ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …
Transcript of ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-
XIV/2016 TENTANG LGBT DAN KUMPUL KEBO DITINJAU DARI
HUKUM NASIONAL
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Hukum Tata Negara
Pada Fakultas Syariah
Oleh :
ROMI SAPUTRA
NIM : SPI 141864
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
1440 H/2018M
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (SI) di Fakultas Syariah
UIN STS Jambi.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN STS Jambi.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN STS Jambi.
Jambi, Mei 2018
Romi Saputra
iii
3 persetujuan pembimbing
iv
4 halaman pengesahan
v
MOTTO
Dan (kami jugatelahmengutus) Luth (kepadakaumnya). (ingatlah)
tatkalaDiaberkatakepadamereka:
"Mengapakamumengerjakanperbuatanfaahisyahitu, yang
belumpernahdikerjakanolehseorangpun (di duniaini) sebelummu?
Sesungguhnyakamumendatangilelakiuntukmelepaskannafsumu
(kepadamereka), bukankepadawanita, malahkamuiniadalahkaum yang
melampauibatas. (Al-A'raf : 80-81).
Dan janganlahkamumendekatizina;
Sesungguhnyazinaituadalahsuatuperbuatan yang keji.dansuatujalan yang
buruk.(Al-Isra :32).
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil’alamiin dengan rahmat allah SWT Skripsi ini saya
persembahkan kepada orang-orang yang telah memberikan cinta, kasih, perhatian,
serta motivasi dalam menuntut ilmu.
Kedua orang tua tercinta :
Ayahanda Muhammad Sobirindan Ibunda Juraiyah tercinta yang telah
mendidikku dengan penuh kegigihan dan kesabaran, yang tak henti-hentinya
menyelipkan namaku dalam setiap do’a nya, berkat do’a dan dorongan motivasi
beliau berdualah saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuksemua
yang ayah ibu berikan selama ini, harapan besarku semoga skripsi ini mejadi
hadiah indah bagi Ayah dan Ibu.
Saudara-saudaraku Serta KakekdanNenektersyang :
MeriSusanti dan NetiZandilasertaKakekdanNenek untuk orang yang selalu ada
memberikan semangat dan mendo’akan keberhasilanku.
Sahabat Seperjuangan Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah UIN
STS Jambi :
Utari, Gusti, Riska, serli, ilma, santi, puput, mila, nada, walidaya, rika, tika,
novia, puji,yulizar, dayat, faruq, beni, sudirman, trendi, septiadi, sepri, yanto,
rama, sadrak, syafi’i, raden, jaiz, rofiqi, iqbal, kelas B Jurusan Hukum Tata
Negara yan telah memberi dukungan dan motivasi.
Teman-temanposko 7 desaPetajen :
Eli, Rina, Desi, Erma, Anjela, Eka, Riska, Okta, Kiki, Ana, Mardiah,
Muzaimah, Yulizar, Husayri, Khepin, Udin, Firdaus, Ali, Madon, Syanwani,
May Firwan, Kukerta posko 7 desa Petajen yang telah memberikan dukungan
dalam penyelesaian skripsi ini terimakasih untuk Persaudaraan, tawa, hingga
tangis yang takkan terlupakan.
Teman-temankos :
Ari, Riki, Mael, Risky, danAsrof yang telah memberi semangat serta motivasi
dalam penyusunan skripsi ini.
Almamaterku tercinta UIN STS Jambi, tempat penulis menimba ilmu.
vii
ABSTRAK
Skrispsi ini bertujuan untuk mengungkapakan alasan penolakan uji materi
pasal 284, 285 serta 292 pada putusan Mahkamah Konstitusi no 46/PUU-
XIV/2016 tentang LGBT dan kumpul Kebo, sekaligus menganalisis bagaimana
Dasar penolakan uji materi Mahkamah Konstitusi mengenai LGBT dan kumpul
kebo seperti dalam pasal 284,285 serta 292 KUHP. Dalam penelitian skripsi ini
menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah Pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil kesimpulan sebagai berikut : Para
pemohon bukan lagi sekadar memperluas ruang lingkup perbuatan atau tindakan
yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan pidana atau tindak pidana tetapi
juga mengubah sejumlah hal pokok atau prinsip dalam hukum pidana, bahkan
merumuskan tindak pidana baru. Sebab, dengan permohonan demikian secara
implisit Pemohon memohon agar Mahkamah mengubah rumusan delik yang
terdapat dalam pasal-pasal KUHP yang dimohonkan. Secara substansial,
permohonan para Pemohon bukan lagi sekadar memohon kepada Mahkamah
untuk memberi pemaknaan tertentu terhadap norma undang-undang yang
dimohonkan, bahkan bukan pula sekadar memperluas pengertian yang terkandung
dalam norma undang-undang yang dimohonkan pengujian itu, melainkan benar-
benar merumuskan tindak pidana baru. Dapat disimpulkan bahwasanya
mahkamah konstitusi tidak melegalkan LGBT dan Kumpul kebo karena
permohonan yang dimohonkan oleh pemohon sudah melampaui kewenangan dari
Mahkamah Konstitusi.Kemudian mengenai LGBT dan Kumpul Kebo ditinjau dari
segi hukum nasional bahwasanya pasal 284,285 serta 292 masih banyak terdapat
kekosongan hukum sehingga diperlukan pembentukan KUHP yang baru agar
lebih disempurnakan.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS
YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-XIV/2016
TENTANG LGBT DAN KUMPUL KEBO DITINJAU DARI HUKUM
NASIONAL.“ Sholawat beserta salam dijunjungkan kepada nabi besar
Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia dari zaman kebodohan
hingga ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan saat ini.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat
kesalahan dan tidak sempurna dalam penyajian maupun materinya, namun berkat
kesungguhan serta bimbingan dosen pembimbing dan berbagai pihak lainnya
maka segala kesulitan dan hambatan yang dihadapi itu dapat diatasi sehingga
penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.
Melalui skripsi ini penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan dengan
ucapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN Sultan Thaha
Saifuddin Jambi.
2. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN
Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. Hermanto Harun Lc, M. HI., Ph.D selaku Wakil Dekan
Bidang Akademik dan sekaligus Pembimbing I, Ibu Dr. Rahmi
Hidayati, S.Ag.,M. HI selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi
Umum, Perencanaan dan Keuangan, Dr. Yuliatin, S.Ag., M. HI selaku
Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan kerja sama di Lingkungan
Fakultas UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Bapak Abdul Razak, S. HI., M. IS selaku Ketua Jurusan sekaligus
Pembimbing II dan Ibu Ulya Fuhaidah, S. Hum.,M.Si selaku
Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
ix
5. Dosen dan staf pengajar pada jurusan Hukum Tata Negara yang telah
memberikan dorongan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
6. Karyawan dan karyawati dilingkungan Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri Jambi
Disamping itu, disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak untuk dapat memberikan
kontribusi pemikiran demi perbaikan skripsi ini. Kepada allah swt kita memohon
ampunan-nya, dan kepada manusia kita memohon kemaafannya. Semoga amal
kebajikan kita dinilai seimbang oleh allah swt.
Jambi, Mei 2018
Romi Saputra
SPI 141864
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
MOTTO .......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 4
C. Batasan Masalah ............................................................................... 5
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 5
E. Kerangka Teori ................................................................................. 6
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 10
G. Metode Penelitian ............................................................................. 14
a. Pendekatan Penelitian ................................................................. 14
b. Jenis dan Sumber Data................................................................ 15
c. Instrument Pengumpulan Data ................................................... 16
d. Teknik Analisis Data .................................................................. 17
H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 18
BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA
A. Defenisi Mahkamah Konstitusi ........................................................ 19
B. Sejarah Mahkamah Konstitusi .......................................................... 22
C. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ................................................... 26
D. Fungsi/Tugas Mahkamah Konstitusi ................................................ 29
xi
E. Wewenang Mahkamah Konstitusi .................................................... 30
BAB III : GAMBARAN UMUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Putusan Makamah Konstitusi .......................................................... 33
B. Jenis Putusan ................................................................................... 33
C. Sifat Putusan .................................................................................... 35
D. Pengambilan Keputusan .................................................................. 37
E. Isi Putusan ....................................................................................... 38
F. Syarat dari Putusan Mahkamah Konstitusi ...................................... 44
BAB IV :PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-
XIV/2016 TENTANG LGBT DAN KUMPUL KEBO
A. Dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Uji
Materi Pasal 284, 285, dan 292 Dalam Putusan No
46/PUU_XIV/2016 Tentang LGBT dan Kumpul Kebo .................. 46
B. Putusan No 46/PUU_XIV/2016 Berdasarkan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi ...................................................................... 58
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 68
B. Saran-saran ....................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berdasarkan
kepada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, tanggal
22 Januari 1988 Nomor 158/1987 dan 0543b/1987, selengkapnya adalah sebagai
beikut :
A. PenulisanKosakata Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
ا
ب
ث
ج
ح
خ
د
د
ر
ز
ش
ش
ص
ض
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
و
و
ء
ي
Alif
Ba
Ta
Sa
Jim
Ha
Kha‟
Dal
Zal
Ra‟
Za‟
Sin
Syin
Sad
Dad
Ta
Za
„ain
Gin
Fa‟
Qaf
Kaf
Lam
Mim
Nun
Wawu
Ha‟
Hamzah
Ya‟
-
B, b
T, t
S, s
J, j
H, h
KH, kh
D, d
Z, z
R, r
Z, z
S, s
SY, sy
S, s
D, d
T, t
Z, z
-
Gg, g
F, f
Q, q
K, k
L, l
M, m
N, n
W, ww
H, h
„
Y, y
Tidakdilambangkan
-
-
Dengantitik di atas
-
Dengantitik di bawah
-
-
Dengantitik di atas
-
-
-
-
Dengantitik di bawah
Dengantitik di bawah
Dengantitik di bawah
Dengantitik di bawah
Dengan koma terbalik
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Apastrof
-
xiii
B. Penulisan Konsonan Rangkap
Huruf Musyaddad (di-tasydid) ditulis rangkap, seperti :
يتعقدي
عدة
Ditulis
Ditulis
Muta‟aqqidin
„iddah
C. Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
حبت
خسيت
Ditulis
Ditulis
Hibbah
Jizyah
Ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah
terserap kedalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat dan sebagainya,
kecuali bila dikehendaki lafal aslinya.
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah
maka ditulis dengan h.
‟Ditulis Karamatul al-auliya ريت الاونياء
2. Bila ta’marbutha hidup atau harakat, fathah, kasrah, dan dammah
ditulis t
Ditulis Zakatulfitri زكاةانفطر
D. Vokal Pendek
Fathah
Kasrah
Dammah
Ditulis
Ditulis
Ditulis
A
I
U
E. Vokal Panjang
Fathah + Alif
جاههيت
Fathah + yamati
يسعى
Kasrah + yamati
كريى
Dammah + wawumati
فروض
Ditulis
Ditulis
Ditulis
Ditulis
Ditulis
Ditulis
Ditulis
Ditulis
A
J ahiliyyah
A
Yas‟ a
I
Karim
U
Furud
xiv
F. Vokal Rangkap
Fathah + alif
بيكى
Fathah + wawumati
قول
Ditulis
Ditulis
Ditulis
Ditulis
Ai
Bainakum
Au
Qaulan
G. Vokal Rangkap Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata
dipisahkan dengan Apostrof
تىاا
اعدث
نتشكرتى
Ditulis
Ditulis
Ditulis
A‟antum
U‟iddat
La‟insyakartum
H. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf Qomariyyah
انقرا
انقياش
Ditulis
Ditulis
Al-Qur‟an
Al-Qiyas
2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf / (el)
nya.
انساء
انشص
Ditulis
Ditulis
As-Sama‟
Asy-Syams
I. Penulisan kata-kata dalamrangkaiankalimat
Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya
دوانفروض
اهم انست
Ditulis
Ditulis
Zawi al-furud
Ahl as-sunnah
xv
DAFTAR SINGKATAN
BPHN : Badan Pembinaan Hukum Nasional
DKI : Daerah Khusus Ibukota
DPR : Dewan Permusyawaratan Rakyat
HAM : Hak Asasi Manusia
ICJR : Institute for Criminal Justice Reform
KUHAP : Kitah Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana
LGBT : Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender
MA : Mahkamah Agung
MK : Mahkamah Konstitusi
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
NGO : Non-Governmental Organization
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PUU : Pengujian Undang-undang
QS : Quran Surah
RI : Republik Indonesia
RPH : Rapat Permusyawaratan Hakim
UNDP : United Nations Development Program
USAID : United State Agency For International Development
UU : Undang Undang
UUD : Undang Undang Dasar
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di zaman sekarang, fenomena LGBT semakin ramai diperbincangkan.
Hal tersebut disebabkan banyaknya pemberitaan LGBT itu sendiri.Euforia
eksistensi LGBT tidak lepas dari pengakuan dunia internasional terhadap
LGBT. Amerika Serikat dengan mengatasnamakan HAM, telah
mendeklarasikan dukungannya bagi hak asasi LGBT. Pada sidang dewan Hak
Asasi Manusia PBB bulan Juni 2011, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan
Amerika Latin, serta Uni Eropa mengupayakan lolosnya Resolusi PBB yang
pertama mengenai HAM bagi LGBT. Salah satu realisasi PBB dan
Pemerintah Amerika Serikat terhadap Resolusi PBB terkait hak asasi LGBT
adalah adanya dukungan UNDP bersama-sama dengan USAID terhadap
program kampanye LGBT di Asia Tenggara, Being LGBT in Asia. Di
Indonesia, program tersebut diwujudkan dalam kegiatan dialog komunitas
LGBT Nasional Indonesia di Bali pada bulan Juni 2013.1
Komunitas LGBT sudah mulai melakukan propaganda dalam
menyampaikan pandangan hidupnya.Meskipun bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi adat ketimuran serta berpedoman pada agama menolak
keras perbuatan tersebut dan mencegah supaya pelaku tidak bertambah
banyak.Pengaruh yang ditimbulkan berdampak buruk bagi kesehatan
1 Sulis Winurini, "Memaknai Perilaku LGBT Di Indonesia (Tinjauan Psikologi
Abnormal)", jurnal Vol. VIII, No. 05/I/P3DI/Maret/2016, hlm. 9.
2
psikologis anak dan remaja. Bagaimanapun LGBT merupakan bentuk
perilaku yang tidak wajar dan menerjang norma kehidupan bangsa Indonesia.
Berpijak pada deskrispsi di atas, maka diperlukan usaha serius agar anak-anak
kita tidak terpengaruh dengan segala bentuk kampanye yang dilakukan oleh
aktivis LGBT.2
Kemudian penomena kumpul kebo atau tinggal serumah/seatap antara
seorang laki-laki dan perempuan tanpa adanya status hubungan yang sah
menurut hukum juga sering kita jumpai di kota-kota besar di Indonesia. Salah
satu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah “kumpul
kebo” yang terkesan menjadi hal yang biasa dengan anggapan bahwa hal
tersebut adalah bagian dari kehidupan modern.Menurut mereka yang
menjalani kumpul kebo berpendapat ini adalah suatu kebebasan dan
menurutnya dia dan juga pasangan kumpul kebo-nya tidak merugikan
ataupun melanggar hukum yang ada.
Pada dasarnya dalam konteks negara hukum Indonesia, kita harus
menimbang segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam
kacamata hukum.Artinya, antar warga negara dapat saja berbeda pendapat
dalam suatu hal. Namun, hal tersebut harus dikembalikan pada kajian hukum
untuk mendapatkan „status yuridis‟-nya: apakah dapat dibenarkan ataukah
tidak.
Beberapa waktu yang lalu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
(MK) telah menolak permohonan uji materi Pasal 284, 285, dan 292 Kitab
2 Proceding, Tinjauan Terhadap LGBT Dari Presfektif Hukum Pendidikan Dan Psikologi,
( Metro Lampung : Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo, 2016) hlm 43
3
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimohonkan oleh Euis Sunarti
dan sebelas Pemohon lainnya. Ketiga Pasal tersebut mengatur tentang
kejahatan terhadap kesusilaan.Dalam judicial review tersebut, seluruh
Pemohon meminta agar MK memperluas ruang lingkup delik kejahatan
terhadap kesusilaan.3
Para pemohon dalam permohonanya meminta agar Pasal 284-285
KUHP tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam
ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.Kemudian, Pemohon memohon
agar MK mengatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki
terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap lak-
laki.Lebih lanjut, Para Pemohon meminta frasa “belum dewasa” yang
terdapat dalam Pasal 292 KUHP dihapuskan sehingga semua perbuatan
seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual harus dilarang
tanpa membedakan batasan usia korban, baik belum dewasa maupun telah
dewasa.
Dengan ditolaknya permohonan uji materi tersebut, banyak dari kita
yang mengatakan “rezim ini melegalkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender) dan kumpul kebo!”4Dengan adanya pernyataan yang
dilontarkan dari pihak tersebut, sekiranya mereka terlebih dahulu memahami
3 Kumparan.com, Putusan MK: Kumpul Kebo dan LGBT Tak Bisa Dipidana,
http://www.tribunislam.com/2017/12/putusan-mk-kumpul-kebo-dan-lgbt-tak-bisa-dipidana.html,
akses 11 januari 2018. 4 Kristian Erdianto, Penjelasan MK Soal Tuduhan Putusan Yang Melegalkan Zina dan
LGBT,https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/20155601/penjelasan-mk-soal-tuduhan-
putusan-yang-melegalkan-zina-dan-lgbt, akses 11 Januari 2018.
4
fungsi dan kewenangan MK sehingga mereka tidak beranggapan MK telah
melegalkan LGBT dan perzinahan.
Secara akademis, penulis menilai bahwa putusan MK di atas tersebut
sudah tepat.Sebab, MK tidak berwenang untuk mengubah undang-
undang.MK hanya berwenang melakukan pengkajian apabila ada undang-
undang yang bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusi).Tapi, dikalangan
masyarakat luas, putusan MK ini bisa menimbulkan misinterpretasi dan
berujung menghadirkan polemik di masyarakat banyak menganggap
keputusan tersebut melegalkan LGBT Dan Kumpul Kebo.Dari sinilah penulis
tertarik untuk menganalisis secara yuridis tentang “putusan mahkamah
konstitusi no 46/PUU-XIV/2016 ini mengenai LGBT dan kumpul kebo
ditinjau dari Hukum Nasional”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah dasar putusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan
uji materi pasal 284, 285, dan 292 dalam putusan No
46/PUU_XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul Kebo?
2. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU_XIV/2016
sudah sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi?
5
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas batasan masalah penelitian
ini berfokus pada putusan mahkamah konstitusi no 46/PUU-XIV/2016
tentang LGBT dan kumpul kebo pasal 284, 285 dan 292 KUHP ditinjau dari
hukum nasional yang terdiri dari hukum belanda (KUHP), hukum Islam dan
hukum adat di Indonesia.
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Mengetahui dasar permasalahan putusan Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan uji materi pasal 284, 285, dan 292 dalam
putusan No 46/PUU_XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul Kebo.
b. Mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan
kewenangan Mahkamah Konstitusi.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain :
1. Kegunaan Teoritis
a. Menambahkan pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum yang
mengatur LGBT dan Kumpul Kebo di Indonesia.
b. Mengetahui Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia.
6
c. Memperluas cakrawala berfikir penulis dan memberikan
sumbangan pemikir bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
d. Sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan Sarjana Setrata
Satu (S1) di Fakutas Syariah, Universitas Islam Negeri sultan
Thaha Syaifuddin Jambi.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan referensi
kepustakaan dan bahan bacaan Khususnya Jurusan Hukum Tata
Negara dan dosen Fakultas Syari‟ah lainnya.
b. Hasil peneitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka
yang melakukan penelitian serupa.
E. Kerangka Teori
1. Teori Kelembagaan
Menurut Nugroho kelembagaan diartikan sebagai aturan main,
norma-norma, larangan-larangan, kontrak, kebijakan dan peraturan atau
perundangan yang mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam
masyarakat atau organisasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam
mengontrol lingkungannya.5
Sistem kerjasama antar lembaga Negara tidak lagi bersifat
horizontal, hal ini disebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi Negara melainkan sama dengan lembaga lainnya, baik
dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan juga lembaga yudikatif. Pasca
5Subakti dan Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Grasindo; Jakarta 2010. Hlm. 32
7
amandemen UUD 1945, telah dibentuk lembaga yudikatif baru yang
bertugas untuk menjaga dan menafsirkan konstitusi yaitu MK.
Berdasarkan pasal 24 dan 24C UUD menyebutkan kedudukan dan
kewenangan MK sebagai lembaga Negara bidang yudikatif sehingga
terjadi peralihan kewenangan menafsirkan konstitusi dari MPR kepada
MK.
Peralihan kewenangan dalam menafsirkan konstitusi merupakan
terobosan hukum baru dalam ketatanegaraan Indonesia.Oleh karena itu
dalam melakukan fungsi peradilan terkait kewenangan MK yang diatur
dalam pasal 24C UUD 1945, MK melakukan penafsiran terhadap
konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan
tertinggi untuk menafsirkan konstitusi karena disamping sebagai
pengawal konstitusi, MK juga sebagai the sole interpreter of the
constitution.
2. Teori Konstitusi
Terdapat dua istilah terkait dengan norma atau ketentuan dasar dalam
kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Kedua istilah tersebut adalah
Konstitusi dan undang-undang dasar.
Konstitusi berasal dari bahasa Prancis, constituer, yang berarti
membentuk.Maksud dari istilah tersebut adalah pembentukan suatu negara
atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Dalam bahasa latin, kata
konstitusi merupakan gabungan dua kata, yakni “cume”, berarti bersama dan
“statuere”, berarti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan,
8
menetapkan sesuatu.6Sedangkan undang-undang dasar merupakan terjemahan
dari istilah Belanda, grondwet. Kata grond berarti tanah atau dasar, dan wet
berarti undang-undang. Istilah konstitusi (constitution) dalam bahasa Inggris
memiliki makna yang lebih luas dari undang-undang dasar, yakni keseluruhan
dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang
mengatur secara mengikat cara bagaimana pemerintah diselenggarakan dalam
masyarakat.
Konstitusi menurut Miriam Budiardjo, adalah suatu piagam yang
menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan
suatu bangsa.Sedangkan undang-undang dasar merupakan bagian tertulis dari
konstitusi. Dari pengertian konstitusi di atas, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada
penguasa.
2. Dokumen tentang pembagian tugas dan wewenangnya dari sistem
politik yang diterapkan.
3. Deskripsi yang menyangkut hak asasi manusia. Secara garis besar,
tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wanang
pemerintah dan menjamin hak- hak rakyat yang diperintah, dan
menetapkan pelaksanaan kekuasan yang berdaulat . Menurut Bagir
Manan, hakekat dari konstitusi merupakan perwujudan paham tentang
konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap
6 Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, (Jakarta : PT Gramedia
Pustaka, 2008) hlm 171
9
kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak
warga negara maupun setiap penduduk di pihak lain.
Sedangkan menurut Sri Soemantri, dengan mengutip pendapat Steenbeck,
menyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi7, yaitu:
1. Jaminan hak-hak manusia;
2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;
3. Pembagian dan pembatasan kekuasaan.
Dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi
meliputi:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3. Peradilan yang bebas dan mandiri.
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai
sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat cakupan isi konstitusi di atas merupakan dasar utama dari suatu
pemerintah yang konstitusional.Namun demikian, indikator suatu negara atau
pemerintah disebut demokratis tidaklah tergantung pada konstitusinya.
Sekalipun konstitusinya telah menetapkan aturan dan prinsip-prinsip diatas,
jika tidak diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan tata
7Subroto, Legislagi Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No
46/Puu-Viii/2010 Ditinjau Dari Teori Hukum Hans Kelsen Tentang Konstitusi, Justitia Islamica,
Vol. 11/No. 2/Jul-Des. 2014. Hlm. 263.
10
pemerintahan, ia belum bisa dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau
menganut paham konstitusi demokrasi.
F. Tinjauan Pustaka
Phenomena LGBT dan Kumpul Kebo ini sebenarnya sudah banyak
yang meneliti secara khusus tentang permasalahan ini diantaranya :
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Abd.Azis Ramadhani
mahasiswa program studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddi Makassar, ditulis pada tahun 2012, dengan judul homoseksual
dalam perspektif hukum pidana dan hukum Islam. Suatu Studi Komparatif
Normatif.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perspektif
antara Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
perilaku homoseksual serta perbedaan sanksi antara Hukum Islam dan KUHP
terhadap perilaku tersebut.Untuk memperoleh data yang diinginkan, yakni
membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan judul skripsi.8
Temuan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain menunjukan
bahwa dalam KUHP, pelanggaran homoseksual hanya sebatas hubungan
seksual sedangkan Hukum Islam tidak membatasinya dalam bentuk hubungan
seksual tetapi juga melarang penyerupaan terhadap lawan jenis. Dalam
KUHP, perilaku hubungan sejenis hanya dilarang apabila dilakukan dengan
orang yang belum dewasa sedangkan dalam Islam, perilaku hubungan sejenis
adalah haram, baik itu dilakukan dengan orang yang belum dewasa maupun
8Abd. Azis Ramadhani,Homoseksual Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum
Islam. Suatu Studi Komparatif Normatif, Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin
Makassar,(2012), hlm. x
11
sesama orang dewasa. Dalam Islam, untuk dikatakan sebagai hubungan
sejenis, dilihat dari bentuk fisiknya secara lahiriah sedangkan KUHP
didasarkan atas status kelaminnya berdasarkan hukum. Tujuan pelarangan
hubungan sejenis dalam KUHP adalah untuk melindungi anak kecil dari
pelaku homoseksual sedangkan tujuan pelarangan hubungan sejenis dalam
Islam adalah demi terjaganya dan tidak terputusnya keturunan manusia,
memuliakan manusia serta mengajarkan manusia untuk bersyukur atas nikmat
Allah SWT.
Sesuai dengan asas tidak ada pidana tanpa kesalahan, maka unsur
kesalahan yang terdapat dalam Pasal 292 KUHP berupa (1) kesengajaan
yakni diketahuinya temannya sesame jenis berbuat cabul itu belum dewasa;
dan (2) berupa culpa, yakni sepatutnya harus diduganya belum dewasa.
Mengenai sepatutnya harus diduga berdasarkan keadaan fisik dan psikis ciri-
ciri orang belum dewasa atau yang umurnya belum 21 tahun.
KUHP mengancam sanksi pidana kepada orang dewasa yang
melakukan hubungan sejenis dengan orang yang belum dewasa, artinya ialah
pidana hanya dikenakan apabila si pembuatnya adalah orang dewasa dan
KUHP tidak menganggap orang yang belum dewasa sebagai si pembuat.
Dewasa sendiri menurut Pasal 292 KUHP sama dengan dewasa menurut
Pasal 330 BW yakni berumur 21 tahun atau telah menikah. Ini berarti hanya
satu pihak yang dianggap pembuat dari hubungan sejenis menurut
KUHP.Sedangkan hukum Islam menganggap pembuat adalah para pelaku
hubungan sejenis sehingga pertanggung jawaban pidana dibebankan kepada
12
kedua-duanya. Kecuali apabila korban adalah orang yang belum dewasa.
Dewasa sendiri menurut Islam adalah saat memasuki masa akil baligh,
sehingga terdapat variasi umur dalam menentukan kedewasaan.9
Kedua, penelitian yang secara khusus dilakukan oleh Agustiawan
mahasiswa Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Alauddin Makassar, pada tahun 2016.Meneliti tantang
analisis tindak pidana perzinahan (Studi komparatif antara hukum Islam dan
hukum nasional). Tujuan penelitian untuk mengetahui tindak pidana
perzinahan menuruthukum Islam dan hukum nasional dan untuk mengetahui
perbandingan tindakpidana perzinahan menurut hukum Islam dan hukum
nasional. Al-Qur‟an secara jelas melarang tindak pidana perzinahan dalam
QS al-Isra‟/ 17: 32, menjelaskan tentang larangan mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk dan QS al-Nur /24: 2, menjelaskan tentang hukuman yang akan
didapatkan oleh pelaku zina.10
Setelah melakukan pembahasan dan analisis dengan memperhatikan
pokok permasalahan yang diangkat dengan judul Analisis Tindak Pidana
Perzinahan (Studi komparatif antara hukum Islam dan hukum nasional), maka
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa menurut hukum Islam, semua
pelaku zina pria dan wanita dapat dikenakan had, yaitu hukuman dera bagi
yang belum kawin, misalnya (dipukul dengan tongkat, sepatu, dan tangan).
9Ibid.hlm. 69
10 Agustiawan, Analisis Tindak Pidana Perzinahan (Studi Komparatif Antara Hukum
Islam Dan Hukum Nasional), Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Alauddin Makassar, (2016),
Hlm. xx
13
Dan dera ini tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera.Sedangkan
menurut hukum nasional (KUHP) tidak semua pelaku zina diancam dengan
hukuman pidana. Misalnya pasal 284 ayat 1 dan 2 menetapkan ancaman
pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan
zina, padahal seorang atau keduanya telah kawin, dan dalam padal 27 KUH
Perdata (BW) berlaku baginya11
. Ini bisa diartikan bahwa pria dan wanita
yang melakukan zina tersebut belum kawin, maka mereka tidak terkena
sanksi hukuman tersebut. Tidak kena hukuman juga bagi keduanya asalkan
telah dewasa dan suka sama suka (tidak ada unsur paksaan) atau wanitanya
belum dewasa dapat dikenakan sanksi, hal ini diatur dalam KUHP pasal 285
dan 287 ayat 1.
Menurut hukum Islam, tidak memandang zina sebagai klach delict
(hanya bisa dituntut) atas pengaduan yang bersangkutan.Sedangkan menurut
hukum nasional (KUHP), perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan
suami/istri yang tercemar (pasal 284 ayat 2).
Dari penelitian diatas dapat kita bedakan bahwasanya penelitian yang
dilakukan oleh Abd.Azis Ramadhani diatas bertujuan untuk mengetahui
perbedaan perspektif antara hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang perilaku homoseksual serta perbedaan sanksi antara hukum
Islam dan KUHP terhadap perilaku tersebut.
Dan penelitian yang kedua yang dilakukan oleh Agustiawan bertujuan
untuk mengetahui tindak pidana perzinahan menurut hukum Islam dan hukum
11
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu didalam KUHP, cet. Ke- 5 (Jakarta: Sinar Grafika,
2014) , hlm. 160.
14
nasional dan untuk mengetahui perbandingan tindak pidana perzinahan
menurut hukum Islam dan hukum nasional. Sedangkan penelitian yang akan
saya lakukan adalah berfokus kepada putusan Mahkamah Konstitusi no
46/PUU-XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul kebo ditinjau Dari Hukum
Nasional yang meliputi dasar penolakan Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan uji materi menenai pasal 284,285 dan 292 tentang LGBT dan
kumpul kebo.
G. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (library research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka.12
Menurut Abdul Rahman Sholeh,
penelitian kepustakaan (library research) ialah penelitian yang mengunakan
cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang
ada di perpustakaan, seperti buku, majalah, dokumen, catatan kisah-kisah
sejarah.13
Atau penelitian kepustakaan murni yang terkait dengan obyek
penelitian. Adapun dalam kaitannya dengan hal ini, penulis paparkan
prosedur penelitian yang tersusun sebagai berikut :
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
Pendekatan yuridis normatif.Untuk itu diperlukan penelitian yang
merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang
12
Mahmud,metode penelitian pendidikan, (Bandung: pustaka setia, 2011), hlm. 31 13
Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangn untuk Bangsa, ( Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 63
15
dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-
teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal
pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-
buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penelitian ini.
Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan
penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.14
b. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian kepustakaan (library research) ini, sumber data
yang merupakan bahan tertulis terdiri atas sumber data primer dan sumber
data sekunder sebagai berikut ;
1. Sumber data primer
Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung
dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang
dicari.Data ini disebut juga dengan data tangan pertama.Atau
data yang langsung yang berkaitan dengan obyek riset.Sumber
data dalam penelitan ini adalah Putusan No
46/PUU_XIV/2016.
14
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.
16
2. Sumber data sekunder
Adapun sumber data sekunder adalah data yang diperoleh
lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subyek penelitiannya.
Dalam studi ini data sekundernya adalah buku-buku yang
mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari
kitab maupun buku-buku bacaan yang berkaitan dan dijadikan
acuan serta artikel-artikel dari media elektronik maupun media
cetak digunakan sebagai bahan data sekunder dalam penelitian
ini yang tentunya berkaitan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi No 46/PUU_XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul
Kebo.
c. Instrumen Pengumpulan Data
Instrument pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti
itu sendiri untuk melakukan penelitian. Sedangkan alat pengumpulan data
untuk jenis penelitian pustaka (library research)15
ini adalah analisis
dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari
kepustakaan, yaitu dari arsip dan dokumen, yang ada hubungannya
dengan penelitian tersebut. Nasution menyatakan dokumentasi adalah
mengumpulkan data dengan cara mengalir atau mengambil data-data dari
catatan, dokumentasi, administrasi yang sesuai dengan masalah yang
15
Sayuti Una (ed), Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, (jambi: syariah press,2014),
hlm 38.
17
diteliti. Dalam hal ini dokumentasi diperoleh melalui dokumen-dokumen
atau arsip-arsip dari lembaga yang diteliti.
Menurut Hartinis, “dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-
hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.” Dokumentasi
dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen
sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan
untuk meramalkan.Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan
data.Adapun di dalam skripsi ini penulis mengumpulkan data mengenai
Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-XIV/2016 tentang LGBT dan
Kumpul Kebo.
d. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh, dianalisis secara metode Studi kepustakaan
dengan cara pengumpulan data dengan membaca, memahami, dan
mengutip, merangkum, dan membuat catatan-catatan serta menganalisis
peraturan perundang-undangan. Dari analisis data tersebut, dilanjutkan
dengan menarik kesimpulan dengan motode induktif yaitu suatu cara
berfikir khusus lalu kemudian diambil kesimpulan secara umum guna
menjawab permasalahan yang diajukan atau mengambil kesimpulan dari
data-data yang bersifat khusus kemudian ditarik generalisasi yang
mempunyai sifat umum.
18
H. Sitematika Penulisan
Untuk mendapatkan pemahaman secara runtut, pembahasan dalam
penulisan skripsi ini akan disistematisasi sebagai berikut:
Pembahasan diawali dengan BAB I, Pendahuluan.BAB ini pada
hakikatnya menjadi pijakan bagi penulisan skripsi, baik mencakup
background, pemikiran tentang tema yang dibahas.
BAB I mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Batasan
Masalah, Tujuan Dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka
Teori, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Dan Sistematika Penulisan. BAB
II dipaparkan tentang Definisi Mahkamah Konstitusi.BAB III .dipaparkan
tentang Gambaran Umum Putusan Mahkamah Konstitusi, sejarah
pembentukannya serta tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi di
Indonesia. BAB IV dipaparkan mengenai dasar Mahkamah Konstitusi
menolak uji materi pasal 284, 285, dan 292 dalam putusan no 46/PUU-
XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul Kebo dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No 46/Puu-Xiv/2016 Tentang Lgbt Dan Kumpul Kebo. BAB V
merupakan akhir dari penulisan skripsi yaitu BAB V penutup yang terdiri dari
kesimpulan, saran-saran. Daftar Pustaka, Lampiran dan Curriculum Vitae.
19
BAB II
MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA
A. Definisi Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga negara yang terbentuk
setelah dilakukannya amandemen ketiga tehadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam
amandemen ketiga UUD 1945 dilakukan perubahan pada Bab IX mengenai
kekuasaan kehakiman dengan mengubah ketentuan pasal 24 dan
menambahkan tiga pasal baru dalam ketentuan pasal 24 UUD NRI 1945.
Ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi dalam UUD NRI 1945 disebutkan
dalam pasal 24 ayat (2) dan pasal 24C UUD NRI 1945.
Mahkamah Konstitusi menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
perubahan Ketua atau Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di
bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga kombinasi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat
dan cita demokrasi.16
Jimly Ashiddiqie menjelaskan bahwa pembentukan Mahkamah
Konstitusi pada stiap negara memiliki latar belakang yang beragam, namun
secara umum adalah berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan
yang otoriter menuju demokratis, sedangkan keberadaan Mahkamah
Konstitusi lebih untuk menyelesaikan konflik antar lembaga negara karena
16
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
20
dalam proses perubahan menuju negara yang demokratis tidak bisa dihindari
munculnya pertentangan antar lembaga negara.17
Selain itu, adanya kekosongan pengaturan pengujian (judicial review)
terhadap undang-undang secara tidak langsung telah menguntungkan
kekuasaan karena produk perundang-undangannya tidak akan ada yang
mengganggu gugat, dan karena itu untuk menjamin bahwa penyusunan
peraturan perundang-undangan akan selaras dengan konstitusi harus
ditentukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji.
Latar belakang perlunya pembentukan Mahkamah Konstitusi di negara
Republik Indonesia adalah berasal dari kenyataan banyaknya problem-
problem ketatanegaraan yang bermula dari perbedaan atau sengketa
menginterpretasikan UUD oleh lembaga-lembaga kenegaraan. Fungsi
Mahkamah Konstitusi pada awalnya oleh Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yaitu meliputi :
a. Untuk memeriksa dan mengadili sengketa di bidang hukum
ketatanegaraan.
b. Melakukan pengujian terhadap peraturan di bawah UUD.
c. Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan.
d. Mengadili pembubaran partai politik.
e. Mengadili persengketaan antar instansi pemerintah di pusat, atau
antar instansi pemerintah pusat-pemerintah daerah.
f. Mengadili suatu pertentangan undang-undang.
17
IRP.daulay, Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006). Hlm. 19.
21
g. Memberikan putusan atas gugatan yang berdasarkan UUD.
h. Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam
hal Dewan Perwakilan Rakyat meminta Majelis Permusyawaratan
Rakyat bersidang untuk menilai perilaku presiden yang dianggap
mengkhianati negara atau merusak nama baik lembaga
kepresidenan.
Berdasarkan ketentuan pasal 24C Ayat (3) perubahan ketiga UUD
1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh presiden, dan diajukan masing-masing tiga
orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden.
Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
menyebutkan alasan dari penetapan jumlah sembilan orang hakim konstitusi
yaitu :
a. Pada prinsipnya jumlah hakim konstitusi harus ganjil, yakni untuk
memudahkan pengambilan putusan.
b. Agar mewakilli seluruh aspirasi pemegang kekuasaan, yakni
Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden.
c. Contoh di beberapa negara lain yang sudah memiliki Mahkamah
Konstitusi, banyak diantaranya yang jumlah hakim konstitusinya
sebanyak sembilan orang.
d. Jumlah hakim sembilan orang dimaksudkan supaya persidangan lebih
cepat, singkat dan efisien.
22
Pengangkatan atau penetapan hakim konstitusi oleh presiden dengan
menerbitkan Keputusan Presiden bukan berarti para hakim konstitusi berada
di bawah presiden, melainkan dipandang sebagai salah satu tugas presiden
dalam kapasitasnya selaku Kepala Negara. Penerbitan keputusan presiden
tersebut ditentukan dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak
pengajuan calon hakim konstitusi diterima presiden, ini merupakan ketentuan
yang bersifat administratif.
Proses pengajuan atau perekrutan hakim konstitusi sepertinya
didominasi oleh nuansa kepentingan politik pemegang kekuasaan, karena hal
itu merupakan kewenangan internal dari Mahkamah Agung, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden. Hal ini tidak menutup kemungkinan
masuknya kepentingan politik yang ada, khususnya melalui jalur Dewan
Perwakilan Rakyat dan jalur Presiden.
Jimly Ashiddiqie juga mengatakan bahwa dalam konteks
ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal
konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan kontitusional ditengah
masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar
konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara
konsisten dan bertanggung jawab.
B. Sejarah Mahkamah Konstitusi
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara
terpisah dari Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus merupakan
konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern
23
(modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum
yang lebih rendah dengan normah hukum yang lebih tinggi.18
Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak lepas
menjelajah historis dari konsep dan fakta mengenai Judicial Review, yang
sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga Mahkamah
Konstitusi.
Sejarah judicial review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui
putusan supreme court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs
Madison” pada tahun 1803. Meskipun UUD Amerika Serikat tidak
menantumkan judicial review, Supreme Court Amerika Serikat membuat
putusan yang mengejutkan. Chief Justice John Marshall didukung empat
hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan
Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi. Kemudian, ini sangat
berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara.
Semenjak itulah, banyak Undang-Undang federal maupun Undang-Undang
negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme
Court.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan
oleh Hans Kelse (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik
dan Administrasi University of Vienna.19
Kelsen menyatakan bahwa
18
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, edisi ke-2
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 3. 19
Ibid, hlm. 3.
24
pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif
dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk
m\enguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak
memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut
tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, perlu dibentuk organ pengadilan
khusus berupa constitutional court, atau pengawasan konstitusionalitas
Undang-Undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa.
Pemikiran Kelsen mendorong Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri
sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di
dunia.20
Di Indonesia, adanya perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru
di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dari oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Dalam salah satu rapat BPUPKI, Mohammad Yamin menggaagas
lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan
konstitusi. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan
suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan
20
MakalahMahkamahKonstitusi,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/inf
oumum/artikel/pdf/makalah_makalah_17_oktober_2009.pdf. Diakses 25 April 2018.
25
perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang membanding Undang-Undang,
namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa
konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep
pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian
kekuasaan (distribution of power) selain itu tugas hakim adalah menerapkan
Undang-Undang, bukan menguji Undang-Undang, adapula kewenangan
hakim untuk melakukan pengujian Undang-Undang bertentangan dengan
konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan yang terakhir
sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal
tersebut serta pengalaman mengenai Judicial Review. Akhirnya, ide itu urung
diadopsi dalam UUD 1945.
Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945.
Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua
panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April
tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan
kewenangan melakukan uji materil atas Undang-Undang, memberikan
putusan atas pertentangan antar Undang-Undang serta kewenangan lain yang
diberikan Undang-Undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan
memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antar lembaga negara,
antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Dan setelah melewati perdebatan yang panjang, pembahasan mendalam
serta denngan mengkaji lembaga pengujiian konstitusional Undang-Undang
di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak terutama
26
para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah
Konstitusi diakomodir dalam perubahan ketiga UUD 1945. Hasil perubahan
ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi
nama Mahkamah Konstitusi dalam pasal 24 ayat (2) dan pasal 24C UUD
1945.
C. Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan
separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan
mendasar terhadap format kelembagaan negara pasa amandemen UUD 1945.
Berdasrkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara
disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada dipuncak struktur
sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum
perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke
sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan
Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing
diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga
negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara.
Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan
di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945,
kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga
27
melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat
pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada.
Artinya, semua lembaga berkedudukan dalam level yang sejajar atau
sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara
dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD
1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi
diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa
mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi.
Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan
check and balances antara satu sama lain.
Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal konstitusi (the guardian of
the constitution) terkait dengan empat wewenang dan satu kewajiban yang
dimiliknya. Hal itu membawa konsekuensi MK berfungsi sebagai penafsir
konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Konstitusi juga mengatur
penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi
konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam
konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu,
MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the
democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the
citizen’s constitutional rights) serta peindung hak asasi manusia (the
28
protector of human rights).21
Dalam hal ini MK memiliki kedudukan,
kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin
terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
Mekanisme peradilan konstitusi (constitution adjudication) itu sendiri
merupakan hal baru yang diadopsikan ke dalam sistem konstitusional
Indonesia dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Peradilan
konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-
sungguh dijalankan atau ditegakkan dalam kegiatan penyelenggaraan negara
sehari-hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda
apakah yang bersangkutan sungguh-sungguh melaksanakan UUD atau tidak
merupakan mekanisme yang sama sekali baru. Sebelumnya memang tidak
dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia.
Kedudukan dan peranan Mahkamah Konstitusi berada pada posisi
strategis dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia karena Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan yang terkait langsung dengan
kepentingan politik, baik itu dari pihak pemegang kekuasaan maupun pihak
yang berupaya mendapatkan kekuasaan dalam sistem kekuasaan di negara
Republik Indonesia. Hal ini menjadikan kedudukan Mahkamah Konstitusi
berada di posisi yang sentral sekaligus rawan terhadap intervensi atau
pengaruh kepentingan politik, khususnya dalam hal memutus perselisihan
hasil pemilihan umum, pembubaran partai politik, dan impeachment terhadap
presiden atau wakil presiden.
21
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo, 2013),
Hlm. 216.
29
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi, yaitu
dari sisi politik dan dari sisi hukum.Dari sisi politik ketatanegaraan,
keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan
pembentukan Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden.Hal itu
diperlukan agar Undang-Undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani
mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh
mayoritas rakyat.Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah
salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi
konstitusi.Prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara
hukum.Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.Negara kesatuan tidak hanya
dimaknai sebagai kesatuan wilayah geografis dan penyelenggaraan
pemerintahan. Di dalam prinsip negara kesatuan menghendaki adanya satu
sistem hukum nasional.Kesatuan sistem hukum nasional ditentukan oleh
adanya kesatuan dasar pembentukan dan pemberlakuan hukum yaitu UUD
1945.22
D. Fungsi/Tugas Mahkamah Konstitusi
Dengan melihat konstruksi yang digambarkan dalam konstitusi dan
diterima secara universal, terutama di negara-negara yang telah mengadopsi
Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan mereka. Mahkamah
konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar
22
Ayu Desiana, Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan
PutusanYang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003, Journal
volume 25, no 1, maret 2014. Hlm. 45.
30
dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan Negara maupun
warga negara. Mahkamah Konstitusi juga menjadi penafsir akhir konstitusi.23
Fungsi Mahkamah Konstitusi dijalankan melalui wewenang yang
dimilikiyaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu
berdasarkanpertimabangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan
Mahkamah Konstitusi merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan
latar belakngini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat pada
keberadaan MahkamahKonstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya
yaitu sebagai pengawalkonstitusi (the guardian of the constitutio), penafsir
final konstitusi (the finalinterpreter of the constitution), pelindung hak asasi
manusia (the protector ofhuman right), pelindung hak konstitusional warga
negara (the protector of thecitizen’s constitutional right), dan pelindung
demokrasi (the protector ofdemocracy).24
E. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan amanat konstitusi pada Pasal 24C Undang- Undang Dasar
1945, Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)
kewajiban. Kewenangan Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam
Pasal 24C ayat (1), sedang kewajiban yang diembannya diatur pada ayat (2)
UUD 1945. Lebih lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diatur
dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana yang
23
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm. 7 24
Ayu Desiana, Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan
Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003, Journal
volume 25, no 1, maret 2014. Hlm. 50
31
telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dengan rincian sebagai berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan ataspendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupapengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan,tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela,dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presidendan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.
Sesuai ketentuan tersebut maka setiap putusan MahkamahKonstitusi
bersifat final, artinya dalam hal pelaksanaankewenangan ini tidak ada
mekanisme banding atau kasasiterhadap putusan yang dibuat Mahkamah
Konstitusi untuk perkara-perkarayang berkenaan dengan kewenangan
32
tersebut.25
Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi
sebenarnya dapat dikatakan merupakan sebuah kewenangan untuk
memberikan putusan atas pendapat DPR terhadap dugaan pelanggaran
oleh presiden dan/atau wakil presiden.Secara khusus dalam ketentuan
tersebut, tidak dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat
pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final dan mengikat.
25
Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-Xi/2013
Tentang Sifat Final Dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp),
Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, hlm. 12
33
BAB III
GAMBARAN UMUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat
Negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan
dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan parapihak
kepadanya.26
Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa
yang dihadapkan kepadanya, makaputusan hakim itu merupakan tindakan
Negara dimana kewenangannnya dilimpahkan kepada hakim baik berdasar
UUD 1945 maupunundang-undang.
B. Jenis-JenisPutusan
Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan, yaitu
a. Putusan Provisi dan Putusan Akhir
Putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili atau
putusan akhir dan putusan yang dibuat di dalam dan menjadi bagian dari
proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau sengketa yang disebut
dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan sela atau putusan provisi
adalah putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak
yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan dengan
perkara yang diperiksa atau atas pertimbangan hakim.Putusan sela dapat
berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau
terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan.
26
Ibid, hlm. 201.
34
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi pada
awalnya hanya terdapat dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara. Hal ini didasarkan pada Pasal 63 UU Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan
penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Pada perkembangannya, putusan
sela juga dikenal dalam perkara pengujian undang - undang dan perselisihan
hasil Pemilu.
b. Putusan Ultra Petita
Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat
pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip
hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan
(Ultra Petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat
(3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. Dalam prakteknya MK
pernah mengeluarkan putusan ultra petita yaitu pada saat MK memutuskan
membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan dan membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan pada saat itu
banyak muncul tanggapan bahwa MK telah melanggar prinsip larangan
ultra petita.
Berdasarkan karakteristik perkara yang menjadi wewenang MK, prinsip
larangan ultra petita mungkin tidaklah dapat diterapkan untuk peradilan di
35
MK. Kewenangan pengujian Undang-Undang yang dimiliki oleh MK pada
prinsipnya bersifat publik walaupun pengajuannya dapat dilakukan oleh
individu tertentu yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan
Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan objek pengujiannya yaitu ketentuan
undang-undang sebagai norma yang bersifat abstrak dan mengikat secara
umum. Dalam hal pengujian undang-undang perkara yang diajukan
menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya mengikat semua
orang (erga omnes).Larangan ultra petita berlaku dalam lapangan hukum
perdata karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak suatu hak yang
bersifat privat yang dimiliki individu tertentu terletak pada kehendak atau
pertimbangan individu itu sendiri dan akibat hukumnya hanya mengikat
pada individu tersebut, tidak mengikat individu yang lain atau
semuaorang.27
C. Sifat Putusan
Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir.28
Putusan
declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi
hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas
suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan
hukum.
27
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta,2010, hal.53. 28
Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-Xi/2013
Tentang Sifat Final Dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp),
Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, hlm. 55.
36
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan
hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru.Sedangkan putusan
condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau
termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang
menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi.
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan
constitutief. Putusan Mahkamah Konstitusi berisi pernyataan apa yang
menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan
menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian undang -
undang, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan
apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang - undang, yaitu
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan
tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan
menciptakan keadaan hukum baru.
Menurut Maruarar Siahaan, putusan Mahkamah Konstitusi yang
mungkin memiliki sifat condemnatoir adalah dalam perkara sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu memberi hukuman kepada
pihak termohon untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam Pasal
64 Ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam hal
permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa
37
termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan
yang dipersengketakan.29
D. Pengambilan keputusan
Dalam hal pengambilan keputusan, putusan diambil dalam rapat
permusyawaratan hakim (RPH). Dalam proses pengambilan putusan, setiap
Hakim Konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis
terhadap permohonan.30
Putusan harus diupayakan semaksimal mungkin
diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.31
Apabila tidak dapat
dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai RPH berikutnya.32
Apabila tetap
tidak dapat dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.33
Di dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 ditentukan
bahwa dalam sidang permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara
abstain.
RPH pengambilan putusan adalah bagian dari proses memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu RPH harus diikuti ke 9
hakim konstitusi, kecuali dalam kondisi luar biasa putusan dapat diambil oleh
7 hakim konstitusi. Perihal kondisi luar biasa, tidak ada penjelasan apa yang
dimaksud dengan frase tersebut. Secara wajar, tentu yang dimaksud kondisi
luar biasa adalah halangan yang tidak dapat dihindari yang menyebabkan
29
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), Hlm.
240. 30
Pasal 45 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 31
Pasal 45 Ayat (4) dan Ayat (7) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 32
Pasal 45 Ayat (6) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 33
Pasal 45 Ayat (7) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
38
seorang hakim konstitusi tidak dapat menghadiri RPH, misalnya karena
alasan sakit.
Dalam kondisi luar biasa tersebut, dimungkinkan putusan diambil oleh 8
atau 7 orang hakim konstitusi.Pada saat diikuti oleh 8 orang hakim konstitusi,
dan putusan tidak dapat diambil secara mufakat, terdapat kemungkinan
perbandingan suara dalam pengambilan putusan adalah 4 berbanding
4.Misalnya dalam perkara permohonan pengujian undang - undang terdapat 4
hakim konstitusi mengabulkan dan 4 hakim konstitusi menolak atau tidak
menerima. Pada kasus seperti ini dalam ketentuan Pasal 45 Ayat (8) UU No.
24 Tahun 2003 menyatakan bahwa suara ketua sidang pleno hakim konstitusi.
Dengan demikian, pada saat komposisi perbandingan suara sama banyak,
suara ketua sidang yang akan menentukan putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.Hal ini
merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang
ditentukan oleh UUD NRI 1945.Dengan demikian setelah putusan dibacakan,
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak
dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan diucapkan.
E. Isi Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara harus didasarkan pada
UUD NRI 1945 dengan berpegang pada alat bukti dan keyakinan masing -
masing hakim konstitusi.34
Alat bukti yang dimaksud sekurang - kurangnya 2
34
Pasal 45 Ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamh Konstitusi.
39
(dua) seperti hakim dalam memutus perkara tindak pidana.Dalam putusan
Mahkamah Konstitusi harus memuat fakta yang terungkap dalam persidangan
dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan apakah putusannya
menolak permohonan (Ontzigd), permohonan tidak diterima (Niet Ontvakelijk
Verklaard) atau permohonan dikabulkan.
Pertama, Permohonan Ditolak (Ontzigd), yakni apabila permohonan
tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang yang dimohonkan untuk diuji
tidak bertentang dengan UUD NRI 1945 baik mengenai pembentukannya
maupun materinya baik sebagian atau keseluruhannya, sehingga amar putusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan ditolak.35
Kedua, Permohonan Tidak Diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard)
dimana permohonan dianggap melawan hukum dan tidak berdasarkan
hukum.Dalam artian permohonan pemohon tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan 51 UU Mahkamah
Konstitusi.Pasal 50 berbunyi “undangundang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD
1945”. Kendati demikian pasal tersebut telah dinyatakan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi
berdasarkan putusannya atas perkara No. 066/PUU-II/2004 yang diucapkan
tanggal 12 April 2005, Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan
35
Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-Xi/2013
Tentang Sifat Final Dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp),
Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, Hlm. 19
40
mengenai hal ini karena Pasal 50 turut dimohonkan untuk diuji.36
Sedang
Pasal 51 mensyaratkan pemohon adalah pihak menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang
dengan kualifikasi pemohon sebagai berikut:
i. perorangan warga negara indonesia,
ii. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI,
iii. badan hukum publik atau privat, dan
iv. lembaga negara.
Pasal 51 juga mewajibkan pemohon menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dan
menguraikan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
UUD 1945 atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undangundang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Ketiga, Permohonan Dikabulkan, yang berarti dikabulkannya permohonan
pemohon. Putusan ini wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang putusannya menyatakan materi muatan ayat, pasal
dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maupun
pembentukan undang-undang yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD
1945, maka amar putusan menyatakan materi muatan ayat, pasal dan/atau
36
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Yarsif
Watampone,2005). hlm. 318
41
bagian undang-undang, ataupun undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat..
Keluarnya putusan terhadap suatu permohonan tidak menutup peluang
untuk permohonan diajukan kembali kendati Mahkamah Konstitusi menganut
asas ne bis in idem. Sebagaimana pada Pasal 60 Undang-undang tentang
Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan:
“Terhadap materi muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian dalam undang-
undang yang telah diuji, tidak dapat di mohonkan kembali”
Jelas pasal ini menganut asas ne bis in idem, namun pemberlakuan asas
tersebut diartikan lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005, bahwa:
“Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU
terhadap muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang
pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan
syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda.”
Sehingga berbeda dengan pemberlakuannya di lingkungan peradilan
umum, asas ne bis in idem di Mahkamah Konstitusi diberlakukan secara
khusus dimana permohonan yang telah diuji dapat diajukan kembali dengan
orang yang sama, namun dengan dalil yang berbeda dari sebelumnya.
42
Putusan yang telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang
pleno pengucapan putusan hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain.
Jadwal sidang pengucapan putusan harus diberitahukan kepada para
pihak.37
Putusan ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan
memutus, serta oleh panitera.
Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus
memuat:38
a. Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. Identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas pemohon
dan termohon (jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak
termohon), baik prinsipal maupun kuasa hukum;
c. Ringkasan permohonan;
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan; dan
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Selain bagian - bagian di atas, Pasal 45 Ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003
mengamanatkan bahwa pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda
dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda memang mungkin, dan dalam
37
Pasal 45 Ayat (9) dan Ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 38
Pasal 48 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
43
praktik sering terjadi, karena putusan dapat diambil dengan suara terbanyak
jika musyarawah tidak dapat mencapai mufakat.Pendapat berbeda dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) dissenting opinion; dan (2) concurent
opinion atau consenting opinion.Dissenting opinion adalah pendapat berbeda
dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan amar putusan.Sedangkan
concurent opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi amar
putusan.39
Perbedaan dalam concurent opinion adalah perbedaan
pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan yang sama.
Concurent opinion karena isinya berupa pertimbangan yang berbeda
dengan amar yang sama tidak selalu harus ditempatkan secara terpisah dari
hakim mayoritas, tetapi dapat saja dijadikan satu dalam pertimbangan hukum
yang memperkuat amar putusan. Sedangkan dissenting opinion, sebagai
pendapat berbeda yang memengaruhi amar putusan harus dituangkan dalam
putusan.Dissenting opinion merupakan salah satu bentuk pertanggung
jawaban moral hakim konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud
transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh pertimbangan hukum
putusan Mahkamah Konstitusi.
Adanya dissenting opinion tidak memengaruhi kekuatan hukum putusan
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang diambil secara
mufakat oleh 9 hakim konstitusi tanpa perbedaan pendapat memiliki kekuatan
yang sama, tidak kurang dan tidak lebih, dengan putusan Mahkamah
39
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang - Undang, (Jakarta: Sekertariat
Jenderal dan Kepeaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005) Hlm. 289 - 291.
44
Konstitusi yang diambil dengan suara terbanyak dengan komposisi 5
berbanding 4.
Dalam praktik putusan Mahkamah Konstitusi, penempatan dissenting
opinion mengalami beberapa perubahan.Pertama kali, dissenting opinion
ditempatkan pada bagian pertimbangan hukum Mahkamah setelah
pertimbangan hukum mayoritas, baru diikuti dengan amar putusan.40
Pada
perkembangannya, penempatan demikian dipandang akan membingungkan
masyarakat yang membaca putusan karena setelah membaca dissenting
opinion baru membaca amar putusan yang tentu saja bertolak belakang.
Terlebih lagi apabila dissenting opinion tersebut cukup banyak sebanding
dengan pertimbangan hukum hakim mayoritas.
Oleh karena itu penempatan dissenting opinion tersebut kembali diubah,
yaitu setelah amar putusan tetapi sebelum bagian penutup dan tanda tangan
hakim konstituti serta panitera pengganti. Saat ini, dissenting opinion
ditempatkan setelah penutup dan tanda tangan hakim konstitusi namun
sebelum nama dan tanda tangan panitera pengganti.
F. SyaratdariPutusanMahkamahKonstitusi
SyaratbentukdanisiputusanMahkamahKonstitusidiaturdalampasal 48
undang-undangMahkamahKonstitusiadalahsebagaiberikut.41
40
Mursyid Surya Candra, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/Puu-
X/2012 Tentang Perbankan Syariah, Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin
Makassar, 2015, Hlm. 25 41
Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
45
1) Kepala putusan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang MahaEsa.
2) Identita spihak.
3) Ringkasan permohonan.
4) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan.
5) Amar putusan.
6) Hari dan tanggal putusan, nama dan tandat angan hakim konstitusi serta
panitera
7) Pendapat berbeda dari hakim.
46
BAB IV
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-XIV/2016 TENTANG
LGBT DAN KUMPUL KEBO
A. Dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Uji Materi
Pasal 284, 285, Dan 292 Dalam Putusan No 46/PUU_XIV/2016 Tentang
LGBT Dan Kumpul Kebo.
Pada tahun 2016, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima dan
memeriksa Perkara Nomor: 46/PUU-XIV/2016 Permohonan Pengujian Pasal
284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Terhadap UUD 1945, yang diajukan oleh Guru Besar IPB Bogor Prof. Dr.
Euis Sunarti, dkk. Dalam permohonan tersebut, khususnya Pasal 284
(Tentang Zina) dan Pasal 292 (Larangan perbuatan cabul sesama jenis dengan
anak), pemohon meminta agar MK memutus pasal-pasal tersebut tidak
berlaku sepanjang tidak dimaknai perluasan Zina untuk Pasal 284, yakni tidak
perlu ada unsur salah satu orang yang berbuat Zina sedang dalam ikatan
perkawinan dan tidak perlu ada aduan. Serta untuk Pasal 292, Pemohon
meminta dihapuskannya frasa “anak” sehingga semua jenis perbuatan cabul
“sesama jenis” dapat dipidana.42
Adapun dasar penolakan MK dalam putusan
tersebut dapat dilihat dari :
a) Aspek Rasionalitas
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memastikan apabila
permohonan ini dikabulkan oleh MK khususnya terkait Pasal 284 dan Pasal
42
Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU_XIV/2016, hlm. 8.
47
292, maka Indonesia akan berpotensi besar menghadapi krisis kelebihan
kriminalisasi (the crisis of over criminalization), yaitu banyaknya atau
melimpahnya perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, khususnya dalam
tindak pidana Kesusilaan.
Pasal 284 didasarkan pada pondasi mengenai adanya kepentingan
negara dalam menjamin lembaga perkawinan yang diatur oleh Negara sendiri.
Poin kunci yang perlu diingat adalah “Zina” dalam konteks Pasal 284 berbeda
dengan “Zina” yang ada dalam agama atau pemahaman sederhana dalam
moral sosial, dalam bahasa belanda, Zina yang disebut overspel. Pidana Zina
tidak maksudkan untuk menjerat pelaku lajang, hal ini terlihat dari batasan
yang ada dalam Pasal 284, yaitu adanya delik aduan yang sangat ketat hanya
diberikan pada pasangan yang “dihianati” dan pelakunya terikat dalam
lembaga perkawinan.43
Filosofisnya sangat sederhana, sebab bagi mereka
yang lajang, tidak ada konsekuensi atau dampak dari melakukan hubungan
terhadap orang lain atau ketentuan yang diatur negara, berbeda dengan
mereka yang terikat perkawinan. Di Indonesia, pemahaman ini sudah sangat
jelas dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). BPHN
menerjemahkan overspel menjadi “gendak” (lihat KUHP versi
BPHN).Alasannya adalah supaya Zina dalam KUHP tidak dipahami
sesederhana Zina dalam pengertian Agama atau moral sosial, namun lebih
pada perbuatan “perselingkuhan atau hubungan gelap (gendak)”.
43
ICJR, Upaya Mencegah Overkriminalisasi Tindak Pidana Kesusilaan di Indonesia,
(Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017) hlm. iii.
48
Selanjutnya, Zina adalah delik aduan Hal ini dapat dilihat dari Memorie
van Toelichting (MvT) pembahasan KUHP belanda. Adanya delik aduan
dikarenakan pertimbangan ikut campurnya alat-alat negara akan
mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan tertentu dari orang
yang secara nyata telah dirugikan oleh suatu perbuatan (zina), dibandingkan
tidak adanya ikut campur negara dalam kasus tersebut. Selain, adanya
pemikiran bahwa apabila seseorang yang merupakan pasangan orang yang
berzina, tidak memiliki keinginan untuk bercerai atau mengajukan gugatan
perceraian atas perbuatan zina tersebut, maka tidak ada alasan dan dasar yang
kuat untuk memberikan kewenangan kepada dirinya meminta negara
sekalipun untuk melakukan penuntutan menurut hukum pidana, itulah alasan
dibalik adanya delik aduan yang secara ekslusif hanya diberikan pada
pasangan orang yang melakukan Zina.
Jika permohonan Pemohon terkait perluasan cakupan Pasal 284
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka kita juga harus menghadapi
risiko reviktimisasi bagi perempuan korban kekerasan seksual yang tidak bisa
memenuhi tuntutan pembuktian sesuai KUHP dan KUHAP yang berlaku.
Para korban kekerasan seksual ini dapat dipidanakan sebagai zina di luar
perkawinan dalam konteks dimana sasaran penghukuman adalah kedua belah
pihak yang diputuskan sebagai pelakuzina.
Sama halnya dengan pasal 284, pasal 292 KUHP memiliki dasar
filosofis yang sangat kuat. Secara a-contrario delik ini tidak dimaksudkan
menjerat hubungan seks sesama jenis kelamin yang dilakukan oleh orang
49
yang sudah dewasa, sebab pidana dalam hal hubungan seks sesama jenis
dilakukan terhadap orang lain belum dewasa (anak). Alasannya, sebab orang
dewasa dianggap sudah mampu mengambil putusan dalam konteks privat,
sehingga apapun hal yang dilakukan oleh orang dewasa, sepanjang tidak
merugikan orang lain, dianggap merupakan bagian privasi dari orang dewasa
tersebut.Anak dianggap sebagai seseorang yang tidak mampu memberikan
persetujuan (non competent consent). Titik tekan pasal 292 menurut pakar
hukum pidana, Simons adalah untuk menjamin orang dewasa tidak berbuat
cabul dengan anak, dengan alasan apapun, bahkan apabila yang membujuk
rayu adalah anak, atau bahkan apabila orang dewasa tersebut bersifat pasif.
Dasar adanya unsur “sesama jenis” dalam pasal 292 tersebut bertujuan
untuk menjamin perluasan perbuatan cabul pada anak.Penggunaan istilah
“sesama jenis”, menghindarkan konteks hubungan seksual terbatas pada
perbuatan-perbuatan yang lazim dilakukan dalam hubungan
heteroseksual.Sehingga pasal 292 ini dimaksudkan untuk melindungi anak
dari semua tindakan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa. Dalam banyak
anggapan awam, bahwa perubahan Pasal 292 juga ditujukan untuk
melindungi orang dewasa yang “dicabuli” oleh pelaku sesama jenis, namun
tampaknya mereka yang berpandangan seperti ini lupa membaca Pasal 289
KUHP, yang sudah memberikan perlindungan yang melingkupi laki-laki
maupun perempuan dewasa yang mengalami tindak pidana pencabulan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan baik berlainan jenis kelamin atau
sesama jenis kelamin.
50
Perluasan delik kesusilaan zina ini akan berakibat pada tingginya angka
penghukuman dan memperbesar jumlah pelaku tindak pidana. Ini akan
berimbas langsung kepada kewajiban Negara terkait kebijakan penal,
memperbanyak fasilitas dalam proses pengadilan, penegakan hukum dan
Lapas. kondisi ini juga akan mengakibatkan berubahnya prioritas kebijakan
kriminal Indonesia.44
Prioritas pemerintah akan terpecah dalam memerangi
kejahatan yang menjadi prioritas misalnya korupsi, gembong narkotika,
terorisme dan kejahatan terorganisir lainnya. Padahal pada saat ini saja
Indonesia sudah kewalahan menghadapi jenis-jenis kejahatan tersebut. Fokus
ini akan terpecah dengan adanya pekerjaan tambahan negara mengurusi
pasal-pasal kesusilaan warga negara yang sesungguhnya bukan menjadi
prioritas negara saat ini.
Dengan kebijakan pidana yang ingin memperluas tindak pidana
kesusilaan maka Negara akan masuk terlalu jauh dalam mengontrol hak yang
sangat privasi warga negara. Negara akan sangat mudah untuk
mencampuradukkan persoalan yang bersifat privat dan personal dengan
urusan yang bersifat publik. Hal ini justru mengingkari kedudukan hukum
pidana sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah hukum (ultimum
remedium). Dengan kata lain, tidak akan ada lagi penghormatan akan hak atas
privasi warga negara, sebab atas nama hukum pidana, negara akan sangat
bebas untuk mencampuri urusan privat warga negaranya. Maka bisa
44
ICJR, Upaya Mencegah Overkriminalisasi Tindak Pidana Kesusilaan di Indonesia,
(Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017) hlm. iv.
51
dibayangkan, Polisi akan semakin represif dan memiliki kewenangan begitu
besar untuk masuk ke ranah privat warga Negara.
b) Aspek Yuridis
Sebagaimana secara tegas termuat dalam Petitum Permohonannya, pada
intinya adalah meminta Mahkamah untuk memperluas cakupan atau ruang
lingkup, bahkan mengubah, jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dalam
pasal-pasal KUHP yang dimohonkan pengujian karena, menurut para
Pemohon, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat,
sementara jika menunggu proses legislasi yang sedang berlangsung saat ini
tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir. Dengan kata lain, para Pemohon
meminta Mahkamah untuk melakukan kebijakan pidana (criminal policy)
dalam pengertian merumuskan perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan
perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana (delict), yaitu:
a. Zina, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP, akan menjadi
mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan
yangsah;
b. Pemerkosaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP, akan
menjadi mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan
maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadaplaki-laki;
c. Perbuatan cabul, sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP, akan
menjadi mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan
52
orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di
bawahumur;
Dengan demikian, apabila ditelaah lebih jauh berarti para Pemohon
memohon agar Mahkamah bukan lagi sekadar memperluas ruang lingkup
perbuatan atau tindakan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan pidana
atau tindak pidana tetapi juga mengubah sejumlah hal pokok atau prinsip
dalam hukum pidana, bahkan merumuskan tindak pidana baru. Sebab, dengan
permohonan demikian secara implisit Pemohon memohon agar Mahkamah
mengubah rumusan delik yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP yang
dimohonkan pengujian sehingga dengan sendirinya bukan hanya akan
mengubah kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana tetapi juga kualifikasi
subjek atau orang yang dapat diancam pidana karena melakukan perbuatan
tersebut. Hal itu lebih jauh juga berarti akan mengubah konsep-konsep
mendasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana,
sebagaimana diuraikan di bawahini:
1. Pasal 284 KUHP (terjemahan R. Soesilo) yang selengkapnyaberbunyi;
A. Dihukum penjara selama-lamanya sembilanbulan:
1e. a. laki-laki yang beristri, berbuat zina, sedangkan diketahuinya, bahwa
Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Sipil) berlaku
padanya;
b. perempuan yang bersuami, berbuat zina;
2e. a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya,
53
bahwa kawannya itu bersuami;
b. perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu,
sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu beristri dan Pasal 27 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Sipil) berlaku pada kawannya itu.
B. Penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami (istri) yang
mendapat malu dan jika pada suami (istri) itu berlaku Pasal 27 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Sipil) dalam tempo 3 bulan sesudah
pengaduan itu, diikuti dengan permintaan akan bercerai atau bercerai
tempat tidur dan meja makan (scheiding van tafel en bed) oleh
perbuatan itujuga.
C. Tentang pengaduan ini Pasal 72, 73 dan 75 tidakberlaku.
D. Pengaduan itu boleh dicabut selama pemeriksaan di muka sidang
pengadilan belumdimulai.
E. Kalau bagi suami dan istri itu berlaku Pasal 27 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Sipil) maka pengaduan itu tidak diindahkan,
sebelumnya mereka itu bercerai, atau sebelum keputusan hakim
tentang perceraian tempat tidur dan meja makan mendapat ketetapan.
Oleh para Pemohon dimohonkan agar:
- Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP dimaknai “laki-laki
berbuat zina”;
- Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf b KUHP dimaknai “seorang
perempuan berbuatzina”;
54
- Pasal 284 ayat (1) angka 2e. huruf a KUHP dimaknai “laki-laki yang
turut melakukan perbuatanitu”;
- Pasal 284 ayat (1) angka 2e. huruf b KUHP dimaknai “perempuan
yang turut melakukan perbuatanitu”;
- Pasal 284 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHP dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, yang artinyadihapuskan.
Dengan permohonan demikian, jika dikabulkan maka:
- Dalam konteks Pasal 284 ayat (1) angka 1e huruf a KUHP, yang oleh
para Pemohon dimohonkan untuk dimaknai “laki-laki berbuat zina”
maka yang akan terjadiadalah:
a. pelaku perbuatan yang dapat dipidana yang semula adalah laki-laki
yang beristri dan baginya berlaku Pasal 27 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata berubah menjadi semua laki-laki tanpa kecuali,
termasuk jika ia belum cukup umur atau masihanak-anak;
b. sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam perbuatan yang
diancam pidana dalam norma ini juga berubah. Sebagaimana diketahui,
“melawan hukum” adalah salah satu elemen dari perbuatan pidana di
samping elemen “memenuhi unsur delik” dan elemen “dapat dicela”.
Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan apakah perlu dicantumkan
secara tegas atau tidak dalam rumusan delik, elemen melawan hukum
itu harus ada. Sebab tidak mungkin suatu perbuatan dapat dipidana
(strafbaar) jika perbuatan itu tidak melawan hukum. Dalam konteks
55
permohonan para Pemohon a quo, maka sifat melawan hukum umum
(general ewederre chtelij kheid)dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1e.
huruf a KUHP itu berubah: semula dipersyaratkan laki-laki itu harus
beristri, yang secara implisit berarti sudah dewasa, dan tunduk pada
Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjadi tidak harus
beristri dan tidak harus tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan tidak harus sudah dewasa.
Dengan kata lain, semula jika perbuatan sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu dilakukan oleh
seorang laki-laki yang tidak beristri, apalagi masihanak-anak atau
belum dewasa,dan tidak tunduk padaPasal 27 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum,
berubah menjadi melawan hukum. Konsekuensinya, kalau semula
penuntut umum harus membuktikan dalam dakwaannya bahwa laki-
laki yang bersangkutan sudah beristri, yang artinya sudah dewasa,
dan tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
berubah menjadi tidak perlu lagi membuktikan semua hal itu;
c. alasan penghapusan pidana pun berubah, dalam hal ini alasan
penghapus pidana yang bersifat khusus. Semula, jika seorang laki- laki
yang meskipun terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu namun ternyata
ia tidak beristri dan tidak tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, lebih-lebih jika masih anak-anak atau belum dewasa,
56
maka laki-laki itu harus dilepaskan dari tuntutan hukum karena
perbuatan itu bukan perbuatan pidana, berubah menjadi dipidana
karena hilangnya syarat beristri dan syarat tunduk pada Pasal 27 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
c) Aspek Sosiologis
Dengan seluruh pertimbangan berkenaan dengan Pasal 284,
Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP di atas maka telah nyata bahwa,
secara substansial, permohonan para Pemohon bukan lagi sekadar
memohon kepada Mahkamah untuk memberi pemaknaan tertentu
terhadap norma undang-undang yang dimohonkan, bahkan bukan
pula sekadar memperluas pengertian yang terkandung dalam norma
undang-undang yang dimohonkan pengujian itu, melainkan benar-
benar merumuskan tindak pidana baru; sesuatu yang hanya
pembentuk undang-undang yang berwenang melakukannya.
Argumentasi bahwa proses pembentukan undang-undang memakan
waktu lama tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi Mahkamah
untuk mengambil-alih wewenang pembentuk undang-undang. Lagi
pula, menghilangkan frasa tertentu dan/atau menambahkan
pemaknaan baru terhadap suatu norma hukum pidana, yang berarti
mengubah pula sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid)
perbuatan itu, tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian dalam
ancaman pidana (strafmaat)-nya dan bentuk pengenaan pidana
(stafmodus)-nya tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam
57
merancang suatu norma hukum pidana karena hal itu melekat pada
jenis atau kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana atau tindak
pidana (strafbaarfeit) yang bersangkutan.45
Bahwa dengan seluruh pertimbangan di atas bukanlah berarti
MK menolak gagasan “pembaruan” para Pemohon sebagaimana
tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti MK
berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam KUHP,
khususnya yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan tersebut,
sudah lengkap. MK hanya menyatakan bahwa norma pasal-pasal
dalam KUHP yang dimohonkan pengujian dalam permohonan tidak
bertentangan dengan UUD1945. Perihal perlu atau tidaknya
dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk
undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang
merupakan bagian dari politik hukum pidana.46
Oleh karena itu,
gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya
diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut
seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-
undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru.
45
Putusan mahkamah konstitusi no 46/PUU_XIV/2016, hlm. 439. 46
Ibid, hlm. 453.
58
B. Putusan No 46/PUU_XIV/2016 Berdasarkan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
Perubahan UUD 1945 telah membentuk sebuah lembaga baru yang
berfungsi mengawal konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya
disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2), serta Pasal 24C UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.
Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah
melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar...”47
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
....”Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
47
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 11
59
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor157,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK”
menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”48
Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, MK berwenang
untuk melakukan pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang
terhadap UUD1945.Sebenarnya sebelum berdirinya Mahkamah Konstitusi
untuk menguji suatu undang-undang khususnya menguji KUHP sudah
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, khususnya dalam
Pasal 5- nya. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 berbunyi bahwa
peraturan-peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian tidak dapat
dijalankan lagi atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia
sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi harus dianggap
seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Inti sari dari Pasal 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai batu penguji, apakah
suatu ketentuan dalam KUHP masih layak dipertahankan atau tidak? Jadi
pasal ini mempunyai makna dan fungsi sebagai alat untuk menilai kembali,
menguji kembali ketentuan KUHP yang tidak sesuai lagi dengan keadaan
sekarang.Dengan demikian apabila ketentuan dalam KUHP itu bertentangan
48
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
60
dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, maka ketentuan
tersebut dianggap tidakberlaku.49
Dengan permohonan demikian, jika dikabulkan maka:
Dalam konteks Pasal 284 ayat (1) angka 1e huruf a KUHP, yang oleh
para Pemohon dimohonkan untuk dimaknai “laki-laki berbuat zina” maka
yang akan terjadiadalah:
a. pelaku perbuatan yang dapat dipidana yang semula adalah laki-laki
yang beristri dan baginya berlaku Pasal 27 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata berubah menjadi semua laki-laki tanpa kecuali,
termasuk jika ia belum cukup umur atau masihanak-anak;
b. sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam perbuatan yang
diancam pidana dalam norma ini juga berubah. Sebagaimana diketahui,
“melawan hukum” adalah salah satu elemen dari perbuatan pidana di
samping elemen “memenuhi unsur delik” dan elemen “dapat dicela”.
Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan apakah perlu dicantumkan
secara tegas atau tidak dalam rumusan delik, elemen melawan hukum
itu harus ada. Sebab tidak mungkin suatu perbuatan dapat dipidana
(strafbaar) jika perbuatan itu tidak melawan hukum.
Dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, maka sifat
melawanhukumumum(generalewederrechtelijkheid)dalamPasal284
ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu berubah: semula dipersyaratkan
49
Putusan mahkamah konstitusi no 46/PUU_XIV/2016, hlm. 439.
61
laki-laki itu harus beristri, yang secara implisit berarti sudah dewasa,
dan tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menjadi tidak harus beristri dan tidak harus tunduk pada Pasal 27 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan tidak harus sudah dewasa. Dengan
kata lain, semula jika perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu dilakukan oleh seorang laki-
laki yang tidak beristri, apalagi masih anak-anak atau belum dewasa,
dan tidak tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, berubah menjadi
melawan hukum. Konsekuensinya, kalau semula penuntut umum harus
membuktikan dalam dakwaannya bahwa laki-laki yang bersangkutan
sudah beristri, yang artinya sudah dewasa, dan tunduk pada Pasal
27 KitabUndang-undang Hukum Perdata berubah menjadi tidak perlu
lagi membuktikan semua hal itu;
c. alasan penghapusan pidana pun berubah, dalam hal ini alasan
penghapus pidana yang bersifat khusus. Semula, jika seorang laki- laki
yang meskipun terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu namun ternyata ia
tidak beristri dan tidak tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, lebih-lebih jika masih anak-anak atau belum dewasa,
maka laki-laki itu harus dilepaskan dari tuntutan hukum karena
perbuatan itu bukan perbuatan pidana, berubah menjadi dipidana karena
62
hilangnya syarat beristri dan syarat tunduk pada Pasal 27 Kitab
Undang-undang HukumPerdata.
- Dalam konteks Pasal 284 ayat (1) angka 1e huruf b KUHP, yang oleh
para Pemohon dimohonkan untuk dimaknai “seorang perempuan
berbuat zina” maka keadaan yang serupa dengan uraian di atas akan
terjadi kepada seorang perempuan, yaitu:
a. pelaku perbuatan yang dapat dipidana berubah, semula adalah
seorang perempuan yang bersuami, yang secara implisit berarti sudah
dewasa, menjadi hanya seorang perempuan, termasuk perempuan
yang belum dewasa atau masihanak-anak;
b. sifat melawan hukum perbuatan itu juga berubah, semula jika
perbuatan itu dilakukan oleh seorang perempuan yang tidak
bersuami, yang secara implisit termasuk pula perempuan yang belum
dewasa, maka hal itu tidak dianggap sebagai perbuatan melawan
hukum, berubah menjadi melawan hukum kendatipun perbuatan itu
dilakukan oleh seorang perempuan yang tidak bersuami, termasuk
perempuan yang belum dewasa atau masihanak-anak;
alasan penghapus pidana juga berubah: semula jika perbuatan itu
dilakukan oleh seorang perempuan yang tidak bersuami, termasuk
perempuan yang belum dewasa atau masih anak-anak, hal itu dapat
menjadi alasan penghapus pidana yang bersifat khusus, sehingga
pelakunya harus dilepaskan dari tuntutan hukum, alasan demikian
menjadi tidak dapat lagi digunakan sehingga yangbersangkutan
63
(perempuan yang tidak bersuami atau masih anak-anak) tetap harus
dipidana.
- Dalam konteks Pasal 284 ayat (1) angka 2e huruf a KUHP, yang oleh
para Pemohon dimohonkan untuk dimaknai “laki-laki yang turut
melakukan perbuatan itu” maka yang akan terjadiadalah:
a. pelaku perbuatan yang dapat dipidana berubah: semula, pelaku yang
dapat dipidana karena turut melakukan perbuatan yang oleh undang-
undang disebut sebagai perbuatan zina adalah laki-laki yang
mengetahui bahwa perempuan yang diajaknya berzina adalah
perempuan yang bersuami, berubah menjadi tidak perlu lagi adanya
pengetahuanitu;
b. sifat melawan hukum perbuatan itu juga berubah: semula, sifat
melawan hukum dianggap ada jika laki-laki yang turut serta
melakukan perbuatan itu mengetahui bahwa perempuan yang
diajaknya berzina itu adalah perempuan yang bersuami berubah
menjadi tetap dianggap melawan hukum terlepas dari persoalan
apakah si laki-laki itu mengetahui bahwa perempuan dimaksud
bersuami, bahkan juga terlepas dari persoalan apakah perempuan itu
bersuami atau tidak. Konsekuensinya, dalam proses persidangan, jika
semula penuntut umum harus membuktikan adanya pengetahuan si
laki-laki yang turut melakukan perbuatan bahwa perempuan
dimaksud adalah perempuan yang bersuami dan juga membuktikan
bahwa perempuan itu adalah bersuami, berubah menjadi tidak perlu
64
lagi membuktikan hal-haltersebut;
Alasan penghapus pidana pun berubah: semula, jika ternyata
terbukti bahwa laki-laki yang turut melakukan perbuatan dimaksud
tidak tahu kalau perempuan yang diajaknya melakukan perbuatan itu
adalah bersuami atau kalau ternyata perempuan itu ternyata tidak
bersuami, hal itu dapat dijadikan alasan penghapus pidana yang
bersifat khusus sehingga laki-laki tersebut harus dilepaskan dari
tuntutan hukum, berubah menjadi tidak lagi dapat digunakan sebagai
alasan penghapus pidana sehingga laki-laki dimaksud tetap harus
dihukum.
Mahkamah melalui putusannya telah berkali-kali menyatakan
suatu norma undang-undang konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) ataupun inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu
terhadap suatu norma undang-undang untuk dapat dikatakan
konstitusional, yang artinya jika persyaratan itu tidak terpenuhi maka
norma undang-undang dimaksud adalah inkonstitusional. Namun,
ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk
tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum
pidana (criminal policy).50
Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan
permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap
50
Putusan mahkamah konstitusi no 46/PUU_XIV/2016, hlm. 446.
65
perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal
itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan
seseorang di mana pembatasan demikian, sesuai dengan Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk
undang-undang. Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang
berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal
itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan
pembentuk undang-undang. Berbeda dengan bidang hukum lainnya,
hukum pidana dengan sanksinya yang keras yang dapat mencakup
perampasan kemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang, maka
legitimasi negara untuk merumuskan perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana serta jenis sanksi yang diancamkan terhadap
perbuatan itu dikonstruksikan harus datang dari persetujuan rakyat,
yang dalam hal ini mewujud pada organ negara pembentuk undang-
undang (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yang keduanya
dipilih langsung oleh rakyat), bukan melalui putusan hakim atau
pengadilan.
Hanya dengan undang-undanglah hak dan kebebasan seseorang
dapat dibatasi.Sejalan dengan dasar pemikiran ini, Pasal 15 dan
Lampiran II, C.3. angka 117 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan
bahwa materi muatan mengenai pidana hanya dapat dimuat dalam
produk perundang- undangan yang harus mendapatkan persetujuan
66
wakil rakyat di lembaga perwakilan, yaitu DPR atau DPRD, seperti
Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Sedangkan Mahkamah berada dalam posisi menguji apakah
pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang itu telah sesuai
dengan Konstitusi atau justru melampaui batas-batas yang ditentukan
dalam Konstitusi.Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan
hukum pidana, selama ini permohonan yang diajukan justru
memohon agar dilakukan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan
yang diatur dalam undang-undang karena dinilai bertentangan dengan
hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sehingga
harus dapat diuji konstitusionalitasnya.Sebab, kewenangan pengujian
undang-undang memang ditujukan untuk menjaga agar hak dan
kebebasan konstitusional warga negara yang dijamin oleh Konstitusi
tidak dilanggar oleh kebijakan kriminalisasi yang dibuat oleh
pembentuk undang-undang.Oleh karena itu, meskipun secara
konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan
kriminalisasi, pembentukundang-undang pun harus sangat berhati-
hati.
Permohonan Ditolak (Ontzigd), yakni apabila permohonan tidak
beralasan. Dalam hal ini undang-undang yang dimohonkan untuk
diuji tidak bertentang dengan UUD NRI 1945 baik mengenai
pembentukannya maupun materinya baik sebagian atau
keseluruhannya, sehingga amar putusan Mahkamah Konstitusi
67
menyatakan permohonan ditolak.51
Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya
merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui
kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari
politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang
ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk
undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting
bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian
perumusan KUHP yang baru.
51
Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-Xi/2013 Tentang Sifat
Final Dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp), Hasil Penelitian
Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, Hlm. 19
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan,
maka hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Para pemohon bukan lagi sekadar memperluas ruang lingkup
perbuatan atau tindakan yang sebelumnya bukan merupakan
perbuatan pidana atau tindak pidana tetapi juga mengubah sejumlah
hal pokok atau prinsip dalam hukum pidana, bahkan merumuskan
tindak pidana baru. Sebab, dengan permohonan demikian secara
implisit Pemohon memohon agar Mahkamah mengubah rumusan
delik yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP yang dimohonkan
pengujian sehingga dengan sendirinya bukan hanya akan mengubah
kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana tetapi juga kualifikasi
subjek atau orang yang dapat diancam pidana karena melakukan
perbuatan tersebut. Hal itu lebih jauh juga berarti akan mengubah
konsep-konsep mendasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan
pidana atau tindak pidana.
Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para
Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang
dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi
pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan
KUHP yang baru. Dapat disimpulkan bahwasanya mahkamah
69
konstitusi tidak melegalkan Lgbt dan Kumpul kebo karena
permohonan yang dimohonkan oleh pemohon sudah melampaui
kewenangan dari mahkamah konstitusi.
2. Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan
permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap
perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal
itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan
seseorang di mana pembatasan demikian, sesuai dengan Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk
undang-undang.
Sedangkan Mahkamah berada dalam posisi menguji apakah
pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang itu telah sesuai
dengan Konstitusi atau justru melampaui batas-batas yang
ditentukan dalam Konstitusi.Oleh karena itu, sepanjang berkenaan
dengan hukum pidana, selama ini permohonan yang diajukan justru
memohon agar dilakukan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan
yang diatur dalam undang-undang karena dinilai bertentangan
dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara
sehingga harus dapat diuji konstitusionalitasnya.Sebab, kewenangan
pengujian undang-undang memang ditujukan untuk menjaga agar
hak dan kebebasan konstitusional warga negara yang dijamin oleh
Konstitusi tidak dilanggar oleh kebijakan kriminalisasi yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang.Oleh karena itu, meskipun secara
70
konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan
kriminalisasi, pembentuk undang-undang pun harus sangat berhati-
hati.
Permohonan Ditolak (Ontzigd), yakni apabila permohonan
tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang yang dimohonkan
untuk diuji tidak bertentang dengan UUD NRI 1945 baik mengenai
pembentukannya maupun materinya baik sebagian atau
keseluruhannya, sehingga amar putusan Mahkamah Konstitusi
menyatakan permohonan ditolak.
B. SARAN-SARAN
Dari semua pembahasan dan kesimpulan yang telah didapat, penulis
menyarankan beberapa hal berikut :
Perumusan tindak pidana tentang kesusilaan khususnya pasal 284,285
serta 292 mengenai LGBT dan Kumpul kebo seharusnya memasukkan nilai-
nilai agama sehingga menciptakan hukum sesuai dengan kebutuhan yang
terus berkembang yang bertalian dengan perkembangan masyarakat. tindak
pidana kesusilaan merupakan tindak pidana yang digolongkan sebagai tindak
pidana yang bersifat kultural, artinya tindak pidana kesusilaan sangat sarat
dengan nilai-nilai budaya dan kearifal lokal.
Ironisnya dalam KUHP yang masih berlaku mengenai kesusilaan masih
mengikuti pemikiran orang Barat.Hal ini terjadi karena KUHP yang ada saat
ini adalah warisan dari Belanda.Sedangkan masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang religius yang tentu saja mempunyai pemikiran yang sangat
71
berbeda dengan pola pikir orang Barat. Hal ini terlihat bahwa KUHP masih
tidak sesuai dengan hukum agama, adat ataupun kultur yang dianut. Indonesia
bukanlah negara yang sekuler, karena nilai-nilai agama sangat berpengaruh
pada kehidupan sehari-hari, oleh karena itu perumusan tindak pidana tentang
kesusilaan seharusnya memasukkan nilai-nilai agama sehingga bisa
mencakup seluruh aspek kehidupan bermasyarakat.
Sehingga diperlukannya untuk pembuatan undand- undang baru
mengenai kesusilaan ini dan menjadi pertimbangan DPR/DPRD permohonan
yang dimohonkan tersebut dalam pembutan UU nantinya agar permasalan
LGBT dan kumpul kebo ini bisa diatasi dan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku diindonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Al- A‟raf (7): 80-81, Al-quran dan Terjemhannya.
Al-araf (7): 179 Al-quran dan Terjemahannya.
Al-Isra (17): 32, Al-quran dan Terjemhannya.
Al-Nur (4): 2, Al-quran dan Terjemahannya.
Al-Nur (24): 2, Al-quran dan Terjemhannya.
Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangn untuk
Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu didalam KUHP, cet. Ke- 5 Jakarta:
Sinar Grafika, 2014.
Ardian Husaini, LGBT di Indonesia, Perkembangan dan Solusinya, Jakarta:
INSISTS, 2018.
Irp.Daulay, Mahkamah Konstitusi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006.
Jaya Suprana, Kelirumologi Genderisme, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2014.
Mahmud,Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, edisi ke-2 .Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar IlmuPolitik, Edisi Revisi, Jakarta : PT
Gramedia Pustaka, 2008.
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, .Jakarta: Pt. Raja Grafindo,
2013.
Sayuti Una (ed), Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, jambi: syariah
press, 2014.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang - Undang, Jakarta:
Sekertariat Jenderal dan Kepeaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2005.
ICJR, Upaya Mencegah Over kriminalisasi Tindak Pidana Kesusilaan di
Indonesia, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 Ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 45 Ayat (4) dan Ayat (7) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 45 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 Ayat (6) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi.
Pasal 45 Ayat (7) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 45 Ayat (9) dan Ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 48 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 284 dan 284 KUHP tentang kesusilaan.
Pasal 292 KUHP tentang kesusilaan.
C. Lain-lain
Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU_XIV/2016,
Abd.Azis Ramadhani, Homoseksual Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan
Hukum Islam. Suatu Studi Komparatif Normatif, Hasil Penelitian
Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2012.
Agustiawan, Analisis Tindak Pidana Perzinahan (Studi Komparatif Antara
Hukum Islam Dan Hukum Nasional), Hasil Penelitian Kompetitif
Universitas Alauddin Makassar, 2016.
Andi Tenripadang, Hubungan Hukum Internasional Dengan Hukum
Nasional, Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 67
- 75.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta, 2010.
AyuDesiana, Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan
Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003, Journal volume 25, no 1,
maret 2014
Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan Dan
Kebuayaan Indonesia,
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/18
4.
Guntur Romli, Homoseksualitas& Agama. Makalah dipaparkan dalam diskusi
publik peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO)
26 Mei 2011 di UniversitasParamadina.
Indah Lestari Dansiti Sefitri, Konseling Bagi Populasi Transgender, Jurnal
Konseling GUSJIGANG Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2016.
Ishak, Analisis Hukum Islam Tentang Perbuatan Zina Dalam Pasal 284
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana, KanunJurnal No. 56, Th. XIV (April, 2012).
Kristian Erdianto, Penjelasan MK Soal Tuduhan Putusan Yang Melegalkan
Zina dan LGBT,
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/20155601/penjelasan-
mk-soal-tuduhan-putusan-yang-melegalkan-zina-dan-lgbt.
Kumparan.com, Putusan MK: Kumpul Kebodan LGBT Tak Bisa Dipidana,
http://www.tribunislam.com/2017/12/putusan-mk-kumpul-kebo-dan-
lgbt-tak-bisa-dipidana.html.
Makalah Mahkamah Konstitusi,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/artik
el/pdf/makalah_makalah_17_oktober_2009.pdf.
Mursyid Surya Candra, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/Puu-X/2012 Tentang Perbankan Syariah, Hasil Penelitian
Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2015.
Musti'ah, Lesbian Gay Bisexual And Transgender (Lgbt): Pandangan Islam,
FaktorPenyebab, Dan Solusinya, JurnalPendidikanSosial Vol. 3, No.
2, Desember 2016.
Noviandy, Lgbt Dalam Kontroversi Sejarah Seksualitas Dan Relasi Kuasa
(Sebuah Pengantar),jurnal Volume 02 No. 02 November 2012.
Nurchakiki, Studi Kasus Perilaku Pelaku Kumpul Kebo Mahasiswa
Yogyakarta, E-Journal Bimbingandan Konseling Edisi 6 Tahun ke 5,
2016.
Proceding, Tinjauan Terhadap LGBT Dari Presfektif Hukum Pendidikan
Dan Psikologi, metro lampung : Program Pascasarjana STAIN
JuraiSiwo, 2016.
Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-
Xi/2013 Tentang Sifat Final Dan Mengikat Putusan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp), Hasil Penelitian
Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016.
RinaAntasari, Hukum Islam Dalam Ruang Sistem Hukum Di Indonesia,
Istinbath/No.16/Th. XIV/Juni/2015/89-108.
Subroto, Legislagi Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No 46/Puu-Viii/2010 Ditinjau Dari Teori Hukum Hans
Kelsen Tentang Konstitusi, JustitiaIslamica, Vol. 11/No. 2/Jul-Des.
2014.
Sulis Winurini, Memaknai Perilaku Lgbt Di Indonesia (Tinjauan Psikologi
Abnormal), jurnal Vol. VIII, No. 05/I/P3DI/Maret/2016.
Syamsul Huda, Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Jurnal Studia Islamika Vol. 12, No. 2,
Desember 2015: 377-397.
Yulianti Mutmainnah, LGBT Human Right in Indonesia Policies, dalam
Indonesian Feminist Journal, Vol. 4, Number 1, 2016.
CURRICULUM VITAE
A. IdentitasDiri
Nama : ROMI SAPUTRA
JenisKelamin : Laki-laki
Tempat/tgl.lahir : KembangPaseban/ 03-11-1994
NIM : SPI141864
Alamat
1. AlamatAsal : Rt 13 Kel. KembangPasebanKec. MersamKab.
BatangHariProvinsi Jambi.
2. AlamatSekarang :Rt 36 Kel. Simpang IV SipinKec. Telanaipura Kota
Jambi Provinsijambi.
No HP : 085311709779
Nama Ayah : Muhammad Sobirin
NamaIbu :Juraiyah
B. RiwayatPendidikan
Pendidikan formal
a. SD NEGERI 68/1 SIMPANG MERSAM, tahun lulus : 2007
b. MTSs DARUSY SYAFIIYAH RANTAU PURI, tahun lulus : 2011
c. MAS DARUSY SAFIIYAH RANTAU PURI, tahun lulus : 2014