berdasarkan
konstitusi UUD 1945. Pancasila sebagai suatu pedoman dan sekaligus tolok
92 Lihat Sila ke empat Pancasila 93 Lihat UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat yang dirumuskan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. oleh karena itu menurut Stammler
dalam Maria Farida Indrati, hukum ialah usaha atau tindakan mengarahkan
hukum positif kepada cita hukum sebagai usaha dengan sanksi pemaksa
menuju suatu yang adil (Zwangversuch zum Richtigen) untuk mencapai
tujuan-tujuan masyarakat. Dalam artikel yang berjudul Ideologi Pancasila,
Mubyarto dalam Maria Farida Indrati menyatakan bahwa, setiap
masyarakat mempunyai sistem nilai tertentu, yaitu sistem preferensi yang
disepakati oleh seluruh masyarakat. Karen tanpa sistem tertentu tersebut
tidak ada kebudayaan dan sistem peradaban. Sistem nilai falsafah dasar
bangsa Indonesia yang kini menjadi ideologi bangsa adalah Pancasila.
Pancasila telah disepakati menjadi falsafah dasar yang menjadi pandangan
dan pegangan hidup bangsa, maka menjadi moral kehidupan bangsa,
menjadi ideologi yang menjiwai perikehidupan bangsa disegala bidang
kehidupan, tanpa terkecuali bidang hukum.94 Sehingga pelaksanaan
pemilihan kepala daerah telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945 sebagai dasar idiil dan konstitusional bangsa Indonesia.
Melalui pendekatan sejarah (historic aproach) dapat disebutkan bahwa
maksud dari pembentuk amandemen UUD 1945 khususnya pasal 18 yang
dilakukan pada tahun 2002 adalah pemilihan kepala daerah dipilih secara
demokratis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena pada saat itu
memang pemilihan kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah masing-masing dan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang mengatur tentang adanya perubahan dari UU No.22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 24 (5) yang
menyatakan bahwa kepala daerah sejak diundangkan UU No.32 Tahun
2004 pada tanggal 15 Oktober 2004 dipilih secara langsung oleh rakyat.95
Kurun waktu tahun 2002 sampai tahun 2004 dalam perubahan undang-
94 Maria Farida Indrati, Op.cit, hlm. 264 95 Lihat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
undang diatas menunjukan perbedaan yang cukup lama dan tidak dapat
disamakan begitu saja, karena hal ini merupakan sejarah hukum.
Kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang telah memasukkan
pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dapat
menimbulkan permasalahan, yaitu apakah pemilihan kepala daerah secara
langsung dapat dikategorikan sebagai pemilihan umum atau bukan.
Masalah ini pernah menjadi agenda sidang judicial review Mahkamah
Konstitusi beberapa waktu lalu. Mahkamah Konstitusi dalam jawaban atas
permasalahan tersebut akan melahirkan beberapa dampak hukum,yaitu:
1. Apabila pemilihan kepala daerah langsung dikategorikan sebagai pemilihan umum, maka akan berkonsekuensi hukum sebagai berikut. a) Penyelenggara adalah Komisi Pemilihan Umum yang sekaligus
sebagai pengendali pemilihankepala daerah, sedangkan Komisi Pemilihan Umum Daerah hanya sebagaipelaksana tekhnis dimasing-masing daerah yang bertanggungjawab kepada Komisi Pemilihan Umum, bukan pada departemen dalam negeri.
b) Pesertanya adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau calon independen
c) Pengawas pemilihan kepala daerah langsung bersifat independen yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Umum Daerah
d) Apabila terjadi sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah, penyelesaiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
e) Impeachment terhadap kepala dan atau wakil kepala daerah diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Mahkamah Konstitusi
f) Pemilihan kepala daerah langsung menggunakan undang-undang pemilihan umum, bukan undang-undang pemerintahan daerah
g) UUD 1945 pasal 22E (2) dan pasal 24C dapat berlaku 2. Apabila pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk sebagai
pemilihan umum, maka konsekuensinya adalah: a) Penyelenggaraanya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
Daerah atau badan ad hoc yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan sebagai pengendali adalah departemen dalam negeri
b) Peserta pemilihan calon kepala daerah berasal dari partai politik dan independen
c) Panitia pengawas pemilihan kepala daerah langsung dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masing-masing
d) Sengketa terhadap hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah diselesaikan oleh Mahkamah Agung, yang sekarang sudah dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
e) Pemilihan kepala daerah langsung menggunakan undang-undang pemerintahan daerah, bukan undang-undang pemilihan umum
f) UUD 1945 pasal 22E (2) dan pasal 24C tidak berlaku.96
Dari konsekuensi hukum tersebut di atas dan putusan Mahkamah
Konstitusi yang sudah pernah dilakukan, seperti dalam kasus perselisihan
pemilihan kepala daerah di Jawa Timur menunjukkan bahwa Mahkamah
Konstitusi lebih condong untuk memasukkan pemilihan kepala daerah
dalam kategori pemilihan umum. Akan tetapi konsistensi pilihan hukum
oleh Mahkamah Konstitusi itu tidak dilakukan secara menyeluruh, karena
dalam proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung masih
menggunakan undang-undang pemerintahan daerah UU No.32 Tahun 2004
dan yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah.
Dari bunyi pasal 22E (1) tersebut menunjukkan dengan jelas sekali
bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk di dalam pemilihan umum.
Menurut teori hukum murni Hans Kelsen bahwa hukum merupakan suatu
peraturan-peraturan yang tersusun dalam undang-undang. Karena pada
dasarnya teori hukum merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang
berlaku (ius constitutum), bukan mengenai hukum yang seharusnya.
Sehingga apabila telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan
tentang suatu hal, maka kewajiban bagi aparatur pemerintahan dan semua
lembaga Negara yang ada untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Yang menjadi permasalahan dalam penulisan ilmiah ini sebenarnya
tidak secara langsung terhadap masalah pemilihan kepala daerah bukan
termasuk pemilihan umum. Karena pada kenyataannya UU No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 24 (5) telah mengatur
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, dan menjadi dasar hukum
legalitas bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Tetapi
96 Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press dan Citra Media, Ctk Pertama, 2006, Yogyakarta, hlm. 103
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
inti dari permasalahan yang sebenarnya adalah akibat yang ditimbulkan
dari sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang oleh
Mahkamah Konstitusi dimasukkan atau disamakan kedalam sengketa
pemilihan umum. Sehingga dalam kasus sengketa perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah provinsi Jawa Timur Mahkamah Konstitusi
memutuskan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan
pemilihan ulang di kabupaten Sampang dan Bangkalan dan melakukan
penghitungan suara ulang di Pamekasan Madura. Yang pada intinya
Mahkamah Konstitusi telah memutus pemilihan kepala daerah ulang.
Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa sengketa pemilihan kepala
daerah termasuk dalam sengketa pemilihan umum, hal ini didasarkan dari
wewenang Mahkamah Konstitusi yang didapat dari pengalihan Mahkamah
Agung, yaitu untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala
daerah sebagaimana yang dinyatakan dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 236C. Secara konstitusi Mahkamah Konstitusi
tidak dapat memasukkan pengertian perselisihan tentang hasil pemilihan
kepala daerah kedalam perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena
UUD 1945 sebagai landasan dasar hukum bagi penyelenggaraan lembaga-
lembaga Negara, termasuk dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga pengawal penegakkan konstitusi di Indonesia yang harus
mentaati UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi. Sehingga pemilihan
umum menurut konstitusi UUD 1945 pasal 22E (2) secara tegas dilakukan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, tidak disebutkan pemilihan umum dilakukan untuk melakukan
pemilih kepala daerah.
b. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum, bukan untuk memutus atau memerintahkan
pemilihan umum ulang.
Konsep dasar dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah untuk
menjamin penegakkan pelaksanaan konstitusi dengan sungguh-sungguh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Dalam hal terjadi permasalahan kehidupan ketatanegaraan dan
permasalahan peraturan perundang-undangan sebelum dibentuk Mahkamah
Konstitusi masih tidak jelas. Karena tidak ada lembaga yang khusus
berwenang menangani permasalahan tersebut. Di Negara-negara maju
keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting peranannya
sebagai lembaga pengontrol jalannya undang-undang dasar dan peraturan
perundang-undangan lainnya oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang
terkait melaksanakannya.
Tak terkecuali Indonesia, sejak reformasi ide gagasan untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
menjadi tuntutan utama, karena sebelum-sebelumnya Pancasila dan UUD
1945 hanya dijadikan simbol demokrasi yang tidak digunakan dalam
prakteknya. UUD 1945 menjadi legitimasi kekuasaan yang absolut oleh
rezim orde baru. Sehingga dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi
menjadi check and balances dalam kehidupan ketatanegaraan indonesia.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi tampak sangat berarti akkhir-akhir ini
terkait wewenangnya sebagai lembaga yang memutuskan perselisihan
tentang hasil pemilihan umum, karena di Indonesia banyak terjadi proses
pemilihan kepala daerah yang bermasalah. Badan pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada awalnya mengarahkan fungsi Mahkamah
Konstitusi adalah:
1) Memeriksa dan mengadili sengketa dibidang ketatanegaraan 2) Melakukan pengujian terhadap peraturan dibawah UUD 1945 3) Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan 4) Mengadili pembubaran partai politik 5) Mengadili sengketa antara instansi pemerintah di pusat atau
instansi pemerintah pusat dengan instansi pemerintah daerah 6) Mengadili suatu pertentangan undang-undang 7) Memberikan putusan gugatan yang berdasarkan UUD 1945 8) Memberi pertimbangan kepada DPR dalam hal DPR meminta MPR bersidang untuk menilai perilaku Presiden yang dianggap mengkhianati Negara atau merusak nama baik lembaga Negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Presiden.97
Melihat dari fungsi Mahkamah Konstitusi diatas hampir sama dengan
wewenang Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam pasal 24C UUD
1945, yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.98 Tetapi terdapat satu kewenangan yang
tidak disebutkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat,
yaitu funsi Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
Melalui pendekatan sejarah hukum (Historical Approach) dapat dilihat
bahwa pada ide awal pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak ada
wewenang untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum,
karena terkait masalah tersebut ditangani oleh lembaga yang secara struktur
ketatanegaraan menjadi tugas dan kewajibannya. Seperti dapat dilihat dalam
undang-undang pemilihn umum, apabila terjadi pelanggaran hukum
terhadap proses pemilihan umum merupakan kewenangan lembaga atau
badan pengawas pemilihan umum yang akan dilanjutkan ketahap
penyidikan, penyelidikan, pemeriksaan di sidang pengadilan negeri dengan
menggunakan hukum acara pidana. Sehingga bukti hukum telah terjadinya
suatu pelanggaran pemilihan umum harus terlebih dahulu disahkan. Tanpa
ada bukti legal dari keputusan pengadilan maka pelanggaran pemilihan
umum dianggap sebagai suatu isu politik yang kebenarannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
97 Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Mahkamah Konstitusi. Memahami Keberadaan dalam Sistem Ketatanegaraan. Regulasi Indonesia, Rineka Cipta, ctk. Pertama, 2006, Jakarta, hlm. 20 98 Lihat UUD 1945, pasal 24C
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Lebih lanjut lagi menurut I. Gede Pantja Astawa dalam Jamal
Wiwoho,99 menyatakan ada tiga hal yang melatar belakangi pembentukan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia, yaitu;
1) Adanya kekosongan hukum (rechtsvvacuum) atau kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) yang berkenaan secara khusus dengan pengujian (review) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
2) Adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kemungkinan timbulnya konflik kewenangan diantara lembaga-lembaga Negara yang ada.
3) Berkenaan dengan alasan-alasanyang menjadi dasar pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya, sehingga pernah timbul perbedaan pendapat yang cukup mendasar antara Presiden Abdurahman Wakid yang akan dijatuhkan dengan MPR/DPR dalam kasus Bulog.
Menurut I. Gede Pantja Astawa, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan
latar belakang bukan permasalahan untuk memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
Dengan tuntutan peran suatu lembaga peradilan dalam kehidupan
ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi melalui amandemen UUD 1945
mendapat kewenangan yang salah satunya adalah untuk memutus
perselisihan tentang hasil pemiliha umum. Pasal 24C (1) menyebutkan
dengan jelas sekali bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Terlepas dari pemilihan kepala
daerah langsung menurut penulis tidak termasuk dalam kategori pemilihan
umum, wewenang Mahkamah Konstitusi terbatas pada perselisihan tentang
hasil pemilihan umum, bukan wewenang untuk memutus pemilihan umum
ulang. Jadi disini perlu pemahaman yang rasional dan logis terkait
permasalahan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Melalui pendekatan konsep (Conceptual Approach) akan membahas
konsep tentang perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Konsep
perselisihan tentang hasil pemilihan umum berarti terjadi ketidak sesuaian
antara hasil penghitungan suara pemilihan umum yang diklaim oleh peserta
99 Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 228
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pemilihan umum. Konsep tentang hasil pemilihan umum merujuk kepada
perhitungan berupa angka-angka yang menyebutkan jumlah perolehan suara
peserta pemilihan umum. Karena hasil akhir dari pemilihan umum adalah
berupa pengumuman perolehan suara peserta pemilihan umum untuk
mengetahui siapa peserta pemilihan umum yang menjadi pemenang.
Tentunya untuk mengetahui perolehan suara pemilihan umum harus
mengetahui jumlah suara pemilihan umum. Dan jumlah suara pemilihan
umum pasti berupa angka-angka. Menurut pendekatan konsep perselisihan
tentang hasil pemilihan umum berarti perselisihan tentang jumlah perolehan
suara pemilihan umum berupa angka-angka, bukan berupa hasil pemilihan
umum secara global yang sulit di buktikan. Jadi Mahkamah Konstitusi
berwenang terbatas pada penetapan suara pemilihan umum yang benar dari
hasil pemilihan umum yang dimohon oleh peserta pemilihan umum yang
merasa keberatan dengan hasil suara pemilihan umum yang di umumkan
Komisi Pemilihan Umum. Adapun penetapan suara yang benar dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi tidak ada jalan lain kecuali dengan malakukan
penghitungan ulang secara teliti untuk menemukan hasil suara pemilihan
umum yang sebenar-benarnya.
Dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam
permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum dapat dikemukakan peraturan
perundang-undangan yang mengatur terkait wewenang Mahkamah
Konstitusi hanya terbatas pada penghitungan hasil suara pemilihan umum
yang diperselisihkan, bukan untuk memutus pemilihan umum ulang. Seperti
pada kasus sengketa pemilihan kepala daerah di Jawa Timur. Pasangan
calon kepala daerah Khofifah dan Mudjiono yang menggugat Komisi
Pemiliha Umum Daerah Jawa Timur ke Mahkamah Konstitusi dengan
alasan ketidak puasan terhadap hasil penghitungan suara pemilihan kepala
daerah dibeberapa tempat pemungutan suara. Kemudian Mahkamah
Konstitusi memutus untuk pemilihan ulang di kabupaten Sampang dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Bangkalan dan penghitunga ulang di kabupaten Pamekasan. Kewenangan
Mahkamanh Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil
pemilihan umum dilakukan dengan menghitung ulang hasil suara pemilihan
umum yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum yang diperselisihkan, dan
bukan untuk memutukan atau memerintahkan dilakukannya pemilihan
umum ulang. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008
tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur. Putusan untuk
melakukan pemilihan kepala daerah langsung ulang inilah yang tidak sesuai
dan mengesampingkan kewenangan yang diberikan sebagaimana terdapat
dalam pasal 24C (1) UUD 1945. Pendekatan perundang-undangan yang
dimaksud, selain terdapat pada pasal 24C UUD 1945 terdapat pula pada
peraturan perundang-undangan, yaitu UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, pasal 74 dinyatakan,
(4) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi: d) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah e) Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua
pemilihan Presiden dan wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden
f) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum disuatu daerah pemilihan
(5) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam (tiga kali duapuluh empat jam) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Merujuk dari tulisan pasal 74 (4) dan (5) UU No.24 Tahhun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi diatas telah jelas sekali bahwa yang dimaksud
perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah perselisihan hasil
penghitungan suara pemilihan umum yang tidak benar menurut peserta
pemilihan umum yang keberatan dengan hasil pemilihan umum. Kalimat
“permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan
umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang
mempengaruhi: terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden, dan perolehan kursi partai politik
peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan”, menunjukkan bahwa
yang dimaksud perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah
perselisihan jumlah suara pemilihan umum, karena pasal 74 (4) dan (5)
menyebutkan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembag yang menetapkan
hasil pemilihan umum. Komisi Pemilihan Umum dalam menetapkan hasil
pemilihan umum dalam bentuk jumlah angka-angka. Sehingga jumlah
suara pemilihan umum yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum adalah
jumlah suara riil berupa angka yang itu semua merupakan hasil kerja
Komisi Pemilihan Umum yang sebenarnya. Maksud dari hasil kerja Komisi
Pemilihan Umum disini adalah bahwa selain bertugas untuk proses
mempersiapkan dan pelaksanaan pemilihan umum, tugas Komisi Pemilihan
Umum yang lebih penting lagi yaitu melakukan penghitungan suara
pemilihan umum. Penghitungan suara inilah yang merupakan tugas yang
dilakukan untuk menjumlahkan suara-suara yang sah dari warga
masyarakat yang telah melakukan proses pemilihan umum. Dan kegiatan
penghitungan suara hasil pemilihan umum ini rawan sekali dengan
kesalahan-kesalahan, hal itu dapat terjadi karena masing-masing peserta
pemilihan umum mempunyai catatan atau data berupa perolehan jumlah
suara pemilihan umum yang didapat. Dan satuan angka-angka akan
mempunyai peluang besar terjadi perselisihan dalam penghitungannya.
Dari pasal 74 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat
dikatakan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi terbatas untuk
memutuskan perselisihan tentng hasil pemilihan umum, yang dilakukan
dengan menghitung ulang hasil suara pemilihan umum yang ditetapkan
oleh Komisi Pemilihan Umum yang diperselisihkan oleh peserta pemilihan
umum dan menetapkan hasil penghitungan suara pemilihan umum yang
benar menurut Mahkamah Konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Dalam pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dinyatakan, Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib
menguraikan dengan jelas tentang:
c) Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon d) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.100
Dari pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
tersebut dapat dilihat dengan jelas, bahwa perselisihan tentang hasil
pemilihan umum adalah ketidak sesuaian jumlah suara yang didapat oleh
para peserta pemilihan umum. Hal ini dapat dibuktikan secara legal dalam
pasal 75 yang mewajibkan pemohon keberatan hasil pemilihan umum
untuk menguraikan dengan jelas tentang kesalahan hasil penghitungan
suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil
penghitungan yang benar menurut pemohon dan permintaan untuk
membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi
Pemilihan dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
pemohon. Pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 menunjukkan mengenai
perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah hasil penghitungan
suara berupa jumlah angka-angka yang digunakan sebagai dasar untuk
menetapkan pemenang peserta pemilihan umum yang kemudian
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Sehingga perselisihan bukan
hasil pemilihan umum yang sifatnya abstrak berupa hasil pemilihan umum
secara global terkait pemilihan umum. Pasal 75 UU No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menunjukkan kewenangan Mahkamah
Konstitusi bukan untuk memutus pemilihan umum ulang, tetapi
menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum dengan melakukan
penghitungan ulang terhadap suara yang diperselisihkan oleh para peserta
pemilihan umum. 100 Lihat UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Pasal 77 (3) dinyatakan,
Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan penggugat
tentang perselisihan hasil pemilihan umum dapat menyatakan membatalkan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum
dan menetapkan hasil penghitungn yang benar. Hal ini menunjukkan dengan
jelas wewenang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penghitungan
ulang terhadap hasil suara pemilihan umum yang diperselisihkan, bukan
wewenang untuk memutuskan pemilihan umum ulang. Pasal 77 ini juga
menyebutkan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan hasil
suara pemilihan umum yang benar, dimana hasil suara yang benar tadi
hanya dapa diperoleh Mahkamah Konstitusi melalui penghitungan ulang
suara pemilihan umum.
Dari bukti-bukti hukum yang berupa pasal-pasal yang terdapat dalam
UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menunjukkan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum, yang hal itu dilakukan dengan melakukan
penghitungan ulang suara hasil pemilihan umum yang ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum yang diperselisihkan oleh peserta pemilihan
umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar, bukan untuk
memutus pemilihan umum ulang.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan
kepala daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari aliran civil law system
yang dianut Indonesia
Negara Indonesia merupakan bekas jajahan Negara Belanda. Sehingga
sistem hukum yang digunakan di Indonesia merupakan peninggalan
belanda. Belanda adalah Negara di eropa yang menganut aliran civil law
system. Terlalu lamanya Belanda menjajah Indonesia membut sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
hukum Belanda terpatri kuat dan hidup berdampingan dengan hukum adat
yang ada di Indonesia. Hampir semua hukum yang ada di Indonesia
bersumber dari hukum Belanda. Sistem hukum Belanda yang masih dipakai
Indonesia ini menjadi hukum positif yang berlaku dengan modifikasi dan
penyesuaian dengan hukum adat yang ada, akan tetapi esensinya masih
menggunakan hukum peninggalan Belanda.
Dengan pendekatan sejarah (Historical Approach ) akan dibahas
mengenai civil law system Indonesia yang dikaitkan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala
daerah ulang di Jawa Timur. Karena dengan pendekatan sejarah akan dapat
diketahui dasar-dasar hukum yang terdahulu sebelum hukum baru muncul.
Pada hakekatnya hukum-hukum yang lama merupakan dasar bagi adanya
hukum yang sekarang berlaku (ius constitutum) dan hukum yang akan
datang (ius constituendum).
Indonesia menganut aliran civil law system, bukan coman law system.
Penting sekali melihat aliran hukum yang dipakai untuk menentukan
berlakunya hukum dengan benar legal. Civil law system mendasarkan
hukum pada peraturan perundang-undangan, sedangkan coman law system
mendasarkan hukum pada yurisprudensi atau putusan-putusan hakim
terdahulu.101 Karena Indonesia menganut civil law system, maka Indonesia
mendasarkan hukum pada peraturan perundang-undnagan yang berlaku,
sehingga bahan hukum yang utama adalah peraturan perundang-undangan,
bukan yurisprudensi seperti aliran coman law system.
Berdasarkan dari uraian aliran hukum tersebut dapat digunakan untuk
menjelaskan permasalahan terkait tentang putusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa
Timur. Civil law system yang dianut Indonesia mendasarkan hukum pada
peraturan perundang-undangan, mulai peraturan perundang-undangan
tertinggi grundnorm sampai peraturan paling rendah yang dibuat oleh
101 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 148
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
lembaga yang berwenang, seperti yang terdapat dalam stufentheorie Hans
Kelsen.102
Melalui pendekatan sejarah hukum (Historical Approach) hukum yang
berlaku di Indonesia tidak sepenuhnya berasal dari Belanda, tetapi berasal
dari Prancis, karena Belanda bekas jajahan Prancis. Menurut seorang ahli
hukum Prancis yang bernama Geny, bahwa putusan pengadilan ditinjau
dari lembaga Negaranya bukan merupakan sumber hukum.103 Hal itu
didasarkan pada tugas, fungsi, dan kedudukan lembaga tersebut. Karena di
Negara Prancis dengan aliran civil law system menyatakan dalam peraturan
perundang-undangan bahwa yang berhak untuk membuat hukum adalah
suatu lembaga yang secara hukum diatur oleh undang-undang untuk
membentuk hukum. Hal itu sejalan dengan pendapat Gordon, seorang ahli
hukum yang mengemukakan pentingnya sejarah hukum untuk mempelajari
hukum.104 Lembaga yang membentuk hukum adalah legeslatif bukan
yudikatif atau seorang hakim dalam bentuk yurisprudensi. Maria Farida
Indrati menyatakan bahwa;
Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, maka keputusan yang dibentuk Mahkamah Konstitusi adalah keputusan dibidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat suatu penetapan yang individual, konkrit, dan sekali-selesai (final).oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi juga tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat secara umum, namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat kedalam (interne regeling).105
Sebenarnya dalam pelaksanaan hukum di Indonesia cenderung
menggunakan civil law system, hal tersebut tampak secara yuridis dalam
setiap proses penyidikan, penyelidikan, dan persidangan oleh aparat
penegak hukum selalu didasarkan pada aturan-aturan hukum yang terkait
dengan kasus hukum yang ditanganinya. Sampai pada keputusan hakim
pun aturan-aturan hukum masih dipakai sebagai dasar legalitas yang sah.
102 Maria Farida Indrati, op.cit, hlm. 68 103 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 152 104 Gordon, “Historicism in Legal Scholarship.”, Yale Law Journal 1017, 1981: 90 105 Maria Farida Indrati, Op.cit, hlm. 105
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Didasari oleh pasal 1 (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara
hukum. Sehingga seluruh tindakan yang dilakukan oleh aparat dan lembaga
Negara dalam bertindak harus berdasarkan atas hukum,106 agar tidak
termasuk penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.
Terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh suatu
lembaga Negara menurut civil law system adalah ketidaktaatan lembaga
Negara untuk melaksanakan hukum sesuai dengan yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan. Apa yang tertulis dalam undang-undang
harus dilaksanakan, dengan menurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008
tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur menunjukkan
penyalahgunaan wewenang dari suatu lembaga kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan
pemilihan kepala daerah langsung ulang tidak sesuai dengan UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, sehingga Mahkamah
Konstitusi dapat dikategorikan lembaga Negara yang menyalahgunakan
wewenang dengan mengesampingkan UUD 1945 dan peraturan perundang-
undangan.
Lembaga legeslatif sebagai lembaga yang membentuk hukum bersama
Presiden. Hasil dari lembaga legeslatif berupa undang-undang yang berlaku
umum, yang mempertimbngkan manusia secara keseluruhan, bukan
individu (il considere des lomnes en masse, jamais comme particuliers).
Dengan berlaku umum bagi seluruh warga masyarakat dan dibentuk oleh
lembaga yang berwenang kekuatan berlakunya undang-undang dapat
terjmin oleh hukum. Tugas hakim adalah berkaitan dengan penerapkan
undang-undang dalam kehidupan sehari-hari (il audroit jounellement faire
de nouveaux lois).107 Sehingga hakim sebagai alat bagi undang-undang
untuk melaksanakan hukum yang sudah dituliskan dalam peraturan
perundang-undangan. Walaupun civil law system memperbolehkan bagi
106 Lihat UUD 1945 pasal 1(3) 107 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 149
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
seorang hakim untuk menemukan hukum tersendiri untuk menyelesaikan
suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, tetapi hakim tetap berpedoman
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim tidak boleh
menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau belum ada hukum yang
mengaturnya, bukan berarti hakim bebas membentuk hukum sendiri.108
Keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti
peraturan perundang-undangan, keputusan hakim hanya berlaku pada
pihak-pihak tertentu saja, tidak mengikat secara umum yang sifatnya
konkrit. Hakim dilarang membuat membuat aturan yang bersifat umum,
karena di Indonesia dengan aliran civil law system yang berwenang untuk
membuat peraturan perundang-undangan adalah lembaga legeslatif, bukan
lembaga lain. Sehingga keputusan hakim tidak dapat bertentangan dengan
undang-undang.109
Undang-undang dalam civil law system memiliki kedudukan yang
penting. Karena secara formal undang-undang dibentuk oleh lembaga
pembentuk undang-undang, yaitu legeslatif dengan Presiden. Yang mana
lembaga ini secara ketatanegaraan merupakan lembaga yang sah menurut
hukum untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Secara
materiil undang-undang memuat aturan-aturan hukum yang isinya
mengikat bagi seluruh warga masyarakat. Materi atau isi undang-undang
ini merupakan pedoman bagi semua masyarakat dan lembaga-lembaga
Negara untuk bertindak, karena didalamnya mengatur perintah dan
larangan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Thomas Van
Aquino berpendapat, bahwa segala kejadian ayang ada di alam dunia ini
diperintah dan dikemudikan oleh suatu undang-undang abadi yang menjadi
dasar kekuasaan dari peraturan lain.110
Menurut Bagir Manan, mengadili menurut hukum oleh seorang hakim
dapat dijabarkan dalam empat makna:
108 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, ctk. keduabelas, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 22 109 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 80 110 CST. Kansil, ibid, hlm. 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
1) Mengadili menurut hukum merupakan salah satu asas mewujudkan Negara berdasarkan hukum. Dimana setiap putusan hakim harus mempunyai dasar hukum-subtantif dan prosedur yang telah ada sebelumnya perbuatan melawan dan melanggar hukum itu terjadi.
2) Hukum dalam mengadili menurut hukum harus diartikan luas melebihi pengertian hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum dalam khusus atau keadaan tertentu, meliputi pengertian-pengertian yang mengikat pihak-pihak, kesusilaanyang baik dan ketertiban umum (geode zeden en openbaar order).
3) Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum yang dipertimbangkan dalam putusan hakim, tetapi tidak selalu harus diikuti karena kemungkinan “the living law” justru harus dikesampingkan karena tidak sesuai dengan tuntutan sosial baru.
4) Sesuai dengan teradisi hukum yang berlaku, hakim wajib mengutamakan penerapan hukum tertulis, kecuali kalau akan menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum. Hakim bukan mulut undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan.111
Dalam tulisan Bagir Manan tersebut menyiratkan bahwa hukum yang
dipakai Indonesia dalam penerapannya harus berdasarkan hukum tertulis,
dan hukum tertulis itu merupakan undang-undang secara umum. Karena
putusan hakim harus berdasarkan atas hukum yang telah sebelumnya
tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Hal itu sesuai dengan asas
legalitas hukum civil law system yang mengutamakan peraturan perundang-
undangan sebagai hukum resmi yang mempunyai kekuatan mengikat lebih
kuat. Karena tanpa ada bukti hukum yang jelas dan tertulis dalam suatu
lembaran Negara yang sah, maka peraturan tersebut masih diragukan
keabsahan hukumnya. Seperti pendapat aliran positifisme atau normatif
hukum yang menyatakan bahwa putusan hakim kurang penting, karena
sumber hukum menurut aliran hukum normatif hanyalah peraturan
perundang-undangan, sedangkan hakim hanya melaksanakan tugasnya
yang terikat dengan dengan undang-undang.112
Menurut Pontang Moerad B.M dalam makalah Hari Purwadi diseminar
tentang “intensitas penggunaan yurisprudensi oleh hakim dalam mengadili”
111 Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum dalam Varia Peradilan, IKAHI, Jakarta, 2005, hlm. 10 112 CST. Kansil, op.cit, hlm. 155
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
menyatakan, dalam prespektif hukum, meskipun keputusan hakim adalah
salah satu sumber hukum, namun derajat kepentingannya berbeda antara
common law system dengan civil law system. Dalam common law system
menganut prinsip stare dicisis atau preceden, sedangkan dalam civil law
system lebih mengutamakan legalitas peraturan perundang-undangan. Di
Indonesia kedudukan hakim sebagai pelaksana peraturan perundang-
undangan, bukan sebagai pembentuk hukum (law making) yang tidak
dikenal dalam civil law system.113
Jeremy Benthon dalam Sudikno Mertokusumo menyatakan, karena
sifatnya yang umum berlaku bagi semua masyarakat, undang-undang
adalah hukum yang berisi kaedah hukum untuk melindungi kepentingan
manusia yang banyak. Sesuai dengan tujuan hukum dalam teori utilities,
bahwa hhukum ingin mencapai kebahagiaan yang besar bagi manusia
dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest
number). Tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan
dan kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak.114 Undang-
undang dalam civil law system menjadi sumber hukum yang pokok. Karena
undang-undang adalah peraturan yang digunakan untuk melaksanakan
Undang-Undang Dasar sebagai dasar fundamental grundnorm yang
kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang itu sendiri. Menurut
Hans Kelsen grundnorm adalah dasar dari segala kekuasaan dan sebagai
legalitas hukum positif yang berlaku.115 Civil law system yang mendasarkan
hukum pada peraturan perundang-undangan tentunnya melihat juga tata
urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dalam hal
ini putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan civil law
system yang dianut Negara Indonesia.
113 Hari Purwadi, “Intensitas Penggunaan Yurisprudensi oleh Hakim dalam Mengadili” makalah disampaikan pada seminar memperingati hari disnatalis Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 23 April 2009, hlm. 3 114 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 80 115 CST. Kansil, ibid, hlm. 145
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
d. Stufentheory peraturan perundang-undangan
Hans kelsen dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum
mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum atau yang terkenal
dengan sebutan stufentheorie. Menurut Hans Kelsen norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, artinya
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar
pada suatu norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut dan bersifat hipotetis
dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm).
Adolf Merkl, seorang murid dari Hans Kelsen berpendapat, bahwa suatu
norma hukum itu selalu memiliki dua wajah (das doppelte rechtsantlitz).
Artinya suatu norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma
yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi
norma hukum di bawhnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa
berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya norma hukum
itu bergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apabila norma
hukum yang berada diatasnya itu dicabut atau diputus, maka norma-norma
hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula. Berdasarkan
teori dari Adolf Merkl tersbut maka dalam teori jenjang normanya Hans Kelsen
mengemukakan juga bahwa suatu norma hukum itu selalu bersumber dan
berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah norma hukum itu juga menjadi
sumber dan dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Norma dasar
menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila
norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada
dibawahnya.116
Stufentheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tentang jenjang norma
akan menentukan kekuatan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan.
karena Hans Kelsen menyatakan bahwa norma hukum ke atas harus 116 Maria Faria Indrati, op.cit, hlm. 41‐43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
berdasarkan hukum di atasnya dan kebawah menjadi sumber hukum norma
hukum di bawahnya. Dalam hal ini akan menunjukkan suatu jenjang hukum
merupakan aturan tentang syarat berlakunya hukum, sebelum substansi hukum
itu sendiri berlaku. Norma hukum di bawah harus sesuai dengan norma hukum
diatasnya. Jika tidak sesuai dengan norma diatasnya, maka terjadi pelanggaran
hukum terhadap jenjang norma hukum. Seperti norma hukum peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia. Peraturan perundang-undangan
tertinggi menjadi dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Pancasila sebagai grundnorm merupakan peraturan perundang-
undangan yang memiliki jenjang tertinggi yang tidak dapat ditinggalkan bagi
peraturan di bawahnya. Secara piramid hirarki perundang-undangangan di
Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut.
Sesuai dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum, maka kedudukan hukum menjadi sesuatu
yang sangat penting bagi pelaksanaan penyelengaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Sehingga begitu pentingnya hukum bagi Indonesia
di buatlah susunan urutan tata peraturan perundang-undangan, sebagaimana
diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Melalui pendekatan sejarah (historical approach) dapat dilihat peraturan
perundang-undangan yang mengatur khusus masalah tertib hukum Indonesia.
Mulai dari Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
I. Staat Fundamentalnorm (Pancasila)
II. Staats Grundgesetz (UUD 1945)
III. Formell Gesetz (Undang-Undang)
IV. Verordnung dan Autonome Satzung
(Peraturan Pelaksana, PP, Perda, dll)
I
II
III
IV
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia, kemudian Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan, hingga sampai dengan berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam
peraturan-peraturan tersebut permasalahan tentang jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia diatur.117
Dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, pasal 1 (2) dinyatakan, peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum. Adapun tata urutan peraturan
perundang-undangan yang dimaksud terdapat dalam pasal 7 (1) yaitu:
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah.118
Tata urutan peraturan perundang-undangan di atas menjelaskan tentang
stufentheori Hans Kelsen. UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi menjadi
sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Undang-
undang sebagai pelaksana dari Undang-Undang harus berdasarkan pada UUD
1945, begitu juga dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
dan seterusnya hingga sampai pada peraturan daerah.
Mengacu stufentheori Hans Kelsen tersebut tidak disebutkan putusan
hakim termasuk kedalam jenjang yang mana. Karena hakim sebagai pelaksana
dari peraturan perundang-undangan, maka hakim hendaknya mendasarkan
segala putusannya pada peraturan perundang-undangan yang tersebut dalam
117 Maria Faria Indrati, op.cit, hlm. 108 118 Lihat UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
pasal 7 (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dengan mendasarkan putusan hakim harus sesuai berdasarkan
dengan peraturan perundang-undangan tersebut, maka putusan hakim berada
pada jenjang di bawah sendiri, di bawah peraturan daerah.
Berdasarkan stufentheori tersebut, maka putusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur
melanggar teori jenjang tata urutan peraturan perundang-undangan. Karena
putusan Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 18, 22E,
dan pasal 24C sebagai norma dasar tertinggi.119 Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut juga tidak sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pasal 1, 10, 74, 75 dan pasal 77, UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 104 dan 106, UU No.12 Tahun 2008 tentang
perubahan UU No.32 Tahun 2004 pasal 233 dan 236. Pelanggaran atas ketidak
sesuaian subtantif putusan Mahkamah Konstitusi dengan peraturan perundang-
undangan tersebut seperti yang dibahas dalam pembahasan di depan. Terkait
masalah pemilihan kepala daerah yang bukankategori pemilihan umum dalam
pasal 18 dan 22E UUD 1945, masalah kewenangan Mahkamah Konstitusi
terbatas pada penghitungan hasil pemilihan suara bukan wewenang untuk
memutus pemilihan umum ulang dalam pasal 24C UUD 1945, UU No.24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1, 10, masalah konsep arti
perselisihan tentang hasil pemilihan umum dalam UU No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pasal 74, 75, dan 77, UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah pasal 104 dan 106 dan UU No.12 Tahun 2008
pasal 233 dan 236.
Peraturan perundang-undangan tersebut menurut stufentheori bekerjanya
harus berdasarkan hukum yang berada ditingkat atasnya. Menurut Hans
119 Lihat UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Kelsen, UUD 1945 sebagai grundnorm yang merupakan konstitusi Negara
Indonesia sebagai norma hukum tertinggi tidak dapat di kesampingkan oleh
putusan hakim Mahkamah Konstitusi. Sejalan dengan pendapat Parker, ahli
hukum, yang mengemukakan betapa pentingnya konstitusi dalam suatu tatanan
hukum Negara.120 Putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa perselisihan
hasil pemilihan kepala daerah walaupun dengan alasan demi untuk
menegakkan keadilan subtansif tidak berarti karena adanya pelanggaran
pemilihan kepala daerah yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif, namun
tidak dapat Mahkamah Konstitusi memutus perkara yang melampaui apa yang
telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Apabila
terjadi pelanggaran pemilihan kepala daerah, secara hukum harus diselesikan
sesuai dengan hukum yang mengatur tentang pelenggaran pemilihan umum,
bukan diputuskan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi bahwa pemilihan kepala
daerah lansung di Jawa Timur telah terjadi suatu pelanggaran hukum, karena
hal itu bukan kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan. Putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala
daerah ulang di Jawa Timur melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang telah diberikan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undang
lainnya. Tidak ada kewenangan Mahkamah Konstitusi secara tegas disebutkan
dalam UUD dan peraturan perundang-undangan lain untuk memutus
memerintahkan pemilihan kepala daerah ulang, tetapi kewenangan terbatas
pada melakukan penghitungan terhadap hasil suara pemilihan umum yang
diperselisihkan oleh peserta pemilihan umum. Sehingga putusan Mahkamah
Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di
Jawa Timur tidak sesuai pasal-pasal yang disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia yang berarti juga tidak sesuai dengan teori
jenjang peraturan perundang-undangan stufentheori.
120 Parker, “The Past of Constitutional Theory and Its Future”, Ohio State Law Journal 223, 1981: 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
e. Asas lex superiori derogat legi inferiori
UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan menjadi pedoman mengenai tata urutan susunan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Meskipun undang-undang tersebut masih
belum sempurna, karena permasalahan tentang jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan belum berakhir, oeh karena itu diskusi dan kajian panjang
terhadap permasalahan tersebut perlu dilakukan agar kepastian hukum dapat
dicapai dengan maksimal, namun undang-undang itulah yang mengatur tentang
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berlaku dan menjadi dasar
hukum untuk menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia.121
Untuk berlakunya suatu hukum tentunya harus memperhatikan asas-asas
hukum yang ada. Asas-asas peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu
lex superiori derogate legi inferiori yang artinya peraturan perundang-
undangan yang memiliki hierarki lebih tinggi dapat mengalahkan peraturan
perundangan di bawahnya. Sehingga segala peraturan yang ada dibawahnya
harus berdasarkan peraturan yang ada di atasnya. Hal ini didasarkan pada sifat
hukum yang selalu mendasarkan pada sumber hukum yang lebih tinggi. Karena
hukum yang lebih tinggi tingkatannya menjadi sumber hukum bagi peraturan-
peraturan yang dibawahnya. Menurut Peter Mahmud Marzuki,apbila terjadi
pertentangan antara hukum yang secara hierarki lebih rendah dengan tingkatan
yang lebih tinggi, maka hukum yang ditingkatan rendah harus disisihkan.122
Dari asas lex superiori derogate legi inferiori, jika dikaitkan dengan
penulisan tesis tentang analisis putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-
VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur, maka putusan
Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan asas lex superiori derogate legi
inferiori. Karena putusa Mahkamah Konstitusi secara hukum bertentangan
dengan UUD 1945 dan undang-undang lain seperti UU No.24 Tahun 2003 121 Maria Faria Indrati, loc.cit. 122 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit, hlm. 99
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal-pasal UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang lain jelas tidak menyebutkan tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum dengan putusan berupa pemilihan umum ulang. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada penghitungan ulang terhadap hasil
suara pemilihan umum yang diperselisihkan oleh peserta pemilihan umum.
Ditambah lagi pemaknaan pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi.
UUD 1945 sebagai aturan hukum tertinggi dalam susunan peraturan
perundang-undangan tidak menyebutkan pemilihan kepala daerah langsung
kedalam pemilihan umum. UUD 1945 sebagai Konstitusi
menggambarkanhukum positif pada tingkat tertinggi. Mengambil pengertian
kata subtansif dan esensial konstitusi yang bergantung pada pengaturan alat
pemerintahan dan proses penciptaan hukumnya, yaitu proses legeslasi.123
Sehingga penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan kepala langsung
daerah tidak dapat dilakukan Mahkamah Konstitusi seperti terhadap
perselisihan pemilihan umum. UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sendiri menyebutkan wewenang Mahkamah Konstitusi terbatas pada
hasil perselisihan suara pemilihan umum, bukan untuk menghakimi terhadap
suatu pelanggaran hukum yang sifatnya pidana pemilihan umum, karena itu
bukan wewenang Mahkamah Konstitusi, tetapi lembaga lain yang berwenang.
Hans Kelsen dalam Soedikno Merto Kusumo berpendapat, suatu kaedah
hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas
kaedah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaedah hukum merupakan
sistem kaedah hukum secara hierarki. Grundnorm atau norma dasar terdapat
dasar berlakunya kaedah hukum. kaedah yang berasal dari suatu tata hukum
dari aturan dasar itu hanya dapat dijabarkan berlakunya kaedah hukum bukan
isinya. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan bahwa, berlakunya hukum itu
123 Stanley L. Poulson, op.cit, hlm. 106
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
berhubungan dengan das sollen, sedangkan pengertian hukum berhubungan
dengan das sein.124
Asas lex superiori derogate legi inferiori meunjukkan hukum yang dibuat
oleh lembaga Negara yang lebih tinggi memiliki kedudukan hukum yang lebih
tinggi pula. Walaupun di Indonesia sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi atau
lembaga tinggi Negara, tetapi perlu diingat bahwa lembaga legeslatif/Dewan
Perwakilan Rakyat dan lembaga eksekutif/Presiden merupakan lembaga yang
mengusulkan, memilih, dan mengangkat hakim-hakim di Mahkamah
Konstitusi. Dalam pasal 24C (3) disebutkan, Mahkamah Konstitusi mempunyai
sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Sehingga lembaga
yang dibentuk oleh suatu lembaga lain, maka lembaga yang membentuk adalah
lembaga yang memiliki power yang lebih tinggi kedudukan kewenangannya
dalam ketatanegaraan. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, seperti
UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tingkatan lebih
tinggi (lex superiori) dibandingkan dengan putusan hakim (inferiori). Selain
dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan menjadi pedoman mengenai tata urutan susunan peraturan
perundang-undangan di Indonesia disebutkan tata urutan perundng-undangan
yang berada pada tingkatan tertinggi sampai peraturan tingakat terendah, juga
peraturan perundang-undangan dibuat oleh lembaga yang sah secara hukum
diberikan wewenang untuk membentuk hukum.125
2. Sesuai dengan hasil penelitian normatif hukum dan rumusan masalah kedua
tentang putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan Undang-
124 Soedikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 95 125 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 96
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Undang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan yang diperbaruhi
dengan UU No.12 Tahun 2008), akan dilakukan pembahasan sebagai berikut.
a. Undang-undang sebagai sumber hukum formil dan materiil
Undang-undang merupakan sumber hukum utama dalam Negara civil law
system. Karena mendasarkan segala sesuatunya pada peraturan perundang-
undangan tertulis. Aliran legisme juga beranggapan bahwa hukum adalah
kumpulan peraturan-peraturan yang dituangkan dalam undang-undang, diluar
itu bukan merupakan hukum. UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, undang-undang dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia berada pada posisi di bawah UUD 1945.
Karena undang-undang adalah seperangkat aturan hukum yang digunakan
untuk melaksanakan UUD 1945.
Undang-undang dalam civil law system sebagai pedoman bagi hakim untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Sehingga hakim disini
dalam melaksanakan tugas yudikatifnya tidak lepas dari aturan-aturan yang ada
di dalam undang-undang. Apa yang ada di undang-undang harus dipatuhi oleh
hakim, sepanjang tidak bertentangan dengan agama dan kemanusiaan. Undang-
undang dengan putusan hakim memiliki esensi hukum yang berbeda. Dimana
undang-undang bersifat umum yang mengikat setiap orang, sedangkan putusan
hakim adalah hukum yang mengikat kepada orang-orang tertentu saja.126
Undang-undang sebagai sumber hukum formal adalah bahwa undang-
undang dibuat olah lembaga Negara yang berwenang dalam membentuk
Negara. Di Indonesia lembaga yang mendapatkan wewenang untuk
membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga
legeslatis dan Presiden sebagai lembaga ekekutif yang akan melaksanakan
undang-undang tadi. Sehingga dalam arti formil undang-undang memiliki
kekuatan berlaku yang kuat, karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang.
Berbeda dengan kekuatansuatu putusan hakim, yang mana putusan tersebut 126 Soedikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
tidak memiliki kekuatan berlaku yang kuat, karena tidak dibentuk oleh
lembaga yang berwenang membuatnya. Hakim tidak mempunyai hak untuk
membentuk undang-undang, tapi hakim sebagai pelaksana undang-undang dan
sebagai penemu hukum. menemukan hukum oleh hakim tidak dapat dimaknai
hakim dapat membentuk hukum. Karena pada dasarnya hukum sudah ada pada
peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia lembaga yang berwenang untuk membuat undang undang
adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 5 (1) UUD 1945 disebutkan, Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 (1)
UUD 1945 disebutkan, Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang, (2) disebutkan, setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Dari pasal UUD 1945 tersebut menunjukkan formal
hukum yang harus dipenuhi untuk berlakunya suatu hukum. Politik dengan
hukum tidak dapat dilepas secara terpisah, karena keduanya saling
behubungan, hukum sebagai arah petunjuk jalannya politik agar tetap pada
jalur yang benar.127 Sebagai bukti bahwa politik dengan hukum tidak dapat
dipisahkan di Indonesia juga menganut trias politik, yang membagi secara
politis tugas dan fungsi antara lembaga eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Ada
lembaga yang bertugas untuk membuat peraturan, ada lembaga yang bertugas
untuk melaksankan peraturan itu, ada pula lembaga yang bertugas untuk
menindak setiap subjek hukum yang melanggar peraturan yang tersebut.
Masing-masing lembaga tidak dapat melampaui kewenangan yang telah
dimilikinya, karena secara hukum ketatanegaraan lembaga-lembaga Negara
sudah memiliki peraturan hukum yang mengatur tugas dan fungsi masing-
masing.
seperti putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari pendekatan 127 David Kairys, “Politics of Law.” A Progressive Critique, Law journal, 1982
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
perundang-undangan jelas tidak dapat dibenarkan. Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut mengesampingkan aturan-aturan yang terdapat dalam
undang-undang. Ditinjau dari undang-undang pemerintahan daerah (UU No.32
Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun 2008 tetang perubahan atas UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) putusan Mahkamah Konstitusi
tidak sesuai dengan syarat formal berlakunya hukum. Putusan Mahkamah
Konstitusi berupa pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur merupakan
tindakan Mahkamah Konstitusi dalam membentuk hukum bukan menemukan
hukum. Padahal Mahkamah Konstitusi bukan lembaga yang berwenang untuk
membentuk hukum. Mahkamah Konstitusi dalam membentuk hukum dapat
terlihat dari putusannya terkait sengketa pemilihan kepala daerah di Jawa
Timur yang memutuskan pemilihan kepala daerah ulang, putusan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan. yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan adalah wewenang Mahkamah Konstitusi untuk
menghitung ulang suara hasil pemilihan umum yang diperselisihkan oleh
peserta pemilihan umum. Sehingga putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah
Konstitusi mempunyai kedudukan hukum yang lemah.128
Mahkamah Konstitusi secara formil hanya berwenang untuk melaksanakan
hukum acara persidangan, bukan untuk membentuk hukum. Walaupun hakim
diberikan wewenang untuk menggali menemukan hukum untuk menyelesaikan
perkara, tetapi perkara yang dimaksud merupakan perkara yang masih belum
ada dasar hukumnya, tetapi jika suatu perkara yang telah ada dasar hukumnya
maka tidak dapat dicari-cari lagi dasar hukumnya. Sehingga hakim tidak dapat
melepaskan undang-undang dalam mengambil suatu putusan.
Undang-undang dilihat sebagai sumber hukum materiil adalah, bahwa
undang-undang isinya mengatur tentang hal-hal yang berisi perintah dan
larangan, hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, hak dan
kewajiban, dan hal-hal lain yang mengikat bagi seluruh masyarakat. Dengan
undang-undang sebagai sumber hukum materiil menjadikan bunyi atau kata- 128 CST. Kansil, op.cit, hlm. 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
kata yang ada didalam undang-undang adalah hukum yang harus dipatuhi.
Selain diatur di luar undang-undang berarti bukan hukum. begitu juga aliran
positivisme yang memandang hukum adalah suatu peraturan yang tertulis,
peraturan yang tidak tertulis bukan merupakan hukum. mengacu dari sumber
hukum materiil, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008
tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tersebut tidak memenuhi
sumber hukum material. Karena secara materi atau isi undang-undang tidak
ada dalam undang-undang pemerintahan daerah yang menyebutkan wewenang
Mahkamah Konstitusi untuk memutus pemilihan kepala daerah ulang. Yang
dapat dilakukan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan penghitungan suara
ulang yang diperselisihkan. Hal itu terkait dengan cara penyelesaian
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah langsung yang diatur dalam UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.12 Tahun 2008
tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
b. Perselisihan tentang hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
Pemilihan umum di Indonesia merupakan agenda demokrasi lansung oleh
rakyat setiap lima tahun sekali. Tetapi sejak otonomi daerah dan perubahan
besar terhadap sistem pemerintahan daerah, maka pemilihan umum dapat
terjadi kapan saja di wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia untuk
memilih satu pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.
Sehingga dengan adanya pemilihan kepala daerah secara lansung ini banyak
menimbulkan sengketa tentang pemilihan kepala daerah. Sengketa mulai dari
pelanggaran pemilihan, tindak pidana pemilihan umum, dan sampai terakhir
pada perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah. Masalah perselisihan
tentang hasil pemilihan kepala daerah rawan terjadi, karena dalam proses
penghitungan suara hasil pemilihan tersebut berupa jumlah angka-angka.
Selain faktor kesengajaan berupa manipulasi data, faktor ketidak cermatan
dalam menghitung suara menjadi pemicu terjadinya perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah sebelunya menjadi
kompetensi wewenang Mahkamah Agung, kemudian dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi. Dasar hukum tentang peralihan wewenang untuk
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah ini terdapat dalam
pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32
Tahhun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yangberbunyi: penanganan
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah konstitusi paling
lama 18 (delapanbelas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Sejak itu
Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan kepala daerah.
Adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum atau perselisihan tentang hasil pemilihan kepala
daerah inilah yang menjadi permasalahan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa
Timur. Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa kewenangan yang
didapatnya dalam UUD 1945 pasal 24C dan UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pasal 10, yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum kepala,
dapat di artikankan untuk memutus pemilihan kepala daerah ulang. Karena
perselisihan tentang hasil pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi tidak
dimaksudkan hasil berupa jumlah suara pemilihan umum yang berupa angka-
angka. Mahkamah Konstitusi menganggap terdapat pelanggaran pemilihan
kepala daerah yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif, dari pemilihan
kepala daerah di Jawa Timur adalah termasuk hasil. Hasil pemilihan kepala
daerah dimaknai sebagai hasil yang global terhadap proses pemilihan kepla
daerah. Sehingga penafsiran hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah
Konstitusi adalah hasil yang mencakup menang dan kalahnya pasangan calon
kepala daerah, bukan hasil berupa jumlah suara sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan
kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
tentang penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah langsung.
Yang mana undang-undang tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya yang
dimaksud perselisihan tentang hasil pemilihan umum kepala daerah adalah
jumlah suara hasil pemilihan umum kepala daerah.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 103 dinyatakan,
(2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.
(3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.
(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.
Pasal 104 dinyatakan, (3) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan
yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan Maka tidak dapat dilakukan.
(2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus ,menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
c. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;
d. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.
Pasal 106 dinyatakan,
(3) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.129
Dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 236C dinyatakan,
Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.130
Dari beberapa pasal tersebut di atas secara hukum normatif telah
memperlihatkan tentang maksud dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang
sebenarnya terkait dalam hal menyelesaikan perselisihan tentang hasil
pemilihan umum kepala daerah. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan
pembuktian untuk menentukan suara hasil pemilihan umum kepala daerah
yang benar, menurut versi pemohon atau versi penetapan Komisi Pemilihan
Umum. Sehingga tugas Mahkamah Konstitusi tidak lain hanya menghitung
ulang suara hasil pemilihan umum kepala daerah yang diperselisihkan.
Melalui pendekatan konsep tentang pengertian hasil pemilihan umum yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan, maka dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah No.32 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun 2008 tentang
perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka
129 Lihat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 130 Lihat UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
konsep hasil pemilihan umum kepala daerah adalah jumlah hasil suara yang
berupa angka.
Mahkamah Konstitusi dapat saja memutus peserta pemilihan umum
dengan putusan yang sifatnya pembatalan atau ketidak absahan peserta
pemiliha umum, akan tetapi prosedur tersebut harus didahului dengan
pembuktian adanya pelanggaran yang dikeluarkan oleh lembaga yang
berwenang. Maksudnya, apabila terjadi pelanggaran administratif maka
Mahkamah Konstitusi harus sudah mendapatkan bukti pelanggaran tersebut
dari Komisi Pemilihan Umum yang menyelenggarakan pemilihan umum
tersebut, jika terjadi pelanggaran pidana maka Mahkamah Konstitusi harus
telah mendapatkan bukti tertulis berupa putusan lembaga peradilan umum
yang menyatakan bahwa peserta pemilihan umum tersebut dijatuhi hukuman
pidana oleh lembaga peradilan umum. Karena asas legalitas hukum di
Indonesia menghendaki demikian. Sebelum dinyatakan oleh lembaga
peradilan atau lembaga yang berwenang dengan bukti tertulis maka setiap
tindakan oleh subjek hukum tidak dapat dipersalahkan. Sehingga putusan
Mahkamah Konstitusi yang telah memutus tentang adanya pelanggaran yang
sistematis, terstruktur, dan masif di pemilihan kepala daerah Jawa Timur
tidak dapat dibenarkan secara hukum, karena tidak ada bukti legalitas dari
pihak-pihak atau lembaga hukum yang berwenang untuk itu yang menyatakan
telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon kepala
daerah/calon Gubernur dan wakil Gubernur Jawa Timur.
Dalam lingkup Mahkamah Konstitusi dikenal dengan istilah “PHPU”.
Yang dimaksud adalah perselisihan hasil pemilihan umum. Sehingga jelas
bahwa objek dari perkara merupakan permasalahan hasil suara yang tidak
sesuai dengan perhitungan yang sebenarnya. Dalam hal terjadi ketidak
sesuaian hasil jumlah suara, maka diselesaiakan dengan melakukan
penghitungan ulang jumlah suara yang diperselisihkan. Masing-masing tempat
penghitungan suara menjadi tempat untuk melakukan penghitungan suara,
yang mana akan menampilkan hasil berupa jumlah suara para peserta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
pemilihan ummum. Dan setiap peserta pemilihan umum mendapatkan berita
acara tentang hasil penghitungan suara pemilihan umum, sehingga apabila
terjadi ketidak cocokan berati tinggal melakukan pengecekan kembali masing-
masing data hasil jumlah suara yang dimiliki
c. Penyelesian pelanggaran pemilihan kepala daerah adalah tugas dan
wewenang Panitia Pengawas pemilihan kepala daerah
Dalam setiap pemilihan umum sering terjadi pelanggaran-pelanggaran
pemilihan umum. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 pasal 1 (3)
bahwa Negara indonesia adalah negara hukum, sehingga terhadap pelanggaran
pemilihan umum kepala daerah harus diselesaikan melalui jalur hukum. Karena
Indonesia menganut civil law system, maka dalam menyelesaikan segala
permasalahan hukum berdasarkan hukum, dan hukum adalah peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain, bahwa untuk menyelesaikan
Pelanggaran pemilihan umum dengan menggunakan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Terkait dengan penulisan tesis ini yang mengangkat permasalahan putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala
daerah ulang di Jawa Timur, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
tidak sesuai dengan wewenang dan peraturan perundang-undangan. menurut
Mahkamah Konstitusi dalam pemilihan kepala daerah Jawa Timur telah terjadi
pelanggaran pemilihan umum kepala daerah yang terstruktur, sistematis, dan
massif. Dengan alasan tersebut hingga Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
putusan untuk dilakukan pemilihan kepala daerah di ulang di dua kabupaten,
yaitu Sampang dan Bangkalan dan penghitungan ulang di kabupaten
Pamekasan.
Apabila terjadi perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maka
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi
menyangkut dengan adanya pelanggaran terhadap pemilihan umum kepala
daerah menjadi wewenang lembaga lain yang dibentuk untuk memproses dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
memutus terjadinya pelanggaran pemilihan umum. UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan:
Pasal 57, dinyatakan,
(3).Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat,
(4).Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.
(5).Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD.
(6).Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang lainnya.
(7).Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.
Pasal 78 dinyatakan,
Dalam kampanye dilarang:
a.Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik;
c.Menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
d.Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik;
e.Mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
f.Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
g.Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain;
h.Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
i. Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan
j.Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.
Pasal 81 dinyatakan,
(1)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, merupakan tindak pidana dan dikenal sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye.131
Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut
terdapat aturan-aturan yang menunjukkan adanya panitia pengawas pemilihan
kepala daerah yang berwenang untuk menyelesaikan permasalahan terkait
pelanggaran pemilihan kepala daerah, sehingga bukan wewenang Mahkamah
Konstitusi untuk memutus telah terjadi pelanggaran pemilihan kepala daerah.
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah
Pasal 105 dinyatakan, Pengawasan pelaksanaan pemilihan dilaksanakan panitia pengawas pemilihan yang bertanggung jawab dan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan keputusan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 108 dinyatakan, Panitia Pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:
- Menerima laporan pelanggaran perturan perundang-undangan - Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan - Meneruskan temuan kepada instansi yang berwenang
Pasal 113 dinyatakan,
Penyidikan terhadap laporan sengketa yang mengandung unsure tindak pidana yang diatur dalam peraturan pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan KUHAP
Pasal 114 dinyatakan,
Pemeriksaan atas tindak pidana dalam peraturan pemerintah ini dilaksanakan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum.132
131 Lihat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepla Daerah menunjukkan
secara normatif hukum, bahwa adanya lembaga yang khusus berwenang
menangani masalah pelanggaran pemilihan kepala daerah, yaitu panitia
pengawas pemilihan yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan
tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Dan adanya jenis pelanggaran pidana yang
di selesaikansesuai dengan KUHP melalui lembaga yang berwenang. Sehingga
dari peraturan perundang-undangan ini tidak bisa Mahkamah Konstitusi
Memutus pemilihan kepala daerah ulang karena adanya pelanggaran pemilihan
kepala daerah, sebelum ada keputusan tetap dari lembaga peradilan.
d. Pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan paling akhir tahun 2008
Agenda politik pemerintah yang padat membuat waktu pemilihan kepala
daerah langsung diatur sedemikian rupa sehingga tidak terbentur dengan
agenda politik yang lebih besar, yaitu pemilihan umum legeslatif dan
pemilihan Presiden dan wakil Presiden. Sehingga dalam penyusunan UU
No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan dalam pasal 233 (2), Pemungutan
suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa
jabatannya berakhir pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juli
2009 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama pada bulan
Oktober 2008. (3) Dalam hal terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua,
pemungutan suara diselenggarakan paling lama pada bulan Desember 2008.133
Mellauipendekatan konsep perundang-undangan jelas telah disebutkan dalam
pasal 233 (2 dan 3) bahwa pemilihan kepala daerah dan pemilihan putaran
kedua kepala daerah jika terjadi, maka harus diselenggarakan paling lama
bulan Oktober 2008, sehingga penyelenggaraan pemilihan putaran ketiga yang
terjadi di Jawa Timur berakibat tidak sah. Alasan pertama, bahwa di dalam UU
No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 132 Lihat PP No.6 tentang Pemilihan Kepala Daerah 133 Lihat UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
tentang Pemerintahan Daerah hanya mengenal pemilihan kepala daearah
putaran kedua, sehingga pemilihan ulang kepala daerah putaran ketiga di Jawa
Timur tidak sesuai dengan undang-undang ini, kedua, bahwa waktu
penyelenggaraan yang seharusnya dilakukan akhir tahun 2008 tetapi
dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2009, sehingga pemilihan kepala daerah
putaran ketiga yang dilaksanakan di Jawa Timur tersebut tidak sah.
Pemilihan kepala daerah ulang yang merupakan hasil keputusan
Mahkamah Konstitusi terlalu memaksakan kehendaknya. Karena secara
hukum Indonesia civil law system yang mendasarkan segala sesuatunya pada
perturan perundang-undangan putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-
VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak
dibenarkan hukum. Dan waktu pemilihan yang telah kedaluwarsa tetap
dipaksakan untuk melakukan suatu pemilihan umum pada bulan januari tahun
2009, yang sebenarnya tidak diijinkan oleh undang-undang untuk melakukan
pemilihan kepala daerah pada tahun 2009.
Berdasarkan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan dalam pasal 233
(2) dan (3) tersebut, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-
VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai
dengan perturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas. Sehingga
pemilihan kepala daerah ulang di jawa timur tidak memenuhi syarat
berlakunya hukum dan diragukan keabsahannya. Asas kepastian hukum tidak
lagi diperhatikan. Padahal kepastian hukum akan menjamin tercapainya
hukum secara benar untuk mencapai keadilan. Kepastian hukum ditandai
dengan bukti tertulis dari hukum yang ada. Bahkan Pancasila dan UUD 1945
yang merupakan hukum tertinggi menganut kepastian hukum, ditandai dengan
bukti tulis dari norma-norma hukum yang disebutkan dalam sila-sila, butir-
butir Pancasila, pembukaan dan batang tubuh yang berisi bab-bab, pasal-pasal,
dan ayat-ayat dalam UUD 1945. Begitu pula dengan peraturan yang lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Pemilihan umum dilakukan melalui tahapan-tahapan yang panjang. Mulai
dari tahap persiapan, pelaksanaan, hingga tahap akhir pengumuman suara
pemenang pemilihan umum. Kesemuanya tentunya sudah diatur oleh
peraturan perundang-undangan pemilihan umum, khusus untuk pemilihan
kepala daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah No.6
Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sehingga tahapan yang
panjang tersebut tidak mungkin untuk dipaksakan berlakunya. Putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala
daerah ulang di Jawa Timur selain menurut aturan dilarang, juga waktu yang
digunakan untuk melakukan pemilihan ulang melampaui batas waktu yang
telah ditentukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dituliskan di
depan, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut.
1. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD
1945 pasal 18, 22E, 24C, dan UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pasal 1, 10, 74, 75, 77. Peraturan yang tersebut
dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi tersebut tidak diperhatikan dalam membuat suatu keputusan
hukum oleh hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan
sengketa pemilihan kepala daerah Jawa Timur, dan putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut dapat dikategorikan putusan Ultra Petita.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang
pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan
undang-undang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004 pasal
57, 78, 81, 103, 104, 106 dan UU No.12 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah pasal 233 dan 236), dimana peraturan tersebut sebenarnya yang
mengatur tentang pemilihan kepala daerah.
B. Implikasi
1. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-
VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur, yang
dapat dikategorikan putusan Ultra Petita, maka akan berimplikasi
menjadi preceden yang akan terulang dikemudian waktu terkait dalam
penyelesaian permasalahan perselisihan hasil pemilihan umum oleh
Mahkamah Konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
2. Mahkamah Konstitusi secara hukum mendapatkan wewenang untuk
menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah seperti yang
disebutkan dalam Pasal 236 UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan
atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang mana
putusan Mahkamah Konstitusi akan berimplikasi; demi keadilan yang
demokratis putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yang harus
diterima oleh semua pihak bersengketa.
C. Saran
1. Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum, maka semua yang
dilakukan harus berdasarkan atas hukum. UUD 1945 sebagai peraturan
perundang-undangan tingkat tertinggi (grundnorm) harus ditaati,
karena UUD 1945 sebagai sumber hukum bagi peraturan hukum di
bawahnya. UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagai pelaksanaan UUD 1945 terkait wewenang Mahkamah
Konstitusi menjadi acuan bagi Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan tugas wewenang dan kewajibannya. Karena undang-
undang tersebut menjadi aturan yang dijadikan pedoman untuk
menyelesaikan permasalahan hukum.
2. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan UU No.12
Tahun 2008 atas perubahan kedua UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang secara khusus mengatur pemilihan kepala
daerah dan penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan kepala
daerah harus dilaksanakan dengan konsisten terkait masalah
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Sehingga permasalahan
perselisihan pemilihan kepala daerah tidak merugikan rakyat di daerah
dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang berdemokratis.
Top Related